• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PERAN KOMODITAS KELAPA DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA. Areal tanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. PERAN KOMODITAS KELAPA DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA. Areal tanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

V. PERAN KOMODITAS KELAPA DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Areal tanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia dengan pangsa 31.2 persen dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (pangsa 25.8 persen), disusul India (pangsa 16.0 persen), Sri Langka (pangsa 3.7 persen) dan Thailand (pangsa 3.1 persen). Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi kedua setelah Philipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Lanka. Perolehan devisa dari produk kelapa mencapai US$ 229 juta atau 11 persen dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003. Pada tahun 2005, angka ini meningkat menjadi US$ 473 juta atau 20 persen dari ekspor produk kelapa dunia (APCC, 2006).

Bagi masyarakat Indonesia, kelapa menjadi bagian dari kehidupannya karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Di samping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari 3.74 juta hektar dan melibatkan lebih dari 3 juta rumah tangga petani. Pengusahaan kelapa juga membuka tambahan kesempatan kerja dari kegiatan pengolahan produk turunan dan hasil samping yang sangat beragam.

Peluang pengembangan agribisnis kelapa dengan produk bernilai ekonomi tinggi sangat besar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain virgin coconut oil (VCO), oleochemical (OC), desicated coconut (DC),

coconut milk/cream (CM/CC), coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC), brown sugar (BS), coconut fiber (CF) dan coconut wood (CW), yang diusahakan

secara parsial maupun terpadu. Pelaku agribisnis produk-produk tersebut mampu meningkatkan pendapatannya 5 -10 kali dibandingkan dengan bila hanya menjual produk kopra. Berangkat dari kenyataan luasnya potensi pengembangan

(2)

produk, kemajuan ekonomi perkelapaan di tingkat makro (daya saing di pasar global) maupun mikro (pendapatan petani, nilai tambah dalam negeri dan substitusi impor) tampaknya akan semakin menuntut dukungan pengembangan industri kelapa secara kluster sebagai prasyarat.

5.1. Usahatani

Areal tanaman kelapa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada tahun 2005 dari total areal seluas 3.74 juta hektar, pangsa luas areal di pulau Sumatera mencapai 34.5 persen, Jawa 23.2 persen, Bali, NTB dan NTT 8.0 persen, Kalimantan 7.2 persen, Sulawesi 19.6 persen, Maluku dan Papua 7.5 persen (Gambar 2). Produk utama yang dihasilkan di wilayah Sumatera adalah kopra dan minyak; di Jawa berupa kelapa butiran; Bali, NTB dan NTT adalah kelapa butiran dan minyak; Kalimantan berupa kopra; Sulawesi berupa kelapa butiran dan minyak; Maluku dan Papua berupa kopra. Komposisi keadaan tanaman secara nasional meliputi tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 13.9 persen (0.54 juta hektar), tanaman menghasilkan (TM) 74.0 persen (2.87 juta hektar) dan tanaman tua/rusak (TT/TR) 12.1 persen ( 0.47 juta hektar).

Gambar 2. Sebaran Areal dan Produksi Kelapa di Indonesia Berdasarkan Wilayah Pengembangan

(3)

Produktivitas tanaman kelapa baru mencapai 2 700 – 4 500 butir kelapa atau setara 0.8 – 1.2 ton kopra/hektar. Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan menjadi 6 750 butir atau setara 1.5 ton kopra. Selain itu, potensi kayu kelapa yang dapat dihasilkan sebesar 200 juta m3. Berdasarkan potensi tersebut maka pengembangan agribisnis kelapa, khususnya industri pengolahan buah kelapa, diarahkan ke Propinsi Riau, Jambi dan Lampung di wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan JawaTimur di wilayah Jawa, Propinsi Kalimantan Barat di wilayah Kalimantan, dan Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah di wilayah Sulawesi. Sedangkan industri pengolahan kayu kelapa di NTB dan NTT untuk wilayah Bali, NTB dan NTT, serta di sentra - sentra produksi lainnya.

Pada tingkat rumah tangga, usahatani kelapa dapat menghasilkan pendapatan sekitar Rp 1.7 juta/hektar/tahun atau Rp 142 ribu/hektar/bulan. Bagi petani kelapa polikultur, pada umumnya kelapa menjadi usahatani sampingan sehingga pendapatan tersebut memberikan kontribusi yang berarti terhadap total pendapatan petani. Akan tetapi, pendapatan tersebut menjadi tidak berarti bagi petani kelapa monokultur karena total pendapatan mereka hanya bertumpu pada usahatani kelapa. Dalam konteks ketahanan pangan, kontribusi kelapa tercermin dari besarnya persentase konsumsi domestik yang mencapai 50-60 % dari produksi dalam bentuk konsumsi kelapa segar dan minyak goreng. Selain itu, di tingkat rumah tangga usahatani kelapa berperan meningkatkan daya beli terhadap pangan dengan adanya tambahan pendapatan sebagaimana disebutkan di atas.

(4)

5.2. Usaha Agribisnis Hulu

Sekitar 470 000 hektar (12.1 persen) kondisi pertanaman kelapa saat ini sudah tua dan rusak sehingga perlu dilakukan peremajaan dan rehabilitasi. Agar produksi kelapa tidak menurun maka pelaksanaan peremajaan dan rehabilitasi harus dilakukan terus-menerus karena TM akan menjadi tua, demikian pula dengan kerusakan akibat serangan hama dan penyakit, dan bencana alam. Untuk meningkat produktivitas tanaman yang saat ini tergolong rendah maka dalam melaksanakan peremajaan dan rehabilitasi diperlukan bibit unggul yang berasal dari kebun induk, terutama Kebun Induk Kelapa Dalam Komposit (KIKDK). Saat ini sumber benih kelapa yang digunakan belum berasal dari kebun induk yang dibangun khusus sebagai kebun induk yang benar, tetapi dipilih dari pertanaman yang ada di berbagai daerah yang disebut dengan blok penghasil tinggi (BPT). Walaupun benih yang berasal dari BPT lebih baik daripada benih sapuan, ke depan perlu dibangun KIKDK sebagai sumber benih.

Penggunaan kelapa Dalam unggul komposit akan meningkatkan produksi kelapa Dalam dari rata-rata 1.5 ton kopra/hektar/tahun menjadi minimal 2.25 ton kopra/ha/tahun dengan pemeliharaan semi intensif. Produksi kelapa Dalam unggul Komposit dengan pemeliharaan intensif akan menyamai kelapa Hibrida Genjah x Dalam yaitu berkisar 3 – 4 ton kopra/hektar/tahun. Produksinya lebih stabil karena tetua kelapa Dalam unggul komposit memiliki ragam genetik yang besar sehingga dapat beradaptasi pada lingkungan yang bervariasi. Harga benih kelapa Dalam unggul Komposit lebih murah dibanding dengan harga benih kelapa Hibrida Genjah x Dalam karena pembuatan kelapa Dalam unggul Komposit tidak memerlukan persilangan buatan. Harga benih kelapa Dalam unggul Komposit diperkirakan sebesar Rp. 800/butir sedangkan benih kelapa Hibrida Genjah x Dalam seharga Rp. 2000,-/butir. Turunan F2, F3, F4 dan

(5)

seterusnya dapat digunakan sebagai benih untuk penanaman selanjutnya tanpa kuatir akan terjadi penurunan kekekaran seperti pada kelapa Hibrida Genjah x Dalam. Implikasinya adalah petani dapat memproduksi sendiri kelapa Dalam unggul Komposit untuk sumber benih.

Pembangunan Kebun Induk Kelapa Dalam Komposit dapat dilakukan dalam bentuk waralaba benih di mana petani, pengusaha, pemda dan pengguna lainnya sebagai penerima waralaba dan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma sebagai pemberi waralaba. Pembangunan KIKDK dengan mengikutsertakan petani/asosiasi petani dan pemda akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, meningkatkan pendapatan, mendorong komersialisasi perbenihan, dan meningkatkan pendapatan asli daerah serta mendukung percepatan pelaksanaan otonomi daerah.

5.3. Usaha Agribisnis Hilir

Industri pengolahan kelapa pada saat ini masih didominasi oleh produk setengah jadi berupa kopra dan coconut crude oil (CCO). Produk olahan lainnya yang sudah mulai berkembang adalah CC, nata decoco (ND), DC, AC, CF, dan

brown sugar (BS). Perkembangan CCO dalam 10 tahun terakhir menunjukkan

laju yang menurun (-0.2 persen). Pada sisi lain laju perkembangan produk hilir cenderung meningkat. Sebagai contoh, laju perkembangan DC mencapai 7.8 persen, di mana tahun 2005 total produksinya mencapai 194.2 juta butir; laju perkembangan produksi AC sebesar 9 persen; laju perkembangan produksi serat sabut menurun -10.2 persen, walaupun permintaan CF di luar negeri meningkat. Kecenderungan penurunan laju tersebut terkait dengan dampak tidak terpenuhinya standar ekspor produk serat sabut asal Indonesia. Situasi ini mengindikasikan terjadinya pergeseran orientasi produksi dari bahan setengah jadi menjadi produk akhir.

(6)

Tabel 1. Profil Usaha Beberapa Produk Akhir Kelapa di Indonesia

Produk Akhir Skala NPV

(Rp Juta)

B/C IRR

(%)

PBP (tahun)

Nata de Coco Kecil 953 1.32 32.0 1

Coconut Fiber Menengah 2 462 2.30 52.4 2

Activated Carbon Menengah 2 924 1.12 21.0 4

Brown Sugar Kecil 1 396 2.45 73.0 1

Desicated Coconut

Besar 8 670 1.54 22.0 4

Sumber: Mahmud, et al., 2005

Keterangan: Investasi Skala Kecil: maksimal Rp 1 milyar,

Investasi Skala Menengah: maksimal Rp 10 milyar; Investasi Skala Besar: lebih dari Rp 10 milyar

Daya saing produk kelapa pada saat ini tidak lagi terletak pada produk primernya seperti kopra yang selama ini banyak diusahakan secara tradisional. Sebagai contoh produk desicated coconut (tepung kelapa) memiliki daya saing yang jauh lebih tinggi (300-400 persen) dibandingkan dengan kopra, yang terlihat dari indeks paritas ekspornya (nilai ekspor dibandingkan dengan biaya produksi). Bahkan terlihat bahwa daya saing ekspor produk primer cenderung menurun sampai biaya produksinya lebih tinggi daripada nilai ekspornya, paling tidak nilai tambahnya sangat tipis,

Profil usaha produk-produk akhir kelapa yang sudah mulai berkembang hingga saat ini antara lain nata de coco, serat, arang tempurung, gula merah, dan desicated coconut. Tabel 1 menunjukkan bahwa kelayakan usaha yang tinggi untuk produk-produk akhir kelapa tersebut. Akhir-akhir ini telah berkembang pula virgin coconut oil (VCO) yang merupakan makanan suplemen dan juga obat. Beberapa hambatan yang diperkirakan muncul seperti kontinuitas

(7)

pasokan bahan baku ternyata dapat diatasi sehingga industri masih bertahan dengan kondisi yang baik.

5.4. Pasar dan Harga.

5.4.1. Penggunaan Dalam Negeri

Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat kopra atau minyak kelapa. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan pasar dan dukungan teknologi, maka permintaan berbagai produk turunan kelapa semakin meningkat seperti dalam bentuk tepung kelapa (desiccated coconut), serat sabut, arang tempurung dan arang aktif. Dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan domestik kopra dan butiran kelapa masih meningkat tetapi dengan laju pertumbuhan sangat kecil. Penggunaan tepung kelapa meningkat dengan laju 21.9 persen/tahun. Sebaliknya, penggunaan domestik minyak kelapa cenderung berkurang sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah.

Produksi arang aktif dan arang tempurung selama ini lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri sehingga penggunaan di dalam negeri hampir tidak ada. Demikian pula untuk produk serat sabut, walaupun terdapat indikasi bahwa penggunaan serat sabut di dalam negeri mulai berkembang sejak terjadi krisis ekonomi.

Pada tahun 2005 penggunaan domestik kopra mencapai 1.62 juta ton, sedangkan CCO sebesar 320 ribu ton. Penggunaan domestik kelapa butiran pada tahun yang sama mencapai 16.5 juta ton. Pada tepung kelapa dan serat

(8)

sabut, penggunaan dalam negeri justru berasal dari produk impor karena produksi dalam negeri seluruhnya diekspor.

Tabel 2. Penggunaan Domestik Berbagai Produk Kelapa di Indonesia, Tahun 1993-2005

(ribu ton)

Tahun Kopra CCO DC Butiran CF CCL AC

1993 1 039 454 0.0 11 947 0.0 0.0 0.0 1996 973 364 0.0 13 276 0.0 0.0 0.0 1999 1 212 231 0.0 14 935 0.0 1.0 0.0 2000 1 264 163 0.1 15 114 0.1 0.0 0.0 2001 1 276 334 0.1 15 160 0.1 0.0 0.0 2002 1 202 263 0.0 15 973 0.0 0.0 0.0 2003 1 328 291 0.1 16 025 0.0 0.0 0.0 2004 1 425 359 0.1 16 354 0.1 1.0 0.0 2005 1 620 320 0.1 16 527 0.1 1.0 0.0 Laju (%/th) 2.7 -9.1 - 3.1 - - -

Sumber: Diolah dari BPS, 2005 dan APCC, 2006

5.4.2. Ekspor Produk Kelapa

Menurut APCC, Indonesia merupakan negara produsen kelapa terbesar di dunia dengan jumlah produksi pada tahun 2005 mencapai 3.5 juta MT ton setara kopra. Pesaing utama adalah Philipina dan India dengan produksi masing-masing sebesar 2.8 juta ton dan 1.8 juta ton pada tahun yang sama.

(9)

Tabel 3 menunjukkan bahwa selama periode tahun 1993-2005, ekspor berbagai produk kelapa Indonesia cenderung meningkat kecuali untuk kelapa butir dan serat sabut. Produk olahan CCO, dan DC, merupakan produk ekspor yang dominan. Pada tahun 2005, misalnya, ekspor kedua produk tersebut masing-masing mencapai 520.1 ribu ton, dan 47.3 ribu ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 215.5 juta, dan US$ 32.1 juta. Penurunan ekspor serat sabut lebih karena kurang terpenuhinya mutu baku ekspor, mengingat serat sabut ini sebagian besar masih dihasilkan oleh industri kecil dan menengah. Bila baku mutu dapat dipenuhi dari mesin yang skala ekonominya lebih besar maka ekspor akan dapat meningkat, karena permintaan serat sabut di pasar internasional terus meningkat, dengan persaingan yang terbatas.

Tabel 3. Volume Ekspor beberapa produk kelapa Indonesia, Tahun 1993-2005

(Ton)

Tahun Kopra CCO DC Butiran SS AT AC

1993 8 744 258 400 19 596 19 522 88 12 362 7 163 1996 0 378 800 24 150 2 264 866 15 855 12 325 1999 42 619 349 600 23 533 38 136 59 17 742 11 283 2000 34 579 734 600 31 373 5 334 102 26 735 10 205 2001 23 884 395100 34 820 507 191 23 452 12 104 2002 40 045 446 300 48 550 8 694 191 29 493 11 553 2003 38 280 541 115 44 230 5 224 182 30 475 12 085 2004 41 220 423 810 47 050 4 785 180 30 892 12 350 2005 45 027 520 110 47340 3 820 165 32 055 12 800

(10)

Tabel 4. Negara utama tujuan ekspor produk kelapa Indonesia, Tahun 1999 dan 2005.

Negara Tujuan No Jenis Produk

1999 2005

1 CCO Belanda (41.5), USA (11.1) Belanda (14.9), Cina (14.7), Korsel (11.0), Malaysia (10.7) 2 Copra meal Jerman (50.5), Belanda

(29.6) Belanda (30.9), Korsel (32.9), Spanyol (10.2), India (10.0) 3 Desiccated coconut Singapura (87.3 ) Singapura (62.4) 4 Coconut shell charcoal Jepang (30.5), Korsel (22.0), Taiwan (17.2), Malysia (14.8) Malaysia (37.0), Jepang (21,0), Korsel (17,5), Taiwan (10,4)

5 Active Carbon Jepang (24.2), Taiwan (12.9), Italia (10.7)

Jepang (28,3), USA (14,5), Belanda (11,4) Sumber: BPS, 2005

Keterangan: angka dalam kurung ( ) adalah persen pangsa ekspor

Tujuan ekspor produk kelapa Indonesia selama ini meliputi banyak negara di Eropa, Amerika, maupun Asia dan Pasifik. Pengaruh dinamika dan perbedaan preferensi antar pasar tujuan menyebabkan tingkat dan bentuk permintaan produk ekspor berbeda - beda antar negara. Disamping itu, arah perdagangan juga dapat berubah. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4, selama Tahun 1999 -2003 terdapat indikasi perubahan orientasi negara tujuan ekspor untuk beberapa produk ekspor kelapa Indonesia. Dominasi peran negara-negara

(11)

Eropa sebagai tujuan ekspor secara perlahan digantikan oleh negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik.

5.4.3. Impor Produk Kelapa

Meskipun Indonesia merupakan negara produsen kelapa terbesar di dunia, tetapi impor beberapa jenis produk kelapa masih ada. Disamping karena permintaan produk dengan spesifikasi yang berbeda, impor seperti itu biasanya juga dilakukan untuk pengamanan cadangan penggunaan dalam negeri.

Dibandingkan ekspornya, Tabel 5 menunjukkan bahwa volume impor Indonesia untuk produk-produk kelapa jauh lebih rendah. Secara implisit ini berarti Indonesia masih merupakan pengekspor neto produk-produk kelapa. Sebagai gambaran, pada periode 1993-2005 tidak tercatat adanya impor arang tempurung dan arang aktif. Akan tetapi, dalam periode tersebut volume impor kopra dan butiran kelapa berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Laju penurunan volume impor masing-masing sebesar- 4.26 persen/tahun dan -14.1 persen/tahun. Impor tepung kelapa (DC) baru terjadi sejak tahun 1997 hingga 2001 tetapi perkembangan impor produk tersebut menunjukkan laju kenaikan yang positif. Impor produk terbesar adalah berupa minyak kelapa (CCO) yang volumenya bervariasi antara 5 000 ton hingga 90 000 ton selama periode 1993-2005.

5.4.4. Harga Kelapa dan Produk Kelapa

Seiring dengan perkembangan permintaan akan produk turunan kelapa, khususnya di pasar internasional, harga kelapa butiran di dalam negeri cenderung meningkat setiap tahun. Selama tahun 1993-2005 harga kelapa butiran meningkat dari Rp 358/butir menjadi Rp 1 515/butir atau meningkat

(12)

dengan laju 10.27 persen/tahun, tetapi harga di pasar dunia cenderung menurun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6. Selama periode di atas, harga kelapa di pasar dunia menurun dengan laju - 4.45 persen/tahun.

Tabel 5. Impor Indonesia Untuk Beberapa Produk Kelapa, Tahun 1993-2005

(Ton)

Tahun Kopra CCO DC Butiran SS AT AC

1993 0 33500 0 82 0 - - 1994 5 46000 0 40 0 - - 1995 1911 26900 0 48 0 - - 1996 3124 43600 0 625 0 - - 1997 0 20000 30 157 0 - - 1998 25 5000 94 0 0 - - 1999 90 90000 31 0 31 - - 2000 2 60000 128 20 128 - - 2001 27 35000 67 7 67 - - 2002 1657 18000 0 0 0 - - 2003 1570 27000 0 0 0 - - 2004 1428 16000 0 0 0 - - 2005 1255 18000 0 0 0 - - Laju (%/th) - 4.26 2.10 10.28 -14.07 15.45 - - Sumber : Diolah dari BPS, 2005 dan APCC, 2006.

Perkembangan harga ekspor beberapa produk turunan kelapa asal Indonesia lainnya yaitu CCO, DC, CC/M, dan CCL cenderung menurun selama

(13)

periode Tahun 1999 - 2005 seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Sebaliknya, harga CoM dan AC cenderung meningkat dalam kurun waktu yang sama. Tidak terdapat pola yang jelas antar jenis produk dalam pencapaian tingkat harga terendah dan tertinggi. Namun bila pada tahun 1999 indeks harga umum dianggap belum normal setelah insiden krisis ekonomi tahun 1998, maka dampak krisis ekonomi tampaknya hanya terjadi pada jenis produk CCO, CC/M dan CCL. Harga ekspor ketiga jenis produk tersebut pada tahun 1999 mencapai titik maksimum.

Tabel 6. Perkembangan Harga Kelapa di Pasar Domestik dan Pasar Dunia, Tahun 1993- 2005.

Tahun Harga Domestik (Rp/kg) Harga Dunia(US $/MT)

1993 525 295 1996 916 489 1999 2685 462 2000 1575 314 2001 1575 201 2002 1663 274 2003 1554 252 2004 1420 245 2005 1515 238 Laju (%/th) 10.27 - 4.45

Sumber: Diolah dari BPS, 2005 dan APCC, 2006

Menurut APCC perolehan ekspor produk kelapa Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan perolehan negara pesaing utama (Filipina).

(14)

Padahal bila dibandingkan tingkat harga ekspor antar produk kelapa di kedua negara, harga beberapa produk kelapa asal Indonesia lebih murah. Hal ini mengindikasikan dalam perolehan manfaat perdagangan kelapa Indonesia pengaruh faktor non harga masih cukup signifikan. Faktor-faktor yang terkait dengan: kualitas produk, tingginya biaya transportasi, dan kompleksitas prosedur ekspor diduga turut berpengaruh terhadap perolehan manfaat perdagangan (ekspor) produk kelapa Indonesia yang belum maksimal.

Tabel 7. Perkembangan Harga Ekspor Produk Kelapa Indonesia, Tahun 1999 - 2005

(US $/MT)

Tahun CCO CoM DC CC/M CCL AC

1999 0.60 0.07 0.86 1.02 0.19 0.71 2000 0.44 0.06 0.70 0.93 0.17 0.74 2001 0.28 0.06 0.92 0.75 0.18 0.75 2002 0.35 0.07 0.65 0.67 0.15 0.77 2003 0.46 0.08 0.66 0.67 0.17 0.76 2004 0.46 0.08 0.62 0.65 0.16 0.76 2005 0.40 0.08 0.62 0.65 0.16 0.77 Laju (%/th) -8.30 5.97 -6.21 -11.88 -2.77 1.96 Sumber : Diolah dari BPS, 2005 dan APCC, 2006

Keterangan: CoM = copra meal

(15)

5.5. Infrastruktur dan Kelembagaan

Untuk daerah-daerah tertentu terutama di luar Jawa kondisi infrastruktur pendukung kurang memadai. Dampak dari hal ini biaya usahatani menjadi tinggi dan harga jual menjadi kurang bersaing. Sebagai contoh, di daerah sentra produksi kelapa di Indragiri Hilir hanya memiliki satu alternatif transportasi, yaitu transportasi air. Kondisi tersebut mengakibatkan kelembagaan penunjang cenderung menekan petani. Sebagai ilustrasi, kelembagaan pemasaran cenderung monopsoni, kelembagaan keuangan didominasi sistim barter yang merugikan petani, dan akses petani terhadap informasi teknologi dan pasar tidak berjalan karena kurang terjangkau oleh lembaga-lembaga yang tersedia.

Untuk wilayah yang infrastrukturnya sudah berkembang seperti di Jawa, kelapa masih cenderung dikonsumsi dalam bentuk kelapa segar, yang mana konsumen utamanya adalah masyarakat perkotaan. Kondisi yang demikian mengakibatkan transportasi yang mahal dan rantai tataniaga yang panjang, pada gilirannya harga tingkat petani juga tertekan. Hal ini dapat diatasi jika dikembangkan beberapa produk kelapa terutama santan untuk dapat mensubtitusi santan yang langsung dibuat oleh rumahtangga dari kelapa segar, yang merupakan penggunaan yang dominan.

5.6. Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi.

Intervensi kebijakan pemerintah dalam mendukung agribisnis kelapa selama ini masih sangat terbatas. Pada komoditas ini belum pernah diberlakukan kebijakan harga output (price policy). Penentuan harga jual output selama ini diserahkan pada mekanisme pasar. Status komoditas yang bukan merupakan kebutuhan dasar dan tingkat penggunaan per kapita yang relatif rendah dapat menjadi faktor penjelas belum adanya urgensi intervensi kebijakan harga pada produk kelapa.

(16)

Tabel 8. Kebijakan perdagangan kelapa di Indonesia, Tahun 2005 Ekspor Impor Jenis produk Pajak Ekspor Pajak lain Bea Masuk (%) Pajak Penjualan (%) Copra - - - -

Crude Coconut Oil - - 5 10

Refined Coconut Oil - - - 10

Copra Meal - - 5 10

Desiccated Coconut - - 5 10

Coconut Cream/Milk - - 15 10

Coir fibre and Coir Products - - 5 10

Shell Charcoal - - 10 10

Activated Carbon - - 20 10

Sumber : Mahmud, et al., 2005

Berbeda dengan perdagangan internasional kelapa sawit, untuk kegiatan ekspor kelapa pemerintah juga belum melakukan intervensi kebijakan. Secara formal belum ada pemberlakuan peraturan yang terkait dengan pembatasan ekspor, baik menyangkut volume, bentuk produk maupun tujuan eskpor. Begitu pula kebijakan pendukung kegiatan ekspor, juga belum ada. Intervensi kebijakan pemerintah baru dilakukan pada kegiatan impor. Intervensi tersebut berupa penetapan bea masuk barang impor dan pajak penjualan yang selain memberikan pemasukan bagi negara juga dimaksudkan untuk melindungi para produsen di dalam negeri. Besaran bea masuk dan pajak penjualan tersebut bervariasi antar jenis produk seperti dapat dilihat pada Tabel 8.

(17)

Dalam bidang investasi, insentif pemerintah untuk mendukung pengembangan agribisnis kelapa belum ada yang bersifat khusus. Penyediaan dan peningkatan kualitas infrastruktur yang selama ini juga dilakukan di daerah-daerah sentra produksi itupun tidak secara khusus dimaksudkan untuk mendukung pengembangan investasi dalam agribisnis kelapa. Demikian pula pada aspek modal. Meskipun terdapat penyediaan fasilitas kredit untuk usaha skala kecil dari beberapa bank pemerintah, tetapi pemberian fasilitas tersebut tidak secara khusus disediakan untuk usaha yang mengelola atau mengolah produk kelapa.

5.7. Prospek, potensi, dan arah pengembangan

Selama ini produk olahan kelapa yang dihasilkan masih terbatas baik dalam jumlah maupun jenisnya. Padahal, sebagai the tree of life banyak sekali yang dapat dimanfaatkan dari setiap bagian pohon kelapa. Gambar 3 memperlihatkan pohon industri kelapa di Indonesia.

Produk-produk yang dapat dihasilkan dari buah kelapa dan banyak diminati karena nilai ekonominya yang tinggi diantaranya adalah VCO, AC, CF, CP, CC, serta oleokimia yang dapat menghasilkan asam lemak, metil ester, fatty

alkohol, fatty amine, fatty nitrogen, glyserol, dan lain-lainnya. Demikian pula

batang kelapa juga merupakan bahan baku industri untuk menghasilkan perlengkapan rumah tangga (furniture) yang masih prospektif untuk dikembangkan.

5.7.1. Prospek Pasar

Produk kelapa nasional sebagian besar merupakan komoditi ekspor, dengan pangsa pasar sekitar 75 persen, sedangkan sisanya dikonsumsi oleh pasar domestik. Pada tahun 2005, total ekspor aneka produk kelapa Indonesia

(18)

mencapai US$ 460 juta dengan volume ekspor 827 ribu ton yang dikirim ke negara-negara USA, Belanda, Inggeris, Jerman, Perancis, Spanyol, Italia, Belgia, Irlandia, Singapura dan ke negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, China, Bangladesh, Sri Lanka, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand. Belakangan ini mulai dibuka penetrasi pasar aneka produk kelapa ke pasar-pasar baru seperti

Gambar 3. Pohon Industri Kelapa di Indonesia Sumber : Mahmud, et al., 2005

negara yang termasuk kelompok Asia Pasifik, Eropa Timur dan negara-negara Timur Tengah.

Permintaan pasar ekspor produk olahan kelapa umumnya menunjukkan trend yang meningkat. Sebagai contoh, pangsa pasar DC Indonesia terhadap ekspor DC dunia cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir.

BUAH BATANG LIDI DAGING TEMPURUNG SABUT AIR KERAJINAN FURNITURE BANGUNAN NATA VINEGAR KECAP MINUMAN DC COCOMIX PARUT KULIT COCO CAKE SEMI VCO KOPRA M. GORENG OLEOKIMIA PAKAN CCO BUNGKIL SKIM MILK

CONCENTR SKIM MILK VCO COCO SHAKE ARANG TEPUNG SERAT COCOPEAT BERKARET AKTIF TEPUNG GEOTEXTILE KAYU

(19)

Kecenderungan yang sama terjadi pada arang aktif. Sebaliknya pangsa ekspor CCO mengalami penurunan. Situasi ini mengisyaratkan perlunya mengarahkan pengembangan produk olahan pada produk-produk baru yang permintaan pasarnya cenderung meningkat (demand driven).

Pengolahan lanjut CCO menjadi oleokimia yang selama ini banyak dihasilkan di negara maju memiliki peluang untuk dikembangkan di dalam negeri agar nilai tambah yang berlipat dapat diambil alih di dalam negeri. Bila hal ini bisa dilakukan maka impor oleokimia dapat dikurangi.

5.7.2. Potensi Kelapa

Dengan produksi buah kelapa rata-rata 15.5 milyar butir per tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3.75 juta ton air, 0.75 juta ton arang tempurung, 1.8 juta ton serat sabut, dan 3.3 juta ton debu sabut. Industri pengolahan komponen buah kelapa tersebut umumnya hanya berupa industri tradisional dengan kapasitas industri yang masih sangat kecil dibandingkan potensi yang tersedia. Besaran angka-angka di atas menunjukan bahwa potensi ketersediaan bahan baku untuk membangun industri masih sangat besar. Perkembangan luas areal dan produksi kelapa per propinsi tahun 2001-2005 disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

Daerah sentra produksi kelapa di Indonesia adalah Propinsi Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Pangsa produksi masing-masing propinsi pada tahun 2005 berturut-turut adalah 15.1 persen, 7.3 persen, 8.7 persen, 9.4 persen, dan 6.3 persen. Sedangkan laju pertumbuhan selama 2001-2005 untuk masing-masing propinsi berturut-turut sebesar - 4.7 persen, 1.1 persen, 3.8 persen, 5.5 persen, dan 2.4 persen.

(20)

5.7.3. Arah Pengembangan Produk

Data Asia Pasific Coconut Community (APCC) menunjukkan bahwa konsumsi kelapa segar penduduk Indonesia sekitar 36 butir/kapita/tahun atau 7.92 milyar butir (51.1 persen). Bila produksi buah kelapa nasional sebanyak 15.5 milyar butir/tahun, maka buah kelapa yang dapat diolah di sektor industri adalah 7.57 milyar butir (48.9 persen). Jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan 29 unit industri dengan kapasitas 1 juta butir/hari.

Dari buah kelapa dapat dikembangkan berbagai industri yang menghasilkan produk pangan dan non pangan mulai dari produk primer yang masih menampakkan ciri-ciri kelapa hingga yang tidak lagi menampakkan ciri-ciri kelapa. Dengan demikian, nilai ekonomi kelapa tidak lagi berbasis kopra. Keadaan tersebut sudah berkembang di negara-negara lain, seperti di Philipina. Dari total ekspor produk kelapa Philipina (US$ 920 juta), sekitar 49 persen diantaranya adalah berupa produk bukan CCO. Terkait hal itu, secara nasional promosi program diversifikasi di pedesaan untuk menghasilkan produk kelapa setengah jadi yang terkait dengan industri berteknologi tinggi perlu dikembangkan.

Produk kelapa yang sudah berkembang di dalam negeri adalah CCO dan turunannya, DC, VCO, CM, CF, AC, dan CCL. Sekitar 90 persen dari bahan baku daging kelapa digunakan untuk menghasilkan CCO dan sisanya terbagi untuk produk lainnya, tetapi kecenderungan untuk menghasilkan CCO tersebut semakin menurun, sedangkan produk lainnya semakin meningkat. Sesuai dinamika pasar produk, kecenderungan untuk menghasilkan produk oleokimia (OC) turunan dari CCO tampak semakin tinggi.

Produk-produk turunan daging buah selain (OC) yang sangat prospektif untuk berkembang adalah VCO, DC, CM dan CC. Keempat produk ini memiliki

(21)

konteks pengembangan yang sangat baik. VCO memiliki konteks produk yang dapat meningkatkan kesehatan (daya imunitas tubuh terhadap berbagai penyakit degeneratif) dan bahan baku kosmetik alami yang bernilai tinggi. DC adalah produk campuran makanan yang higienis dan praktis. CM adalah minuman kesehatan yang dapat mensubstitusi susu dan CC adalah bahan yang praktis dan hiegenis untuk keperluan memasak pengganti santan parut manual.

Produk-produk turunan tempurung yang prospektif adalah AC, CCL, tepung tempurung (CP) dan kerajinan. Activated carbon antara lain dapat digunakan untuk industri minyak dan gas, pemurnian air, pengolahan pulp, pupuk dan tambang emas. Produk-produk turunan sabut yang prospektif untuk bahan jok mobil mewah, springbed, dan geotextile (GT). Ada empat komponen dasar dari buah kelapa, yaitu sabut, tempurung, daging buah dan air yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti uraian berikut ini.

5.7.3.1. Daging Buah

Daging dari buah adalah komponen kelapa yang paling luas penggunaannya, baik untuk produk pangan maupun non pangan. Pengolahan pemanfaatan daging buah kelapa dapat berupa segar atau lewat kopra (kering). Hasil penting dari pengolahan daging kelapa segar adalah desiccated coconut (DC), coconut cream (CC), coconut milk (CM) dan coconut crude oil (CCO). Pada tahap lebih lanjut dari produk-produk ini dapat diturunkan menjadi beberapa produk hilir lainnya seperti disajikan pada Gambar 4.

Perkembangan teknologi dan preferensi konsumen yang telah mengakomodasi isu lingkungan dan kesehatan, telah mendorong industri kelapa berkembang makin beragam dan mendalam. Industri yang paling jauh berkembang saat ini adalah pengolahan minyak kelapa menjadi senyawa

(22)

oleokimia (OC) dan produk turunannya yang populer dengan sebutan industri oleokimia.

Gambar 4. Produk-produk Oleokimia dari Minyak Kelapa Sumber : Mahmud, et al., 2005

Industri hilir minyak kelapa ini hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan raksasa trans nasional yaitu: Unilever, Henkel, Procter and Gamble, dan Colgate Palmolive. Hanya Philippina dari negara produsen kelapa yang tercatat sebagai eksportir produk oleokimia dari kelapa (APCC).

Senyawa oleokimia dasar yang dihasilkan dari pengolahan minyak kelapa terdiri atas asam lemak, asam lemak ester, asam lemak beralkohol dan asam lemak amina. Selanjutnya dari senyawa dasar tersebut dapat diturunkan sebagai derivat senyawa oleokimia untuk berbagai penggunaan dan/atau bahan baku produk-produk akhir. Asam lemak metil ester Gliserin Senyawa oleokimia Asam Lemak Asam lemak amina Asam lemak beralkohol CCO Derivat oleochemical Amina ethoxylates

Quatemary ammonium componds Pelargonic, azelaic, sebagic, brassylic andecylinic acid

Soap, metal soap, fatty acid alkanol amides, ferry acid chorides, eaters Guerbert alcohols, Guerbert acids (isopalmitic acid)

Alkyl chorides, guatemary ammonium chlorides, fatty alcohols sulfater, fatty alcohols sulfates fatty alcohol ester sulfosuccinates, ester phosphates, polyglycol esters

Ester

Polylkymethacrylates

a-Sulfo fatty acid methyl esters, fatty acid alkanal amides

Alkyd resins, glycerides Sopas

Epoxides

Fatty acid alkanol amides Hydrogenation products Ethoxylates

(23)

5.7.3.2. Sabut

India dan Sri Lanka adalah produsen terbesar produk-produk dari sabut dengan volume ekspor tahun 2005 masing-masing 55 352 ton dan 127 296 ton dan masing-masing terdiri atas enam dan tujuh macam produk. Pada saat yang sama, Indonesia hanya mengekspor satu jenis produk (berupa serat mentah) dengan volume 165 ton. Angka ini menurun tajam dibandingkan ekspor tertinggi pada tahun 1996 yang mencapai 866 ton. Gambar 5 memperlihatkan cabang-cabang industri dari pohon industri sabut kelapa.

Produk primer dari pengolahan sabut kelapa terdiri atas serat sabut (serat panjang) bristle (serat halus dan pendek), dan debu sabut (dust). Serat sabut dapat diproses menjadi serat berkaret, matras, geotextile, karpet, dan produk-produk kerajinan atau industri rumah tangga. Matras dan serat berkaret banyak digunakan dalam industri jok, kasur, dan pelapis panas. Debu sabut dapat diproses menjadi kompos, cocopeat, dan particle board/hardboard. Cocopeat

Gambar 5. Produk Turunan dari Pengolahan Sabut Kelapa di Indonesia

Sumber: Mahmud, et al., 2005

Serat Berkaret Matras Kerajinan - Keset - Karpet - Tali, dll Genteng Hardboard Geotekstil Cocopeat Kompos Hardboard Isolator listrik Serat Pendek Debu Sabut Serat Panjang Sabut

(24)

dapat digunakan sebagai substitusi gambut alam untuk industri bunga dan pelapis lapangan golf. Di samping itu, bersama bristle, cocopeat ini dapat diolah lebih lanjut menjadi hardboard.

Permintaan terhadap cocopeat di pasar internasional diperkirakan akan meningkat tajam karena di samping tekanan isu lingkungan yang terkait dengan penggunaan gambut alam juga karena mutu produk yang dihasilkan ternyata lebih baik daripada gambut alam.

5.7.3.3. Tempurung

Tempurung kelapa yang dulu hanya digunakan sebagai bahan bakar, sekarang sudah merupakan bahan baku industri cukup penting. Produk yang dihasilkan dari pengolahan tempurung adalah arang, arang aktif, tepung tempurung dan barang kerajinan. Arang aktif dari tempurung kelapa memiliki daya saing yang kuat karena mutunya tinggi dan tergolong sumber daya yang terbarukan. Selain digunakan dalam industri farmasi, pertambangan, dan penjernihan, arang aktif sekarang sudah dibuat untuk penyaring atau penjernih ruangan untuk menyerap polusi dan bau tidak sedap dalam ruangan. Berdasarkan data ekspor tahun 2005, Indonesia ternyata lebih banyak mengekspor dalam bentuk arang tempurung (56 persen), sedangkan negara lain dalam bentuk arang aktif.

5.7.3.4. Kayu Kelapa

Jika rata-rata kepadatan kelapa diasumsikan 100 pohon/ha, maka jumlah tanaman kelapa dari 3.74 juta hektar adalah 374 juta pohon. Jika dilakukan penebangan secara teratur berdasarkan siklus umur peremajaan (60 tahun), maka setiap tahun dapat ditebang sekitar 6.23 juta pohon/tahun. Oleh karena hanya 0.2 m3 dari rata-rata 1.18 m3 kayu kelapa yang tergolong kualitas satu dan

(25)

dapat dimanfaatkan untuk kayu pertukangan, berarti dapat diproduksi 1.25 juta m2 kayu pertukangan dan sekitar 6.0 juta m3 limbah kayu setiap tahun.

Kayu kelapa kualitas pertukangan (kelas I dan II) dapat digunakan untuk industri mebel eksotik, souvenir/benda seni, bahan bangunan rumah seperti dinding, kusen, dan tegel. Gambar 6 memperlihatkan contoh mebel dan rumah yang berasal dari pohon kelapa. Sedangkan sisa-sisa kayu dapat diproses untuk kebutuhan packing, arang, particle board, dan pulp.

Gambar

Gambar 2.  Sebaran Areal dan Produksi Kelapa di Indonesia Berdasarkan  Wilayah Pengembangan
Tabel 1.  Profil Usaha Beberapa Produk Akhir Kelapa di Indonesia
Tabel  2.  Penggunaan  Domestik  Berbagai  Produk  Kelapa  di  Indonesia,  Tahun   1993-2005
Tabel 4.  Negara utama tujuan ekspor produk kelapa Indonesia, Tahun 1999 dan    2005.
+6

Referensi

Dokumen terkait

267 Sesuai pendapat Salisbury dan Ross (1997), bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman memiliki ketentuan yaitu pertumbuhan adalah pertambahan ukuran sel yang

Analisis data mencakup kerapatan jenis, kerapatan jenis relatif, frekuensi jenis, frekuensi jenis relatif, penutupan jenis, penutupan jenis relatif serta indeks

Titanium murni adalah logam putih, logam putih, lustrous lustrous dengan sifat densitas rendah, dengan sifat densitas rendah, kekuatan tinggi dan daya tahan terhadap korosi yang

Pada stratifikasi ini ada kemungkinan didalam suatu masyarakat terdapat unsur- unsur dari gabungan kedua sifat pelapisan sosial. Misalnya, dalam bidang ekonomi menggunakan

Kalau pada point di atas, kita bicara tentang hewan yang mati karena terbunuh oleh sesama, maka pada point ini kita bicara tentang hewan yang mati karena memang diterkam oleh

ƒ Perawatan jalur permanen: semua biaya personel dan material yang Perawatan jalur permanen: semua biaya personel dan material yang dibutuhkan untuk memelihara jalur permanen,

Tujuan Penelitian untuk mengetahui komparasi penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan Hasil Belajar Kewirausahaan siswa kelas

bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nornor 23 Tahun 2011 ten tang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nornor 2 Tahun 2008 tentang