• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRAKTIK GADAI BARANG RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Masyarakat Talang Kec. Teluk Betung Selatan,Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRAKTIK GADAI BARANG RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Masyarakat Talang Kec. Teluk Betung Selatan,Bandar Lampung)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Syari’ah

Oleh AYU AFIFAH NPM. 1421030157

Program Studi :Mu’amalah

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN

LAMPUNG

(2)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRAKTIK GADAI

BARANG RUMAH TANGGA

(Studi Kasus di Masyarakat Talang Kec. Teluk Betung Selatan,Bandar Lampung)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Syari’ah

Oleh: AYU AFIFAH NPM:1421030157

Program Studi: Mu’amalah

Pembimbing I : Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.

Pembimbing II : Relit Nur Edi, S. AG., M.KOM.I.

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

(3)

ii

tangga yang berharga yang mempunyai nilai jual, yang dilakukan dimasyarakat Talang dapat dijelaskan sebagai berikut:Yaitu dengan meminjam uang dengan jaminan barang rumah tangga dengan jangka waktu yang telah ditentukan dengan menyebutkan tanggal serta bulan, namun seiring berjalan-nya waktu Murtahin

menagih hutang tersebut dan pihak Rahin tidak mau membayar hutang tersebut dan malah menyuruh Murtahin untuk menjualkan barang jaminan kepada orang lain, dan jika harga jual barang jaminan melebihi jumlah hutang Rahin meminta untuk di bagi dua, sedangkan jika barang terjual harga barang jaminan tersebut tidak menutupi jumlah hutang Rahin. akad semacam ini tentunya menguntungkan salah satu pihak, pihak yang merasa di rugikan adalah pihak Murtahin karena niat baik dari Murtahin malah di salah gunakan dan Rahin ingin mencari keuntungan dengan memanfaatkan Murtahin.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana prakti gadai barang rumah tangga di masyarakat Talang Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung dan bagaimana tinjauan hukum Islam tentang pelaksanaan praktik gadai barang rumah tangga di masyarakat Talang Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui secara jelas praktek gadai barang rumah tangga dan untuk mengetahui pelaksanaan pandangan hukum Islam tentang pelaksanaan gadai barang rumah tangga di Masyarakat Talang Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian yang langsung di lakukan di lapangan, yakni pada masyarakat Talang Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung, tentang praktik gadai barang rumah tangga, Adapun data yang di gunakan yaitu data primer dan sekunder, yang di maksud data primer yaitu data yang di dapatkan dari masyarakat, sedangkan data sekunder di dapatkan dari sumber-sumber buku. Metode pendataan secara observasi, wawancara dan dokumentasi, sedangkan analisa data pengelolaan data di lakukan melalui editing, dan sistematisasi data, sedangkan dalam analisis data menggunakan metode induktif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan praktik gadai barang rumah tangga yang di lakukan oleh masyarakat yaitu dengan melakukan perjanjian gadai dimana jaminannya berupa barang rumah tangga. Apabila jatuh tempo yang telah ditentukan Rahin belum sanggup membayar, maka Murtahin meminta Rahin untuk menjual barang rumah tangga kepada pihak lain, bilamana terdapat kelebihan harga barang jaminan melebihi jumlah hutang,

Rahin meminta untuk di bagi dua. Adapun pelaksanaan praktik gadai barang rumah tangga ini tidak sesuai dengan Hukum Islam, di karenakan telah merugikan salah satu pihak yaitu pihak Murtahin.

(4)
(5)
(6)

v MOTTO













































































Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak Secara tunai

sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang di pegang oleh yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang di percayai itu menunaikan amanatnya, hutangnya dan hendaklah ia bertakwa kepada allah tuhannya, dan janganlah kamu para saksi menyebunyikan, persaksian dan barang siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah:283). 1

1

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya (Jakarta:PT Insan Media Pustaka,2013), h.49.

(7)

vii

1. Alm. Ayahku tercinta Abd. Rahman, dan Ibuku tercinta Wirnida, atas segala pengorbanan, dukungan, dan doa yang tiada henti-hentinya untuk keberhasilanku.

2. Kakak-kakaku beserta adik-adiku, Al Faruqi, M.Iqbal, M.Ichsan, M.Rafiq. 3. Almamater tercinta Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ayu Afifah lahir di Teluk Betung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung, pada tanggal 26 November 1995, anak kedua dari empat bersaudara adapun pendidikan yang telah penulis tempuh adalah sebagai berikut:

1. TK Taman Siswa Teluk Betung Selatan, Diselesaikan pada tahun 2002 2. SDS Taman Siswa Teluk Betung Selatan, Diselesaikan pada tahun 2008 3. SMPS Taman Siswa Teluk Betung Selatan, Diselesaikan pada tahun 2011 4. SMAS Taman Siswa Teluk Betung Selatan, Diselesaikan pada tahun 2014 5. Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan di IAIN Raden Intan

(9)

ix

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan kenikmatan berupa ilmu pengetahuan, kesehatan, dan hidayah-Nya, tidak lupa sholawat sera salam semoga selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRAKTIK GADAI BARANG RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Masyarakat Talang Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung)”.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada program Strata satu (S1) Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah Raden Intan Lampung guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam bidang ilmu Syari’ah.

Skripsi ini disusun sesuai dengan rencana dan tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penyusun tidak lupa menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag., Selaku Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung.

2. Dr. H.A. Khumedi Ja’far, S.Ag., M.H., Selaku Ketua Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung.

3. Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A., Selaku Pembimbing I dan Relit Nur Edi, S.Ag.,M.Kom.I.Selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu salam membismbing, mengarahkan dan memotivasi sehingga skripsi ini di selesaikan dengan baik.

4. Bapak dan Ibu dosen, para Staf Karyawan Fakultas Syari’ah yang telah ikhlas memberikan pengetahuan ilmu agama guna bekal diakhir nanti. 5. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan

Universitas yang telah memberikan informasi, data, refrensi, dan lain-lain.

6. Teman- Teman seperjuangan angkatan 2014, khususnya Muamalah C, dan sahabat-sahabatku tercinta, Nita Juliana, Gita Andriyani, Sinta Bela, Munawaroh, Narul Ita Sari, Saidah, Lina Oktasari, Fitriyani Dewi, Fandi Apriyadi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan hal itu tidak lain disebabkan karena keterbatasan kemampuan waktu dan dana yang dimiliki oleh karena itu saran dan masukan dari para pembaca sangat penulis harapkan dari kesempurnaan skripsi ini.

(10)

x

Bandar Lampung Penulis

(11)

xi

HALAMAN PENGESAHAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Penegasan Judul ... 1

B. Alasan Memilih Judul ... 2

C. Latar Belakang Masalah ... 3

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

F. Metode Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian dan Sifat Gadai ... 17

B. Landasan Hukum Gadai ... 21

C. Rukun dan Syarat-Syarat Gadai ... 23

D. Hukum dan Ketentuan Gadai ... 40

E. Hak Kewajiban Pihak Penerima Gadai ... 47

F. Pertambahan Jaminan ... 49

G. Berakhirnya Akad Gadai... 50

BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum di Desa Talang Kec. Teluk Betung Bandar Lampung 53 1. Sejarah Singkat Kelurahan Talang ... 53

2. Kondisi Pemerintah Kelurahan Talang ... 57

3. Kondisi Geografis Kelurahan Talang ... 58

B. Pelaksanaan Praktik Gadai Barang Rumah Tangga di Masyarakat Talang Kec. Teluk Betung Selatan Bandar Lampung ... 62

BAB IV ANALISIS A. Praktik Gadai Barang Rumah Tangga di Desa Talang Kec. Teluk Betung Selatan Bandar Lampung. ... 69

B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktek Gadai Barang Rumah Tanggga

(12)

xii BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

A. Penegasan Judul

Sebagai kerangka awal guna mendapatkan gambaran yang jelas dan memudahkan dalam skripsi ini, maka perlu adannya uraian terhadap penegasan arti dan makna dari beberapa istilah yang terkait dengan tujuan skripsi ini. Dengan penegasan tersebut di harapkan tidak akan terjadi kesala pahaman terhadap pemaknaan judul dari beberapa istilah yang di gunakan di samping itu langkah ini merupakan proses penekanan terhadap pokok permasalahan yang akan di bahas.

Pada sub bab ini penulis akan menjelaskan maksud dari judul skripsi ini tentang “Tinjaun Hukum Islam tentang Praktik Gadai Barang Rumah Tangga“ (Studi Kasus Di Masyarakat Talang Kec. Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung). Untuk itu perlu di uraiakan pengertian dari istilah-istilah judul tersebut sebagai berikut:

1. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam, hukum yang sebenarnya tidak lain fiqih Islam atau syariat Islam yaitu” suatu koleksi daya para fuqaha dalam menetapkan syariah Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.1

2. Praktik adalah pelaksanaan secara nyata.2

3. Gadai adalah meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya

1

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta:Rajawali Pers,2012) h.42.

2

Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,2011) h.1098.

(14)

2

tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman barang yang di serahkan sebagai tanggungan utang kredit jangka pendek dengan jaminan yang berlaku tiga bulan dan setiap kali dapat di perpanjang apabila tidak di hentikan oleh salah satu pihak yang bersangkutan.3

4. Rumah Tangga adalah yang berkenaan dengan urusan kehidupan di rumah seperti hal belanja rumah, berkenaan dengan keluarga.4

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktik Gadai Barang Rumah Tangga adalah tinjauan hukum Islam tentang akad gadai dalam praktik gadai yang mana dalam hal ini sering terjadi pada ibu-ibu rumah tangga Di Desa Talang Kec. Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung karena praktik gadai barang Rumah Tangga yang berharga yang mempunyai nilai jual, kerap di jadikan alat sarana untuk pinjam-meminjam uang.

B. Alasan Memilih Judul

Adapun alasan penulis memilih judul skripsi ini TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRAKTIK GADAI BARANG RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Masyarakat Talang Kec. Teluk Betung Selatan, Bandar

Lampung) adalah sebagai berikut:

1. Alasan Objektif

a. Bahwa telah terjadi suatu bentuk kegiatan Praktik Gadai Barang Rumah Tangga di Masyarakat Talang Kec. Teluk betung Selatan, Bandar Lampung, akan tetapi belum sesuai dalam Hukum Islam.

3

Ibid, h.403.

4

(15)

b. Bahwa Pelaksanaan Praktik Gadai Barang Rumah Tangga Seperti menggadaikan kulkas dan lain-lain, ini telah terjadi di Masyarakat Talang Kec. Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung. oleh karena itu perlu di teliti untuk mendapatkan gambaran yang jelas.

2. Alasan Subjektif

a. Pembahasan judul ini memiliki relevansi dengan disiplin ilmu yang di tekuni di Jurusan Muamalah Fakultas Syariah Universitas Raden Intan Lampung.

b. Literatur yang cukup tersedia bagi penyelesaian skripsi ini.

c. Bahwa penelitian ini belum pernah di bahas sebelumnya oleh peneliti lain.

C. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahluk sosial yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat manusia selalu berhubungan satu sama lain untuk memenuhi hajat hidupnnya, untuk memenuhi hajat hidupnnya banyak cara yang dapat dilakukan.

Islam memberikan ajaran kepada umat manusia selain untuk beribadah, juga mengajarkan untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia, Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial. Dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan muamalah tidak terlepas dari gadai, jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, simpan pinjam, dan lain sebagainya.5

5

Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Galia

(16)

4

Gadai dalam fikih Islam di sebut ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggung utang. Pengertian ar-rahn

dalam bahasa arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam yang berarti air yang tenang.6 hal itu berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut:















7

Artinya: “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.(Q.S.Al- Mudadatsir:38).8

Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata ini merupakan makna yang bersifat materil, karena itu secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang” pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan, sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat di ambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Adapun pengertian gadai yang terungkap dalam KUH Perdata pasal 1150 adalah suatu hak yang di peroleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainya, dengan

6

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2010), h.187.

7

Kementrian Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahanya (Jakarta:PT Insan Medika Pustaka,2013), h.576.

8

(17)

perkecualian biaya untuk melelangkan barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan biaya-biaya mana harus didahulukan.9

Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, penulisan mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam seperti Ahmad Azhar Basyir Rahn adalah perjanjain menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau atau sebagian utang dapat diterima, berdasarkan pengertian gadai yang di kemukakan oleh para ahli hukum Islam bahwa gadai (Rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (Rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimannya, dan barang yang di terima tersebut bernilai ekonomi.

Sehinggga pihak yang menahan (Murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnnya dari barang gadai yang dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukkan, karena itu tampak bahwa gadai merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas, perhiasan, kendaraan, alat-alat rumah tangga yang bisa di jadikan barang gadai, harta benda lainya yang bisa di jadikan jaminan dan tanggungan kepada seseorang atau lembaga pegadaian syariah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai.

9

R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya Paramit, 2009), Cet 40., h.297.

(18)

6

Jika memperhatikan pengertian gadai (Rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi gadai dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjamkan uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan karena itu, (Rahn) pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang-piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku Fiqh mu’amalah akad ini merupakan akad

tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.10

Selain itu, Menurut ulama Hanafi, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn, masih diperlakukan apa yang disebut penguasaan barang oleh kreditor (al-qabdh), sementara kedua pihak yang melaksanakan akad, dan harta yang dijadikan agunan atau jaminan, dalam pandangan ulama Hanafi lebih tepat di masukan sebagai syarat rahn bukun rukun rahn menyangkut hal ini, penulis lebih sepakat pada pendapat pertama yang mengatakan bahwa 3 (tiga) hal terpenting dalam perjanjian rahn adalah aqid, ma’qud

alaih, dan shighat dari akad yang berupa ijab qabul antara 2 (dua) orang yang berakad karena itu syarat shighat menurut mazhab Hanafiadalah ia tidak boleh diikatkan dengan persyaratan tertentu atau dengan sesuatu di masa depan, mengingat akad rahn sama halnya akad jual beli apabila akad dimaksud disertai dengan persyaratan tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang maka syarat itu menjadi batal meski akadnya tetap sah, misalnya debitur mensyaratkan tenggang waktu, pelunasan utang, dan manakala tenggang waktunya habis, sedangkan utangnya belum dilunasi maka rahn diperpanjang satu bulan, demikian juga bila kreditor

10

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat GAPMI DPP-GAPMI,2008) h.1-4.

(19)

mensyaratkan barang agunan untuk di manfaatkanya. Persoalan gadai di jelaskan dalam al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi:

Q.S. Al-Baqarah 283:













































































11

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan dan bermu'amalah tidak secara

tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya hutangnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian. dan barang siapa yang menyembunyikannya,Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah: 283)12

Ayat diatas menerangkan bahwasannya apabila orang yang berpiutang tidak dapat menyediakan atau memberikan jaminan kepada orang yang memberi utang maka hendaklah ia (orang yang berpiutang) membayar utangnya, serta membawa saksi dari kedua pihak yaitu Rahin dan Murtahin.13

Praktik gadai dimasyarakat sudah biasa dilakukan bahkan praktik gadai ini sudah menjadi suatu transaksi yang sering digunakan, ketika dalam kondisi/keadaan yang sulit. Dalam hal upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang terkadang terpaksa untuk meminjam sejumlah uang kepada orang lain. Meskipun harus disertai dengan barang jaminan dan agunan

11

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahanya (Jakarta: PT Insan Media Pustaka,2013), h.49.

12

Ibid,h.49.

13

(20)

8

untuk memperoleh sejumlah uang yang dipinjam, akan tetapi sebagian besar praktik gadai ini dilakukan dengan tidak memperhatikan rukun dan syarat-syarat gadai dalam islam. Dan disini saya mengambil contoh kasus yang terjadi pada ibu Lina dan Ibu Nova “ menggadaikan kulkas 2 pintu dengan meminjam uang senilai 500 ribu janji nebus dengan tanggal dan bulan yang telah di tentukkan namun janji tersebut telah melewati hingga 6 bulan dan Ibu Lina nanya setelah 1 bulan sampai pada akhirnnya janji 1 bulan tersebut menjadi 6 bulan di tanya lagi ke Ibu Nova terus Ibu Nova bilang saya tidak bisa membayar hutang tersebut jual saja kulkas yang saya gadaikan untuk lunasi utang 500 ribu jika ada kelebihan dari harga 500 ribu keuntungan uang tersebut di minta ibu Nova untuk di bagi menjadi 2. Namun setelah barang gadaian tersebut terjual nilai hutang ibu Nova tidak dapat menutupi jumlah hutangnya. Telah di jelaskan dalam Surat Al-Maidah ayat 1 yang berbunyi.

Qs. Al-Maidah ayat1:

















































14



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidakmenghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.(Q.S. Al-Maidah ayat:1)15

Ayat diatas menerangkan bahwasanya orang-orang yang telah melakukan transaksi akad di awal haruslah memenuhi perjanjian yang sama di awal akad janganlah mengingkari perjanjian diawal akad.

14

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya (Jakarta:PT Insan Medika Pustaka,2013), h.106.

15

(21)

Akad semacam ini tentunya dapat merugikan salah satu pihak yaitu pihak Murtahin, dalam Islam Transaksi yang diperbolehkan haruslah memenuhi ketentuan syara’ yaitu akadnya harus jelas, dan membawa saksi dari kedua belah pihak hal tersebut bertujuan apabila di kemudian hari jika salah satu pihak mengingkari janjinya dapat menuntut haknya dengan membawa saksi dan surat perjanjian akad tertulis tersebut sebagai bukti.

Berdasarakan keterangan di atas, maka perlu di adakan penelitian dengan pembahasan yang lebih jelas mengenai praktik gadai dalam hukum Islam penelitian ini berjudul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktik Gadai Barang Rumah Tangga (Studi Kasus di Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung).

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka permasalahannya yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana praktik gadai barang rumah tangga di Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang praktik gadai rumah tangga di Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung?

E. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan terjadinnya praktik gadai barang rumah tangga di Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung.

(22)

10

2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Islam terhadap terjadinnya Praktik Gadai Dalam Hukum Islam Di Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung.

Adapun kegunaan yang diharapkan dengan adannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan pustaka ke-Islaman terutama hal-hal yang berkaitan dengan hukum yaitu Praktik Gadai Barang Rumah Tangga

2. Secara Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan Praktik Gadai Barang Rumah Tangga.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah tatacara suatu penelitian di laksanakan16 kemudian untuk mendapatkan data yang jelas dalam penelitian ini, maka penulis akan menggunakan identifikasi sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian a. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk Field research, yaitu penelitian yang dikancah atau medan terjadinya gejala-gejala.17 Adapun lokasi penelitian ini adalah pada Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung. b. Sifat Penelitian

16

Muchamad Fauzi, Metode Penelitian Kuantitatif (Semarang: Walisongo press, 2009) h.24.

17

Sutrisno Hadi Metodologi Research jilid 1 (Yogyakarta: Andi, Edisi 1, cet ke 30, 2000) h.10.

(23)

Menurut sifatnnya, penelitian ini termasuk penelitian deskripstif analisis. Penelitian deskriptif analisis adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas, peristiwa pada masa sekarang.18Penelitian analisis ini dipergunakan untuk mengungkapkan data penelitian yang sebenarnya. 2. Jenis Data

a. Data Primer adalah data yang didapat dari sumber pertama baik individual maupun perorangan. Dengan data ini penulis mendapat gambaran umum tentang praktik gadai barang rumah tangga di Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung.

b. Data sekunder adalah catatan tentang adanya sesuatu misalnnya rapat suatu perkumpulan yang didasarkan dari sumber berita disurat kabar.19Sumber data dalam penelitian ini yaitu diperoleh dan bersumber dari Al-Quran, hadits, kitab-kitab, fiqih, buku-buku, dan literature yang berhubungan dengan pokok pembahasan.

3. Populasi dan Sampel

Populasi menurut Winarno Surakhmat adalah keseluruhan individu yang akan diteliti. 20Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu rumah tangga yang mengalami kejadian gadai barang rumah tangga ini sebanyak 10 orang yaitu: 5 Rahin dan 5 Murtahin, yang terjadi pada Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung. Jika subjeknya kurang dari 100 orang sebaiknya diambil semuanya jika subjeknya besar atau lebih dari

18

Moh. Nazir, Metode Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),h.63.

19

Muhamad Fauzi, Op. Cit, h. 178.

20

(24)

12

100 orang dapat diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih.21 Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak menggunakan sampel, artinya seluruh populasi di jadikan sebagai objek penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data a. Wawancara

Merupakan tanya jawab atau pertemuan dengan seseorang untuk suatu pembicaraan. 22 Wawancara merupakan alat pengumpulan informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Ciri-ciri utama dari Wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka antara pencari informasi dengan sumber informasi. Dalam penelitian ini di lakukan wawancara dengan para ibu-ibu rumah tangga di Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung.

b. Observasi

Observasi adalah pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan pengodean serangkaian prilaku dan suasana yang berkenaan dengan kegiatan observasi, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris.23Dalam hal ini observasi ialah melakukan pengamatan secara langsung pada objek yang di teliti dengan maksud melihat, mengamati, merasakan, kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan penelitian. Kemudian

21

SuharsimiArikunto, ProsedurPenelitianSuatuPendekatanPraktik, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 2010), h.112.

22

Ibid, h.178.

23

(25)

dibuat catatan tentang fakta-fakta yang ada hubungannya tentang praktik gadai barang rumah tangga.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah tekhnik pengumpulan data yang tidak langsung ditunjukkan pada subjek penelitian, namun melalui dokumen. Dokumen yang di gunakan dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan notulen, catatan dalam pekerjaan sosial dan dokumen lainnya.24 Dalam hal ini yang dimaksud dengan dokumentasi merupakan suatu metode pencarian dan alat pengumpul data yang berupa catatan, transkip, surat kabar, majalah, notulen, dan sebagainnya. Pada metode ini penulis mengupayakan untuk membaca literatur yang ada guna memperoleh landasan teori dan dasar analisis yang di butuhkan dalam membahas permasalahan.

5. Metode Pengolahan Data

Data yang telah dikumpul kemudian diolah, pengolahan data dilakukan dengan cara:

a. Pemeriksaan data (Editing)

Editing, adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang masuk (raw data) atau terkumpul itu tidak logis dan meragukan. 25 Dalam proses editing

dilakukan pengoreksian data yang terkumpul sudah cukup lengkap, cukup benar, dan sesuai atau relevan dengan masalah yang dikaji.

24

Ibid, h.115

25

(26)

14

b. Sistematisasi data (systematizing)

Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan urutan masalah. Dalam hal ini penulis mengelompokan data secara sistematis dari yang sudah diedit dan diberi tanda menurut klasifikasi urutan masalah.

6. Metode Analisis Data

Dalam hal ini setelah penulis melakukan pengumpulan data baik dari lapangan maupun pustaka maka selanjutnnya menganalisis data sesuai dengan permaslahanya. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan data yang bersifat kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, atau penelaah dokumen. Dalam hal ini metode sebagai prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Analisis data dan penelitian ini menggunakan data kualitatif yaitu suatu metode penelitian bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang subjek penelitian berdasarkan data dan variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti. Adapun pendekatan berfikir yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif, yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus atau peristiwa konkrit, kemudian dari fakta itu di tarik generalisasi yang mempunyai sifat umum. Metode ini digunakan untuk mengetengahkan data-data mengenai akad gadai yang sifatnya umum, kemudian diolah untuk diambil data-data mengenai akad gadai dalam praktik gadai barang rumah tangga di Masyarakat Talang Kec.Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung.

(27)
(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Sifat Gadai

1. Pengertian Gadai Rahn

Secara etimologis, rahn mempunyai arti tetap dan kekal sedangkan secara terminologis, rahn adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman yang diperoleh dari kantor pegadaian syariah, menurut fatwa DSN, rahn adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang, menurut Prof. Dr. Rachmat Syafe‟i, sebagaimana dikuti oleh Prof. Dr. Zainuddin Ali,

rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.1Sedangkan dalam fikih muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan barang jaminan yang di sebut ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang.2

Gadai menurut bahasa arab adalah Rahn yang artinya tetap dan lestari, dan dinamakan juga al-habsu artinya penahanan seperti di katakan “Ni matun Rahinah” yang artinya karunia yang tetap dan lestari.3 Secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang” dan ada pula yang menjelaskan bahwa rahn

adalah terkurung atau terjerat.4

1

Mardani, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).h.193

2

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah,(Jakarta: Sinar Grafika,2016).h.1

3

Sayyid Sabbiq, Fikih Sunnah, Juz 12, terj. Kamaluddin A,dkk,(Bandung: Alma‟rif,

1997), h.139

4

(29)

Di Dalam pengertian istilah adalah menyandra sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta yang dimaksud sesudah ditebus.

Adapun menurut pengertian Syara‟, yang dimaksud dengan gadai

adalah menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syara’ sebagai jaminan atas utang5sehingga orang yang mengambil sebagian (manfaat) atas barang yang dijadikan jaminan itu.6

Berdasarkan firman Allah swt dalam QS. Al-Muddassir: 38 sebagai berikut:















7

Artinya: “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah Perbuatannya”8

Definisi ar-rahn menurut istilah adalah:

ُلْعَج

ٍْيَع

ِق َاَلَ

ٌةَيِلَم ٌةَمْي

َشلا ِرْظَن ِفِ

ْر

َو ِع

ٌةَقْ يِث

َدِب

ٍنْي

َِب

ُثْي

ُْي

ُنِك

ُذْخَا

َدلا

ِنْي

اَهِلُك

َا ْو

ِضْعَ ب

اَه

ِْيَعْلا َكْلِت ْنِم

9

Artinya: “Menjadikan sesuatu atau barang yang mempunyai nilai dalam pandangan syara’ sebagai jaminan terhadap utang piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran piutang itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.10

5

Muhammad Syafi‟i Antonio,Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2001),h.131

6

Sayyid Sabbiq, Loc Cit.

7

Kementrian Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahanya (Jakarta: PT Insan Media Pustaka,2013), h.576.

8

Ibid, h.576.

9

Wahbah Az-Zuhaili,Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid ke-6, (Jakarta: Gema Insani,2011), h.146.

10

(30)

17

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn sebagai berikut: a. Menurut Ulama Syafi‟iyah

“Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dijadikan pembayaran ketika berhalangan dalam membayar utang.”11

b. Menurut Ulama Malikiyyah

Ulama Malikiyyah mendefinisikan ar-rahn sebagai sesuatu yang

mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan Watsiiqah (penjamin) utang yang lazim. Maksudnya adalah suatu akad atau kesepakatan mengambil sesuatu dari harta berbentuk al-Ain (barang yang hartanya berbentuk) seperti harta yang tidak bergerak seperti tanah dan rumah, juga seperti hewan dan barang komoditi, atau hal-hal yang dapat dimanfaatkan lainnya misalnya seperti tenaga keahlian namun dengan syarat yang harus jelas dan ditentukan masanya.

c. Menurut Ulama Hanafiyah

Menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya dan maupun sebagianya.12

11

Khumedi Ja,far, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Bandar Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Raden Intan Lampung 2015), h.165.

12

H.B. Syafuri, Al-„Adalah Jurnal Hukum Islam, VOL. XII, No. 2Desember2014,diakses dari http://ejournal.radenintan.c.id/index.php/adalah/article/view/197, pada tanggal 24 Maret 2019, pukul 17:00.

(31)

d. Menurut Ulama Hanabillah

Ulama Hanabillah mendefinisikkan ar-rahn yaitu harta yang dijadikan sebagai jaminan utang gadai yang ketika pihak yang menanggung hutang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut terbayar dengan menggunakan harta hasil penjualan harta yang dijadikan jaminan utang gadai.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang gadai yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bernilai harta milik rahin (peminjam) yang di jadikan sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, sehingga pihak

murtahin (yang menahan) memperoleh jaminan utang mengambil kembali seluruh atau sebagai jaminan, apabila pihak yang menggadaikan tidak disepakati, barang jaminan dijual dan dibayarkan utang dan jika dalam penjualan barang jaminan ada kelebihan maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.13

2. Sifat Gadai

Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma, sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (Murtahin) tidak bisa ditukar dengan sesuatu, yang diberikan murtahin

kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan.

Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan, dan qirad (utang-piutang) semua termasuk akad tabarru’

13Khumedi Ja‟far,

(32)

19

(derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu)

sesuaikaidah (tidak sempurna tabarru, kecuali setelah pemegangan).14 B. Landasan Hukum Gadai

Para Ulama fikih mengemukakan bahwa menggadaikan barang boleh hukumnya baik di dalam hadlar (kampung) maupun di dalam perjalanan, Hukum ini disepakati oleh kalangan Ulama Hanabillah.15 Akad rahn

diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil al-Qur’an As-sunnah dan Ijma”.

1. Al-qur‟an

Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2) 283, yaitu:













































































16

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan dan bermu'amalah tidak secara tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya hutangnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian. dan barang siapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.17

14

Khumedi Ja‟far, Loc.Cit.

15

Teuku Muhammad Hasbi shiddieqy, “Hukum-hukum Fikih Islam” (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997).h. 362

16

Kementrian Agama, Op., Cit., h.49.

17

(33)

Surat Al-Baqarah ayat 283 juga mengajarkan, bahwa untuk memperkuat perjanjian utang-piutang, maka dapat dilakukan dengan tulisan yang dipersaksikan dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang saksi perempuan.

2. Hadits

Diriwayatkan oleh (H.R. Ibnu Majah) ia berkata:

ْنَع

َأ

ٍسَن

َقا

ِلل ُلوُسَر َنَىَر ْدَقل َل

ُللا ىَّلَص

َع

ِةَنيِدَمْلاِب ٍيِدوُهَ ي َدْنِع ُوَعْرِد َمّلَسَو ِوْيل

اًرْ يِعَس ُوْنِم ِوِلْى َِلِ َذَخَأَف

(

ْوَجاَم ُنْبِا ُهاَوَر

)

18

“ Dari Anasia berkata : Rasulullah SAW Telah menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi di Madinah, Maka dia (Rasulullah) mengambil untuk keluarganya darinya (Yahudi) sejumlah gandum. (H.R. Ibnu Majah)19

Berdasarkan ayat dan hadis-hadis tersebut di jelaskan bahwa gadai (rahn) hukumnya dibolehkan, baik bagi orang yang sedang dalam perjalanan maupun orang yang tinggal di rumah, memang dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 283, gadai dikaitkan dengan Safar (perjalanan), akan tetapi dalam hadis-hadis tersebut nabi melaksanakan gadai (rahn) tidak terbatas hanya dalam perjalanan saja tetapi juga bagi orang yang tinggal di rumah, pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama sedangkan menurut imam Mujahid, Dhahhak, dan Zhahiriyah, gadai (rahn) hanya dibolehkan bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sesuai dengan ayat 283 Surah Al-Baqarah(2) tersebut di atas.20

18

Imam Al-Qasthalani dan Imam An-Nawawi, Ensiklopedia Hadits Qudsi dan Penjelasanya, Cetakan ke-1, (Jakarta: Pustaka as- Sunnah,2007), h.368.

19

Ibid,h.368.

20

(34)

21

3. Ijma

Dari hadits dan ayat di atas, para ulama telah sepakat (ijma) bahwa: a. Barang sebagai jaminan utang (rahn) di bolehkan (Jaiz)

b. Rahn dapat dilakukan baik dalam berpergian (safar) maupun tidak dalam

Safar pembatasan dengan Safar dalam surah Al-Baqarah 283 adalah karena kelaziman saja, maka tidak boleh diambil makna sebaliknnya (mafhum mukhalafah), karena adanya hadis-hadis yang membolehkan

rahn tidak dalam berpergian.21

C. Rukun dan Syarat Gadai

1. Rukun Gadai

Gadai memiliki empat unsur, yaitu Rahin, Murtahin, Marhun, dan Marhun bih, Rahin adalah orang yang memberikan gadai, murtahin adalah orang yang menerima gadai, Marhun atau Rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang, dan marhun bih adalah utang. Akan tetapi untuk menetapkan rukun gadai, Hanafiah tidak melihat kepada keempat unsur tersebut, melainkan melihat kepada pernyataan yang dikeluarkan oleh para pelaku gadai, yaitu rahin dan Murtahin oleh karena itu seperti halnya dalam akad-akad yang lain Hanafiah menyatakan bahwa rukun gadai adalah ijab dan qabul yang dinyatakan oleh Rahin dan

Murtahin.22Menurut ulama Hanafiyah rukun rahn adalah ijab dan qabul dari

21

Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan syariah, Cet-2, (Jakarta:Sinar Grafika,2013), h.234

22

(35)

Rahin dan Al-Murtahin, sebagaimana pada akad yang lain akan tetapi akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.

Adapun menurut ulama selain hanafiyah, rukun rahn adalah Shighat, Aqid (orang yang akad), Marhun, dan Marhun bih.23 Utang-piutang itu hukumnya mubah bagi yang berutang dan sunnah bagi yang mengutanginya karena sifatnya menolong sesama. Hukum ini bisa menjadi wajib manakala orang yang berutang benar-benar sangat membutuhkannya. Dalam menjalankan gadai syariah harus memenuhi rukun gadai syariah yaitu:24 a. Ar-Rahn (yang menggadaikan)

Orang yang telah dewasa, berakal bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan

b. Al-Murtahin (yang menerima gadai)

Orang, bank, dan lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)

c. Al-Marhun (barang yang digadaikan)

Barang yang digunakan rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)

d. Al-Marhun Bih (utang)

Sejumlah dana yang diberikan Murtahin kepada rahin atas dasar besarnnya tafsiran Marhun

e. Sighat, ijab, dan Qabul

23A. Khumedi Ja‟far,

Op., Cit., h.168

24

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,

(36)

23

Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai pada dasarnya berjalan di atas dua akad transaksi yaitu:25

1) Akad Rahn, yang dimaksud adalah menahan harta milik si pinjaman sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnnya, dalam akad gadai disebutkan bila waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (Marhun) miliknya dijual oleh Murtahin.

2) Akad Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna atas barang sendiri, melalui akad ini dimungkinkan bagi penggadaian untuk sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.

Menurut sayyid sabiq, bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat yaitu:26

a. Orangnya sudah dewasa b. Berfikir sehat

c. Barang yang digadaikan sudah ada saat terjadi akad gadai

d. Barang gadaian dapat diserahkan atau dipegang oleh penggadai barang atau benda yang dijadikan jaminan itu dapat berupa emas.

Jika semua ketentuan diatas terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang melakukan thasarruf, maka akad ar-rahn itu sah.

25

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi

(Yogyakarta:Ekonisia,2003), Cet 1, h.160.

26

(37)

Harta yang digunakan disebut al-marhun (yang diagunkan) Harta agunan itu harus diserah terimakan oleh ar-rahin tersebut, dengan serah terima itu agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin jika harta agunan itu termasuk yang bisa dipindah-pindah seperti kulkas barang alat rumah tangga, dan bahan elektronik, perhiasan, dan semisalnnya, maka serah terimanya adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak seperti rumah, tanah, lahan, sawah, dan lain-lainnya.27

Sedangkan Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan rukun menurut jumhur ulama, rukun rahn ada empat yaitu:28

a.Shighat (lafadz ijab dan qobul)

b.Orang yang berakad (rahin dan murtahin)

c.Harta yang dijadikan marhun dan d.Utang (marhun bih)

Ulama hanabilah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab dan qobul. Menurut ulama Hanafiyah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan penguasaan barang oleh pemberi utang.

Adapun rahin, murtahin, marhun bih, itu termasuk syarat-syarta

rahn, bukan rukunnya.29

27 Ibid.,h. 163. 28 Ibid.,h.164. 29 Ibid.,h.165.

(38)

25

2. Syarat-Syarat Gadai

Dalam rahin diisyaratkan dengan beberapa syarat sebagai berikut: a. Syarat Aqid

Syarat yang harus dipenuhi oleh Aqid dalam gadai yaitu rahin dan

murtahin adalah, ahliyah (kecakapan) menurut Hanafiah adalah kecakapan untuk melakukan jual-beli. Artinya, setiap orang yang sah melakukan jual-beli, sah pula melakukan gadai, hal ini dikarenakan rahn

atau gadai adalah suatu tasarruf yang berkaitan dengan harta, seperti halnya jual-beli dengan demikian, untuk sahnya akad gadai, pelaku diisyaratkan harus berakal dan mumayyiz (anak yang sudah bisa membedakan antara hal yang bermanfaat dan hal yang berbahaya), maka tidak sah gadai yang dilakukan oleh orang gila, atau anak-anak yang belum memasuki masa tamyiz (membedakan mana yang baik dan buruk). Menurut jumhur ulama selain Hanafiah kecakapan dalam gadai sama dengan kecakapan untuk melakukan jual-beli dan akad tabarru

(kebajikan), hal ini di karenakan akad gadai adalah akad tabarru, oleh karena itu tidak sah akad gadai yang dilakukan oleh orang yang dipaksa, anak di bawah umur, gila, boros, dan pailit, Demikian pula tidak sah akad.

gadai yang dilakukan oleh wali ayah atau kakek, atau washiy (pemegang wasiat) atau hakim kecuali karena keadaan darurat atau karena

(39)

kemaslahatan yang jelas bagi anak yang tidak sempurna ahliyah-nya (qashir).30

b. Syarat Shighat

Menurut Hanafiah, Shighat gadai (rahn) tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang, hal ini dikarenakan akad gadai (rahn) menyerupai akad jual-beli, yang dilihat dari aspek pelunasan utang apabila akad gadai digantungkan kepada syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akan menjadi fasid seperti halnya jual-beli.

Apabila akad gadai disertai dengan syarat fasid atau batil maka hukum gadainya sah, tetapi syaratnya batal karena gadai bukan akad

mu’awadhah maliyah.

Syafi‟iyah berpendapat bahwa gadai sama dengan syarat jual-beli, karena gadai merupakan akad maliyah. Adapun syarat-syarat yang diikatkan dengan akad gadai hukumnya dapat dirinci menjadi empat bagian yaitu, sebagai berikut:

1) Apabila syarat itu dengan maksud akad, seperti memprioritaskan pelunasan utang kepada murtahin ketika utang (kreditor) lebih dari satu orang, maka akad gadai dan syarat hukumnya sah.

2) Apabila syarat tidak sejalan dengan akad, seperti syarat yang tidak ada kemaslahatannya atau tidak ada tujuannya, maka akad gadai hukumnya sah, tetapi syaratnya batal (tidak berlaku).

30

(40)

27

3) Apabila syarat tersebut merugikan murtahin dan menguntungkan

rahin, seperti syarat harta jaminan tidak boleh di jual ketika utang jatuh tempo maka syarat dan akad gadai hukumnya batal.

4) Apabila syarat tersebut menguntungkan murtahin dan merugikan

rahin, seperti syarat harta jaminan boleh diambil manfaatnya oleh

murtahin maka hukumnya, diperselisihkan oleh para ulama menurut pendapat yang lebih zhahir, syarat dan akad hukumnya batal karena syarat bertentangan dengan tujuan akad menurut pendapat yang kedua syaratnya batal tetapi akad gadainya tetap sah, karena gadai merupakan akad tabarru‟, sehingga tidak terpengaruh oleh syarat

yang fasid.31

Malikiyah berpendapat bahawa syarat yang tidak betentangan dengan tujuan akad hukumnya sah, Adapun syarat yang bertentangan dengan tujuan akad maka syarat tersebut fasid dan dapat membatalkan akad gadai. Contohnya rahin mensyaratkan agar barang jaminan tetap ditangan rahin dan tidak diserahkan kepada murtahin, Hanabilah pendapatnya sama dengan malikiyah, yaitu membagi syarat kepada

shahih dan fasid. c. Syarat marhun

Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun (barang yang digadaikan) sama dengan syarat-syarat jual-beli Artinya, semua barang yang sah diperjual-belikan sah pula digadaikan, secara rinci Hanafiah mengemukakan bahwa syarat-syarat marhun adalah sebagai berikut:

31

(41)

1) Barang yang di gadaikan bisa di jual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad dan mungkin untuk diserahkan apabila barangnya tidak ada maka akad gadai tidak sah.

2) Barang yang di gadaikan harus berupa mal (harta) dengan demikian, tidak sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai mal

seperti bangkai.

3) Barang yang digadaikan harus mal mutaqawwim, yaitu barang yang boleh diambil manfaatnya menurut syara‟, sehingga memungkinkan dapat digunakan untuk melunasi utangnya.

4) Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam jual-beli.

5) Barang tersebut dimiliki oleh rahin, syarat ini menurut Hanafiah bukan syarat jawaz atau sahnya rahn, melainkan syarat nafadz

(dilangsungkan-nya) rahn oleh karena itu di bolehkan menggadaikan harta milik orang lain tanpa izin dengan adannya wilayah (kekuasaan) syar‟iyah, seperti oleh bapak dan washiy yang menggadaikan harta anaknya sebagai jaminan utang si anak dan utang dirinya akan tetapi, menurut Syafi‟iyah dan Hanabilah tidak sah hukumnya menggadaikan harat milik orang lain tanpa seizinya (si pemilik), karena jual-belinya juga tidak sah, dan barangnya nantinya tidak bisa diserahkan.

6) Barang yang harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin oleh karena itu, tidak sah menggadaikan pohon kurma yang buahnya tanpa diserahkan buahnya itu.

(42)

29

7) Barang yang di gadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan pokoknya (yang lainnya) dengan demikian tidak sah menggadaikan buah-buahan saja tanpa disertai dengan pohonnya, karena tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai pohonnya.

8) Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yang bukan miliki bersama oleh karena itu tidak dibolehkan menggadaikan separuh rumah, yang separuhnya lagi milik orang lain kecuali milik teman syarikatnya akan tetapi menurut malikiyah, syafi‟iyah dan hanabilah, barang milik bersama boleh digadaikan.

Pendapat ini juga merupakan pendapat ibnu Abi Laila, An-Nakha‟i Auza‟i dan Abu‟Tsaur.

Syafi‟iyah, di samping mengemukakan syarat dalam akad jual-beli dan berlaku juga dalam akad gadai dan disepakati, oleh para fuqaha

sebagaimana telah penulis kemukakan di atas juga mengemukakan syarat yang rinci untuk akad gadai antara lain sebagai berikut:

1) Barang yang digadaikan harus berupa‟ain (benda) yang sah diperjual belikan, walaupun hanya disifati dengan sifat salam, bukan manfaat dan bukan pula utang dengan demikian manfaat tidak sah digadaikan karena manfaat akan hilang sedikit syarat ini juga dikemukakan oleh Hanabilah.

2) Barang yang digadaikan harus dikuasai oleh rahin, baik sebagai pemilik atau wali, atau pemegang wasiat (washiy) syarat ini juga dikemukakan oleh Hanabilah.

(43)

3) Barang yang digadaikan bukan barang yang cepat rusak, minimal sampai batas waktu utang jatuh tempo.

4) Benda yang digadaikan harus suci.

5) Benda yang digadaikan harus benda yang bisa di manfaatkan, walaupun pada masa datang, seperti binatang yang masih kecil.

Malikiyah mengemukakan syarat secara umum, yaitu bahkan setiap barang yang diperjual-belikan sah, pula digadaikan hanya saja ada pengecualian yaitu dalam barang-barang yang ada gharar (tipuan) karna belum jelas adanya, seperti janin dalam perut induknya dalam kasus semacam ini meskipun barang tersebut tidak sah diperjual-belikan, namun sah untuk di gadaikan.32

Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin

Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain: 1) Dapat diperjual belikan

2) Bermanfaat jelas 3) Milik rahin

4) Bisa diserahkan

5) Tidak bersatu dengan yang harta lain 6) Dipegang (dikuasai) oleh rahin

7) Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.33

32

Ibid, h.292-294.

33

(44)

31

d. Syarat Marhun bih

Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian diberikan sebagai jaminan kepada Murtahin, Menurut Hanafiah Marhun bih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu Rahin karena tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang dijaminnya syarat ini di ungkapkan oleh ulama selain Hanafiah dengan redaksi, Marhun bih harus berupa utang yang ditanggungkan (dibebankan penggantinya) kepada rahin.

2) Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih

apabila tidak memungkinkan pembayaran utang dari marhun bih maka

rahn (gadai) hukumnya tidak sah, dengan demikian tidak sah gadai dengan qishash (pembalasan),atas jiwa atau anggota badan, kafalah bin nafs,syuf’ah, dan upah atas perbuatan yang dilarang.

3) Hak marhun bih harus jelas (ma’lum), tidak boleh majhul (samar atau tidak jelas) oleh karena itu tidak sah gadai dengan hak yang majhul

(tidak jelas) seperti memberikan barang gadaian untuk menjamin salah satu dari dua utang, tanpa dijelaskan utang yang mana.34

Syafi‟iyah dan Hanabilah mengemukakan tiga syarat untuk marhun bih

1) Berupa utang yang tetap dan dapat di manfaatkan 2) Utang harus lazim pada waktu akad

3) Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin

4) Syarat marhun (borg)35

34

Ibid, h.295.

35

(45)

Syarat-syarat gadai yang diungkapkan di atas menggambarkan secara umum mengenai, syarat-syarat rahn namun pada kenyataanya, para ulama tidak sepakat dalam memberikan syarat-syarat rahn sehingga terjadi yang dapat dimasukan sebagai syarat-syarat rahn, tersebut akan dikemukakan pendapat dari para imam mahzab sebagai berikut:36

1) Pendapat ulama mazhab maliki

Pendapat ulama dari kalangan mazhab Imam maliki berkenan dengan syarat-syarat rahn terdiri dari atas 4 (empat), yaitu:

a) Bagian yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melakukan akad, pihak rahin bahwa kedua belah pihak murtahin syarat ini mengharuskan bahwa kedua belah pihak yang terlihat dalam transaksi hukum gadai harus ada dua orang, yang memenuhi keabsahan akad dalam jual-beli yang tetap (mengikuti) jika akad dilakukan oleh seorang anak yang masih mumayyiz yang melakukan akad tersebut diijinkan oleh walinya.

b) Bagian yang berkaitan dengan marhun (barang gadai) syarat ini memungkinkan barang yang di gadaikan juga adalah barang yang sah bila diperjual belikan, karena itu najis dan barang-barang lainnya yang dalam jual-beli juga dilarang.

c) Bagian yang berkaitan dengan marhun bih (uang yang dipinjamkan) syarat ini mengharuskan utang sudah tetap, baik pada saat itu maupun dimasa yang akan datang, yang dimaksud dalam hal ini dapat diungkapkan sebagai contoh

36

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

a) Memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang artinya pernikahan dini serta hal-hal apa saja yang menjadikan pernikahan dini sering terjadi di masyarakat. b)

Berdasarkan hasil rerata pada tabel 1.3 dapat diketahui bahwa hasil validasi pengembangan bahan ajar geografi berbasis keunggulan lokal oleh 1 validator ahli (Dosen)

Selama ini yang mengatur tentang Pajak Restoran adalah Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran, namun Peraturan Daerah ini tidak sesuai dengan

Geologi Teknik, Mekanika Tanah 1, Mekanika Tanah 2, Penyelidikan Tanah, Teknik Pondasi, Perancangan Struktur Penahan Tanah, Dinamika Tanah, Bencana Alam Geologi, Perbaikan

Prinsip kerja dari multistage graph adalah menemukan jalur terpendek dari source ke sink dari beberapa kemungkinan jalur atau menemukan jalur untuk sampai ke sink dengan

Komplek batuan ofiolit di daerah Sodongparat dapat dibedakan atas peridotit, gabro dan basal yang ber- umur Pra-Tersier, yang ditutupi oleh batuan sedimen

A: Untuk harapan pemerintahan yang baru pasti kita punya harapan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya, atau paling tidak tetap bisa mempertahankan perekonomian di

Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita