• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTENTANGAN IDEOLOGI PADA MASA RENAISANS DENGAN IDEOLOGI PADA ABAD PERTENGAHAN DALAM KARYA SENI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTENTANGAN IDEOLOGI PADA MASA RENAISANS DENGAN IDEOLOGI PADA ABAD PERTENGAHAN DALAM KARYA SENI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERTENTANGAN IDEOLOGI PADA MASA RENAISANS

DENGAN IDEOLOGI PADA ABAD PERTENGAHAN DALAM KARYA SENI

Aprillia

Abstrak

Setiap masyarakat tentu memiliki pola pikir dan pandangan hidup yang seiring dengan masa tersebut, misal: pembuatan seni patung yang disesuaikan dengan canon saat itu. Tidak beda dengan Abad Pertengahan yang pada masa itu dikuasai oleh gereja dan diawali dari jaman Basilika, sehingga cara berpikir dan pandangan hidupnya diwarnai dengan masalah keagamaan semata. Gereja saat itu juga mengatur pemerintahan, menjadikan agama itu (Nasrani) adalah agama negara, dan mengatur di segala bidang, termasuk bidang seni. Penciptaan seni harus berpusat pada agama atau gereja, yang bersifat teosentris, menuntut bentuk yang ideoplastis. Manusia berasal dari Allah Pencipta, maka segala yang ada, yang dibuat oleh manusia harus dikembalikan kepadaNya, sehingga manusia terikat dengan aturan dari agama yang dibuat oleh gereja tersebut, segala bentuk karya senipun di ciptakan untuk kepentingan agama atau gereja saat itu.Tetapi dengan perkembangan pemikiran dan kemampuan orang, serta seiring dengan segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh para pemimpin agama (uskup), menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap gereja saat itu tidak ada lagi. Kemunculan para kapitalis mempengaruhi masyarakat, menggiring kepada pemikiran yang bebas, individualis, untuk menemukan diri pribadi. Pusat pemikiran, pendidikan, kesenian dan kesadaran manusia tidak lagi kepada gereja, agama, tetapi kepada sesama, menjadikan hubungan yang antroposentris. Penemuan dan kembali kepada pribadi manusia adalah kelahiran baru esensi manusia, yang merupakan masa Renaissance sebagai masa pertentangan terhadap Abad Pertengahan. Keberadaan Renaisans yang membangkitkan aliran humanistik, membawa filsafati abad ini pada hal-hal yang konkret, ke alam semesta dan kepada kehidupan manusia sebagai masyarakat. Berbagai kelompok masyarakat bersatu menentang pola pikir Abad Pertengahan yang dogmatis gerejawi. Kelompok masyarakat yang melahirkan suatu perubahan dalam pemikiran manusia dan filsafatnya, serta dukungan dari gerakan kelahiran kembali pribadi manusia yang bebas, mengarahkan ciptaan karya-karya yang bersifat humanistik.

Kata kunci: teosentris, antroposentris, ideoplastis, humanistis, katakomba, canon. Pendahuluan

Karya-karya besar yang diciptakan oleh manusia memiliki arti, yang pada masa sebelum Masehi merupakan simbol-simbol tertentu bagi sesuatu yang diagungkan, diyakini, disembah, dan bagi segala apa yang dimaksud oleh penciptanya. Seberapa pun kemapuan manusia kembali kepada kesadaran terhadap dirinya sendiri, dan kesadaran tersebut tidak lepas dari yang mempengaruhi dirinya. Penciptaan sesuatu berdasarkan dari kesadaran tersebut adalah kesadaran terhadap apa yang telah diterima, dan perlu dipersembahkan kembali. Seperti yang dilakukan oleh bangsa Yunani dengan karyanya yang sempurna, adiluhung, karena sebagai penggambaran dewa/dewi yang harus rupawan sesuai mitos yang dipercaya, dan sesuai filsafatnya bahwa keindahan adalah sebagian dari kehidupannya di dunia (Arifin 1985: 36). Sama halnya pada jaman Romawi dengan karya-karya klasiknya (dapat dilihat dari karya-karya patungnya sampai pada masa Hellenisme), dan bentuk

Penulis adalah dosen Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Semarang, sekarang tengah menyelesaikan studinya pada Program Pascasajana UNNES

(2)

bangunannya yang megah (kuil Pantheon), atau bangunan profan (misal: Colloseum) yang monumental.

Kesenian Yunani dan Romawi menurut sejarahnya berdasarkan pada keindahan dan paham

politheisme berlangsung hingga abad ke-3, tatkala kaisar Konstantin mengeluarkan pernyataan UU

Milano, tentang kebebasan bagi kaum Nasrani memeluk agamanya hingga agama tersebut berkembang ke seluruh propinsi Romawi. Abad sebelumnya kaum Nasrani ditindas oleh bangsa Romawi yang politheisme, hingga melahirkan kesenian dan kebudayaan Katakombe. Katakombe adalah ‘kuburan bertingkat-tingkat bawah tanah di sekitar kota Roma, yang diperuntukkan bagi orang beriman dan ruang-ruang besar untuk pertemuan dan ibadat rahasia waktu penganiayaan’ (Heuken Vol.II 1992: 199). Pada tahun 380 Kaisar Theodosius mengeluarkan maklumat bahwa agama Nasrani adalah agama negara. Mulai saat itulah masa menuju ke Abad Iman, masa yang berpusat kepada agama melalui gereja.

Menurut Hegel dan Scheeler (dalam Bakker 1984: 79-80) keseluruhan karya, sadar insani dengan ilmu, kesenian, agama dan filsafat adalah proses realisasi diri dari roh Ilahi, dan manusia bekerja sama dengan Tuhan untuk pencapaian damai. Terlihat mulai jaman Basilika, banyak bangunan profan dijadikan gereja, ornamen yang ada dibangunan memuat ikon-ikon dan relief tentang kisah atau cerita para nabi yang ada dalam Kitab Suci, demikian pula pada karya-karya lukisnya. Terlebih pada jaman Byzantium Akhir (abad 13-15), ‘kesenian saat itu merupakan kesenian pribumi wilayah Timur yang hidup kembali bernafaskan agama Kristen’ ( Susanto 2002: 4). Bentuk-bentuk tersebut (lukisan, relief, patung) banyak terdapat digereja yang menandai kemegahan Jaman Tengah atau Abad Pertengahan (dikenal dengan sebutan Jaman Gemilang Kristen yang berlangsung kurang lebih 10 abad) terlebih pada peradaban gaya Romanesk dan Gotik (mencapai puncaknya pada abad ke-12) yang menghasilkan kesenian dan kebudayaan Kristen klasik. Sebagai contoh misalnya pada bangunan Kathedral Chartres (Perancis) yang dipenuhi dengan hiasan-hiasan patung manusia, portal-portal kapital dan ornamen lainnya; sedangkan gaya Gotik dapat dilihat pada Kathedral Amiens dan Notre-Dame (Paris) yang atapnya menjulang tinggi, langit-langit dengan jerejak yang runcing, sebagai ciri khas gaya itu, dan berpengaruh terhadap bangunan di Inggris, Jerman, dan Belanda. Kedua gaya bangunan itu menunjukkan bentuk vertikalisme, menyimbolkan kehidupan manusia yang selalu berhubungan dengan ‘yang di atas’, menyatu denganNya. Segala sesuatu yang diciptakan adanya tergantung pada Allah, dan oleh filsuf Thomas (dalam Bertens 1990: 36) dikatakan bahwa Allah bebas menciptakan dunia, segala ciptaan tidak terbatas pada bahan dan salah satu aspek, maupun satu saat saja. Pernyataan ini mengandung arti bahwa manusia karenanya berbuat sebaik mungkin seperti yang terjadi pada Abad Pertengahan, di mana penciptaan karya-karyanya ‘sempurna dan indah’, dengan menggunakan canon tertentu.

(3)

Karya-karya seni (lukis, patung ) selalu menggambarkan para rasul atau nabi, dan bentuk gereja yang vertikal, merupakan ciri khas dari Abad Pertengahan yang diatur oleh gereja dan agama yang harus dibuat orang saat itu. Pemimpin agama (uskup) pegang peranan dan kekuasaan bagi semua orang dan segala bidang serta kegiatan yang harus tertuju untuk Tuhan atau pada gereja. Bila ada yang berpaham lain, maka orang itu dibunuh dengan cara dibakar seperti Bruno (1548 – 1600) atau Galileo seorang filsuf dan ilmu falak yang dipenjara tanpa batas waktu (Arifin 1985: 97). Pada masa-masa ini orang tidak berdaya, tanpa kebebasan, dan terkekang dengan aturan agama dan gereja, tidak memiliki kepribadian sendiri, harus terpusat pada Tuhan sehingga berpaham teosentris yang ketat. Falsafah yang berpusat pada ‘Yang Satu’ inilah membuat manusia harus selalu berhadapan dengan suatu Subyek atau Kepribadian, dan Subyek itu adalah Tuhan yang manusia harus menghormati, merasa betul-betul bergantung dan penuh khidmat, sehingga pandangan seperti itu menerangkan seluruh tingkah laku manusia dalam religi (Drijarkara 1978: 167-168). Paham yang sangat teosentris dengan pengekangan pada kebebasan pribadi manusia inilah yang kemudian ditentang oleh paham yang menginginkan perubahan pandangan hidup manusia agar berpikir konkrit, mempunyai eksistensi sebagai pribadi dan humanistis.

Pada awal abad ke-14 muncul suatu aliran, pandangan baru di Italia yang berpusat di Florens dengan dukungan para hartawan yang membeayai segala usaha dan ilmu pengetahuan serta aktivitas para seniman, untuk segala kegiatan supaya tidak selalu ditujukan pada gereja atau agama. Misi dan visi berkesenian, tema, dan bentuk karya tidak lagi harus berpusat pada agama atau gereja dan vertikalisme, tetapi kepada yang lebih horizontal sehingga filsafat humanis pada saat itu terus berkembang. Orang menemukan kembali pribadinya, yang menjadikan masa itu disebut Renaisans (= kelahiran baru), yaitu kelahiran bagi harkat dan kepribadian manusia sebagai mahluk individualistis, dan pandangan baru ini sebagai pertentangan terhadap Abad Pertengahan. Orang mencari ilmu pengetahuan untuk mendapatkan suatu pegangan bagi kegiatan-kegiatan manusia dalam membangun hidupnya sendiri (Huijbers 1987: 38), yang berarti manusia ingin mencari dan mendapatkan serta mempunyai kepribadian sendiri. Ditambahkan oleh Maman (2003: 26) bahwa masa Renaisans merupakan kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama, menirukan pemikiran yang bebas seperti pada jaman Yunani kuno. Hal ini mengangkat kembali nilai-nilai manusia, kembali pada kepribadian manusia, seperti menurut Descartes (dalam Huijbers 1987: 11) bahwa secara prinsipial harus ada keharmonisan antara kebenaran-kebenaran hidup dan ilmu pengetahuan.

Perkembangan pada masa Renaisan semakin memperlihatkan adanya pertentangan terhadap Abad Pertengahan yang merupakan masa orang merasa tertekan dan terbelenggu kreasinya karena peraturan agama atau gereja. Sementara para bangsawan dan hartawan menjadi kaum kapitalis yang berpengaruh terhadap perubahan pandangan bagi umat agar kegiatan dan falsafahnya tidak lagi

(4)

berpusat pada gereja. Bahwa pengabdian dan persatuan dengan Tuhan tidak harus melalui gereja, ‘walau manusia tetap mengakui bahwa tergantungnya semesta alam dari Tuhan, tujuan satu yang universal untuk semua manusia’ (Drijarkara 1978: 166). Manusia tidak terpisah dari lain-lainnya, memiliki hubungan dengan manusia lainnya tetapi mempunyai kebebasan dan kepribadian sendiri, termasuk kebebasan berkarya. Kebebasan berkarya pada masa Renaisans dengan menampilkan karakter dan aturan-aturan yang humanistik, menjadi aspek pertentangan terhadap cipta karya Abad Pertengahan yang ideoplastis dan teosentris.

Karya Seni Abad Pertengahan

Bicara tentang Abad Pertengahan yang berlangsung ‘dari paruh kedua Abad ke-5 sampai paruh pertama Abad ke-15’ (Fremantle 1986: 11) tidak dapat meninggalkan masa klasik Yunani-Romawi sebelumnya (kurang lebih 3000 – 125 S.M.), yaitu ketika manusia telah mengenal dan mempunyai cara menyembah kepada yang dipercayai, walaupun banyak (penganut politheisme). Mereka meyakini bahwa dewa dan dewi adalah makhluk yang indah dan sempurna sesuai mitos, sehingga pembuatan patung-patung dan reliefnya pun dalam penggambarannya menampilkan keindahan yang sempurna. Tiap jenis karya diciptakan menurut kaidah-kaidah yang menunjukkan kesempurnaan dan kemegahan bentuk, hingga menjelang keruntuhan Byzantium Lama (sekitar tahun 751M). Keindahan dan kemegahan karya seni yang kemudian hancur ketika Byzantium jatuh ketangan Turki, dan Hagia Sophia yang semula adalah gereja dengan bentuk atap kubahnya, menjadi bentuk masjid dengan tambahan empat menara di tiap sudutnya. Seperti yang telah tercatat dalam sejarah bahwa tahun 700M kesenian Byzantium mendapat serangan dari bangsa Arab (Susanto 2002: 23). Salah satu contoh karya mozaik jaman itu yang terkenal di Ravenna adalah penggambaran Raja dan Ratu memakai nimbus (sebagai mahkota) beserta para pengiring (gambar 1).

Gbr 1. (Sumber: Lowry 1966: 188)

(5)

Karya-karya seni yang diciptakan pada masa klasik Yunani kuno didasari oleh keinginan jiwa untuk selalu memuja kepada yang memberi kehidupan manusia, sebagai bentuk persembahan, sehingga tiap karya tersebut tidak selalu mencantumkan nama kreatornya. Hal ini dapat dilihat melalui karya-karya patung maupun relief dan bangunan-bangunan kuil, sampaipun pada bentuk bangunan profan. Prinsip memuja atau menyembah kepada sang pencipta masa itu sama dengan yang dilakukan oleh manusia pada abad berikutnya, yaitu mengagungkan figur-figur yang dianggap suci, namun sudah percaya pada Yang Satu, ialah Tuhan sang pencipta. Terlebih pada awal abad ke-8, masa berakhirnya Patristik Yunani, yang justru merupakan awal pengaruh bagi Abad Pertengahan tentang iman percaya Nasrani. Hal tersebut diuraikan dalam buku Sumber Pengetahuan jilid 3 dari Johannes Damascenus (dalam Bertens 1990: 21).

Sesuai catatan sejarah, kebudayaan dan kesenian Yunani (terutama keseniannya) sangat berpengaruh terhadap kesenian Nasrani, mulai dari penggambaran Hermes Kriophoros yang diwujudkan sebagai Nabi Isa (Yesus Kristus) serta lukisan-lukisan dindingnya yang menggunakan bentuk dan gaya Yunani, walau tema-temanya mengikuti cerita yang ada di dalam Kitab Suci. Karya-karya tersebut dikembangkan oleh para seniman Nasrani sampai kekuasaan Romawi jatuh. Kejatuhan Romawi ini semakin memperlebar kebebasan kaum Nasrani berkarya, terutama pada bangunan-bangunan profan yang dijadikan gereja dengan perombakan struktur fungsi bantuknya, seperti Basilika-basilika di Roma yang mengalami perombakan besar-besaran seperti yang sekarang menjadi Gereja St. Peter. Hal tersebut juga karena dukungan Kaisar Constantianus Agung tahun 313 yang mengeluarkan pernyataan ‘Edik Milano’ yang berisikan kebebasan bagi orang Nasrani memeluk agamanya. Agama Nasrani kemudian berkembang sampai keseluruh propinsi kekaisaran Romawi, dan sejak itu merupakan awal kejayaan dan keemasan Patristik (bapa-bapa gereja, yaitu para tokoh pujangga Nasrani yang merintis dasar intelektual bagi perkembangan teologi Kristen pada awal Masehi) dan berlangsung sampai jaman Byzantium. Hal ini dinyatakan oleh Bertens (1990: 22) bahwa “kebudayaan dan kesenian Nasrani semakin tinggi, dan selama Abad Pertengahan kesenian berpusat di Byzantium”. Sejak Kaisar Theodosius menyatakan agama Nasrani sebagai agama negara, kesenian Kristen semakin berkembang walau pun dalam bidang filsafat kreativitas seakan berhenti.

(6)

Pada abad-abad sesudahnya kebudayaan dan kesenian Eropa dapat dikatakan hancur karena peperangan antara abad ke-9 - 10, juga dengan ilmu pengetahuannya. Hal ini dikatakan pula oleh Hadiwijono (1990: 87-88) bahwa “sejak abad 6-7 segala perkembangan ilmu seakan terhenti karena kekacauan hingga pemerintahan Karel Agung (742-814) membangkitkan kembali bidang-bidang kesenian, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan filsafat, yang hidup subur di Eropa Barat sampai abad ke-12”. Namun disaat kekacauan melanda, kesenian di biara-biara justru berkembang karena dukungan dan bimbingan para pemimpin agama, sehingga segala jenis kesenian ‘berbau’ agama, tetapi dibidang sosial seakan tidak disentuh sama sekali. Biarpun bangunan dibuat dalam bentuk Basilika yang sederhana, tetapi langit-langitnya tetap harus berbentuk lengkung-lengkung yang cocok sebagai bangunan gereja. Perilaku dan perbuatan hasil tangan manusia harus ditujukan dan diperuntukkan pada Tuhan sejak jaman Byzantium, serta saat Kaisar Justinianus berkuasa, sehingga gereja dan agama pada saat itu merupakan pusat atau pengendali aktivitas dalam kehidupan religi manusia.

Manusia sebagai mahluk religi dalam pengalamannya merasa benar-benar bergantung pada Tuhan, harus homat dan penuh khidmat. Menurut Drijarkara (1978: 68) pandangan dan sikap demikian dapat menerangkan seluruh tingkah laku manusia dalam religi, dan religi adalah suatu cara menyeluruh keinginan-keinginan yang egoistis (171). Agak berbeda dengan pendapat Petrus Abaelardus (1079-1142) yang dipakai adalah rasionalistis, yaitu menundukkan iman kepada akal, berpikir sering diberi tempat di dalam iman (Hadiwijono 1990: 96). Perbedaan tersebut sejalan dengan tantangan yang terjadi pada sekitar abad ke-11 dalam pemikiran filsafati dan teologis, yaitu muncul pertentangan antara para intelektualis dan non-intelektualis. Para ahli pikir berpendapat bahwa iman adalah sumber tunggal pengetahuan yang absolut dan dipercaya. Sampai abad ke-12 peradaban ini bertahan, apalagi didukung oleh gereja yang memang mempunyai otoritas menanamkan dogmanya untuk manusia hanya mengarahkan kehidupannya pada satu tujuan yang dibenarkan dan bersifat tetap (Hadiwijono 1990: 90-93).

Gereja pada Abad Pertengahan sangat berkuasa disegala bidang, sehingga melampaui batas kewenangannya sebagai gereja. Dalam Abad Iman diungkapkan bahwa para uskup di Roma juga mengurusi hal-hal keduniawian, seperti pemilihan para pejabat kota, penggunaan dana-dana masyarakat hingga pada masalah pertahanan negara (Fremantle 1986: 32). Banyak peristiwa dan masalah yang ditimbulkan dari gereja, yang menyebabkan umat semakin kritis terhadap gereja tersebut, karena bukan saja kebobrokan berdampingan dengan kesucian, tetapi juga perebutan kekuasaan antara Paus dan Kaisar atau Raja serta bangsawan. Lebih memprihatinkan lagi, di seluruh Eropa hanya ada satu gereja saja (Fremantle 1986: 11-12), ditambah pula bahwa masa itu Paus melalaikan tugasnya sebagai gembala rohani bagi umat, mereka lebih tertarik pada sastra dan kesenian daripada pembaharuan rohani, serta lebih memperhatikan politik daripada kesalehan

(7)

(Heuken Vol. IV. 1994: 100). Kondisi demikian kemudian menimbulkan konflik antara umat terhadap para pemimpin agama. Para humanis Kristen mengkritik kebobrokan para uskup tersebut sehingga seorang Marthin Luther King memimpin gerakan Reformasi bersama dengan para umat yang gelisah. Berkaitan dengan peristiwa itu muncul pepatah :”Erasmus (filsuf) yang mengeluarkan telur dan Luther yang menetaskan” (Heuken Vol. IV. 1994: 100).

Dalam bidang kesenian (lukisan, patung, pahat, dan arsitektur) yang dominan pada Abad Pertengahan terlihat sangat mengikuti kaidah-kaidah yang ada dalam dogma agama, bahwa semua cipta karya manusia untuk Tuhan. Walaupun bentuk karya berbeda-beda, tetapi tujuan seni adalah sama yaitu untuk mengungkapkan keagungan bagi Sang Pencipta, sehingga dalam berkarya mereka yakin bahwa ada hubungan antara ciptaannya dengan Pencipta tersebut. ‘Orang Abad Pertengahan akan merasa bangga dan terpesona pada karya-karya yang bukan “demi seni” tetapi diperuntukkan bagi Tuhan, karena seni lahir dari iman yang semata-mata bersifat fungsional. Seni diperuntukkan bagi pengabdian pada setiap hal yang menjadi pengetahuan dan kepercayaan jaman itu’, (Fremantle 1986: 117).

Bentuk gereja yang tinggi dengan langit-langit (atap) lengkung bergaya Romawi yang dikenal dengan sebutan Romanesk, menunjukkan kemegahan, keagungan bagi Tuhan. Bentuk bangunan profannya mengikuti gaya gereja yang vertikal. Semakin kelihatan lagi pada arsitektur gereja bergaya

Gotik,{menurut Susanto (2002: 47) selama 3 abad lebih seni Gotik menjadi seni dunia Eropa Barat)}

dengan langit-langitnya yang runcing, dilengkapi ornamen pada interior dan eksterior gereja dalam bentuk patung dan relief yang menggambarkan ‘orang-orang suci’. Ribuan patung memenuhi bangunan seperti di Portal Royal dari gereja Chartres (Fremantle 1986: 128-131), atau pahatan karya Donatello yang berjudul St.John Sang Penginjil. Karya glass in lood (stained glass, kaca patri) pun memenuhi jendela gereja dengan ‘figur-figur orang suci’ (di Katedral Notre-Dame, Perancis dan Katedral Chartres) seperti contoh glass in lood yang berdiameter 11 meter, di gereja Chartres yang berjudul Mawar Perancis (gambar 2) sebagai penghormatan terhadap Santa Maria, serta karya-karya

mozaik dan fresco

Gambar 2.

(8)

Tema dan kisah di Kitab Suci menjadi acuan atau pokok dalam setiap karya lukis, sehingga selalu mengutamakan cita agama, mengarah keTuhan, lebih mengandung pada suatu pengertian dari pada bentuk, menuju corak lukisan yang ideoplastis. Corak yang berhubungan antar manusia seakan-akan tak tersentuh, padahal dengan religi manusia merasakan hidup bersama dengan sesama, merupakan bagian dari masyarakat, bahkan dengan seluruh kosmos, karena keyakinan itu konkret. Semua jenis ciptaan karya seni sepertinya mengandung pesan sebagai alat peraga terhadap pemeluk agama Nasrani. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa paham yang dianut pada abad itu adalah teosentris, karena Tuhan dan agama menjadi pusat dalam kehidupan manusia, dan juga dalam aktivitas berkreasi seni.

Bagi para humanis percaya adanya kuasa Tuhan, tetapi hal-hal yang alamiah yang sudah dipunyai manusia itu sendiri memiliki nilai cukup, dan ada pergeseran nilai-nilai (abad ke-13) yaitu yang sakral menuju ke profan seperti pelukis Giotto, walau pun dia mewakili Abad Iman, tetapi karyanya banyak menampilkan tokoh masyarakat biasa, juga dengan minat besar akan yang konkret, partikular dan individual, demikian Sutrisno (1993: 41) menambahkan. Bukan pada aspek kesenian saja, melainkan disegala bidang muncul pergeseran nilai dan hakikat kehidupan manusia, sampai abad ke-15 ada kecenderungan perselisihan dan perpecahan yang akan mengakhiri Abad Pertengahan. Kaum bangsawan dan hartawan menunjukkan kekuasaannya melalui kekayaannya (mengarah ke kapitalisme) ke dalam kehidupan masyarakat, menjadi cenderung individualistik dan mengarahkan pada hal-hal duniawi. Sejak masa inilah karya-karya banyak diciptakan berdasarkan pesanan dari kaum kapitalis, dan abad baru muncul dengan menunjukkan kembali pada hakekat manusia sebagai mahluk individu.

Karya Seni Masa Renaisans

Pada saat orang mencari jalan yang memberikan alternatif untuk kebudayaan yang masih dikenal sebagai kebudayaan Yunani-Romawi, suatu kebudayaan klasik yang sangat diagungkan dan sebagai contoh untuk segala bidang kultural, mulailah orang menemukan kembali pribadi mereka sendiri. Seakan mereka lahir baru, berpegang pada pandangan hidup mereka sendiri sebagai manusia bebas dari tekanan. Pandangan hidup masa ini disebut sebagai renaissance (=kelahiran baru), suatu pandangan hidup yang kembali kepada pribadi manusia itu sendiri. Dengan dukungan para humanis Italia, gerakan pembaharuan peradaban Renaisans, dibangkitkan. Orang kembali kepada sumber

(9)

pengetahuan dan keindahan, orang kembali memiliki norma-norma yang berlaku bagi hikmat dan kesenian manusia (Hadiwijono 1991: 11).

Pada masa Renaisans orang merindukan pemikiran yang bebas, seperti pada jaman Yunani. Dikatakan oleh Rizal. dan Misnal (2004: 70) bahwa orang mulai berpikir baru, berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini mengekang kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan. Sikap dan pandangan hidup manusia jaman kini sebagian besar ditentukan oleh cara berpikir rasional yang dikembangkan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan.

Menurut Heuken (Vol.IV 1994: 99), masa Renaisans yang dimulai pada abad ke-14 adalah jaman peralihan dan gerakan ke jaman baru Eropa, yaitu pandangan hidup tidak lagi kegereja sebab tidak ada lagi kepercayaan terhadap para pemimpin gerejanya karena berbagai kasus ketidakbenaran dan penyelewengan dari para pemimpin tersebut, dan mencapai puncaknya pada akhir abad ke-15. Pandangan baru ini beranggapan bahwa bukan hanya gereja yang merupakan satu-satunya alat menyatukan diri dengan Tuhan (Arifin 1985: 100). Perhatian dipusatkan pada manusia dan dengan dunia, bukan lagi teosentris, melainkan antroposentris. Aktivitas dan kreasi manusia melalui kehidupan sehari-hari dengan manusia lain dapat sebagai media kehidupan bagi Tuhan. Dalam religi manusia dilakukan secara manusiawi, secara realistik menurut logika yang dipahami sebagai pemahaman humanistik religius (Drijarkara 1990: 170).

Humanisme dalam idiologi Renaisans mempelajari dan memberi pandangan baru terhadap kesenian dan kesusastraan yang membuat orang semakin optimis dan menghargai hal-hal yang baik dalam hidup, sehingga muncul berbagai penemuan di bidang ilmu dan pikiran-pikiran baru. Pengetahuan yang bukan berarti lepas sama sekali dari iman, karena bagaimanapun iman adalah awal pengetahuan, karenanya iman harus berkembang untuk menjadi pengetahuan. Pada masa itu menurut Klemens (dalam Hadiwijono 1990: 74) bahwa pengetahuan perlu bagi orang Kristen yang dapat berpikir secara lebih mendalam.

Humanisme cenderung kembali pada bentuk-bentuk klasik yang berpengaruh pada hasil karya seni (seperti seni rupa dalam penyusunan elemen-elemen yang mengikuti kaidah-kaidahnya). Tujuan penciptaan karya seni pada kebutuhan jiwa yang duniawi, dan masa Renaisans adalah masa kelahiran baru dari keinginan jiwa. Suatu masa, yang tidak lagi terikat oleh gereja dan merupakan kelahiran baru peradaban Klasik Yunani-Romawi. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur yang menyadap keagungan bentuk klasik Yunani-Romawi tersebut. Bentuk bangunan yang vertikal, diganti menjadi horizontal, bahkan gereja St. Petrus di Roma pun direnovasi oleh Michelangelo dan arsitek Bramante, serta bangunan lain menjadi lebih humanistik, karena setiap orang pasti membutuhkan orang lain. Pentingnya orang lain dalam kehidupan pribadi seseorang secara antropologi, orang berpikir tentang

(10)

manusia dengan segala kebersamaannya. Manusia dimaknai sebagai mahluk sosial, sehingga menurut Heidegger (dalam Huijbers 1987: 42), kebersamaan merupakan suatu eksistensial.

Karya-karya seni yang humanistik pada masa Renaisans ini dapat ditengarai pada tema, bentuk dan unsur lain yang bebas yang menampilkan kejadian keseharian atau aktivitas manusia pada umumnya.dan obyek alam. Beberapa seniman yang juga menjadi filsuf kesenian, dalam mencipta karya seni berdasar pada pengamatan, penelitian terhadap alam, termasuk pada figur manusia yang menjamin keberadaan karya seni dan pengalaman estetis dalam mengekspresikan hal-hal yang dihayatinya. Dalam bentuk karya itu sendiri mengikuti dan menerapkan aturan-aturan teroretisnya sehingga ujud penciptaan karya tersebut sangat rasionalistis. Bahkan teori seorang Rene Descartes sempat mempengaruhi aspek estetika.

Pada bentuk karya patung, pengambilan canonnya mengacu pada bentuk figur klasik Romawi yang atletis dan rupawan, seperti karya-karya Michelangelo yang lebih mengutamakan bentuk (patung Pieta) atau Donattelo dengan ‘David’nya yang bercorak klasik dan realistis Renaisans yang tidak ada pada Abad Pertengahan. Pada karya-karya lukispun (termasuk lukisan dari kaca yang diwarnai dan cukilan kayu dari Durer) sudah memperhatikan elemen-elemen cahaya, warna dan perspektif, yang pada Abad Pertengahan tidak diperhatikan. Tema-tema alam terutama manusia menjadi pusat obyek lukisan, bukan para Nabi atau orang suci dalam Alkitab (non agama) seperti pada Abad Petengahan. Salah satu contoh seorang seniman besar seperti Leonardo da Vinci yang serba bisa disegala ilmu (Umo Universale) dengan ‘Monalisa’ atau ‘The Last Supper’nya, menyajikan komposisi lukisan dengan unsur cahaya dan warna yang bebas, sebebas jalan pikiran dan kepuasan ungkapan jiwa di masa Renaisans. Hal tersebut dapat dicermati pada prinsip-prinsip seni dalam gambar dari lukisan Leonardo dengan judul Makan Malam Terakhir (gambar 3), dan lukisan dari Michelangelo yang berjudul Patung

Pemuda (gambar 4 yang tidak bertema agama) berikut ini:

Gbr. 3 “Last Supper”. Leonardo da Vinci (Sumber: Myers 1963: 159)

Gbr. 4 “Patung Pemuda” Michelangelo (Sumber: Arifin 1985: 106)

(11)

Di Italia mau pun di luar Italia (Perancis, Jerman dan Belanda) yang terkena imbas Renaisans, melakukan pembaharuan dan kebebasan berkreasi. Semua menunjukkan kebebasan mempersoalkan yang telah menjadi anggapan kolot, untuk diolah menjadi sesuatu pandangan baru (Arifin 1985: 102). Pandangan yang bercita-cita akan kelahiran kembali manusia yang bebas. Memaknai kebebasan kehidupan manusia yang memiliki nilai sebagai manusia individualistis. Masa Renaisans membawa pada pandangan hidup sebagai pertentangan terhadap Abad Pertengahan yang menimbulkan banyak gerakan bersatu, untuk menentang pola pikiran abad yang dogmatis, sehingga masa Renaisans adalah masa yang melahirkan suatu perubahan dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat (Mustansyir dan Munir 2004: 69). Di samping itu makna keberadaan manusia menurut van der (1991: 170) terletak dalam usaha menghumanisasikan manusia dan dunia dengan bertindak kreatif.

Pertentangan Masa Renaisans terhadap Abad Petengahan

Abad Pertengahan mempunyai hubungan dengan abad-abad sebelumnya, yang diawali dari pemujaan banyak dewa dan dewi (politheisme) bangsa Yunani-Romawi. Penindasan bangsa Romawi terhadap orang-orang Kristen memunculkan peradaban Katakomba (liang atau terowongan bawah tanah yang dipakai untuk bersembunyi dan tempat ibadat kaum Nasrani tersebut). Pada dinding terowongan itu terdapat banyak lukisan yang menggambarkan Nabi Isa sebagai Dewa Hermes (karena masih terpengaruh oleh kesenian Romawi), sampai pada jaman Basilika orang lalu berkiblat pada agama Kristen karena undang-undang dari Kaisar Konstantin hingga akhir Abad Pertengahan. Pada Abad tersebut yang dominan yakni setiap ciptaan karya tergantung pada Allah, dan manusia ingin mengetahui secara ratio akan keberadaan Allah itu yang muskil akan terjadi selain melalui ciptaan-ciptaan tersebut.

Manusia adalah salah satu mahluk yang berstruktur materi bentuk, dan memiliki jiwa. Menurut filsuf Epikuras (dalam van der Weijs 1991:63) kesenangan tertinggi adalah kesenangan dan ketenangan jiwa. Kesenangan hati dan kedamaian jiwa membuat tak tergoyahkan dalam segala situasi kehidupan ini. Tampilan dalam bidang ilmu pengetahuan saat itu adalah teologia. Para ilmuwan sama dengan para teolog, sehingga aktivitas ilmiah pun menjadi aktivitas keagamaan. Kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama, dan semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini ialah arcilla theologia, abdi agama (Rahman 2003: 21). Hingga abad ke-10 pandangan Abad Pertengahan di Eropa semakin kabur, bahkan disebut sebagai abad kegelapan karena dalam abad-abad itu perkembangan pola pikir Eropa sangat dikendalikan oleh keharusan

(12)

untuk menyesuaikan dengan ajaran agama, dan filsafat abad itu dipandang terlampau seragam (Mustansyir dan Munir 2004: 66-67). Sampai akhir Abad Pertengahan, filsafat erat berhubungan dengan teologi, misalnya Agustinus pada abad ke-4, Anselmus dari Conterbury abad ke-11, Albertus Agung dan Thomas Aquinas abad ke-13 (Heuken Vol. I: 323). Dikatakan pula oleh Harun (1990: 105) bahwa, filsafat adalah pengetahuan insani yang bersifat umum, yang hasil pemikirannya diterima oleh setiap orang berakal, sebaliknya teologie memberikan kebenaran-kebenaran yang mengatasi segala yang bersifat alamiah, karena teologia memiliki kebenaran-kebenaran ilahi sebagai sasarannya.

Makna kehidupan menjadi bahagia dalam persatuan dengan Tuhan, demikian menurut Boethius (dalam van der Weij 1991: 72), tetapi bukan berarti manusia terkekang karenanya dan tidak dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Anggapan bahwa kehidupan berpusat pada Tuhan dan agama pada Abad Pertengahan serta tuntutan karya yang ideoplastis, telah ditentang oleh masa Renaisans. Kekuasaan tidak lagi ditangan para uskup, kekuasaan agama diprotes keras oleh umat sehingga terjadi pergolakan dan lahir gerakan Reformasi, gerakan yang menginginkan kelepasan dari pengaruh dogma gereja yang sangat mengekang pribadi manusia. Gerakan yang ingin lepas dari tekanan yang diatur agama yang ‘mono’ di Eropa pada saat itu. Gerakan yang dari pihak lain (para hartawan dan bangsawan) membawa pengaruh kapitalisme terhadap pandangan hidup yang individualistik di berbagai bidang. Pandangan tersebut berpengaruh juga pada penciptaan karya seni yang tidak lagi bertemakan keagamaan, sebab dalam pengetahuan suatu kebenaran diterima karena kejelasannya yang dikuatkan dengan bukti-bukti, sedangkan iman tidak ada kejelasan yang berdasarkan akal, demikian pernyataan Albertus Agung (dalam Hadiwijono 1990: 92).

Kemunculan idiologi Renaisans adalah masa menemukan diri pribadi yang tidak lagi terikat oleh gereja, masa yang mengarah dan berpegang pada individualisme serta menemukan hak-haknya sebagai kaum humanistik. Suatu masa yang menentang ideologi teosentris untuk mengarah pada ideologi yang lebih humanis-individualistik. Masa yang menunjuk pada esensi rasionalitas, walau tidak seutuhnya mencapai realitas karena aspek intuisi yang kadang mempengaruhi jalan pikir manusia.

Penutup

Pembaharuan pandangan hidup Abad Pertengahan disebabkan perilaku dan kebijakan dari para pemimpin agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dicanangkan, selain peraturan gereja yang sangat membelenggu kebebasan individu. Diawali pada abad ke-14 wawasan manusia akan pengetahuan inderawi semakin terbuka, pandangan tentang kehidupan yang berfokus pada Allah mengalami perubahan. Ada pergeseran pada intuisi dan rasionalitas, yakni pandangan hidup yang tidak lagi vertikalistis, tetapi menjadi horizontalistis. Agama mengakibatkan manusia bergumul

(13)

dengan hati nuraninya dan menghalangi bagi perkembangan kehidupnya yang bebas, sehingga menjadi individu-individu yang tidak dapat bertumbuh. Dengan demikian hubungan antara manusia sangat terbatas, padahal sesungguhnya hidup dalam kebersamaan, hidup bersosialisasi, merupakan sesuatu yang esensial, sebagai suatu sifat mutlak eksistensi manusia. Para filsuf dan ilmuwan lain menegaskan, bila hubungan orang dengan orang lain tidak diperhatikan, maka akan terjadi bahaya individualisme. Orang yang individulistis selalu bertumbuh, yang perlu dimengerti keberadaannya, dan mereka muncul karena mempunyai harta, mampu menjadi kapitalis yang melahirkan kaum feodal. Seiring dengan sikap tersebut manusia menemukan kembali pribadinya, suatu sikap pribadi yang merupakan kelahiran jaman pergerakan serta peralihan dari Abad Pertengahan ke masa baru di Eropa.

Pandangan manusia pada masa Renaisans ini menjadi lebih duniawi, dan orang mengetahui dua hal yakni, tentang dunia dan diri sendiri yang membawa kebebasan pada jalannya sendiri. Selain itu mereka menyelidiki apa yang diketahui, sehingga filsafat pun bersifat individualistis, seperti kehidupan konkret manusia masa itu yang individualistik dan pengetahuan yang diperolehpun atas kekuatan sendiri.

Pada masa Renaisans ini, karya seni tidak berpusat pada tema dan tujuan agama lagi, melainkan berkarya adalah wujud hasrat emosi atau ekspresi serta kreasi sebagai ungkapan pribadi yang memiliki hasrat dan eksistensi diri. Walau kadang pengaruh Abad Pertengahan masih terasa dalam karya rupa (lukis dan patung khususnya) tetapi dalam prinsip-prinsip penataan atau komposisi elemen-elemennya tidak sama seperti pada Abad Pertengahan. Bukan sekedar bentuk dan fungsi suatu karya diciptakan, tetapi apa dan bagaimana seharusnya karya diciptakan sebagai ungkapan jiwa manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Djauhar. 1985. Sejarah Seni Rupa. Bandung: CV. Rosda.

Bakker J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Bertens, Kees. 1990. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Coomaraswamy, Ananda K. 1956. Christian & Oriental Philosophy of Art. New York: Dover Publications, Inc.

Drijarkara, N. 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan.

Fremantle, Anne. 1986. Abad Iman. Abad Besar Manusia, Sejarah Kebudayaan Dunia. Jakarta: Tira Pustaka.

(14)

Hadiwijono, Harun. 1991. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yoyakarta: Penerbit Kanisius. Heuken, Adolf. 1994. Ensiklopedi Gereja Vol. I dan IV. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Huijbers, Theo.1987. Manusia Merenungkan Dunianya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Krystal, Barbara dan Soetrisno, Eddy (Ed.). Tt. 100 Seniman: Yang Membentuk Sejarah Dunia. Jakarta: Penerbit Progres.

Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rachman, Maman. 2003. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT UNNES Press.

Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yoguakarta: Penerbit Kanisius. Sutrisno, Muji Fx. dan Verhaak, Christ. 1993. Estetika. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan pada Tabel 3 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa pemberian pakan tambahan pada pejantan tidak berpengaruh terhadap performans tubuh pejantan, hal ini

Data Masukan Yang Diharapkan Pengamatan Kesimpulan Klik Menu Pencatatan Aktiva/inventaris Menampilkan form Pencatatan Aktiva/inventaris Dapat melihat tabel Pencatatan

Perjanjian GATT mengatur ketentuan mengenai pengikatan tarif bea masuk (tariff binding) yang diberlakukan negara-negara peserta. Di samping itu, GATT juga menetapkan

Dari kondisi sosial ekonomi buruh tani di Desa Mareje Timur Kecamatan Lembar Kabupaten Lom- bok Barat menunjukan adanya kekurangan pendapatan selain itu, sebagaian banyak

Agar hewan peliharaan kita tidak mudah terkena penyakit maka harus diberikan... a.Vaksin dan vitamin b.Makan

Menu yang ditawarkan di “La Café” sendiri adalah macam kue dan beberapa makanan berat asli khas Indonesia tetapi akan dimodifikasi dengan rasa unik dengan cita rasa yang tinggi yang

Melakukan rapat-rapat koordinasi dan pengarahan yang berhubungan dengan Melakukan rapat-rapat koordinasi dan pengarahan yang berhubungan dengan penyusunan program

Kesesuaian dan Atau Tidak Sesuai Jual Beli stishna‟ Pada Konveksi Arda Jaya Tailor Desa Payung Batu Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah dengan Fatwa