• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Agresivitas

2.1.1 Pengertian Agresivitas

Definisi paling sederhana dari agresivitas adalah perilaku agresi yang dilakukan seseorang untuk melukai orang lain maupun untuk merusak sesuatu. Konrad Lorenz berpendapat berpendapat bahwa agresi adalah naluri untuk memperthankan hidup. Karena bersifat naluriah, maka setiap saat sifat itu bisa muncul lebih lebih dalam situasi hidup yang mengancam eksistensi hidup seseorang (Fuad, 2008).

Sedangkan menurut Baron dan Richardson agresi didefenisikan sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan tersebut (Krahe, 2005). Menurut Berkowitz (1995) bahwa agresivitas merupakan keinginan yang relative melekat untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Berkowitz salah seorang yang paling kompeten mengenasi studi tentang agresivitas, menambahkan bahwa agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksud untuk menyakiti seseorang, baik fisik maupun mental. Karena itu secara sepintas, setiap perilaku yang merugikan dan dan menimbulkan korban pada pihak orang lain dapat disebut sebagai perilaku agresif. (Sarwono, 1997) dalam bukunya (Sobur, 2009).

(2)

Sedangkan Calhoun & Acocella (1990) mengatakan bahwa sikap agresi adalah penggunaan hak sendiri dengan cara melanggar hak orang lain. Apabila pribadi yang agresif bertindak demi diri sendiri, dia melakukan hal itu dengan tidak mmenghina dan merendahkan orang lain. (Sobur, 2009)

Berdasarkan teori teori yang telah dipaparkan diatas, dapat penulis pahami bahwa agresivitas perilaku yang dilakukan seseorang yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik ataupun merusak benda yang ada disekelilingnya.

2.1.2 Jenis-jenis Agresivitas

Menurut Berkoeitz agresi dibedakan dua macam yaitu : 1. Agresi instrumental

Agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh seseorang sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Agresi benci (hostile aggression ).

Agresi benci adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan, atau kematian pada sasaran atau korban (Kaswara, 1988). Sedangkan jika dikelompokan menurut norma atau masyarakat umum ada agresi dibedakan menjadi dua yaitu prososial dan agresi anti sosial. Agresi prososial adalah tindakan agresi yang sebenarnya diatur atau disetujui oleh norma sosial. Sedangkan agresi anti sosial adalah tindakan melukai orang lain dimana tindakan tersebut secara normative dilarang oleh norma masyarakat.

(3)

Selain pembagian diatas, Kenneth Moyer lebih kompleks lagi membagi jenis jenis agresi kedalam tujuh tipe, yaitu :

a. Agresi Predator

Agresi yang dibangkitkan oleh kehadiran obyek alamiah (mangsa) agresi ini biasaanya kerap terjadi pada spesies hewan.

b. Agresi antar jantan.

Agresi secara tipikal dibangkitkan oleh kehadiran sesame jantan pada suatui spesies.

c. Agresi ketakutan

Agresi yang dibangkitkan oleh tertutupnya kesempatan untuk menghindar dari ancaman.

d. Agresi tersinggung

Agresi yang dibangkitkan oleh perasaan tersinggung atau kemarahan; respon menyerang muncul tehadap stimulus yang luas (tanpa memilih sasaran), baik berupa obyek hidup ataupun mati.

e. Agresi pertahanan

Agresi yang dilakukan oleh individu untuk mepertahankan daerah kekuasaannya dari ancaman atau ganguan sesamanya. Agresi pertahanan ini disebut juga agresi territorial.

f. Agresi maternal

Agresi yang dilakukan oleh para wanita untuk melindungi anak-anak mereka dari berbagai ancaman.

(4)

g. Agresi instrumental

Agresi yang dipelajari, diperkuat (reinforcement) dan dilakukan untuk memperoleh tujuan tertentu.

2.1.3 Faktor-faktor Agresivitas

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh banyak ahli tentang faktor faktor yang menyebabkan timbulnya agresi, faktor faktor tersebut dibedakan kedalam dua jenis, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor yang terkandung dalam dua jenis diatas dapat dijabarkan oleh para ahli sebagai berikut, yaitu :

1. Frustasi

Dollar – Miller dan para koleganya mengatakan bahwa frustasi bisa mengarahkan kepada agresi. Yang dimaksudkan frustasi itu sendiri adalah situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Disamping itu kekuatan frustasi akan mempengaruhi kekuatan agresi, makin kuat frustasi makin kuat agresi yang akan terjadi (Kaswara, 1988).

2. Amarah

Marah merupakan emosi yang memiliki ciri ciri aktifitas system saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang ,meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam.

(5)

3. Kekuasaan dan ketaatan

Penyalahgunaan kekuasaan menjadi kekuatan yang memaksa (coercive) memiliki efek langsung maupun tidak langsung dalam munculnya agresi. Kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau kelompok orang untuk merealisasikan keinginan-keinginan dalam tindakan komunal bahkan meskipunharus berrhadapan dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya (Kaswara, 1988). Milgram berpendapat bahwa kepatuhan Individu terhadap otoritas mengarahkan individu tersebut kepada perilaku agresi.

4. Provokasi

Sejumlah teori percaya bahwa provokasi bisa mencetuskan kemunculan agresi. Karena provokasi oleh pelaku agresi dianggap sebagai ancaman atau bentuk serangan yang harus dihadapi dengan respon agresif. Dalam mengahadpi provokasi yang mengancam, para pelaku agresi agaknya cenderung berpegang para prinsip dari pada diserang lebih baik menyerang dahulu, atau dari pada dibunuh lebih baik membunuh duluan (Kaswara, 1988).

5. Obat obatan dan Alkohol

Seseorang akan menjadi lebih agresif ketika mereka mengkonsumsi obat-obatan dan lakohol yang sama- sama mengandung zat adiktif. Subyek yang menerima alkohol dalam takaran-takaran yang tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan subyek yang tidak menerima

(6)

alkohol atau menerima alkohol dalam taraf yang rendah. Alkohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf agresivitas juga tinggi.

6. Suhu udara panas

Ada pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingka h laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya.

7. Lingkungan

Lingkungan yang sehat akan memberikan pengaruh yang sehat pula pada perilaku individu.

8. stress

Stress merupakan reaksi terhadap ketidakmampuan individu dalam menghadapi ganguan fisik maupun psikis, karena itu lah stress juga dapat memicu munculnya perilaku agresi.

2.1.4 Aspek – aspek Agresivitas

Agresi dapat dikategorikan menjadi empat, yang mana hal ini dijadikan aspek aspek perilaku yang mengindikasikan tindakan agresivitas, diantaranya :

(7)

1. Menyerang pada fisik

Melukai seseorang secara fisik, termasuk didalamnya adalah memukul, menendang dan merampas.

2. Menyerang pada benda atau obyek

Maksudnya adalah menyerang benda mati yang tidak ada hubungannya dengan target yang memunculkan amarah, yang termasuk didalamnya adalah memukul, membanting, dan melempar.

3. Menyerang secara verbal atau simbolik

Menyerang atau melukai orang lain secara verbal, mengejek , menghina, dan mengancam merupakan bentuk agresi.

4. Pelanggaran terhadap hak milik orang lain atau menyerang daerah orang lain

Bentuk agresi yang dilakukan untuk melanggar hak milik orang lain, seperti memaksakan pendapat dan merusak barang atau hak milik orang lain. (Muhammad Taufik, 2011)

2.2 Konformitas

2.2.1. Pengertian Konformitas

Konformitas merupakan perilaku tertentu yang dilakukan, dikarenakan orang lain atau kelompoknya melakukan suatu peilaku atau tindakan yang sama. maka individu juga melakukanya walaupun individu tersebut menyukai atau tidak

(8)

menyukai apa yang terjadi (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Konformitas tidak hanya sekedar bertindak sesuai dengan tindakan yangdilakukan oleh orang lain, tetapi juga berarti dipengaruhi oleh bagaimana mereka bertindak. Individu bertindak atau berpikir secara berbeda dari tindakan dan pikiran yang biasa kita lakukan jika kita sendiri.

Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap

dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial.(Sarlito, 2009). Konsep konformitas didefiniskan oleh Shepard sebagai bentuk interaksi yang didalamnya seorang berperilaku terhdapap orang lain sesuai harapan kelompok. Pada umumnya kita cenderung bersifat konformis. Berbagai studi memperlihatkan bahwa manusia mudah dipengaruhi orang lain. Salah satu diantaranya ialah studi Muzafer Sherif, yang membuktikan bahwa dalam situasi kelompok orang cenderung membentuk norma sosial.

Jon M Shepard mendefinisikan konformitas (conformity) sebagai, “the type of social interaction in which an individual behaves toward others in ways expected by the group”, atau dengan bahasa yang lebih sederhana, konformitas adalah bentuk interaksi social yang di dalamnya seseorang berprilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok. Sementara Kesler memberikan pengertian;

“ Conformity is a change in behavior or belief as a result of real or imagined group of pressure “, Konformitas adalah sebuah perubahan dalam tingkah laku sebagai sebuah hasil nyata atau sesuai dengan apa yang dibayangkan dalam sebuah kelompok. Dan menurut Soerjono Soekamto, konformitas berarti “penyesuaian diri

(9)

dengan masyarakat dengan cara mengindahkan norma dan nilai masyarakat”. Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial.(Sarlito, 2009).

Konformitas dapat terjadi dalam beberapa bentuk dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan remaja. Apakah remaja suka lari pagi karena orang lain juga melakukan hal yang sama, apakah remaja membiarkan rambutnya tumbuh panjang ataupun di potong dengan gaya-gaya tertentu.( Santrock, 2003). Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang hanya dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. (Santrock, 2003). Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron, Byrne, 2008 dalam Sarlito, 2009).

Dari berbagai teori yang mendefiniskan tentang konformitas diatas, penulis menyimpulkan bahwa konformitas adalah perilaku individu yang mengikuti atau meniru perilaku kelompok agar dapat diterima oleh kelompok tersebut. Dengan kata lain, individu yang melakukan konformitas bertujuan untuk mengikuti norma yang sesuai yang berlaku dalam suatu kelompok yang hendak dimasuki atau diikutinya.

2.2.2 Dimensi Konformitas

Dalam pembentukan konformitas, terdapat dimensi-dimensi pembentuk di dalamnya. Di bawah ini merupakan dimensi konformitas menurut Sears (1999)

(10)

1. Kekompakan

Kekuatan yang dimiliki kelompok yang membuat remaja tertarik dan ingin tetap menjadi bagian dari sebuah kelompok. Semakin besar rasa suka individu terhadap kelompoknya, akan semakin besar keinginan individu tersebut untuk kompak dengan kelompok dan konformitas akan menjadi tinggi (Sears, 1999).

2. Kesepakatan

Pendapat kelompok merupakan acuan yang memiliki tekanan kuat, sehingga remaja harus menyesuaikan pendapat dengan kelompok (Sears, 1999).

3. Ketaatan

Tekanan dan tuntutan dari kelompok yang membuat remaja rela untuk melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkan perilaku tersebut. Semakin remaja taat pada kelompoknya, tingkat konformitas juga semakin tinggi (Sears, 1999).

2.2.3 Prinsip dasar Konformitas

Robert C. Cialdini, (Sarlito, 2009) dengan penelitiannya yang dilakukan melalui observasi langsung menyimpulkan prinsip dasar Konformitas adalah sebagai berikut :

a. Pertemanan atau rasa suka, kita cenderung lebih mudah memenuhi permintaan teman atau orang yang kita sukai daripada permintaan orang yang tidak kita kenal atau yang kita benci.

(11)

b. Komitmen atau konsistensi, saat kita telah mengikatkan diri pada satu posisi atau tindakan, kita akan lebih mudah memenuhi permintaan akan suatu hal yang konsisten dengan posisi atau tindakan sebelumnya.

c. Kelangkaan, kita lebih menghargai dan mencoba mengamankan objek yang langka atau berkurang ketersediaannya. Oleh karena itu, kita cenderung memenuhi permintaan yang menekankan kelangkaan daripada yang tidak.

d. Timbal-balik, kita lebih mudah memenuhi permintaan dari seseorang yang sebelumnya sudah memberikan bantuan pada kita. Dengan kata lain, kita merasa wajib membayar utang-utang budi atas bantuannya.

e. Validasi sosial, kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu tindakan jika tindakan itu konsisten dengan yang kita percaya orang lain akan lakukan juga.

f. Otoritas, kita lebih mudah memenuhi permintaan orang lain yang memiliki otoritas diakui, atau setidaknya tampak memiliki otoritas.

2.2.4. DASAR-DASAR KONFORMITAS

Seperti yang kita lihat ada beberapa faktor yang menentukan apakah konformitas akan terjadi atau tidak dan sejauh mana konformitas terjadi. Namun tetap saja hal ini tidak akan mengubah inti pokoknya yakni konformitas adalah fakta dasar dari kehidupan sosial (Baron, Byrne, 2005). Robert A. Baron dan Donn Byrne mengelompokkan menjadi dua dasar-dasar konformitas yakni:

a. Pengaruh Sosial Normatif, keinginan untuk disukai dan rasa takut akan penolakan.

(12)

b. Keinginan untuk merasa benar, pengaruh sosial informasional.

2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas

Konformitas sebagai sebuah gejala sosial mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhinya (Baron, Byrne, 2005) beberapa faktor yang tampak paling penting adalah :

1. Kohesivitas

Derajat ketertarikan yang dirasakan oleh individu terhadap sebuah kelompok. Ketika kohesivitas tinggi maka tekanan tidak terlihat untuk melakukan konformitas akan semakin besar. Karena bagaimanapun juga kita tahu salah satu cara agar diterima oleh orang-orang tersebut adalah dengan menjadi sama dengan mereka.

2. Kurangnya Informasi

Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui; dengan melakukan apa yang mereka lakukan, kita akan memperoleh manfaat dari pengetahuan mereka.

3. Kepercayaan terhadap kelompok

Individu ingin memberikan informasi yang tepat. Oleh karena itu, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok.

4. Kepercayaan diri yang lemah

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri

(13)

untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat konformitasnya. Kepercayaan diri berbanding terbalik dengan konformitas seseorang.

5. Rasa takut terhadap celaan sosial dan penyimpangan

Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung mengusahakan pesetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakannya

Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Kita tidak mau dilihat sebagai orang yang lain dari yang lain. Kita ingin agar kelompok tempat kita berada menyukai kita, memperlakukan kita dengan baik dan bersedia menerima kita.

6. Kekompakan dan kesepakatan kelompok

Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas.

7. Norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif

Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma injungtif sebaliknya menetapka yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang dapat diterima dan tidak diterima dalam situasi tertentu.

(14)

8. Ukuran kelompok

Konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat, setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu.

2.3 Fanatisme

2.3.1. Pengertian Fanatisme

Sering kali terdengar kata fanatik atau fanatisme pada berita atau satu hal yang berhubungan dengan agama dan olah raga tetapi jarang yang mengetahui deskripsi secara jelas mengenai fanatik atau fanatisme. Jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya kata fanatisme berasal dari kata fanatik, yang dalam kamus bahasa Indonesia artinya adalah teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dsb). Ini diperkuat oleh pendapat dari J.P Chaplin mengenai fanatik yaitu satu sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap satu segi pandangan atau satu sebab. Suatu sikap tersebut bisa berdasarkan pemikiran dan pemahamannya yang tidak berubah-ubah atau tetap terhadap satu segi pandangan, yang menurut Winston Churchill bahwa “A fanatik is one who can't change his mind and won't change the subject” dengan artian bahwa seseorang yang fanatik yang mana tidak bisa berubah pemikirannya dan tidak akan berubah pokok materi.

Fanatisme sendiri diartikan sebagai suatu faham fanatik terhadap suatu hal, karena dalam EYD, kata yang berakhiran isme adalah merupakan faham. Fanatik berbeda dengan fanatisme, fanatik merupakan sifat yang timbul saat seseorang menganut fanatisme (faham fanatik), sehingga fanatisme itu adalah sebab dan fanatic

(15)

merupakan akibat. Lain halnya dengan yang dikatakan oleh Frankl, orang fanatik yaitu mengingkari kepribadian orang lain.

Orang fanatik berpendapat bahwa tidak ada orang yang mengatasi dirinya dan tidak ada pendapat publik atau penguasa. Orang yang fanatik itu bukan saja tidak memiliki pendapat, melainkan juga dimiliki (dikuasai) pendapat. Dari penuturan Frankl, secara sederhananya bahwa orang fanatik adalah orang yang menguasai dan dikuasai oleh suatu pendapat, hingga dia tidak lagi dapat menerima pendapat dan bantuan dari orang lain. Dimana awal dari fanatik itu sendiri adalah dari konflik yang terjadi pada hati nurani atau moral seseorang. Bentuk-bentuk fanatisme terdiri beberapa bentuk yaitu fanatisme konsumen agama, ideologi dan politik, kesenangan, olahraga, etnik dan kesatuan. (Syafi’I, 2008)

Eysenck (dalam Chung, Beverland, Farrelly, dan kawan-kawan, 2008) yang menyatakan bahwa fanatisme adalah sikap dan pandangan yang sempit, sehingga ketat dan sifatnya menyerang.Fanatisme menurut Orever adalah antusiasme yang berlebihan dan tidak rasional atau pengabdian kepada suatu teori, keyakinan atau garis tindakan yang menentukan sikap yang sangat emosional dan misinya praktis tidak mengenal batas – batas. Fanatik cenderung bersikeras terhadap ide-ide mereka yang menganggap diri sendiri atau kelompok mereka benar dan mengabaikan semua fakta atau argumen yang mungkin bertentangan dengan pikiran atau keyakinan.

Dari berbagai pendapat mengenai pengertian fanatik di atas, dapat peneliti pahami bahwa fanatik adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang yang berlebihan

(16)

terhadap satu hal atau pandangan yang sukar diluruskan atau dirubah pemikirannya karena tidak memiliki sandaran kenyataan serta berada di sisi kemarahan orang.

2.3.2. Ciri -Ciri Fanatisme

Suatu perilaku tidak terlepas dari ciri yang menjadikan perilaku tersebut dapat disebut sebagai perilaku fanatik, yaitu:

a. Adanya antusiasme semangat berlebihan yang tidak berdasarkan pada akal sehat melainkan pada emosi tidak terkendali. Ketiadaan akal sehat itu mudah membuat orang yang fanatik melakukan hal-hal yang tidak proporsional, sehingga akhirnya melakukan hal-hal yang kurang waras.

b. Pendidikan yang berwawasan luas dapat menimbulkan benih-benih sikap solider, sebaliknya indotrinasi yang kerdil dapat mengakibatkan benihbenih fanatisme. Yang dimaksud di sini adalah ketika seseorang memiliki pendidikan tinggi dan wawasan yang luas terhadap pengetahuan yang ada, maka rasa solidaritaslah yang timbul dalam diri orang tersebut, karena dapat mengerti dan memahami serta dapat menempatkan suatu hal pada tempatnya. Sedangkan lain halnya jika seseorang yang diberi doktrin terus menerus, karena tidak diimbangi dengan wawasannya yang luas, sehingga bukan pengembangan diri berdasarkan wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki tetapi pembentukan diri yang dipaksakan berdasarkan doktrin yang diberikan secara terus menerus akan menimbulkan bibit fanatisme dalam dirinya.

(17)

2.3.3. Aspek dan Indikator Fanatisme

2.3.3.1 Aspek fanatisme menurut Goddard

Menurut Goddard, (2001) terdapat beberapa aspek fanatisme terhadap klub sepakbola diantara adalah:

1) Besarnya minat dan kecintaan pada satu jenis kegiatan. Fanatisme terhadap satu jenis aktivitas tertentu merupakan hal yang wajar. Dengan fanatisme, seseorang akan mudah memotivasi dirinya sendiri untuk lebih meningkatkan usahanya dalam mendukung klub favoritnya.

2) Sikap pribadi maupun kelompok terhadap kegiatan tersebut. Hal ini merupakan suatu esensi yang sangat penting mengingat ini adalah merupakan jiwa dari memulai sesuatu yang akan dilakukan tersebut.

3) Lamanya individu menekuni satu jenis kegiatan tertentu. Dalam melakukan sesuatu haruslah ada perasaan senang dan bangga terhadap apa yang dikerjakannya. Sesuatu itu lebih bermakna bila yang berbuat mempunyai kadar kecintaan terhadap apa yang dilakukannya.

4) Motivasi yang datang dari keluarga juga mempengaruhi seseorang terhadap bidang kegiatannya. Sedangkan indikator fanatisme sebagai berikut:

2.3.3.2 Indikator fanatisme

1) Fanatik organisasi, mengklaim yang paling benar dan yang lain salah.

2) Fanatik pada keimanannya sendiri dengan tidak didukung rasa yang toleran dan hati yang lapang.

3) Fanatisme terhadap suatu pendapat tanpa mengakui adanya pendapat lain dan merasa benar sendiri atau tidak menghormati orang lain. (Iqni, 2013)

(18)

Ada beberapa faktor yang menyebabkan sikap fanatik itu muncul, antara lain sebagai berikut:

a) Perbedaan warna kulit sehingga muncul fanatik warna kulit b) Perbedaan etnik atau kesukuan memunculkan fanatik suku c) Perbedaan kelas sosial memunculkan fanatik kelas sosial.

2.4 Kerangka Berfikir

2.4.1.1 Pengaruh Antara Konformitas, Fanatisme, dan Agresivitas,Pada Suporter Sepak Bola

Pada dasarnya manusia bersifat konformis. Hal itu dilakukannya untuk mendapat penerimaan dari suatu kelompok tersebut. Ketika sudah mencintai suatu kelompok maka individu akan melakukan apapun agar dapat diterima oleh kelompok tersebut. Rasa cinta yang besar itulah yang dinamakan fanatik. Semakin tinggi

konformitas seseorang maka semakin tinggi pula fanatismenya (Anugrah et al, 2013). Seorang yang fanatik terhadap suatu kelompok biasanya akan mengikuti dan meyakini apa yang menjadi pedoman dari kelompok tersebut. Seperti halnya seorang suporter yang mencintai suatu klub sepak bola tertentu dia akan mendukung sepenuh hati klub nya tersebut karena dia berada di dalam suatu kelompok atau lingkungan yang juga membela tim yang sama. Jika dia tidak membelanya maka dia tidak akan mendapat pengakuan dari kelompoknya tersebut. Seperti yang telah penulis paparkan diatas tentang pengaruh antara fanatisme dan agresivitas, bahwa agresivitas yang dimunculkan oleh para suporter karena rasa cinta mereka terhadap klub yang didukungnya sangat besar. Rasa cinta yang besar itulah yang dinamakan fanatik.

(19)

Dindin Hasanudin (2011) mengatakan bahwa fanatisme biasanya tidak rasional, seseorang yang fanatik memiliki keyakinan yang terlalu kuat dan tidak menggunakan akal budi sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu. Selaras dengan yang dikatakan oleh Budi (2010) bahwa kefanatisan suporter seringkali berbuah pertikaian dan perkelahian. Pertikaian, dan perkelahian yang disertai distrukis biasa dinamakan agresif. Fanatisme juga dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku agresif.

Konformitas merupakan perilaku tertentu yang dilakukan, dikarenakan orang lain atau kelompoknya melakukan suatu perilaku atau tindakan yang sama. maka individu juga melakukanya walaupun individu tersebut menyukai atau tidak menyukai apa yang terjadi (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Individu yang konformis akan melakukan apapun agar dapat diterima oleh kelompoknya. Pengaruh kelompok tersebut dapat membuat seorang suporter berbuat agresiv. Seseorang akan mudah terpengaruh melakukan perilaku agresi pada saat mendapat provokasi secara langsung dari kelompoknya (Yulya, 2015). Dasar itulah yang tak jarang membuat para suporter berperilaku anarki, karena mereka berusaha mengikuti kelompoknya agar dapat diterima dalam kelompok tersebut. Sarwono (2010) mengatakan bahwa, adanya desakan dari kelompok dan identitas kelompok (kalau tidak ikut melakukan dianggap bukan angota kelompok) dapat menyebebkan seseorang melakukan perilaku agresi. (Yulya, 2015)

(20)

Gambar 2.4.1 Kerangka Berpikir

2.5. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, permasalahan penelitian, dan tinjauan kepustakaan, maka variable bebas penelitian ini adalah Konformitas, dan Fanatisme. Sedangkan variable terikat pada penelitian ini adalah Agresivitas Dan berdasarkan gambar kerangka berpikir diatas, penelitian ini mengajukan hipotesis yaitu :

X1 (Konformitas)

Y (Agresivitas)

X2 (Fanatisme)

1. Ada pengaruh antara X1 (Konformitas) terhadap Y (Agresivitas) 2. Ada pengaruh antara X2 (Fanatisme) terhadap Y (Agresivitas)

3. Ada pengaruh antara X1 (Konformitas), dan X2 (Fanatisme) terhadap Y (Agresivitas) Konformitas Fanatisme Agresifitas H 1 H 2 H 3

Gambar

Gambar 2.4.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanol daun Afrika ( Vernonia amygdalina Del.) terhadap penurunan glukosa darah dan penurunan

[r]

Sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah spesies kumbang elaterid yang ditemukan di kawasan hutan pada lanskap TNBD lebih tinggi dibandingkan dengan di Hutan

Seng (Zn) adalah mikromineral yang ada di seluruh jaringan tubuh hewan dan terlibat dalam fungsi berbagai enzim dalam proses metabolisme serta komponen penting

Para kolonis yang mengikuti program kolonisasi yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda tidak lupa juga memberikan nama pada desa yang mereka bangun,

dan jumlah barang yang diminta, dimana faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).. “Jika terjadi kenaikan harga barang, faktor-faktor lain tetap, maka

Dan untuk mengetahui rancangan terbaik maka dilakukan percobaan dengan menggunakan 2 jenis filter yaitu bandpass filter butterworth dan bandpas filter chebyshev.. Kemudian

Sedangkan pada sediaan emulgel tidak mengandung etanol 95% sehingga daya proteksi yang dihasilkan oleh sediaan emulgel tidak mengalami penurunan yang drastis karena minyak akar