• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu pada dasarnya dihadapkan pada suatu keadaan yang krisis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu pada dasarnya dihadapkan pada suatu keadaan yang krisis."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Setiap individu pada dasarnya dihadapkan pada suatu keadaan yang krisis. Keadaan krisis itulah yang menjadi tugas bagi seseorang untuk dapat dilaluinya dengan baik. Menurut Erik Erikson (Hall, Lindzey dan Champbell, 1998) pada diri remaja yang mengalami krisis, berarti menunjukkan bahwa dirinya sedang berusaha mencari jati dirinya. Yang dimaksud dengan krisis dalam hal ini adalah suatu masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap individu, yang dalam kategori penelitian ini adalah remaja. Keberhasilan seorang individu dalam menghadapi krisis akan meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan dirinya. Keberhasilan ini berarti individu tersebut mampu mewujudkan jati dirinya (self-identity) sehingga ia merasa siap untuk menghadapi tugas perkembangan. Tugas perkembangan dalam hal ini adalah tugas yang harus dilaljui oleh seorang individu sesuai dengan tahap perkembangan individu itu sendiri. Tugas perkembangan tersebut yakni, menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis, belajar bersosialisasi sebagai seseorang laki-laki maupun wanita, memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lain, remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, serta memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis (Dariyo, 2004).

(2)

Perubahan peran dan status pada diri remaja yang pada akhirnya membuka perspektif kesadaran tentang diri dan lingkungannya dipengaruhi oleh kapasitas intelektual, faktor biologis, dan faktor sosial ( dalam Steinberg, 2002, www.pdf-

finder.com/PROSES-PENCARIAN-IDENTITAS-REMAJA-MUALLAF-STUDI...html). Perkembangan identitas diri pada remaja menjadi hal yang penting karena adanya kesadaran atas interaksi, dan beberapa perubahan signifikan secara biologis, kognitif, dan sosial. Perubahan biologis selama masa pubertas membawa perubahan nyata secara fisik yang membuat remaja mendefinisikan kembali konsep diri dan hubungan sosialnya dengan orang lain. Bertambahnya kapasitas intelektual menyediakan berbagai cara pandang baru bagi remaja dalam memandang perubahan diri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Perubahan cara pandang ini juga termasuk penilaian terhadap berbagai masalah, nilai-nilai, aturan dan pilihan yang ditawarkan padanya.

Interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas memungkinkan remaja untuk memainkan berbagai peran dan status baru dalam masyarakat. Masa remaja merupakan masa dimana banyak keputusan penting menyangkut masa depan harus ditentukan, misalnya tentang pekerjaan, sekolah dan pernikahan (Steinberg, 2002:257, www.pdf-finder.com/PROSES-PENCARIAN-IDENTITAS-REMAJA-MUALLAF-STUDI...html). Para remaja diharapkan mampu membuat pilihan yang tepat tentang berbagai pilihan yang menyangkut dirinya dan orang lain. Tampaknya remaja semakin sering memikirkan pertanyaan tentang “siapakah saya sebenarnya?”, “apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup?”, “kemanakah saya akan pergi?” dan berbagai pertanyaan lain yang membuka kesadaran yang lebih luas tentang dirinya (self awareness).

(3)

Pertanyaan semacam ini tampaknya tidak begitu penting dan signifikan pada masa anak-anak, namun menjadi kian umum pada masa remaja. Karena itu Santrock (2002) menganggap salah satu tugas penting yang dihadapi para remaja adalah mencari solusi atas pertanyaan yang menyangkut identitas dan mengembangkan identitas diri yang mantap/sense of individual identity. Karena itu identitas diri biasanya juga berisi harga diri seseorang/ self esteem. Konsep ini menunjukkan bahwa identitas diri merupakan sesuatu yang berperan sebagai motivator perilaku dan menyebabkan keterlibatan emosional yang mendalam dengan individu tentang apa yang dianggapnya sebagai identitas diri. Terbentuknya identitas diri pada dasarnya dipengaruhi secara intensif oleh interaksi seseorang dengan lingkungan sosialnya. Interaksi yang dilakukan oleh individu ini tidak lain adalah interaksi yang dilakukannya melalui proses komunikasi.

Dalam menciptakan identitas diri yang kuat pada diri murid maka pendidikan yang tepat adalah pendidikan yang bersifat menyeluruh dan memperhatikan berbagai segi kepribadian secara seimbang. Hal itu jelas mengindikasikan bahwa peserta didik tidak dipahami hanya sebagai objek dalam pendidikan tetapi sebagai subjek. Untuk itu, diperlukan pemahaman dari kalangan pendidik bahwa eksploitasi murid yang menjurus pada pemaksaan, intimidasi atau pemasungan ide harus segera diakhiri. Pendekatan yang digunakan pun harus bersifat multikultural dan multidimensional. Perlakuan murid sebagai pribadi yang unik dan menarik juga menjadi perhatian khusus dan keharusan untuk dipahami oleh seluruh komponen pendidik.

(4)

Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan perubahan-perubahan yang positif di dalam diri peserta didik sehingga mereka mampu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang memiliki identitas diri dan warga masyarakat yang efektif. Dengan memperhatikan kenyataan tersebut maka pendidikan sangat penting demi menumbuh kembangkan kemampuan murid yang lebih komplek dan mempunyai kecakapan hidup yang lebih baik. Peserta didik harus mampu menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya menunju pada pendewasaan diri.

Masa remaja menjadi perhatian khusus bagi orang tua maupun guru-guru di sekolah. Perlu diingat bahwa pada masa ini remaja akan merasa dirinya ingin bebas berbuat sesuatu sesuai dengan kehendak sendiri dan teman sebayanya. Pada masa ini tidak jarang remaja akan melanggar norma atau etika yang sudah lama terbentuk dan terkadang mereka tidak mau menerima saran dan masukan dari guru atau orang tua. Disinilah sebenarnya letak peran pendidikan untuk membantu pencarian identitas diri murid yang terkadang mulai “ hilang “ oleh arus mode atau gaya hidup.

Menurut Anita Lie (2004) dalam bukunya Cara menumbuhkan kecerdasan Anak, pada masa ini murid diberi kesempatan untuk belajar membedakan yang baik dan buruk, sehingga dikemudian hari secara bertahap dia tidak lagi membutuhkan peraturan dari orang tua karena sudah bisa menentukan yang terbaik untuk dirinya. Ini berarti murid dilatih dan disiapkan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri sejak dini agar tidak selalu tergantung dari orang tua maupun lingkungan keluarga. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran untuk membantu proses penemuan dan penyadaran murid, bukan dengan ancaman,

(5)

hujatan atau intimidasi yang dibungkus dengan kata “ wajib “ dan atau “ harus”. Setiap anak remaja tentunya juga ingin menemukan jati dirinya dengan dibantu orang sekitarnya termasuk guru agar mereka bisa menemukan konsep diri (self concept) yang akan menuntun mereka pada keberhasilan. Konsep diri (self concept) akan menjadikan pribadi lebih menarik dan sukses (http://petakonsepanakbangsa.org/2008/04/29/pembelajaran-ppkn-smp/).

Dalam buku Gunawan (2003) Born to be a Genius dikatakan bahwa untuk memahami keberadaan konsep diri (self concept) yang baik maka seseorang perlu men-set ulang atau memprogram ulang mentalnya sehingga dia akan tahu cara menggunakan atau membuat konsep diri yang akan digunakan dalam menuntun atau memenejemen dirinya. Dalam hal ini sekolah harus berani memfasilitasi segala bentuk aktifitas murid dalam rangka mencari atau menemukan dirinya sendiri sebagai makluk yang sempurna. Murid akan merasa bangga dan senang seandainya ternyata dirinya manusia yang bermartabat. Untuk itu diperlukan pendampingan dari para pendidik sehingga dalam penemuan jati dirinya murid tidak merasa digurui, penuh dengan keterpaksaan. Mereka akan merasa bangga seandainya dalam pendampingan dan penemuan jati dirinya mereka tidak tercerabut dari akar masa periodenya sebagai seorang remaja (http://petakonsepanakbangsa.org/2008/04/29/pembelajaran-ppkn-smp/).

Melihat kondisi pendidikan yang semakin lama semakin jauh dari masyarakat, maka saat ini semakin banyak pula lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi masalah pendidikan tersebut, seperti PKBM ( Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ) salah satunya.

(6)

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sebuah kasus pada lembaga pendidikan non formal, yakni Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). PKBM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan Pendidikan Non formal di Indonesia. Perkembangan dan pertumbuhan PKBM di lapisan masyarakat dewasa ini telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. PKBM secara hierarkis struktural berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Non formal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional.

Hal yang menjadi pemicu berdiri dan berkembangnya PKBM yaitu kekhawatiran terhadap tingginya angka putus sekolah yang salah satu imbas dari pelaksanaan Ujian Nasional dan rendahnya minat masyarakat awam untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga dengan keberadaannya PKBM dapat menjembatani masyarakat awam yang hendak melanjutkan pendidikan (kesetaraan) ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saat ini angka putus sekolah setingkat SD pada 2010 sekitar 0,09 persen, sementara angka putus sekolah untuk setingkat SMP diperkirakan mencapai 0,34 persen, sedangkan angka putus sekolah tingkat SMA sebanyak 0,83 persen (www.waspadaonline.com).

PKBM adalah suatu wadah berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya. PKBM merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal yang saat ini sedang berkembang pesat dalam menjalankan peranan dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan non formal yang ada di Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Kegiatan_Belajar_Masyarakat).

(7)

Sampai saat ini tercatat bahwa terdapat sebanyak 4690 lembaga PKBM yang ada di Indonesia (http://nilem-pkbm.dikmas.net/index.php?pg=2). Sementara itu untuk di daerah kawasan Sumatera Utara sendiri ada terdapat sebanyak 117 lembaga PKBM (http://nilem-pkbm.dikmas.net/index.php?pg=13). Salah satunya adalah PKBM Emphaty. PKBM Emphaty mendapat sambutan yang baik dari pemerintah dan instansi terkait untuk bergandengan tangan memikul harapan masyarakat guna mengantisipasi kondisi yang ada. Dengan adanya program Pendidikan Luar Sekolah (PLS) harapan sebagian masyarakat kurang mampu dapat terpenuhi baik di dalam jalur pendidikan maupun keterampilan yang kelak bisa dijadikan bekal oleh warga belajar untuk lebih mandiri, yang akhirnya tercipta manusia yang handal, kreatif, terampil dan siap bersaing dengan mereka dari jalur pendidikan formal.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih PKBM Emphaty Medan sebagai subjek penelitian. PKBM Emphaty Medan ini adalah salah satu cabang dari PKBM yang ada di Indonesia. Peneliti memilih PKBM Emphaty Medan sebagai subjek penelitian karena berbagai alasan tertentu, diantaranya karena PKBM

Emphaty Medan memiliki tujuan untuk meningkatkan pendidikan, pengetahuan/keterampilan masyarakat bidang pendidikan non formal seperti pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan, pendidikan anak-anak, dan kursus. Selain itu murid binaannya merupakan orang-orang yang berasal dari latar belakang yang bervariasi, yakni dari anak jalanan, anak-anak yang putus sekolah formal, orang-orang yang berasal dari ekonomi yang kurang mampu yang datang dari berbagai daerah di Kota Medan (http://pkbmemphaty.ads4blog.net/about/).

(8)

Dengan latar belakang yang berbeda ini, maka konstruksi identitas diri individu ataupun murid yang ada di PKBM tentu berbeda-beda pula.

Dengan demikian, dari berbagai variasi latar belakang murid-murid yang ada di PKBM Emphaty peneliti ingin melihat bagaimana konstruksi identitas diri yang ada dalam diri murid-murid tersebut. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di PKBM Emphaty sekaligus melihat sejauh mana para murid tersebut dapat menerima program-program pendidikan yang dilakukan PKBM Emphaty Medan Sumatera Utara. Dimana mereka kebanyakan dari yang putus sekolah dan bahkan kurang mendapat pendidikan karena diharuskan untuk bekerja. Yayasan ini mewujudkan keinginan masyarakat yang tidak sempat memperoleh pendidikan atau putus sekolah karena perekonomian keluarga.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konstruksi identitas diri murid di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan?

2. Bagaimana perubahan identitas diri yang terjadi pada murid yang ada pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan?

3. Bagaimana proses interaksi antara murid dengan guru di PKBM Emphaty

(9)

I.3 Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu luas maka dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus. Peneliti menggunakan studi kasus karena studi kasus banyak mengungkapkan hal-hal yang amat detail, melihat hal-hal apa yang tidak bisa diungkapkan oleh metode lain, dan dapat menangkap makna yang ada di belakang kasus dalam kondisi objek secara natural.

b. Subjek penelitian dikhususkan pada murid di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menggambarkan konstruksi identitas diri murid di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Medan.

2. Untuk menggambarkan perubahan identitas diri yang terjadi pada murid yang ada pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Medan.

3. Untuk menggambarkan proses interaksi antara murid dengan guru di PKBM Emphaty khususnya dalam proses belajar mengajar.

(10)

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan serta memperkaya khasanah penelitian ilmu komunikasi dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan juga menambah wawasan bagi para pembaca mengenai konstruksi identitas diri pada murid.

3. Secara sosial, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pihak guru (pengajar) dan seluruh staff lembaga pendidikan non formal Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan.

I.6 Asumsi

Dalam penelitian ini, teori yang dipakai adalah teori interaksi simbolik. Ide-ide yang yang ada pada teori interaksi simbolik sangat berpengaruh dalam kajian bidang ilmu komunikasi.Teori interaksi simbolik merupakan suatu teori yang menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Teori yang dikemukakan oleh Mead ini merupakan teori yang menjelaskan tentang bagaimana manusia mampu untuk menggunakan simbol. Dengan kata lain, Mead menyatakan bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik ( West & Turner, 2008 : 96).

Sementara itu Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksi simbolik pada intinya adalah sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lainnya, menciptakan

(11)

dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia.

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai pereceiver. Fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).

Untuk lebih jelas dalam memahami teori interaksi simbolik yang dikemukakan oleh Mead pada bukunya yang berjudul Mind, Self, and Society, perlu untuk diketahui terlebih dahulu mengenai tema dan asumsi dari teori interaksi simbolik. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa ada tiga tema besar yang mendasari asumsi dalam teori interaksi simbolik (West & Turner, 2008 : 98-104) :

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

Teori interaksi simbolik berpendapat bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apa pun. Tujuan dari interaksi ini adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanpa makna yang sama, proses komunikasi akan menjadi sangat sulit.

(12)

2. Pentingnya konsep mengenai diri

Pentingnya konsep diri (self concept) menjadi tema kedua yang difokuskan pada teori interaksi simbolik. Konsep diri adalah seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Sementara itu Anita Taylor et al. (1977) mendefenisikan konsep diri sebagai “all you think and fell about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold abaut your self” (Rakhmat, 2005 : 100). Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah apa yang kita pandangan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita. Dalam tema ini, teori interaksi simbolik menggambarkan individu dengan diri yang aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lain. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut Larossan dan Reitzes (1993) :

a. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.

Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Alicia Cast (2003) menyatakan bahwa konteks sosial dan interaksi adalah suatu yang penting ketika akan membahas tentang diri.

b. Konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.

Seperti yang dikatakan oleh Mead bahwa karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Memiliki

(13)

diri tidak sekedar hanya mengekspresikannya, tetapi juga memaksa orang untuk mengkonstruksi tindakan dan responsnya.

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat

Tema yang terakhir ini akan berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Dalam tema ini Mead dan Blumer mencoba untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah :

a. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial.

Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu.

b. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Setiap murid pada PKBM Emphaty memiliki makna tersendiri tentang keseluruhan PKBM Emphaty, baik itu guru (staf pengajar), sistem belajar, dan yg lainnya. Saat mereka berinteraksi satu sama lain, mereka mulai memiliki makna yang sama terhadap PKBM Emphaty.

I.7 Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak yang dibentuk dengan mengeneralisasikan objek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan (Kriyantono, 2008: 17). Selain itu konsep juga merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2005: 73). Jadi, konsep merupakan sejumlah cirri atau standar umum suatu objek.

(14)

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

1.7.1) Identitas Diri

Siapakah aku? Apakah aku? Apa yang aku lakukan dalam hidup? Apa yang berbeda padaku? Bagaimana aku melakukan semuanya sendiri? Seluruh pertanyaan ini mencerminkan pencarian identitas. Identitas adalah potret diri. Pada level yang paling minimum, identitas terdiri dari komitmen terhadap arah karir, ideologis, dan orientasi seksual.

Kita merangkai bagian ini untuk membentuk kedirian kita selama kita berada di dunia sosial. Menyatukan komponen identitas ini bisa menjadi proses yang panjang dan sulit, dengan melibatkan penolakan atau penerimaan berbagai “peran” dan “wajah”. Perkembangan identitas terjadi bertahap dan sedikit demi sedikit. Keputusan yang diambil tidak hanya sekali dan bersifat final, tetapi harus diambil berulang kali. Perkembangan identitas tidak berlangsung dengan rapi, dan juga tidak berlangsung dengan tiba-tiba (Santrock, 2007 : 68-69).

Pertanyaan mengenai identitas muncul sebagai kekhawatiran yang umum dan hampir universal pada masa remaja. Erik Erikson adalah orang yang pertama kali memahami seberapa sentralnya pertanyaan ini dalam memahami perkembangan remaja. Anggapan bahwa identitas adalah aspek kunci dari perkembangan remaja merupakan hasil dari analisis dan pemikiran Erikson. Idenya memunculkan berbagai insight tentang pemikiran dan perasaan yang dialami para remaja. Pertanyaan mengenai identitas ini akan muncul selama rentang kehidupan, tetapi akan menjadi sangat penting pada remaja. Menurut Erikson, remaja dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sangat banyak. Ketika mereka mulai menyadari mereka akan bertanggung jawab terhadap diri mereka

(15)

sendiri dan kehidupan mereka, remaja mulai mencari hidup macam apakah yang akan mereka jalani (Santrock, 2007 : 69-71)

Remaja akan mencari identitas diri, mencoba berbagai peran dan kepribadian dalam lingkungan dan kebudayaan mereka. Sangat penting bagi orang dewasa untuk memberikan waktu dan kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi berbagai peran dan kepribadian yang berbeda. Kebanyakan remaja kemudian akan membuang peran-peran yang tidak diinginkan. Anak muda yang sukses dalam menghadapi konflik identitas ini akan muncul dengan diri yang baru yang fresh dan dapat diterima. Remaja yang belum sukses dalam menghadapi krisis ini akan mengalami apa yang disebut identity confusion.

Kebingungan ini bisa mengakibatkan dua kemungkinan, individu menarik diri dan mengisolasi diri mereka dari teman dan keluarga, atau menenggelamkan diri mereka di lingkungan pergaulan sehingga kehilangan identitas mereka dalam keramaian.

Meskipun pertanyaan mengenai identitas ini menjadi sangat penting selama masa remaja, pembentukan identitas tidak dimulai atau berhenti pada masa ini saja. Yang penting dari perkembangan identitas pada masa remaja, terutama masa remaja akhir, adalah untuk pertama kalinya perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan sosioemosional sampai pada satu titik dimana individu dapat memilah-milah dan mensintesiskan identitas dan identifikasi kanak-kanak untuk mengkonstruksi jalur yang dapat digunakan untuk mencapai kedewasaan. Beberapa keputusan pada amasa remaja mungkin terlihat membingungkan. Meskipun begitu, selama masa remaja ini, keputusan-keputusan

(16)

tersebut akan membentuk inti dari arti individu tersebut sebagai manusia yang biasa disebut dengan identitasnya.

Bagaimana individu pada masa remaja melalui proses pembentukan identitas? Apakah yang menentukan status identitas seseorang? Berikut ada empat status identitas :

1. Identity diffusion, individu yang belum mengalami krisis, dan belum membuat komitmen. Tidak saja mereka belum memutuskan mengenai pilihan pekerjaan atau ideologis, tetapi mereka juga tidak menunjukkan minat terhadap masalah tersebut.

2. Identity foreclosure, individu yang sudah membuat komitmen, tetapi belum mengalami krisis. Hal ini paling sering terjadi ketika orang tua memaksa komitmen tertentu pada anak remaja mereka, biasanya dengan cara otoriter, sebelum remaja memiliki kesempatan mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologi, dan karir.

3. Identity moratorium, individu yang tengah berada pada masa krisis tetapi belum memiliki komitmen atau kalaupun ada masih sangat kabur.

4. Identity achievement, individu yang sudah melalui krisis dan sudah sampai pada sebuah komitmen (Santrock, 2007 : 69-71).

(17)

1.7.2) Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal adalah pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis. Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan non formal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan non formal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan perhatian terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain.

Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat

(18)

adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi (http://pendidikan.radensomad.com/pengertian-pendidikan-non formal.html).

I.8 Operasionalisasi Konsep

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat tiga konsep kunci dalam interaksi simbolik yang dikemukakan oleh George Herbert Mead : 1. Mind : Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang

dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran.

2. Self : Untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai keadaan “di luar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri, mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Untuk berbuat demikian, individu pada dasarnya harus menempatkan dirinya sendiri dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain. Tiap orang adalah bagian penting dari situasi yang dialami bersama dan tiap orang harus memperhatikan diri sendiri agar mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dalam bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara impersonal, objektif, dan tanpa emosi. Dalam diri informan akan dijabarkan konsep I dan Me.

(19)

3. Society : Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengeruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ruang lingkup pekerjaan tersebut, maka hasil yang diharapkan dari pekerjaan ini adalah tersusunnya aplikasi Sistem Penilaian Kinerja mekanisme perhitungan

Saran dari hasil penelitian ini adalah pihak Melia Bali Indonesia khususnya pada department F&B Service harus membenahi faktor pendidikan terkait karier berdasakan olah

Butir pertanyaan wawancara tersebut diantaranya adalah Apakah mahasiswa memiliki keampuan menggunakan teknologi komputer dan internet, apa saja aplikasi belajar yang

Pembuatan pelaporan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah secara konvensional dapat menimbulkan beberapa masalah, antara lain kesalahan dalam perhitungan data

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebuah literatur terkait pengelolaan kinerja dari sisi non keuangan dan pertimbangan bagi pihak manajemen KSPSS BMT

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006, Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan

“Kegiatan Piloting membawa dampak posistif bagi peningkatan kualitas pembelajaran terlihat dengan semakin tingginya motivasi siswa di dalam mengikuti pembelajaran MIPA,

 Mendiskusikan bagaimana cara memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan saat melakukan gerak dasar dalam renang gaya bebas (latihan teknik