• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Pajak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Pajak"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Daftar Isi... 1

Bab I Pendahuluan... 3

Bab II Pembahasan... 5

Pajak Penghasilan Pasal 24... 5

 Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri... 5

 Penggabungan Penghasilan………... 6

 Penentuan Sumber Penghasilan... 8

 Besarnya Kredit Pajak yang Diperbolehkan………... 9

o Ketentuan Kredit Pajak Luar Negeri... 9

o Perhitungan PPh Pasal 24 jika terjadi kerugian usaha dalam negeri…. 10 o Perhitungan PPh Pasal 24 jika terjadi kerugian usaha luar negeri…… 10

o Perhitungan PPh Pasal 24 jika Penghasilan Luar Negeri Berasal dari Berbagai Negara……… 11

 Pengurangan/Pengembalian PPh Luar Negeri………... 13

Pajak Penghasilan Pasal 25………. 13

 Menghitung Angsuran Bulanan……….. 14

o Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 Ayat (1) bagi wajib pajak orang pribadi 14 o Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 Ayat (1) bagi wajib pajak badan 15  Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru, Bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak Tertentu Lainnya……… 16

 PPh pasal 25 dalam Hal-hal tertentu……… 17

o Wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian……… 17

o Wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur……… 18

o SPT Tahunan PPh yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan……… 19

o Wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh……….. 20

o Wajib pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan Angsuran bulanan lebih besar daripada angsuran bulanan sebelum pembetulan ………. 21

o Terjadi perubahan usaha atau kegiatan wajib pajak……… 21

 PPh pasal 25 bagi wajib pajk baru; bank, badan usaha milik negara, badan usaha mili k daerah, wajib pajak masuk bursa, dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari peredaran bruto……….……….. 22

o PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru……… 22 o Wajib pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi………... 24

(2)

o Wajib Pajak masuk bursa, dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan harus membuat laporan keuangan

berkala……….. 25

o PPh pasal 25 bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu… 25  Penyetoran dan Pelaporan PPh pasal 25……… 26  PPh pasal 25 bagi wajib pajak orang pribadi yang berpergian ke luar negeri 26

o Pengencualian pembayaran pajak penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri……… 27

o Tatacara pengecualian pembayaran fiscal luar negeri bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri……… 28 Soal kasus pajak PPh Pasal 25………30 Daftar Pustaka………

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Dengan berkembangnya kondisi bisnis internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak dalam negeri juga beragam baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun penghasilan yang berasal dari luar negeri. Dalam kegiatan ini tentunya terjadi tambahan kemampuan ekonomis atau penghasilan yang didapat oleh wajib pajak dalam negeri dan juga merupakan objek dari pajak khususnya PPh pasal 24. Disini peran pemerintah sangatlah berpengaruh karena agar tidak terjadinya pengenaan pajak berganda antara Negara dimana tempat penghasilan ini bersumber dan Negara Indonesia selaku pemungut pajak penghasilan dari wajib pajak dalam negeri.

Mungkin untuk sebagian besar masyarakat Indonesia masih enggan melaporkan seluruh laba usahanya baik yang di dalam negeri maupun luar negeri. Banyak alasan yang diberikan wajib pajak untuk tidak melaporkan usahanya.

Sebenarnya dengan kita melaporkan usaha kita terutama atas penghasilan dari Luar Negeri akan memberikan keuntungan bagi Wajib Pajak Karena atas pajak yang sudah di bayar di Luar Negeri dapat dikreditkan pada kahir tahun pelapoan SPT Tahunan Badan / Perorangan.

Menurut ketentuan perpajakan, Wajib Pajak Dalam Negeri terutang pajak atas penghasilan kena pajak yang berasal dari seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri (World Wide Income). Untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dari luar negeri dengan penghasilan yang diterima

(4)

atau diperoleh dari Indonesia, maka atas pajak yang dibayar atau terhutang dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dapat dikreditkan dengan pajak yang terhutang dalam tahun pajak yang sama.

Jadi, Wajib Pajak/Pengusaha

tidak perlu takut untuk melaporkan laba yang ada, karena atas pajak yang sudah dibayar di Luar Negeri dapat di kreditkan/mengurangi pajak yang terhutang di Indonesia. Dengan menambahnya pendapatan negara melalui pajak maka kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat terwujud. Kredit Pajak Luar Negeri ini bertujuan untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan PPh atas penggabungan penghasilan dari Dalam Negeri dan Luar Negeri.

Pajak penghasilan pasal 25 adalah angsuran PPh yang hars dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh

(5)

BAB II PEMBAHASAN

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

Pajak penghasilan pasal 24, selanjutnya disingkat PPh Pasal 24, merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri. PPh Pasal 24 ini boleh dikreditkan terhadap total pajak penghasilan terutang dalam suatu tahun pajak.

Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, baik penghasilan yang diterima atau diperoleh di dalam negeri maupun penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Jika negara lain tempat Wajib Pajak dalam negeri tersebut mengenakan pajak penghasilan, Wajib Pajak tersebut akan membayar atau terutang pajak atas penghasilannya itu di negara yang bersangkutan (di luar negeri).

Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, maka besarnya pajak atas penghasilan Wajib Pajak dalam negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut dapat dikreditkan terhadap total pajak terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

Jumlah pajak atas penghasilan Wajib Pajak dalam negeri yang dibayar atau terutang di luar negeri tersebut dihitung berdasarkan tarif pajak yang

(6)

berlaku di negara yang bersangkutan dikalikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di negara yang bersangkutan. Jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri tersebut mungkin tidak semuanya dapat dikreditkan dari total pajak terutang di Indonesia. Pasal 24 UU No. 17 Tahun 2000, selanjutnya mengatur ketentuan besarnya pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan dari total pajak penghasilan terutang di Indonesia.

PERMOHONAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI

Agar pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan, maka Wajib Pajak harus menyampaikan surat permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:

1. Laporan keuangan tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri

2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri 3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri

Permohonan kredit pajak luar negeri tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pembeitahuan (SPT) Tahunan PPh. Namun, atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran permohonan tersebut karena alasan-alasan di luar kemampuan Wajib Pajak.

PENGGABUNGAN PENGHASILAN

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menghitung total PPh terutang dalam suatu tahun pajak adalah menentukan jumlah penghasilan (baik penghasilan dari dalam negeri maupun penghasilan dari luar negeri) yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung PPh tersebut. Untuk penghasilan yang berasal dari luar negeri, ketentuan penggabungan penghasilan adalah sebagai berikut:

1. Atas penghasilan yang berasal dari usaha, penggabungan penghasilan dilakukan dalam tahun diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis).

2. Atas penghasilan lainnya seperti sewa, bunga, royalti dan lain-lain, penggabungan penghasilan dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut (cash basis).

(7)

3. Atas penghasilan berupa dividen yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham disetor atau secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham disetor pada badan usaha diluar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek, dilakukan dalam tahun pajak dimana dividen tersebut diperoleh. Saat perolehan dividendalam rangka penggabungan penghasilan tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, sebagai berikut: 1. Pada bulan keempat setelah akhir batas waktu kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) badan usaha di luar negeri untuk tahun pajak yang bersangkutan, atau:

2. Jika tidak ditentukan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, atau tidak ada kewajiban penyampaian SPT PPh, saat diperolehnya dividen adalah pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir.

Penentuan besarnya dividen yang digabungkan dengan penghasilan lainnya dihitung berdasarkan besarnya proporsi pemilikan saham pada badan usaha di luar negeri atas laba setelah pajak. Laba setelah pajak adalah laba usaha sesuai dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang lazim berlaku di negara yang bersangkutan dan telah diaudit oleh akuntan publik, setelah dikurangi dengan PPh terutang di negara tersebut.

Apabila kemudian terjadi pembagian dividen dalam jumlah yang melebihi dividen berdasarkan penghitungan Wajib Pajak dalam negeri tersebut atau terjadi pembagian dividen, kelebihan jumlah tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada tahun pajak dibagiannya dividen tersebut. Namun apabila sebelum jangka waktu tersebut di atas badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak Wajib Pajak, maka dividen yang digabungkan adalah sebesar dividen yang dibagikan tersebut.

Dividen yang menjadi hak Wajib Pajak adalah dividen yang sekurang-kurangnya sama besarnya dengan dividen yang dihitung sebanding dengan penyertaan Wajib Pajak pada badan usaha di luar negeri.

Apabila kemudian terjadi pembagian dividen selain dividen yang telah dibagikan di atas, maka dividen tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut. Badan usaha sebagaimana dimaksud di atas adalah badan usaha yang berkedudukan dinegara atau tempat sebagai berikut:

(8)

a. Argentina b. Bahama c. Bahrain d. Belize e. Bermuda f. British Isle

g. Kepulauan Virgin English h. Cayman Island

i. Channel Island Greensey j. Channel Island Jersey k. Cook Island

l. El Salvador Contoh 1.

PT. Anandadi Yogyakarta dalam tahun 2009 menerima dan memperoleh penghasilan neto yang bersumber dari luar negeri sebagai berikut:

1. Laba usaha di Singapura dalam Tahun Pajak 2009 sebesar Rp. 500.000.000

2. Dividen atas kepemilikan saham pada X. Ltd. Di Australia sebesar Rp. 200.000.000; yaitu berasal dari keuntungan tahun 2007 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun 2008 dan baru akan dibayarkan dalam tahun 2009.

3. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada Y Corporation di Hongkong yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp. 60.000.000; yaitu berasal dari keuntungan saham tahun 2008 yang berdasarkan keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh pada tahun 2009.

4. Bunga obligasi pada Z, Inc di Kuala Lumpur dihitung sebesar Rp. 80.000.000 dan diteima pada setiap semester dengan rincian sebagai berikut:

(9)

Penghasilan yang bersumber dari luar negeri di atas yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri Tahun Pajak 2006 adalah penghasilan pada nomor 1,2,3,4a, sedangkan penghasilan pada nomor 4b digabungkan dengan penghasilan dalam negeri Tahun Pajak 2009.

PENENTUAN SUMBER PENGHASILAN

Dalam menentukan batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan sebagai berikut:

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya, maka sumber penghasilan adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut berkedudukan.

2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak, maka sumber penghasilan adalah negara tempat pihak yang membayar (atau dibebani bunga, royalti, atau penggunaan harta) tersebut berada atau berkedudukan.

3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak bergerak, maka sumber penghasilan adalah negara tempat harta tersebut terletak.

4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, maka sumber penghasilan adalah negara tempat pihak yang membayar (atau dibebani imbalan) tersebut berada atau berkedudukan.

5. Penghasilan berupa bentuk usaha tetap, maka sumber penghasilan adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut pengertian penghasilan yang luas, oleh karena itu jika terdapat sumber penghasilan selain yang disebutkan di atas, penentuan sumber penghasilan tersebut menggunakan prinsip yang sama dengan di atas.

Misalnya, Akbar sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura. Dalam Tahun Pajak 2009 rumah tersebut dijual. Keuntungan yang diperoleh dari menjual rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber dari Singapura, karena rumah tersebut terletak di Singapura.

(10)

BESARNYA KREDIT PAJAK YANG DIPERBOLEHKAN Ketentuan Kredit Pajak Luar Negeri

Ketentuan tentang jumlah Kredit Pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:

1. Pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap total PPh terutang di Indonesia hanya pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri tersebut. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri adalah pajak atas penghasilan berkenaan dengan usaha atau pekerjaan di luar negeri, sedangkan yang dimaksud dengan pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri adalah pajak atas penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya di luar negeri seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan lain-lain.

Contoh 2.

PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc tersebut dalam tahun 2009 memperoleh keuntungan sebesar US$ 100.000. Pajak penghasilan yang berlaku di Negara X 48% dan pajak dividen adalah 38%

Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:

Keuntungan Z Inc US$ 100.000

Pajak penghasilan (Corporate Income Tax

atas Z Inc 48%) US$ 48.000 (-)

US$ 52.000

pajak atas dividen (38%) US$ 19.760 (-)

dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32.240

Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh pajhak penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung

(11)

dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh diatas yaitu jumlah sebesar US$ 19.760.

Pajak penghasilan (Corporate Income Tax atas Z Inc sebesar US$ 48.000 tidak dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$ 48.000 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc di Negara X.

Perhitungan PPh Pasal 24 jika Terjadi Kerugian Usaha Dalam Negeri

Dalam hal terjadi kerugian usaha di dalam negeri, maka sejumlah kerugian yang diderita tersebut dapat digabungkan atau dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima/diperoleh di dalam negeri.

Perhitungan :

PT. A memperoleh penghasilan netto sebagai berikut:

 Di Negara A, memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar xxx (tarif pajak yang berlaku x%)

 Di Dalam Negeri, menderita kerugian sebesar xxx

Perhitungan kredit pajak luar negeri diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah: 1. Menghitung Total PKP

Penghasilan dari Negara A berupa laba usaha xxx Kerugian usaha didalam negeri (xxx) Jumlah penghasilan netto (PKP) xxx 2. Menghitung Total PPh Terutang

Tarif PPh Pasal 17 Ayat(1) b x penghasilan kena pajak 28% × PKP = xxx

3. Menghitung PPh maksimum dikreditkan sesuai perbandingan penghasilan

Penghasilan Luar Negeri × Total PPh Terutang = xxx

Total penghasilan dalam dan luar negeri

4. Menghitung PPh yang dipotong atau dibayar di Luar Negeri Tarif pajak di luar negeri x penghasilan luar negeri

(12)

Kredit Pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah nilai yang terendah dengan membandingkan perhitungan total PPh terutang, PPh Maksimum dikreditkan sesuai perbandingan penghasilan dan PPh terutang atau dibayar di luar negeri.

Perhitungan PPh Pasal 24 jika Terjadi Kerugian Usaha Luar Negeri Dalam hal terjadi kerugian yang diderita di luar negeri, maka kerugian tersebut tidak boleh digabungkan/dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari dalam negeri.

Perhitungan :

PT. A memperoleh penghasilan netto sebagai berikut:

 Di Negara A, memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar xxx (tarif pajak yang berlaku x%)

 Di Negara B, menderita kerugian sebesar xxx ( tariff pajak yang berlaku x%)

 Di Dalam Negeri, memperoleh laba usaha sebesar xxx

Perhitungan kredit pajak luar negeri diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah: 1. Menghitung Total PKP

Penghasilan dari Negara A berupa laba usaha xxx Penghasilan di dalam negeri berupa laba usaha xxx

Jumlah penghasilan netto (PKP) xxx

2. Menghitung Total PPh Terutang

Tarif PPh Pasal 17 Ayat(1) b x penghasilan kena pajak 28% × PKP = xxx

3. Menghitung PPh maksimum dikreditkan Di Negara A sesuai perbandingan penghasilan

Penghasilan Negara A × Total PPh Terutang = xxx Total penghasilan dalam dan luar negeri

4. Menghitung PPh yang dipotong atau dibayar di Negara A. Tarif pajak di luar negeri x penghasilan luar negeri

(13)

Kredit Pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah nilai yang terendah dengan membandingkan perhitungan total PPh terutang, PPh Maksimum dikreditkan sesuai perbandingan penghasilan dan PPh terutang atau dibayar di luar negeri.

Perhitungan PPh Pasal 24 jika Penghasilan Luar Negeri Berasal dari Beberapa Negara

Untuk penghasilan luar negeri yang berasal dari beberapa Negara, maka besarnya batas maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masing-masing Negara.

Perhitungan :

PT. A memperoleh penghasilan netto sebagai berikut:

 Di Negara A, memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar xxx (tarif pajak yang berlaku x%)

 Di Negara B, memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar xxx (tarif pajak yang berlaku x%)

 Di Negara C, memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar xxx (tarif pajak yang berlaku x%)

 Di Dalam Negeri, memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar xxx

Perhitungan kredit pajak luar negeri diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah: 1. Menghitung Total PKP

Penghasilan dari Negara A berupa laba usaha xxx Penghasilan dari Negara B berupa laba usaha xxx Penghasilan dari Negara C berupa laba usaha xxx

Penghasilan dalam negeri berupa laba usaha xxx Jumlah penghasilan netto (PKP) xxx

2. Menghitung Total PPh Terutang

Tarif PPh Pasal 17 Ayat(1) b x penghasilan kena pajak 28% × PKP = xxx

3. Menghitung PPh dikreditkan sesuai perbandingan penghasilan masing-masing Negara

a. PPh Maksimum untuk Negara A

Penghasilan Negara A × Total PPh Terutang = xxx Total penghasilan dalam dan luar negeri

b. PPh Maksimum untuk Negara B

Penghasilan Negara B × Total PPh Terutang = xxx Total penghasilan dalam dan luar negeri

(14)

c. PPh Maksimum untuk Negara C

Penghasilan Negara C × Total PPh Terutang = xxx Total penghasilan dalam dan luar negeri

4. Menghitung PPh yang dipotong atau dibayar di Luar Negeri untuk masing-masing Negara

1. PPh terutang atau dibayar di Negara A

Tarif pajak Negara A x penghasilan luar negeri x% × xxx = xxx

2. PPh terutang atau dibayar di Negara B

Tarif pajak Negara B x penghasilan luar negeri x% × xxx = xxx

3. PPh terutang atau dibayar di Negara C

Tarif pajak Negara C x penghasilan luar negeri x% × xxx = xxx

Kredit Pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah nilai yang terendah dengan membandingkan perhitungan total PPh terutang, PPh Maksmum dikreditkan sesuai perbandingan penghasilan dan PPh terutang atau dibayar di luar negeri dari masing-masing Negara lalu dijumlahkan.

Pengurang/Pengembalian PPh Luar Negeri

Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada PPh yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri pada tahun pengurangan atau pengembalian dilakukan. Sebagai contoh: dalam tahun pajak 2009, Wajib Pajak mendapatkan pengurangan pajak atau penghasilan luar negeri Tahun Pajak 2008 sebesar Rp. 5,000,000; yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk Tahun Pajak 2008, maka jumlah sebesarRp. 5,000,000 tersebut ditambahkan pada PPh yang terutang dalam Tahun Pajak 2009. Jumlah tersebut dimasukkan dalam induk SPT Tahunan setelah menghitung PPh yang terutang sebelum menentukan jumlah PPh yang terutang.

(15)

PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

Definisi atau pengertian PPh Pasal 25 Menurut Waluyo dan Wirawan B. Ilyas dalam buku yang berjudul Perpajakan Indonesia, menyatakan bahwa PPh Pasal 25 adalah:

“Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulannya dalam tahun pajak berjalan. Dan angsuran pajak penghasilan pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terhutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan”.

Sedangkan definisi PPh Pasal 25 menurut Siti Resmi dalam buku yang berjudul Perpajakan: Teori dan Kasus, menyatakan bahwa PPh Pasal 25 adalah:

“Pajak Penghasilan Pasal 25, selanjutnya disebut PPh Pasal 25, merupakan angsuran yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Tujuan Pembayaran angsuran setiap bulan itu sendiri dimaksudkan untuk meringankan beban pajak dalam membayar pajak terutang”

Ketentuan pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Landasan hukum Pasal 25 UU PPh PMK No. 208/ PMK.03/ 2009 Keputusan Dirjen Pajak No. KEP.537/ PJ./ 2000

Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan: 1. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh pasal 25)

2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, dan 24)

Menghitung Angsuran Bulanan

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan (PPh pasal 21 ayat (1) adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23

(16)

2. Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalm pasal 22

3. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak

Penghitungan tersebut dibedakan menjadi dua yaitu bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan.

Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu xxx

Pengurangan/Kredit Pajak:

PPh Pasal 21 xx

PPh Pasal 22 xx

PPh Pasal 23 xx

PPh Pasal 24 xx

Total kredit pajak (xxx)

Dasar penghitungan angsuran xxx

Angsuran PPh Pasal 25= dasar penghitungan angsuran/12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh 1:

Pajak penghasilan yang terutang untuk Tuan Hakim berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2009 sebesar Rp. 50.000.000. Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di luar negeridalam tahun 2006 adalah sebagai berikut:

 Pemotongan PPh pasal 21 melalui pemberi kerja sebesar Rp.15.000.000

 Pemungutan PPh pasal 22 oleh pihak lain sebesar Rp.10.000.000  Pemotongan PPh pasal 23 oleh penyelenggara kegiatan sebesar Rp.

2.500.000

 Pembayaran pajak di luar negeri sebesar Rp. 7.500.000 seluruhnya dapat dikreditkan (sebagai PPh pasal 24)

Angsuran bulanan PPh pasal 25 ayat (1)untuk tahun 2010 adalah: PPh terutang berdasar SPT Tahunan PPh tahun 2009

Rp.50.000.000 Kredit Pajak:

PPh Pasal 21 Rp.15.000.000

(17)

PPh Pasal 23 Rp.2.500.000

PPh Pasal 24 Rp.7.500.000

Total Kredit Pajak Rp.35.000.000

(-)

Dasar penghitungan angsuran Rp.

15.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib Pajak setiap bulan (PPh Pasal 25 ayat(1)) dalam tahun 2010 adalah:

Rp.15.000.000 : 12 = Rp. 1.250.000

Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Badan

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu xxx

Pengurangan/ Kredit Pajak:

PPh Pasal 22 xx

PPh Pasal 23 xx

PPh Pasal 24 xx

Total kredit pajak (xxx)

Dasar penghitungan angsuran xxx

Angsuran PPh Pasal 25= dasar penghitungan angsuran/12 (atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak).

Menghitung Angsuran PPh untuk Bulan-bulan Sebelum Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan di atas (PPh Pasal 25 ayat (1)). Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 Apabila Dalam Tahun Berjalan Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Untuk Tahun Pajak Yang Lalu

Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan besarnya angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.

(18)

Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru, Bank,

BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak Tertentu Lainnya

Sesuai pasal 25 ayat (7) UU PPh, penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP baru, BUMN, BUMD, dan Wp tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

a. Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru

 Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.

 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk WP Baru dihitung berdasarkan penetapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

 Dalam hal WP Baru menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya.

 Dalam hal WP Baru hanya menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.

 Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan dikurangi terlebih dahulu dengan PTKP.

b. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau sewa guna usaha dengan hak oopsi (financial lease), adalah sebesar jumlah Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

c. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apa pun, kecuali Wajib Pajak Bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan

(19)

pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.

d. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan di kurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas). e. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak

orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha.

PPh PASAL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU

Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan perhitunga besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Hal-hal tertentu yang dimaksud adalah:

1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.

Dalam hal ini besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan PPh yang dihitung atas dasar perhitungan PPh yang dipotong/dipungut atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU PPh kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh:

Perusahaan Ananda dimiliki oleh Tuan Hakim (K/1). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2011 disampaikan pada akhir tahun 2011. Data yang terdapat dalam SPT tersebut adalah:

(20)

Penghasilan Netto Rp 516.800.000

PTKP (K/1) Rp 16.800.000 (-)

Penghasilan Kena Pajak Rp

500.000.000

Sisa kerugian fiscal tahun pajak 2003 sebesar Rp 300.000.000

Sisa kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan pada penghasilan neto tahun 2011 karena telah lewat 5 tahun.

Jadi, Penghasilan Kena Pajak tahun 2011 Rp

500.000.000

Pajak Penghasila terutanng:

5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000

15% x Rp 200.000.000 Rp 30.000.000

25% x Rp 250.000.000 Rp 62.500.000

(+)

Rp 95.000.000

Apabila pada tahun 2011 tidk ada Pajak penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2012 adalah:

Rp 95.000.000 ꞉ 12 Rp 7.916.670

2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sama dengan PPh yang dihitung dengan dasar perhitungan PPh dikurangi dengan PPh yang dipotong/ dipungut atau dibayar/ terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai dengan ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU PPh, kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

(21)

Dasra perhitungan PPh yang dimaksud adalah jumlah penghasilan neto menurut SPT tahunan PPh tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam SPT tahunan PPh.

Contoh:

Wajib Pajak PT A pada tahun 2011 memperoleh dari total peredaran bruto sebesar Rp 14.800.000.000 penghasilan neto yang bersifat teratur dari uasaha dagang sebesar Rp 148.000.000 dan penghasilan tidak teratur dari mengkontrakkan rumah selama 3 tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 2011 sebesar Rp 72.000.000. Mengingat penghasilan tidak teratur tersebut diterima sekaligus pada tahun 2011, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar perhitungan angsuran PPh Pasal 25 pada tahun 2012 adalah hanya dari penghasilan teratur tahun 2011. Dengan catatan bahwa dalam tahun 2011 Wajib Pajak A telah dipungut PPh Pasal 25 untuk tahun 2012 dihitung sebagai berikut:

Penghasilan Neto (teratur) Rp

148.000.000

Tidak ada sisa kerugian yang bisa dikompensasikan, sehingga besarnya PKP adalah Rp 148.000.000.

Penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas:

(Rp 4.800.000.000 ꞉ Rp 14.800.000.000) x Rp 148.000.000 = Rp 48.000.000

Penghasilan kena pajak yang tidak memperoleh fasilitas: Rp 148.000.000 – Rp 48.000.000 = Rp100.000.000 PPh yang terutang: 50% x 25% x Rp 48.000.000 Rp 6.000.000 25% x Rp 100.000.000 Rp 25.000.000 (+) Rp 31.000.000 Kredi pajak/ pengurangan:

PPh Pasal 22 Rp 2.900.000

(-)

Dasar perhitungan angsuran Rp 28.100.000

(22)

Rp 28.100.000 ꞉ 12 Rp 2.341.667

3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.

Apabila SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan, yaitu selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir tahun pajak, besarnya PPh Pasal 25 dihitung sebagai berikut:

a. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT tersebut, besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.

b. Untuk bulan-bulan setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan ketentuan yang telah dibahas sebelumnya dan berlaku surut. Ketentuan tersebut adalah:

• Besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun yang lalu dikurangi dengan PPh yang dipotong/ dipungut oleh pihak lain (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23) serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan ( Pasal 24 ), dibagi dengan 12 banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

• Jika diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun yang lalu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam Suart Ketetapan tersebut dan dimulai pada bulan berikutnya setelah bulan penerimaan SKP.

• Jika Wajib Pajak berhak kompensasi, besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun yang lalu ( PPh yang terutang ini dihitung berdasarkan penghasilan Kena Pajak yang telah memperhitungkan kompensasi kerugian) dikurangi dengan PPh yang dipotong / dipungut oleh pihak lain ( Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ) dan PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan ( Pasal 24), dibagi dengan 12 banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. • Jika WAajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun yang lalu (PPh yang terutang ini dihitung berdasarkan

(23)

oleh pihak lain ( Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ) dan PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan ( Pasal 24), dibagi dengan 12 banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Apabila besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih besar daripada besarnya PPh Pasal 25 pada huruf b, atas kekurangan tersebut terutang bunga 2% sebulan untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan bulan penyetoran. Apabila besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih kecil daripada besarnya PPh Pasal 25 pada huruf b, atas kelebihan penyetoran tersebut dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan PPh.

4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Dalam hal wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, besarnya PPh Pasal 25 dihitung sebagai berikut:

a. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut, besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan izin perpanjangan.

b. Untuk bulan-bulan setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.

Apabila besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih besar daripada besarnya PPh Pasal 25 pada huruf b, atas kekurangan tersebut terutang bunga 2% sebulan untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

Apabila besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih kecil daripada PPh Pasal 25 pada huruf b, maka atas kelebihan setoran tersebut dapat

(24)

dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan PPh.

5. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.

Apabila dalam tahun berjalan Wajib Pajak membetulan sendiri SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan PPhPembetulan tersebut dan berlaku surat mulai bulan batas waktu penyampaian SPT tersebut. Perhitungan kembali besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasar SPT Pembetulan tetap memerhatikan ketentuan kompensasi kerugian dan ketentuan penghasilan tidak teratur.

Apabila besarnya PPh Pasal 25 setelah pembetulan SPT Tahunan tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang bunga sebesar 2% untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran

Apabila besarnya PPh Pasal 25 setelah pembetulan SPT Tahunan tersebut lebih kecil daripada PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan Pembetulan.

6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. Perubahan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan usaha maupun peningkatan usaha. Penurunan atau peningkatan usaha tersebut berpengaruh pada besarnya penghasilan dan selanjutnya memengaruhi PPh.

Apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, Wajib Pajak mengalami penurunan usaha, dan dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25, maka Wajib Pajak dapat menunjukkan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 dengan cara sebagai berikut:

(25)

a. Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepla Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

b. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh yang akan terutang berdasarka perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

c. Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan Wajib Pajak tentang pengurangan PPh Pasal 25, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan Wajib Pajak tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan perhitungannya.

Apabila dalam tahun pajak berjalan Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjdi dasar perhitungan, besarnya PPh Pasl 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh Wajib Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Contoh:

PT gonjang Ganjing merupakan perusahan yang bergerak di bidang produksi benang. Dalam tahun 2012 membayar angsuran bulanan sebesar Rp 10.000.000 (jumlah ini didasarkan pada SPT Tahunan Pajak 2011). Pada bulan Juni 2012 terjadi bencana alam tanah longsor yang menimpa sebagian pabrik milik PT Gonjang Ganjing tersebut. Atas keadaan ini PT Gonjang Ganjing mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar angsuran PPh Pasal 25 dapat diturunkan menjadi Rp 7.0000.000 (sesuai lampiran penghitungan). Sampai dengan bulan Juli 2010, tidak diterima Surat Keputusan dari Dirjen Pajak, oleh karena itu dianggap permohonan diterima. Mulai bulan Juli 2012 PT. Gonjang Ganjing membayar angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp 7.000.000.

Sebaliknya, apabila Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan PKPnya juga meningkat atau lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan Wajib Pajak tersebut dapat disesuaikan lagi.

(26)

PPh PASAL 25 BAGI WAJIB PAJK BARU; BANK, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILI K DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA, DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN BERKALA; DAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU DENGAN TARIF PALING TINGGI 0,75% DARI PEREDARAN BRUTO

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.

1. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru

Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasla 25 untuk Wajib Pajak Baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yng dihiutng berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12.

Angsuran PPh Pasal 25 sebulan

= Tarif Pasal 17 x ( 12 x penghasilan neto sebulan ) /12 Besarnya penghasilan neto adalah:

1. Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiscal dihitung berdasarkan pembukuannya.

Contoh:

PT Angkasa terdaftar sebagai Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Yogyakarta pada tanggal 1 februari 2011. Peredaran atau penerimaan bruto menurut pembukuan bulan februari 2011 sebesar Rp 75.000.000. setelah dikurangi dengan pegurangan/ biaya yang diperkenankan maka didapatkan pendapatan neto sebesar Rp 10.000.000. penghitungan PPh Pasal 25 bulan februari 2009 sebagai berikut:

(27)

Penghasilan neto bulan februari 2011 Rp 10.000.000 Penghasilan neto disetahunkan:

12 x Rp 10.000.000 Rp 120.000.000

PPh yang terutang sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 25:

50% x 25% x Rp 120.000.000 Rp 15.000.000

Angsuran PPh Pasal 25 bulan februari 2009:

Rp 15.000.000 ꞉ 12 Rp 1.250.000

2. Apabila Wajib Pajak hanya menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembuluannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiscal dihitung berdasarkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.

Contoh:

Perusahaan Cendana yang dimiliki Maimun (tidak kawin, tanpa tanggungan TK/0) terdaftar sebagai Wajib Pajak pada kantor Pelayanan Pajak Semarang sejak tanggal 1 Maret 2011. Peredaran atau penerimaan bruto menurut catatan harian selama bulan Maret 2011 sebesar Rp 50.000.00. presentase Norma Perhitungan untuk perusahaan Cendana sesuai dengan jenis usahanya adalah 15%. Perhitungan PPh Pasal 25 bulan Maret 2011 sebagai berikut:

Peredaran atau penerimaan bruto bulan Maret 2011 Rp 50.000.000 Penghasilan neto:

15% x Rp 50.000.000 Rp 7.500.000

penghasilan neto disetahunkan:

(28)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (Rp 15.840.000 )

Penghasilan Kena Pajak Rp 74.160.000

PPh yang terutang sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 25: 5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000

15% x Rp 24.160.000 Rp 3.624.000 (+) Rp 6.124.000 Angsuran PPh Pasal 25 bulan Maret 2009:

Rp 6.124.000 ꞉ 12 Rp 510.330

Sedangkan apabila Wajib Pajak baru adalah Wajib Pajak badan yang mempunyai kewajiban membuat laporan berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atau proyeksi laba-rugi fiscal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12.

2. Wajib Pajak Bank dan Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi adalah Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri untuk tahun pajak yang lalu, di bagi 12 (dua belas).

Angsuran PPh Pasal 25 sebulan =

[ Tarif Pasal 17 x (perkiraan laba triwulan pertama x 4)] ÷ 12

3. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak BUMN dan BUMD

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak

(29)

yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.

4. Wajib Pajak Masuk Bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Harus Membuat Laporan Keuangan Berkala

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pajak 22 dan Pasal 23serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 ( dua belas ).

5. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang mempunyai tempat usaha lebih dari satu, atau mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili.

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen ) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.

PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 25

1. PPh Pasal 25 harus dibayar/disetorkan selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima belas ) bulan takwin berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(30)

2. Wajib Pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya 20 (dua puluh hari ) setelah Masa Pajak berakhir.

3. Bagi Wajib Pajak pengusaha tertentu, berlaku juga ketentuan sebagai beikut:

• Jika Wajib Pajak memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja kantor Pelayanan Pajak, harus mendaftarkan masing-masing tempat usahanya di Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan.

• Wajib Pajak yang memiliki beberapa tempat usaha di lebih dari 1 (satu) wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, harus mendaftarkan setiap tempat usahanya di Kantor Pelayanan Pajak masing-masing tempat usaha Wajib Pajak berkedudukan.

- SPT Tahunan PPh harus disampaikan di Kantor Pelayanan Pajak tempat domisili Wajib Pajak terdaftar dengan batas waktu seperti pada ketentuan butir 2.

PPh PASAL 25 BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI YANG BERPERGIAN KE LUAR NEGERI

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 ( dua puluh satu ) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak. Termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah istri, anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya Wajib Pajak yang bersangkutan.

Besarnya fiskal luar negeri ( FLN ) yang wajib di bayar oleh Wajib Pajak orang pribadi adalah:

1. Rp.2.500.000 ( dua juta lima ratus ribu rupiah )untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara. 2. Rp.1.000.000 ( satu juta rupiah ) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan angkutan laut.

Pembayaran FLN oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri dilakukan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri ( TBPFLN ). FLN yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan. Angsuran Pembayaran Pajak Penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang

(31)

tersebut memiliki NPWP. Ketentuan tersebut tidak berlaku lagi sejak 31 Desember 2010.

1. Pengecualian Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Akan Bertolak ke Luar Negeri 1. Orang asing yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga ) hari dalam jangka waktu 12 ( dua belas) bulan, dengan menunjukkan visa kunjungan atau visa singgah.

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing, termasuk anggota keluarganya dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, sepanjang bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik, dengan menunjukkan paspor Diplomatik.

3. Pejabat-pejabat dari perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk Subyek Pajak Penghasilan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, termasuk anggota keluarganya, sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia, dengan menunjukkn paspor Diplomatik.

4. Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki dokumen resmi sebagai penduduk negeri tersebut, dengan menunjukkan salah satu dari tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri berikut ini.

5. Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh instansi yang berwenang, dengan menunjukkan daftar nama para jemaah haji oleh pimpinan rombongan dan petugas pelaksana pemberangkatan haji yang pembiayaannya dibebankan pada Biaya Perjalanan Ibadah Haji ( BPIH ) dengan menyerahkan syrat dari Departemen Agama. Pengecualian tersebut tidak berlaku bagi Jemaah Haji Khusus yang penyelenggaraannya dibebankan pada BPIH Khusus.

6. Orang pribadi yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah Republik Indonesia melalui darat.

(32)

7. Para pekerja Warga Negara Indonesia yang akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) dengan menunjukkan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri ( KTKLN ) atau menyerahkan persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 8. Mahasiswa dari Negara asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari perguruan tinggi tempat mereka belajar dan tidak menerima atau memeroleh penghasilan dari Indonesia dan surat rekomendasi sebagai mahasiswa atau pelajar dari pimpinan perguruan tinggi sekolah yang bersangkutan. Pembebasan tersebut tidak berlaku bagi istri dan anak-anaknya maupun anggota keluarga lainnya. 9. Orang asing yang berada di Indonesia dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang melaksanakan:

• Penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan di bawah koordinasi lembaga pemerintah terkait.

• Program kerja sama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Negara.

• Tugas sebagai anggota misi keagamaan dan kemanusiaan di bawah koordinasi instansi terkait.

10. Tenaga kerja warga Negara asing, pendatang, yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Karimun. Sepanjang mereka telah di potong Pajak Penghasilan oleh pemberi kerja, dengan menyerahkan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atau 26 yang telah dilegalisir oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batam atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tanjung Pinang atau Pejabat yang ditunjuk. 11. Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 ( satu ) orang pendamping, dengan menyerahkan surat persetujuan dari Menteri Kesehatan atau yang mewakilinya.

12. Anggota misi kesenian, misi kebudayaan, misi olahraga atau misi keagamaan yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia ke luar negeri, dengan menyerahkan surat persetujuan dari menteri terkait atau yang mewakilinya.

13. Mahasiswa atau pelajar yang telah berusia 21 ( dua puluh satu ) tahun yang akan belajar di luar negeri dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar yang diselenggarakan pemerintah atau badan asing dengan persetujuan menteri terkait.

(33)

2. Tata Cara Pengecualian Pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Akan Bertolak ke Luar Negeri

Pengecualian dari kewajiban pembayaran FLN oleh orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki NPWP dan telah berusia 21 ( dua puluh satu ) tahun atau lebih, diberikan melalui pengecekan validasi NPWP oleh UPFLN Direktorat Jendral Pajak yang bertugas di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri sepanjang NPWP tersebut telah terdaftar sekurang-kurangnya 3 ( tiga ) hari sebelum keberangkatan.

b. Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP sendiri ( istri atau suami, anggota keluarga sedarah atau semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya ajib Pajak yang bersangkutan), diberikan melalui pengecekan validasi NPWP Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya oleh unit pembayaran fiskal luar negeri ( UPFLN ) Direktorat Jendral Pajak yang bertugas di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri sepanjang NPWP tersebut telah terdaftar sekurng-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan, dengan ketentuan bahwa Wajib Pajak ( istri atau suami, anggota keluarga sedarah atau semenda) yang memiliki NPWP sendiri dari :

• Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia ( WNI ) atau berstatus sebagai Warga Negara Asing ( WNA ) dan memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan fotokopi Kartu Keluarga dan/atau Surat Pernyataan Menanggung Sepenuhnya Orang Tua yang tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga oleh orang pribadi yang memiliki NPWP.

• Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya berstatus sebagai Warga Negara Asing ( WNA ) yang:

Tidak memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan fotocopy Surat Keterangan Susunan Keluarga Pendatang ( SKSKP ) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SKSKP yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.

- Namanya tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga atau memiliki Kartu Keluarga yang terpisah dengan anggota keluarganya yang disebabkan perbedaan kewarganegaraan harus melampirkan fotokopi dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.

(34)

c. Untuk pengecualian angka 1 s.d. angka 7 diberikan secara langsung oleh UPFLN Direktorat Jendral Pajak yang bertugas di bandara udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri, termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berusia kurang dari 21 ( dua puluh satu ) tahun.

d. Untuk pengecualian angka 7 huruf b s.d. angka 13 diberikan melalui penerbitan SKBFLN oleh UPFLN Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri atau KPP yang melakukan pengelolaan FLN atau tempat lain yang ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

SOAL KASUS PAJAK PPh Pasal 25

PT. DERMAWAN menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2009 pada tanggal 30 Juni 2010, dengan jumlah penghasilan netto Rp. 200.000.000. Kredit pajak yang telah dibayar oleh PT. DERMAWAN adalah untuk PPh pasal 22 dan 23, dengan total jumlah pembayaran sebesar Rp.

24,500.000. Diketahui PPh Pasal 25 untuk bulan Desember 2009 adalah sejumlah Rp. 1.000.000.

Diminta:

1. Berapa PPh Pasal 25 yang dibayar PT. DERMAWAN untuk setiap bulan selama tahun 2010

2. Jika pembayaran kekurangan angsuran dilakukan bersamaan dengan tanggal penyetoran PPh bulan Juni 2010, hitung besarnya kekurangan dan bunga yang harus dibayar pada tanggal penyetoran tersebut

3. Apa yang terjadi Jika dalam penghitungan kembali PPh Pasal 25 untuk masa April sampai dengan Desember 2010 menghasilkan jumlah

(35)

Jawab:

1. PPh Umum = 25 % x Rp.200.000.000 = Rp. 50.000.000

PPh umum terutang 50.000.000

PPh terutang tahun lalu 1.000.000

Kredit Pajak PPh 24 & 25 (2.450.000)

PPh Pasal 25 26.500.000/12 = Rp.

2.208.000,-2. Kekurangan dan bunga Telat lapor : Rp.

1.000.000,-Telat bayar : Rp. 2% x 6 x 1.000.000=Rp.

120.000,-Jumlah yang harus di bayar= Rp. 1.000.000 x Rp.1.000.000 x Rp.120.000,- =

Rp.2.120.000,-3. Jadi, pada perhitungan kembali PPh pasal 25 untuk masa

April-Desember menghasilkan jumlah yang lebih besar dari jumlah perhitungan PPh pasal 25 untuk masa April-Mei, sehingga menghasilkan pajak lebih bayar dan dapat dikreditkan (mengurangi pajak terhutang).

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Mardiasmo, MBA, Ak, 2011, Perpajakan edisi Revisi 2011,Yogyakarta : CV Andi Offset

Resmi Siti, 2009, Perpajakan: Teori dan Kasus Edisi 5, Jakarta : Salemba Empat

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan pada penelitian ini yaitu perbedaan model dengan menggunakan kecerdasan sebagai variabel bebas dan memposisikan kesempatan sebagai variabel moderasi serta

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Efektivitas Pelatihan Supervisi

Mengapa dalam penyusunan laporan keuangan, Badan Layanan Umum diwajibkan untuk menyusun dua laporan keuangan sekaligus dengan  berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan

Sedangkan pada sambungan tipe geser dan tarik eksentris (sambungan eksentris tipe 2) dengan pembebanan antara 4000 kg sampai 9000 kg, pemakaian alat sambung baut mutu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan volume gas yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan dimana, kotoran sapi menghasilkan volume gas yang paling besar

(1) Pada hari pertama sidang ajudikasi, Majelis Komisioner mewajibkan para pihak untuk menempuh proses penyelesaian sengketa melalui mediasi terlebih dahulu dalam

Kualitas Argumen dan Isyarat Periferal memiliki pengaruh positif terhadap Kredibilitas Ulasan atas video ulasan yang diberikan oleh GadgetIn, sehingga ketika

Pengolahan peta konservasi fauna kabupaten Garut berdasarkan Gordon et al (2009) dalam jurnal yang berjudul Integrating conservation planning and landuse planning in