• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Obat-obatan tradisional atau jamu sering kali menggunakan tanaman obat seperti jahe sebagai bahan baku. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rimpang berbatang semu. Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Oleh karena itu, kedua bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan minuman, bumbu masak, dan obat-obatan tradisional. Tanaman jahe termasuk suku Zingiberaceae, merupakan salah satu tanaman rempah-rempahan yang telah lama digunakan sebagai bahan baku obat tradisional (Meilinda 2008).

Berdasarkan ukuran dan warna rimpangnya, jahe dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) varietas, yaitu jahe besar (jahe gajah), jahe kecil (jahe emprit), dan jahe merah. Dalam dunia industri, jahe yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional terkadang bukan jahe murni, melainkan campuran dari dua atau tiga jenis tanaman jahe atau bahkan dengan tanaman lain yang memiliki karakteristik hampir sama dengan jahe, seperti lengkuas. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencirian sifat komponen kimia aktif dari ketiga jenis jahe tersebut agar dapat diketahui ciri khas spektrum atau pola kimia dari ketiga jenis tanaman jahe tersebut. Selain itu, juga untuk mengetahui apakah jahe yang digunakan sebagai tanaman bahan baku obat merupakan jahe murni atau campuran dari dua atau tiga jenis tanaman jahe.

Metode analisis yang dapat digunakan untuk pencirian atau pembedaan dari ketiga jenis jahe tersebut adalah dengan spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FTIR). Teknik spektroskopi FTIR berpotensi sebagai metode analisis cepat karena analisis dapat dilakukan secara langsung pada serbuk kering sampel tanpa tahapan pemisahan terlebih dahulu. Spektrum FTIR yang dihasilkan merupakan hasil interaksi antara senyawa-senyawa kimia dalam matriks sampel yang sangat kompleks. Spektrum ini sangat rumit dan perbedaan antara spektrum dari tanaman yang sejenis tidak tampak dengan jelas dan pada umumnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang (Chew et al 2004). Untuk itu, diperlukan suatu metode kemometrik untuk mendapatkan informasi tersembunyi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif dari spektrum FTIR tersebut. Teknik spektroskopi FTIR yang digabungkan dengan kemometrik dapat digunakan sebagai

digabungkan dengan teknik kemometrik untuk melakukan diskriminasi komponen kimia di dalam tanaman obat temu lawak, kunyit, dan bangle. Selain itu Urbano et al (2005) juga telah melakukan teknik diferensiasi dan diskriminasi wines dengan menggunakan teknik pengenalan pola (kemometrik) dan spektroskopi Ultra Violet-Visible (UV-Vis).

Metode kemometrik yang dapat digunakan ialah berupa analisis multivariat. Analisis multivariat yang dapat digunakan untuk pengenalan pola dalam suatu sampel antara lain adalah metode Principal Component Analysis (PCA), Partial Least Square (PLS), analisis diskriminan, K-nearest neighbor, soft independent modeling of class anology (SIMCA), dan cluster analysis (Miller & Miller 2000). Selain itu metode gabungan dari PLS dengan discriminant analysis (PLSDA) juga dapat digunakan untuk klasifikasi. Penelitian ini bertujuan mendiferensiasikan tiga jenis jahe menggunakan spektroskopi FTIR dan metode pengenalan pola kimia berdasarkan pada spektrum FTIR yang dihasilkan dari masing-masing jenis jahe dengan metode analisis multivariat PCA dan PLSDA.

TINJAUAN PUSTAKA

Jahe

Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rimpang berbatang semu. Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Oleh karena itu kedua bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan minuman, bumbu masak dan obat-obatan tradisional. Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae), se-famili dengan temu-temuan lainnya seperti temu lawak (Cucuma xanthorrizha), temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (Languas galanga) dan lain-lain. Jahe (Zingiber officinale) adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi 30–60 cm. Daun tanaman jahe berupa daun tunggal, berbentuk lanset dan berujung runcing. Mahkota bunga berwarna ungu, berbentuk corong dengan panjang 2–2,5 cm. Sedangkan buah berbentuk bulat panjang berwarna cokelat dengan biji berwarna hitam.

(2)

Berdasarkan ukuran dan warna rimpangnya, jahe dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) varietas, yaitu jahe besar (jahe gajah), jahe kecil (jahe emprit), dan jahe merah.

1) Jahe putih/kuning besar atau disebut juga jahe gajah atau jahe badak. Rimpangnya lebih besar dan gemuk, ruas rimpangnya lebih menggembung dari kedua varietas lainnya. Jenis jahe ini biasa dikonsumsi baik saat berumur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan.

2) Jahe putih/kuning kecil atau disebut juga jahe sunti atau jahe emprit. Ruasnya kecil, agak rata sampai agak sedikit menggembung. Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari pada jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan, atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya.

3) Jahe merah. Rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil. Sama seperti jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil, sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan. Jahe merah berkhasiat dan bermanfaat sebagai obat tradisional, yaitu untuk pencahar, peluruh masuk angin, radang tenggorokan, asma, dan lainnya (Matondang 2005).

Secara tradisional ekstrak jahe digunakan antara lain sebagai obat sakit kepala, obat batuk, masuk angin, untuk mengobati gangguan pada saluran pencernaan, stimulansia, diuretik, rematik, menghilangkan rasa sakit, obat anti-mual dan mabuk perjalanan, karminatif (mengeluarkan gas dari perut) dan sebagai obat luar untuk mengobati gatal digigit serangga, keseleo, bengkak, serta memar (Shukla 2007).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa jahe mempunyai sifat antioksidan dan antikanker. Beberapa komponen utama dalam jahe seperti gingerol, shogaol dan zingerone memiliki sifat antioksidan di atas Vitamin E (Kikuzaki & Nakatani 1993). Selain itu, jahe mampu menaikkan aktivitas salah satu sel darah putih, yaitu sel natural killer (NK) dalam melisis sel targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang terinfeksi virus (Zakaria et al. 1999).

Kontrol Kualitas Tanaman Obat Secara umum, satu atau dua komponen aktif pharmakologis di dalam tumbuh-tumbuhan herbal dan atau campuran herbal

sekarang ini digunakan untuk mengevaluasi keaslian dan mutu dari obat herbal, dalam identifikasi tanaman/jamu atau obat herbal, dan dalam menentukan komposisi dari suatu produk herbal. Penentuan seperti ini, tidak memberi suatu gambaran lengkap dari suatu produk herbal, sebab berbagai unsur biasanya memiliki respon terhadap efek pengobatannya. Berbagai unsur ini mungkin bekerja secara signifikan dan bisa dengan sulit untuk dipisahkan dalam bentuk komponen aktif. Lebih dari itu, unsur kimia dalam komponen tumbuh-tumbuhan dalam produk obat herbal mungkin sangat bergantung pada musim panen, asal tanaman, proses pengeringan dan faktor lain. Jadi, dibutuhkan penentuan dari komponen fitokimia produk herbal dengan tujuan menentukan mutu dan repeatabilas dari riset klinis dan pharmakologis, untuk memahami bioaktivitas dan pengaruh komponen aktif untuk meningkatkan kontrol mutu produk (Liang et al. 2004).

Beberapa teknik kromatografi, seperti kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC), kromatografi gas (GC), elektroforesis kapiler (CE) dan kromatografi lapis tipis (TLC), dapat digunakan untuk kontrol mutu produk. Dengan cara ini, produk herbal dapat dianggap sebagai senyawa aktif. Konsep fitoekuivalen dikembangkan di Jerman dengan tujuan meningkatkan konsistensi produk herbal. Menurut konsep ini, profil suatu bahan kimia, seperti suatu sidik jari, untuk produk herbal harus dibangun dan dibandingkan dengan profil dari suatu produk acuan secara klinis (Liang et al. 2004).

Menurut definisi, suatu sidik jari dari suatu obat herbal merupakan suatu pola kromatogram dari ekstrak beberapa bahan kimia aktif secara pharmakologis atau secara karakteristik kimiawi. Profil kromatogram ini harus diperlihatkan melalui “integritas”, “kesamaan” dan “perbedaan”. Hal ini berarti dengan bantuan kromatogram sidik jari yang diperoleh, pengesahan atau autentifikasi dan identifikasi obat herbal dapat secara akurat ditentukan walaupun konsentrasi atau jumlahnya tidak sama persisnya untuk sampel obah herbal yang berbeda. Atau kromatogram sidik jari bisa memperlihatkan “kesamaan” dan “perbedaan” dalam berbagai contoh.

Bagaimanapun, di dalam obat herbal dan ekstraknya, ada beratus-ratus komponen yang tak dikenal dan banyak di antara komponen tersebut berada dalam jumlah yang sedikit. Sebagai konsekwensi, untuk memperoleh kromatogram sidik jari yang dapat dipercaya

(3)

secara pharmakologis dan secara kimiawi merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Kromatografi menawarkan kemampuan separasi yang sangat kuat, seperti komponen kimia kompleks di dalam ekstrak obat herbal dapat dipisahkan ke dalam banyak sub-fraksi. Selain itu, pendekatan penerapan gabungan kromatografi dan spektrometri seperti high-performance liquid chromatography–diode array (HPLC–DA), gas chromatography–mass spectroscopy (GC–MS), capiler electrophoresis-diode array (CE-DA), HPLC– MS dan HPLC–NMR, dapat memberikan tambahan informasi spektrum, yang sangat membantu untuk analisis kualitatif dan bahkan untuk penentuan struktur. Dengan bantuan informasi spektral dari gabungan instrumen memperlihatkan hasil yang sangat baik dalam mengurangi gangguan alat, koreksi waktu retensi, selektifitas, kemampuan pemisahan kromatogram, ketepatan pengukuran. Jika kromatografi dikombinasikan lebih lanjut dengan pendekatan kemometrik, dapat dikembangkan untuk memperoleh kromatogram sidik jari dengan jelas atau lebih baik. Sidik jari kimia yang dihasilkan dengan kromatografi tidak dapat dijadikan alat utama untuk kontrol kualitas obat herbal (Liang et al. 2004).

Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR)

Metode spektrofotometri mengukur jumlah radiasi yang diserap oleh larutan sampel. Jumlah serapan ini berkaitan dengan konsentrasi analat dalam larutan. Ada tiga proses dasar penyerapan radiasi oleh molekul yang semuanya melibatkan kenaikan molekul ke tingkat energi yang lebih tinggi, yaitu radiasi, vibrasi, dan transisi elektronik. Peningkatan energi yang terjadi setara dengan energi radiasi yang diserap oleh molekul (Christian 1986).

Spektrum IR terletak pada kisaran bilangan gelombang 12.800-10 cm-1. Dilihat dari segi aplikasi dan instrumentasi, spektrum IR dibagi ke dalam tiga jenis radiasi, yaitu IR dekat, IR pertengahan, dan IR jauh. FTIR termasuk dalam kategori radiasi IR pertengahan dengan bilangan gelombang berkisar antara 4000-200 cm-1 (Nur & Adijuwana 1989).

Berbeda dari spektrofotometer dispersif, FTIR tidak mengukur panjang gelombang satu demi satu, melainkan dapat mengukur intensitas transmitans pada berbagai panjang gelombang secara serempak (Skoog et al.

1998). Monokromator prisma atau kisi yang dapat mengurangi energi sinar diganti dengan interferometer. Interferometer membuat spektrofometer mampu mengukur semua frekuensi optik secara serempak dengan mengatur intensitas dari setiap frekuensi tunggal sebelum sinyal sampai ke detektor. Hasil dari pindai interferometer yang berupa interferogram (plot antara intensitas dan posisi cermin) ini tidak dapat diinterpretasikan dalam bentuk aslinya. Proses transformasi fourier akan mengubah interferogram menjadi spektrum antara intensitas dan frekuensi (George & McIntyre 1987).

Gambar 1. Skema alat spektroskopi FTIR. (1)Sumber Inframerah (2) Pembagi Berkas (Beam Spliter) (3) Kaca Pemantul (4) Sensor Inframerah (5) Sampel dan (6) Display (Stchur 2002)

Analisis Kemometrik Spektrum FTIR Spektrum IR sangat kaya akan informasi struktur molekular yang terdiri atas gerak rotasi dan vibrasi. Banyaknya gerakan molekular dari molekul poliatom akan membentuk serangkaian pita serapan yang spesifik untuk masing-masing molekul. Hal ini membuat spktroskopi IR menjadi metode analisis kualitatif yang sangat berguna, tetapi sulit dilakukan akibat adanya kemiripan dari setiap respons spektrum. Analisis kuantitatif spektrum IR juga sangat sulit karena adanya tumpang tindih spektrum serapan dari molekul-molekul dalam sampel. Untuk dapat mengekstraksi informasi dari data spektrum IR yang sangat rumit tersebut, diperlukan suatu metode kemometrik berupa analisis multivariat (Stchur et al 2002).

Analisis multivariat menyediakan metode untuk mengurangi data berukuran besar yang diperoleh dari instrument, seperti spektrofotometer. Metode kalibarasi multivariat dapat berupa multiple linear regression, principal component regression,

(4)

PLS, dan artificial neural network (ANN) (Brereton 2000). Selain itu, analisis multivariat dapat digunakan untuk pengenalan pola dalam suatu sampel melalui metode PCA, discriminant analysis, K-nearest neighbor, soft independent modeling of class anology (SIMCA), dan cluster analysis (Miller & Miller 2000).

Analisi Komponen Utama

Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan suatu metode analisis peubah ganda yang bertujuan memperkecil dimensi peubah asal sehingga diperoleh peubah baru (principal component, PC) yang tidak saling berkorelasi tetapi menyimpan sebagian informasi yang terkandung pada peubah asal. Pemilihan PC dilakukan sehingga PC pertama memiliki variansi terbesar dalam set data, sedangkan PC kedua tegak lurus terhadap PC pertama dan memiliki variansi terbesar selanjutnya. Dua PC pertama pada umumnya digunakan sebagai bidang proyeksi untuk inspeksi visual dari data (Miller & Miller 2000).

Teknik PCA berdasar pada dekomposisi matriks data X (N x K) menjadi dua matriks T (N x A) dan matriks P (K x A) yang saling tegak lurus (Gambar 2). Matriks T yang disebut dengan matriks scores menggambarkan variansi dalam objek, sedangkan matriks P yang disebut matriks loading menjelaskan pengaruh variabel terhadap komponen utama. Matriks P terdiri atas data asli dalam system koordinat baru. Error dari model yang terbentuk dinyatakan dalam E (Lohninger 2004). a variable k komponen utama PT X = T + E n objeks Gambar 2 Prinsip PCA (Lohninger 2004)

Partial Least Square (Kuadrat Terkecil Parsial)

Partial Least Square (PLS) atau kuadrat terkecil parsial adalah suatu teknik regresi utama untuk penentuan data multivariat yang diawali kombinasi linier dari variabel bebas. Variabel dalam PLS ditunjukkan oleh

tingginya korelasi dengan variabel respon yang memberikan pengaruh besar, sehingga lebih efektif dalam pendugaan. Kombinasi linear variabel bebas yang dipilih harus berkorelasi paling tinggi dengan variabel respon dan dapat menjelaskan kombinasi dari variable bebas (Miller & Miller 2000).

Teknik PLS digunakan untuk memprediksi serangkaian peubah tak bebas (Y) dari peubah bebas (X) yang jumlahnya sangat banyak, memiliki struktur sistematik linear atau nonlinear, dengan atau tanpa data yang hilang, dan memiliki kolinearitas yang tinggi. Metode ini membentuk model dari peubah yang ada untuk membentuk serangkaian respon dengan menggunakan regresi kuadrat terkecil dalam bentuk matriks. Teknik PLS menggambarkan hubungan antara matriks X dan Y, serta tidak dipengaruhi oleh multikolinearitas pada data, sehingga teknik ini sangat baik digunakan pada matriks yang sangat kompleks (Herliana 2008).

Terdapat dua jenis teknik PLS, yaitu PLS-1 dan PLS-2. Model PLS-1 digunakan untuk memprediksi satu peubah tak bebas (Y) dari serangkaian peubah bebas (X), sedangkan model PLS-2 digunakan untuk memprediksi peubah tak bebas (Y) secara simultan dari serangkaian peubah bebas (X) (Herliana 2008).

Parameter-parameter dalam PLS sebagai metode kalibrasi adalah factors, loadings, dan scores. Model PLS berdasar pada komponen utama dari data bebas X dan data tak bebas Y. inti dari PLS adalah untuk menghitung nilai (scores) dari matriks X dan Y serta untuk membuat model regresi antara nilai-nilai tersebut.

Partial Least Square Discriminant Analysis (PLSDA)

Partial Least Square Discriminant Analysis (PLSDA) adalah salah satu metode klasifikasi yang sering diterapkan dalam bidang kemometrik dengan berlandaskan pendekatan PLS (Hakim 2010). Standard algoritma PLS yang dipergunakan dengan vector y yang tak bebas yang berupa data kelompok. Dalam kasus dua kelompok, biasanya nilai dari peubah tak bebas diberikan 1 untuk satu kelompok dan 0 atau -1 untuk kelompok lainnya.

Metode PLSDA digunakan ntuk membangun suatu model. Model PLSDA umumnya disebut "metode faktor" karena mengubah jumlah variabel yang besar menjadi sejumlah kecil variabel orthogonal yang disebut "faktor" atau "komponen utama"

(5)

(PC), yang merupakan kombinasi linier dari variabel asli. PC pertama berisi informasi yag lebih berguna, sedangkan yang terakhir merupakan noise, dan tidak diperhitungkan dalam model PLS. Jumlah optimum faktor yang dipilih untuk kalibrasi dioptimalkan secara otomatis oleh perangkat lunak yang digunakan.

Berbeda dengan metode PCA, kebaikan suatu model klasifikasi pada metode PLSDA cukup dilihat dari nilai determination coefficient (R2), root mean square error of calibration (RMSEC) dan root mean square error of prediction (RMSEP). Nilai RMSEC merupakan galat yang dihasilkan dari set kalibrasi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah jahe merah, jahe gajah, jahe emprit, lengkuas, methanol, dan KBr. Alat yang digunakan adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), Fourier Transform Infrared (FTIR)

Tahapan Penelitian

Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Simplisia jahe merah (JM), jahe emprit (JE), jahe gajah (JG) dan lengkaus (L)dibuat menjadi serbuk. Kemudian dibuat serbuk simplisia campuran berupa 95% JM + 5% JG, 95% JM + 5% JE dan 95% JM + 5% L. Serbuk simplisia murni dan campuran dianalisis menggunakan FTIR dan KCKT untuk menentukan konsentrasi 6-, 8-, 10-gingerol dan 6-shogaol. Kemudian dilakukan analisis multivariat pada spektrum FTIR yang dihasilkan menggunakan metode PCA dan PLSDA.

Preparasi Serbuk Sampel

Disiapkan masing-masing serbuk jahe merah (JM), jahe gajah (JG), jahe emprit (JE), dan lengkuas (L). Komposisi serbuk jahe campuran dibuat dengan komposisi 95% jahe merah dan 5% jahe gajah (JM+JG); 95% jahe merah dan 5% jahe emprit (JM+JE); 95% jahe merah dan 5% lengkuas (JM+L). Dengan cara mencampurkan sebanyak 950 mg serbuk jahe merah dan 50 mg serbuk jahe gajah; 950 mg serbuk jahe merah dan 50 mg serbuk jahe

emprit; 950 mg serbuk jahe merah dan 50 mg serbuk lengkuas.

Analisi Sampel Menggunakan

Spektroskopi FTIR

Sebanyak 0.5 mg serbuk sampel yang telah disiapkan dicampurkan dengan 180 mg KBr untuk dijadikan pelet. Pelet dibuat menggunakan hand press. Pengukuran spektrum dilakukan menggunakan spektrometer FTIR. Pengukuran dilakukan pada kisaran daerah 4000-400 cm-1.

Penentuan Konsentrasi 6-gingerol, 8-gingerol, 10-8-gingerol, dan 6 shogaol Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Pembuatan Larutan Standard Dan Sampel Larutan standar yang mengandung 50 µ g/mL 6-gingerol, 50 µ g/mL 8-gingerol, 50 µ g/mL 10-gingerol, dan 25 µ g/mL 6-shogaol dibuat dengan cara melarutkan masing-masing 2.2 mg 6-gingerol, 1 mg 8-gingerol, 1.6 mg 10-gingerol dan 0.4 mg 6-shogaol secara berturut-turut didalam 100 mL methanol.

Larutan Sampel disiapkan dengan cara menimbang 0.5 g serbuk jahe kemudian dilarutkan dengan 100 mL methanol.

Analisis Menggunakan KCKT

Fase gerak KCKT yang digunakan untuk penentuan 6-, 8-, 10-,gingerol dan 6-shogaol adalah air : acetonitrile. Suhu kolom oven dibuat menjadi 40°C. Detektor yang digunakan adalah UV. Panjang gelombang yang digunakan adalah 200 nm. Tekanan kolom divariasikan dari 1300-1800 psi. Volume larutan standard dan sampel yang diinjeksikan adalah 10 µ L.

Analisis Data Secara Kemometrik

Sebelum pembuatan model klasifikasi, perlakuan pendahuluan berupa pemrosesan sinyal dilakukan pada setiap spektrum yaitu normalisasi (absorbansi terkecil dibuat menjadi 0 dan absorbansi terbesar dibuat menjadi 1), koreksi garis dasar, dan dilanjutkan dengan pemulusan Savitzky-Golay.

Klasifikasi dengan menggunakan data absorbansi pada spektrum yang telah dilakukan normalisasi dan koreksi garis datar pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1. Analisis data dilakukan dengan menggunakan peranti lunak Unscrambler X 10.0.

Gambar

Gambar  1.  Skema  alat  spektroskopi  FTIR.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil survey yang telah dilakukan diper- oleh data nilai kepuasan masyarakat per unsur pe- layanan sebagaimana terdapat pada Tabel 4 men- unjukkan bahwa nilai indeks

Implikasi dari penelitian ini adalah untuk dapat meningkatkan manajemen pengelolaan obyek wisata dalam mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada obyek wisata

Ensefalopati adalah suatu keadaan disfungsi otak yang ditimbulkan oleh berbagai faktor penyebab antara lain gangguan vaskuler, metabolik, toksik, iskemia hipoksik dan

Sebagai surat kabar, Harian Umum Bandung Ekspres selalu memberikan informasi aktual kepada khalayak lokal khususnya dalam ruang lingkup pada wilayah Kota Bandung

Makati City mengakui bahwa pengumpulan limbah padat dan daur ulang sangatlah penting, tidak hanya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tetapi juga untuk memperbaiki

Identifikasi masalah secara Umum Bagaimana menciptakan pondok pesantren hidayatullah dengan penghuni orang lanjut usia untuk beribadah dan bersosialisasi. Secara Khusus

Dalam rangka pengaturan pelayanan perizinan, yang terdiri atas Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Usaha Pariwisata, Izin Gangguan, Izin Tempat Usaha, Izin

Konsultan harus bekerjasama sepenuhnya dengan pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen dalam melakukan pengawasan teknis / supervisI teknis atas pelaksanaan pekerjaan