• Tidak ada hasil yang ditemukan

Limitasi Eksklusif Akad Perbankan Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Limitasi Eksklusif Akad Perbankan Syariah"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Limitasi Eksklusif Akad Perbankan Syariah

Oleh Erfani Aljan Abdullah, S.H.I., M.E.Sy.*

Akad perbankan syariah memiliki karakterisik yang berbeda dari akad syariah pada umumnya. Perbedaan karakter itu mengandung implikasi hukum yang cukup signifikan, baik dari segi keterbentukan akad secara yuridis dalam praktik perbankan syariah, maupun dari segi atau aspek litigasi yaitu proses penyelesaian sengketa di pengadilan agama.

Akad perbankan syariah perlu

disendirikan kajiannya guna menunjukkan urgensi dan sekaligus popularitasnya sebagai ikon akad syariah. Meskipun jangan sampai dilupakan, bahwa umat Islam itu sedianya harus bermuamalah dalam kerangka hubungan hukum yang berbasis syariah, yang sebetulnya tidak terbatas hanya saat bermuamalah dengan bank syariah atau unit usaha syariah lainnya saja. Sebab, ia menjadi landasan lalu lintas hak dan kewajiban yang sah dalam menjalankan kehidupan ini yang menjadi instrumen kehalalan suatu objek akad.

Hanya saja, akad syariah dalam perhatian umat Islam di Indonesia untuk sementara waktu, sangat besar tercurahkan pada akad syariah yang diterapkan pada perbankan syariah. Untuk itu kiranya perlu disampaikan beberapa spesifikasi akad syariah yang berlaku pada praktik perbankan syariah.

Dalam konteks perbankan syariah, sesungguhnya akad telah diberikan makna secara spesifik sebagai acuan dalam penerapannya pada bank dan unit-unit usaha syariah. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, akad telah diberikan pengertian tersendiri yang spesifik dengan kegiatan perbankan syariah. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan, “akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah”.1

 Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Soreang-Kabupaten Bandung.

Penulis buku “Akad Perbankan Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama”, Mer-C Publishing, Jakarta, 2016”

(2)

Ada sekurang-kurangnya tiga spesifikasi akad perbankan syariah jika mengacu kepada pengertian di atas. Pertama, akad perbankan syariah harus merupakan kesepakatan tertulis. Kedua, salah satu pihak pembuat akad merupakan unsur bank syariah atau unit usaha syariah. Ketiga, akad berdasarkan pada prinsip syariah yang limitatif-eksklusif.

1. Kesepakatan Tertulis

Kesepakatan tertulis menjadi salah satu spesifikasi penting terkait akad perbankan syariah. Dikatakan penting sebab pada dasarnya akad dapat terbentuk tidak saja dengan cara tertulis, sebab banyak cara lain yang bisa menjadi instrumen terbentuknya akad syariah. Pada dasarnya, untuk menyatakan sebuah kehendak sebagai cikal-bakal kesepakatan, dapat dilakukan dalam banyak bentuk, meliputi, pernyataan kehendak secara lisan, pernyataan kehendak melalui utusan dan tulisan, melalui isyarat, dengan cara diam-diam (al ta’athi), dan dengan diam saja

(al sukut).2 Dalam Pasal 25 KHES, sighat akad

dapat dilakukan dengan jelas baik secara lisan, tulisan, dan/atau perbuatan.

Dalam konteks akad perbankan syariah, maka hanya ada satu pilihan utama dalam syarat terbentuknya akad, yaitu harus sebagai kesepakatan tertulis. Artinya sebuah akad perbankan syariah hanya akan diakui sebagai sebuah akad yang sah, selain karena telah terpenuhinya rukun-syarat akad, juga karena telah dituangkan kesepakatan akad itu dalam format tulisan, tidak cukup sekadar diungkapkan secara lisan, atau cara-cara lainnya yang menunjukkan persetujuan. Indikasi utama tercapainya kesepakatan dalam kerangka akad perbankan syariah hanya apabila masing-masing pihak telah menandatangani bentuk akad tertulis yang sekaligus menjadi akta dalam kapasitasnya sebagai alat bukti telah terjadinya akad. Dengan kata lain, sebagai penegasan, bahwa persetujuan membentuk akad bisa saja dalam berbagai macam cara yang diakui dalam fikih muamalah, namun meskipun telah tercapai kesepakatan itu, tidak dipandang cukup jika belum diformat dalam bentuk kesepakatan tertulis.

Hal ini penting disampaikan, sebab tolok ukur prinsip syariah dalam praktik perbankan adalah fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Nah, di dalam fatwa-fatwa tersebut sangat jelas disebutkan bahwa akad dapat terbentuk dalam berbagai macam cara sebagaimana telah diutarakan di atas dengan memilih dituangkan secara

(3)

tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.3 Namun pilihan penuangan akad sedemikian ini tidak berlaku dalam konteks akad perbankan syariah, karena secara khusus pilihan itu telah dispesifikasi atau diunifikasi menjadi terbatas pada pilihan formulasi akad tertulis saja. Sehingga meskipun prinsip syariah (fatwa DSN-MUI) sebagai acuan akad membenarkan pilihan, namun ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah yang memberikan definisi akad sebagai kesepakatan tertulis, harus dimaknai sebagai ketentuan khusus semacam “lex specialis” dari ketentuan umum mengenai formulasi akad.

Perlulah kiranya disampaikan, bahwa formulasi tertulis ini juga merupakan implementasi dari asas al kitabah sebagai salah satu dari sekian asas akad syariah. Asas tertulis (al kitabah) ini adalah aktualisasi dari ketentuan yang ada dalam ayat al Quran surah

al Baqarah (2) ayat 2824, dan juga ayat 2835. Kedua ayat ini mengisyaratkan agar akad yang

dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak yang melakukan akad, sehingga akad itu harus dibuat secara tertulis. Asas al kitabah ini terutama dianjurkan untuk

transaksi dalam bentuk tidak tunai.6

Sebagai implikasi yuridis dari dituangkannya akad perbankan syariah tidak dalam bentuk tertulis (misalnya dengan asumsi bahwa fatwa DSN MUI sebagai prinsip syariah nyatanya membenarkan pilihan lain), adalah pihak-pihak yang mengadakan akad tidak memiliki dasar hukum atau alas hak untuk mengajukan gugatan keperdataan ke pengadilan agama jika di kemudian hari terjadi sengketa. Sebab satu-satunya bukti otentik telah terjadinya akad perbankan syariah adalah adanya formulasi kesepakatan tertulis, di samping pengadilan akan menilai bahwa kesepakatan yang tercapai tapi tidak dituangkan secara tertulis itu tidaklah merupakan akad perbankan syariah. Berbeda dari itu, jika akad itu bukan akad perbankan syariah, dan hanya akad syariah biasa lainnya, maka terbuka banyak pilihan terbentuknya akad, tinggal dibuktikan saja di pengadilan bahwa benar akad telah tercapai meskipun tidak ada bentuk tertulisnya.

2. Bank Syariah sebagai Pihak

Spesifikasi kedua dari akad perbankan syariah adalah bahwa pihak pembuat akad haruslah merupakan unsur bank syariah atau unit usaha syariah. Frasa “antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain” sesungguhnya memberikan batasan yang kongkrit mengenai siapa subjek dalam akad perbankan syariah.

3 Lihat antara lain Fatwa DSN-MUI Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000, tentang Pembiayaan Musyarakah,

Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 4 April 2000, tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dll.

4 QS. Al Baqarah (2); 282: ا َي ا َه ُّيأَ َني ِذلإَّ إون َمآُ إذ ِؤَ ْمتُن َيإْ دَتَ نْي َدِب َ ل ِؤ لَجَأ ً مّ َس ُم كافَ ُهو ُبتُ ْبتُك َيل َو ْمكُن ْي َبَ ب ِتاكَ ِلد َعْ لاِب لا َو َبأ َي ب ِتاكَ ْ نَأ َبتُك َي ا َمكَ ُ ه َمل َعَّ ُ َّ للّإ ْبتُك َيلفَ ِلِلْمُي ل َو ي ِذلإَّ ِهْيل َعَ ُّق َحلإ ِقت َيَّ ل َو َ َّ للّإ ُ ه َّب َر لا َو ْسخ ْب َيَ ُ هن ِمْ ائ ْيً شَ ْ ن ِإفَ َ ناكَ ي ِذلإَّ ِهْيل َعَ ُّق َحلإ ا ًهي ِف َس ْوأَ افي ِعً ضَ ْوأَ لا ُعي ِطت ْس َيَ ْ نأَ َّل ِمُي َوهُ ْل ِل ْمُيلفَ ُ ه ُّي ِلَو ِلد َعْ لاِب … ( ٢٨٢ ) 5 QS. Al Baqarah (2); 283: ْ نِإَو ْمتُنْكُ َ ل َع رف َسَ ْمل َوَ إود ِجُ تَ ا ًب ِتاكَ ناهِرَ فَ ةضو ُبَ ق َمْ ْ ن ِإفَ َن ِمأَ ْمكُض ْع َبُ اض ْع َبً ِّ دؤ ُيَ لفَ ي ِذلإَّ َن ِمتُؤإْ ُ هتَنا َمَ أَ ِقت َيَّ ل َو َ َّ للّإ ُ ه َّب َر لا َو إو ُمتُكتَ َ ةدا َهَ شلإَّ ْن َم َو ا َه ْمتُك َي ُ هن ِإَّفَ مِثآ ُ ه ُبلقَ ُ َّ للّإ َو ا َمِب َ نول َم ْعُ تَ مي ِلَع ( ٢٨٢ )

(4)

Bank Syariah sendiri berarti bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan

Rakyat Syariah (BPRS).7 Sementara Unit Usaha

Syariah (UUS), adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang

melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.8

Dari pengertian perbankan syariah tersebut, maka yang termasuk di dalam klasifikasi perbankan syariah adalah Bank Umum Syariah (BUS), Bank Pembiayaan Rakyat

Syariah (BPRS)9, dan Unit Usaha Syariah (UUS). Adapun ‘pihak lain’ dapat berupa subjek

hukum perseorangan sebagai nasabah, badan hukum non bank, maupun pihak lain itu adalah sama-sama bank syariah, UUS dan BPRS itu sendiri.

Jika dirinci, maka subjek dalam akad perbankan syariah hanya terjadi antara: 1) BUS dan nasabah perseorangan, 2) BUS dan badan hukum non bank, 3) BPRS dan nasabah perseorangan, 4) BPRS dan badan hukum non bank, 5) UUS dan nasabah perseorangan, 6) UUS dan badan hukum non bank, 7) BUS dan BPRS, 8) BUS dan UUS, 9) BPRS dan UUS, 10) BUS dan BUS, 11) BPRS dan BPRS, 12) UUS dan UUS.

7 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahin 2008 tentang Perbankan Syariah 8 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahin 2008 tentang Perbankan Syariah

9 Jenis bank itu pada dasarnya ada dua yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Khusus mengenai istilah „Pembiayaan‟

dalam BPRS, merupakan suatu konsep yang digunakan untuk memberikan pengertian lain selain “Perkreditan‟ yang identik dengan riba/bunga. Maka dengan istilah „Pembiayaan‟ asumsi transaksi ribawi dapat dihindarkan. Perlunya pembedaan ini sebab Bank Perkreditan Rakyat (BPR) konvensional menggunakan prinsip bunga dalam kegiatannya, sehingga dengan demikian sesuai UU 21 Tahun 2008, tidak lagi dikenal Bank Perkreditan Rakyat Syariah, melainkan dengan sebutan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Ini berarti semua peraturan perundangan-undangan yang menyebut BPR Syari‟ah dengan Bank Perkreditan Rakyat Syari‟ah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syari‟ah (BPRS). Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syari’ah Titik

(5)

Bagan: Subjek dalam Akad Perbankan Syariah

Hubungan akad yang terjadi melibatkan sekurang-kurangnya dua unsur yang salah satunya harus dari unsur perbankan syariah. Dalam hubungan hukum sedemikian itu dapat pula terjadi lebih dari dua pihak, misalnya antara BUS dan beberapa nasabah perseorangan, atau antara BUS dan beberapa Badan Hukum non Bank, dll.

Sebagai catatan bahwa kapan pun terjadi akad antara komponen-komponen tersebut di atas, maka klasifikasinya adalah akad perbankan syariah, yang aturan hukumnya mengikuti atau tunduk kepada spesifikasi yang khusus pada akad perbankan syariah.

3. Limitasi Prinsip Syariah

Spesifikasi penting lain dari akad perbankan syariah yang membedakannya dengan

akad syariah pada umumnya, adalah adanya limitasi prinsip

syariah. Limitasi atau pembatasan keluasan prinsip syariah

ini artinya akad perbankan syariah tidak serta merta

memberlakukan ketentuan dan prinsip akad yang dikenal dalam

fikih muamalah secara umum, melainkan ketentuan dan prinsip itu

harus terlebih dahulu melewati lembaga fatwa sebagai bentuk

legalisasinya sebagai prinsip syariah. Maka prinsip syariah

menjadi unsur penting dalam kaitan pelaksanaan kegiatan operasional perbankan syariah. BUS Akad Perbankan Syariah BUS BPRS UUS Perseorangan Perseorangan Perseorangan BPRS BPRS BPRS BPRS BPRS UUS UUS UUS UUS UUS

Badan Hukum Non Bank

Badan Hukum Non Bank

Badan Hukum Non Bank

BUS

BUS BUS

(6)

Prinsip syariah sendiri adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam

penetapan fatwa di bidang syariah.10 Adapun yang dimaksud dengan lembaga yang

berwenang memberikan fatwa tentang prinsip-prinsip syariah yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut, adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana yang

dinyatakan dalam Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah.11 Dalam praktiknya,

Majelis Ulama Indonesia melaksanakan proses fatwa tersebut melalui sebuah lembaga yang bernama Dewan Syariah Nasional (DSN).

Fatwa-fatwa yang merupakan representasi prinsip-prinsip syariah yang dikeluarkan oleh DSN MUI ini selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia sesuai ketentuan

Pasal 26 Ayat (3) Undang-Undang Perbankan Syariah.12 Untuk menjamin terlaksananya

fatwa-fatwa DSN MUI itu di tiap bank dan unit usaha syariah, maka Undang-Undang Perbankan Syariah mewajibkan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang dibentuk di tiap bank dan unit usaha syariah yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas memberikan nasihat dan saran

kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.13

Berdasarkan uraian ini, untuk sampai pada sebuah prinsip syariah yang kemudian menjadi acuan operasional perbankan syariah, maka ketentuan syariah termasuk dalam hal ini fikih muamalah, harus melalui sekurang-kurangnya dua tahap yang bersifat tertib-kumulatif. Pertama, tahap pembahasan dan perumusan fatwa oleh DSN-MUI, yang produk akhirnya adalah Fatwa DSN MUI. Kedua, tahap legislasinya yaitu penuangannya ke dalam atau menjadi Peraturan Bank Indonesia (PBI). Baru setelah dua tahapan ini dilalui, maka ketentuan syariah yang semula ada dalam fikih muamalah dapat diakomodasi menjadi landasan prinsip syariah yang resmi dan legal yang dapat diterapkan oleh perbankan syariah. Sebagai konsekuensi yuridis dari ketentuan ini, maka fatwa DSN-MUI sekalipun tidak ujug-ujug dapat menjadi prinsip syariah terapan yang sah, sejauh tidak dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Sebagaimana itu, Peraturan Bank Indonesia sekalipun tidak dapat menjadi prinsip syariah terapan yang sah, sejauh yang dimuat bukan merupakan fatwa DSN-MUI. Meskipun misalnya Peraturan Bank Indonesia itu memuat ketentuan fikih muamalah mengenai prinsip syariah, tetap saja secara yuridis ia cacat sebagai prinsip syariah, sebab ketetuan Pasal 26 Ayat (2) UU No. 21/2008 tidak terpenuhi.

10 Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahin 2008 tentang Perbankan Syariah

11Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah, “Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis

Ulama Indonesia”

12Pasal 26 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, “Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia”

13 Pasal 32 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, “(2) Dewan Pengawas Syariah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah”

(7)

Pasal 26 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tersebut dengan demikian harus dimaknai dalam makna limitatif-eksklusif prinsip syariah sebagaimana yang menjadi tolok ukur pembentukan akad perbankan syariah. Limitasi prinsip syariah ini adalah dalam kerangka mewujudkan kepastian hukum agar ada ukuran baku mengenai keabsahan akad sekaligus memastikan unifikasi instrumen yang halal bagi lalu lintas hak dan kewajiban bagi umat Islam dalam perputaran roda perekonomian yang berbasis syariah. Sebab jika prinsip syariah ini dibiarkan terbuka (inklusif) hanya dengan syarat asal bersandar pada al Quran dan al Sunnah saja secara umum, maka akan banyak bermunculan ijtihad-ijtihad sepihak atau kelompok yang bukan tidak mungkin saling bertabrakan satu sama lain, yang berdampak pada terganggunya iklim perekonomian dan keuangan Islam, utamanya di sektor perbankan.

’’ Referensi

 Al Quran Al Karim

Erfani Ajlan Abdullah, Akad Perbankan Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan

Agama”, Jakarta; Mer-C Publishing, 2016

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan

Syariah, cet ke 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih

Muamalat, cet ke 2, Jakarta; Rajawali Pers, 2010

Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syari’ah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum

Nasional, Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2009

 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

 Fatwa DSN-MUI Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000, tentang

Pembiayaan Musyarakah, Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 4 April 2000, tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dll.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa penerapan prinsip syariah dalam akad pembiayaan murabahah pada perbankan syariah belum sesuai dengan prinsip

  Fatwa No. 59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi   Fatwa No. 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam

Adapun ketentuan akad dalam anjak piutang syariah yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI yaitu sebagai berikut: 20 (a) Akad yang dapat digunakan dalam Anjak Piutang

b) Memeriksa apakah terhadap akad yang digunakan dalam produk baru telah terdapat fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Apabila sudah ada

Sedangkan Fatwa DSN-MUI merupakan salah satu bentuk/jenis fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dapat berubah menjadi hukum tertulis dan ketaatan orang kepadanya

Adapun ketentuan akad dalam anjak piutang syariah yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI yaitu sebagai berikut: 20 (a) Akad yang dapat digunakan dalam Anjak Piutang

Dengan demikian, dapat disimpulkan di sini bahwa pelaksanaan prinsip syariah dalam akad murabahah sudah sesuai dengan fatwa MUI, walaupun harga jual objek akad yang merupakan harga

Fatwa tentang Ekonomi Syariah Penetapan fatwa tentang masalah ekonomi syariah dan aktivitas Lembaga Keuangan Syariah LKS dilakukan oleh DSN- MUI Syariah Nasional Majelis Ulama