• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Pengeringan adalah proses penurunan kadar air sampai tingkat kadar air tertentu. Secara spesifik pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan kerusakan (fisika/kimia) terhambat atau terhenti, sehingga bahan dapat mempunyai waktu simpan yang lebih lama. Menurut Hall (1980), pada proses pengeringan komoditas pertanian terjadi dua proses dasar yaitu pindah panas untuk menguapkan cairan bahan dan pindah massa akibat adanya perbedaan tekanan uap. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengontrol perpindahan kadar air dalam bahan adalah: a) difusi antara cairan dan uap, b) gaya kapilaritas, c) gradien penyusutan dan tekanan uap, d) gravitasi, dan e) penguapan kadar air.

Dalam suatu proses pengeringan, dikenal adanya suatu laju pengeringan yang dibedakan menjadi dua tahap utama, yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan terjadi pada lapisan air bebas yang terdapat pada permukaan biji-bijian. Laju pengeringan ini terjadi sangat singkat selama proses pengeringan berlangsung, kecepatan penguapan air pada tahap ini dapat disamakan dengan kecepatan penguapan air bebas. Besarnya laju pengeringan ini tergantung dari: a) lapisan yang terbuka, b) perbedaan kelembaban antara aliran udara dan daerah basah, c) koefisien pindah massa, dan e) kecepatan aliran udara pengering. Laju pengeringan menurun terjadi setelah periode pengeringan konstan selesai. Pada tahap ini kecepatan aliran air bebas dari dalam biji ke permukaan lebih kecil dari kecepatan pengambilan uap air maksimum dari biji. Kadar air kritis (critical moisture content) menjadi batas antara laju pengeringan konstan dan laju pangeringan menurun (Hall 1980). Kadar air kritis adalah kadar air terendah pada saat kecepatan aliran air bebas dari dalam biji ke permukaan sama dengan kecepatan pengambilan uap air maksimum dari biji ( Henderson & Perry 1976).

(2)

2.1.1 Proses Pengeringan

Proses pengeringan terjadi dengan cara penguapan air. Cara ini dilakukan dengan menurunkan kelembaban nisbi udara melalui aliran udara panas atau udara bertekanan sehingga tekanan uap air bahan lebih besar dari tekanan uap air udara. Perbedaan tekanan uap ini menyebabkan terjadinya aliran uap air dari bahan ke udara.

Proses pengeringan biji-bijian dapat dianggap sebagai proses adiabatik. Selama proses pengeringan berlangsung, entalpi dan suhu bola basah udara pengering tetap, sedangkan suhu bola kering berkurang yang diikuti dengan kenaikan kelembaban mutlak, kelembaban nisbi, tekanan parsial uap air dan suhu pengembunan udara pengering. Terjadinya proses pengeringan dengan udara pengering yang dipanaskan pada kurva psikometrik dapat dilihat pada Gambar 1. Pengeringan dengan menggunakan udara alami berarti proses pemanasan udara (1)-(2) ditiadakan. Kenaikan suhu udara alami karena gesekan atau turbulensi udara dapat dianggap sebagai proses pemanasan udara sebelum masuk ruang pengering.

Gambar 1 Proses pengeringan pada kurva psychrometric Keterangan :

(1)-(2) : Proses pemanasan udara (2)-(3) : Proses pengeringan

i : udara masuk alat pengering p : udara pengering

(3)

Kelembaban relatif (RH) yang dinyatakan dalam persen merupakan perbandingan antara tekanan uap terhadap tekanan jenuh air pada suhu ruang pengering, yang dinyatakan dalam persamaan (Brooker et al. 1974):

... (1) sedangkan kelembaban mutlak (H) konstan, maka :

.

... (2) dimana 255.38 ≤ T ≤ 533.16 oK dan Pv < Patm, sehingga tekanan uap (Pv) juga

konstan. Bila kelembaban udara lingkungan (RHa) dan kelembaban udara

pengering (RHr), maka :

... (3) ... (4) dimana 273.16 ≤ T ≤ 533.16 oK (Keenan & Keyes 1936 dalam ASAE Standard 1994), dimana : R = 22105649.25 D = 0.12558 x 10-3 A = -27405.526 E = -0.48502 x 10-7 B = 97.5413 F = 4.34903 C = -0.146244 G = 0.39381 x 10 -2 2.1.2 Paramater Pengeringan

Menurut Brooker et al. (1974), beberapa parameter yang mempengaruhi lama waktu yang dibutuhkan pada proses pengeringan antara lain:

a. Suhu udara pengering

Suhu udara pengering akan mempengaruhi laju penguapan air bahan dan mutu pengeringan. Semakin tinggi suhu maka panas yang digunakan untuk penguapan air akan meningkat sehingga waktu pengeringan akan menjadi lebih singkat. Agar bahan yang dikeringkan tidak sampai rusak, suhu harus dikontrol terus menerus.

b. Kelembaban relatif (RH) udara pengering

Kelembaban relatif menentukan kemampuan udara pengering untuk menampung kadar air bahan yang telah diuapkan. Jika RH semakin rendah maka

(4)

semakin banyak uap air yang diserap udara pengering, demikian juga sebaliknya. RH dan suhu pengering akan menentukan tekanan uap jenuh. Perbedaan tekanan uap air pada udara pengering dan permukaan bahan akan mempengaruhi laju pengeringan. Untuk proses pengeringan yang baik diperlukan RH yang rendah sesuai dengan kondisi bahan yang akan dikeringkan.

c. Kecepatan aliran udara pengering

Aliran udara pada proses pengeringan berfungsi membawa panas untuk menguapkan kadar air bahan serta mengeluarkan uap air hasil penguapan tersebut. Uap air hasil penguapan bahan dengan panas harus segera dikeluarkan agar tidak membuat jenuh udara pada permukaan bahan, yang akan mengganggu proses pengeringan. Semakin besar volume udara yang mengalir maka akan semakin besar kemampuannya dalam membawa dan menampung air dari permukaan bahan.

d. Kadar air bahan

Keragaman kadar air awal bahan sering dijumpai pada proses pengeringan dan hal ini juga menjadi suatu masalah. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi masalah ini adalah dengan mengurangi ketebalan tumpukan bahan yang dikeringkan, mempercepat aliran udara pengering, menurunkan suhu udara pengering dan dilakukan pengadukan bahan. Kadar air akhir bahan merupakan tujuan akhir proses pengeringan, besarnya kadar air akhir akan menentukan lamanya proses pengeringan berlangsung.

Menurut Brooker et al. (1974), Kadar air dapat dinyatakan dalam dua cara, yaitu kadar air basis basah (Mw) dan kadar air basis kering (M). Untuk dipasarkan

biasanya kadar air biji-bijian ditentukan berdasarkan basis basah, sementara kadar air basis kering sering digunakan dalam perhitungan-perhitungan engineering. Untuk menghitung kadar air biji-bijian digunakan Persamaan (5) dan (6).

...(5) ...(6) Pada proses pengeringan sering dijumpai adanya variasi kadar air dari biji-bijian yang dikeringkan. Variasi kadar air ini dipengaruhi oleh ketebalan tumpukan biji-bijian, kelembaban nisbi udara pengering, dan kadar air biji-bijian

(5)

itu sendiri. Brooker et al. (1974) mengemukakan bahwa variasi kadar air biji-bijian yang dikeringkan dapat dikurangi dengan cara (1) menipiskan tumpukan biji-bijian, (2) menggunakan kecepatan aliran udara tinggi, (3) mempertahankan suhu udara pengering tetap rendah, dan (4) melakukan pengadukan.

Kerusakan fisik dan kimia biji-bijian dapat terjadi akibat pengeringan pada suhu udara pengering yang melebihi batas suhu udara pengering yang diizinkan untuk setiap jenis biji-bijian seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Suhu udara pengering beberapa jenis biji-bijian menurut tujuan penggunaannya

No Jenis biji-bijian Suhu udara pengering maksimum (oC)

Benih Dipasarkan Makanan ternak

1 Tongkol jagung 43.3 54.4 82.2 2 Biji jagung 43.3 54.4 82.2 3 Wheat 43.3 60.0 82.2 4 Oats 43.3 60.0 82.2 5 Barley 40.6 40.6 82.2 6 Butir sorgum 43.3 60.0 82.2 7 Kacang kedelai 43.3 48.9 - 8 Padi 43.3 43.3 - Sumber : Hall (1970)

2.1.3 Aliran Udara Pengeringan

Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai pendistribusi panas untuk menguapkan kandungan air dari biji-bijian dan mengeluarkan uap air tersebut. Menurut Soemartono (1968), suhu udara dan kecepatan aliran udara pengering berpengaruh penting terhadap proses pengeringan. Air yang dikeluarkan dalam bentuk uap harus segera dipindahkan dan dijauhkan dari biji-bijian sehingga tidak menyebabkan udara jenuh pada permukaan biji-bijian yang dapat memperlambat pengeluaran air selanjutnya. Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bijian dan mencegah penjenuhan udara disekitar permukaan biji-bijian. Volume udara yang lebih besar dapat menampung dan membawa uap air lebih banyak. Semakin kering udara maka akan semakin cepat pula proses pengeringan yang terjadi. Udara kering dapat menampung uap air lebih banyak dari pada udara lembab. Tekanan statik aliran udara pengering yang melalui tumpukan biji-bijian akan memiliki nilai yang berbeda pada saat udara pengering masuk dan keluar tumpukan biji-bijian. Perbedaan tekanan statik ini disebabkan

(6)

oleh adanya gesekan antara udara pengering dengan biji-bijian dan pengaruh turbulensi aliran udara pengering.

Brooker et al. (1974) mengemukakan bahwa tekanan statik aliran udara pengering yang melalui tumpukan bebijian tergantung pada: (a) kecepatan aliran udara pengering, (b) karakteristik bentuk dan permukaan bebijian, (c) jumlah, ukuran dan konfigurasi ruang antar bebijian, (d) variasi ukuran bebijian dan (e) tebal tumpukan bebijian. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tekanan statik aliran udara pengering adalah prosentase lubang lantai ruang pengering dan panjang pipa penyalur udara pengering (Hall & Davis 1979). Kebutuhan volume aliran udara pengering untuk biji-bijian menurut cara pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kebutuhan volume aliran udara pengering pada berbagai cara pengeringan.

Cara pengeringan Volume aliran udara (m3/m3 det)

Aerasi 2.67 x 10-4

Tempering 0.0067

Udara pengering tanpa pemanasan 0.0267

Tumpukan tipis 0.0267

Udara pengering dengan pemanasan 0.4005

Sumber : Brooker et al. (1974)

2.1.4 Karakteristik Pengeringan Jagung

Brooker et al. (1992) mengemukakan suatu persamaan untuk konstanta pengeringan jagung yang diambil dari persamaan Pabis dan Henderson (1961) yaitu:

0.54 . ...(7) dimana k dalam (dtk-1) dan T dalam (oR).

Kadar air keseimbangan (equilibrium moisture content) merupakan kadar air minimum yang dapat dicapai pada kondisi udara pengeringan yang tetap atau pada suhu dan kelembaban relatif yang tetap. Suatu bahan dalam keadaan setimbang apabila laju kehilangan air dari bahan ke udara sekelilingnya sama dengan laju penambahan air ke bahan dari udara di sekelilingnya. Kadar air pada keadaan setimbang disebut juga dengan kadar air keseimbangan atau keseimbangan higroskopis (Henderson & Perry 1979).

(7)

Salah satu persamaan kadar air keseimbangan pada jagung pipilan adalah persamaan Henderson termodifikasi (Brooker et al. 1992) yaitu:

1 exp 8.6541 10 49.810 100 . ... (8)

. . .

. ... (9)

dimana Me adalah kadar air keseimbangan basis kering, T adalah suhu mutlak udara (oC) dan RH adalah kelembaban nisbi. Apabila persamaan di atas digunakan untuk kondisi udara alami yang umum di Indonesia, sebagai contoh pada suhu 30 oC dan RH 70%, maka nilai kadar air keseimbangan jagung pipilan yang diperoleh adalah 16.0% b.k. Tabel 3 menyajikan beberapa nilai yang diuji pada studi pendahuluan. Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa udara alami tanpa pemanasan mempunyai potensi untuk menurunkan kadar air jagung pipilan sampai 13.8%b.k. Kadar air ini sudah memadai untuk penyimpanan dalam waktu yang cukup lama.

Tabel 3 Hasil perhitungan kadar air berdasarkan Persamaan (8) T (oC) RH (%) Me (%b.k) 25 60 14.3 70 16.5 80 19.3 30 60 13.8 70 16.0 80 18.8

Penggunaan udara lingkungan tanpa pemanasan sebagai udara pengering telah diuji di Korea selama empat tahun (Kim et al. 1989). Kondisi udara lingkungan yang digunakan mempunyai suhu udara rata-rata 12.8-18.6 oC dengan

RH rata-rata berkisar antara 63.3-72.0%. Dengan kondisi tersebut sebanyak 2500-3000 kg gabah dapat dikeringkan dari kadar air awal 17.2-21.9% sampai kadar air akhir 13.2-14.6%.

2.1.5 Sorpsi Isotermi

Sorpsi isotermi adalah suatu plot kadar air keseimbangan terhadap kelembaban relatif pada suatu temperatur tertentu. Isotermi yang diperoleh dengan memaparkan padatan pada udara yang kelembabannya meningkat dikenal dengan isotermi adsorpsi, sedangkan isotermi yang diperoleh dengan memaparkan

(8)

p d a m ( t p m d t d h k b d 2 a s H A padatan pad desorpsi. Iso air padatan menunjukka (Devahastin Gamba tersebut dici pertanda me matrik pada dapat diguna tunggal uap desorpsi. Pa hingga di b karena air te bahkan terik digunakan u 2.1.6 Akti Devah atau pakan, spora dan ko Hal ini dik Aktivitas ai da udara y otermi desor menurun s an hysterisis 2000). ar 2 menun irikan oleh ekanisme pe atan. Pada w akan untuk air dan tid ada wilayah bawah tekan ersebut terku kat lebih lo untuk reaksi Gambar 2 vitas Air hastin (2000) ketersediaan ontribusi dal karena akti r didefinisik ang kelemb rpsi merupak secara prog s dimana ke njukkan ben tiga wilayah engikatan ai wilayah A, a reaksi. Pada dak tampak p B, air terik nan keseimb urung dalam onggar dala dan sebagai Sorpsi isote ) mengemuk n air untuk p lam beberap ivitas terseb kan sebagai babannya m kan perhatian gresif. Keba edua isoterm ntuk umum h secara teg ir yang berb ir terikat ku a wilayah in perbedaan t kat lebih lon bangan uap kapiler yang am kapiler pelarut (Dev ermi yang me kakan bahwa pertumbuhan a reaksi kim but akan m perbanding menurun dik n utama pen anyakan bah mi tersebut m isotermi s gas, A, B da beda pada t uat pada tem ni, terutama tegas antara nggar. Penu air pada su g lebih kecil yang lebih vahastin 200 enunjukkan a dalam peng n mikroorgan mia, memerlu mengakibatk gan antara t kenal denga ngeringan ka han yang d tidak sama sorpsi tipika an C, yang m tempat terpi mpat tersebut terdapat ads isotermi ad urunan tekan uhu yang sa l. Air dalam h besar, air 00). hysterisis geringan bah nisme, perke ukan perhatia kan kerusak tekanan pars n isotermi arena kadar dikeringkan a sebangun al. Bentuk merupakan isah dalam t dan tidak sorpsi lapis dsorpsi dan nan uap air ama adalah m wilayah C ini dapat han pangan ecambahan an penting. kan bahan. sial air (p)

(9)

pada sistem padatan basah terhadap tekanan keseimbangan uap air (pw) pada suhu

yang sama, dalam persamaan dituliskan sebagai :

... (10) atau,

... (11) Daftar nilai aw minimum terukur untuk pertumbuhan mikroba dan

perkecambahan spora disajikan pada Tabel 4. Jika aw diturunkan dibawah nilai ini

dengan cara pengeringan atau dengan menambahkan agen pengikat seperti gula, gliserol atau garam, maka pertumbuhan mikroba dapat dihambat. Akan tetapi seharusnya penambahan tersebut tidak mempengaruhi aroma, rasa atau kriteria mutu lainnya, sehingga proses pengeringan merupakan solusi yang baik untuk menurunkan aw pada bahan pangan dengan kadar air tinggi.

Tabel 4 Aktivitas air (aw) minimum untuk pertumbuhan

mikroba dan perkecambahan spora

Mikroorganisme Aktivitas air

Organisme penghasil lendir pada daging 0.98 Spora Pseudomonas, Bacillus cereus 0.97 Spora B.subtilis, C.botulinum 0.95

C.Botulinum, Salmonela 0.93

Bakteri pada umumnya 0.91

Ragi pada umumnya 0.88

Aspergillus niger 0.85

Jamur pada umumnya 0.80

Bakteri halofolik 0.75

Jamur Xerofilik 0.65

Ragi Osmifilik 0.62

Sumber : Brockmann 1973 dalam Devahastin 2000

2.2Penyimpanan

Penyimpanan adalah suatu cara pengamanan yang selalu berkaitan dengan waktu. Hasil pertanian terutama bebijian selama penyimpanan masih mengalami proses respirasi karena bahan tersebut masih hidup. Proses respirasi merupakan proses produksi energi yang digunakan oleh sel-sel tanaman, pada proses respirasi terjadi pemindahan energi dari ikatan kimia dalam bahan kepada ikatan kimia Adenosin Tri Phospat (ATP) yang berenergi tinggi dan langsung digunakan dalam proses kehidupan (Suseno 1974). Menurut Hall (1970), air dan panas yang dihasilkan dari proses respirasi akan menaikkan kadar air bahan dan suhu,

(10)

sehingga laju respirasi meningkat. Kadar air dan panas hasil respirasi membuat kondisi yang baik bagi pertumbuhan kapang. Wijandi (1988) mengemukakan bahwa penyimpanan dimaksudkan untuk menjaga dan mempertahankan mutu komoditi yang disimpan dengan jalan menghindari, mengurangi atau menghilangkan berbagai faktor yang dapat mengurangi mutu komoditi yang disimpan.

Menurut Soesarsono (1977), penyimpanan dapat dibagi dalam berbagai tahapan/kelompok antara lain: berdasarkan perjalanan hasil panen, waktu, tempat, modifikasi udara dan berdasarkan teknologi. Dalam penyimpanan berdasarkan perjalanan hasil panen, dikenal penyimpanan tingkat panen, tingkat petani, tingkat pengumpul, tingkat penyalur, transit, tingkat pengecer dan tingkat konsumen. Berdasarkan waktu dilakukan penyimpanan jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek, transit dan penyimpanan panjang. Penyimpanan berdasarkan tempat digolongkan menjadi penyimpanan di atas atmosfer, di dalam tanah, di udara dan di bawah permukaan air. Berdasarkan modifikasi udara dikenal penyimpanan alami, penyimpanan atmosfir yang dimodifikasi (modified atmosfer storage) dan penyimpanan atmosfr yang dikendalikan (control atmosfer storage). Sedangkan berdasarkan teknologi, penyimpanan dapat digolongkan menjadi penyimpanan tradisional dan penyimpanan modern. Cara penyimpanan modern merupakan pengembangan dari penyimpanan tradisional.

Menurut Wiliam (1991), ada beberapa faktor yang berpengaruh pada penyimpanan biji-bijian antara lain: tipe dari bebijian, periode penyimpanan, metode penyimpanan, suhu lingkungan, kadar air bahan, kandungan bahan asing, proteksi fisik dan kelembaban relatif. Jagung dapat disimpan dalam beberapa cara seperti curah (pipilan), kemas (pipilan) dan gantung (dengan tongkol). Berdasarkan pengaruh udara lingkungan pada kondisi penyimpanan, penyimpanan dapat dibedakan menjadi penyimpanan udara bebas dan penyimpanan rapat udara (Thahir et al. 1988).

Penyimpanan udara bebas adalah penyimpanan yang dilakukan pada kondisi udara bebas dengan suhu kamar, pada kondisi ini lingkungan berpengaruh langsung terhadap proses penyimpanan. Sistem penyimpanan udara bebas kurang menguntungkan bagi biji dengan kadar air awal rendah pada daerah dengan

(11)

kelembaban yang tinggi, karena kadar air biji akan naik menyesuaikan dengan kelembaban udara lingkungan. Kerusakan akan tetap terjadi meskipun telah diterapkan persyaratan penyimpanan yang cukup baik (Thahir et al. 1988).

Penyimpanan rapat udara merupakan sistem penyimpanan dengan prinsip membatasi dampak negatif dari udara lingkungan sehingga laju kerusakan dapat dihambat. Penyimpanan ini juga sering disebut penyimpanan kedap udara. Tujuan dari sistem penyimpanan tersebut adalah untuk memperpanjang daya simpan. Kerusakan butir bijian terjadi karena kegiatan biologis hama, kapang dan bakteri. Kegiatan biologis berupa pernafasan dapat dihambat dengan cara kemasan diisi biji penuh, kadar air butiran rendah pada awal penyimpanan, digunakan wadah dengan sistem kedap udara. Tingkat pernafasan dapat dihambat dengan cara pemberian CO2, pengurangan O2. Keuntungan dari sistem penyimpanan ini

memperpanjang daya simpan jagung dari tiga bulan menjadi paling sedikit 12 bulan, serta tidak membutuhkan insektisida dan fungisida, yang diperlukan adalah kadar air yang rendah (Thahir et al. 1988).

2.2.1 Pengaruh Kadar Air terhadap Penyimpanan

Dalam mencegah kerusakan selama masa penyimpanan, pengendalian kadar air merupakan faktor terpenting. Pengendalian kadar air adalah faktor yang paling mudah dan murah sebelum dilakukan penyimpanan terhadap bahan. Perkembangan kapang dapat ditekan dengan adanya pengurangan kadar air selama penyimpanan (Wiliam 1991). Pengeringan yang berlanjut dengan menggunakan sinar matahari dapat menyebabkan biji-bijian retak dan kehilangan daya hidupnya (Covanic 1991 dalam Dharmaputra et al. 1997).

Selama masa penyimpanan kadar air bahan pangan akan bergerak menuju kadar air keseimbangan. Henderson dan Perry (1976) mengemukakan bahwa kadar air keseimbangan terjadi pada saat biji-bijian tidak lagi menyerap atau melepaskan uap air.

Pengeringan mekanis untuk menurunkan kadar air sampai 14% selama 2.5 hari efektif untuk mengontrol aflatoksin pada jagung yang diproduksi pada musim hujan. Untuk menghemat biaya, pengeringan mekanis dipadukan dengan metode pengeringan field drying, yaitu dengan membiarkan jagung tetap di pohon meskipun jagung tersebut telah siap panen. Perlakuan ini dimaksudkan untuk

(12)

mencapai titik keseimbangan dengan kelembaban relatif. Di Thailand selama musim hujan menggunakan field drying selama 1 sampai 4 minggu efektif mengeringkan jagung dari kadar air >26% menjadi 18 – 22%, juga menjaga dari kerusakan fisik serta mengontrol aflatoksin (Negler et al. 1986).

2.2.2 Kelembaban dan Suhu Penyimpanan

Chikubu (1974) mengemukakan bahwa kelembaban dan suhu ruang merupakan faktor lingkungan yang penting dalam penyimpanan. Kelembaban lebih berperan dalam menentukan mutu bahan dan proses kerusakan selama penyimpanan. Kelembaban akan mempengaruhi kadar air bahan, dan kadar air bahan juga selalu dipengaruhi oleh kelembaban ruangan, sehingga terjadi suatu keseimbangan. Selain itu suhu ruangan juga sangat menentukan tingkat keseimbangan kelembaban dengan kadar air tersebut. Batas suhu dan kadar air aman pada penyimpanan biji-bijian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Batas-batas suhu dan kadar air yang aman pada penyimpanan biji-bijian (Hall 1970)

Kelembaban ruangan, suhu dan kadar air bahan selain mempengaruhi aktifitas di dalam bahan juga akan mempengaruhi kegiatan hidup organisme perusak. Setiap organisme perusak memerlukan syarat hidup tertentu sehingga dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Soesarsono (1977) mengemukakan bahwa pada umumnya aktivitas serangga tidak dipengaruhi oleh

(13)

kelembaban, tetapi dipengaruhi oleh perubahan suhu. Sedangkan jamur dipengaruhi oleh kadar air dan relatif tidak terpengaruh oleh suhu.

Menurut Hall (1970), kondisi yang sesuai untuk mencegah kerusakan selama penyimpanan dan perdagangan adalah pada kelembaban sebesar 70%. Pada kelembaban 70% dan suhu 27 oC jagung memiliki kadar air keseimbangan

13.5%. Selanjutnya dijelaskan bahwa suhu yang tinggi (berkisar antara 21-43 oC) akan mempercepat kehidupan organisme, disamping itu reaksi kimia juga akan meningkat karena peningkatan suhu. Kenaikan suhu bahan juga disebabkan oleh kegiatan respirasi, aktifitas serangga, aktifitas kapang dan bakteri.

2.2.3 Hubungan Antara Penyimpanan dan Kerusakan Bahan Pakan

Menurut Francis dan Wood (1982), kondisi lingkungan yang berpengaruh pada penyimpanan adalah suhu dan kelembaban relatif, dan hanya terpengaruh kecil oleh oksigen dan cahaya. Suhu dan kelembaban relatif tidak hanya berpengaruh terhadap laju perubahan kimia tapi juga berpengaruh pada perkembangan serangga dan kapang. Perubahan kimia berhubungan erat dengan aktivitas kapang dan serangga. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan biologi dan kimia pada pakan konsentrat

Kadar air (%) RH pada 20-30oC (%) Aktivitas Biologis Aktivitas Kimia

< 8 30 Tidak nyata oksidasi lemak, peningkatan

peroksida

8 – 14 30 – 70 >60 Serangan serangga Serangan serangga Peningkatan asam urat ReaksiMaillard

12 – 20 70 – 90 Serangan serangga Pertumbuhan kapang Produksi mikotoksin

20 – 25 90 – 95 Serangan serangga Pertumbuhan kapang Peningkatan produksi mikotoksin

> 25 - Pertumbuhan bakteri

Kehilangan fisik dan depolimerisasi pati dan protein

Sumber : Francis dan Wood (1982)

2.2.4 Persyaratan Mutu Jagung

Persyaratan mutu jagung untuk perdagangan menurut SNI dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu persyaratan kualitatif dan persyaratan kuantitatif (Kristanto 2007). Persyaratan kualitatif jagung meliputi:

(14)

2. Produk terbebas dari bau busuk maupun zat kimia lainnya (berupa asam).

3. Produk harus terbebas dari bahan dan sisa-sisa pupuk maupun pestisida. 4. Memiliki suhu normal.

Sedangkan persyaratan kuantitatif jagung dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Persyaratan mutu jagung

No Komponen Utama I Persyaratan Mutu (% Maks) II III IV

1 Kadar air 14 14 15 17

2 Butir rusak 2 4 6 8

3 Butir warna lain 1 3 7 10

4 Butir pecah 1 4 3 5

5 Kotoran 1 1 2 2

Sumber: SNI 01-03920-1995 dalam Kristanto, 2007

Standar Mutu jagung yang digunakan untuk bahan baku pakan meliputi zat makanan dan kandungan bahan berbahaya/racun serta kemurnian, standar tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Standar mutu jagung bahan baku pakan ternak

No Komponen Persyaratan

1 Kadar air (maksimum) % 14.0

2 Kadar protein kasar (minimum) % 7.5

3 Kadar serat kasar (maksimum) % 3.0

4 Kadar abu (maksimum) % 2.0

5 Kadar lemak (minimum) % 3.0

6 Mikotoksin:

a) Aflatoksin (maksimum) ppb b)Okratoksin (maksimum) ppb

50.0 5.0

7 Butir pecah (maksimum) % 5.0

8 Warna lain (maksimum) % 5.0

9 Benda asing (maksimum) % 2.0

10 Kepadatan minimum kg/m3 700

Sumber: SNI 01-4483-1998

Untuk dijadikan benih, biji jagung hibrida harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Tabel 8 Spesifikasi persyaratan mutu benih jagung hibrida di laboratorium

No Komponen Persyaratan (%)

1 Kadar air (maksimum) 12.0

2 Benih murni (minimum) 98.0

3 Daya berkecambah (minimum) 85.0

5 Kotoran Benih (maksimum) 2.0

(15)

2.3Perkembangan Penelitian In-Store Dryer

Gagasan yang mutakhir mengenai proses penyimpanan yang disatukan dengan pengeringan telah banyak dilakukan dengan berbagai bentuk bangunan maupun metode pengeringan dan penyimpanannya. Di beberapa negara ASEAN yang beriklim tropis dan sub-tropis, telah berkembang penelitian serta percobaan untuk mengetahui sejauh mana sistem penyatuan proses pengeringan dan penyimpanan dapat mengurangi susut bahan pascapanen.

Koto (1983) telah melakukan penelitian mengenai penyimpanan dalam silo besi kedap udara. Penelitian menggunakan gabah sebagai bahan uji ini bertujuan untuk melihat perubahan kadar air selama penyimpanan akibat pengaruh fluktuasi suhu udara dan radiasi sinar surya. Percobaan menggunakan gabah varietas bolon, yang disimpan dalam silo besi dengan diameter 150 cm dan tinggi 100 cm, yang diletakkan pada udara terbuka sehingga dinding silo dapat terkena sinar matahari langsung. Hasil pengamatan selama 100 hari penyimpanan menunjukkan adanya perbedaan kadar air antara hasil perhitungan sebesar 0.62% dan hasil pengamatan sebesar 0.58%. Pada lokasi pusat lapisan bawah silo dan di lokasi sepanjang 5 cm dari dinding terjadi penurunan kadar air sebesar 3%. Selama penyimpanan tidak terjadi perubahan warna beras, sementara peningkatan butir retak paling banyak terjadi di sekitar dinding dan paling sedikit pada lokasi pusat silo. Peningkatan populasi kapang sangat kecil dan pengaruhnya tidak nyata terhadap mutu beras.

Beberapa percobaan modifikasi lumbung pengering telah dibuat oleh Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Serpong. Soemangat et al. (1987) melakukan studi implementasi pengering tipe lahat dalam tanah untuk jagung. Karakteristik utama alat ini adalah; (a) berukuran 4.6 m x 2.1 m x 1.8 m, terdiri atas ruang piramida, tungku, plenum, cerobong dan atap, (b) kapasitas pengering 1 ton, (c) waktu pengeringan 13 jam pada suhu 68 oC untuk menurunkan kadar air dari 35%

menjadi 17% basis basah, (d) beroperasi pada malam hari dan musim hujan pada suhu lingkungan 24 oC dan RH 96%. Pengering ini pertama kali dikembangkan oleh SUCA (Silliman University College of Agriculture) pada tahun 1984 di Afrika.

(16)

Lumbung pengering bahan bakar non-konvensional IRRI (Harlos et al. 1983) dikembangkan lebih lanjut oleh Jeon et al. (1983), dengan kapasitas pengeringan 8 ton/proses dapat mengeringkan gabah dari kadar air 20% menjadi 14% basis basah selama 6-12 jam pada suhu 39-42 oC dan laju hisapan udara sebesar 9.83 m3/ m3 /mnt.

Komar (1988) meneliti sebuah alat penyimpan sekaligus pengering berupa sebuah sistem lumbung pengering gabah bahan bakar sekam. Penelitian ini menghasilkan suatu bangunan lumbung berukuran 3 m x 2 m x 3 m yang dapat menghasilkan antara lain: suhu udara panas 35-40 oC, RH 55-58.72%, laju aerasi 3.09 x 10-3 kg/dtk selama pengeringan dan suhu udara ruangan 30-33 oC, RH 56.89-60% dengan laju aerasi 1.12 x 10-4 kg/dtk selama penyimpanan. Lumbung dengan muatan 500 kg gabah ini dapat menurunkan kadar airnya dari 27.63% basis kering menjadi 15% b.k dalam jangka waktu 36 jam, dengan konsumsi bahan bakar selama pengeringan adalah 3.3 kg/jam, efisiensi panas tungku yang digunakan adalah 60%. Percobaan penyimpanan gabah dalam lumbung selama dua bulan, dengan memanfaatkan panas surya yang dipindahkan melalui atap seng gelombang ke ruang lumbung untuk menurunkan dan mempertahankan kadar air gabah. Penyimpanan ini menghasilkan indeks kerusakan antara 1-5 dan susut bahan kering antara 1-1.5, dari nilai indeks tersebut lumbung dapat digunakan untuk penyimpanan gabah jangka panjang.

Widodo et al. (1994) di BBP MEKTAN Serpong melakukan analisis teknis dan ekonomis pada pengering padi dengan menggunakan Drying and Storage System (DS System). DS Sytem tersebut terdiri dari 8 kotak pengering, motor penggerak dan kipas penghembus. Pengering ini mampu mengeringkan gabah dari kadar air 27.75-28.97% b.b menjadi 11.4% b.b dalam waktu 16 jam, dengan laju pengeringan 0.98% per jam.

Kelima model pengering dan penyimpan tersebut masih memanfaatkan mekanisme pindah panas konveksi alami dan aliran udara dengan sumber panas dari bahan bakar pada tungku maupun sinar matahari.

(17)

2.4Teknik Simulasi Computational Fluid Dynamics (CFD)

Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah suatu analisis sistem yang meliputi aliran fluida, perpindahan panas dan fenomena lain seperti reaksi kimia yang menggunakan simulasi dengan bantuan software komputer. CFD telah dikenal sejak tahun 1960-an untuk mendisain mesin jet dan aircraft. Perkembangan selanjutnya metoda ini digunakan untuk mendisain mesin pembakaran internal, tabung pembakaran dalam turbin gas dan tungku, kendaraan bermotor dan aliran udara yang menyelimuti casing mobil. Metode CFD menggunakan analisa numerik yaitu kontrol volume sebagai elemen dari integrasi persamaan-persamaan yang terdiri dari persamaan keseimbangan massa, momentum dan energi (Versteeg & Malalasekera 1995).

Wulandani (2005) telah menggunakan teknik CFD untuk mensimulasi udara pengering pada pengeringan ERK tipe rak. Dalam riset ini dilakukan analisis distribusi aliran udara yang mencakup kecepatan, suhu dan RH serta dilanjutkan dengan melakukan validasi model tersebut terhadap hasil percobaan. Analisis ini penting untuk mengoptimisasikan bentuk saluran udara yang harus didisain untuk menyeragamkan aliran udara pada pengering, sehingga diperoleh keseragaman kadar air yang berarti juga keseragaman kualitas biji.

Dalam CFD, pola aliran udara digambarkan secara kuantitatif dalam besaran suhu dan kecepatan melalui persamaan diferensial berupa koordinat cartesian. Pemecahan secara matematik dalam CFD dilakukan melalui analisis numerik tiga dimensi dengan metode volume hingga melalui diskretisasi dan iterasi. Analisis distribusi dan simulasi suhu dan kecepatan udara pada ruangan ISD dalam CFD dapat dilakukan dengan menggunakan software gambit 2.2.30 (meshing dan boundary condition) dan fluent 6.1.18 (mendefinisikan model 3D, pemakaian energi, viscous model, jenis material dan sifat termofisik fluida, input nilai boundary condition, inisialisasi, iterasi dan visualisasi). Computational Fluid Dynamics (CFD) mengandung 3 komponen utama, yaitu : pre-processor, solver dan post-processror (Versteeg & Malalasekera 1995).

2.4.1 Pre-processor

Komponen pre-processor merupakan komponen input dari permasalahan aliran ke dalam program CFD dengan menggunakan interface yang memudahkan

(18)

operator, berfungsi sebagai transformer input berikutnya ke dalam bentuk yang sesuai dengan pemecahan oleh solver. Pada tahapan pre-processor, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1) mendefinisikan geometri daerah yang dikehendaki (perhitungan domain); 2) pembentukan grid (mesh) pada setiap domain; 3) pemilihan fenomena kimia dan fisik yang dibutuhkan; 4) menentukan sifat-sifat fluida (konduktivitas, viskositas, panas jenis, massa jenis dan sebagainya); 5) menentukan kondisi batas yang sesuai dengan keperluan. Ketepatan aliran dalam geometri yang dibentuk dalam CFD ditentukan oleh jumlah sel di dalam grid yang dibangun. Semakin besar jumlah sel, ketepatan atau ketelitian dari hasil pemecahan semakin baik. Mesh optimal tidak harus selalu seragam, dapat dilakukan dengan memperhalus mesh pada bagian yang memiliki variasi cukup besar dan semakin kasar untuk bagian yang relatif tidak banyak mengalami perubahan.

2.4.2 Solver

Proses pada solver merupakan proses pemecahan secara matematika dalam CFD dengan software fluent 6.1.18 Metode yang digunakan adalah metode volume hingga (finite volume) yang dikembangkan dari metode beda hingga (finite difference) khusus. Proses pemecahan matematika pada solver digambarkan sebagai diagram alir metode SIMPLE (Semi-Implicit Method for Pressure-Linked Equation) (Lampiran 6).

Proses pemecahan matematika pada solver memiliki 3 tahapan yaitu: 1) aproksimasi aliran yang tidak diketahui dilakukan dengan menggunakan fungsi sederhana; 2) diskretisasi dengan mensubstitusi hasil aproksimasi ke dalam persamaan aliran disertai dengan manipulasi matematis; 3) penyelesaian persamaan aljabar.

Pada proses solver, terdapat 3 persamaan atur aliran fluida yang menyatakan hukum kekekalan fisika, yaitu : 1) massa fluida kekal; 2) laju perubahan momentum sama dengan resultansi gaya pada partikel fluida (Hukum II Newton); 3) laju perubahan energi sama dengan resultansi laju panas yang ditambahkan dan laju kerja yang diberikan pada partikel fluida (Hukum I Termodinamika).

(19)

Hukum Kekalan Massa 3 Dimensi Steady State

Keseimbangan massa untuk elemen fluida dinyatakan sebagai berikut: laju kenaikan massa dalam elemen fluida = laju net aliran massa ke dalam elemen terbatas. Adapun bentuk matematis dapat ditulis sebagai berikut (Versteeg & Malalasekera 1995) :

0 ... (12) Persamaan (10) merupakan persamaan kontinyuitas untuk fluida. Ruas kiri menggambarkan laju netto massa keluar dari elemen melewati batas dan dinyatakan sebagai faktor konveksi.

Persamaan Momentum 3 Dimensi Steady State

Persamaan momentum dikembangkan dari persamaan Navier-Stokes dalam bentuk yang sesuai dengan metode finite volume (Versteeg & Malalasekera 1995) sebagai berikut : Momentum arah x: ... (13) Momentum arah y : ... (14) Momentum arah z: ... (15)

Persamaan Energi 3 Dimensi Steady State

Persamaan energi diturunkan dari Hukum I Termodinamika (Versteeg & Malalasekera 1995) yang menyatakan bahwa : laju perubahan energi partikel fluida = laju penambahan panas ke dalam partikel fluida ditambahkan dengan laju kerja yang diberikan pada partikel.

(20)

... (16)

Persamaan state:

Kecepatan fluida selalu mencari keseimbangan secara termodinamika, kecuali adanya gangguan. Jika digunakan variabel ρ dan p, maka persamaan state untuk p dan i (Versteeg & Malalasekera 1995) adalah sebagai berikut :

, ... (17) , ... (18) Untuk gas ideal, dimana : dan

2.4.3 Post-processor

Post-processor merupakan tahapan akhir dari simulasi CFD, tahap ini berupa penampilan hasil yang diperoleh dari proses sebelumnya dalam pre-processor dan solver. Tampilan tersebut dapat berupa: a) tampilan geometri domain dan grid; b) plot vektor; c) plot permukaan 2 dan 3 dimensi; d) pergerakan partikel; e) manipulasi pandangan; f) output warna.

2.5Model Pengeringan Tumpukan (Deep Bed Drying)

Brooker et al. (1992) mengemukakan bahwa suatu model pengeringan tumpukan diturunkan berdasarkan keseimbangan panas dan massa. Menurut Sharp (1982) dalam Napitupulu (1993), ada beberapa model pengeringan lapis tebal yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pengeringan tumpukan diantaranya adalah: model keseimbangan, model logaritmik dan model persamaan differensial parsial. Nugroho (1986) mengemukakan bahwa hasil simulasi yang didapatkan dengan model differensial parsial lebih mendekati hasil percobaan dibandingkan dengan model keseimbangan.

Suatu model persamaan differensial parsial merupakan analisis keseimbangan kalor dan massa melalui kontrol volume seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.

(21)

Gambar 4 Elemen pada bak (Bala1997)

Menurut Brooker et al. (1992), untuk mempermudah penyelesaian dari persamaan pengeringan yang ada, beberapa asumsi digunakan untuk menurunkan persamaan model tersebut yaitu: 1) selama proses pengeringan, penciutan volume bahan biji-bijian diabaikan, 2) gradien temperatur dalam setiap bahan diabaikan, 3) konduksi antar biji-bijian diabaikan, 4) aliran udara bersifat plug type dan konstan, 5) / dan / dapat diabaikan terhadap / dan / , 6) dinding alat pengering bersifat adiabatis selama proses pengeringan dan kapasitas panasnya diabaikan, dan 7) kapasitas panas uap air dan biji-bijian dianggap tetap selama pengeringan.

Bala (1997), juga mengemukakan beberapa asumsi untuk penurunan persamaan deep bed drying, antara lain: a) aliran udara satu dimensi, b) tidak ada kehilangan panas tegak lurus aliran udara, c) kehilangan panas konduksi di dalam bak diabaikan, d) panas spesifik bijian kering, moisture dan udara konstan, e) panas laten penguapan dipengaruhi oleh moisture content, f) penyusutan bijian di dalam bak dipengaruhi oleh moisture content, g) bulk density bijian dipengaruhi oleh penyusutan, h) kontribusi (dH/dt) dan (dTa/dt) diabaikan.

Dari parameter keseimbangan entalpi dan massa pada elemen bak yang ditunjukkan pada Gambar 4, ada empat parameter yang belum ditentukan dalam model ini, yaitu: a) kadar air biji-bijian (M), b) kelembaban mutlak udara (H), c) suhu udara pengering (T) dan d) suhu bahan biji-bijian (Tg).

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, Bala (1997) menurunkan persamaan model matematis diferensial parsial tipe bak, meliputi: a) keseimbangan massa, b) laju pengeringan, c) keseimbangan panas dan d) laju perpindahan panas.

(22)

2.5.1 Keseimbangan Massa

Dalam unit waktu tertentu, aliran uap air yang masuk ke dalam elemen bak dituliskan sebagai dan keluar sebagai . Selisih antara keduanya adalah uap air yang bertambah ke udara dari bijian. Sehingga dalam unit waktu tertentu dituliskan sebagai:

...(19) Dengan menggunakan deret Taylor untuk H dan dengan mengabaikan semua batasan dz2, maka Persamaan (19) ditulis menjadi :

...(20) ...(21) Persamaan (21) jika ditulis dalam bentuk finite difference adalah:

∆ ∆

∆ ...(22) dengan mengacu pada grid (Gambar 5) maka :

∆ ∆ ...(23)

(23)

2.5.2 Laju Pengeringan

Kadar air pada suatu lapis tipis biji-bijian sesuai dengan ekspresi persamaan lapis tipis yaitu:

...(24) integrasi persamaan ini dari step 1 ke 2 pada Gambar 5 menjadi:

...(25) sehingga bila t2-t1 = Δt, maka:

1 ...(26) Persamaan (26) ditulis dalam page equation (Hall 1970; Van Rest & Isaacs 1968 dalam Bala 1997) maka:

∆ ∆ ...(27) dimana :

/ / ...(28)

2.5.3 Keseimbangan Panas

Perubahan entalpi udara = perpindahan panas konveksi ke bijian – panas yang dibawa oleh uap ke udara.

Panas yang masuk ke dalam elemen (z, z+dz) dalam suatu waktu tertentu adalah: ...(29) dan panas yang keluar adalah:

...(30) dari Persamaan (29) dan Persamaan (30)

(24)

dengan menggunakan deret Taylor, Persamaan (31) ditulis sebagai : ...(32) subsitusi (dH/dz)= -(ρd/Ga)(dM/dt): ...(33) Persamaan (33) menjadi : ...(34) jika /

diasumsikan P dan Tg konstan untuk interval Δz (Gambar 5), Persamaan (34)

menjadi:

...(35) integrasi step 2 ke 4 didapatkan:

...(36) jika z4-z2=Δz , maka:

1 ...(37)

2.5.4 Laju Perpindahan Panas

Perubahan entalpi bijian = perpindahan panas konveksi ke bijian – panas yang di supply untuk menguapkan uap air ke udara.

Pada awal waktu dt, panas bijian adalah :

...(38) dan pada t+dt adalah:

(25)

sehingga perubahan entalpi bijian:

...(40) dengan menggunakan deret Taylor, Persamaan (40) menjadi :

...(41) Persamaan (41) disusun ulang menjadi :

...(42)

Jika /

/

Diasumsikan P’ dan Q konstan terhadap waktu untuk interval dt, maka:

...(43)

Integrasi step 1 ke 2 (Gambar 5) didapatkan:

/

/ ...(44) jika t2 - t1 = Δt, maka Persamaan (44) dapat dituliskan :

1 / ...(45) Model pengeringan tumpukan bebijian pada prinsipnya disusun dengan membagi tumpukan (lapisan tebal) menjadi beberapa lapisan tipis, keluaran dari lapisan sebelumnya merupakan masukan untuk lapisan berikutnya dan pada setiap lapisan diasumsikan bahwa suhu dan kadar air bebijian dalam kondisi seragam.

Model persamaan differensial parsial biasanya digunakan untuk mempelajari pengeringan pada suhu tinggi. Tidak banyak model persamaan diferensial parsial yang memberikan hasil memuaskan untuk kondisi pengeringan dengan suhu rendah, kecepatan aliran udara rendah dan kedalaman bak cukup besar (Sharp 1982 dalam Napitupulu 1993).

Gambar

Gambar 1 Proses pengeringan pada kurva psychrometric  Keterangan :
Tabel 1 Suhu udara pengering beberapa jenis biji-bijian menurut tujuan  penggunaannya
Tabel 2 Kebutuhan volume aliran udara pengering pada  berbagai cara pengeringan.
Tabel 3 Hasil perhitungan kadar air berdasarkan  Persamaan (8)  T ( o C) RH  (%) Me  (%b.k)  25  60 14.3 70 16.5  80 19.3  30  60 13.8 70 16.0  80 18.8
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses pengeringan dapat diasumsikan sebagai proses adiabatis, sehingga panas yang diperlukan untuk menguapkan air dari bahan (irisan tempe) hanya didapat dari

Penurunan perpindahan panas akibat fouling, penghapusan penukar panas dari jaringan, perubahan dalam suhu inlet atau laju alir massa pada aliran proses antara

Adsorpsi adalah proses akumulasi materi terlarut pada antar permukaan zat dan juga merupakan proses transfer massa dimana massa yang ditransfer berasal dari

Hall (1980) menyatakan bahwa pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan bahan dimana semua bagian bahan yang terdapat dalam lapisan tersebut dapat menerima

Proses pengeringan yang terjadi pada oven yaitu panas yang diberikan pada bahan pangan dalam sebuah oven dapat melalui radiasi dari dinding oven, konveksi dan

pada elemen pemanas akan mengubah energi listrik menjadi panas atau kalor. Panas ini akan dihembuskan oleh kipas menuju ruang pengering yang akan digunakan untuk menguapkan

Proses adsorpsi menghasilkan efek pendinginan yang terjadi pada botol labu yang kedua, dimana pada tekanan rendah panas dari lingkungan diserap untuk menguapkan adsorbat

Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material yang akan dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media pengering. Cara perpindahan panas