• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEOLOGI ANTI KORUPSI DALAM TINJAUAN AL-QUR AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEOLOGI ANTI KORUPSI DALAM TINJAUAN AL-QUR AN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TEOLOGI ANTI KORUPSI DALAM TINJAUAN AL-QUR’AN Abdul Karim STAIN Kudus Email: karim.ican@gmail.com ABSTRAK

Masalah korupsi sebenarnya merupakan wacana klasik yang terus bergulir dan terus mengalami dinamika perkembangan zaman. Menjadi sebuah isu yang sangat krusial untuk dipecahkan dan masih membelit bangsa Indonesia khususnya sampai saat ini. Tindak pidana korupsi disinyalir telah menjalar di semua bidang dan sektor pembangunan dan sulit untuk diatasi. Hal ini pun kemudian menjadi menarik untuk diperbincangkan dalam konteks teologi anti korupsi, mengingat bahwa praktek korupsi seakan menjadi suatu aliran tersendiri dalam kehidupan sosial keagamaan. Kita harus menghadirkan sebuah formula yang mampu menjelaskan atas pembacaan korupsi yang lebih komperhensif, khususnya dari sudut pandang al-Qur’an. Al-Qur’an memang tidak secara lugas menyebutkan term korupsi sebagai kesatuan hukum yang eksplisit, melainkan term-term tertentu seperti ghulu>l, al-suht, al-dawl, hira>bah yang mengarah pada subtansi korupsi tersebut. Berangkat dari term-term tersebut pula, sebuah kerangka rumusan anti korupsi mulai diperbincangkan dalam berbagai ragamnya sebagai bentuk epistemologi pencegahan dan juga pemberantasannya.

(2)

Pendahuluan

Masih tingginya indeks persepsi korupsi (IPK) atau angka tindak pidana korupsi sesungguhnya dapat kita lihat dari derasnya informasi di berbagai media yang memberitakan tentang tindak korupsi, hampir setiap hari dapat kita baca dari berbagai media yang terbit, artikel yang menyorot perilaku pejabat pusat sampai pejabat daerah yang menyalahgunakan wewenangnya dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri.

Ditinjau dari sudut Etimologis, kata korupsi

sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio (penyuapan)

dan corruptus (merusak). Kata ini lalu disalin ke dalam kosa kata bahasa Inggris yang disebut corruption atau corrupt. Selain itu dalam bahasa Perancis juga dikenal dengan kata corruption, sementara dalam kaidah bahasa Belanda dikenal dengan sebutan corruptie (korruptie). Menurut Andi Hamzah sebagaimana yang ditulis oleh M. Nurul Irfan dalam bukunya Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, bahwa kata korupsi yang sampai dan sering dipakai dalam bahasa Indonesia merupakan plagiasi dari kata korruptie

dalam bahasa Belanda.1 Menurut W.J.S. Poerwadarminta

dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976), secara harfiah kata korupsi dapat diartikan “perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Hal senada juga disampaikan oleh Subekti dan Tjitrosoedibio (Kamus

Hukum: 1996), kata corruptio adalah korupsi, perbuatan curang,

tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Sementara dalam khazanah Islam kata korupsi diistilahkan

dengan kata risywah.2 Secara terminologi risywah sesuatu yang

1M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 33, lihat juga Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2005, hlm. 4. Secara terminologis banyak ahli memiliki definisi masing-masing. Robert Klitgaard misalnya mendefinisikan “corruption is the abuse of public power for private benefit”, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi juga berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Lihat: Robert Klitgaard dkk., Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, terj. Hermoyo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 3.

(3)

diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang bathil/salah

atau menyalahkan yang benar.3 Sementara kata ghulul bermakna

berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta yang lain, hal ini dapat diperhatikan dalam al-Qur’an

surah Ali ‘Imran (3) ayat 161. Terlepas dari itu semua, pada

intinya menurut penulis adalah bahwa setiap perbuatan yang berkaitan dengan merampas, mencuri, dan mengambil harta orang lain dengan cara zhalim, termasuk di dalamnya suap-menyuap merupakan bentuk dari korupsi. Selanjutnya mari kita perhatikan bagaimana wawasan dan penjelasan al-Qur’an mengenai kejahatan dan bahaya korupsi.

Sekilas Catatan Sejarah Korupsi

Sebenarnya korupsi bukanlah merupakan hal yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena korupsi ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi, bahkan sejak 2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku berjudul ”Arthasastra”. Begitu juga Ungkapan “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” menjadi sangat terkenal pada tahun 1887-an, ungkapan sejarawan Inggris Lord Acton ini, menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di mana saja tanpa memandang ras, geografi, maupun kapasitas ekonomi.

Tindak korupsi tidak hanya menjadi wabah di negara Indonesia saja, akan tetapi telah menyebar ke seluruh negara di Asia, bahkan negara-negara di dunia sehingga muncul berbagai ragam istilah yang mendefinisikan korupsi. Di China, Hong Kong

dan Taiwan, misalnya, korupsi dikenal dengan nama yum cha,

atau di India terkenal dengan istilah baksheesh, atau di Filipina

dengan nama lagay dan di Indonesia atau Malaysia memiliki

padanan kata yaitu suap.4 Akan tetapi tidak semua istilah ini

(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 499, 1015. Dalam Kamus Bahasa Arab Modern (Al-Azhar: 2009), risywah tidak saja diartikan penyuapan, tapi juga diartikan dengan ketidakjujuran dan korupsi.

3M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm. 89 4Lihat: W.J.S. Poerwadarminta, kamus umum Bahasa Indonesia, 1976, hlm. 56, dan Lihat juga Kamus Dewan, edisi 3, 1994 dan juga Andi

(4)

secara spesifik mendefinisikan pengertian dari praktek korupsi. Istilah lokal yang dianggap paling mendekati adalah istilah yang

berlaku di Thailand, yaitu istilah gin muong, yang secara literal

berarti nation eating (memakan keuangan negara dengan cara

ilegal).

Sejarah mengenai korupsi sendiri memang cukup panjang. Menurut petunjuk Hans G. Guterbock, catatan kuno mengenai masalah ini menunjuk pada penyuapan terhadap hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi seringkali muncul ke permukaan sebagai masalah. Dalam sejarah Islam sendiri, pada era kekuasaan Khulafâ al-Râsyidîn tepatnya pada masa Umar bin al-Khattab juga telah ditemui upaya praktek korupsi. Hal ini dikuatkan dengan usaha Umar memerintah seorang sahabat yang bernama Maslamah untuk mengawasi harta

kekayaan para pejabat pemerintah.5

Sejarah korupsi di Indonesia bukanlah wacana yang baru. Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa perilaku korup di negeri ini sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan yang tersebar di Nusantara. Pada waktu itu, perilaku korupsi diimplementasikan dalam bentuk upeti yang diberikan kepada pejabat atau pamong daerah setempat. Sehingga tidak heran hasil survei yang dilakukan oleh Transparancy Internasional (TI), di mana menurut TI fakta perkembangan korupsi di Indonesia per 2010 dapat dilihat dari angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2010 yang tetap pada angka 2,8 atau di peringkat 110 dari 178 negara yang disurvei. Posisi IPK sama dengan 2009. Maka dengan ini, bisa

dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia tanpa progres.6

Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mencatat, selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak kurang dari Rp. 103 Triliun dana pembangunan dirampok. Karena data itu merupakan hasil audit, jumlah itu baru sampling. Oleh karenanya,

Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), cet. I, hlm. 339 5Muhammad Husain Haikal, Sayyidina Umar bin khattab, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2003), hlm. 665.

6Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, (Jakarta: Ufuk Press, 2011), hlm. xiii.

(5)

jumlah itu masih terus bisa bertambah.7 Selain BPK, statistik lain

yang dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyatakan, pada 2010 Indonesia adalah Negara paling korup di Asia Pasifik. Hasil survei PERC menyatakan, skor Indonesia adalah 9,27 (dari skala0-10) Semakin besar skornya, semakin koruplah sebuah negara. Dengan demikian, korupsi Indonesia bahkan lebih buruk dibanding beberapa negara di Asia Tenggara

semisal Kamboja (9,10), Filipina (9,0), dan Thailand (8.0).8

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang semakin meningkat dan kemudian cenderung stagnan dalam pemberantasannya diasumsikan karena supremasi hukum yang tumpul terhadap penguasa. Boleh jadi hukum memiliki taring akan tetapi korupsi terus mengalami perkembangan dan lebih dilakukan secara sistematis. Oleh karenanya wacana pemberantasan korupsi harus terus diperbincangkan secara intensif, dalam hal ini, salah satu tawarannya apa yang akan segera penulis kemukakan.

Dengan melihat beberapa fakta sejarah tersebut, maka sebetulnya pada masa Arab Era Islampun sesungguhnya kasus korupsi sudah ditemukan. Namun, seperti penulis tuturkan di muka, Al-Qur’an tidak mengemukakan ayat korupsi secara eksplisit. Bahkan secara tegas Ahmad Baidlawi menyebut bahwa dalam Islam, dalam konteks ini Al-Quran, kasus korupsi tidak diuraikan secara tekstual dengan jelas.9

Namun demikian, Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, sumber inspirasi ilmu pengetahuan, pedoman dan sumber hukum dalam agama menyinggung tentang tindak pidana korupsi secara umum yang intinya adalah suatu praktek penyimpangan terhadap penyalahgunaan wewenang, dalam al-Qur’an korupsi

atau riswah dianalogikan dengan istilah ghulu>l yaitu praktik

7Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melansir bahwa semenjak 2004 hingga 2008 tercatat ada lebih dari 31 laporan tindak pidana korupsi yang masuk selama 2008 saja, tercatat dalam satu hari ada 37 laporan yang masuk, dengan kerugian negara sekitar 1 miliar untuk setiap laporan. Jika dikalikan, maka dalam sehari 37 miliar uang negara melayang.

8Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, (Jakarta: Ufuk Press, 2011), hlm. xiii-xiv.

9Ahmad Baidlawi, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli, 2009, hlm. 8

(6)

suap menyuap (Q.S Ali Imran:161). Menurut Ibnu Katsir, seorang pakar tafsir ternama, menegaskan bahwa ghulul berarti menyalahgunakan kewenangan untuk mengambil sesuatu yang tidak ada dalam kewenangannya dan berakibat merugikan pihak lain. Definisi Ibnu Katsir tersebut disepakati oleh para Ulama

Indonesia (MUI: 1999) dalam fatwanya menetapkan bahwa

al-gulul identik dengan korupsi, dan dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan haram. Sedangkan di lain ayat, al-qur’an mengistilahkan korupsi dengan al-batil (al-Baqarah:188) yaitu memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar. Imam al-Qurthubi menambahkan dalam Al-Ja>mi’ Li Ahka>mi al-Qur’a>n bahwa al-ba>t}il adalah perbuatan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak di benarkan syariat. Al-qur’an juga

mengistilahkan korupsi dalam surat Al-a’ra>f: 56 dengan

al-fasa>d.10

Berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, Sayyid Husain al-Alatas menyimpulkan bahwa korupsi tidak akan lepas dari beberapa ciri khususnya, yaitu: (a) suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintahan, lembaga swasta atau masyarakat umum, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, (e) melibatkan lebih dari satu orang atau pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama, (g) terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (g) adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum, (i) menunjukkan fungsi ganda pada setiap

individu yang melakukan korupsi.11

Sebagai sang pembawa risalah Nabi muhammad juga tidak ketinggalan dalam menyinggung hal ini, dalam hadistnya Rasulullah saw. bersabda:

شيترلماو شيارلا ملسو هيلع للها لىص للها لوسر نعل

10Al-Qurthuby (w. 681H). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H), Cetakan ketiga, Juz 2, hlm. 711

11S.H. Al-Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, terj. Nirwono, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 2.

(7)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580]

Kesemua istilah memiliki pengertian yang variatif, namun pada ujungnya merupakan kegiatan ilegal yang berlaku di luar sistem formal. Pengertian dari beberapa istilah tersebut menunjukkan adanya kerusakan yang luar biasa besar terhadap kehidupan suatu bangsa akibat dari adanya perilaku praktek korupsi.

Jadi, dari berbagai definisi yang telah disebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas, yaitu:

Korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara 1.

atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau 2.

uang yang di percayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Merujuk kepada beberapa definisi yang telah disebut, maka Al-Qur’an sebagai Kitab Suci Umat Islam sejatinya sangat menentang, mengutuk bahkan mengharamkan tindak korupsi, Islam sangat menentang bentuk-bentuk perbuatan dalam bentuk pengkhianatan, penmyelewengan, mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar, serta segala sesuatu yang merugikan orang banyak. Tindak korupsi, suap menyuap dan perbuatan yang merugikan orang lain adalah perbuatan munkar yang harus dicegah dan diberantas. Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya penulis akan mencoba menguraikan interpretasi ayat-ayat yang mengandung term korupsi dengan memandang korupsi secara definitif pada konteks kekinian.

Ayat-Ayat Tentang Korupsi

Pada dasarnya, terminologi korupsi dalam Al-Qur’an merupakan bentuk-bentuk tindakan pidana yang ada dalam Islam,

(8)

namun penyebutan yang secara eksplisit tidak ditemukan di dalam

Al-Qur’an, misalnya, term perampokan (al-harb), pencurian

(al-sarq), term penghianatan (al-ghulu>l), dan lain sebagainya. Namun, melihat perkembangan definisi korupsi yang semakin beragam, maka term-term tersebut juga mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan, yaitu ketika term-term tersebut masuk dalam ranah kajian korupsi. Al-Qur’an menjelaskan term-term tersebut sebagai berikut:

1. Ghulu>l (Penghianatan) Qs. Ali Imran : 161

ﮡ ﮠ ﮟ

ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮗ

ﮕ ﮔ ﮓ ﮒ ﮑ

ﮨ ﮧ ﮦ ﮥ ﮤ ﮣ ﮢ

Ayat 161 dari surat Ali Imran ini, menurut Al-Maraghi

dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa kata ghulu>l dalam ayat

itu bermakna ‘al-akhdz al-khafiyyah’, yaitu mengambil sesuatu

dengan sembunyi-sembunyi, semisal mencuri sesuatu. Kemudian makna ini sering digunakan dalam istilah mencuri harta rampasan

perang sebelum didistribusikan.12

Rasulullah sendiri memperluas makna ghulu>l menjadi

dua bentuk: (a) Komisi, yaitu tindakan mengambil sesuatu penghasilan di luar gaji yang telah diberikan. Tentang hal ini Nabi

menyatakan “Siapa saja yang aku angkat dalam satu jabatan

kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi (ghulu>l ).” HR. Abu Daud. (b) Hadiah, yaitu pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang melekat pada dirinya. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda “Hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulu>l)”. HR.

Ahmad.13

2. Al-Sa>riqah (Pencurian) Qs. Al-Maidah: 38

ﭨ ﭧ ﭦ ﭥ ﭤ ﭣ ﭢ ﭡ ﭠ ﭟ

12Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Bairut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 98.

13Ahmad Baidlawi, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli, 2009, hlm. 4

(9)

ﭭ ﭬ ﭫ

Kaitannya dengan ayat ini, Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang mencuri, maka datanglah orang yang

kecurian itu dan berkata pada Nabi saw. “Wahai Nabi, wanita

ini telah mencuri perhiasan kami”. Maka wanita itu berkata Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “Potonglah tangannya!” Kaumnya berkata, “Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar.” Maka Nabi Saw. pun bersabda, “Potonglah tangannya!” Maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian

wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku

bertobat?” Jawab Nabi saw,, “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian

turunlah QS. Al-Maidah: 38 tersebut.14

Kata saraqa sendiri secara etimologi bermakan “akhdzu

ma li al-ghairi khufyatan”(mengambil harta orang lain secara

sembunyi-sembunyi).15 Sedangkan secara terminologis kata

‘mencuri’ (al-sarq) terlebih dahulu dibagi menjadi dua bagian,

yaitu pencurian besar dan kecil. Pencurian besar merupakan arti

lain dari term hirabah sebagaimana penulis jelaskan pada term

sebelumnya. Sedangkan definisi tentang pencurian kecil, beberapa ulama memiliki makna yang bervariasi, yaitu (a) mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang cukup terpelihara menurut kebiasaannya, (b) mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dengan jalan menganiaya, (c) mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi,

yaitu harta yang bukan diamanatkan padanya.16 Dari sini dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-sarq adalah

mengambil harta orang lain yang bukan miliknya dengan jalan sembunyi-sembunyi tanpa kerelaan pemiliknya.

14 Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Karim, hlm. 94. 15Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, hlm. 628

16Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 375

(10)

3. Al-Hira>bah (Perampokan) Qs. Al-Maidah: 33

ﮅ ﮄ ﮃ ﮂ ﮁ ﮀ ﭿ ﭾ ﭽ ﭼ ﭻ

ﮏ ﮎ ﮍ ﮌ ﮋ ﮊ ﮉ ﮈ ﮇ ﮆ

ﮜ ﮛ ﮚ

ﮘ ﮗ ﮖ ﮕ ﮔ

ﮒ ﮑ ﮐ

ﮟ ﮞ ﮝ

Istilah berikutnya yang terindikasi sebagai term

korupsi dalam Al-Qur’an adalah hira>bah. Hakim Muda

Harahap menguraikan bahwa arti lain dari kata yuha>ribu>na apabila

dirunut ke asal bentukan awalnya dari tsula>tsi mujarrad maka ia

bermakna seseorang yang merampas harta dan meninggalkannya

tanpa bekal apa pun.17 Hal yang sama juga datang dari pandangan

sebagian ahli fikih mengenai kata hira>bah. Menurut mereka orang

yang melakukan tindakan hirabah sebagai qa>thi’u al-thari>q atau penyamun dan al-sa>riq al-kubra> atau pencurian besar. Dengan

kata lain, makna hira>bah di sini adalah seseorang yang merampok

harta orang lain. Pengertian seperti inilah yang kemudian sering digunakan oleh ulama untuk memaknai kata yuha>ribu>na dalam

QS. Al-Maidah: 33 tersebut.18

4. Al-Suh}t (Penyuapan) Qs. Al-Maidah: 42

ﭚ ﭙ ﭘ ﭗ ﭖ

ﭔ ﭓ ﭒ ﭑ

ﭦ ﭥ

ﭣ ﭢ ﭡ ﭠ ﭟ ﭞ

ﭜ ﭛ

ﭯ ﭮ ﭭ ﭬ ﭫ

ﭩ ﭨ ﭧ

Kata al-suht dalam ayat tersebut secara leksikal berasal

dari sah}ata yang memiliki makna memperoleh harta yang

17Hakim Muda Harahap, Ayat-ayat Korupsi, (Yogyakarta: Gama Media, 2009), hlm. 80-82

18Lihat: Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 384.

(11)

haram.19 Hal senada juga dijelaskan oleh Al-Zamakhsyari dalam

tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al-suh}t adalah harta

haram.20 Ibn Khuzaimah, seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi,

menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan al-suh}t adalah bila

seseorang makan karena kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali

dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya. Jika

kembali dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi seperti yang terjadi pada konteks kekinian. Di mana praktek suap menyuap orang yang memiliki kekuasaan merupakan bagian dari bentuk praktek korupsi yang telah menjamur di masyarakat. Banyak yang belum menyadari bahwa suap (al-suh}t), baik yang menerima maupun yang memberi, termasuk dalam tindakan korupsi.

5. Ad-Dalwu (Pengaruh Korupsi) Qs. Al-Baqarah: 188

ﮥ ﮤ ﮣ ﮢ ﮡ ﮠ ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﮛ

ﮬ ﮫ ﮪ ﮩ ﮨ ﮧ ﮦ

Ayat tersebut, jika dibaca dalam konteks korupsi, mengandung makna yang sangat tegas melarang memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh agama (al-ba>thil). Makna yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menyuap hakim, kadi, dan lain sebagainya yang memiliki kekuasaan untuk

membebaskan sang penyuap dari tuntutan sesuatu.21

Asba>b al-nuzu>l ayat tersebut dijelaskan Ibn Katsir dalam

tafsirnya melalui khabar dari jalur Ibn Abbas, dia berkata: “Ayat

ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang menanggung hutang, sedangkan orang yang memberi hutang tidak mempunyai bukti yang kuat (ketika ingin menagih hutang tersebut). Maka laki-laki yang mempunyai hutang tersebut mengingkari hutangnya dan

19Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 614.

20Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, Juz III, (Bairut: Dar al-Ilmiyyah, 1968), hlm. 57

(12)

mengadukan perkaranya pada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa

dirinya berada dalam pihak yang salah.” Setting historis inilah

yang kemudian direspons oleh Al-Qur’an dengan turunnya ayat tersebut yang secara tegas melarang seseorang untuk memakan

harta orang lain dan memperjuangkan sesuatu yang batil.22 Karena

itu, Islam melarang keras membawa urusan harta benda kepada hakim bila hal yang melatarbelakangi adalah kebatilan.

Al-Qur’an dan Ideologi Anti Korupsi

Kita mengetahui bahwa secara atropologis al-Qur’an memiliki kekuatan yang dapat membentuk budaya masyarakat. Bahkan lebih jauh Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa peradaban Arab-Islam dan Islam secara umum, adalah merupakan “peradaban teks”. Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan dimana teks sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Hal ini membuktikan bahwa dalam peradaban Islam pada umumnya, al-Qur’an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak keilmuan yang

berkembang di dalamnya.23

Bangsa Indonesia sesungguhnya mayoritasnya adalah kaum pinggiran yang meletakkan agama sebagai kekuatan spiritual belaka. Namun pada prinsipnya bahwa al-Qur’an memiliki kekuatan emosional yang dapat menggerakkan umat Islam untuk bersikap sesuai dengan ajaran yang dikandungnya. Akan tetapi patut disayangkan sesungguhnya bahwa doktrin-doktrin normatif yang tertuang dalam al-Qur’an itu, bagi kebanyakan umatnya tidak memiliki dimensi sosial dan intelektual yang kuat dalam membendung realitas kemungkaran yang terjadi. Sungguh asumsi seperti ini perlu direkonstruksi, sebab Islam bukanlah teologi eskapistik yang mengamini umatnya untuk larut dalam buaian spiritual belaka, sehingga lupa akan tanggung jawab sosialnya. Bagi penulis jika ditelaah lebih mendalam, al-Qur’an

22 Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur`ān al-Azhīm, (Kairo: Al-Matba’ah Al-Fanniyah, t. th.), Jilid II, hlm. 226.

23Nasr Haid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm. 17

(13)

mempunyai rentetan perangkat teoritis yang bisa digunakan untuk membendung beragam bentuk dari manifestasi ketidakadilan sosial termasuk korupsi.

Berbicara tentang korupsi, al-Qur’an sangat tegas memberikan argumen normatif bahwa dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa ada hak orang lain, dan hak itu jelas bukan miliknya (Q.S. al-Ma’arij, 70: 24-25). Dengan ungkapan yang berbeda Allah ingin memberi ketegasan bahwa sesungguhnya seorang manusia harus menafkahkan harta yang dikuasai kepada jalan yang diridhai Allah. Seperti yang digambarkan dalam surah al-Hadid (57): 7

“berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.

Jika korupsi terus dilakukan, bukankah itu merupakan pengingkaran atas amanah kebendaan yang telah dititipkan Allah kepada manusia. Namun peringatan Tuhan melalui al-Qur’an ini sepertinya hanya menjadi kesadaran kultural, tidak memiliki daya paksa struktural, sehingga sang koruptor menjadi tak bergeming.

Tindak korupsi yang dipahami sebagai bentuk dari penyimpangan normatif (menyangkut harta) juga merupakan bagian yang integral dari kejahatan sosial, sebab korupsi adalah mengambil harta orang lain baik perorangan maupun kelompok dengan cara yang zhalim termasuklah dalam kasus suap-menyuap. Korupsi merupakan dosa besar yang paling berbahaya yang dapat menimbulkan kehancuran ekonomi, politik, dan sosial

masyarakat.24

Secara garis besar Islam dibangun atas tiga unsur utama, yaitu akidah, syari’at, dan akhlak (akidah, syari’at, dan akhlak

merupakan istilah lain dari iman, Islam, dan ihsan.25 Akidah

merupakan pondasi bangunan keyakinan umat Islam secara vertikal, syari’at berisi tentang aturan-aturan dalam membimbing

24Husain Husain Syahatah, Suap dan Korupsi dalam Perspektif Syariah, terj. Kamran As’ad Irsyady, Jakarta: Amzah, 2005, hlm. xi

25Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Riyadh: Dar as-Salam, 1998), cet. 1, hlm. 79

(14)

kehidupan manusia disamping juga berisi sangsi-sangsi terhadap yang melanggar aturan tersebut, sementara akhlak berisi tentang tuntunan perilaku dan adab kesopanan baik kepada Allah (hablum minallah) maupaun terhadap sesama manusia (hablum minannas). Ketiga unsur utama ajaran Islam ini pada intinya untuk mencapai tujuan teologis yakni sebagai rahmat bagi sekalian alam (QS. Al-Anbiya’: 107)

Konsep maqasid al-Syari’ah sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima halyaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dari lima aspek ini, aspek terakhir yang menjadi perhatian Syari’at Islam adalah masalah harta. Harta harus dijaga dengan baik, tidak boleh saling mencurangi dan menuasai dengan cara yang batil dalam bermuamalah, tidak boleh menzalimi hak-hak anak yatim, mengkorupsi, melakukan penyuapan kepada hakim atau pejabat tertentu, memberikan hadiah dengan tujuan dan maksud khusus kepada seorang pejabat, mencuri atau

merampok.26 Pada sisi yang berbeda, disamping sebagai rahmat,

secara spesifik dalam setiap aturan hukum terdapat konsep maqasid al-Syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terkandung dibalik hukum yang ditetapkan oleh syara’ berupa kemaslahatan

bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.27

Menurut Syahatah jika diklasifikasikan secara sistematis bahwa diantara justifikasi syara’ (al-Qur’an) terhadap bahaya dan keharaman korupsi adalah:

Pertama, korupsi termasuk salah satu bentuk perampasan harta orang lain dengan cara yang kotor, batil, dan semena-mena. Deskripsi ini dalam al-Qur’an digunakan untuk menggambarkan orang yang melakukan korupsi (suap), seperti yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah:188.

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut secara tersirat terkait dengan pelarangan perbuatan menyogok dan disogok. Menurutnya dalam ayat ini perbuatan itu diibaratkan dengan perbuatan menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh

26 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 2-4

27Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid. 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jilid 4, hlm. 1108

(15)

air. Timba yang turun tidak terlihat oleh yang lain, khususnya yang berada jauh dari sumur. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwenang untuk memutuskan sesuatu, tetapi secara tersembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak

sah, lalu dengan tegas ayat ini mengutuk perbuatan itu.28

Kedua, pihak-pihak yang terlibat dalam kasus korupsi adalah termasuk pembuat kerusakan di muka bumi yang wajib ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Sebab perilaku orang-orang ini akan dapat menimbulkan kekacauan dalam interaksi dan relasi sosial serta mengancam stabilitas masyarakat, mereka yang melakukan semua ini patut divonis sesuai dengan firman Allah QS. Al-Maidah (5): 33.

Ketiga, jika yang melakukan korupsi (suap) berposisi sebagai hakim (qadhi), maka konpensasi dari penerimaan suap itu adalah memutuskan perkara sesuai dengan pesanan dari siapa yang menyuap, hal ini secara nyata adalah merupakan penyimpangan dari prinsip keadilan yang lebih ironis adalah bahwa keputusan yang diambil sudah pasti tidak berdasar pada apa yang telah diturunkan Allah pada sisi inilah al-Qur’an mengklaimnya sebagai orang yang kafir, zalim, dan fasik (QS. Al-Maidah: 44, 45, 47).

Keempat, penyebaran wabah korupsi (suap dan penggelapan) berdampak jelas pada ketimpangan sosial. Korupsi adalah mengambil hak rakyat yang dianggap kalangan atas sebagai masyarakat bodoh dan dungu, karena tidak bisa mengambil haknya secara adil dan tegas. Korupsi juga mencuri uang negara yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu korupsi yang dilakukan penguasa adalah dosa yang sangat besar karena mereka menurut al-Qur’an mengemban tanggung jawab untuk menegakkan keadilan tanpa diskriminasi demi kesejahteraan rakyat (QS An-Nisa’ 4:58), namun kenyataannya justru menyengsarakan rakyat.

Kelima, pada zaman Rasul perilaku seseorang berbuat curang dan menyimpang (korupsi) terhadap harta rampasan perang (ghanimah) diabadikan Allah dalam al-Qur’an sebagai orang yang berkhianat dan akan dan mereka akan dibalas setimpal

28M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2002, Vol I., hlm. 387

(16)

dengan yang mereka lakukan (QS. Ali Imran: 3; 161).

Keenam, dalam sebuah riwayat hadis di jelaskan bahwa suatu saat Rasul saw. memerintahkan para sahabat untuk menyalati seorang jenazah, namun beliau sendiri tidak berkenan melaksanakannya. Para sahabat bertanya-tanya, tidak basanya Rasul berbuat demikian, ternyata keengganan beliau menyalati jenazah tersebut disebabkan karena jenazah tersebut semasa hidupnya sempat mengorupsi perhisan semacam intan atau manic-manikyang nilainya tidak mencapai batas minimal pencurian, yaitu dua dirham. Atas dasar ini Imam al-Nawawi menganjurkan agar para ulama dan orang-orang shaleh untuk tidak ikut menyalatkan jenazah orang yang berlaku fasik (koruptor) sebagai sebuah pelajaran dan mencegah bagi yang lain agar tidak

mengikuti perbuatan fasik tersebut.29

Sedangkan menurut Munir Mulkan secara ekstrim tindak korupsi dapat dikatakan sebuah kekafiran yang nyata, sebab kekafiran bukan semata-mata karena sesorang tidak bersedia menyatakan diri beriman kepada Tuhan secara formal (verbal/ lisan), tetapi lebih empiris dalam praktek korupsi, politik uang, dan politik preman (dengan kekerasan). Penyelewangan jabatan, penggunaan berbagai ancaman kekerasan dalam praktek politik, manipulasi hukum dan perundangan yang berlaku merupakan bentuk pemalsuan logika rakyat dan sekaligus pemalsuan kesalehan yang secara sistematis bisa menghancurkan sisitem

demokrasi dan kesalehan keagamaan.30 Hal itu sesuai dengan

apa yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw, yang dapat kita simpulkan bahwa korupsi merupakan perbuatan yang dilarang dan merupakan dosa besar.

Penutup

Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang

29 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm. 137 30Abdul Munir Mulkan, Manusia Al-Qur’an: Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 224

(17)

dari tugas-tugas resmi yang secara sengaja dilakukan sendiri atau bersama-sama untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri.

Untuk konteks Indonesia, ketika sistem hukum dan sistim sosial tidak mendukung, maka keteladanan tokoh masyarakat akan berperan sangat penting dalam memberantas korupsi. Jadi harus dimulai dari diri sendiri. Untuk pola hubungan masyarakat yang masih sangat dipengaruhi community leader (pemimpin kelompok) faktor keteladanan memang harus lebih ditonjolkan. Sayangnya, sentimen sosial kaum muslim terhadap isu-isu seperti korupsi, dan problem-problem sosial lainnya yang bersinggungan langsung dengan kita, nampaknya kurang bersemangat untuk mendapatkan perhatian dibandingkan dengan sentimen persaudaraan sesama muslim seperti dengan Palestina ataupun Irak yang sangat luar biasa. Semua energi bisa dilibatkan dan sedia dikerahkan. Padahal menurut sejarah, perhatian pertama Nabi Muhammad dalam dakwahnya terletak pada usaha perbaikan sistem sosial.

Banyak ayat dalam al-Qur’an yang memberikan argumen yang sangat tegas bahwa dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa ada hak yang tersurat. Dan hak itu, jelas bukan miliknya (Qs. Al-Maarij: 24-25). Dengan ungkapan yang berbeda, Allah ingin memberi ketegasan, bahwa sesungguhnya seorang manusia harus menafkahkan atas harta yang dikuasai (Qs. Al-Hadid: 7). Lalu, jika korupsi dilakukan, bukankah itu merupakan pengingkaran besar atas amanah kebendaan yang dititipkan pada manusia. Hanya saja, ini sekadar menjadi kesadaran kultural, tidak punya daya paksa struktural, sehingga sang koruptor menjadi tak bergeming.

Sesungguhnya memang sudah saatnya al-Qur’an tidak lagi diletakkan sebagai kesadaran normatif yang hanya bergerak pada wilayah kultural. Ia juga harus mampu menyelinap dalam perbaikan pada ruang-ruang struktural. Dan itu artinya, al-Qur’an juga sesungguhnya bisa menjadi landasan teoritik yang bisa dipakai untuk melakukan pembebasan kemanusiaan, bahkan untuk masalah seperti korupsi.

(18)

budaya masyarakat. Al-Qur’an memiliki impetus emosional yang dapat menggerakkan umat Islam untuk bersikap sesuai dengan ajaran yang dikandungnya. Hanya saja, yang patut disayangkan, doktrin-doktrin normatif yang tertuang dalam al-Qur’an itu, bagi kebanyakan umatnya tidak mempunyai dimensi sosial dan intelektual yang kuat dalam membendung realitas kemungkaran yang terjadi.***

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana,

2006.

Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh, I, Surabaya: Kalista,

2006.

Abdul Munir Mulkan, Manusia Al-Qur’an: Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2007

Ahmad Baidlawi, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli,

2009.

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Bairut: Dar Kutub

al-Ilmiyyah, 2006.

Al-Syatibi, Al-Muwaffaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz II, Bairut:

Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.

Al-Zamakhsyari, Tafsir Kasyaf, Juz III, Bairut: Dar

al-Ilmiyyah, 1968.

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2010

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986

Anwar Harjono,. Hukum Islam; Keluasan dan Keadilannya,

Jakarta: Bulan Bintang, 1968.

Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, Jakarta:

Ufuk Press, 2011

Duski Ibrahim, “Perumusan Fikih Anti Korupsi” dalam Suyatno,ed, Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama,

Yogyakarta: Gama Media, 2006.

Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

(20)

Hakim Muda Harahap, Ayat-ayat Korupsi, Yogyakarta: Gama

Media, 2009.

Husain Husain Syahatah, Suap dan Korupsi dalam Perspektif Syariah, terj. Kamran As’ad Irsyady, Jakarta: Amzah,

2005.

Jonathan Crowther (ed), Oxford: Advanced Learners Dictionary,

1995.

M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta:

Amzah, 2011.

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan,Tangerang: Lentera Hati,

2011.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000.

Mahfudz Masduki, “Beberapa Prinsip dan Metode Penafsiran al-Qur’an” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan

Kalijaga, 2000.

Muhammad Husain Haikal, Sayyidina Umar bin khattab, Jakarta:

Litera Antar Nusa, 2003.

Nasr Haid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta:

LkiS, 2003.

Robert Klitgaard dkk., Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah terj. Hermoyo, Jakarta: Yayasan

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengelolaan air limbah domestic di Kabupaten Pulau Morotai belum tertata / dikelolah dengan benar, pengelolaan limbah rumah tangga black water masih dilakukan

pembelajaran menulis, salah satunya dalam penelitian sebelumnya metode STAD digunakan dalam jurnal berjudul “Penerapan Metode Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada

Usaha Konfeksi dan Sablon sebagai pemasok Factory Outlet, distro dan clothing untuk daerah Jakarta, terutama daerah Dago (Jl.Ir.H.Juanda) di Kota Bandung. Salah

matematika Yunani yang teorinya masih dipakai hingga saat ini (yang kemudian dikembangkan bilangannya oleh Fibonacci sekitar abad 12), Golden Section (Seksi Emas) atau

Kecuali apabila ditentukan lain oleh Pengekspor Data, Data Pribadi yang ditransfer berhubungan dengan kategori subjek data berikut: pegawai, kontraktor, mitra bisnis atau

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu mukjizat kerasulannya. Al- Qur‟an merupakan

Berikut ini tabel pembobotan jawaban user dari gejala penyakit kolera berdasarkan pada 3 kasus yang di peroleh dari pakar yang akan dicari nilai persentasenya dengan bobot yang