• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN DUA JENIS VAKSIN DISTEMPER YANG BEREDAR DI LAPANGAN DENGAN UJI SERUM NETRALISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUJIAN DUA JENIS VAKSIN DISTEMPER YANG BEREDAR DI LAPANGAN DENGAN UJI SERUM NETRALISASI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUJIAN DUA JENIS VAKSIN DISTEMPER YANG

BEREDAR DI LAPANGAN DENGAN UJI SERUM

NETRALISASI

(Evaluation of Two Commercial Distemper Vaccines with Serum

Netralization Test)

SUDARISMAN

Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114

ABSTRACT

Commercial Distemper vaccines in Indonesian market are live or attenuated vaccine and usually combined with other viral and or bacterial vaccines. Vaccination against Distemper in dogs are usually done once in a year. But some of them are applied only once in a life time. However, vaccination programme are rarely followed by serological test for detecting the immune response. Serum neutralisation test has been usually used for monitoring of Distemper vaccination programme in dogs. The aims of this study is evaluating the capability of serum neutralisation test for detecting immune response after vaccination in dogs. Two of commercial vaccines were used to immunize adult dogs which have not exposed to Distemper vaccine. The results showed that the serum neutralisation had the capability for detecting antibody response and the antibody titres were persisted for at least 26 two months after vacination.

Keywords: Distemper, vaccine, the serum neutralisation test ABSTRAK

Vaksin Distemper yang beredar di Indonesia merupakan vaksin hidup (attenuated vaccine) yang sering dikombinasikan dengan vaksin penyakit lainnya. Program vaksinasi Distemper pada anjing biasanya dilakukan di Indonesia setahun sekali. Akan tetapi lebih banyak yang melakukannya sekali seumur hidup. Oleh sebab itu program vaksinasi jarang sekali yang dipantau kekebalannya pada paskavaksinasi. Uji serum netralisasi sering digunakan untuk memantau program vaksinasi Distemper pada anjing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan uji serum netralisasi yang dapat digunakan dalam memantau kekebalan pada anjing akibat vaksinasi dan sejauh mana potensi vaksin yang beredar di lapangan memberikan hasil yang baik. Dua jenis vaksin Distemper yang dibeli dari distributor dicoba diuji pada penelitian ini yang dicobakan pada anjing dewasa yang belum pernah mengalami vaksinasi Distemper. Ternyata hasil uji serum netralisasi dapat memantau serum kekebalan akibat vaksinasi Distemper di lapangan. Titer antibodi adalah 26 pada saat 2 bulan setelah vaksinasi.

Kata kunci: Distemper, vaksin, uji serum netralisasi

PENDAHULUAN

Distemper pada anjing merupakan penyakit viral yang disebabkan oleh RNA virus dan merupakan bagian dari kelompok Morbillivirus dari famili Paramyxovirus (CHERPILLOD et al., 1999). Penyakit distemper menyebar sangat luas di dunia dan sangat menular pada anjing muda, terutama pad anjing umur antara 3−6 bulan. Angka kematiannya juga tinggi. Penyakit ini bermanifestasi dalam bentuk

demam yang diphasic, rhinitis akut yang diikuti bronkhitis, pneumonia kataral, gastroenteritis yang parah dan gangguan syaraf (WINTERS, 1981).

Pencegahan terhadap Distemper anjing adalah vaksinasi. Vaksinasi akan bekerja baik walaupun telah terinfeksi oleh virus, bila diberikan dalam masa empat hari infeksi. Pemaparan terhadap virus Distemper akan merangsang kekebalan dalam waktu yang lama, walaupun tidak permanen. Anjing harus

(2)

diberikan vaksinasi setahun sekali untuk mendapatkan kekebalan yang pasti. Apabila anjing divaksinasi, biasanya akan meningkatkan titer netralisasi antibodi (RIKULA et al., 2000). Sejumlah faktor mempengaruhi titer antibodi, yang penting adalah faktor intrinsik dari galur virus yang digunakan. Disamping itu adalah faktor tingkat pasasi dari virus yang digunakan serta dosis yang dipakai. Faktor lainnya adalah penyimpanannya, distribusinya, frekuensi vaksinasi dan prosedur vaksinasinya (GREENE, 1998). Di lapangan ada beberapa tipe vaksin yang berbeda, yang masing-masing memiliki keuntungan dan kerugiannya. Pemilik hewan kesayangan harus mendiskusikannya pada dokter hewan terdekat apabila ingin melakukan vaksinasi. Ada dua jenis vaksin yang umum dipakai, yaitu “canine tissue culture-adapted vaccine” dan “chick embryo-adapted vaccine”. Vaksin pertama mendekati 100% efektif dan sangat jarang menimbulkan encephalitis pada satu hingga dua minggu paskavaksinasi. Vaksin ini beresiko apabila diberikan pada anjing yang sistem kekebalannya lemah. Sementara itu, vaksin yang kedua lebih aman dibandingkan dengan vaksin pertama, tetapi hanya 80% efektif (CARMICHAEL, 1999; APPEL dan SUMMERS,1995;CHAPPUIS,1995).

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dinamika antibodi pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin Distemper yang beredar di lapangan. Kemungkinan dampak vaksinasi yang ditimbulkan dan respons kekebalan yang muncul akibat vaksinasi pada anjing yang belum pernah mengalami vaksinasi. Uji yang dilakukan adalah uji serum netralisasi yang dikembangkan oleh APPEL dan ROBSON (1973).

MATERI DAN METODE Hewan percobaan

Ada tujuh ekor hewan percobaan dewasa yang digunakan dan keseluruhannya belum pernah mendapatkan vaksinasi Distemper. Hewan dibagi ke dalam dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari empat ekor dan kelompok kedua sebanyak tiga ekor. Keseluruhan hewan diambil serumnya setiap

minggu sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksinasi tidak dilakukan bersamaan, disebabkan oleh belum tersedianya vaksin. Untuk Vaksinasi kelompok pertama dilakukan pada bulan Juni 2003 dan vaksinasi pada kelompok kedua vaksinasi dilakukan pada bulan September 2003. Pengamatan pada kelompok pertama dilakukan hingga dua bulan paskavaksinasi dan kelompok kedua dihentikan pada satu bulan paskavaksinasi. Hal ini tidak lain karena keterbatasan dana penelitian. Dalam analisa serologi, seluruh kelompok yang belum di vaksinasi digunakan sebagai serum kontrol.

Vaksin dan program vaksinasi

Vaksin untuk kelompok pertama merupakan vaksin yang berasal dari vaksin bivalent berasal dari satu batch number dengan masa kadaluarsa 2004 dan vaksin untuk kelompok kedua berupa vaksin polyvalent berasal dari satu batch number dengan masa kadaluarsa 2004. Sebelum digunakan, vaksin selalu disimpan dalam suhu rendah (refrigerated temperature). Lima menit sebelum disuntik suhu vaksin diusahakan untuk mendekati suhu badan manusia. Agar tidak terjadi cold shock pada hewan yang disuntik. Penyuntikan dilakukan intra muskular di daerah pangkal paha bagian luar.

Uji serum netralisasi (SNT)

Uji serum netralisasi dilakukan berdasarkan metode yang telah dikembangkan oleh APPEL dan ROBSON (1973) dengan beberapa modifikasi. Digunakan mikroplat (96 lubang) “flat bottom sterile” dan kedalam seluruh lubang diberi sebanyak 0,05 ml media biakan sel kedalam tiap lubang. Pengenceran serum dilakukan tiga kali (1/2;1/4; dan 1/8) dibuat dan dengan pipet sebanyak 0.025 ml dimasukkan kedalam lubang berurutan pada empat jalur (hingga pengenceran 8 kali). Dalam tiap seri uji, serum sampel yang ingin diketahui titernya dimasukkan kedalam tiap lubang seri tersebut. Akhirnya tiap lubang berisi 0.05 ml serum yang telah diencerkan. Stok virus sebanyak 0.05 ml dengan dosis 10 TCID50 dimasukkan kedalam tiap lubang. Titrasi virus tanpa serum juga dilakukan dalam

(3)

tiga kali pengenceran dalam empat jalur berurutan (empat lubang tiap pengenceran). Campuran serum dan virus diinkubasi pada suhu 37°C selama dua jam. Kira-kira sebanyak 12.000 sel Vero dalam 0,05 ml media biakan sel ditambahkan kedalam tiap lubang. Plat titrasi ditutup dengan penutupnya dan diinkubasi pada suhu 37°C dengan 5% CO2 dan kelembaban 80% selama tiga hari. Pada akhir dari masa inkubasi sel difiksasi dengan metanol 10 menit dan dikeringkan selama dua puluh menit. Lalu diwarnai dengan Giemsa 20 menit. Sel dicuci dan dikeringkan. Titik akhir titrasi diamati dengan mikroskop dengan melihat adanya giant cell. Penghitungan dilakukan dengan metoda Karber (APPEL dan ROBSON, 1973).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Reaksi serologi pada hewan yang belum divaksinasi pada penelitian ini menunjukkan reaksi negatif dan positif dengan uji serum netralisasi. Hal ini memperlihatkan bahwasanya kemungkinan adanya infeksi alam yang terjadi pada kelompok hewan tersebut, walaupun saat dilakukan vaksinasi titer telah menurun dan mencapai titer negatif pada kelompok pertama. Sementara itu, kelompok lainnya dua minggu sebelum divaksinasi terlihat reaksi positif terhadap uji SNT dan hal ini meningkat terus setelah hewan divaksinasi. Pada kelompok ini sebenarnya terjadi sedikit penurunan pada satu minggu setelah divaksinasi (Tabel 1).

Titer dapat dicapai hingga 26 (64) pada anjing dari kedua kelompok. Hanya saja pada kelompok pertama titer 26 (64) baru tercapai setelah dua bulan paskavaksinasi. Pada kelompok lainnya kenaikan zat kebal yang tertinggi dicapai pada tiga minggu paska vaksinasi. Seperti diketahui bahwa pengujian dilakukan dengan pengenceran tertinggi pada

26 (64). Karena pengujian hanya dilakukan hingga empat minggu paskavaksinasi pada kelompok kedua, penurunan titer belum bisa diperlihatkan hingga waktu pengamatan tersebut. Sementara itu, pada kelompok pertama penurunan titer terjadi pada sepuluh minggu paskavaksinasi dan titer terendah dicapai setelah sebelas minggu paskavaksinasi (Gambar 1). KEREN (2003) menyatakan bahwa IgG terhadap distemper akan mulai meningkat

pada 9 hari paskavaksinasi dan mencapai puncaknya pada sekitar hari ke 16–20 paskavaksinasi dengan uji ELISA. Sementara itu, IgM biasanya titer tertinggi dicapai pada 10–14 hari pascavaksinasi dan menurun secara perlahan mulai hari ke 24–30.

Dalam penelitian ini, antibodi baru muncul pada kelompok pertama dalam lima minggu paskavaksinasi dan terus meningkat hingga dua bulan paskavaksinasi. Reaksi vaksinasi ternyata masih juga lambat responsnya untuk menimbulkan reaksi positif berupa pemunculan titer antibodi dengan uji serum netralisasi paskavaksinasi. Sementara itu, pada anjing dengan titer antibodi yang rendah pada saat vaksinasi, ternyata antibodi terus meningkat hingga empat minggu paskavaksinasi (Gambar 1).

Uji serum netralisasi sebenarnya sangat sulit diterapkan dalam mengukur antibodi dengan melihat ada tidaknya CPE (cytopathic effect). Penggunaan virus galur Rockborn akan memakan waktu pengamatan hingga sepuluh hari (APPEL dan ROBSON, 1973). Sementara itu, dengan sistem yang kita lakukan pembacaan dilakukan hingga tiga hari paska inokulasi. Hal ini sebenarnya sudah memberikan penghematan waktu yang cukup banyak. Tetapi apabila dilihat dari sensitifitas uji ternyata uji serum netralisasi dengan metoda pewarnaan kurang sensitif dibandingkan dengan uji serum netralisasi dengan metoda konvensional (WELTER et al., 2000).

Disamping itu Uji Serum Netralisasi untuk Distemper sebenarnya sangat sulit dilakukan, karena virus sangat sulit berkembang pada sel Vero, kecuali apabila digunakan sel makrofag dan sel limfosit anjing (APPEL dan JONES, 1967; POSTE. 1970). Salah satu cara untuk memperbaiki hasil uji adalah dengan penambahan komplemen (MOCHIZUKI et al., 2002). Pada kegiatan penelitian ini tidak digunakan komplemen dan hasilnya masih dapat kita gunakan sebagai metoda untuk menguji keberadaan zat kebal pada paska vaksinasi.

Pada penelitian ini, titer menunjukkan tingkat yang cukup tinggi setelah dua bulan paskavaksinasi untuk hewan yang divaksin dengan vaksin B. Walaupun hewan yang divaksin dengan vaksin A yang mana saat vaksinasi memiliki titer, hewan terus

(4)

meningkat titer antibodinya dan mencapai titer tertinggi hingga empat minggu paskavaksinasi. Vaksin B masih belum ada reaksi kekebalannya dengan uji serum netralisasi setelah satu bulan paskavaksinasi (Tabel 1). Kegagalan vaksinasi pada vaksinasi Distemper tidaklah umum. Tetapi tidak bisa juga dikatakan vaksinasi akan mengamankan secara mutlak terhadap infeksi Distemper (MC CANDLISA, 1979). Sejumlah faktor yang dapat menyebabkan kegagalan antara lain adanya efek kekebalan bawaan dari induk yang biasanya mengenai 50% anak anjing umur enam minggu, tetapi tidak akan terjadi pada anak anjing yang berumur diatas 12 minggu (POVEY, 1986). Dalam penelitian ini digunakan anjing dewasa, sehingga kejadian vaksinasi Distemper pada anjing tidak terlihat kekebalan bawaan dan mungkin yang ada adalah kekebalan karena infeksi alam. Efek dari supresi Parvovirus pada vaksin yang multivalent juga dapat mengakibatkan respons vaksinasi tidak tampak pada satu bulan paska vaksinasi. Hal ini terlihat juga pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin B, yang mana vaksin baru memperlihatkan titer antibodi setelah enam minggu paskavaksinasi (Tabel 1) dan terus meningkat hingga dua bulan paska vaksinasi. Seperti diketahui bahwa untuk menimbulkan kekebalan vaksin biasanya membutuhkan waktu tertentu untuk

memunculkan antibodi dalam tubuh (EVANS, 1987). Untuk menimbulkan kekebalan lokal (local immunity) vaksin membutuhkan waktu empat hingga lima hari untuk terlihat (BEY et al., 1981). Oleh sebab itu program vaksinasi pada anjing dilakukan sewaktu anjing sampai ditempat tujuan dimana penyakit tersebut diketahui keberadaannya di daerah tersebut, sangatlah menolong (EVANS dan SUTTON, 1984), walaupun harapan 100% terhindar dari penyakit tersebut tidaklah realistik. Sementara itu, penggunaan preparat kortikosteroid tidaklah berpengaruh pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin Distemper. Suhu lingkungan yang tinggi dapat juga mengakibatkan kegagalan program vaksinasi Distemper. Seperti juga adanya defisiensi vitamin E pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin Distemper (POVEY, 1986).

Apabila anjing divaksinasi, biasanya akan meningkatkan titer netralisasi antibodi (RIKULA et al., 2000). Sejumlah faktor mempengaruhi titer antibodi, yang penting adalah faktor intrinsik dari galur virus yang digunakan. Disamping itu adalah faktor tingkat pasasi dari virus yang digunakan serta dosis yang dipakai. Faktor lainnya adalah penyimpanannya, distribusinya, frekuensi vaksinasi dan prosedur vaksinasinya (GREENE, 1998).

Gambar 1. Fluktuasi zat kebal pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin yang beredar di pasar lokal 0 10 20 30 40 50 60 70

4 mgpra3 mgpra2 mgpra1 mgpr a Vaks in 1 mgpo st 2 mgpo st 3 mgp ost 4 mgpo st 5 mgp

(5)

Tabel 1. Hasil evaluasi vaksinasi distemper dengan uji snt (dalam log 2)

Tanggal Pengambilan Sampel pada tahun 2003 No. Hewan Umur (thn) 3/08 20/08 27/08 10/09 Vaks. B 17/09 24/09 2/10 9/10 16/10 23/10 30/10 Vaks. A 5/1 1 13/11 20/11

1 9 Ô 5 4 Neg Neg Neg Neg Neg Neg 3 5 ≥ 6 5 3 3

2 2 Ö 4 4 Neg Neg Neg Neg Neg Neg 3 4 ≥ 6 4 6 2

3 6 Ö 3 4 1 Neg Neg Neg Neg Neg 3 5 ≥ 6 2 3 Neg

4 5 Ô - - - Neg Neg 2 ≥ 6 5 ≥ 6 ≥ 6 ≥ 6

5 5 Ô - - - Neg Neg 2 4 4 5 ≥ 6 ≥ 6

6 4 Ô - - - Neg Neg 2 4 4 4 ≥ 6 ≥ 6

7 3 Ô - - - Neg Neg 2 5 3 4 ≥ 6 ≥ 6

Vaksin B: Vaksinasi hewan 1; 2; 3 Vaksin A: Vaksinasi Hewan 4; 5; 6 - : Tidak Diuji;

Ô : Jantan Ö : Betina Neg : Negatif

KESIMPULAN

Program vaksinasi dengan vaksin Distemper pada anjing di Indonesia dapat dipantau melalui uji serum netralisasi. Respons kekebalan dapat saja tertunda karena vaksin yang digunakan adalah vaksin muiltivalent dan hasil penelitian ini menunjukkan respons antibodi baru dapat dideteksi pada dua bulan paskavaksinasi. Titer mencapai 26 pada dua bulan paskavaksinasi. Vaksinasi yang dilakukan pada saat anjing memiliki titer antibodi yang tinggi tidak akan mempengaruhi respons kekebalan dan antibodi terus meningkat setelah vaksinasi. Untuk memperbaiki sensitifitas deteksi kekebalan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan uji ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) atau cara lainnya yang lebih sensitif dan murah biaya pengujiannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu terlaksananya penelitian ini. Terutama kepada pihak proyek Penelitian

Veteriner tahun anggaran 2003, atas kepercayaannya dan bantuannya dalam penyediaan fasilitas penelitian hingga selesainya penelitian ini. Disamping itu juga disampaikan ucapan terima kasih atas bantuan para tehnisi yang membantu dan kepada Bapak Ujang, Cimanglid, Desa Sukamantri atas kesediaannya untuk menyediakan hewan percobaan berupa anjing dan ucapan terima kasih ini juga disampaikan kepada pihak perpustakaan yang membantu penulis dalam penelusuran literatur. Tak luput ucapan terima kasih diucapkan kepada Bapak A. Syahmun, tehnisi laboratorium Virologi dan Bapak Saefudin, sebagai laborant yang membantu peneliti selama penelitian di laboratorium maupun di lapangan. Akhirnya kepada semua pihak yang membantu dalam kegiatan penelitian ini saya mohon maaf atas segala sesuatu yang tidak berkenan dengan terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

ABLETT, R. E., and L. A. BAKER. 1963. Effect of revaccination on distemper antibody levels in the dog. Vet. Rec. 75 (49): 1329–1330.

(6)

APPEL, and ROBSON. 1973. A microneutralization test for canine distemper virus. Am.J.Vet.Res. 34 (11): 1459–1463.

APPEL, M.J.G., and B.A. SUMMERS. 1999. Canine Distemper: Current status. In L.E. CARMICHAEL (Ed). Recent advances in canine infectious diseases.

http://www.ivis.org.

BELL, S.C., S.D. CARTER, D. BENNETT. 1991. Canine distemper viral antigens and antibodies in dogs with rheumatoid arthritis. Res.Vet.Sci. 50: 64–68.

BEY, R.F., R.A. GOODNOW, and R.J. JOHNSON. 1981. Epidemiology of Distemper. Am.Jour.Vet.Res. 42:1131.

BUI, H.D., L.H. TOBLER, L.F. VAN PELT. 1982. Canine bladder epithelial cells in culture: Susceptibility to canine distemper and measles viruses. Am.Jour.Vet.Res. 43: 1268–1270. CHAPPUIS, G. 1995. Control of canine distemper.

Vet.Microb. 44: 351–358.

CHERPILLOD, P., K. BECK, A.ZURBRIGGEN, AND R. WITTECK. 1999. Sequence analysis and expression of the attachment and fusion proteins of canine Distemper virus wild- type strain A 75/17. Jour.Virol. 73 (3): 2263–2269. EVANS, J.M., and D.J. SUTTON. 1987. Distemper

diagnosis. Vet.Rec. 121 :563.

HARDER, T.C., A. KUCZKA, M. DUBBERKE. 1991. Ein Ausbruch von hundestaupe in einem Tierheim mit vaksinierter hundepopulation. Kleintierpraxis 36:305–314.

IMAGAWA, D.T., E.B. HOWARD, L.F. VAN PELT. 1980. Isolation of Canine Distemper virus from dogs with chronic neurological diseases. Proc.Soc. Exp.Biol.Med. 164: 355–362.

KIMOTO,. 1986. In vitro and in vivo properties of the virus causing natural canine distemper encephalitis. Jour.Gen.Virol. 67:487–503. MOCHIZUKI, M., M. MOTOYOSHI, K. MAEDA, and K.

KAI. 2002. Complement mediated neutralisation of canine distemper virus in vitro: Cross-reaction between vaccine Onderstepoort and field KDK-1 strains with different heagglutinatinin gene characteristics. Clin.Diagn.Immunol. 9 (4): 921–924.

MC.CANDLISH, I.A.P. 1979. Vaccination against kennel cough. Vet.Rec. Supplement In

Practice 1:5.

MC.CAW, D.L., M. THOMPSON, D. TATE, A. BONDERER, Y. J. CHEN. 1998. Serum distemper virus and parvovirus antibody titers among dogs brought to a veterinary hospital for revaccination. J.A.V.M.A. 213 (1): 72–75. POVEY, R.C. 1986. Distemper Vaccination of dogs:

Factorswhich could cause vaccine failure. Can.Vet.Jour. 27: 321–323.

VAN DE VELDE, M., A. ZURBRIGGEN, M. DUMAS, D. PALMER. 1985. Canine Distemper Virus does not infect oligodendrocytes in vitro. Jour. Neurol. Sci. 69: 133–137.

VAN MOLL, P., S. ALLDINGER, W. BAUMGARTNER, AND M. ADAMI. 1995. Distemper in wild carnivores: An epidemiological, histological, and immunocytochemical study. Vet.Microb. 44: 193–199.

DEVRIES, P., F.G.C.M. UYTDEHAAG, AND A.D.M.E. OSTERHAUS. 1988. Canine distemper virus (CDV) Immune-stimulating Complexes (Iscoms), but not Measles virus Iscoms, protect dogs against CDV infection. J.gen.Virol. 69: 2071 – 2083.

WINTERS, W.D. 1981. Time dependent decreases of maternal canine virus antibodies in newborn pups. Vet.Rec. 108: 295–299.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Mohon dijelaskan jika ELISA akan digunakan untuk menggantikan SNT, bagaimana korelasinya?

2. Berapa jumlah hewan yang digunakan?

3. SNT untuk distemper apa belum pernah dikerjakan pada instansi lain? 4. Apa perbedaan antara kedua vaksin yang digunakan?

5. Kadar protein dari vaksin apa diketahui?

6. Pada penelitian ini kekebalan sebagai hasil vaksinasi distemper dapat berlangsung berapa lama?

(7)

Jawaban:

1. Seperti yang telah dikembangkan oleh NOON et al. (1980) ELISA dapat digunakan untuk evaluasi antibodi terhadap Canine Distemper Virus. Anjing dengan ELISA serum titer ≥ 1 : 100 konsisten positif dengan SNT pada ≥ 1 : 100. Demikian pula MOLLER et al. (1991) serta POTGIETER dan AJIDAGBA (1989) menggunakan ELISA untuk pengujian sera terhadap distemper anjing. MOLLER et al (1991) mendeteksi IgM antibodi dengan ELISA dan POTGIETER dan AJIDAGBA (1989) mendeteksi antibodi secara kuantitatif dengan ELISA menggunakan protein A dan monoclonal antibody capture untuk mendeteksi antibodi dengan sandwich ELISA.

2. Secara keseluruhan hewan yang digunakan adalah sebanyak 7 ekor. tiga ekor untuk divaksinasi dengan vaksin B dan empat ekor untuk divaksinasi dengan vaksin A. Pengamatan dilakukan setiap minggu pada dua bulan sebelum vaksinasi dan dua bulan setelah vaksinasi. 3. Sebagai penelitian pada evaluasi vaksinasi baru Balitvet yang menggunakan. Belum ada

Balai lain di Indonesia yang menggunakan untuk tujuan tersebut.

4. Perbedaan kedua vaksin relatif tidak menonjol pada hasil penelitian. Karena pada kelompok vaksin B, hewan bertiter negatif pada sebelum dan sewaktu hewan divaksinasi dan titer meningkat setelah vaksinasi dan mencapai puncaknya pada dua bulan pascavaksinasi. Sedangkan hewan pada vaksin A sewaktu hewan divaksin titer antibodi tidak menunjukkan angka 0 dan titer terus meningkat setelah hewan divaksinasi.

5. Kadar protein dari vaksin tidak dituliskan pada label botol vaksin dan tidak ditulis juga pada leaflet yang ada.

6. Titer antibodi ternyata mencapai puncak pada dua bulan pascavaksinasi, tetapi terus menurun pada dua bulan pascavaksinasi dan tidak dilihat penurunan pascaempat

Gambar

Gambar 1. Fluktuasi zat kebal pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin yang beredar di pasar lokal 0102030405060704 mgpra3 mgpra2 mgpra1 mgpraVaksin1 mgpost2 mgpost3 mgpost4 mgpost5 mgp
Tabel 1. Hasil evaluasi vaksinasi distemper dengan uji snt (dalam log 2)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan grafik di atas responden atas nama Ny.S, umur 17 tahun, umur kehamilan 10 minggu, pernah sekolah, bekerja sebagai ibu rumah tangga, pernah mengalami migren

Analisis Hasil Tes Diagnostik Wawancara peserta didik terindikasi miskonsepsi Penyusunan laporan Instrumen siap digunakan Validasi oleh validator ahli Penyusunan instrumen

Tanda tangan dosen ortodonti/dokter jaga pada status untuk tahap-tahap perawatan tertentu harus langsung dipindahkan ke kartu merah mahasiswa yang telah disediakan oleh

Pembelajaran tari pada penelitian ini menggunakan stimulus gerak burung karena dengan pembelajaran tari melalui stimulus gerak burung dapat dipakai sebagai wahana atau

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : untuk mengetahui keluhan muskuloskeletal sebelum dilakukan intervensi latihan peregangan pada petugas kesehatan gigi

mode operasi CBC untuk memperkuat algoritma dalam pengamanan kunci jawaban sertifikasi CCNA yang tersebar di media.. Mendekripsikan pesan yang telah

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dengan seorang guru bidang studi PENJASORKES di SMP Methodist Pekanbaru diperoleh informasi bahwa

Untuk menganalisis solusi dalam menghadapi hambatan dalam pelaksanaan pemenuhan hak atas pendidikan mahasiswa dari keluarga miskin pasal 74 ayat (1) di Universitas