*Corresponding author:
rasmita.adelina@yahoo.com 66
Variasi Somaklonal Sebagai Salah Satu Sumber Keragaman Genetik Untuk
Perbaikan Sifat Tanaman
Rasmita Adelina Harahap*
Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Graha Nusantara Padangsidimpuan
Pendahuluan
Kultur jaringan tanaman merupakan teknologi yang memungkinkan membantu para pemulia tanaman dalam memperbanyak tanaman (Karp, 1995). Teknik ini juga digunakan untuk meningkatkan kecepatan atau efisiensi proses pemuliaan, meningkatkan aksesibilitas
terhadap plasma nutfah dan mengkreasi variasi baru untuk perbaikan tanaman (Scowcroft et
al., 1985). Hal tersebut termasuk mikropropagasi, kultur anther (Karp, 1995), seleksi in vitro
(Moon et al., 1997), penyelamatan embrio (embryo rescue), variasi somaklonal
(Maralappanavar et al., 2000), hibridisasi somatic (Thrope, 1990), dan transformasi (Walden
dan Wingender, 1995). Dalam hal ini, variasi somaklonal menduduki posisi yang unik, karena keuntungan dan kerugiannya dalam sistem kultur jaringan. Tanaman yang diregenerasikan
secara kultur in vitro melalui sel somatik sering berbeda fenotip dengan tanaman awal.
Fenomena ini akhirnya disebut variasi somaklonal (Larkin, 1987). Analisis turunan menunjukkan bahwa variasi somaklonal adalah perubahan genetik walaupunperubahan DNA somaklon sampai sekarang masih terus dipelajari. Perubahan variasi genetik merupakan komponen yang esensial dalam program pemuliaan tanaman. Variasi somaklonal digunakan untuk memperoleh tanaman potensial dengan sifatsifat yang diinginkan, tetapi variasi ini justru tidak dikehendaki dalam kultur jaringan (sebagai perbanyakan aseksual) karena dapat
meningkatkan variabilitas terutama untuk tanaman transgenik(Utomo et al., 1996). Sejak
tahun 1961 telah dilaporkan adanya ketidakstabilangalur yang diregenerasikan dengan morfologi, kariotipe, biokimia, dan taraf molekuler (Scowcroft, 1984). Basis variasi somaklonal belum sepenuhnya dimengerti dengan baik, meskipun rearensemen kromosom, aktifitas tronsposon endogenus, perubahan status metilasi DNA, dan mutasi mungkin merupakan faktor-faktor yang berkontribusi (Thrope, 1990). Keragaman genetic eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan diperkirakan sebagai penyebab variasi somaklonal (Heinze dan Schmidt, 1995). Dengan demikian perubahan genetik tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa segregasi maupun rekombinasi gen seperti biasa terjadi
67
akibat proses persilangan (crossing). Keragaman pada eksplan disebabkan adanya sel-sel
bermuatan maupun adanya polisomik dari jaringan tertentu. Variasi somaklonal tidak muncul
sebagai fenomena yang sederhana, dan mungkin merefleksikan perbedaan-perbedaan
pre-existing cellular genetic atau keragaman yang diinduksi oleh kultur jaringan (Thrope, 1990).
Keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah kromosom (fusi, endomitosis), perubahan struktur kromosom, perubahan gen dan
perubahan sitoplasma (Griffiths et al., 1993).
Melalui teknik kultur jaringan ini terdapat dua hal yang berbeda kepentingannya bagi pamuliaan tanaman yaitu mempertahankan kestabilan genetic dan merangsang keragaman genetik. Kestabilan genetik dapat dicapai dengan mendorong sesingkat mungkin fase pertumbuhan tak berdiferensiasi (fase kalus sel bebas), sedangkan keragaman genefik dapat dicapai dengan fase tak berdiferensiasi yang relatif panjang (Wattimena dan Mattjik, 1992). Khusus untuk keperluan transformasi genetik, variasi somaklonal dihindari selain dengan
periode singkat pengkalusan sel bebas, juga dengan menggunakan jaringannya
semi-organized, misalnya eksplan dan dengan introduksi DNA secara langsung ke dalam jaringan
meristimatik atau kalus yang dihasilkan dari kultur antera (Walden dan Wingender, 1995) Variasi somaklonal pada dasarnya terjadi akibat peristiwa mutasi, yaitu perubahan suatu karakter yang diwariskan yang disebabkan oleh berubahnya pembawa sifat menurun
(inherited trait) baik pada tingkat DNA atau gen yang disebut juga mutasi kecil atau mutasi
titik, maupun pada tingkat kromosom yang disebut juga mutasi besar. Oleh karena itu, mekanisme kejadiannya hampir sama dengan efek mutagenesis konvensional (radiasi)
(Maluszynski et al., 1995), yakni bersifat acak dan keragaman yang dihasilkan nya dapat
bermanfaat atau kurang bermanfaat, bahkan mungkin rnerugikan. Dugaan variasi somaklonal ini diketahui dari variasi tanaman yang luas yang dihasilkan dari protoplas dan kultur eksplan kentang, tebu, padi, dan jagung (Karp, 1995). Pada tahun 1983, Ahloowalia (1985) melaporkan bahwa pada beberapa tanaman terjadi keragaman sifat kuantitatif seperti hasil biji, tinggi tanaman, resistensi, fertilitas polen, dan kandungan protein. Bentuk-bentuk variasi somaklonal pada tanaman dapat digunakan untuk mengetahui perubahan sifat secara genetik.
Fenomena variasi somaklonal
tersebut dapat ditunjukkan oleh daun tanaman yang
mengalami albino, tanaman menjadi kerdil (pendek), male sterility, perubahan bentuk dan
warna daun. batang, bunga.ukuran umbi, ketajaman dan varigasi daun, dan lain-lain (Norton dan Skirvin, 1997; Sinaga, 1998). Dengan demikian, variasi somaklonal adalah sebuah teknik yang dapat digunakan oleh pemulia tanaman. Pertanyaannya adalah di mana teknik ini dapat
68 diaplikasikan dengan lebih efektif dan apa faktor penghambat serta pendukungnya sehingga dapat berhasil. Lebih lanjut akan dibicarakan penggunaan variasi somaklonal terhadap
introgresi hybrid dan untuk seleksi in vitro dari tanaman yangmengekpresikan peningkatan
toleransi terhadapcekaman lingkungan.
Seberapa Jauh Variasi Somaklonal Sebagai Salah Satu Sumber Yang Dapat Diandalkan?
Pertanyaan ini dapat dibagi menjadi tiga pertanyaan: (1). apakah kultur in vitro selalu
meningkatkan variasi?, 2) apakah variasi yang berguna selalu berubah (recovered)?, dan ( 3)
apakah variasi somaklonal dapat dimanfaatkan untuk semua spesies tanaman? (1). Apakah kultur in vitro selalu meningkatkan variasi?
Tidak selalu dapat dikatakan bahwa kultur in vitro akan meningkatkan variasi.
Kenyataannya, sejumlah faktor dapat diidentifikasi apakah berpengaruh atau tidak terhadap
variasi yang dihasilkan dan seberapa banyak variasi yang dihasilkan. Menurut Karp (1995), faktor- faktor tersebut adalah:
1). Tingkat pertumbuhan awal organ meristematik 2). Konstitusi genetik material awal
3). Zat pengatur tumbuh di dalam medium kultur 4). Sumber jaringan atau eksplan
Tingkat pertumbuhan awal organ meristematik.
Pertumbuhan di dalam kultur dapat terjadi dari meristem yang sudah dibentuk atau dari bentuk yang tidak teratur sebagai kalus yang dihasilkan, dari embriogenesis somatik atau organogenesis. Tingkat pertumbuhan awal organ merupakan elemen kunci dalam variasi somaklonal, diduga bahwa dalam pertumbuhan yang tidak teratur, terjadi penahanan (pengurangan) pembatasan yang bertindak untuk mengeleminasi variasi genetik dalam meristem normal atau karena adanya mekanisme induksi ketidakstabilan genetik. Di pihak lain, semakin besar tingkat pertumbuhan organ dan semakin lama waktu yang digunakan tumbuh di media,maka semakin besar perubahan yang terjadi sebagai hasil variasi somaklonal.
Konstitusi genetik material awal.
Banyak bukti mengindikasikan bahwa variasi somaklonal tergantung pada genotipe tanaman darimana eksplan berasal. Pada tahun 1982, McCoy telah meneliti pengaruh faktor
69
genetik eksplan pada dua kultivar oat, dimana salah satu kultivar memberikan frekuensi keragaman jumlah kromosom yang lebih tinggi dibanding dengan kultivar lainnya (Larkin, 1987). Genotipe merupakan faktor penting di dalam menimbulkan variasi somaklonal, karena genotype dapat mempengaruhi frekuensi regenerasi dan frekuensi variasi somaklonal yang terjadi (Karp, 1995). Elemen genotipik merupakan aspek penting untuk identifikasi, karena pemulia tanaman yang menggunakan variasi somaklonal sebagai alat dalam galur atau kultivar tertentu dan untuk mengetahui apakah genotipe sebagai penentu variabilitas Ploidi
material awal merupakan salah satu factor variasi somaklona1, Shepard et al. sebagaimana
diacu oleh Sutjahjo (1994), mencatat terjadinya frekuensi keragaman genotipe yang tinggi dari kultivar kentang Russet Burbank. Diperoleh ketidakstabilan kromosom pada regeneran
yang poliploid dibandingkan dengan diploid atau haploid. Sun et al. sebagaimana diacu oleh
Sutjahjo (1994), membandingkan besarnya frekuensi ploidi tanaman regenerasi in vitro dari
18 varietas padi. Ditemukan adanya multiploidi pada varietas indica sedangkan pada varietas japonika tidak ditemukan. Menurut Karp (1995), Mutasi gen akan mempunyai ekspresi
yang lebih baik pada tanaman haploid dan diploid. Beberapa genom dapat lebih tidak stabil disbanding tanaman yang lainnya. Perbandingan suspense sel diploid, tetraploid, hexaploid gandum memperlihatkan bahwa sel yang diploid lebih stabil dan yang heksaploid paling
rendah kestabilannya (Winfield et al., 1993). Selanjutnya genom yang membawa elemen
loncat (transposable elements) diperkirakan lebih tidak stabil dalam kultur disbanding yang
tidak membawa elemen tersebut. Bukti tentang perubahan aktivitas transposon sebagai hasil
kultur jaringan telah dilaporkan oleh Peschke etal. (1991), tetapi tidak semua perubahan yang
terjadi pada kultur jaringan tanaman (yang mempunyaitransposon) dicirikan oleh perpindahan
transposon (Williams et al., 1991). Lingkungan kultur (zat pengatur tumbuh di medium
kultur). Menurut Karp (1995), banyak bukti menunjukkan bahwa variasi somaklonal
dipengaruhi oleh pemilihan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh di dalam media. Kemungkinan zat pengatur tumbuh tersebut bertindak seperti mutagen.Konsentrasi garam-garam nutrien yang tinggi seperti kalsium dan EDTA pada media kulturtampaknya meningkatkan ketidaknormalan kromosom pada kultur sel. Selanjutnya, konsentrasi sukrosa yang tinggi (10 atau 20 sampai 30 g L-1) dapat menginduksi poliploidisasi sel kalus yang
dihasilkan dari lini dihaploid dan tetraploid. Auksin sintetik, 2,4-D (2,4
dichlorophenoxyacetic acid) mampu meningkatkan mutasi sistem stamen pada Tradescantia
dan erat kaitannya dengan keragaman tanaman regenerasi pada Hordeum (Dolezel and
70
meningkatkan frekuensi tanaman abnormal (Shepard et al. sebagaimana diacu oleh Sutjahjo,
1994). Bayliss (1980), menyatakan bahwa kondisi kultur dengan media yang mengandung auksin kuat dapat mengimbas proses dedifirensiasi, sehingga kromosom menjadi tidak stabil dan mengganggu siklus mitosis serta replikasi DNA. Ketidakstabilan ini diduga karena
benang-benang (spindle) kromosom tidak normal sehingga terjadi keragaman kromosom
dalam jenis tanaman yang sama (Peloquin, 1981). Zat pengstur tumbuh mempengaruhi variasi somaklonal selama fase kultur melalui efeknya pada pembelahan sel (Bayliss, 1980; Gould, 1984), tingkat pertumbuhan yang tidak beraturan (fase pengkalusan) (Karp, 1995), dan proliferasi selektif sel spesifik (Ghosh dan Gadgil, 1979). Dalam hal ini terdapat hubungan yang erat antara keberadaan zat pengatur tumbuh dengan lamanya periode kultur, yaitu fase
kalus (Ahloowalia, 1985). Sumber jaringan atau eksplan (the tissuesource). Sumber eksplan
merupakan sumber yang sangat penting dalam menginduksi variasi somaklonal. Karena jaringan yang berbeda dapat menimbulkan frekuensi variasi somaklonal. Semakin tua atau semakin khusus suatu jaringan, maka akan semakin besar variasi yang diperoleh dari tanaman yang diregenerasikan. Penggunaan daun, tangkai daun atau batang kentang melalui fase kalus
dapat meningkatkan keragaman somaklonal (Scowcroft, 1984). Osifo et al. sebagaimana
diacu oleh Karp (1995) pada tanaman Solanum brevidens mendapatkan 70% tanaman yang
diregenerasikan dari kotiledon dan 20% dari potongan daun adalah tetraploid. Pada
Chrysanthemum, tanaman yang diregenerasikan dari petal lebih mampu berbunga dan lebih
tinggi ketidaknormalannya daripada tanaman yang dihasilkan dari pedikel (Bush et al.
sebagaimana diacu oleh Karp, 1995). Roest dan Sokelman sebagaimana diacu oleh Sutjahjo (1994), menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari daun atau bagian daun memberikan keragaman genetik yang lebih besar daripada eksplan dari bagian tanaman lainnya. Sihachakr
et al. (1997), melaporkan dari pengujian lapang pendahuluan di Gabon menunjukkan bahwa
tanaman ubi rambat (Ipomoea batatas L.) yang berasal dari kultur protoplas menghasilkan
variabilitas genetik yang besar dalam pertumbuhan dan pembentukan umbinya dibandingkan tanaman hasil kultur eksplan. Ramulu (1986), menyatakan bahwa bagian tanamankentang yang berbeda mempunyai tingkat ploidi yang berbeda pula. Perbedaan tersebut terjadi karena
enderoduplikasi pada beberapa bagian tanaman sehingga menghasilkan polisomatik. Dari\
hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi mutasi pada tanaman kentang yang
diregenerasikantanpa mutagen dari eksplan tangkai dan daun mencapai sekitar 12,3% sampai
71
penting dalam induksi variasi somaklonal adalah lamanya dalam kultur in vitro. Telah
diyakini secara luas bahwa masa kultur in vitro yang lama dapat menyebabkan jumlah
kromosom beragam. Selanjutnya Bayliss (1980), menyatakan bahwa semakin lama periode kultur akan menyebabkan frekuensi aberasi kromosom akan semakin meningkat. Meningkatnya abnormalitas kromosom tersebut karena tidak terorganisasinya pertumbuhan
kalus. Mc Coy et al., (1982), melaporkan bahwa tanaman Avena sativa mengalami
peningkatan frekuensi tanaman yang abnormal sitogenetik secara dramatis dengan bertambahnya periode kultur, karena terjadi pematahan kromosom, kehilangan kromosom,
perubahan dalam kromosom, dan aneuploidi. Korelasi antara lamanya kultur in vitro dan
akumulasi perubahan kromosom pertama kali ditemukan pada Daucus carota (Smith dan
Street sebagaimana diacu oleh Sutjahjo, 1994), di mana kultur sel berisi banyak sel-sel
abnormal dan dapat beregenerasi menjadi tanaman. Fukui (1983) memonitor terjadinya
mutasi ganda pada tanaman regenerasi asal kultur kalus dari padi. Mutasi yang terjadi tidak
bersamaan selama dalam kultur dari galur kalus tunggal. Barbier and Dulieu (1983)
menyatakan bahwa kebanyakan perubahan genetik terjadi pada periode mitosis pertama
dalam kultur dan beberapa perubahan genetik meningkat sejalan denganlamanya umur masa
tumbuh kultur tersebut.
(2). Apakah variasi yang berguna selalu berubah (recovered)?
Dari percobaan lapang ekstensif yang dilakukan terhadap somaklon hasil regeneran dapat diketahui bahwa perubahan sifat-sifat agronomi yang terjadi merupakan hasil dari kultur
in vitro. Namun tidak semua varian-varian yang dihasilkan diseleksi untuk tujuan pemuliaan
tanaman dengan salah satu atau kombinasi alasan-alasan berikut: 1) variasi yang didapatkan
ke arah yang salah (negatif) (Baillie et al., 1992), 2) perubahan positif yang terjadi tetapi
diikuti sifat negatif (Qureshi et al., 1992), tidak semua sifat yang didapatkan bersifat
unik (noveltis) (Vuylsteke dan Swennen, 1990), dan 4) tidak semua perubahan genetik
bersifat stabil atau perubahan genetik dan fenotip yang unpredictable (Seman dan Lepoivre,
1990), perubahan yang terjadi dapat bersifat non heritable atau epigenetic atau heritable tetapi
dapat berubah kembali ke sifat awal (reversible change) (Karp, 1995). Mutasi gen atau
kromosom yang terjadi karena, misalnya amplifikasi dan transposisi dapat bersifat tidak stabil. Harus diakui hal ini menjadi "batu sandungan" dalam penggunaan variasi somaklonal untuk perbaikan sifat tanaman. Untuk mengimbanginya Karp (1989) sebagaimana dinyatakan oleh Seman and Lepoivre (1990), menyarankan dengan laju variabilitas yang sangat tinggi,
72 pengembangan teknik kultur yang sesuai, dan penggunaan metode seleksi yang sesuai untuk mengurangi material yang tidak dikehendaki atau dengan penggunaan metode seleksi awal.
(3). Apakah variasi somaklonal dapat dimanfaatkan nuntuk semua spesies tanaman? Dapat dikatakan bahwa variasi somaklonal telah berhasil memperbaiki sifat produksi beberapa tanaman seperti tomat, tebu, seledri, jagung, padi, dan sorgum Tetapi juga harus dikatakan tentang ketidaksuksesan beberapa percobaan dengan pendekatan ini, misalnya pada tanaman gandum, jagung, dan barley meskipun diusahakan dengan skala yang besar dan
ekstensif (Maralappanavar et al., 2000). Pada evaluasi dengan menggunakan variasi
somaklonal sebagai alat pemuliaan untuk memperbaiki kopi, Sondahl and Bragin (1991), menyimpulkan bahwa variasi sornaklonal adalah metode yang terbaik untuk memperpendek program pemuliaan kopi, sejak terbukti adanya akses untuk mendapatkan mutan baru dengan genotipe hasil tinggi disertai umur yang lebih genjah. Dari berbagai literature yang ada, dapat disimpulkan variasi somaklonal akan lebih berhasil jika dilakukan pada tanaman dengan sistem genetik terbatas dan atau yang berdasarkan genetik dalam arti sempit. Untuk tanaman
hias, eksploitasi variabilitas dengan menggunakan teknik in vitro sudah merupakan
pekerjaan rutin program pemuliaan tanaman hias komersial. Hal ini bertolak belakang dengan tanaman- tanaman serealia seperti barley dan jagung di mana pendekatan variasi somaklonal
belum berhasil dilakukan pada beberapa kasus (Baillie et al., 1992).
Meskipun hasil (regeneran) dari somaklonal tidak dapat diprediksi, beberapa kelebihannya dibandingkan dengan alat (teknik) lainnya adalah: 1) lebih murah dibandingkan dengan pendekatan bioteknologi dengan hibridisasi somatic dan transformasi genetik, 2) sistem kultur jaringan dapat menggunakan lebih banyak spesies tanaman daripada manipulasi
dengan hibridisasi somatic dan transformasi genetik, 3) tidak perlu identifikasi sifat (trait)
berdasarkan sifat genetik dibanding denganntransformasi yang memerlukan identifikasi genetik untuk isolasi dan kloning gen dimaksud, dan 4) dilaporkan varian-varian noveltis telah banyak dihasilkan di antara somaklon yang dihasilkan variasi somaklonal. Bukti genetik dan sitogenetik mengindikasikan bahwa frekuensi dan distribusi terjadinya rekombinasi genetik dapat diubah dengan jalan pintas yang lebih singkat melalui teknik perbanyakan kultur jaringan tanaman (Duncan dan Widholm, 1990; Karp, 1995).
73
Kesimpulan
Variasi somaklonal dapat digunakan oleh para pemulia tanaman dalam rangka perbaikan sifat tanaman. Alat (teknik) ini bukan alat yang teliti tetapi dalam penggunaannya dilakukan dengan control minimal. Pendekatan ini menawarkan secara cepat dan lebih mudah diakses untuk mendapatkan sumber keragaman genetik yang dapat digunakan pada program-program pemuliaan tanaman. Variasi somaklonal merupakan pilihan yang sangat mungkin untuk digunakan sebagai alat perbaikan tanaman dengan sistem genetik terbatas dan atau
berdasarkan sifat genetik sempit (narrow genetic bases).
Daftar Pustaka
Ahloowalia, B. S. 185. Limitations to The Use of Somaclonal Variation in Crop
Improvement, pp. 14- 27. Dalam J. Semal [ed.]. Somaclonal Variation and Crop
Improvement.
Martinus Nijhoff Publication, USA. Ahloowalia, B. S. 1985. Limitations to The Use of
Somaclonal Variation in Crop Improvement, pp. 14- 27. Dalam J. Semal [ed.].
Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publication, USA. Baillie, A. M. R., B. G. Rosnagel dan K. K. Kartha. 1992. Field evaluation of barley
(Hordeum vulgare L.) genotypes derived from tissue culture. Canadian Journal of Plant Science 72: 725-733. Barbier, M. dan H. L. Dulieu. 1983. Genetic changes
observed in tobacco (Nicotiana tabacum) plants regenerated from cotyledon by in
vitro culture. Annual Amelior. Plant 30: 321-344.
Bayliss, M. W. 1980. Chromosomal variation in plant tissue culture. International Review of
Cytology(Supplement) IA: 113-143.
Duncan, D. R. dan J. M. Widholm. 1990. Techniques for selecting mutans from plant tissue
cultures. PlantCell and Tissue Culture 6: 443-453.
Fukui, K. 1983. Sequential occurance of mutations in a growing rice callus. Theoretical and
AppliedGenetics 65: 225-230.
Ghosh, A. dan V. N. Gadgil. 1979. Shift in ploidy level of callus tissue: a function of growth
substances. Indian Journal of Experimental Biology 17: 562 - 564.
Gould, A. R. 1984. Control of the cell cycle in cultured plant cells. Critical Review of Plant
Science 1: 315- 344.
Griffiths, A. J., F. Suzuki, J. H. Miller dan R. C. Lewontin. 1993. An Introduction to Genetic Analysis (Fifth Edition). W.H. Freeman and Co, New York.
Heinze, B. dan J. Schmidt. 1995. Monitoring genetic fidelity vs somaclonal variation in
Norwey Spruce (Picea abies) somatic embryogenesis by RAPD analysis. Euphytica
85: 341-345.
Karp, A. 1995. Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica 85: 295-302.
Larkin, P. J. 1987. Somaclonal variation: history, method and meaning. lowa State
Journal ofResearch 61: 393-4343.
Maluszynski, M., B. S. Ahloowalia dan B. Sigurbjornsson. 1995. Application of in vivo and
74 Maralappanavar, M. S., M. S. Kuruvinashefti dan C. C. Harti. 2000. Regeneration,
establishment and evaluation of somaclones in Sorghum bicolor (L.) Moench.
Euphytica 115: 173-180.
McCoy, T. J., R. L. Phillips dan H. W. Rines. 1982. Cytogenetic analysis of plant regenerated
from oat (Avena sativa) tissue cultures: high frequency of partial chromosome loss.
Canadian Journal ofGenetic Cytology 24: 37-50.
Moon, D. H., L. M. M. Oftoboni, A. P. Souza, S. T. Silbov, M. Gaspar dan P. Arruda. 1997. Somaclonalvariation- induced aluminum-sensitive mutant from an aluminum-inbreed
maize tolerant line. Plant CellReports 16.
Norton, M. A. dan R. M. Skirvin. 1997. Somaclonal variation among ex vitro 'Thornless
Evergreen' trailing blackberries: the morphological status of selected clones after
seven years of field growth. Journal of American Society for Horticultural Science
122: 152-157.
Peloquin, S. J. 1981. Manipulation of Chromosome and Cytoplasmic, pp. 117-150. Dalam J.
F. Kenneth [ed.]. Plant Breeding. Iowa University Press, Ames. Peschke, V. M., R. L. Phillips dan B. G. Gengenbach. 1991. Genetic and molecular analysis of tissue cufture
-derived AG element. Theoretical andApplied Genetics 82: 121-129.
Qureshi, J. A., P. Huci dan K. K. Kartha. 1992. Is somaclonal variation a riable tool for
spring wheat improvement? Euphytica 60: 221-228. Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2,
Juli – Desember 2007.
Ramulu, K. S. 1986. Origin and Nature of Somaclonal Variation in Potato, pp. 188-201.
Dalam J. Semal [ed.]. Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff
Publishing, USA.
Scowcroft, W. R. 1984. Genetic Variability in Tissue Culture Impact on Germplasm Conservation and Utilization. IBPGR, Rome.
Scowcroft, W. R., S. A. Ryan, R. I. S. Brettel dan P. J. Larkin. 1985. Somaclonal Variation in Crop improvement, p. 99-109. In Biotechnology in International Agricultural Research (Proceedings). International Rice Research Institute, Manila.
Seman, J. dan P. Lepoivre. 1990. Application of Tissue Culture Variability to Crop
Improvement, pp. 301- 315. Dalam S. S. Bhojwani [ed.]. Plant Tissue Culture:
Applications and Limitations. Elsevier Science Publisher, Amsterdam. Sihachakr, D., R. Haircour, J. M. C. Alves, I. Umboh, O. Nzoghe, A. Servaes dan G.
Ducreux. 1997. Plant regeneration in sweet potato (Ipomoea batatas L.,
Convolvulaceae). Euphytica 96: 143-152.
Sinaga, S. 1998. Somaclonal Variation among Tissue Culture-Derived Planting Material of
Peanut (Arachys hypogaea L.,) cv. Gajah. Magister SainsThesis. Bogor University of
Agricuclture, Bogor.
Sondahl, M. R. dan A. Bragin. 1991. Somaclonal Variation as A Breeding Tool for Coffee Improvement. ASIC, San Francisco.
Sutjahjo, S. H. 1994. Induksi Keragaman Somaklon ke Arah Ketenggangan terhadap
Keracunan Aluminium pada Tanaman Jagung. Disertasi Doktor. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Thrope, T. A. 1990. The Current Status of Plant Tissue Culture, pp. 1-33. Dalam S. S.
Bhojwani [ed.]. Plant Tissue Culture: Applications and Limitations. Elsevier Science Publishers, Amsterdam.
Utomo, S. D., A. K. Weissinger dan T. G. lsleib. 1996. High efficiency peanut regeneration
75
Van Harten, A. M., H. Bouter dan C. Broertjes. 1981. In vitro adventitous bud technique for
vegetative propagation and mutation breeding of potato (Solanum tuberosum L.). II.
Significance formutation breeding. Euphytica 30: 1-8.
Vuylsteke, D. dan R. Swennen. 1990. Somaclonal variation in African plantain. IITA
Research 1: 4-10.
Walden, R. dan R. Wingender. 1995. Gene-transfer and plant-regeneration technique. Tibtech
13: 324-331.
Wattimena, A. G. dan N. A. Mattjik. 1992. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, pp.
105=168. Dalam A.S. Abidin [ed.]. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Williams, M. E., A. G. Hepburn dan J. M. Windholm. 1991. Somaclonal variation in maize inbred lines is not associated with changes in the number or lacation Ae- homologous
sequence. Theoretical andApplied Genetics 81: 272-276.
Winfield, M., M. R. Davey dan A. Karp. 1993. A comparison of chromosome instability in