• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 1"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak—Mengiklankan produk layanan ataupun program terbaru merupakan aktivitas yang wajib dilakukan oleh perusahaan begitu pula dengan Bank JATIM yang mempercayakan pengerjaan proyek tersebut kepada agensi periklanan PT Kompakindo Media Dewata. Pada pengerjaan proyek periklanan terdapat berbagai macam waste yang dapat menghambat performansi penyelesaian proyek. Perencanaan dan pengendalian jadwal proyek yang efektif juga menjadi kebutuhan penting dalam pengerjaan proyek.

Penelitian ini menerapkan metode identifikasi waste dengan pendekatan Lean Thinking serta langkah apa saja yang dapat diambil untuk memitigasinya. Dilakukan pula penyusunan ulang jadwal pengerjaan proyek menggunakan metode Critical Chain Project Management (CCPM) dan S-Curve Monitoring untuk meningkatkan performansi melalui pemotongan durasi proyek dengan tetap meminimalisasi risiko keterlambatan melalui pemindahan waktu penyangga di akhir proyek.

Dari hasil penelitian didapatkan waktu penyangga berjumlah 7 hari kerja . Apabila waktu penyangga tidak terpakai maka durasi proyek menjadi 27 hari kerja dari sebelumnya 34 hari kerja. Hal ini dapat dicapai dengan meminimalisasi waste dimana teridentifikasi terdapat delapan waste pada proyek periklanan dan dua waste kritis yang dijadikan fokus penelitian yaitu unsatisfied design dan waiting. Gambaran perencanaan proyek dalam penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan pada setiap tahapan pengelolaan proyek-proyek periklanan mendatang.

Kata Kunci— Periklanan, Lean Project, Waste, Critical Chain I. PENDAHULUAN

ADA 2 dekade terakhir, industri periklanan kreatif mengalami peningkatan performa secara signifikan. Faktor utama dalam hal tersebut adalah perkembangan teknologi media dan komunikasi digital. Sehingga saat ini aktifitas periklanan mejadi semakin kreatif karena media yang tersedia juga semakin bervariatif. Aktifitas periklanan menjadi lebih kompleks karena dituntut dapat menggunakan semua media yang tersedia baik cetak, televisi, radio, dan internet. Diversifikasi media ini membuat manajemen perusahaan periklanan harus melakukan efisiensi dalam berproduksi. Besarnya biaya yang dikeluarkan suatu perusahaan dalam menjalankan periklanan menjadikan biaya periklanan sebagai salah satu penyumbang biaya yang sangat besar pada industri.

Secara umum proyek periklanan pada suatu perusahaan tidak dilaksanakan sendiri melainkan diserahkan kepada agensi periklanan yang akan menyusun strategi periklanan, pemilihan media komunikasi, serta proses kreatif. Manajemen

perusahaan periklanan dituntut untuk mampu mengatur aktifitas mereka dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal sehingga dapat memberikan kepuasan kepada perusahaan pengguna jasa periklanan. Keberadaan sistem manajemen produksi proyek periklanan yang terstruktur akan dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan agensi periklanan. Filosofi produksi yang terstruktur salah satunya dengan mengimplementasikan konsep Lean Production, yaitu suatu konsep produksi yang bersih dari waste sehingga aktifitas yang dijalankan menjadi lebih efektif

dan efisien. Konsep lean yang diimplementasikan dalam suatu proyek atau yang biasa dikenal sebagai lean project

management diharapkan mampu mengoptimalkan kemampuan

manajemen pada proyek periklanan saat ini.

Proyek yang menjadi pengamatan pada penelitian ini adalah proyek periklanan Bank Jatim untuk kuartal II tahun 2012. Sebagai bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah, sangatlah penting agar program-program yang dimiliki oleh Bank Jatim diketahui oleh masyarakat luas. Didasari dari hal tersebut, maka secara berkala Bank Jatim membuat proyek periklanan dengan memanfaatkan berbagai media yang ada, diantaranya: TV Lokal, radio, papan reklame, serta website. Karena banyaknya media yang dipergunakan maka nilai proyek untuk merealisasikan hal tersebut mencapai puluhan juta rupiah serta melibatkan banyak tenaga profesional kreatif. Untuk memastikan kelancaran proses produksi, durasi proyek dimulai dari tahap inisiasi hingga serah terima mencapai lebih dari satu bulan. Proyek periklanan ini dikerjakan oleh PT. Kompakindo Media Dewata sebagai agensi periklanan dan kontraktor pelaksana proyek.

Begitu pula pada proyek ini membutuhkan penyusunan strategi yang efektif dalam melakukan penajdwalan an pengendalian proyek agar biaya yang diekeluarkan optimal. Metode yang digunakan untuk mengoptimalkan pegerjaan proyek yaitu dengan pendekatan lean. Lean project

management memiliki beberapa teknik yang dapat diterapkan

pada penjadwalan suatu proyek diantaranya Critical Chain dan

S-Curve Monitoring dengan harapan metode-metode ini dapat

menjadi standarisasi baru untuk pelaksanaan proyek di waktu mendatang. Dengan mengaplikasikan konsep Lean, perusahaan periklanan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi kondisi ketidakpastian yang terjadi pada suatu proyek, dan dapat memberikan value atau nilai tambah lebih kepada

Perencanaan dan Pengendalian Proyek Periklanan

menggunakan Lean Critical Chain Project

Management dan S-Curve Monitoring

Dominggo Bayu Baskara dan Bustanul Arifin Noer

Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111

E-mail:

dominggobayu@yahoo.com

;

bustanul@ie.its.ac.id

(2)

konsumen dan pihak tim proyek. Penjadwalan baru akan disusun dengan menggunakan Critical Chain Project

Management (CCPM) sebagai upaya untuk mengoptimalkan

waktu yang ada dengan terlebih dahulu mengidentifikasi potensi waste yang dapat terjadi.. Untuk pengendalian dari segi biaya akan dipergunakan metode S-Curve Monitoring sehingga penjadwalan proyek akan menjadi lebih terukur

II. METODE PENELITIAN A. Lean Project Management

Filosofi Lean pertama kali diterapkan oleh perusahaan otomotif asal Jepang (Toyota). Konsep ini meyakini bahwa dengan mengidentifikasi dan mengeliminasi waste bersamaan dengan mengefisiensikan proses dapat mencapai suatu fase dimana customer value terpenuhi.

Salah satu tahapan penting dalam pendekatan lean adalah identifikasi aktivitas-aktivitas mana yang memberikan nilai tambah dan tidak. Aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah sebaiknya dikurangi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan. Dalam konteks ini, tipe aktivitas dalam organisasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (Hines dan Taylor,2000) :

1. Value adding activity (VA), aktivitas ini memberikan nilai tambah terhadap proses, baik pada aliran informasi dan aliran fisik proses. Misalnya pada proses pengecoran.

2. Non-value adding activity (NVA), aktivitas ini tidak memberikan nilai tambah terhadap produk. Aktivitas ini dapat dikategorikan sebagai waste yang dapat menyebabkan proses tidak berjalan secara efisien. 3. Non-value adding but necessary activity (NNVA)

yakni aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah akan tetapi tetap dibutuhkan untuk menjalankan seluruh rangkaian proses Aktivitas ini tidak dapat dihilangkan dan hanya bisa diminamilisir. Misalnya adalah waktu set-up mesin.

Womack et al. (1996) mengidentifikasi delapan waste yang terdapat dalam sebuah proyek. Definisi waste yang dikembangkan oleh Womack menambah satu macam waste dari definisi yang sudah ada sebelumnya dimana pendefinisian

waste sebelumnya terbagi menjadi seven waste (Ohno, 1988).

Yang membedakan antara seven waste dengan eight waste Womack adalah penambahan waste baru yaitu design of goods

and services that do not satisfy customer needs.. Berikut ini

adalah penjabaran dari eight waste :

1. Defects in production

2. Overproduction of items no one wants 3. Inventory waiting to be processed. 4. Unneeded processing

5. Unnecessary transport of goods 6. Unnecessary movement of people 7. People waiting for input to work on

8. Design of goods and services that do not satisfy customer needs

B. Critical Chain Project Management (CCPM)

Penjadawalan critical chain project management bertujuan untuk menghindari masalah-masalah yang mungkin terjadi seperti student’s syndrome, parkinson law dan keterbatasan sumberdaya yang dapat mengakibatkan keterlambatan proyek. Pada penjadwalan yang dibuat oleh pihak perusahaan saat ini, waktu cadangan ditempatkan pada masing-masing aktivitas sehingga dapat menyebabkan terjadinya student’s syndrome.

Perbedaan mendasar antara metode critical chain project

management dengan Critical Path Method (CPM) dan Program Evaluation and Review Technique (PERT) adalah

waktu penyanggga (buffer time) yang dialokasikan diakhir proyek (Steyn,2000). Pada CPM dan PERT tiap aktivitas memiliki waktu penyangga sedangkan pada CCPM waktu penyangga dialokasikan diakhir proyek. Untuk proyek periklanan yang banyak melibatkan faktor manusia dibandingkan mesin, metode CCPM lebih tepat diterapkan untuk mengantisipasi gejala “student syndrome” pada proyek.

C. S-Curve Monitoring

Kurva-S atau S-Curve adalah salah satu metode perencanaan dan kendali waktu pelaksanaan proyek yang populer dalam perencanaan dan monitoring jadwal pelaksanaan di proyek. Hampir sebagian besar proyek mensyaratkan dan telah lama menggunakan kurva-s baik pada proyek pemerintah maupun Swasta. Kurva-S merupakan bentuk grafik hubungan antara waktu pelaksanaan proyek dengan nilai akumulasi progres pelaksanaan proyek mulai dari awal hingga proyek selesai. Kurva-S secara sederhana akan terdiri atas dua grafik yaitu grafik yang merupakan rencana dan grafik yang merupakan realisasi pelaksanaan. Perbedaan garis grafik pada suatu waktu yang diberikan merupakan deviasi yang dapat berupa Ahead (realisasi pelaksanaan lebih cepat dari rencana) dan Delay (realisasi pelaksanaan lebih lambat dari rencana). (Cioffi, 2004)

III. HASIL DAN DISKUSI A. Lean Project Management

Melalui proses diskusi dan wawancara dengan pimpinan proyek yaitu bapak Aries Widodo dilakukan klasifikasi tipe aktivitas dalam organisasi (Hines dan taylor, 2000) untuk mengetahui aktifitas apa saja yang tergolong value adding (VA), necessary but non value adding (NNVA), dan non

value adding (NVA).

Dari hasil klasifikasi aktifitas tersebut diperoleh bahwa keseluruhan aktivitas pengerjaan proyek yang dilakukan 78% merupakan value adding activity, 22% tergolong necessary but

non value adding activity, dan 0% merupakan non value adding activity Aktivitas non value adding (waste) akan

teridentifikasi pada saat pelaksanaan proyek di lapangan, dimana aktivitas tersebut terjadi apabila pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan.

Identifikasi waste proyek turut juga dilakukan berdasarkan wawancara dan kuesioner bersama pimpinan proyek serta observasi lapangan penulis. Berikut ini merupakan waste yang

(3)

terjadi selama tahap implementasi proyek, dimana waste yang terjadi diklasifikasikan berdasarkan konsep 8 waste (Womack, 1996).

1. Defect in production

Kondisi pada material atau dokumen yang masih dibutuhkan namun mengalami kerusakan, diantaranya :

a. file data korup, b. layout yang tidak jelas, c. properti rusak

d. kesalahan pembuatan yang tidak sesuai spesifikasi 2. Overproduction

Menyediakan dan memproduksi material yang melebihi kebutuhan, sehingga material tersebut tidak dipergunakan secara optimal, antara lain :

a. Layout yang dibuat terlalu banyak walaupun tidak semua dipakai

b. Adanya alternatif script yang tidak terpakai karena keterbatasan durasi

c. Animasi yang dibuat melebihi kebutuhan 3. Inventory waiting to be processed

Adanya material yang belum dapat dipergunakan karena masih harus menunggu material lain yang masih diproduksi, misalnya musik pengiring video iklan yang selesai terlebih dahulu karena masih ada pengambilan gambar, berlaku sebaliknya

4. Unneeded processing

Proses yang tidak diperlukan serta tidak produktif. Misal: a. pengambilan gambar yang diulang karena adanya

kesalahan

b. Terlalu banyak rapat

c. Pembelian ulang karena properti/wardrobe yang cacat

5. Unnecessary transport of goods

Pergerakan aliran fisik dan informasi yang berlebihan pada proses pengerjaan yang menyebabkan pemborosan waktu, tenaga dan biaya, seperti pemindahan perlengkapan pengambilan gambar/video dari satu lokasi ke lokasi lain

6. Unnecessary movement of people

Dapat diartikan sebagai pergerakan pekerja yang tidak produktif (berpindah, mencari, dan berjalan) seperti kru produksi melakukan gerakan-gerakan yang tidak diperlukan seperti mondar-mandir atau bersenda gurau 7. People waiting for input to work on

Adanya waktu yang tidak efektif yang membuat tertundanya pekerjaan. Misalnya:

a. Adanya pihak yang datang terlambat b. Kiriman alat-alat produksi yang terlambat

c. Penyelesaian pekerjaan yang molor sehingga pekerjaan lain ikut menunggu

d. Menunggu perijinan

8. Design of goods and services do not satisfy customer

needs

Rancangan konsep yang tidak sesuai dengan harapan konsumen ataupun desain iklan yang terlalu sulit untuk dibuat sehingga menyebabkan adanya pengerjaan ulang atau rework

Setelah didapatkan klasifikasi waste, langkah selanjutnya adalah mencari waste yang paling berpengaruh (critical waste) melalui penyebaran kuisioner kepada 5 responden yang terlibat dalam produksi proyek periklanan, terdiri atas : creative director, fotografer, music director, sutradara, dan perwakilan pemilik proyek. Didapatkan hasil seperti pada Tabel 1, dimana

Unsatisfied design menempati peringkat pertama disusul

dengan waiting sebagai critical waste.

Setelah waste yang paling berpengaruh (critical waste) telah teridentifikasi maka selanjutnya dilakukan langkah identifikasi akar penyebabnya. Proses Identifikasi tersebut menggunakan metode RCA dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2 untuk masing-masing critical waste. Dengan mengetahui akar permasalahan maka akan dapat diidentifikasi langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya waste tersebut. Untuk itulah dilakukan

Tabel1.

Hasil identifikasi critical waste pada proyek dengan kuisioner

1 2 3 4 5 6 7 8 1 Defect 0 0 1 1 1 1 1 0 15 0.107143 2 Overproduction 0 2 1 0 1 0 0 1 20 0.142857 3 Inventory waiting 0 0 1 0 2 2 0 0 15 0.107143 4 Unneeded process 0 0 1 3 0 1 0 0 19 0.135714 5 Unnecessary transportation 0 0 0 0 0 0 3 2 3 0.021429 6 Unnecessary movement 0 0 0 1 0 1 1 2 7 0.05 7 Waiting 1 2 1 0 1 0 0 0 27 0.192857 8 Unsatisfied design 4 1 0 0 0 0 0 0 34 0.242857 Bobot 7 6 5 4 3 2 1 0 140 Peringkat Rangking Bobot Jenis Waste No. Unsatisfied Design Man Method Machine Material Environment Pekerjaan kurang detail Desain tidak dapat dipahami Pekerjaan tidak sesuai spesifikasi Kurang komunikasi & pengawasan Beban kerja manajer proyek Terlalu besar Perubahan keinginan Desain terlalu sulit direalisasikan kekurangan informasi Dalam riset

Gambar. 2. RCA critical waste unsatisfied design.

Waiting Man Method Machine Material Environment Pengiriman terlambat Kesalahan memperkirakan lingkungan Shortage material Pengiriman material terlambat Pekerja kurang terampil

Metode yang terlalu lama Perubahan keinginan Desain terlalu sulit direalisasikan kekurangan informasi Dalam riset Pekerja terlambat

(4)

pengembangan respon teknis bila gejala-gejala waste mulai terindikasi. Beberapa solusi mitigasi yang dapat diterapkan oleh perusahaan untuk mengurangi waste dan meningkatkan efisiensi adalah penggunaan teknologi komunikasi, standarisasi pembuatan layout dan script, standarisasi aktivitas survey lokasi, peningkatan pengawasan, pemberian sanksi keterlambatan, membangun kemitraan jangka panjang dengan supplier, dan proses riasan model dilakukan di tempat terpisah.

B. Critical Chain Project Management (CCPM)

Identifikasi waste pada pengolahan data sebelumnya bertujuan untuk mengetahui tingkat dampak waste khususnya

unsatisfied design dan waiting, yang keduanya adalah waste

yang paling berpengaruh, terhadap durasi waktu pekerjaan proyek. Dengan mengetahui dampak tersebut, maka akan dibuat rekomendasi perbaikan melalui penjadwalan proyek yang menggunakan metode Critical Chain(CCPM), khususnya dalam menentukan ukuran project buffernya serta lokasi penempatan feeding buffer.

Sebelum melakukan penjadwalan dengan metode critical

chain project management, pertama-tama dimulai dengan

melihat penjadwalan awal proyek. Dari kondisi penjadwalan awal proyek, diketahui bahwa durasi proyek yang direncanakan berjumlah 34 hari kerja atau 46 hari kalender dan berada pada rentang waktu 13 Februari 2012 sampai dengan 30 Maret 2012. Dari penjadwalan tersebut juga disusun gantt chart umum dan WBS proyek berdasarkan Kerangka Acuan Kerja (KAK) proyek untuk mengetahui lintasan kritis proyek.

Lintasan kritis adalah aktifitas yang memiliki total float (waktu tunda) = 0. Melalui pendekatan lean, identifikasi lintasan kritis apat membantu pihak manajemen proyek untuk memonitor rangkaian pekerjaan mana yang harus lebih diperhatikan karena apabila rangkaian pekerjaan tersebut mengalami kemunduran, maka akan berakibat pada kemunduruan penyelesaian proyek.

Penjadwalan awal diidentifikasi masih menerapkan metode penjadwalan CPM (Critical Path Method). Dimana berbeda dari kondisi aktual pelaksanaan, waktu pengerjaan beberapa aktifitas berlangsung lebih cepat. Hal ini sebenarnya juga telah diprediksi agensi periklanan sebagai kontraktor pelaksana proyek. Tetapi dengan sengaja melebihkan waktu cadangan untuk menghindari resiko keterlambatan.

Kelemahan-kelemahan dari metode penjadwalan awal yang berbasis CPM diantaranya ialah adanya pemberian waktu cadangan di tiap aktivitas, yang pada umumnya berupa konversi ke dalam kapasitas atau produktivitas kerja, sehingga sumber daya cenderung untuk menghabiskan waktu yang ada, padahal pekerjaan bisa dilakukan lebih cepat dari itu. Proyek periklanan yang sebagian besar didominasi aktivitas jasa, kecenderungan kejadian Student’s Syndrome sangat tinggi.

Student’s syndrome ialah kebiasaan manusia untuk

menyelesaikan tugas atau pekerjaan ketika sudah mendekati deadline sehingga pengumpulan aktivitas terjadi di periode akhir.

Penelitian ini pada dasarnya memberikan rekomendasi penjadwalan dengan pendekatan Critical Chain atau biasa dikenal dengan metode CCPM (Critical Chain Project

Management). Metode penjadwalan CCPM merupakan

pengembangan dari metode CPM. Perbedaan secara teoritis terletak pada penentuan letak waktu cadangan dan resource

allocation. Dimana CCPM memindahkan waktu cadangan atau time buffer pada periode akhir proyek. Sehingga dapat

mempercepat pengerjaan proyek sejumlah banyaknya waktu cadangan, tentunya dengan asumsi bahwa waktu cadangan tersebut tidak terpakai. Miinimasi waste dapat memperkecil peluang pemakaian waktu cadangan.

Penentuan ukuran buffer didapatkan melalui perhitungan. Perhitungan yang lebih dianjurkan ialah dengan dihitung berdasarkan metode penjumlahan akar pangkat dua atau

Square Root Of The Sum Of The Squares (SSQ) (Herroelen,

2001). Metode ini menggunakan dua parameter waktu yakni waktu standar rata-rata yang diasumsikan sebagai waktu yang masih menyimpan waktu cadangan (S) dan waktu tercepat (A) yang diasumsikan tanpa waktu cadangan. Besar buffer dapat dihitung menggunakan persamaan

Hasil perhitungan menggunakan rumus SSQ didapatkan ukuran dan alokasi buffer time yang terdiri atas project buffer

sebesar 7 hari dengan feeding buffer sebanyak 2 hari yang

diletakkan sebelum WBS 1.3.1 yaitu pekerjaan pembuatan desain iklan yang teridentifikasi memiliki peluang menimbulkan waste sehingga memerlukan buffer untuk meminimasi risiko tersebut. Feeding buffer dalam proyek periklanan Bank Jatim, diletakkan sebelum pekerjaan pembuatan script dimulai, hal ini untuk melindungi pekerjaan pembuatan script yang merupakan pekerjaan kritis. Penentuan sifat pekerjaan tersebut, merupakan hasil diskusi dengan pihak pelaksana proyek. Selain itu, data pengukuran critical waste juga melihat besarnya pengaruh pembuatan desain (script dan

layout) pada proyek yang mana tergolong sebagai waste unsatisfied design. Didasari hal tersebut, perlu dialokasikan feeding buffer dengan tujuan agar variasi dari pekerjaan

tersebut tidak menggangu pekerjaan kritis.

Project buffer dapat dikonsumsi oleh rantai kritis lain yang

tidak mendapatkan feeding buffer. Walaupun peluang kejadian penggunaan project buffer sebaiknya dapat diminimalkan untuk mencapai performansi kesuksesan pelaksanaan proyek yang lebih baik. Upaya tersebut dapat diraih melalui identifikasi langkah-langkah untuk mereduksi waste, sebab kejadian waste pada proyek memiliki dampak-dampak yang memaksa tim pelaksana proyek harus menggunakan project

buffer tersebut.

Setelah kedua nilai buffer time didapatkan maka disusun penjadwalan CCPM dengan memasukkan buffer time ke dalam jadwal baru. Durasi penyelesaian proyek apabila project buffer terkonsumsi secara keseluruhan adalah 34 hari kerja, atau sama dengan jumlah durasi awal. Apabila buffer time tidak dipergunakan maka penghematan yang dapat dicapai sebanyak 7 hari kerja yaitu penurunan total durasi menjadi 27 hari kerja.

Dari sisi perusahaan, percepatan penyelesaian proyek dapat berdampak positif yaitu berkurangnya biaya, salah satunya biaya tenaga kerja. Mengingat jenis proyek periklanan merupakan jenis proyek jasa maka tenaga yang dipergunakan

(5)

adalah tenaga profesional terlatih berkeahlian khusus. Umumnya tenaga profesional ini tidak dibayar berdasarkan perhitungan jumlah hari. Akan tetapi tenaga profesional ini dibantu oleh pekerja tak terampil yang memiliki kemampuan yang lebih umum. Tenaga tak terampil ini contohnya kru produksi, pembantu umum, perlengkapan, sopir, dan lain sebagainya.

Berikut merupakan estimasi rata-rata biaya tenaga kerja yang dapat dihemat perusahaan. Proses perhitungannya menggunakan asumsi. Apabila diasumsikan rata-rata jumlah minimal pekerja tak terampil yang dipakai di tiap departemen produksi (kreatif, fotografi, radio, dan video) berjumlah 3. Sehingga rata-rata total tenaga kerja tak terampil per hari berjumlah 12 orang (namun tentu saja komposisi dan jumlah pekerja tiap harinya berbeda-beda.) dengan rata-rata penerimaan gaji per hari sebesar Rp 40.000,00 per orang. Sedangkan durasi penyelesaian proyek dengan asumsi project

buffer tidak terkonsumsi adalah 27 hari kerja, atau selisih 7

hari kerja dari penjadwalan saat ini. Maka besar penghematan dapat dihitung dengan mengkalikan nilai upah rata-rata per hari dengan jumlah hari kerja dan dengan jumlah tenaga kerja. Hasilnya nilai dalam rupiah yang dapat dihemat adalah sebesar Rp 40.000,00 X 12 X 7 = Rp 3.360.000,00

Identifikasi waktu akibat potensi timbulnya waste akan berujung pada penggunaan durasi project buffer yang didesain sebagai waktu aman pengerjaan proyek. Kejadian ini sesungguhnya tidaklah diharapkan karena hal ini dapat secara langsung memperbesar beban biaya proyek melalui pertambahan durasi. Untuk itu dibutuhkan alat pengendalian penjadwalan yang mampu melibatkan faktor ketidakpastian. Dimana pada metode CCPM, alat tersebut berupa buffer

management yang berfungsi mengawasi konsumsi buffer time.

Konsumsi buffer time tersebut akan menentukan kapan pihak pelaksana proyek melakukan tindakan berdasarkan pemetaan jumlah buffer time yang dikonsumsi. Pihak pelaksana perlu mengontrol untuk mengambil tindakan terkait dengan penggunaan durasi project buffer, yakni dengan melihat seberapa besar durasi yang termakan,. Tabel 2 menguraikan analisa perhitungan zona konsumsi Project Buffer.

Saat konsumsi buffer baru mencapai durasi terpakai sebesar 0-2 hari, maka posisi pemakaian durasi tersebut masih berada pada zona hijau yang berarti belum ada yang harus dilakukan. Namun, bilamana konsumsi buffer berada mencapai zona kuning, maka pihak pelaksana sudah harus merencanakan langkah-langkah mitigasi yang harus ditempuh agar buffer tidak terpakai seluruhnya. Langkah-langkah tersebut akan diimplementasikan ketika pemakaian buffer berada pada zona merah. Karena pada saat buffer telah terpakai hingga lebih dari 5 hari, maka peluang kejadian proyek untuk terlambat dari jadwal yang telah disepakati pada kontrak akan sangat tinggi.

C. S-Curve Monitoring

Kurva-S atau S-Curve adalah salah satu metode perencanaan dan kendali waktu pelaksanaan proyek yang populer dalam perencanaan dan monitoring jadwal pelaksanaan di proyek. Hampir sebagian besar proyek mensyaratkan dan telah lama menggunakan kurva-s baik pada proyek pemerintah maupun Swasta. Sayangnya saat ini, berdasarkan hasil pengamatan penulis, hampir jarang ditemui pemakaian kurva S dalam proyek periklanan. Seperti halnya pada proyek periklanan Bank Jatim, juga tidak menerapkan penggunaan kurva S sebagai alat bantu kontrol proyek.

Untuk itu dalam penelitian ini mencoba membangun kurva-S tersebut menggunakan perbandingan antara total biaya tiap pekerjaan dengan total biaya proyek. Nilai bobot yang digabungkan dengan gantt chart penjadwalan proyek akan membentuk Kurva-S untuk masing- masing penjadwalan. Hasilnya seperti pada Gambar 3 didapatkan perbandingan Kurva-S antara penjadwalan awal dengan penjadwalan CCPM.

Selain memberikan hasil perbandingan, Gambar 3 juga memberikan gambaran kondisi pelaksanaan proyek apabila kondisi ideal tercapai. Kondisi ideal yang dimaksudkan adalah

buffer time tidak ada yang terpakai dan tidak terjadi waste

pada proyek. Apabila dimisalkan, hasil penjadwalan metode CCPM sebagai kondisi perencanaan proyek (kondisi ideal), dan penjadwalan awal sebagai kondisi kritis karena seluruh

buffer time terpakai, maka akan didapatkan visualisasi

sederhana bagaimana kurva S melakukan peran pengendalian pada proyek.

Dimisalkan pada mulanya proyek berjalan secara ideal, hingga mulai tanggal 22 Februari pencapaian aktual tidak sesuai dengan perencanaan akibat adanya waste. Bila waste tersebut tidak segera tertangani, maka akan terjadi keterlambatan dan selisih pencapaian dengan kondisi ideal semakin jauh. Apabila waste tidak berhasil ditangani dan pergerakan kurva pencapaian aktual bergerak bahkan di bawah proggress awal (kondisi kritis) atau di bawah garis hijau, maka dapat dipastikan proyek akan terlambat dari perjanjian pada kontrak.

Melihat hasil visualisasi sederhana ini disimpulkan bahwa kontaktor dapat memanfaatkan kurva S sebagai alat pengendali jadwal dan biaya untuk proyek periklanan.

Gambar. 3. Perbandingan Kurva-S yang menunjukkan perbedaan pencapaian proyek.

Tabel2. Zona konsumsi buffer time

Zona pemakaian buffer Project Buffer Durasi yang telah terpakai (hari)

0%-33% 7 0-2

34%-66% 7 3-5

(6)

IV. KESIMPULAN/RINGKASAN

Fungsi utama dari pengerjaan proyek adalah untuk mencapai hasil yang telah disepakati dalam kontrak dan memenuhi 3 tujuan pengerjaan proyek yaitu biaya yang minimal, waktu yang optimal dan kualitas yang memenuhi kepuasan konsumen. Dengan menerapkan aplikasi penjadwalan dengan pendekatan lean thinking maka hal tersebut terbukti mampu memenuhi tujuan pengerjaan proyek.

Untuk membangun penjadwalan berbasis lean, maka terlebih dahulu melakukan identifikasi waste pada proyek.

waste yang telah teridentifikasi dan diketahui langkah mitigasi

akan memperkecil pelang keterlambatan proyek. Dengan melakukan penggabungan metode penjadwalan CCPM dengan metode evaluasi pencapaian dari S-Curve Monitoring akan menghasilkan penjadwalan dan pengeluaran biaya yang efektif.

Waste yang sering terjadi (waste kritis) pada proyek

periklanan adalah unsatisfied design dan waiting yang didapat berdasarkan hasil kuesioner dengan pihak kontraktor pelaksana proyek dan sub-contractor produksi. Rekomendasi respon teknis atau solusi mitigasi yang dapat dipergunakan untuk mencegah potensi risiko timbulnya waste adalah penggunaan teknologi komunikasi, standarisasi pembuatan

layout dan script, standarisasi aktivitas survey lokasi,

peningkatan pengawasan, pemberian sanksi keterlambatan, membangun kemitraan jangka panjang dengan supplier, dan proses riasan model dilakukan di tempat terpisah.

Hasil perhitungan penjadwalan menggunakan metode CCPM, didapatkan waktu penyangga sebesar 7 hari sehingga estimasi durasi penyelesaian proyek apabila waktu penyangga atau buffer time tidak terkonsumsi adalah 27 hari. Besarnya nilai penghematan biaya tenaga kerja melalui penjadwalan menggunakan metode CCPM dengan kondisi waktu penyangga tidak terpakai ialah sebesar Rp 3.360.000,00

DAFTAR PUSTAKA

[1] Hines, P. & Taylor, D. 2000. Going Lean. Lean Enterprise research Center Cardiff Business School, USA.Moubray, J., “Reliability Centered Maintenance (RCM) II”, 2nd Ed. New York: Industrial Press (1997)

[2] Womack, J. & Jones, D. 1996. Lean Thinking: Banish Waste And Create Wealth in Your Corporation, Simon and Schuster, New York

[3] Ohno, T. 1988. Toyota Production System: Beyond Large-Scale Production, Productivity Press, Portland [4] Steyn, Herman. 2000. An investigation into the

fundamentals of critical chain project scheduling.

International Journal of Project Management, 19, 363–

369

[5] Cioffi, D. F. 2005. A tool for managing projects: an analytic parameterization of the S-curve. International

Journal of Project Management, 23, 215–222

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang akan digunakan untuk peramalan jumlah penumpang pesawat terbang dari Bandar Udara Abdulrachman Saleh adalah: pertumbuhan Jumlah Penduduk

Adapun beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain: pemerintah desa segera memetakan potensi ekowisata yang ada pada kawasan hutan Selelos dan merancang serta

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan nikmat-Nya, rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga terselesainya Skripsi ini dengan judul: Pengaruh

Penyetaraan (equating) UASBN SD tahun 2009/ 2010 yang dilakukan untuk setiap mata pelajaran menggunakan propinsi Jawa Barat sebagai acuan, pemilihan Jawa Barat sebagai

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa informasi merupakan hasil dari pengolahan data menjadi bentuk yang lebih berguna bagi yang menerimanya yang menggambarkan

Nilai sudut yang dibangun oleh dua bidang (yang direntang

Jadi berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan bahwa jenis- jenis hukuman dalam membentuk perilaku disiplin pada anak usia 5-6 tahun adalah bentuk hukuman yang

Hasil pengalaman kami dengan produk ini dan pengetahuan kami mengenai komposisinya kami menjangka tidak terdapat bahaya selagi produk ini digunakan dengan cara yang sesuai