• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan kakao di Indonesia telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam “memenuhi kelangsungan hidup” (survival) dan “mem-buat kehidupan yang lebih baik” (a better living). Data Direktorat Jenderal Per-kebunan (2007) menunjukkan bahwa luas tanaman kakao menduduki posisi ke tiga setelah tanaman sawit dan karet (lampiran 1.1.). Tanaman tersebut dikem-bangkan melalui dua pendekatan, yaitu “perkebunan rakyat” yang diusahakan oleh entitas petani dan “perkebunan besar” yang diusahakan oleh entitas perusa-haan. Meskipun terdapat dua pendekatan, sebagian besar perkebunan kakao di Indonesia dikembangkan melalui pendekatan “perkebunan rakyat”. Pada tahun 2006, luas perkebunan kakao rakyat mencapai 1.219.633 hektar (92.3 persen dari total perkebunan kakao di Indonesia) dan jumlah petani yang mengusahakannya mencapai 1.237.119 rumah tangga (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Selain itu, sebagian besar (86,34 persen) perkebunan kakao rakyat dibangun oleh petani secara swadaya atau tanpa fasilitasi pihak lain (lampiran 1.2.)

Peranan tersebut akan semakin penting karena prospek pasar kakao masih terus meningkat dan sumberdaya agraria (lahan) yang dapat digunakan untuk mengusahakan tanaman kakao masih tersedia walaupun jumlahnya semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh terus bertambahnya luas sumberdaya agraria yang ditanami kakao dan jumlah petani yang mengusahakan tanaman kakao (Lampiran 1.3.). Oleh sebab itu, tanaman kakao bersama-sama dengan tanaman karet dan sawit masuk dalam program “revitalisasi perkebunan” 1.

Namun demikian, di sisi lain ternyata para petani kakao (perkebunan kakao rakyat) umumnya hanya menguasai lahan yang relatif sempit. Data Direktorat

1

Revitalisasi perkebunan merupakan program pemerintah yang berupaya mempercepat pengem-bangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan. Pelaksanaan program ini didukung adanya kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah serta dilibatkannya perusahaan perkebunan sebagai mitra pengembangan, khususnya dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Melalui program ini petani mendapatkan kredit dengan bunga lunak (sebesar 10 %, dimana selisih antara bunga komersial dengan bunga kredit disubsidi pemerintah). Dalam kurun waktu empat tahun (2007-2010) Direktorat Jenderal Perkebunan mencanangkan program revitalisasi perkebunan seluas dua juta ha untuk tanaman kakao, karet, dan kelapa sawit (Dirjenbun, 2007).

(2)

Jenderal Perkebunan (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 ternyata rata-rata luas kebun kakao setiap rumahtangga petani hanya sebesar 0,98 hektar 2. Selain itu, para petani mengusahakan tanaman kakao dalam bentuk usaha keluarga (farm household) dan hasil produksi yang mereka peroleh umumnya untuk men-cukupi kebutuhan pokok (konsumsi) keluarga. Oleh sebab itu, meskipun produk yang dihasilkan petani kakao merupakan produk untuk diekspor (produk komer-sial/perdagangan), namun sangat mungkin mereka masih berada pada tingkat “hi-dup subsisten”, sehingga secara keseluruhan sebenarnya kehi“hi-dupan petani kakao hanya sejajar dengan “peasant” sebagaimana dikonsepkan Shanin (1990) atau “smallholder” sebagaimana dikonsepkan Netting (1993).

Sebagai komoditas komersial, sebenarnya kakao yang diproduksi para peta-ni ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hilir yang berada di wilayah maju/pusat, bahkan sebagian besar berada di negara maju 3. Oleh sebab itu, di dalam komunitas petani kakao terjadi pertemuan antara kekuatan moda produksi kapitalis yang datang dan diarahkan dari luar (dari aras supra lokal atau wilayah pusat/negara maju/centre) dengan kekuatan moda produksi non-kapitalis yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang dalam komunitas petani (aras lokal atau wilayah pinggiran/wilayah terbelakang/periphery).

Adanya perubahan penerapan moda produksi yang dipraktekkan oleh komu-nitas petani kakao akan mendorong perubahan realitas sosial lainnya, terutama realitas sosial yang proses perubahannya terkait erat dengan praktek moda pro-duksi seperti struktur agraria, struktur sosial masyarakat agraris serta kesejahte-raan dalam komunitas petani. Dugaan ini sangat mungkin terjadi karena menurut

2

Berkaitan dengan distribusi pemilikan kebun, sebagai contorh penelitian Fadjar dkk. (2006) pada Lima Desa di Kabupaten Pidie-Nangroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa proporsi petani kakao yang memiliki kebun kakao seluas 2 ha atau lebih sangat sedikit, yaitu hanya 11%. Padahal bila kebun tidak dipelihara secara intensif (produktivitas hanya 500 kg/ha/tahun), pendapatan dari 2 ha kebun kakao hanya cukup mencapai garis kemiskinan (untuk keluarga dengan jumlah anggota 5 orang). Sementara itu, sebagian besar petani lainnya hanya memiliki kebun kakao seluas 1 - < 2 ha (57%) dan kurang dari 1 ha (29%). Bahkan sebanyak 3% petani kakao tidak memiliki lahan atau hanya mengusahakan kebun milik petani lain. Sejalan dengan temuan tersebut, hasil penelitian D.H Penny di Desa Srihardjo (Sajogyo, 2002) mengungkapkan bahwa separuh penduduk di lapisan bawah yang tak cukup luas tanahnya masih “tergolong miskin”.

3

Pada tahun 2002 (Ditjenbun, 2003), sebanyak 78 % produksi kakao Indonesia diekspor (412.360 ton) ke berbagai negara maju seperti Amerika Serikat (40% dari total ekspor) dan negara-negara di Benua Eropa. Data Ditjenbun juga menunjukkan bahwa sebanyak 77 % dari kakao yang diekspor masih berupa bahan mentah (biji kakao).

(3)

Shanin (1990) dan Ray (2002) struktur sosial-ekonomi pedesaan bukan meru-pakan sesuatu yang stabil, dan timbulnya perubahan (tersebut) dapat dipengaruhi oleh terjadinya perubahan moda produksi.

Di Indonesia, fenomena munculnya perbedaan struktur sosial masyarakat agraris yang berkaitan dengan perbedaan penerapan moda produksi sudah banyak dikaji di daerah pedesaan Jawa. Hasil penelitian Soentoro (1980) dan Kano (1984) di daerah pedesaan Jawa menunjukkan bahwa penggunaan moda produksi yang relatif komersial (pada usahatani tebu) telah mendorong proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria (lahan) yang mendorong terbentuknya masyara-kat agraris yang “terpolarisasi”. Sebaliknya, di daerah pedesaan Jawa lain yang hanya menggunakan moda produksi relatif subsisten (pada usahatani padi) ter-nyata proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria mengarah ke bentuk masyarakat agraris yang “terstratifikasi”.

Sementara itu, di daerah pedesaan luar Jawa, penelitian serupa belum ba-nyak dilakukan. Penelitian serupa semakin perlu dilakukan di pedesaan luar Jawa mengingat : 1) Pada saat ini, para petani di luar Jawa mengembangkan usahatani dengan komposisi tanaman yang berbeda dibanding tanaman yang dikembangkan para petani di pedesaan Jawa, dan 2) Jumlah penduduk di luar Jawa terus mening-kat sedangkan luas sumberdaya agraria baru yang dapat digunakan masyaramening-kat pedesaan untuk lahan pertanian semakin berkurang sehingga perubahan struktur agraria dan struktur sosial masyarakat agraris dapat berlangsung lebih cepat.

1.2. Perumusan Masalah

Menurut Taylor, 1979 dan Schuurman dalam Ray (2002) umumnya moda produksi berubah dari moda produksi non-kapitalis (komunal) menuju moda produksi kapitalis (kelas). Akan tetapi, pada masyarakat kontemporer di belahan dunia bukan Barat, perubahan moda produksi yang terjadi tidak menghasilkan moda produksi kapitalis melainkan hanya mencapai moda produksi “transisional”. Sejalan dengan pendapat tersebut, perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas petani kakao yang juga berada di belahan dunia bukan Barat sangat mungkin belum mencapai moda produksi kapitalis tetapi baru mencapai moda produksi “transisional”. Realitas ini dapat terjadi karena laju kekuatan moda

(4)

produksi kapitalis mendapat hambatan dari lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang masih memberi jalan pada praktek moda produksi non-kapitalis yang sejak lama sudah diterapkan para petani.

Walaupun demikian, sejalan dengan pendapat Russel (1989) ternyata moda produksi transisional yang hadir dalam masyarakat kontemporer di belahan bukan barat tidak seragam. Secara lebih rinci ragam moda produksi transisional yang berpotensi hadir adalah seperti berikut: 1) beberapa moda produksi hadir secara bersamaan tetapi salah satu moda produksi “mendominasi” yang lainnya, 2) ter-dapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara “berdam-pingan”, 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan “gabungan” ciri-ciri dari lebih satu moda produksi

Pada saat moda produksi baru yang lebih kapitalis (moda produksi transisi-onal) semakin dominan, maka pada saat itu akan terjadi perubahan struktur agra-ria. Perubahan struktur agraria tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari “hak setiap orang” untuk memanfaatkan sumberdaya agraria men-jadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga terjadi ketidaksamaan akses petani dalam penguasaan sumber-daya agraria. Realitas tersebut kemudian akan memberi jalan pada proses diferen-siasi struktur sosial masyarakat agraris (struktur sosial-ekonomi). Sebagaimana di-kemukakan para pakar dan banyak hasil penelitian sebelumnya (Tabel 2.7.), seca-ra kontekstual akan muncul dua kemungkinan bentuk struktur sosial masyaseca-rakat agraris, yaitu stratifikasi (bertambah banyaknya lapisan masyarakat) dan polari-sasi (terkutubnya masyarakat dalam dua lapisan). Pada komunitas petani kakao, bentuk struktur mana yang akan muncul sangat tergantung pada hasil pertemuan antara moda produksi kapitalis yang diperkenalkan dari luar (aras supra lokal/-wilayah maju/center) dengan moda produksi non-kapitalis yang sebelumnya sudah lama berkembang dalam komunitas petani (aras lokal/wilayah pinggiran/ periphery) serta tergantung pada perubahan struktur agraria yang terjadi.

Lebih lanjut, transformasi struktur agraria yang diikuti oleh perubahan struktur sosial masyarakat agraris tersebut akan mendorong berlangsungnya

(5)

peru-bahan akses petani dalam memperoleh penghasilan dari sumberdaya agraria se-hingga kemudian terjadi perubahan kesejahteraan petani. Di satu pihak perubahan tersebut diharapkan akan berimplikasi pada meningkatnya peluang berusaha pe-tani sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Akan tetapi, di pihak lain, perubahan tersebut sangat mungkin berimplikasi pada munculnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani (terjadi ketimpangan kesejah-teraan), bahkan sangat potensisial memperburuk kondisi kesejahteraan keluarga petani.

Melalui proses polarisasi masyarakat agraris (berbasis penguasaan lahan), jumlah kaum tani yang terlepas atau kehilangan kontrol terhadap kekuatan pro-duksi sumberdaya agraria akan semakin banyak. Dalam posisi tersebut mereka hanya menjadi buruh tani yang kehidupannya sangat tergantung pada pihak lain yang memiliki kekuatan produksi sumberdaya agraria. Sementara itu, melalui pro-ses stratifikasi masyarakat agraris, meskipun tidak terjadi pengkutuban masya-rakat agraris (lapisan petani pemilik sumberdaya agraria yang kaya dan lapisan buruh tani yang miskin) tetapi melalui proses tersebut sangat potensial terjadi pemiskinan petani, baik melalui proses eksploitasi sendiri (self-exploitation) yang berlangsung dalam komunitas petani atau melalui eksplotasi yang dilakukan oleh aktor dari luar komunitas petani (aras supra-lokal) terhadap komunitas petani. Oleh sebab itu, bila kekuatan produksi sumberdaya agraria yang dikuasai petani tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) ser-ta pengurangan lebih lanjut menimbulkan malnutrisi dan kematian dini, maka da-lam keluarga petani sedang terjadi “problema” 4 kesejahteraan.

Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah “bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komu-nitas petani”. Secara lebih spesifik, dalam konteks adanya perubahan praktek moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis

4

Dalam penelitian ini istilah “problema” kesejahteraan dimaknai sejalan dengan istilah “bencana minimum” sebagaimana digunakan Scott (1989). Problema ini akan terjadi bila kekuasaan petani atas sumberdaya lahan tidak mampu memberikan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) sehingga pengurangan lebih lanjut akan menimbulkan malnutrisi dan kematian dini.

(6)

(penuh) namun potensial terhenti pada moda produksi transisional (moda produksi komersial) karena ditahan oleh realitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifik, maka beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh penelitian ini adalah : 1) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi memberi jalan pada transformasi struktur agraria ? 2) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferen-siasi sosial masyarakat agraris: apakah menimbulkan gejala polarisasi atau stratifikasi sosial ?, 3) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani : apakah pemerataan atau ketimpangan ?, serta 4) bagaimana dan sejauhmana realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik mengarahkan transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong terjadinya diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani ?

Sebenarnya hasil penelitian Sitorus (2002) di komunitas petani kakao yang bermukim sekitar kawasan hutan di Sulawesi Tengah dapat memberikan jawaban atas sebagian pertanyaan tersebut. Hasil penelitian Sitorus menunjukkan bahwa perubahan moda produksi yang dijalankan petani kakao 5 telah medorong berlang-sungnya perubahan struktur agraria, dan perubahan tersebut menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi 6. Demikian halnya hasil penelitian Li (2002) pada komunitas petani masyarakat terasing 7 yang menempati dataran tinggi di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong terjadinya struktur sosial masya-rakat agraris yang polarisasi.

5

Menurut Sitorus (2002) moda produksi petani berubah dari moda produksi susbsisten yang berlangsung pada usahatani padi menjadi moda produksi komersial yang berlangsung pada usahatani kakao.

6

Gejala polarisasi tersebut, menurut Sitorus (2002), ditunjukkan oleh meningkatnya posisi petani Bugis (penduduk pendatang), dari petani tidak memiliki tanah menjadi petani pemilik yang tanahnya semakin luas. Sebaliknya, posisi petani Kaili (penduduk lokal) semakin melemah, dari petani pemilik menjadi petani tak bertanah. Lebih lanjut, perubahan struktur agraria tersebut mengakibatkan kondisi semakin melemahnya jaminan kesejahteraan bagi petani Kaili. Oleh sebab itu, mereka mencari alternatif jaminan kesejahteraan dengan menanam kakao di “kawa-san hutan”.

7

Sebagaimana dikutip Li (2007), Departemen Sosial mendefiniskan masyarakat terasing sebagai masyarakat yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, punya komitmen yang kuat terhadap kebiasan dan kepercayaan lokal, kekuarangan (minim) fasilitas kesehatan; perumahan; pakaian; pendidikandan trasportasi. Kemudian definisi tersebut oleh Li dilengkapi sebagai berikut : mempunyai ciri-ciri budaya yang unik, sebagian besar menempati hutan, pegunungan.

(7)

Akan tetapi, di pihak lain, banyak hasil penelitian seperti Shanin dalam Hashim (1988) serta Hayami dan Kikuchi (1987) yang mengungkapkan bahwa proses perubahan stuktur agraria yang terjadi pada komunitas petani (peasant) tidak menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi. Hal ini di antaranya terjadi karena laju perkembangan moda produksi kapitalis pa-da kaum tani ditahan oleh berbagai relaitas lingkungan atau kekuatan sosial spe-sifik yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang pada komunitas petani (pada aras lokal).

Berkaitan dengan masih adanya dua kemungkinan realitas yang berbeda tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan bentuk perubahan struktur agraria dan perubahan struktur sosial masyarakat agraris komunitas petani yang akan diteliti berbeda dengan hasil penelitian Sitorus maupun Li jika realitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifiknya berbeda. Lebih lanjut hal ini juga sangat mungkin akan menyebabkan perbedaan dalam peta kesejahteraan keluarga/komunitas petani. Pemikiran tersebut sejalan dengan pemikiran Teori Kritis (Guba dalam Denzin dan Lincoln, 2000) yang mengemukakan bahwa realitas sosial merupakan “realisme historis” atau merupakan kenyataan yang dibentuk oleh lingkungan spesifiknya, maka sangat mungkin adanya suatu realitas sosial yang berbeda bila lingkungan spesifik tersebut berbeda.

Dalam penelitian yang dilaksanakan Sitorus (2002) lingkungan spesifik komunitas petani kakao yang diteliti adalah : 1) berada dekat kawasan hutan yang relatif luas sehingga para petani mempunyai peluang memperluas kebun kakao ke wilayah hutan, dan 2) pada komunitas tersebut tidak pernah ada campur tangan (fasilitasi) program pemerintah dalam pengembangan kebun kakao rakyat, 3) anggota komunitas yang diteliti mempunyai latarbelakang etnis berbeda tetapi mereka berada dalam wilayah desa yang sama. Sementara itu, dalam penelitian yang dilaksanakan Li (2002) lingkungan spesifik komunitas petani kakao adalah : 1) sumber daya agraria yang dikuasai petani hanya ditanami kakao, 2) komunitas petani berada di wilayah ekosistem dataran tinggi, dan 3) komunitas petani lokal yang diteliti termasuk kelompok masyarakat yang relatif tertinggal.

(8)

Sementara itu, lingkungan komunitas petani kakao yang akan diteliti ber-beda dengan lingkungan komunitas petani kakao yang diteliti Sitorus maupun Li terutama dalam dua hal berikut. Pertama, di tiga komunitas petani kakao yang akan diteliti (dua komunitas di Sulawesi Tengah, dan satu komunitas di NAD), pemerintah pernah melakukan campur tangan (fasilitasi) melalui program pe-ngembangan perkebunan kakao bagi para petani8. Kedua, setiap komunitas petani (desa) yang diteliti hampir seluruhnya merupakan warga yang berasal dari satu etnis, sehingga perbandingan realitas sosial antar etnis dilakukan dengan memban-ding antar komunitas yang berada di desa yang berbeda. Ketiga, komunitas etnis lokal yang berada di Sulawesi Tengah merupakan komunitas desa yang sudah la-ma melakukan sistem pertanian menetap, bukan la-masyarakat terasing atau la- masya-rakat terpencil (menurut konsep Departemen Sosial) yang menjalankan praktek pertanian berpindah.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah “bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komu-nitas petani”. Kemudian secara lebih spesifik, dalam konteks adanya transformasi praktek moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis (penuh) namun terhenti pada moda produksi transisi (moda produksi komersial) karena ditahan oleh realitas lingkungan/ kekuatan sosial spesifik, maka beberapa pertanyaan lebih rinci yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam

komu-nitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan moda produksi non-kapitalis ?

8

Menurut Soentoro (1980), perbedaan pemanfaatan pelayanan pemerintah menyebabkan perbe-daan kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih baik sehingga semakin merenggangkan golongan kaya dan miskin di pedesaan.

(9)

2. Bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan berlangsungnya transfor-masi struktur agraria,

3. Bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agra-ria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris : apakah struktur sosial masyarakat agraris semakin terpolarisasi atau semakin ter-stratifikasi ?

4. Bagaimana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan petani : apakah dalam komunitas petani terjadi beragam status kesejahteraan petani ?

5. Lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstekstual ber-peran mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani ?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah “menganalisis bagaimana dan sejauh-mana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Adapaun tujuan penelitian yang lebih rinci dirumuskan sebagai berikut :

1. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komunitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan mo-da produksi non-kapitalis

2. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan bagi berlang-sungnya perubahan struktur agraria,

(10)

3. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris: apakah struktur sosial masyarakat agraris dimaksud semakin terpolarisasi atau semakin terstratifikasi ?

4. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana diferensiasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam ko-munitas petani,

5. Menganalisis lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstektual berperan mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejah-teraan komunitas petani ?

1.5. Kegunaan Penelitian

Secara umum, hasil studi ini diharapkan akan memberikan kontribusi bagi pengembangan pengetahuan “sosial-ekonomi pertanian pedesaan”, terutama pe-ngetahuan sosiologi pedesaan tentang “proses pertemuan antara transformasi kapi-talisme yang tercakup dalam pengembangan tanaman komersial perkebunan di pedesaan dengan realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang sebelum-nya sudah berkembang dalam masyarakat serta implikasisebelum-nya terhadap perubahan struktur agraria (struktur sosial petani) serta terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan petani berbasis sumberdaya lahan atau berbasis perkebunan kecil.

Berlandaskan pengetahuan tersebut, diharapkan proses perumusan kebijakan pembangunan pertanian pedesaan yang lebih cermat menjadi semakin mungkin diwujudkan. Lebih lanjut, hal tersebut akan mendukung berlangungnya proses perencanaan dan implementasi program pembangunan pertanian pedesaan yang lebih efektif dan lebih tepat sasaran. Ketersediaan data dan informsi tentang moda produksi, struktur agraria, serta diferensiasi sosial dan kesejahteraan komunitas petani yang lebih mendalam dan lebih lengkap diharapkan dapat menjadi landasan bertolak bagi pihak-pihak yang akan menjalankan peranan sebagai fasilitator dalam perumusan atau pelaksanaan program pembangunan komunitas petani. Dengan rumusan dan implementasi program secara akurat, diharapkan program tersebut tidak berdampak pada meningkatnya “kesenjangan” kesejahteraan di

(11)

antara keluarga petani (dalam komunitas) maupun antara komunitas petani (aras lokal) dengan pihak terkait lain (aras supra lokal) 9.

Secara khusus, data dan informasi tersebut dapat dijadikan landasan ber-tolak dalam merumuskan program reforma agraria10 dan program revitalisasi per-kebunan yang sama-sama mulai digulirkan tahun 2007. Kedua program tersebut perlu diletakkan dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dimana reforma agraria menjadi pembuka jalan bagi pekebun (terutama pekebun miskin) untuk menguasai sumberdaya agraria dan revitalisasi perkebunan sebagai supporting system yang memberikan jalan kepada para pekebun untuk menguasai permodal-an; teknologi dan input pertanian lainnya11.

9

Modernisasi pertanian dalam program “Revolusi Hijau” hanya memperbaiki nasib petani lapisan atas di desa, sedangkan petani gurem dan buruh tani belum terangkat arus pembangunan tersebut sehingga mereka tetap tertinggal (Sajogyo, 2002)

10

Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, menyampaikan bahwa sejak tahun 2007 pemerintah akan menggulirkan program reforma agraria, yakni pendistribusian tanah untuk rakyat Dialokasikannya tanah bagi rakyat termiskin (yang berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah terlantar, tanah milik negara yang Hak Guna Usahanya habis, maupun tanah swapraja) dimaknai Presiden sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 12 Januari 2007).

11

Berbagai studi menyimpulkan bahwa peningkatan produktifitas atau investasi kedalam sektor agribisnis dalam struktur ekonomi pertanian yang timpang tidak dapat menghapuskan kemiskinan (Morales, 2001). Dilain pihak, kebijakan pertanahan yang hanya berorientasi teknis administratif yang sempit dan terisolir dari proses pembangunan lebih luas tidak dapat memperbaiki nasib petani miskin. Misalnya penetapan hak formal terhadap tanah (sertifikat) tidak akan membantu tanpa diletakkan di dalam kerangka supporlting system yang memberikan jalan pada petani miskin untuk menguasai infrastruktur dan input pertanian (Deininger & Binswanger, 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembakaran batubara yang umumnya terjadi di dalam boiler pada pembangkit listrik tenaga uap, dan merupakan reaksi kimia yang dilakukan dengan menambah oksigen

FAKTJ'-TAS PtrTERNAI'{N UNIVERSITAS

Diisi dengan bidang ilmu yang ditekuni dosen yang bersangkutan pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Penulisan karya ilmiah tertulis (skripsi) yang berjudul “Analisis Nilai Tambah Dan Prospek Agroindustri Suwar-Suwir di Kabupaten Jember“ ini diajukan sebagai salah satu

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK &amp; MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI