• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUKANG SUUN ANAK-ANAK : BENTUK EKSPLOITASI ORANGTUA TERHADAP ANAK (Studi Kasus di Pasar Badung, Denpasar-Bali)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUKANG SUUN ANAK-ANAK : BENTUK EKSPLOITASI ORANGTUA TERHADAP ANAK (Studi Kasus di Pasar Badung, Denpasar-Bali)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

TUKANG SUUN ANAK-ANAK : BENTUK EKSPLOITASI

ORANGTUA TERHADAP ANAK

(Studi Kasus di Pasar Badung, Denpasar-Bali)

Putu Fania Pebriani, Ni Luh Nyoman Kebayantini, Ketut Sudhana Astika

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana

Email : [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRACT

Children who are labored as casual worker to carry their customer’s goods on the head or “tukang suun” at Badung market by their parents are considered as form of child exploitation because those children are labored without regarding to Labor Minister Rule No. 1 Year 1967 about children who are forced to work, boundaries of reasonableness, dan children’s rights. The theory which was used in this research to analyze the problem was Social Interaction Theory (Superordination and Subordination) from Georg Simmel which was supported by his concepts about Individual Awareness and Culture Tragedy.

This research used qualitative research method and applied descriptive and case study approach as the research type. Collecting data is done by observation, deep interview, and study document techniques. The research’s result showed that the reasons of the presence of children as “tukang suun” at Badung market are the low of parental education, poverty, individual encouragement, and the low of public understanding and awereness of the efforts to minimize children labor. Forms of children as “tukang suun” exploitation can be seen from the children’s age, work location, work time, the amount of wages, and violence. This exploitation’s effects are those children do not have any chance to continue their study, bad mental and behavior of those children, and cleanliness less maintenance of children as “tukang suun”.

Key Words : children as “tukang suun”, exploitation, Badung market

1. PENDAHULUAN

Adanya fenomena tukang suun anak-anak yang bekerja di Pasar Badung, Denpasar-bali sebagai penjual jasa angkut barang belanjaan pembeli merupakan suatu bentuk dari eksploitasi orangtua terhadap anak. Hal ini dikarenakan orangtua baik secara sadar ataupun tidak telah mengambil keuntungan dengan memanfaatkan tenaga dan waktu anak untuk bekerja, dimana penghasilan yang didapat sebagian besar diserahkan kepada orangtuanya. Tukang suun anak-anak yang

tergolong sebagai pekerja anak dipekerjakan tanpa mempertimbangkan batas-batas kewajaran dan menelantarkan hak-hak anak. Selain itu, orangtua juga tidak mempedulikan adanya standar Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1967 tentang Anak-Anak yang Terpakasa Bekerja yang menyatakan bahwa boleh mempekerjakan anak diatas usia 14 tahun dengan ketentuan pekerjaan tersebut tidak berada di lokasi yang berbahaya, jam kerja tidak lebih dari empat

(2)

2 jam sehari, dan anak tetap diperbolehkan untuk bersekolah (Sofian, 2012 : 47).

Adanya tukang suun anak-anak yang bekerja di pasar Badung merupakan hal yang cukup miris mengingat bahwa kota Denpasar sempat meraih penghargaan Menuju Kota Layak Anak tahun 2015 karena dianggap telah mampu memenuhi hak-hak anak dengan berbagai fasilitas yang disediakan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua anak-anak di Denpasar memiliki kesempatan untuk menikmati haknya khususnya bagi tukang suun anak-anak yang berasal dari kalangan keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah.

Tidak ada pilihan lain yang dapat anak-anak lakukan ketika orangtua mengajak dan mengharuskan mereka bekerja. Anak-anak mengikuti ajakan tersebut baik secara rela ataupun terpaksa sebagai rasa bakti mereka terhadap orangtua. Anak-anak juga tidak bisa menolak ajakan tersebut karena kekuasaan atas diri anak tersebut berada di tangan orangtuanya. Posisi anak-anak sebagai subordinat ditunjukkan dengan kemauan anak-anak untuk bekerja sebagai tukang suun atas dasar kepatuhan, terpaksa, atau dipaksa orangtuanya yang menduduki posisi superordinat.

Anak-anak yang bekerja sebagai tukang

suun merupakan hal yang memprihatinkan

karena berkaitan dengan dampak negatif yang diakibatkan karena bekerja di usia dini. Tukang suun anak-anak seharusnya mendapatkan pemenuhan atas hak-haknya seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan, kasih sayang, waktu istirahat, dan hak anak lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan tiga hal yaitu mengenai latar belakang kemunculan tukang suun anak-anak di Pasar Badung, bentuk eksploitasi orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung, dan dampak eksploitasi orangtua bagi anak yang bekerja sebagai tukang

suun di Pasar Badung.

2. KAJIAN PUSTAKA

Studi yang dilakukan Putra dkk. (dalam Suyanto, 2013 : 31-32) menyatakan bahwa di masyarakat terdapat hubungan natural asimetris antara orang dewasa dan anak, dimana anak berada dalam posisi yang lebih lemah dan karena itu juga lebih rendah sehingga orang dewasa secara sadar maupun tidak menciptakan ketidakseimbangan kultural kepada anak yang sifatnya menguntungkan orang dewasa. Anak menerima hubungan ini sebagai sesuatu yang biasa dan ini merupakan akar dari berbagai tindak kekerasan orang dewasa kepada anak. Penelitian tersebut bermanfaat bagi penulis dalam mengkaji eksploitasi orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang

suun dimana anak memiliki posisi lebih

rendah dibandingkan orangtuanya sehingga orangtua cenderung memanfaatkan posisi anak yang lebih rendah tersebut untuk mengeksploitasi anaknya demi kepentingan ekonomi.

Skripsi berjudul “Eksploitasi Orangtua

Terhadap Anak dengan Mempekerjakan Sebagai Buruh” yang ditulis oleh Rahman

(2007) menyatakan bahwa orangtua menjadi pengambil keputusan yang paling

(3)

3 dominan termasuk juga dalam mempekerjakan anaknya pada pabrik konveksi dengan cara memanipulasi umur anak. Penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian penulis yaitu adanya anak-anak yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga merupakan suatu keputusan yang diambil oleh orangtua karena orangtua memiliki kuasa atas anak termasuk dalam mengeksploitasi tenaga dan waktu anak untuk bekerja.

Fitriani (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Faktor-faktor Penyebab

Terjadinya Eksploitasi Seksual Terhadap Anak Ditinjau dari Sudut Kriminologi di Kota Pontianak” menggambarkan bahwa

undang-undang yang memuat tindak eksploitasi anak secara ekonomi maupun seksual masih sebatas wacana dan belum sepenuhnya menyentuh permasalahan eksploitasi anak. Penelitian Fitriani tersebut memiliki relevansi dengan penulis yaitu adanya larangan tertulis di Pasar Badung yang melarang anak di bawah usia 18 tahun untuk bekerja belum cukup optimal dalam meminimalisir keberadaan tukang

suun anak-anak sebagai bentuk pekerja

anak yang dipekerjakan oleh orangtuanya. Hasil penelitian lain yang tertuang dalam skripsi berjudul “Eksploitasi Anak Jalanan

(Studi Kasus Anak Jalanan di Pantai Losari Kota Makassar)” yang ditulis oleh Salla

(2012) mengambarkan adanya penggusuran para pedagang di sekitar Pantai Losari demi pengembangan infrastruktur mengakibatkan para pedagang kehilangan sumber penghasilan sehingga mereka mengeksploitasi anaknya sebagai anak jalanan. Penelitian yang dilakukan

Salla tersebut memiliki keterkaitan dengan penulis dimana rendahnya perekonomian dalam keluarga, mendorong orangtua untuk melibatkan anak-anak pada dunia kerja demi meringankan beban orangtua atau memberikan sumbangan terhadap pendapatan orangtua.

Dari beberapa pemaparan penelitian diatas, maka persamaan peneliti sebelumnya dengan penulis terletak pada topik yang dikaji yaitu mengenai eksploitasi anak yang didalamnya membahas mengenai faktor penyebab, bentuk, dan dampak negatif dari eksploitasi anak. Namun dalam penelitian ini penulis akan mengungkap hubungan superordinasi dan subordinasi antara orangtua dengan anak sebagai penyebab timbulnya eksploitasi terhadap anak dalam wujud tukang suun, dimana teori, subjek, dan lokasi penelitian penulis memiliki perbedaan dengan peneliti sebelumnya.

Penelitian ini menggunakan Teori Interaksi Sosial (Superordinasi dan Subordinasi) dari Georg Simmel serta didukung dengan beberapa konsepnya yaitu Kesadaran Individu dan Tragedi Kebudayaan. Superordinasi dan subordinasi merupakan salah satu bentuk interaksi yang memiliki beragam motif, tujuan, dan kepentingan yang dapat ditemukan di berbagai latar, “dalam negara maupun dalam komunitas keagamaan, dalam sekelompok konspirator sebagaimana dalam asosiasi ekonomi, di sekolah seni, maupun di dalam keluarga” (Ritzer & Goodman, 2011 : 177-183). Dalam hal ini, eksploitasi yang terjadi pada tukang suun anak-anak disebabkan oleh

(4)

4 adanya hubungan interaksi timbal balik dalam bentuk superordinasi dan subordinasi antara orangtua dengan anak, dimana orangtua menduduki posisi superordinat dan anak menduduki posisi subordinat. Sebagai keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah, interaksi antara orangtua dengan anak disebabkan oleh adanya hubungan ketergantungan, dimana anak tergantung oleh orangtuanya karena butuh kasih sayang dan perlindungan orangtua, sedangkan orangtua tergantung pada anak dengan harapan anak dapat memberikan sumbangan terhadap pendapatan keluarga.

Interkasi dalam bentuk superordinasi dan subordinasi antara orangtua dengan anak yang bekerja sebagai tukang suun dilakukan melalui proses pembagian kerja yang tidak memihak pada kondisi dan hak-hak anak. Rendahnya posisi anak sebagai subordinat sering dimanfaatkan oleh orangtuanya demi menambah pendapatan keluarga.

Simmel membagi subordinasi ke dalam tiga jenis, yaitu subordinasi di bawah seorang individu yaitu subordinat memandang penguasa bersifat mutlak dan ketidaknyamanan subordinat terhadap superordinat tersebut disampaikan ke subordinat lain karena rasa takut, bijaksana, dan kurangnya kesempatan untuk menyerang superordinat. Kedua yaitu subordinasi di bawah pluralitas individu yang memungkinkan adanya eksploitasi yang lebih parah, dan ketiga yaitu eksploitasi di bawah prinsip umum / ideal dimana superordinat dan subordinat diatur oleh hukum sehingga membatasi

kewenangan atau dominasi superordinat (Johnson, 1994 : 263-267).

Kesadaran Individu adalah terinternalisasinya norma dan nilai masyarakat ke dalam kesadaran individu (Ritzer & Goodman, 2011 : 178). Melalui konsep Kesadaran Individu maka dapat diketahui alasan yang menyebabkan tukang suun anak-anak menuruti ajakan orangtuanya untuk bekerja yaitu adanya norma dan nilai yang ditanamkan orangtua maupun masyarakat kepada anak-anak bahwa anak harus mematuhi perintah orangtuanya. Konsep Tragedi Kebudayaan menjelaskan bahwa dunia modern menyebabkan individu ditelan oleh hasil ciptaannya sendiri termasuk ekonomi uang (Widyanta, 2002 : xviii). Dalam hal ini orangtua tukang suun anak-anak tidak lagi mempertimbangkan arti penting seorang anak karena orangtua lebih memprioritaskan uang.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dan pendekatan studi kasus, dimana ketiganya dapat saling mendukung untuk menggambarkan eksploitasi orangtua terhadap anak-anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung secara menyeluruh, rinci, dan kompleks. Pendekatan studi kasus digunakan untuk menempatkan objek penelitian sebagai sebuah kasus, dimana kesimpulan dari hasil penelitian hanya berkaku atau terbatas pada kasus tertentu (Iskandar, 2009 : 54). Penelitian berlokasi di Pasar Badung, Jl. Sulawesi, Denpasar-Bali

(5)

5 karena tukang suun anak-anak hanya dapat ditemukan di pasar ini. Subjek penelitian lebih terfokus pada tukang suun anak-anak, sedangkan objek penelitian dalam penelitian ini adalah eksploitasi.

Informan ditentukan melalui teknik

purposive dan snowball dimana informan

ditentukan melalui pertimbangan peneliti terhadap orang-orang yang dianggap memiliki pengetahuan dan keterkaitan dengan penelitian ini yang kemudian akan bekerbang jumlahnya melalui informan awal yang memberikan petunjuk mengenai informan lainnya. Informan dalam penelitian ini diantaranya yaitu tukang suun anak-anak di Pasar Badung, orangtua tukang

suun anak-anak, tukang suun ibu-ibu, staf

pengajar di Sanggar Belajar Lentera Anak Bali (LAB), pihak di kantor unit Pasar Badung, pedagang, dan pengguna jasa tukang suun anak-anak.

Terdapat dua jenis sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan sekunder, dimana sumber data primer diperoleh langsung dari pihak pertama melalui teknik observasi dan wawancara mendalam, sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari teknik dokumentasi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu observasi (pengamatan), wawancara mendalam (deep interview), dan dokumentasi. Analisis data digunakan melalui metode analisis dari Miles dan Huberman yang terdiri dari tiga alur yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Usman & Akbar, 2009 : 85).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Pasar Badung Pasar Badung merupakan pasar induk di kota Denpasar yang berlokasi di Jl. Sulawesi, Denpasar-Bali. Menurut Supartini (dalam Pohan, 2011 : 26) Pasar Badung merupakan pasar tertua yang secara historis telah ada sejak zaman kerajaan Badung. Pada tahun 2000, Pasar Badung berdiri di atas bangunan megah seluas 8.016 m2 dengan luas tanah 6.230 m2. Namun pada malam hari luas tanah yang digunakan para pedagang untuk berjualan hanya seluas 3.558 m2 (Bagian Teknik Perusahaan Daerah Pasar Kota Denpasar, (t.t.)). Hal ini terjadi karena pada malam hari para pedagang hanya melakukan aktivitasnya di pelataran pasar, sedangkan para pedagang yang berjualan di dalam kios dan los pada pagi hari telah menutup dagangannya menjelang sore hari.

Pasar Badung dibangun dengan gaya arsitektur Bali berlantai empat dimana masing-masing lantai menunjukkan adanya barang-barang yang telah dikelompokkan menurut jenisnya untuk memudahkan para konsumen mencari barang yang ingin dibeli. Pasar Badung juga menyediakan lahan parkir yang cukup luas, terlebih lagi saat ini telah dibangun parkir di ruang bawah tanah (basement). Adanya bangunan pasar yang bertingkat dan cukup jauhnya jarak tempuh dari dalam pasar menuju lahan parkir menjadi kesempatan bagi tukang suun anak-anak untuk menjual jasa angkut barang kepada pembeli yang merasa kewalahan membawa barang.

Sebagai pasar terlengkap di kota Denpasar, Pasar Badung masih eksis di

(6)

6 tengah menjamurnya keberadaan minimarket yang ditunjukkan dengan masih ramainya masyarakat yang mengunjungi pasar ini untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Keramaian Pasar Badung tersebut dijadikan peluang bagi para tukang suun anak-anak dalam mencari penghasilan dengan menjual jasa angkut barang belanjaan menggunakan keranjang demi membantu perekonomian keluarga. Diberlakukannya sistem pasar pagi dan malam membuat pasar ini buka hampir 24 jam dan tidak pernah berhenti dari aktivitas perekonomian (Purawati, 2011 : 50). Hal ini membuat tukang suun anak-anak dapat bekerja sesuai dengan waktu yang mereka inginkan.

4.2. Latar Belakang Kemunculan

Tukang Suun Anak-Anak di Pasar Badung

4.2.1. Kemiskinan

Penyebab munculnya tukang suun anak-anak di Pasar Badung adalah kemiskinan pada keluarga tukang suun anak-anak yang disebabkan oleh sumber daya alam yang kurang mendukung di daerah asalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga tukang suun anak-anak berasal dari desa Tianyar Tengah (wilayah Pedahan), kecamatan Kubu, Karangasem dimana wilayah tersebut merupakan daerah dengan tingkat kesejahteraan hidup di bawah rata-rata dengan sumber daya alam yang sangat kering dan kurang memadai. Hal ini berimbas pada tidak adanya aset produksi seperti lahan bercocok tanam dan

hewan ternak yang dapat dikelola untuk dimakan sendiri ataupun dijual dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Menjadi buruh kasar dengan modal tenaga yang kuat pada akhirnya menjadi sebuah pilihan orangtua tukang suun anak-anak tersebut, dimana kota Denpasar menjadi tempat mereka mengadu nasib menjadi tukang suun untuk kalangan ibu-ibu dan buruh bangunan dilakoni oleh bapak-bapak dari tukang suun anak-anak. Namun kenyataannya penghasilan orangtua belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubung banyaknya persaingan.

Masalah tersebutlah yang kemudian mendorong orangtua untuk mempekerjakan anak-anak perempuannya sebagai tukang

suun di Pasar Badung untuk mencari

penghasilan dalam rangka membantu pendapatan keluarga. Simmel melihat hal ini sebagai tragedi budaya, dimana karena uang arti penting individu yang sesungguhnya justru semakin menciut (Ritzer & Goodman, 2011 : para 33). Orangtua tukang suun anak-anak telah menjadikan anaknya sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang bisa dijadikan alat untuk memperoleh keuntungan. Nilai anak di mata orangtua tukang suun anak-anak pun menjadi sangat rendah.

4.2.2. Rendahnya Tingkat

Pendidikan Orangtua

Rendahnya tingkat pendidikan orangtua tukang suun anak-anak karena keterbatasan biaya berpengaruh terhadap sempitnya pengetahuan dan pemahaman orangtua tukang suun anak-anak terhadap

(7)

7 peraturan tentang anak-anak yang terpaksa bekerja termasuk juga mengenai hak-hak anak. Rendahnya tingkat pendidikan orangtua tukang suun anak-anak memicu munculnya pola pikir dari orangtua yang masih menganggap remeh dampak negatif yang akan dialami oleh anak apabila bekerja di usia dini. Orangtua beranggapan bahwa mempekerjakan anak di usia dini merupakan hal yang dianggap wajar dan baik karena dapat menjadikan anak sebagai pribadi yang mandiri dalam meraih penghasilan.

4.2.3. Keinginan Individual

Hal yang melatarbelakangi anak-anak bekerja sebagai tukang suun selanjutnya yaitu keinginan dari tukang

suun anak-anak itu sendiri. Menjadi tukang

suun untuk membantu orangtua

merupakan cara yang dilakukan oleh tukang suun anak-anak untuk menghormati orangtuanya. Keinginan indivudial anak untuk bekerja sebagai tukang suun muncul karena adanya perasaan bangga bisa memperoleh uang secara mandiri, takut dicap sebagai anak yang malas dan durhaka oleh orangtua, masih tergantung dengan orangtua, ajakan dari teman-temannya, trauma duduk di bangku sekolah, dan untuk menghindari perlakuan tidak menyenangkan dari tetangga di rumah kontrakannya.

4.2.4. Rendahnya Pemahaman dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Upaya Peminimalisisran Pekerja Anak

Keberadaan tukang suun anak-anak yang bekerja di Pasar Badung dipengaruhi oleh minimnya pemahaman masyarakat dan orangtua tukang suun anak-anak tentang peraturan anak-anak yang terpaksa bekerja dan hak-hak anak yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 termasuk juga mengenai sanksi yang termuat didalamnya. Tidak hanya itu, masih eksisnya keberadaan tukang suun anak-anak juga dipengaruhi oeh adanya sikap apatis orang-orang yang berada di Pasar Badung tentang adanya larangan mempekerjakan anak-anak di usia dini yang termuat dalam papan pengumuman yang dipasang di setiap sudut pasar. Secara tidak langsung rendahnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peminimalisiran keberadaan tukang suun anak-anak dalam merespon larangan yang ada telah memberi kesempatan kepada tukang suun anak-anak ini untuk tetap bekerja dan berada pada posisi yang merugikan diri anak itu sendiri.

4.3. Bentuk Eksploitasi Orangtua

Terhadap Anak yang Bekerja Sebagai Tukang Suun di Pasar Badung

4.3.1. Usia

Usia rupanya tidak menjadi pertimbangan orangtua dalam mempekerjakan anaknya sebagai tukang

suun demi mendapatkan penghasilan.

Padahal bekerja sebagai tukang suun tidak sesuai dengan usia dan kondisi fisik anak karena membutuhkan tenaga yang kuat

(8)

8 dalam menjunjung barang belanjaan pelanggan. Kondisi anak tersebut justru dimanfaatkan oleh orangtua karena buruh anak dapat digaji murah, mudah diatur, tidak banyak menuntut, produktifitas tinggi, dan dalam beberapa sektor tertentu kualitas pekerjaan buruh anak lebih baik dibandingkan buruh dewasa (Sofian, 2012 : 45-46).

Data di lapangan menunjukkan bahwa tukang suun anak-anak berusia belasan tahun. Hal ini juga diperkuat oleh staf pengajar di Sanggar Lentera Anak Bali bahwa rata-rata usia tukang suun anak-anak yang bekerja di Pasar Badung adalah mulai dari usia 4-16 tahun. Padahal pihak PD Pasar Kota Denpasar telah melarang anak di bawah 18 tahun untuk mejadi buruh pasar di setian sudut pasar melalui papan pengumuman. Namun kenyataannya pengumuman tersebut belum cukup efektif dalam meminimalisir keberadaan pekerja anak dalam wujud sebagai tukang suun.

Mempekerjakan anak sebagai tukang suun dalam usia di bawah 14 telah melanggar peraturan yang dibuat oleh Menteri Tenaga Kerja mengenai anak-anak yang terpaksa bekerja. Bentuk eksploitasi tukang suun anak-anak bila dilihat dari batasan usia tergolong ke dalam jenis subordinasi dibawah individu karena pelibatan anak-anak dalam dunia kerja tanpa memandang usia dilakukan oleh orangtua tukang suun anak-anak itu sendiri. 4.3.2. Lokasi Kerja

Adanya bangunan pasar yang luas dan bertingkat ditambah dengan jarak lahan parkir yang cukup jauh dari bangunan

pasar mengharuskan tukang suun anak-anak untuk dapat menjunjung beban belanjaan pelanggan yang cukup berat dalam waktu yang tidak singkat mengikuti pelanggan tersebut mencari barang belanjaan yang diinginkan. Tukang suun anak-anak mengaku cukup lelah mengangkut barang belanjaan pelanggan terutama saat siang hari dimana mereka harus berpanas-panasan.

Tukang suun anak-anak terpaksa harus berlapang dada dalam menghadapi situasi kerja yang cukup melelahkan dan membahayakan keselamatan dirinya demi mendapatkan uang dari para pengguna jasa. Mereka harus berani mengambil dan merasakan risiko kerja demi mendapatkan uang dari pengguna jasa termasuk juga mengantar para pembeli ke tempat penjualan daging dan ikan yang jorok dan bau. Bentuk eksploitasi tukang suun anak-anak dilihat dari lokasi kerja termasuk ke dalam jenis subordinasi di bawah pluralitas individu karena selain adanya tekanan dari orangtua dalam meraih pendapatan, mereka juga mendapat tekanan dan diatur oleh pengguna jasa yang menuntut mereka untuk mampu mengantar pelanggan berbelanja di dengan kondisi pasar yang luas dan bertingkat.

4.3.3. Waktu Kerja

Diberlakukannya sistem Pasar Badung yang buka setiap hari dan hampir 24 jam telah memberikan peluang kepada tukang suun anak-anak dalam memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin untuk bekerja sesuai dengan kebutuhan mereka. Data di lapangan

(9)

9 menunjukkan bahwa tukang suun anak-anak rata-rata bekerja selama 10-14 jam per hari walaupun peratuan hanya memperbolehkan anak-anak bekerja tidak lebih dari empat jam. Hal ini dikarenakan oleh adanya jumlah tukang suun anak-anak dan ibu-ibu yang cukup banyak sehingga menimbulkan adanya persaingan kerja. Terlebih lagi, tidak semua pembeli yang berbelanja di Pasar Badung menggunakan jasa tukang suun karena merasa mampu untuk membawa barang belanjaannya sendiri.

Waktu kerja yang cukup panjang tersebut membuat anak-anak kehilangan waktu untuk belajar, beristirahat, dan bermain yang merupakan bagian dari hak anak yang harus dipenuhi. Eksploitasi anak dilihat dari waktu kerja termasuk ke dalam jenis subordinasi di bawah individu yang merujuk kepada orangtua tukang suun anak itu sendiri karena waktu kerja anak-anak telah diatur oleh orangtuanya melebihi batas-batas yang ditentukan oleh standar Permenaker No. 1 Tahun 1967.

4.3.4. Upah

Menurut hasil wawancara yang dilakukan bersama beberapa tukang suun anak-anak menyatakan bahwa hasil kerja cenderung diserahkan kepada orangtuanya setelah bekerja dalam waktu yang cukup panjang. Mereka mengaku uang tersebut akan digunakan oleh orangtuanya untuk biaya sekolah anak laki-lakinya dan untuk keperluan rumah tangga. Tukang suun anak-anak juga tidak diberikan upah atas jerih payah yang telah dilakukan untuk keluarganya.

Penderitaan tukang suun anak-anak tidak berhenti disitu saja, namun juga dapat dilihat dari rendahnya upah yang diberikan pelanggan di pasar. Mereka sangat tergantung kepada para pelanggan yang bersedia menggunakan jasanya. Rendahnya upah dari para pengguna jasa

suun anak-anak dan tidak adanya upah

yang diberikan orangtua kepada anaknya yang telah turut membantu menyumbangkan penghasilannya untuk menopang pendapatan keluarga merupakan suatu hal yang cukup miris di tengah sulitnya mereka mencari pelanggan dalam waktu kerja yang cukup panjang dan beban kerja yang cukup berat.

Terlebih lagi salah satu alasan tukang

suun anak-anak tersebut bekerja adalah

untuk dapat menabung dan menempuh bangku sekolah untuk dapat menggapai cita-cita yang diinginkannya. Namun dalam hal ini orangtua secara tidak langsung justru mematahkan cita-cita anak tersebut karena hasil kerja yang mereka peroleh yang seharusnya dapat ditabung telah diambil alih oleh orangtuanya. Upah kerja tukang suun anak-anak terkategri ke dalam subordinasi di bawah pluralitas individu karena mereka tidak hanya tersubordinasi oleh orangtua sebagai pemberi upah, namun juga oleh pengguna jasa yang menentukan pendapatannya dalam sehari.

4.3.5. Kekerasan Fisik dan Verbal Kondisi yang tidak menyenangkan dapat menghampiri tukang suun anak-anak kapan saja karena tidak semua pengunjung yang datang ke Pasar Badung berkenan menggunakan jasa mereka. Apalagi tukang

(10)

10

suun anak-anak ini kerap kali mengikuti

pengunjung sambil mencolek dan menarik baju pengunjung. Hal ini terkadang membaut pengunjung merasa kesal terhadap kehadiran mereka yang sedikit memaksa. Akibatnya beberapa tukang

suun anak-anak mengalami perlakukan

yang tidak menyenangkan berupa pukulan atau tamparan dari pengunjung.

Permasalahan yang harus dihadapi tukang suun anak-anak yang bekerja di Pasar Badung tidak berhenti di situ saja. Perasaan kecewa dan sedih di saat mereka tidak mampu mendapatkan uang yang sesuai dengan jumlah yang diharapkan justru semakin diperparah dengan adanya kekerasan verbal maupun fisik yang harus mereka terima dari orangtua mereka sendiri. Walaupun tukang suun anak-anak tidak setiap hari mendapat perlakuan kasar dari orangtuanya, namun tukang suun anak-anak tersebut telah terbiasa untuk dimarahi oleh orangtuanya. Kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan orangtua dan pengunjung pasar termasuk ke dalam jenis subordinasi di bawah pluralitas individu dan prinsip umum karena kekerasan fisik dan verbal dilakukan oleh orangtua dan pengunjung pasar dimana kekerasan terhadap tukang suun anak-anak diatur oleh hukum dan semua diharapkan untuk taat sehingga dominasi orang dewasa dapat dibatasi dan diminimalisir.

4.4. Dampak Eksploitasi Orangtua

Bagi Anak yang Bekerja Sebagai Tukang Suun di Pasar Badung

4.4.1. Pendidikan

Salah satu dampak negatif dari dipekerjakannya anak-anak sebagai tukang

suun di Pasar Badung adalah tidak adanya

kesempatan bagi tukang suun anak-anak untuk menempuh pendidikan yang layak karena waktu belajar telah digantikan dengan waktu untuk bekerja. Padahal dari beberapa tukang suun anak-anak yang telah diwawancara memiliki cita-cita yang tinggi diantaranya sebagai chef di sebuah hotel, dokter, guru, dan penyanyi. Tidak adanya alokasi dana untuk pendidikan karena rendahnya penghasilan orangtua mengakibatkan anak-anak menjadi putus sekolah atau tidak dapat menempuh pendidikan yang layak samasekali. Hal ini justru semakin diperparah dengan dilibatkannya anak-anak perempuan dalam dunia kerja sebagai tukang suun sehingga mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk menikmati bangku sekolah.

Ketika pemerintah kota Denpasar telah berupaya menyediakan fasilitas belajar berupa Sanggar Belajar LAB dan asrama gratis bagi tukang suun anak-anak untuk dapat belajar dan mengejar cita-citanya, tukang suun anak-anak justru lebih memilih untuk tetap melakukan pekerjaannya karena tergiur akan nikmatnya mendapatkan uang dari jerih payah sendiri.

Pendidikan kini tidak lagi menjadi sesuatu yang patut diperjuangkan oleh tukang suun anak-anak karena bagi mereka uang merupakan hal yang lebih bernilai daripada pendidikan. Diperkenalkannya anak-anak dalam meraih pendapatan telah mengubah pola pikir

(11)

11 anak-anak bahwa tanpa pendidikan mereka juga bisa berpenghasilan.

Mengesampingkan pentingnya pendidikan lambat laun akan mengakibatkan keluarga tukang suun anak-anak tidak mampu memperbaiki kondisi keuangan keluarga dan cenderung tetap berada pada kehidupan yang serba kekurangan karena ilmu pengetahuan dan keterampilan yang didapat di bangku pendidikan dapat dijadikan bekal untuk mencari nafkah.

4.4.2. Mental dan Perilaku

Adanya kekerasan fisik dan verbal yang diterima tukang suun anak-anak berdampak negatif pada mental anak-anak dimana mereka menjadi sangat tertutup, takut, dan tertekan. Hasil observasi menunjukkan bahwa mereka lebih sering menunduk saat diajak berkomunikasi sambil memainkan jemari tangan atau bajunya. Dampak negatif pada mental tukang suun anak-anak tersebut merupakan salah satu cerminan dari teropresinya mereka terhadap kekuasaan orangtua sebagai superordinat. Sikap tertutup, perasaan tertekan dan takut yang dialami tukang suun anak-anak tersebut lambat laun dikhawatirkan akan melumpuhkan rasa percaya diri anak yang berpengaruh juga terhadap tumbuh kembang dan masa depannya.

Dampak dari eksploitasi juga berpengaruh terhadap buruknya perilaku tukang suun anak-anak yang beberapa diantaranya disebabkan oleh adanya kekerasan yang dialami dalam dunia kerja (fisik dan verbal) serta kurang optimalnya

fungsi proteksi dan afeksi dalam sebuah keluarga tukang suun anak-anak. Hal tersebut membuat anak-anak menjadi pribadi yang bandel, kasar, egois, tidak bisa diatur, terlibat pergaulan bebas, dan suka mencari perhatian orang lain.

4.4.3. Kebersihan

Waktu kerja yang cukup panjang membuat tukang suun anak-anak menjadi tidak mampu untuk merawat dan menjaga kebersihan dirinya. Begitu pula dengan orangtuanya yang cenderung tidak peduli dengan penampilan anaknya. Hasil observasi menunjukkan bahwa tukang suun anak-anak rata-rata berpenampilan kumal dengan kondisi tubuh dan pakaian yang kotor dan bau serta rambut yang berantakan dan agak kusut.

Kurang terjaganya kebersihan diri tukang suun anak-anak didukung juga dengan adanya lingkungan pasar yang kotor mengakibatkan berbagai macam kuman penyakit dapat dengan mudah menyerang tukang suun anak-anak tersebut. Adanya penampilan kumal dan wajah memelas justru merupakan cara untuk membuat para pengunjung pasar merasa lebih iba sehingga mereka mau menggunakan jasa suun anak-anak sebagai wujud empatinya. Namun apapun alasannya, mengesampingkan kebersihan akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan tukang suun anak-anak sehingga dikhawatirkan mereka tidak dapat berpikir dan menjalani kehidupan dengan baik dan sehat.

(12)

12 5. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan diatas, maka terdapat beberapa simpulan sebagai berikut.

a. Terdapat empat hal yang melatarbelakangi kemunculan tukang

suun anak-anak di Pasar Badung yaitu

kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan orangtua, keinginan individual, dan rendahnya pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap upaya peminimalisiran pekerja anak. b. Bentuk-bentuk eksploitasi orangtua

terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung yaitu dapat dilihat pada usia tukang suun anak-anak yang bekerja di bawah usia 14 tahun, lokasi kerja yang cukup rawan, waktu kerja yang lebih dari empat jam dalam sehari, kecenderungan tidak menerima upah sebagai hasil kerja, dan adanya kekerasan fisik dan verbal yang menimpa tukang suun anak-anak tersebut baik dari orangtua maupun pengunjung pasar. Masing-masing bentuk eksploitasi tersebut kemudian digolongkan dan dianalisa melalui tiga jenis subordinasi yang dikemukakan oleh Simmel yaitu subordinasi di bawah seorang individu, subordinasi di bawah suatu pluralitas individu, dan subordinasi di bawah suatu prinsip umum.

c. Dampak eksploitasi orangtua bagi anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung yaitu tidak berkesempatan untuk menempuh pendidikan, buruknya mental dan perilaku tukang suun anak-anak karena

telah merasakan pahit dan kerasnya dunia kerja, dan kurang terjaganya kebersihan tukang suun anak-anak yang juga akan berdampak buruk pada kesehatan tukang suun anak-anak tersebut.

d. Eksploitasi orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun dianalisa dengan menggunakan Teori Interaksi Sosial (Superordinasi dan Subordinasi) dari Georg Simmel, yang didukung dengan kedua konsepnya yaitu Kesadaran Individu dan Tragedi Kebudayaan. Interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang bekerja sebagai tukang suun hanya sebatas hubungan kerja yang tidak memihak pada kondisi dan hak anak. Hal ini juga dipicu oleh adanya kekuasaan orangtua sebagai superordinat yang dapat mengontrol anak sebagai subordinat. Melalui konsep Kesadaran Individu dapat diketahui alasan yang menyebabkan tukang suun anak-anak menuruti ajakan orangtuanya untuk mencari uang. Sesuai dengan konsep Tragedi Kebudayaan, hak anak yang seharusnya dihormati oleh orangtua telah terkikis karena orangtua lebih memprioritaskan uang.

6. DAFTAR PUSTAKA Buku

Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian

Kualitatif : Aplikasi untuk Penelitian Pendidikan, Hukum, Ekonomi & Manajemen, Sosial, Humaniora, Politik, Agama, dan Filsafat. Saiful

Ibad (Ed.). Jakarta : Gaung Persada Press

(13)

13 Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori

Sosiologi Klasik dan Modern (Jilid1).

(Terjemahan Robert M. Z. Lawang). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Ritzer, G. & Douglas J. Goodman. 2011.

Teori Sosiologi : dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern

(Ed Terbaru). (Terjemahan Nurhadi). Inyiak Ridwan Muzir (Ed.). Bantul : Kreasi Wacana

Sofian, Ahmad. 2012. Perlindungan

Anak di Indonesia : Dilema & Solusinya. Farid Wadji (Ed.). Jakarta

: PT. Sofmedia

Suyanto, Bagong. 2013. Masalah Sosial

Anak (Ed Revisi). Jakarta :

Kencana

Usman, Husaini & Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian

Sosial (Ed ke-2). Rini Rachmatika

(Ed.). Jakarta : PT. Bumi Aksara Widyanta, AB. 2002. Problem

Moderenitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel. Yogyakarta : Cindelaras

Pustaka Rakyat Cerdas

Jurnal

Fitriani. 2013. “Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Eksploitasi Seksual Terhadap Anak Ditinjau dari Sudut Kriminologi di Kota Pontianak”.

E-Jurnal Gloria Yuris Prodi Ilmu Hukum Untan, [online], 1 (2), 1.

Diakses pada tanggal 8 Desember

2013 dari http://jurnal.untan.ac.id/index.php/j

mfh/article/view/1821

Dokumen Lembaga

Bagian Teknik Perusahaan Daerah Pasar Kota Denpasar. (t.t.)

Skripsi dan Tesis

Pohan, Faizal Ricky. 2011. “Perkembangan Pasar Badung Di Kota Denpasar1992-2009”. Skripsi S1 pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Purawati. 2011. “Pergulatan Perempuan

Tukang Suun Pasar Badung, Kota

Denpasar : Sebuah Kajian Budaya” [pdf]. Tesis S2 pada Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana. Diakses pada tanggal 31

Agustus 2011 dari http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pd

f_thesis/unud-760-ktpurawati.pdf Rahman, Astriani. 2007. “Eksploitasi

Orang Tua Terhadap Anak dengan Mempekerjakan Sebagai Buruh” [pdf]. Skripsi S1 pada Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma. Diakses pada tanggal 8 Desember

2013 dari http://www.gunadarma.ac.id/library/

abstract/gunadarma_10502032-skripsi_fpsi.pdf

Salla, Hilmy Nasruddin. 2012. “Eksploitasi Anak Jalanan (Studi Kasus Anak Jalanan di Pantai Losari Kota Makassar)” [doc].

Skripsi S1 pada Jurusan Sosiologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. Diakses pada tanggal 9 November

2013 dari http://repository.unhas.ac.id/handle/

Referensi

Dokumen terkait

Kartu kanban yang digunakan adalah kartu kanban production instruction (PI-Kanban) yang akan memberikan perintah produksi core dan kartu kanban part withdrawal (PW-Kanban)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bisa disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu terdapat hubungan antara perilaku agresi

Jika inti ra d ioaktif memancarkan sinar beta ( β ) maka nomor massa inti tetap (jumlah nukleon tetap), tetapi nomor atom berubah.. Atom

Kini terdapat 13 unit bisnis yang tergabung di KGVC, Toko Buku Gramedia, Grup Hotel Santika, Harian Kompas, Kontan, Warta Kota, Tabloid Nova, Majalah Bobo,

Investasi pada instrumen keuangan syariah di beberapa negara terutama di Indonesia berkembang cukup pesat. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh ajaran agama

Astra Internasional Tbk pada tahun 2005-2006 dari hasil saham prioritas per lembar dan saham biasa per lembar yang akan diterima para pemegang sahamnya. Untuk itu penulis

UNIVERSITAS AIRLANGGA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI PROGRAM STUDI S1 SISTEM

Namun, bagi Anda yang ingin mendapatkan pudak langsung dari produsennya dengan ragam pilihan rasa, bisa.. memperolehnya di wilayah sekitar Pasar Gresik