• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tugas perkembangan dewasa madya merupakan keinginan bersama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tugas perkembangan dewasa madya merupakan keinginan bersama"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Tugas perkembangan dewasa madya merupakan keinginan bersama untuk menciptakan hubungan suami-istri yang harmonis, mengasuh anak remaja menjadi individu dewasa yang bertanggungjawab, sehat dan mencapai kepuasan dalam bekerja (Schaie & Willis, 1991). Menurut Papalia, Olds & Feldman (2009), usia madya adalah masa krisis dan masa transisi. Mereka sering bertanya dari kegelisahan yang muncul. Terutama tentang apa yang telah dilakukan dan ke mana arah tujuan mereka. Hurlock (1980) menambahkan bahwa usia madya merupakan masa trasisi, masa stres, usia yang berbahaya, usia canggung, masa sepi, dan masa jenuh. Fraud & Ritter dalam Upton (2012) mengklarifikasi bahwa hanya mereka yang rentan saja yang mengalami krisis. Seseorang pada usia madya telah mengalami penurunan fisik dan semakin besarnya tanggung jawab. Periode ini, orang menyadari akan polaritas tua-muda dan semakin berkurangnya waktu yang tersisa dalam kehidupan (Santrock, 2013).

Beban dan tanggung jawab pasangan suami istri akan terasa mudah dengan adanya kerja sama antara keduanya, namun ketika salah satu dari pasangan meninggal dunia, maka beban dan tanggung jawab akan dipikul sendiri oleh istri atau suami. Menjadi janda merupakan masalah utama bagi wanita pada periode ini. Selain terkait dengan beban tugas perkembangan yang telah disebutkan sebelumnya, ada krisis afeksi akibat kematian suami. Peristiwa kematian suami menimbulkan stres lebih tinggi daripada peristiwa perceraian. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan janda dalam menghadapi kematian suami

(2)

yang berlangsung secara tiba-tiba. Janda tidak siap mengemban tanggung jawab keluarga pasca kematian suami. Kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan bersama kini dikerjakan sendirian (Rahe & Holmas dalam Kasschau, 1993).

Keadaan menjanda membuat individu harus hidup secara mandiri tanpa dukungan, baik emosional maupun materi dari pasangannya (Taylor, 1996). Ketika individu kehilangan orang tercintanya, maka ia akan merasakan sakit yang begitu dalam, frustasi dan merasa kehilangan. Penderitaan itu mungkin akan hilang setelah melalui waktu yang cukup lama (Papalia et al., 2009). Schaie dan Willis (1991) mengatakan bahwa kematian suami di usia dewasa madya merupakan episode normatif yang terlalu cepat dalam kehidupan individu. Perasaan kehilangan dan kecemasan lebih kuat dirasakan oleh janda yang sebelumnya sangat bergantung pada suaminya dari pada janda yang dulunya mandiri. Rentang waktu 5 tahun masih menyisakan keterikatan afeksi pada suaminya. Usia dewasa madya awal (40-an tahun) mengalami krisis lebih berat, terkait dengan kematian yang tidak terduga dan tidak terantisipasi (Papalia et al. 2009).

Menurut Atwater dan Duffy (1999), perasaan yang paling umum dirasakan pada situasi duka cita adalah syok dan terpukul. Setiap orang akan memberikan reaksi terhadap kehilangan dengan berbagai cara yang berbeda. Salah satu cara yaitu dengan reaksi psikologis seperti merasa kesepian, putus asa dan takut, namun hal tersebut merupakan hal yang normal bagi seseorang yang mengalami kehilangan karena kematian. Sementara itu, Aprilia (2013) menunjukkan bahwa wanita dewasa madya yang mengasuh anak sendiri setelah kematian suaminya, membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 1-3 tahun untuk bangkit dari kesedihan. Walaupun terdapat perbedaan jenis permasalahan yang dihadapi

(3)

pada masing-masing subjek, tetapi ada kesamaan subjek dalam penelitian ini yaitu mengalami depresi, perasaan sendiri, serta dirundung kesedihan yang cukup lama. Papalia et al. (2009) menjelaskan bahwa wanita janda memiliki peningkatan depresi, setidaknya selama lima tahun pertama setelah kematian. Selain itu, wanita yang menjadi janda juga mengalami permasalahan ekonomi terutama jika saat menikah, ia tidak bekerja dan hanya mengandalkan penghasilan dari suami. Kehilangan suami bagi janda belum berpenghasilan, akan mengalami kesulitan ekonomi di masa-masa awal.

DiGiacomo, Lewi, Nolan, Philips & Davidson, (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dampak yang terjadi pada janda pasca kematian suaminya antara lain, 1) kesedihan dan duka cita yang dalam, 2) meningkatnya risiko kesehatan dan timbulnya penyakit kronis, 3) menyesuaikan diri dengan hidup sendiri, 4) turunnya pendapatan keuangan, 5) menjalani masa-masa transisi sendirian, dan 6) pada janda lansia, ia akan mengalami kesulitan ekonomi serta risiko yang besar pada kesehatan fisiknya. Ward, Mathias dan Hitchings (2007) menambahkan bahwa dampak psikologis kehilangan pasangan bagi wanita selain kesedihan dan duka cita yang mendalamantar lain; timbulnya tekanan, kecemasan, stres, penurunan perhatian, penurunan memproses informasi dan kejelasan lisan. Leaungar dan Florian (2004) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa, kehilangan pasangan berdampak pada perasaan rendah diri (self-esteem menurun) dan kesehatan mental memburuk. Shahar, Schultz & Wing (2001) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa ada peningkatan risiko pada penurunan berat badan pada janda. Hal ini diakibatkan dari menurunnya selera makan janda pada masa-masa berkabung. Ward, Mathias dan Hitchings (2007) mengungkapkan bahwa kesedihan disebabkan oleh kematian pasangan,

(4)

diperkirakan dapat mengakibatkan depresi, kecemasan, dan stres. Beban sosial yang ditimpakan kepada janda membuat mereka merasakan kesedihan yang cukup mendalam.

Cavanaugh dan Fields (2006) menyebutkan bahwa kematian pasangan hidup menjerumuskan individu ke dalam perasaan kehilangan atau duka cita yang sangat mendalam, terlebih lagi jika hubungan itu telah lama dibina dan sangat dekat. Kematian pasangan menuntut para janda agar mampu mengatasi kesedihan serta melaksanakan tugas dan peran baru, sehingga dapat melanjutkan kehidupan serta mampu belajar dari segala kondisi yang tidak menyenangkan. Kenyataan di lapangan, keadaan sulit pasca kematian suami tidak cukup beralasan bagi mereka untuk segera menikah lagi, atau mencari sosok pasangan atau teman hidup yang baru.

Zulfiana (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami. Janda tersebut cenderung membangun persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Alasan-alasan lain tidak menikah lagi adalah adanya kekhawatiran akan bertambahnya beban ekonomi, dan atau tidak ada dukungan dari keluarga. Keinginan untuk berkonsentrasi pada keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya. Hasil wawancara peneliti terhadap janda karena kematian suami mendukung berberapa pernyataan di atas. Wawancara dilakukan pada tanggal 5 September 2014 kepada janda berusia 57 tahun. Penyataan janda yang sering disapa ibu TN menunjukkan bahwa kematian suami baginya merupakan kehilangan terbesar di dalam hidupnya. Janda enam anak ini berkata bahwa ia selalu berusaha keras menghidupi anak-anaknya.

(5)

Ia bertekad tidak akan menikah lagi. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusannya untuk tidak menikah lagi. Pertama, ia sangat mencintai suaminya. Kedua, ia merasa mampu mengusahakan pemasukan keuangan sendiri. Ketiga, ia ingin fokus mengasuh anak-anaknya. Bagi janda ini, kehilangan suami tidak hanya berarti kehilangan orang diandalkan untuk mencari nafkah, tetapi lebih dari itu, merupakan kehilangan teman hidup yang biasa bersama dalam keadaan apapun.

Penelitian Hoonaard dan Kestin (2002) menunjukkan alasan wanita tidak ingin menikah lagi karena mereka beranggapan bahwa suami mereka sangat baik. Mereka merasa sangat menderita dengan kepergian suami. Mereka bahkan tidak ingin menyesuaikan diri dengan suami baru atau pasangan hidup baru. Pernikahan baru juga menghadapkan mereka pada perubahan seks, kerugiaan yang dialami oleh anak, gosip masyarakat sekitar, serta asumsi masyarakat. Mereka merasa telah menikmati dunia sosialnya dengan sesama kelompok wanita lainnya. Davidson (2002), menunjukkan dua alasan wanita tidak ingin menikah lagi antara lain, pertama mereka (janda) tidak ingin merawat orang lain (pasangan baru). Kedua, mereka merasa bahwa pernikahan dengan suaminya merupakan peristiwa yang sangat membahagiakan dan tak dapat tergantikan. Mereka lebih memilih berdamai dengan keadaan dari pada harus menikah lagi. Sejalan dengan hal itu, penelitian Nan (2002) menemukan bahwa alasan wanita tidak ingin menikah lagi antara lain, pertama takut kehilangan pasangan untuk kedua kalinya. Kedua, harus merawat pasangan yang sakit. Ketiga, khawatir akan dimanfaatkan oleh pasangan baru, baik masalah seksual maupun finansial. Bagi janda yang tidak merasa kesepian, mereka menganggap pernikahan kembali hanya akan membuat mereka kehilangan kebebasan.

(6)

Janda menghadapi banyak masalah. Janda membutuhkan penyesuaian diri dalam menghadapi perubahan. Bagaimanapun juga mereka harus dapat melanjutkan kehidupan. Janda harus bangkit dan mampu menjalani kehidupan hingga waktu yang Tuhan tentukan. Mereka harus survive dan beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi yang baru, yaitu kondisi dimana ia harus menyelesaikan permasalahan hidup yang komplek tanpa bantuan dan dukungan suami. Mereka harus dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dan tanggung jawab baru. Schalkwyk (2005) menunjukkan bahwa rekonstruksi diri yang dilakukan wanita dapat membantu keluar dari kondisi krisis, namun demikian tingkat ketahanan wanita dalam menghadapi tekanan berbeda-beda, bergantung pada psikologis dari masing-masing individu.

Resiliensi sebagai suatu metode alamiah dalam diri manusia telah lama dikaji dan dikembangkan oleh para ahli. Menurut Bernard (2004), resiliensi mengacu pada kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berfungsi dengan baik dalam keadaan yang menekan atau banyak halangan dan rintangan. Janas dalam Dewi, Djoenaina dan Melisa (2004), mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kemampuan untuk mengatasi rasa frustrasi dan permasalahan yang dialami oleh individu. Individu yang resiliensinya tinggi akan berusaha untuk mengatasi permasalahan dalam hidup, sehingga dapat terbebas dari masalah dan mampu beradaptasi terhadap permasalahan tersebut.

Brook dan Goldstein (2005) mengemukakan bahwa, resiliensi merupakan kemampuan individu dalam mengatasi masalah dan tekanan secara lebih efektif, kemampuan untuk bangkit dari masalah, kekecewaan, dan trauma, serta untuk dapat mengembangkan tujuan yang lebih realistik. Menurut Siebert (2005), resiliensisi adalah kemampuan untuk mengatasi perubahan hidup pada level

(7)

yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Wanita yang resiliensinya tinggi adalah wanita yang mampu mengatasi permasalahan yang menimpanya dan berusaha bangkit dari permasalahan tersebut. Resiliensi sangat penting dimiliki oleh para janda. Hal ini sangat dibutuhkan karena wanita tersebut harus bertanggungjawab untuk melanjutkan tugas-tugas kehidupan.

Dengan demikian, resiliensi pada janda dewasa madya pasca kematian suami merupakan upaya seorang janda untuk mengatasi permasalahan, perasaan, serta rintangan yang dihadapi pasca kematian suami, agar dapat beradaptasi pada kondisi yang baru dan dapat menerima dengan ikhlas. Semakin tinggi resiliensi pada janda dewasa madya, semakin mampu ia mengatasi krisis hidup pasca kematian suami. Adapun faktor-faktor yang meningkatkan resiliensi secara internal oleh Kumpfer (1999) adalah (a) spiritual dan motivasi, (b) kompetensi kognitif, (c) kompetensi sosial, (d) emosi, dan (e) kesejahteraan fisik. Salah satu faktor yang termasuk dalam penelitian ini adalah faktor spiritual dan motivasi. Maksud spiritual dan motivasi adalah keyakinan yang dapat mengarahkan inividu ke arah positif. Koping religius menjadi variabel dari faktor ini.

Bhui et al. (2008) melakukan penelitian mengenai perbedaan pola koping diantara enam kelompok etnis. Hasil penelitian menunjukkan koping agama meningkatkan resiliensi. Koping agama meliputi berdoa, mendengar radio religius, menggunakan jimat, berbicara kepada Tuhan, mempunyai relasi dengan Tuhan dan mempercayai (trust) Tuhan. Raghallaigh dan Gilligan (2010) meneliti

(8)

tentang koping yang berkaitan dengan religious faith (iman) dan resiliensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu menggunakan coping ketika berhadapan dengan berbagai perubahan dan tantangan. Lebih dari itu, iman dalam agama yang mereka yakini memainkan peran penting dalam usaha coping. Pada akhirnya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa coping religius dapat meningkatkan resiliensi.

Salah satu alasan dipilihnya koping religius karena konteks Indonesia. Masih banyak orang Indonesia yang melibatkan penghayatan agama (iman) dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian Rachmah (2012) mengenai strategi koping mengungkapkan bahwa koping tidak hanya berfokus pada masalah atau koping kognitif dan koping emosi, tetapi secara khusus Rachmah (2012) menemukan bahwa strategi koping religius banyak digunakan oleh informannya. Para informan melandaskan segala sesuatu kepada Tuhan, terutama dalam menjalankan strategi koping untuk memenuhi tuntutan belajar. Kesadaran akan adanya peranan Tuhan menjadi pijakan bagi informan dalam memenuhi tuntutan belajar. Rosmarin et al. dalam Santrock (2013) mengungkapkan bahwa individu menganggap agama sebagai aspek penting dalam hidupnya. Dengan selalu berdoa, memiliki keyakinan dasar agama yang positif, jarang cemas, jarang khawatir, dan memiliki gejala depresi yang rendah. Individu yang religius menunjukkan penyesuaian yang baik terhadap peristiwa kehilangan yang dihadapinya. Ketidaksiapan menghadapi peristiwa kehilangan, mendorong individu untuk menyalahkan Tuhan. Namun, ada kesadaran seiring berjalannya waktu. Agama digunakan sebagai sarana pemaknaan. Pemaknaan menggiring individu menerima kenyataan derita, lalu diikuti oleh pengembangan diri.

(9)

Selain koping religius (sebagai faktor internal), dukungan sosial (social support) juga berperan penting dalam meningkatkan resiliensi secara eksternal. Penelitian Furukawa, Yokouchi, Hirai, Kitamura & Takhasi (1999) menunjukkan bahwa dukungan sosial memperkuat dan mempercepat pemulihan keluarga pasca kematian suami (ayah). Keluarga yang mendapat dukungan sosial memiliki perbedaan tingkat pemulihan. Keluarga dengan dukungan sosial, tingkat pemulihannya lebih baik dibandingkan dengan yang tidak mendapat dukungan dari orang-orang terdekat. Greeff dan Human (2004) menunjukkan dukungan dari keluarga besar, teman-teman, dikombinasi dengan nilai-nilai keagamaan dan spiritual berkontribusi terhadap keberhasilan penyesuaian dukacita. Sejalan dengan penelitian Ong, Bergeman, Bisconti & Kimbery (2006) bahwa emosi positif dapat membantu individu menjadi resilien.

Aprilia (2013) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa janda pasca kematian suami membutuhkan dukungan sosial berupa kehadiran orang-orang terdekat seperti keluarga, sahabat, teman maupun tetangga, bantuan nyata seperti menjaga dan mengurus anak-anaknya, penghargaan dan penerimaan positif dari lingkungan sekitar tentang pengakuan status janda dan Ibu tunggal. Lebih lanjut Pandanwati & Suprapti (2012) mengatakan bahwa dukungan sosial itu harus dikombinasikan dengan faktor protektif internal seperti kelekatan dan komunikasi dengan pendukung. Dengan demikian, dukungan sosial semakin intens meningkatkan resiliensi. Holaday (1997) mengungkapkan bahwa resiliensi dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal, salah satunya adalah dukungan sosial.

Hawari (1996) menjelaskan bahwa individu yang memiliki religiusitas tinggi akan memiliki pedoman dan daya tahan yang lebih baik dalam

(10)

menghadapi masalah. Penelitian Dykstra (1995) menemukan bahwa dukungan sosial dapat menurunkan kesepian individu tanpa pasangan. Lakey dan Cohen (2000) menambahkan bahwa individu yang mendapat dukungan sosial tinggi cenderung kurang bereaksi secara negatif terhadap masalah-masalah kehidupan, dibandingkan dengan individu yang kurang mendapat dukungan sosial. Penelitian Chung, Hong dan Newbold (2006) menunjukkan bahwa ada pengaruh dukungan sosial teradap resiliensi. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana resiliensi dipakai wanita pengungsi untuk beradaptasi di lingkungan komunitas Hamilton. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa resiliensi ditingkatkan ketika ada dukungan-dukungan eksternal seperti komunitas agama dan budaya, organisasi non pemerintah, maupun pemerintah.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa subjek-subjek yang diwawancarai, belum resilien. Hasil wawancara terhadap tiga subjek menunjukkan janda belum resilien antara lain belum ikhlas menerima keadaan bahwa suaminya telah meninngal dunia, belum dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, dan belum memiliki semangat dalam menjalani kehidupan.

Pada tanggal 7 Nopember 2015, peneliti melakukan wawancara dengan Ibu ST. Ibu ST merupakan janda karena kematian pasangan. Suami Ibu ST meninggal lima tahun yang lalu. Hasil wawancara menunjukkan bahwa wanita tersebut membutuhkan tiga sampai lima tahun untuk dapat beranjak dari kesedihan dan duka cita. Ibu ST sangat mencintai almarhum suaminya. Suaminya meninggal dunia akibat sakit. Pasca kepergian suaminya, Ibu ST selalu menangis jika mengenang suaminya. Ibu ST mengungkapkan perasaan yang dirasakan saat itu adalah stres, terpuruk, merasa sendiri dan ditinggalkan. Ingin rasanya Ibu ST menyusul suaminya. Selama 3 tahun ia terus menangis jika

(11)

mengingat almarhum suaminya. Ketika Ia mulai bersedih, Ia segera mengambil wudhu, sholat dan mengaji. Ibu ST merasa lebih tenang ketika berinteraksi dengan Tuhan lewat sholat dan membaca kitab suci. Ibu ST hidup berdua dengan cucunya, karena kedua anaknya merantau di Bandung. Cucunyalah penyemangat hidupnya. Lima tahun berlalu, Ibu ST masih teringat suaminya. Namun kesedihannya mulai berkurang tidak seperti tiga tahun pertama saat suaminya pergi.

Wawancara kedua peneliti lakukan dengan Ibu DR. Ibu DR adalah warga Terban yang suaminya meninggal setahun yang lalu. Ibu DR berusia 52 tahun dan memiliki 3 orang anak. Almarhum suaminya bekerja sebagai supir Taxi. Kini suaminya telah meninggal dunia karena sakit. Sejak kepergian suaminya kini Ibu DR harus mencari uang sendiri agar dapat memenuhi kebutuhan hidup anaknya. Bu DR tertekan dan merasa putus asa menjalani kehidupan tanpa pendamping. Ibu DR belum menerima kenyataan bahwa suaminya telah meninggal dunia.

Selanjutnya wawancara ke tiga dengan Ibu TM. Ibu TM berusia 57 tahun. Suaminya meninggal sekitar 4 tahun silam karena sakit darah tinggi. Sebelum meninggal suami Ibu TM bekerja sebagai petani. Ibu TM membantu almarhum suaminya bertani usai mengerjakan pekerjaan rumah. Sejak suaminya meninggal kini Ibu TM bekerja sendiri. Bercocok tanam seadanya dan menjual beberapa hasil kebun di pasar. Setelah kematian suaminya Ibu TM merasa kesepian karena anak-anaknya kini sudah menikah dan tinggal bersama keluarganya. Ibu TM merasa sepi, dan masih mengingat suaminya yang telah tiada. Ketika ia merindukan suaminya, Ibu TM segera sholat dan berdoa kepada Tuhan agar kuat melawan rasa rindu. Walau Ia menyadari bahwa suaminya tak dapat kembali lagi, empat tahun tidak cukup untuknya membuka lembaran baru.

(12)

Dengan demikian, penelitian ini diarahkan untuk menganalisis pengaruh dari koping religius dan dukungan sosial secara bersama-sama mempengaruhi resiliensi janda pasca kematian suami. Janda berada pada usia dewasa madya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah ada pengaruh koping religius dan dukungan sosial terhadap resiliensi pada janda usia madya pasca kematian pasangan hidup?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran koping religius dan dukungan sosial terhadap resiliensi pada janda usia dewasa madya pasca kematian pasangan hidup.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan didapat adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai peran koping religius dan dukungan sosial terhadap resiliensi pada janda usia madya pasca kematian pasangan hidup dalam pengembangan ilmu Psikologi.

2. Manfaat praktis

Jika penelitian ini teruji maka penelitian ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bahwa koping religius dan dukungan sosial merupakan faktor-faktor yang berkontribusi dalam mencapai resiliensi pada janda usia

(13)

madya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber dan pendukung bagi para peneliti, secara khusus bagi mereka yang tertarik dengan penelitian mengenai resiliensi.

Jika penelitian ini tidak teruji, maka hipotesis tidak terjawab. Hal ini berarti, variabel-variabel prediktor tidak memberikan kontribusi terhadap variabel resiliensi pada subjek penelitian.

E. Keaslian Penelitian

Secara umum, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini ingin menguji variabel dukungan sosial dan koping religius secara bersama mempengaruhi resiliensi.

Penelitian Chung, et al. (2006) mengenai dukungan sosial terhadap pengungsi wanita singel. Penelitian ini dilakukan di Hamilton, Ontario, bagian tengah kota Kanada. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Peneltian tersebut mengungkapkan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan resiliensi. Raghallaigh dan Robbie (2010); Bhui et al. (2008) meneliti tentang koping religius. Keduanya menggunakan metode penelitian kualitatif. Bhui et al. (2008) meneliti enam etnis: Bangladesh, Karibia, India, Irlandia, Pakistan, dan Inggris. Penelitian terhadap subjek yang lahir di Inggris Raya maupun mereka yang bersekolah di Inggris Raya. Raghallaigh dan Robbie (2010) melakukan penelitian dalam Eropa. Subjek penelitian berasal dari Jerman. Penelitian Raghallaigh dan Robbie (2010); Bhui et al. (2008) hanya menyingkap masing-masing variabel secara terpisah dalam mempengaruhi resiliensi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Perbedaan penelitian ini adalah

(14)

peneliti hendak menguji keterhubungan pengaruh dukungan sosial dan koping religius terhadap resiliensi secara kuantitatif.

Penelitian yang dilakukan Juniarly (2011) pada 55 orang Polisi Sabhara Polsek Kebumen dengan kategori pangkat Bripda, Briptu dan Brigadir, melihat peran koping religius dan kesejahteraan subjektif terhadap stres pada anggota bintara polisi di Polres Kebumen. Hasil peneletian ini membuktikan bahwa penggunaan koping religius adalah salah satu cara yang terbaik untuk menurunkan tingkat stres seseorang. Perbedaan dengan penelitian peneliti adalah peneliti melibatkan faktor internal (koping religius) dan faktor eksternal (dukungan sosial) secara bersama-sama dalam memprediksi resiliensi. Penelitian Juniarly (2011) menguji peran koping religius dan kesejahteraan terhadap stres saja.

Penelitian Odarina (2013) menguji apakah koping religius dapat meningkatkan resiliensi. Perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan ada pada variabel dukungan sosial. Penelitian Ordiana (2013) tidak melibatkan variabel dukungan sosial dalam mempengaruhi resiliensi, sedang penelitian yang peneliti lakukan melibatkan dukungan sosial sebagai variabel prediktor yang dapat mempengaruhi resiliensi.

Pitasari dan Cahyono (2014) melakukan penelitian dengan judul “Koping Pada Ibu Yang Berperan Sebagai Orang tua Tunggal Pasca Kematian Suami”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek pada penelitian ini mengalami masa-masa sulit pasca kematian suami. Penelitian Pitasari dan Cahyono (2014) hanya menggunakan koping secara umum dalam proses resiliensi pasca kematian pasangan hidupnya, sedang pada penelitian peneliti, peneliti menggunakan koping religius dan melibatkan faktor dukungan sosial sebagai variabel prediktor.

(15)

Lefler & Wilson (2004) melakukan penelitian dengan judul “The Experience of Becoming a Mother for Single, Unpartnered, Medicaid-Eligible, First-Time Mothers”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa para wanita janda merumuskan tujuan hidup untuk mengelola perasaan duka cita pasca kehilangan pasangan hidup. Merumuskan kembali tujuan hidup seperti keyakinan pada adanya masa depan, menyibukkan diri pada peran sebagai Ibu, berani memutuskan pilihan hidup, mengembangkan kemampuan diri, identitas dan masa depan yang baru serta mencoba peran baru. Dukungan sosial, dan resiliensi dari dalam diri dapat membantu proses berkabung.

Penelitian Greeff dan Human (2004) dengan judul “Resilience in Families in Which a Parent has Died”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan dalam keluarga seperti dukungan sosial dan rasa optimis yang dibangun bersama dapat membantu keluarga yang ditinggalkan dalam penyesuaian diri terhadap duka cita dan rasa kehilangan hingga mencapai resiliesi. Pada penelitian Greeff dan Human (2004), variabel yang menjadi prediktor dalam terbentuknya resiliensi hanyalah dukungan sosial dimana dukungan sosial merupakan faktor eksternal. Greeff dan Human (2004) tidak menyertakan variabel koping religius sebagai variabel yang bersama-sama dalam memprediksi resiliensi.

Penelitian Aprilia (2013) dengan judul “Resiliensi dan Dukungan Sosial pada Orang Tua Tunggal (Studi Kasus Pada Ibu Tunggal Di Samarinda” mengungkapkan bahwa faktor dukungan sosial keluarga, sahabat, teman maupun tetangga, bantuan nyata seperti membantu menjaga dan mengurus anak-anaknya, penghargaan dan penerimaan yang positif dari lingkungan sekitarnya membantu proses resiliensi. Agar dapat bangkit, subjek membutuhkan

(16)

waktu kurang lebih 1-3 tahun untuk kembali bangkit dan pulih dari segala kesedihan dan kesendirian. Sama dengan penelitian sebelumnya, Aprilia (2013) hanya melibatkan variabel dukungan sosial sebagai variabel yang dapat membantu proses resiliensi. Aprila (2013) tidak melibatkan variabel koping religius dalam proses resiliensi.

Munauwarah (2008) meneliti tentang korelasi antara kepribadian tangguh, harga diri dan dukungan sosial secara bersama-sama terhadap resiliensi. Munauwarah (2008) tidak melibatkan variabel koping religius dalam memprediksi resiliensi, sedang penelitian peneliti menggunakan variabel koping religius dan dukungan sosial secara bersama-sama dalam mempengaruhi resiliensi.

Referensi

Dokumen terkait

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

(2) Bank Indonesia mencabut status BDP apabila Bank Indonesia telah menerima surat penetapan dari BPPN yang menyatakan program penyehatan terhadap Bank yang bersangkutan telah

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. © Putu Anastasya Nurfitri Matahari 2014

[r]

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat