• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. karakteristik neuropati optik yang berhubungan dengan penurunan lapang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. karakteristik neuropati optik yang berhubungan dengan penurunan lapang"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Glaukoma Sudut Terbuka Primer

1. Definisi Glaukoma

Glaukoma didefinisikan sebagai suatu kumpulan penyakit dengan karakteristik neuropati optik yang berhubungan dengan penurunan lapang pandangan dan peningkatan tekanan intraokuli sebagai satu faktor resiko utama (Skuta, et al., 2010; Kansky, 2002).

Di dalam dunia kedokteran, glaukoma dibagi atas glaukoma sudut terbuka, glaukoma sudut tertutup dan glaukoma pada anak (Lisegang, et al., 2009). Klasifikasi glaukoma secara lengkap dan terperinci tertera pada klasifikasi glaukoma berdasarkan American Academy of Ophthalmology. Dari ketiga glaukoma ini, glaukoma sudut terbuka yang paling sering dijumpai. Sekitar 75% penderita glaukoma menderita glaukoma sudut terbuka (Skuta, et al., 2010). Glaukoma sudut terbuka primer merupakan neuropati optik kronis dengan progresifitas yang perlahan-lahan dengan karakteristik adanya ekskavatio dari syaraf optik, gangguan lapang pandangan, hilangnya sel dan akson ganglion retina dan memiliki sudut iridocorneal yang terbuka. Glaukoma sudut terbuka primer ini lebih sering dijumpai pada usia dewasa (Lisegang, et al., 2005).

Pada glaukoma sudut terbuka penyebab yang paling sering terjadi adalah peningkatan tekanan intraokuli walaupun pada beberapa kasus tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuli (Chung & Harris, 2000). Peningkatan tekanan intraokuli dapat merusak sel-sel ganglion retina dan

(2)

menyebabkan kerusakan syaraf optik sehingga progresifitas glaukoma berlanjut.

2. Klasifikasi Glaukoma

Klasifikasi glaukoma berdasarkan American Academy of Ophthalmology adalah:

I. Glaukoma Sudut Terbuka (glaukoma yang paling sering terjadi) 1.Glaukoma Sudut Terbuka Primer

2.Glaukoma Bertekanan Normal 3.Glaukoma Juvenile

4.Suspek Glaukoma

5.Glaukoma Sudut Terbuka Sekunder II. Glaukoma Sudut Tertutup

1.Glaukoma Sudut Tertutup Primer i.Akut

ii.Subakut iii.Kronik

2.Glaukoma Sudut Tertutup Sekunder dengan Blok Pupil 3.Glaukoma Sudut Tertutup Sekunder Tanpa Blok Pupil 4.Sindroma Iris Plateau

III. Childhood Glaukoma

1.Glaukoma Kongenital Primer

2.Glaukoma yang berhubungan dengan kelainan bawaan 3.Glaukoma sekunder pada anak-anak dan bayi

(3)

3. Prevalensi

Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua di dunia, sekitar lebih dari 5 juta atau 13,5% dari total kebutaan di dunia. Berdasarkan klasifikasi glaukoma, glaukoma sudut terbuka merupakan glaukoma yang paling sering dijumpai. Di negara barat, prevalensi glaukoma sudut terbuka sekitar 1,1-3% dari populasi. Pada studi di Jepang, prevalensi glaukoma sudut terbuka primer sekitar 2,62%. Prevalensi glaukoma sudut terbuka ini meningkat dengan bertambahnya usia. Biasanya penderita glaukoma sudut terbuka terjadi pada usia antara 40 sampai 70 tahun (Distelhorst & Hughes, 2003).

4. Faktor Risiko

Ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan neuropati optik glaukoma pada glaukoma sudut terbuka primer yaitu peningkatan tekanan bola mata (TIO), usia dewasa, riwayat keluarga dengan glaukoma, ras (Skuta, et al., 2010)

a. Tekanan Intra Okuli

Sejumlah faktor yang dapat berhubungan dengan timbulnya glaukoma sudut terbuka primer adalah tekanan bola mata. Hal ini disebabkan karena tekanan bola mata merupakan salah satu faktor yang paling mudah dan paling penting untuk meramalkan timbulnya glaukoma di masa mendatang. Secara umum dinyatakan bahwa tekanan bola mata

(4)

yang lebih tinggi akan lebih memungkinkan terhadap peningkatan progresifitas kerusakan diskus optikus, walaupun hubungan antara tingginya tekanan bola mata dan besarnya kerusakan sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa adanya tekanan bola mata di atas nilai normal akan diikuti dengan kerusakan diskus optikus dan gangguan lapang pandangan dalam beberapa tahun. Sebaliknya pada beberapa kasus, pada tekanan bola mata yang normal dapat juga terjadi kerusakan pada diskus optikus dan lapang pandangan. Oleh karena itu, definisi tekanan bola mata yang normal sangat sukar untuk ditentukan dengan pasti (Lisegang, et al., 2005).

Secara umum dinyatakan bahwa hanya sekitar 0.5%-2% per tahun terjadi kerusakan diskus optikus dan lapang pandangan selama pengamatan. Ironisnya, sebagian besar penderita glaukoma sudut terbuka primer hampir tidak pernah menyadari bahwa tekanan bola matanya mengalami peningkatan. Seringkali mereka baru menyadari setelah merasakan ada gangguan yang jelas terhadap tajam penglihatan atau penyempitan lapang pandangan. Liesegang juga menyatakan bahwa kenaikan tekanan bola mata, merupakan salah satu faktor resiko utama terjadinya glaukoma. Sementara hubungan antara TIO dengan kerusakan neuropati optik glaukoma merupakan hal yang fundamental untuk terapi glaukoma sudut terbuka primer, walaupun terdapat beberapa faktor lainnya (contohnya suplai darah pada nervus optikus, substansi toksis pada nervus optikus dan retina, metabolisme aksonal atau ganglion sel retina, dan matriks ekstraselular lamina cribosa) yang dapat memainkan

(5)

peranan dalam progresifitas neuropati optik pada glaukoma sudut terbuka primer. Sementara itu, nilai batas normal tekanan bola mata dalam populasi berkisar antara 10–21 mmHg. Menurut Sommer, nilai rerata tekanan bola mata yang normal adalah 16 mmHg (Soeroso, 2009).

b. Umur

Faktor bertambahnya umur memunyai peluang lebih besar untuk menderita glaukoma sudut terbuka primer. Vaughan (1995), menyatakan bahwa frekuensi pada umur sekitar 40 tahun adalah 0,4%–0,7% jumlah penduduk, sedangkan pada umur sekitar 70 tahun frekuensinya meningkat menjadi 2%–3% dari jumlah penduduk. Framingham Study dalam laporannya pada tahun 1994 menyatakan bahwa populasi glaukoma adalah sekitar 0,7% pada penduduk yang berusia 52–64 tahun, meningkat menjadi 1,6% pada penduduk yang berusia 65–74 tahun, dan 4,2% pada penduduk yang berusia 75–85 tahun. Keadaan tersebut didukung juga oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh Ferndale Glaucoma

Study pada tahun yang sama (Lisegang, et al, 2005).

c. Riwayat Keluarga

Glaukoma sudut terbuka primer juga dipengaruhi faktor keluarga. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa survei yang pernah dilakukan. Pada

Baltimore Eye Survey, resiko relatif glaukoma sudut terbuka primer

meningkat sekitar 3,7 kali pada seseorang yang memiliki kerabat menderita glaukoma sudut terbuka primer. Pada Rotterdam Eye Study,

(6)

yang memunyai riwayat keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama. Peneliti yang sama mengestimasikan bahwa resiko relatif untuk menderita glaukoma sudut terbuka primer sebesar 9,2 kali pada seseorang yang memiliki kerabat dekat yang menderita glaukoma sudut terbuka primer (Lisegang, et al., 2005).

d. Ras

Hipotesa yang menyatakan bahwa ras merupakan faktor resiko terjadinya glaukoma sudut terbuka primer berdasarkan data pada orang berkulit hitam memunyai prevalensi tiga kali lebih besar untuk menderita glaukoma sudut terbuka primer dibandingkan yang berkulit putih. Tetapi penelitian terbaru menyatakan bahwa glaukoma sudut terbuka primer ini banyak ditemukan pada populasi China dan Eskimo (Ritch, 1996).

2. 2. Patogenesis Neuropati Optik Glaukoma

Patogenesis glaukoma sampai saat ini masih belum jelas. Dada,et al (2006), menyatakan bahwa kerusakan syaraf optik tidak hanya oleh karena peningkatan tekanan intra okuli , tetapi penurunan aliran/perfusi darah dapat menyebabkan kerusakan syaraf optik. Selain itu faktor genetik, faktor metabolik dan faktor-faktor yang bersifat toksik seperti glutamat, NMDA, eksitotoksin, radikal bebas dan nitrix oxide juga berpengaruh terhadap kerusakan syaraf optik (Schwartz, 2003). Kerusakan syaraf optik pada glaukoma dapat dibagi atas 2 tipe yakni kerusakan neuron primer (primary neuronal damage) dan kerusakan

(7)

neuron sekunder (secondary neuronal damage) (Dada, et al., 2006; Schwartz, 2003)

1. Kerusakan Neuron Primer

Kerusakan neuron primer ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor mekanik dan faktor iskemik.

a. Faktor Mekanik

Menurut teori mekanis, TIO yang tinggi berperan menyebabkan kerusakan langsung pada nervus optikus dan akan mengubah struktur jaringan. Kenaikan TIO akan menghasilkan dorongan dari dalam ke luar

(inside-outside push) yang akan menekan lapisan laminar ke arah luar

dan meningkatkan regangan laminar serta meningkatkan regangan dinding sklera (Lewis, et al., 1993). Selain itu dengan meningkatnya TIO akan menyebabkan remodelling dan irregularitas matriks ekstraselular syaraf optik yang akan menurunkan mechanical support bagi serabut-serabut syaraf (Sihota, et al., 2006).

Peningkatan TIO juga dapat memblok aliran aksoplasma sehingga pengiriman growth factor esensial yang dihasilkan oleh sel target dari kollikulus superior dan korpus genikulatum lateralis ke papil syaraf optik akan turun (Dada, et al., 2006)

Selain itu, peningkatan TIO juga disebabkan oleh karena meningkatnya tahanan/ resistensi pada humor akuous. Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan bertambahnya resistensi pada outflow humor akuous, antara lain penyempitan ruang intertrabekular,

(8)

sel endotel trabekula. Keadaan tersebut secara fisiologis terjadi pada proses penuaan, tetapi pada glaukoma proses tersebut terjadi lebih progresif (Dada, et al., 2006)

b. Faktor Iskemik

Menurut teori iskemik, turunnya aliran darah di dalam lamina kribrosa akan menyebabkan iskemia dan tidak tercukupinya energi yang diperlukan untuk transport aksonal. Iskemik dan transport aksonal akan memacu terjadinya apoptosis (Lewis et al., 1993).

Pada hakekatnya kematian sel (apoptosis) dapat terjadi karena rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar ataupun dari dalam sel itu sendiri (bersifat aktif ataupun pasif). Kematian sel yang berasal dari dalam sel itu sendiri dapat terjadi melalui mekanisme genetik, yang merupakan suatu proses fisiologis dalam keadaan mempertahankan keseimbangan fungsinya. Proses kematian yang berasal dari luar sel dan bersifat pasif dapat tejadi karena jejas ataupun injury yang letal akibat faktor fisik, kimia, iskhemik maupun biologis (Chen, 2003). Pada proses iskemik, terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak dapat mengkompensasi perfusi yang kurang dan terjadi resistensi (hambatan) aliran humor akuous pada trabekular meshwork yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis, 1993).

Hipotesis lain yang mendasari teori ini adalah turunya perfusi aliran darah yang dapat menyebabkan akumulasi eksitotoksin seperti glutamat yang berakhir dengan kematian sel lebih lanjut. Fase iskemia yang diikuti dengan perbaikan pasokan darah juga dapat menyebabkan reperfusion

(9)

injury pada sel ganglion retina oleh karena adanya radikal bebas (Dada, et

al., 2006).

c. Reperfusion Injury

Reperfusion injury atau cedera reperfusi adalah kerusakan jaringan

yang disebabkan oleh kekurangan aliran darah ke jaringan setelah kurangnya pasokan oksigen (iskemia). Proses restorasi aliran darah ini secara paradoks akan menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut (Flammer, et al., 2002).

Saat terjadi proses reperfusi sel-sel endotel trabekular meshwork yang terpapar iskemia akan terjadi adhesi leukosit dan platelet yang akan menyebabkan permeabilitas sel endotel akan meningkat. Leukosit adherent tersebut juga akan melepas spesies oksigen reaktif (radikal bebas) dan bermacam sitokin yang mengakibatkan kaskade inflamatorik.

Pathway inflamatorik dan produksi radikal bebas saling bertumpang tindih

yang akan menimbulkan kerusakan yang lebih berat pada cedera reperfusi (Izzoti, et al., 2006).

Pada glaukoma sudut terbuka primer, tekanan oksigen pada jaringan selalu rendah. Turunnya tekanan ini biasanya ringan, tetapi selalu rekuren selama beberapa tahun. Reperfusi pada glaukoma sudut terbuka dapat terjadi pada penderita dengan tekanan intra okuli yang tinggi maupun tekanan darah yang rendah yang melebihi kapasitas dari autoregulasi, begitu juga pada penderita dengan tekanan intraokuli normal ataupun sedikit meningkat dan pada penderita dengan tekanan

(10)

darah normal ataupun rendah jika terjadi gangguan autoregulasi (Flammer. et al., 2002)

Reperfusi rekuren akan dapat menyebabkan stress oksidatif kronis terutama di mitokondria. Mitokondria sangat banyak pada syaraf optik yang disebabkan tingginya asupan energi pada area serabut-serabut mielin. Apabila terjadi reperfusi, maka mitokondria akan mendapat lebih banyak kerusakan dan supplai energi akan semakin berkurang. (Izzoti, et al., 2006)

2. Kerusakan Neuron Sekunder

Kerusakan neuron primer telah memicu pelepasan sejumlah faktor dari sel ganglion retina yang dapat menyebabkan kerusakan sekunder sel-sel sekitarnya. Istilah degenerasi neuron sekunder digunakan untuk neuropati progresif yang meluas di sekitar area neuron yang telah mengalami kerusakan sebelumnya. Kerusakan neuron sekunder ini merupakan akibat sejumlah proses yang dipicu oleh trauma dan juga oleh faktor-faktor yang bersifat toksis yang berasal dari kerusakan primer sebelumnya seperti glutamat eksitotoksin, radikal bebas dan nitrit oksida. Faktor-faktor toksik tersebut memicu serangkaian peristiwa yang menyebabkan apoptosis. Akibatnya kerusakan fungsional jaringan neuron berlanjut dan semakin berat sehingga hal inilah yang menyebabkan mengapa pada pasien glaukoma progresifitas pernyakit tersebut terus berlangsung meskipun TIO sudah terkontrol (Dada, et al., 2006). Menurut

(11)

glaukoma ada 3 parameter yang harus dinilai yaitu syaraf optik dan lapisan serabut syaraf retina, lapang pandangan dan tekanan intraokuli (Shaban & Demirel, 2009). Berdasarkan hal-hal tersebut maka diperlukan suatu neuroprotektif untuk meminimalkan dan mencegah degenerasi neuron sekunder (Schwartz, 2003).

2.3. Mekanisme Kerusakan Sel Ganglion Retina

Berdasarkan beberapa mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diasumsikan bahwa kerusakan sel ganglion retina akibat:

1. Hambatan dari outflow axoplasmic

Dinamika humor akuous sangat penting pada glaukoma karena ketidaksesuaian antara produksi humor akuous dan outflow aquous akan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli dan akhirnya akan mengakibatkan terjadinya glaukoma.

Humor akuous ini adalah cairan yang mengisi sudut bilik mata. Humor akuous ini diproduksi di nonpigmented epitel badan siliar. Badan siliar merupakan suatu struktur multifungsional yang terlibat langsung dalam proses produksi dan pengeluaran (outflow) humor akuous. Badan siliar juga bertanggung jawab untuk akomodasi, sekresi dan mempertahankan blood aquous barrier (Lisegang, et al., 2009).

Aliran humor akuous yang utama terletak pada trabekular meshwork. Apabila terjadi perubahan struktural dari trabekular meshwork akan mengakibatkan terjadi penebalan dari membran basal dan trabekular

(12)

pigmen granul yang akibatnya akan terjadi hambatan aliran humor akuous di trabekular meshwork sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokuli dan mengakibatkan terjadi glaukoma (Caprioli, 1992).

Selain itu, peningkatan kerusakan DNA oksidatif pada komponen selular di trabekular meshwork dapat melibatkan regulasi dari struktur matriks ekstraselular dan regulasi dari tekanan intraokuli sehingga dapat mencetuskan terjadinya glaukoma (Brubaker, 1994).

2. Eksitotoksisiti glutamat

Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik yang melimpah dalam sistem syaraf dan diaktivasi oleh bermacam reseptor spesifik. Pembagian reseptor glutamat berdasarkan atas dua tipe dasar yaitu jenis saluran ion

N-methyl D- Aspartate ( NMDA), Kainate dan Aminohidroksi

Metillisoksazole Propionic Acid (AMPA) dan jenis ligan yaitu G protein-coupled ‘metabotropic’ glutamat reseptor (mGluR) (Greenstein, 2000;

Wasman, 2007).

Fungsi reseptor NMDA adalah berkaitan dengan jenis saluran ion kation dimana ‘kation chanel’ memiliki permeabilitas terhadap Na+, K+, dan Ca2+. Saluran terbuka saat Glu berikatan pada reseptor dan aksi neurotransmitter dimodulasi oleh beberapa molekul lain. Glu membutuhkan glisin untuk berikatan dengan reseptornya. Aksi Glu dipotensiasi oleh poliamino dan modulasi blokade oleh Mg2+ ekstraseluler. Ketika membran sel mengalami depolarisasi, Mg2+ bergerak keluar dari saluran dan Glu terikat pada reseptornya dan saluran terbuka untuk dilalui

(13)

oleh Na+ dan Ca+

Secara fisiologis, reseptor NMDA bertanggung jawab terhadap signal neuron, ekspresi gen, plastisitas sinaptik, pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel. Eksitasi masif reseptor Glu khususnya pada reseptor NMDA menyebabkan kematian sel yang kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi Ca intraseluler yang meningkat berlebihan di dalam intrasel (Squire, 2008; Kahle & Frotsher, 2003).

. Jika konsentrasi glisin terlalu rendah kemampuan Glu membuka saluran akan berkurang ( Squire, 2008; Kahle & Frotscher, 2003).

Demikian juga halnya pada mata, eksitoksisitas sel-sel ganglion retina disebabkan oleh overstimulasi reseptor glutamat yang disebut

N-methyl-D-aspartat (NMDA). Eksitotoksin ini bekerja pada channel

NMDAR, terjadi perubahan permeabilitas dinding sel dengan meningginya kalsium dan sodium intrasel dan aktivasi kalsineurin. Akibat adanya pelepasan glutamat pada trauma, ion Na akan masuk ke dalam sel dan diikuti oleh ion Cl dan air, akibatnya sel membengkak. Hal ini merupakan fase akut pada trauma neuron. Selanjutnya pada fase kedua akan terjadi influx ion Ca2+ yang dapat mengganggu homeostasis ion Ca sendiri yang menyebabkan reaksi biokimia yang abnormal. Akibatnya terjadi pelepasan enzim cytotoksis seperti protease, endonuklease, dan lipase yang dapat merusak membran sel serta terjadi akumulasi radikal bebas yang akan mengganggu fungsi metabolik sel sehingga akan mengakibatkan gangguan berat fungsi normal sel (Kuehn, et al., 2005). Peningkatan jumlah glutamat dijumpai di korpus vitreous pada penderita glaukoma

(14)

yang jumlahnya cukup tinggi. Pada studi hewan coba, dilakukan pemeriksaan jumlah glutamat pada tikus yang menderita glaukoma dan didapati peningkatan jumlah glutamat 7 kali melebihi normal pada vitreous posterior. Sampai saat ini belum pasti apakah jumlah glutamat yang berlebihan pada vitreous ini menyebabkan kerusakan dari jaringan dan apakah jumlah glutamat yang berlebihan ini dapat menyebabkan progresifitas dari kerusakan sel-sel ganglion retina pada studi hewan coba tikus yang terpapar glaukoma (Kuehn, et al., 2005).

3. Radikal Bebas

Eksitotoksisitas dan stress oksidatif adalah dua proses yang berhubungan satu sama. Berdasarkan penelitian Gomberg dan ilmuwan lainnya, istilah radikal bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil, memunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya. Molekul tesebut bersifat reaktif dalam mencari pasangan elektronnya. Jika sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai dan menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya terus bertambah (Boveris, et al., 2000).

Oksigen yang kita hirup akan diubah oleh sel tubuh secara konstan menjadi senyawa yang sangat reaktif, dikenal sebagai senyawa reaktif oksigen yang diterjemahkan dari Reactive Oxygen Species (ROS) atau Spesis Oksigen Reaktif (SOR), satu bentuk radikal bebas. Peristiwa ini berlangsung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau proses detoksifikasi yang melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati. Produksi SOR secara fisiologis ini merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan

(15)

aerobik. Sistem defensif dianugerahkan terhadap setiap sel berupa perangkat antioksidan enzimatis. Antioksidan enzimatis endogen pertama kali dikenal dengan nama superoksida dismutase (SOD). Hanya dalam waktu singkat setelah teori tersebut disampaikan, ditemukan enzim-enzim antioksidan endogen lainnya seperti glutation peroksidase dan katalase yang mengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan oksigen (Boveris, et al., 2000).

Stres oksidatif (oxidative stress

• Kekurangan antioksidan

) adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum:

• Kelebihan produksi radikal bebas

Keadaan stress oksidatif membawa pada kerusakan oksidatif mulai dari tingkat sel, jaringan hingga ke organ tubuh, menyebabkan terjadinya percepatan proses penuaan dan munculnya penyakit.

Saat oksigen hilang dalam lingkungan mikro, sel akan mengalami kerusakan karena hipoksia, fosforilasi oksidatif mitokondria dan spesies oksigen reaktif (SOR) yang banyak terakumulasi. Akibatnya pertahanan dan jumlah oksidan akan berkurang sehingga terbentuk radikal bebas yang akan merusak membran sel yang akan bereaksi dengan low-density

lipoprotein (LDL)-cholesterol menjadi bentuk yang reaktif. Kerusakan

membran akan merubah potensial membran, aktivasi mediator proapoptotik dan terjadi kerusakan langsung pada DNA dan protein

(16)

(Scholp, et al., 2004). Endotelial retina merupakan sumber kedua terbesar

xanthine oxidase (XOD) dan cyclooksigenase (COX).

Pemahaman ilmiah tentang hubungan radikal bebas dengan antioksidan baru muncul pada tiga hingga empat dekade terakhir ini. Hingga kini, berbagai uji kimiawi, biokimia, klinis dan epidemiologi banyak mendukung efek protektif antioksidan terhadap penyakit akibat stress oksidatif (Boveris, et al., 2000).

Pada glaukoma, terjadinya kerusakan oksidasi DNA di trabekular meshwork akan menyebabkan terjadinya perubahan regulasi dari matriks ekstrasellular dan regulasi tekanan intra okuli sehingga menyebabkan terjadinya glaukoma. Sel endotelial trabekular meshwork ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada sitokin dan terjadi hambatan humor akuous ke kanalis sklemmi yang akhirnya mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intra okuli (Haefiger, et al., 2001).

Dalam satu penelitian, kerusakan DNA pada sel-sel trabekular meshwork pada penderita glaukoma lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan grup kontrol. Penelitian lebih lanjut meneliti bahwa nilai oxidative nucleotida modification (8-OH-dG) pada sel trabekular meshwork manusia berkorelasi dengan adanya peningkatan tekanan intraokuli dan kerusakan lapangan pandang (Flammer, 2002).

4. Toksisitas Nitrit Oksida

Nitrit oksida atau nitrogen oksida adalah suatu gas tak berwarna, tanpa oksigen dan larut dalam air. Gas nitrogen oksida dihasilkan dari asam amino L arginin oleh enzim nitric oxide synthesa dalam sel-sel

(17)

mammalia termasuk manusia dan berfungsi sebagai mediator biologis yang memungkinkan sel-sel berhubungan satu sama lainnya. Nitrogen oksida diproduksi oleh sel-sel endotelium yang berperan mengendalikan tonus pembuluh darah, aliran darah, tekanan darah, fungsi platelet, gerakan saluran pernafasan dan pencernaan. Nitrogen oksida dalam jumlah banyak terbentuk karena respon sistem imunitas untuk mempertahankan diri, tetapi dapat juga menimbulkan perubahan patofisiologis (Valiance & Coller, 1998).

Nitrit oksida juga berfungsi sebagai mediator pada proses fisiologis dan patofisiologis pada mata, contohnya pada pembentukan humor akuous, vascular tone, neurotransmisi retina, kematian sel-sel ganglion retina oleh karena apoptosis (Haefliger, 2002).

Pada mata, nitrit oksida dapat dijumpai di berbagai jaringan. Endotelial nitrit oksida sintesa dapat ditemukan pada endotel vaskular dan otot halus dari segmen anterior, koroid dan retina (Osborne, et al., 1993).

Pada segmen anterior, nitrit oksida mengatur respon selular pada konjungtiva, trabekular meshwork dan muskulus siliaris. Nitrit oksida juga berperan pada regulasi dinamika humor akuous dan pathway aliran humor akuous (Nathanson & Mc Kee, 1995).

Nitrit oksida memunyai efek terhadap progresifitas glaukoma. Pengurangan aktifitas dari nitrit oksida sintesa (NOS) di muskulus siliaris dan pathway dari outflow humor akuous dijumpai pada penderita glaukoma primer sudut terbuka. Keadaan abnormal ini dapat berhubungan dengan terjadinya glaukoma (Nathanson & Mc Kee, 1995).

(18)

Pada suatu studi, nitrit oksida sintesa (NOS2) dijumpai pada syaraf optik astrosit pada manusia dan pada syaraf optik tikus coba yang menderita glaukoma sedangkan pada yang normal tidak dijumpai. (Haefliger, 1999).

5. Apoptosis

Apoptosis pertama diidentifikasikan sebagai bentuk kematian sel berdasarkan kepada morfologinya. Penelitian mengenai insiden biokomiawi dan genetik merupakan prediksi dari peranannya dalam mengontrol sel yang ditentukan secara genetik dan alamiah sehingga kontrol genetik dan mekanisme biokimia dari apoptosis menjadi lebih dimengerti dalam perkembangan dan strategi terapi yang mengatur kejadian dalam proses penyakit (Carson & Riberto, 1993)

Tiga dekade terakhir ini, dua bentuk sel mati berbeda secara mendasar yaitu apoptosis dan nekrosis dan telah didefinisikan dalam istilah morfologi, biokimia dan insidennya. Dalam keadaan normal, sel-sel tubuh dapat memberikan respon atau adaptasi terhadap lingkungannya. Bila aktivitas yang dilakukan sel tersebut meningkat, atau stimulus yang diterimanya meningkat, maka untuk mencapai keseimbangan dalam merespon hal tersebut, sel akan mengalami hipertropi. Sebaliknya bila stimulus berkurang atau terjadi penurunan aktivitas sel, maka sel tersebut akan mengalami atropi (Cotran, 1999).

Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi

(19)

chromatin, fragmentasi sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya (Cotran, 1999).

Ada berbagai bukti yang menyatakan kontrol apoptosis dikaitkan dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus sel, diantaranya gen p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl-2. Gangguan regulasi dan proliferasi sel baik akibat aktivitas onkogen dominan maupun inaktivasi tumor

suppressor genes berhubungan dengan kontrol apoptosis. Dalam literatur

lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel yang didesain untuk menghilangkan sel-sel host yang tidak diinginkan melalui aktivasi serangkaian peristiwa yang terprogram secara internal melalui serangkaian produk gen (Goepel, 1996).

Pada hakekatnya kematian sel (apoptosis) dapat terjadi karena rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar ataupun dari dalam sel itu sendiri (bersifat aktif ataupun pasif). Proses kematian yang berasal dari luar sel dan bersifat pasif dapat tejadi karena jejas atau injury yang letal akibat faktor fisik, kimia, iskemik maupun biologis (Chen, 2003). Faktor-faktor toksik ini yang akan memicu terjadinya apoptosis. Pada proses iskemik, terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak dapat mengkompensasi perfusi yang kurang sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis, 1993).

Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kematian/kerusakan sel-sel ganglion retina pada glaukoma adalah apoptosis. Apoptosis ini dapat dipicu oleh kombinasi faktor biokimia yang diproduksi sebagai hasil akhir peningkatan TIO dan penurunan perfusi.

(20)

Maka idealnya secara terapeutik pada glaukoma, kita menginginkan untuk menurunkan kematian/kerusakan syaraf optik akibat peningkatan TIO dan penurunan perfusi lebih lanjut dan menurunkan tekanan intraokuli.

2.4. Progresifitas glaukoma

Kejadian penyakit neurologis termasuk glaukoma dapat menyebabkan kerusakan neuron primer maupun kerusakan neuron sekunder. Kerusakan ini dapat berlanjut terus atau merupakan hasil sekunder akibat kejadian iskemik, eksitotoksisiti glutamat, radikal bebas dan nitrik oksida sehingga progresifitas glaukoma terus berlanjut yang akhirnya mengakibatkan apoptosis.

Menurut Shaban & Demirel, et al, 2009, dalam menilai progresifitas glaukoma sudut terbuka primer ada 3 penilaian klinis (parameter) yang harus dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan syaraf optik dan lapisan serabut syaraf retina

Pada glaukoma sudut terbuka primer dijumpai asimetris dari

neuroretinal rim atau cupping, ekskavatio neuroretinal rim, perdarahan

syaraf optik. Saat ini dengan kemajuan tekhnologi digunakan satu alat yang dinamakan OCT (Optical Coherence Tomography) yang dapat menilai sel-sel ganglion retina dan syaraf optik.

Optical Coherence Tomography (OCT) adalah alat bantu diagnostik

non kontak, non invasif dan tidak memerlukan imersi, menampilkan irisan jaringan hidup, yang beroperasi dengan prinsip inferometri menggunakan sinar inframerah koherensi rendah sekitar 40Um dengan panjang

(21)

gelombang antara 800-830 nm, yang diserap oleh jaringan tertentu, dilengkapi dengan kamera khusus untuk menangkap refleksi sinar dan menghasilkan image atau bayangan dari jaringan histologis dengan resolusi tinggi (Bancato & Lumbroso, 2004). Kehadiran OCT telah terbukti sangat berguna dalam membantu menegakkan diagnosa, evaluasi, penatalaksanaan berbagai kelainan mata dan juga penelitian.

Di bidang ilmu kesehatan mata, OCT banyak membantu menegakkan diagnosa, pemantauan terapi, pemantauan perjalanan penyakit, dokumentasi serta penjelasan kepada pasien di bidang glaukoma, retina dan kornea (Hong&Sun, 2010). OCT ini dapat menguraikan lapisan demi lapisan serabut syaraf tanpa efek samping yang merugikan. Stratus OCT memiliki resolusi aksial yang lebih tinggi sekitar 9 sampai 10 mikron pada jaringan.Sistem Stratus dapat menghasilkan gambar OCT yang sangat mendetail dari retina. Stratus OCT ini memliki sensitivitas lebih dari 80% dan spesifisitas lebih dari 95%. (Christoph&Hitzenberger, 2003). Di bidang glaukoma, OCT sangat membantu dalam menegakkan diagnosa, mengetahui derajat keparahan kerusakan papil syaraf optik dan kerusakan lapisan serabut syaraf retina akibat glaukoma dan menjadi alat screening yang andal dan sahih untuk glaukoma pra perimetrik yang mampu mendeteksi kerusakan 5 tahun lebih awal ( Dexter & Barton, 2011).

Dewasa ini OCT adalah teknik pilihan untuk memeriksa dan mengukur lapisan serabut syaraf retina yang dapat dijadikan marker terhadap degenerasi aksonal dan untuk pemantauan pengobatan

(22)

neuroprotektif (Zaveri, et al., 2008). Analisis diskus optikus pada Stratus OCT yang dilakukan berdasarkan Fast Optic Disc Scan dan Fast Macular

Thickness ( Fast Macular Map dan Fast Retinal Nerve Fiber Layer 3,4 Thickness) .

Pemeriksaan tersebut menggunakan 6 garis berukuran 4 mm untuk mendapatkan data cross sectional dari diskus optikus. Analisis ONH berguna untuk memeriksa dan mengukur syaraf optik dari masing-masing 6 scan tersebut secara tunggal maupun berbarengan.Hasil analisis terdiri dari gambaran tunggal atau gambaran gabungan dari hasil semua scan. Algoritme mendeteksi dan memperlihatkan lokasi bagian atas dan dalam RPE pada setiap sisi diskus optikus. Titik referensi diskus diindikasikan dengan gambaran silang di dalam lingkaran yang berwarna biru, dimana sebuah garis yang menghubungkan titik-titik referensi tersebut merupakan diameter diskus. Reference plane (garis offset cawan) ditentukan oleh sebuah garis yang paralel terhadap garis diameter diskus dengan offset 150 Um ke anterior (garis putih). Luas rima neuroretina (daerah merah) pada potongan melintang diestimasikan oleh luas yang dibatasi reference

plane sebagai batas posterior dan garis yang tegak lurus terhadap ujung

diameter diskus sebagai batas lateral. Lebar syaraf optik pada diskus (garis kuning) di masing-masing sisi ditandai dengan garis lurus dari setiap titik referensi ke titik yang paling dekat pada permukaan anterior. Analisis data dilakukan terhadap masing-masing scan dan disatukan manjadi hasil pengukuran ONH gabungan termasuk volume lebar rim keseluruhan (integrasi dari luas rim vertikal pada potongan melintang),

(23)

lebar rim keseluruhan (dikalkulasikan berdasarkan integrasi dari rata-rata lebar syaraf pada diskus), luas diskus, luas cawan, luar rima (luas rim-luas cawan), rasio cawan diskus vertikal, horisontal dan rasio luas, dan volume cawan (Bowd, et al., 2000).

Analisis selular OCT juga mampu menampilkan lapisan demi lapisan potongan melintang area sekitar papil 360 derajat dengan resolusi tinggi. Analisis numerik ketebalan LSSR mengacu kepada “ISNT rule” atau inferior, superior, nasal dan temporal rule yang merupakan acuan standar yang digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda awal dari neuropati optik. Struktur seluler LSSR kuadran superior dan inferior adalah yang paling sensitif terhadap perubahan tekanan bola mata dan cenderung menjadi indikasi awal terjadinya glaukoma dan menjadi tanda glaukoma pre perimetrik yang belum terdeteksi oleh pemeriksaan lapangan pandang. Namun ketebalan kuadran lainnya juga memberikan arti penting dalam fungsi penglihatan yang juga perlu dicermati (Kaushik & Pandav, 2010). Dalam melakukan pemeriksaan OCT, salah satu yang harus diperhatikan adalah kejernihan optik. Wong, et al., (2010), melaporkan bahwa kekeruhan media optik dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan OCT. Kekeruhan media yang ada dapat menurunkan kekuatan sinyal optik sinar OCT. Kekuatan sinyal berkisar 0 hingga 10. Sinyal dibawah 6 menandakan hasil pengukuran yang kurang sahih dan kurang terpercaya. Maka kekuatan sinyal adalah hal yang penting yang harus diperhatikan dalam interprestasi hasil pemeriksaan (Lumbroso & Rispoli, 2009).

(24)

Gambar 2.1. Gambar Stratus OCT

2. Pemeriksaan lapang pandangan

Pada glaukoma sudut terbuka primer dijumpai adanya kerusakan lapang pandangan. Lapang pandangan monokular berbentuk ellips, meliputi 60 derajat di superior, 75 derajat di inferior, 60-65 derajat di nasal dan 100-110 derajat di temporal. Luas lapang pandangan binokular meliputi 180 derajat melewati garis horizontal, 120 derajat bagian tengah dapat dilihat secara simultan oleh kedua mata, sedangkan 30 derajat di bagian perifer hanya dilihat oleh satu mata. Hilangnya lapang pandangan tidak bersifat spesifik karena ada kelainan lain yang dapat menyebabkan hilangnya lapang pandangan, namun pola hilangnya lapang pandangan, progresifitas dan korelasinya dengan perubahan optik disk merupakan karakteristik dari glaukoma. Hilangnya lapang pandangan pada glaukoma terutama melibatkan 30 derajat sentral dari lapang pandangan.

3. Pengukuran tekanan intraokuli

Tekanan intraokuli normal berkisar 10-21 mmHg. Berdasarkan

American Academy of Ophthalmology, tekanan intraokuli pada glaukoma

(25)

Pada glaukoma sudut terbuka primer untuk menentukan sudut bilik mata maka dilakukan pemeriksaan sudut bilik mata dengan menggunakan gonioskopi, dijumpai sudut bilik mata terbuka (Lisegang, et al., 2010).

Dewasa ini para peneliti tertarik kepada petanda spesifik kerusakan syaraf optik untuk mengetahui patogenese, diagnosa dan kejadian neurologis. Sampai saat ini ada beberapa petanda biokemis pada glaukoma, antara lain:

a. Glutamat eksitotoksisiti

b. Petanda stress oksidatif: Malonildialdehyde (MDA)

c. Redox Enzyme: Catalase, Gluthathion Peoxidase (GPx), Superoxide Dismutase (SOD)

d. Nitrix Oxide (NO)

e. Petanda kematian sel : TNF f. Petanda inflamator : Interleukin 6

g. Petanda stress protein selular : Heat Shock Protein (HSP 70)

2. 5. Stress Oksidatif Marker Malonildialdehyde (MDA)

1. Sumber-sumber penghasil radikal bebas

Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologis normal, namun pelepasannya meningkat pada saat iskemia, reperfusi, reaksi inflamasi dan penyakit neurodegeneratif. Sumber-sumber endogen terbentuknya radikal bebas meliputi sistem NADPH oksidase, reaksi fosforilasi oksidatif, enzim oksidasi dan metabolisme arakhidonat, sedangkan sumber

(26)

eksogen terbentuknya radikal bebas adalah radiasi ionisasi, merokok, paparan polutan dan sinar ultraviolet (Droge, 2002, Young, 2001).

Stress oksidatif adalah ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan, dimana produksi radikal bebas melebihi kemampuan penghambat radikal alamiah atau mekanisme scavenging (pembersih). Mekanisme penghambat radikal bebas terdiri dari antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen terdiri dari superoksid dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx), katalase, sedangkan antioksidan eksogen terdiri dari vitamin C, betakaroten dan vitamin E (Block, et al., 2002).

Gambar 2. 2: Sumber eksogen dan endogen radikal bebas (Droge, 2002; Young, 2001).

Faktor lain yang sangat berbahaya pada stress oksidatif adalah kandungan PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi hampir 50% dari

(27)

struktur jaringan otak. Jaringan otak mengandung asam askorbat 100 kali lipat dibandingkan dengan pembuluh darah perifer, tetapi memunyai enzim katalase, gluthation peroxidase yang lebih rendah daripada jaringan lainnya, yang dapat meningkatkan terjadinya resiko stress oksidatif. Radikal bebas merusak sel dengan bereaksi dengan makromolekuler sel melalui proses peroksidase lipid, oksidase DNA dan protein (Block, et al., 2002).

Kerusakan pada DNA baik disebabkan radikal bebas maupun peroksinitrit mengakibatkan terbentuknya single strand break DNA dan struktur ini akan mengaktifasi poli ADP ribose polimerase (PARP). Aktifasi PARP mengakibatkan berkurangnya adenin nukleotida yang akan menghambat fungsi mitokondria, sehingga terjadi penurunan ATP sel dan mengakibatkan kematian sel. PARP juga dapat mengaktivasi apoptotic

inducing factor (AIF) di mitokondria. Mekanisme ini juga didukung dengan

berkurangnya infark pada otak tikus yang diterapi dengan PARP inhibitor. Oksidasi protein oleh radikal bebas membentuk karbonil grup atau disulfid, dan juga sebagai reduktan, menyebabkan formasi S-H dari ikatan S-S. Kerusakan pada protein terutama bentuk enzim akan mengganggu fungsinya (Lipton, et al., 1999).

(28)

Gambar 2. 3: Metabolisme asam arakhidonat dan peroksidase lipid (Lipton, et al., 1999)

2. MDA sebagai hasil utama peroksidasi lipid akibat stress oksidatif PUFA yang banyak terdapat pada membran sel menjadi target utama oksidan, karena sangat rentan terhadap terjadinya autokatalisis peroksidasi. Pada kondisi suhu fisiologis abstraksi ion H selama fase propagasi jauh lebih siap pada bentuk PUFA daripada monosaturated

lipids. Hal ini terjadi akibat terlepasnya ikatan dengan menggunakan

energi yang rendah sebesar ~ 10 kcal/mol dibanding bentuk yang

monosaturated. Adanya ikatan ganda pada jembatan metilen (-CH2-) grup

pada PUFA membuat lemah ikatan C-H pada atom karbon dan memfasilitasi lepasnya atom hidrogen. Peroksidasi lipid merupakan rangkaian reaksi yang terjadi dalam 3 fase (Favier, et al., 1995).

(29)

Diawali dengan fase inisiasi, terjadi abstraksi ion H dari ikatan C-H lipid dengan paparan oksidan dan terbentuk carbon centred lipid radical. Kemudian diikuti dengan fase propagasi yang merupakan bagian yang kompleks dimana radikal lipid dengan cepat mengalami penggabungan dengan O2 dan terbentuk radikal peroksid. Reaksi kedua pada fase ini membuat peningkatan jumlah yang dramatis sehubungan dengan adanya abstraksi ion H dari lipid oleh radikal peroksid membentuk lipid hidroperoksidase. Penggabungan O2 dengan lipid radikal yang baru terbentuk menambah jumlah peroksidasi membran lipid. Akhirnya rangkaian peroksidase berakhir dengan satu atau lebih reaksi terminasi (Burcham, 1998). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini.

(30)

Gambar 2. 4: Tiga fase reaksi berantai peroksidase lipid (Burcham, 1998) .

Alternatif lain, propagasi radikal akan bereaksi dengan pembasmi radikal dan terbentuk non propagasi radikal yang terjadi akibat adanya transfer dari elektron yang tidak berpasangan pada antioksidan. Tergantung struktur kimia prekusor lipid, berbagai produk terbentuk

(31)

selama fase propagasi dan teminasi. Hasil dari radikal asam lemak lebih stabil dengan terbentuknya diene terkonjugasi, kemudian diikuti terbentuknya produk yang lebih stabil seperti hidroperoksida, alkohol, aldehid dan alkane. Banyak dari produk ini ditemukan dalam cairan tubuh. Kelompok karbonil yang terbentuk pada proses peroksid lipid berupa n alkenals (propanal, butanal, pentanal, heksanal dll), 2-alkenal (acrolein, pentenal, heksenal dll), 2-4 alkadienals (heptadienal, oktadienal, dekadienal), 4-hidroksi- 2,5-undekadienal, 5- hidroksi oktanal, 4-hidroksi-2 alkenals, dan malondialdehid. Komponen utama yang ditemukan dalam sampel biologis pada berbagai kompartemen cairan tubuh adalah MDA, heksanal, dan HNE (Favier, et al., 1995).

Produk peroksidasi lipid diinduksi oleh oksidan dan stres oksidatif menghasilkan produk dengan variasi yang luas, termasuk RCCs (

Reactivecarbonyl compounds) dan produk yang lebih stabil seperti keton

dan alkane. RCCs seperti aldehid dan dikarbonil, termasuk hidroksialkane, akrolein, MDA, glyoxal dan methylglyoxal, sebagai komponen biologis yang banyak dibahas. Aldehid bereaksi dengan protein pada sel dan jaringan dan terbentuk adducts protein termasuk dalam kelompok ALEs (advanced peroxidation end products) yang akan menyebabkan disfungsi protein dan perubahan respon seluler. Kadar oksidasi dan bentuk adduct

protein dalam kondisi fisiologis menjadi rendah dan meningkat dengan

bertambahnya umur (Salvayre, et al., 2008), seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.5.

(32)

Gambar 2.5: Tahapan skematis peroksidase lipid yang menghasilkan bentuk produk sekunder dan adducts formations (Salvayre et al., 2008).

MDA merupakan hasil utama peroksidasi asam arakhidonat, eicosapentaenoic dan docosahexaenoic. HNE juga merupakan produk yang dihasilkan oleh proses peroksidasi pada 2 PUFA yang banyak didapatkan (asam arakidonat dan linoleat), namun jumlah yang dihasilkan lebih sedikit dibanding MDA. Dimana produksi HNE 80 kali lebih rendah dibanding MDA pada beberapa sistem. MDA juga terbentuk selama biosintesis eicosanoid biosintesis, seperti pada metabolisme prostaglandin H2 oleh tromboksan atau prostasiklin (Burcham, 1998). Lipid

(33)

hidroperoksida dan aldehid juga dapat diabsorbsi dari makanan, dimana beberapa makanan yang mengandung MDA amino acid adduct dapat diabsorbsi melalui usus dan diekskresi lewat urin (Halliwel, 2004)

Efek sitotoksik pada kultur sel (pada sel fibroblas dan endotelial) berturut-turut berkurang decadinal> hidroperoksida asam linoleat> 2,4-non adienal> HNE> 2 alkena(C6 – C9) > alkanals(C5,C6). Formaldehid, asetaldehid dan MDA memunyai toksisitas lemah. Sebagai contoh fibroblas kulit yang diberi paparan 120 – 100mmol MDA tidak mengalami lisis, tetapi mereka menunjukkan perubahan morfologi, mikro dan multinuklear, pengurangan DNA, RNA dan sintesis protein (Esterbauer, 1993).

Gambar 2. 6: Rumus bangun MDA

Kadar MDA diukur dengan menggunakan spektrofotometri. Kadar MDA dapat diperiksa baik di dalam plasma, jaringan maupun urin. Kadar MDA pada orang normal kurang dari 1,03 nmol/ml dan 2 kali nilai tersebut adalah patologis

3. MDA sebagai petanda biologis stres oksidatif

Menurut NIH Biomarker Working Group (1998), definisi penanda biologis adalah suatu karakteristik yang bisa diukur dan dievalusi sebagai indikator proses biologis normal, proses patologis dan respon

(34)

WHO International Programme on Chemical Safety (ICPS) memberikan definisi sebagai suatu substansi, struktur atau proses yang dapat diukur pada tubuh dan produk-produk tersebut dapat berpengaruh atau memprediksi insiden keluaran atau penyakit. Sebagai prediktor suatu penyakit harus memunyai validitas berupa sensitifitas, spesifisitas dan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor tambahan lainnya seperti tidak invasif dan reproducible (Donne, et al., 2006).

Validasi petanda biologis membutuhkan beberapa tahapan yang berbeda. Satu tahapan yang meliputi pengembangan prosedur, analisis referensi material, dan kontrol kualitas. Tahapan yang lain dengan melihat adanya perubahan konsentrasi petanda biologis menyebabkan perkembangan penyakit. Perkembangan terakhir mengenai petanda biologis, belum didapatkan yang memenuhi semua persyaratan yang ideal, hanya didapatkan yang satu lebih baik dari yang lainnya. Banyak petanda biologis stress oksidatif dan status antioksidan telah dievaluasi, tetapi hanya sedikit dilakukan validasi untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas secara sistematis dengan menggunakan model hewan coba (Donne, et al, 2006).

BOSS (Biomarker oxidative Stress study) tahun 2002, merupakan penelitian terakhir yang secara lengkap dilakukan, yang disponsori dan diorganisir oleh National Institute of Environmental Health Sciences (NIEHS) di Amerika Serikat, yang merupakan penelitian komprehensif pertama untuk menilai beberapa marker stress oksidatif dengan model

(35)

yang sama untuk menentukan petanda biologis yang tidak invasif, memunyai spesifisitas, sensitifitas dan selektifitas terbaik. Dengan model pada hewan coba tikus yang diberikan CCl4 yang dapat menginduksi terbentuknya kerusakan jaringan akibat radikal bebas. Efek kerusakan yang dilihat dari produk hasil peroksidasi lipid, protein dan DNA diukur dari sampel plasma darah dan urin, dan dinilai hubungan dengan dosis dan waktu. Berbagai substansi yang diteliti meliputi lipid hidroperoksida,

thiobarbituric acid reactive substancector (TBARS), MDA, isoprostan,

protein karbonil, 8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OhdG), leukocyte

DNA-MDA adduct dan DNA strand break. Peneliti menyimpulkan kadar plasma

MDA, kadar isoprostan dalam plasma dan urin, sebagai petanda biologis stress oksidatif yang reliabel (Kadiska, et al., 2005).

MDA dan 4 hydroxynonenal (HNE) merupakan produk utama hasil oksidasi PUFA dan MDA merupakan salah satu yang paling sering digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid. MDA juga digunakan secara luas sebagai petanda biologik stress oksidatif, sensitif, dan bisa digunakan pada penelitian dalam jumlah besar. MDA merupakan produk peroksidasi lipid yang relatif konstan terhadap proporsi peroksidasi lipid, oleh karena itu merupakan indikator yang tepat untuk mengetahui kecepatan (rate) proses peroksidasi lipid in vivo (Block, at al., 2002).

TBARS (thiobarbituric acid reactive substancector) pada tubuh manusia bukan produk yang spesifik. TBARS dapat bereaksi dengan aldehid yang lain termasuk MDA. Dengan metode HPLC/mass spektrofotometri yang dapat memisahkan ikatan MDA - TBA dengan

(36)

kromogen pengganggu lainnya, sehingga akan meningkatkan sensitifitas, spesifitas dan reproducibility. Derivat ketiga spektrofotometri akan mengeliminasi interferensi substansi lain (alkana, 4-hidroksinonenal dan komponen biologis lain) (Donne, et al., 2006).

4. MDA dan glaukoma

Mekanisme oxidation-reduction memunyai peranan yang penting pada mata. Radikal bebas dapat menyebabkan perubahan molekuler yang besar pada mata terutama pada glaukoma, katarak, age related

macular degeneration (Moteno, et al., 2004).

Pada glaukoma, terjadinya peningkatan tekanan intraokuli dan kerusakan lapang pandangan dikatakan berhubungan dengan terjadinya kerusakan oksidatif DNA pada trabekular meshwork. Penemuan ini dapat dijadikan sebagai dasar bahwa stress oksidatif berhubungan dengan patogenese terjadinya glaukoma (Sacca, et al., 2007).

Salah satu radikal bebas yang dapat dijadikan sebagai biomarker pada glaukoma adalah MDA. Menurut penelitian Ate, et al, (2005), terjadi peningkatan nilai plasma MDA pada penderita glaukoma dibandingkan grup kontrol dimana pada grup studi nilai MDA 6,88 ± 0,96 nmol/ml dan pada grup kontrol 2,94 ± 0,26 nmol/ml (p=0,001), sedangkan nilai plasma katalase dan myeloperoksidase tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dengan grup kontrol (p=0,919) (Ate, et al., 2005).

Penelitian Ghanem, et al, (2010), yang menilai hubungan stress oksidatif marker dengan severity dari glaukoma ternyata pada humor

(37)

akuous penderita glaukoma dijumpai nilai MDA yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan terjadi korelasi positif antara nilai MDA yang tinggi dengan rusaknya lapang pandangan (Ghanem, et al, 2010).

Berdasarkan penelitian Faschinger, et al, (2006), terdapat korelasi positif nilai MDA pada serum dengan humor akuous pada penderita glaukoma sudut terbuka dimana tidak terjadi perbedaan bermakna antara nilai MDA humor akuous dengan serum dan plasma.

2.6. Redox Enzyme Gluthathion Peroxidase 1. Gluthathion

Gluthathion (glutamilcysteinglisin) adalah tripeptida yang terdiri atas

asam glutamat, sistein dan glisin. Senyawa ini dalam bentuk tereduksi ditulis sebagai GSH. Dalam keadaan teroksidasi, 2 molekul glutation terikat melalui ikatan –S-S- dan ditulis GSSG (Meister, 1995).

Gluthathion disintesis di sitosol oleh enzim y-glutamilsistein

sintetase dan GSH sintetase. Mekanisme transport glutation ke dalam matriks mitokondria terjadi melalui sistem transport yang berafinitas tinggi dan dirangsang oleh ADP dan ATP. Mitokondria hati dan ginjal mengandung 15% dari glutation total dalam sel. Konsentrasi glutation lebih tinggi di mitokondria dibandingkan di dalam sitosol (10mM vs 7 mM) (Meister, 1995).

Oksidasi GSH menjadi bentuk GSSG terjadi secara nonenzimatik dan secara enzimatik melalui kerja enzim glutation peroksidase. Konsentrasi GSSG dipertahankan agar tetap rendah di dalam sel

(38)

(5-50uM). Reduksi GSSG terjadi melalui kerja enzim glutation reduktase yang memerlukan NADPH. Peristiwa ini dapat terjadi di sitosol dan mitokondria. Dibawah kondisi stress oksidatif, GSSG keluar dari mitokondria dan melewati membran sel mitokondria (Reed, 1995).

Pada keadaan normal, mitokondria menghasilkan ROS, 2-5% dari ROS tersebut yang digunakan oleh mitokondria akan mengalami konversi melalui kerja superoksida dismutase menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Pada kondisi fisiologis, ROS yang terbentuk akan dinetralkan melalui kerja enzim glutation peroksidase. Akan tetapi apabila terjadi deplesi glutation, ROS yang terbentuk akan berakumulasi dan dapat menyebabkan kerusakan pada mitokondria. Kerusakan mitokondria diperlihatkan dengan terjadinya penurunan sitrat sintesa sampai 80% dan menyebabkan disintegrasi membran mitokondria. Deplesi glutation pada mitokondria dapat menyebabkan hilangnya viabilitas sel yang dilihat dengan adanya peningkatan pelepasan laktat dehidrogenase atau peroksidase lipid (Richter, et al., 1995).

2. Gluthathion peroxidase

Gluthathion peroxidase ini merupakan suatu enzim yang memiliki

selenosistein pada tempat aktifnya dan tergantung selenium untuk aktifitasnya. Gluthathion peroxidase ditemukan di sitosol dan mitokondria pada sejumlah jaringan. Enzim ini mereduksi hidrogen peroksida (H2O2). Tappel melaporkan bahwa enzim glutation peroksidase hanya spesifik

(39)

terhadap hidroperoksida dengan struktur ROOH dan aktivitasnya rendah terhadap ROOR (Awasthi & Beutler, 1995)

2 GSH + ROOH H20 + GSSG + ROH

Gluthathion peroxidase pertama kali dideteksi oleh Mills pada tahun

1957 dalam eritrosit dan berfungsi melindungi hemoglobin dari pemecahan oksidatif. Sel darah merah diketahui menghasilkan hidrogen peroksida melalui reaksi antara asam askorbat dan oksihemoglobin dan dekompensasi anion oksigen oleh superoksida dismutase (Kayatama, et al., 1997).

Gluthathion peroxidase terdiri atas 4 subunit protein, tiap unit

mengandung satu atom selenium (Se) pada tempat aktif (active site). Selenosistein adalah asam amino sistein yang sulfurnya diganti oleh selenium (R-Se-H menggantikan RSH). Selanjutnya selenol (ikatan antara protein-Se) bereaksi dengan peroksida menghasilkan asam selenonat (protein-SeOH) (Halliwel, 1998).

Protein-Se+ROOH+H ROH+Protein-SeOH Kemudian diikuti dengan ikatan GSH

Protein-SeOH-GSH H2O+Protein-Se-SG Diikuti ikatan kedua dengan GSH

Protein-Se-SG-GSH Protein-Se-GSSG Protein-Se+H+GSSG

(40)

2. 7. Penatalaksanaan

Tujuan utama pada pengobatan glaukoma adalah untuk melindungi fungsi penglihatan dengan cara mencegah kerusakan dari syaraf optik lebih lanjut dan menurunkan tekanan intraokuli. Pengobatan glaukoma biasanya dimulai dengan pemberian obat tunggal yang tergantung pada tekanan intraokuli awal. Bila pemberian obat tunggal tidak berhasil maka digunakan kombinasi beberapa obat. Bila dengan kombinasi obat juga tidak berhasil dilakukan bedah laser dan terapi pembedahan ataupun gabungannya. Mengingat setiap obat memunyai efek samping lokal maupun sistemik dan kemampuan penderita yang berbeda-beda maka diperlukan acuan yang rasional agar tercapai kepuasan dalam kualitas hidup. Acuan yang rasional adalah suatu target pressure dimana diharapkan penurunan tekanan intraokuli > 20% dari garis batas tekanan intra okuli yang dianggap normal. Obat-obatan ini dalam menurunkan tekanan intraokuli harus memunyai aksi pada dinamika akuous humor. Mekanisme kerja obat-obat ini dapat melalui salah satu dari ketiga jalur yakni (Skuta, et al., 2010, Ritch, 1996).

• Menurunkan produksi humor akuous

• Menaikkan aliran humor akuous melalui jalur trabekula

• Menaikkan aliran humor akuous melalui jalur uveosklera Selain untuk menurunkan tekanan intraokuli, sehubungan dengan patogenese glaukoma saat ini yang berhubungan dengan kerusakan syaraf optik, maka dicoba penggunaan neuroprotektif yang dikatakan dapat bermanfaat untuk memperbaiki kerusakan dari syaraf optik dan

(41)

sekaligus sebagai antioksidan (Schwartz, 2003). Pendekatan neuroprotektif melalui beberapa teori yakni :1) mencegah apoptosis dengan cara menghambat TNF dan aktivitas caspase, 2) menghambat Ca yang berlebihan, dan 3) menghambat toksisitas nitric oxide dan menghambat radikal bebas (Ritch, 1996). Dalam penelitian ini yang digunakan adalah ginkgo biloba

2.8. GINKGO BILOBA

Ginkgo biloba adalah satu dari spesies tanaman yang tertua dan daunnya sering digunakan sebagai studi percobaan sampai saat ini. Tidak seperti tanaman herbal lainnya, ginkgo biloba dibuat dalam bentuk ekstrak ginkgo biloba yang dipersiapkan dari daun-daun hijau yang sudah mengering. Di Amerika dan Eropa, suplemen ginkgo ini merupakan jenis obat herbal yang paling laku (Ernst, 2001)

Di dataran China, ekstrak ginkgo biloba telah dikenal terlebih dahulu dan digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk mengobati penyakit sirkuler dan menambah ingatan. Dikatakan bahwa ekstrak ginkgo biloba efektif untuk mengobati penyakit dengan penurunan aliran darah ke otak terutama pada usia tua. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak ginkgo biloba dapat meningkatkan sirkulasi aliran darah dengan adanya dilatasi pembuluh darah (Diamond, 2000).

Lebih dari 40 komponen yang terdapat dari pohon ginkgo biloba, tetapi hanya 2 komponen yang bermanfaat sebagai herbal yaitu flavonoids dan terpenoid. Komposisi flavonoid yang utama adalah quercetin,

(42)

khaemferol dan isorhamnetin (Jutetzek, 1997). Struktur komponen ginkgo biloba diperlihatkan pada hal berikut.

Struktur akan diperlihatkan pada Gambar 8, 9, 10 dibawah ini

Gambar 2.8 : Structure of ginkgolides

(43)

Gambar 2.10: Structure of Quercetin, Kaempferol & Isorhamnetin

Ekstrak daun ginkgo biloba ini kaya akan air-aseton atau air-ekstrak etanol. Standartnya, ginkgo biloba terdiri 22-27% flavon-glikosida, 5-7% terpene lakton (2,8-3,4% terdiri atas ginkgolide A, B, C dan 2,6-3,2% terdiri atas bilobalide) dan kurang dari 5 mg/kg terdiri atas asam ginkgolik (Juretzek, 1997).

Dikatakan bahwa ginkgo biloba dapat melewati sawar darah otak. Sawar darah otak terbentuk dari sel-sel endotel kapiler. Sistem syaraf pusat dipisahkan dari sirkulasi sistemik oleh sel endotel kapiler, sel epitel pleksus koroid dan lapisan araknoid. Permukaan area yang luas di kapiler otak menyebabkan hubungan yang lebih ekstensif antara darah dan otak. Kapiler memiliki lapisan tunggal sel endotel yang dikelilingi lamina basalis

(44)

terdapat tight junction yang berfungsi mempertahankan integritas sawar darah otak (SDO) dan sawar otak liquor serebrospinalis (Milburry, 2009).

Tatap muka SDO menyediakan satu sawar untuk mempertahankan keseimbangan osmotik dan elektrolit. Kemampuan molekul untuk menyeberang SDO tergantung dari kelarutan molekul dalam lemak, ukuran molekuler, bentuk dan karakter ikatan protein. SDO juga berperan pada mekanisme efflux aktif yang mengatur kelarutan substrat melalui kemampuan pelarutan di lemak dan berdasarkan berat molekul suatu zat. Dikatakan bahwa flavonoids dan substratnya dapat mengubah sawar darah otak dan masuk ke sistem syaraf pusat yang tergantung dari sifat lipofiliknya dan polaritasnya (Greenstein, 2000).

Pada satu studi invitro terdapat dua aspek interaksi antara molekul flavonoid dan sawar darah otak yaitu masukan/uptake dari flavonoids dan glukoronid pada sel endotelial otak (END5 dan RBE 4) dan kemampuan permeabilitas melewati sawar darah otak secara invitro (ECV 304 cells co-cultured dengan C6 sel-sel glioma). Kedua sel endotelial otak ini diterapi dengan campuran hesperetin, naringetin, epicatechin dan glukoronid. Hasilnya menunjukkan bahwa flavonoid dapat menurunkan uptake dari END5 dan RBE4 (de Boer, 2007).

1. Ketersediaaan Hayati Oral Flavonoids

Kebanyakan flavonoids berasal dari cathecins yang biasanya berasal dari tanaman yang mengandung B-glycosides. Sebelum diabsorbsi ke sirkulasi sistemik, glikosida ini harus membentuk

(45)

deglikosilasi (Nemeth, et al, 2003). Proses ini kebanyakan terjadi di lumen intestinal yang melalui kerja 2 enzim yakni lactase phloridzin hydrolase (LPH) dan cytosolic B-glucocidase (CBG). Transport aktif dari hydropilic glikosida ini masuk ke dalam sel melalui sugar transporter SGLT-1 (Nemeth, et al., 2003). Glikoside yang tidak mengandung LPH atau SGLT-1 akan ditransport ke dalam kolon dimana bakteri akan mampu menghidrolisa glikosida flavonoid (Holmann, 2004).

Beberapa literatur, kadar quercetin dan isorhamnetin dalam plasma yang merupakan komposisi dari flavonoids sekitar 12 nmol/l dan 4,3 nmol/ l dengan waktu paruh 5-7 jam (Mullen, et al., 2006).

2. Peran Ginkgo Biloba pada sistem syaraf

Dilaporkan bahwa ekstrak ginkgo biloba dapat menambah memori/ingatan. dengan dosis 120 mg/hari dikatakan efektif pada penderita dementia Alzeimer. Dikatakan bahwa ekstrak ginkgo biloba dapat menurunkan produksi kortikosteroid, meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan produksi ATP dan metabolisme mitokondria (Juretzek, 1997). Menurut Winter, pemberian ginkgo biloba 100mg/kg pada tikus coba selama 4-8 minggu dapat meningkatkan memori (Winter, 1991). Cohen-Salmon juga menyatakan bahwa pemberian ginkgo biloba 40 mg/ kgBB pada hewan coba tikus muda (6 bln) dan tikus tua (22 bulan) selama 1-3 minggu dapat meningkatkan memori (Cohen-Salmon, et al., 1997). Krieglestein dan Cowokers yang meneliti pada hewan coba rodent, pemberian bilobalide dan ginkgolide A, B dapat menurunkan area infark

(46)

pada brain surface tikus sebelum terjadinya oklusi dan pemberian injeksi ginkgo biloba setelah global forebrain ischemia dapat meningkatkan aliran darah serebral (Krieglestein, et al., 1995).

Kim, et al., (1997), juga menyatakan bahwa flavonoids (quercetin, kaemferol, sciadopitysin, ginkgetin, isoginkgetin) dapat meningkatkan produksi kollagen dan fibrovaskular ekstraselular dari jaringan fibroblast kulit secara invitro dan bilobalide dapat melindungi kematian neuron akibat iskemia dan glutamat eksitoksisiti (Kim, et al., 1997).

Berdasarkan DeFeudis FV, dikatakan juga bahwa ekstrak ginkgo biloba memunyai reaksi spasmolitik pada dinding arteri sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah. Efek dilatasi pembuluh darah ini terjadi akibat pelepasan dari nitrix oxide. Selain itu dinyatakan juga bahwa ekstrak ginkgo biloba dapat meningkatkan perfusi kapiler dan membantu aliran balik pembuluh darah vena dan membersihkan toksin metabolik yang terkumpul di dalam jaringan pada saat jumlah oksigen tidak tercukupi (DeFeudis, 1999).

Flavonoid juga memunyai efek sebagai antioksidan. Flavonoids ini dapat menurunkan jumlah radikal bebas yaitu dengan cara menurunkan sel-sel membran lipid peroksidase sehingga dapat melindungi sel. Lipid peroksidase ini apabila berikatan dengan radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan sel membran dan menambah produksi radikal bebas. Terpenoids terdiri atas bilobalide dan ginkgolides. Bilobalides ini berhubungan erat dengan ginkgolides. Bilobalides memunyai efek perlindungan terhadap sel-sel syaraf melalui regenerasi sel-sel syaraf

(47)

motorik. Sedangkan ginkgolides dapat menghambat aktivitas dari platelet

activating factor (Nishida & Satoh, 2003).

Gambar 2.11: Diagram manfaat ginkgo biloba (DeFeudis,1999)

Berdasarkan diagram, ginkgo biloba memunyai efek antioksidan, neuroprotektif dan antiinflamasi.

Pengunaan ginkgo biloba pada mata juga pernah dicoba pada penderita age related macular degeneration dan hasilnya dijumpai adanya perbaikan pada ganglion sel retina (Evans, 2000). Begitu juga pada peneltian hewan coba tikus yang bertekanan bola mata tinggi diterapi dengan ginkgo biloba selama 5 bulan dan hasilnya terjadi perbaikan pada sel-sel ganglion retina dibandingkan dengan kontrol (Hiroka, et al., 2004).

(48)

Jadi penggunaan ginkgo biloba berguna untuk:(Wang, et al., 2006): 1. Meningkatkan fungsi otak.

2. Menguatkan (strengthening) sistem serebrovaskular dan kardiovaskular dengan menghambat agregasi platelet dan meningkatkan aliran darah dan suplai oksigen.

3. Menetralkan radikal bebas yang dapat merusak syaraf dan

accelerate aging.

4. Menstabilisasi produksi energi selular (konsentrasi yang tinggi dari ATP, glukosa, kreatinin fosfat dan menurunkan nilai laktat).

Ginkgo biloba ini tersedia dalam bentuk ekstrak yang berisi 24-32% flavanoids dan 6-12% terpenoids terdiri dari kapsul, tablet, liquid ekstrak dan juga teh. Dalam bentuk tablet dosisnya 40 mg. Pemberian ginkgo biloba umumnya 120 mg/hari. Ginkgo biloba ini kurang efektif apabila diberikan bagi pasien yang memakan obat antidepresan dan juga bagi wanita hamil (Ernst, 2001).

Efek samping yang mungkin dijumpai adalah gangguan gastrointestinal, sakit kepala, dan kelelahan.Tetapi pada satu penelitian pernah dijumpai perdarahan intrakranial paska pemberian ginkgo biloba dengan dosis tinggi (Bent, et al., 2000)

3. Ginkgo Biloba dengan MDA dan GPx

Sun,et al., (2002), mendeskripsikan bahwa flavonoids dapat menghambat aktivitas beberapa enzim seperti lipooksigenase, siklooksigenase, monooksigenase, xantin oksidase, glutation

(49)

-S-transferase, mitokondrial succinil- oksidase, NADH oksidase, lipid peroksidase, phospolipase dan protein kinase. Flavonoids mampu mendetoksifikasi phase II enzym (NADPH-oxidoreduktase, glutation transferase, glukoronyl transferase dan lipid peroksidase). Pada flavonoids ini terdapat regulasi ekspresi gen protektif yang dapat diperantarai oleh EpRE (Electrophylic Respons Element). Kemampuan flavonoids untuk mengaktivasi EpRE berkorelasi dengan redox properties. Dikatakan bahwa flavonoids dengan kemampuan potensial intrinsik yang tinggi dapat menghambat stress oksidatif dan redox cycling (Winkel & Shirley, 2001). Jadi dapat disimpulkan bahwa bahwa aktifitas flavonoids dapat menyebabkan detoksifikasi .

Formica, (1995), bahwa efek sitoprotektif dari quercetin ditemukan dalam menghambat hidrogen peroksida (H2O2) pada kultur hewan coba yang terdeteksi hepatocyte Bl-9. Sel tersebut kaya akan ekspresi sitosol GPx. Beberapa peneliti juga mendeskripsikan bahwa aktifitas flavonoids berhubungan dengan aktifitas GPx dan aktivitas dari survival signaling

protein (protein kinase dan extracelluler regulated kinases) dengan

adanya peningkatan aktifitas GPx dan GSH pada hepatosit manusia yang disebabkan oleh flavonoids.

(50)

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 2.9. Kerangka Teori GB GB

Diagram 2.1. Bagan Kerangka Teori Glaukoma Penurunan perfusi Kerusakan neuron sekunder Kerusakan neuron primer Peningkatan TIO mekanis iskemik Eksitotoksik glutamat pompa Na+K+ ↑ Reseptor mGluR↑ Cedera reperfusi Respon inflamasi ↑ Kerusakan sel ganglion retina ROS ↑ (MDA ↑dan GPx ↓) Influx Ca2+↑ Ca2+ intrasel ↑ NO ↑ Peroksinitrit↑ Lipid peroksidase ↑ apoptosis Trabecular meshwork collapse enlargement Kehilangan sel-sel endotel T.meshwork TIO↑ Kerusakan mitokondria Pelepasan Ca2+ ↑ Resistensi Humor akuous T.Meswork

(51)

2.10. Hipotesis Penelitian 1. Hipotesis Mayor

Terjadi hubungan antara perubahan kadar stress oksidatif marker

malonildialdehyde dan redox enzyme gluthathion peroxidase

dengan progresifitas syaraf optik paska pemberian ginkgo biloba pada penderita glaukoma sudut terbuka primer

2. Hipotesis Minor

a. Pemberian ginkgo biloba akan menurunkan kadar MDA pada glaukoma sudut terbuka primer

b. Pemberian ginkgo biloba akan meningkatkan kadar GPx pada glaukoma sudut terbuka primer.

c. Terdapat perbedaan kadar MDA yang mendapat ginkgo biloba dengan kadar MDA yang tidak mendapat ginkgo biloba pada glaukoma sudut terbuka primer.

d. Terdapat perbedaan kadar GPx yang mendapat ginkgo biloba dengan kadar GPx yang tidak mendapat ginkgo biloba pada glaukoma sudut terbuka primer.

e. Terdapat hubungan antara perubahan kadar MDA dan GPx dengan progresifitas syaraf optik.

(52)

2.11. Kerangka Konseptual

Diagram 2.2. Bagan Kerangka Konseptual GLAUKOMA

Kerusakan sel ganglion retina

Progresifitas syaraf optik ↓

ROS ↑ Kehilangan sel endotel

T.Meshwork MDA ↑ GPx ↓ TIO↑ GB Terapi standar MDA ↓ GPx ↑ TIO ↓ lapang

pandangan ↓ Kerusakan syaraf optik lapang pandangan ↑ (MD dan PSD) Kerusakan syaraf optik ↓

Gambar

Gambar  2. 2: Sumber eksogen dan endogen radikal bebas (Droge,  2002;
Gambar 2. 3: Metabolisme asam arakhidonat dan peroksidase lipid                         (Lipton,  et al., 1999)
Gambar 2. 4: Tiga fase reaksi berantai peroksidase lipid (Burcham,                         1998)
Gambar 2.5: Tahapan skematis  peroksidase lipid yang menghasilkan                        bentuk produk sekunder dan adducts formations (Salvayre                       et al., 2008)
+6

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden

Jarak posisi yang berdekatan dari pasangan ini adalah sebuah hasil dari persepsi mahasiswa bahwa operator ponsel GSM sistem prabayar yang diperbandingkan

4.11 Menyelesaikan Menyelesaikan masalah masalah kontekstual kontekstual yang berkaitan dengan luas dan yang berkaitan dengan luas dan keliling segiempat (persegi,

Sedangkan Bogdan (dalam Sugiyono, 401:2014) menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,

Bagaimana potensi PLTB di Banda Aceh yang bersumber dari energi angin di pantai Ulee Lheue untuk Kebutuhan Listrik Kota Banda

(1) Menjalankan segala ketentuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, keputusan Musyawarah Nasional, Musyawarah Kerja Nasional, Musyawarah

Berdasarkan data yang diperoleh peniliti didapatkan hasil yaitu prosedur tanggap darurat yang ada di gedung perkantoran X (tenant emergency procedures) hanya tersedia

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini memberikan batasan operasional, berupa model yang digunakan untuk mencari seberapa