• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Locus of Control

2.1.1 Definisi Locus of Control

Istilah locus of control muncul dalam teori social learning Rotter yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam belajar, salah satunya adalah expectancy yang artinya ekspektasi atau harapan seseorang bahwa reinforcement akan muncul dalam situasi tertentu. Konsep expectancy inilah yang yang melahirkan istilah locus of control. Locus of control adalah sikap, keyakinan atau harapan umum tentang hubungan kausal antara perilaku seseorang dan konsekuensinya (Rotter, 1966); harapan umum yang mengacu pada keyakinan seseorang bahwa ia dapat atau tidak dapat mengontrol kehidupannya (Feist & Feist, 2008).

Locus of control merupakan sebuah konsep yang menggambarkan persepsi seseorang tentang tanggung jawab atas kejadian-kejadian dalam hidupnya (Larsen & Buss, 2010). Locus of control adalah konstruk psikologis yang digunakan untuk mengidentifikasi persepsi afektif seseorang dalam hal kontrol diri terhadap lingkungan eksternal dan tingkat tanggung jawab atas personal outcome (Grimes, Millea & Woodruff, 2004)

Menurut Forte (2005), locus of control mengacu pada kondisi-kondisi dimana individu mengatribusikan kesuksesan dan kegagalan

(2)

mereka. Ia juga mengatakan bahwa ketika orang-orang mempersepsikan locus of control tersebut berada dalam dirinya sendiri, mereka akan menghasilkan achievement atau pencapaian yang lebih besar dalam hidup mereka dikarenakan mereka merasa potensi mereka benar-benar dapat dimanfaatkan sehingga mereka menjadi lebih kreatif dan produktif.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat dikatakan bahwa locus of control adalah sebuah keyakinan seseorang tentang keberadaan kontrol dirinya, dan seberapa besar kontrol yang dimilikinya terhadap keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya serta situasi atau kejadian yang ada di dalam kehidupannya.

2.1.2 Dimensi Locus of Control

Sebagian orang cenderung menganggap kesuksesan sebagai keberuntungan atau kesempatan, sedangkan sisanya memiliki sense kontrol personal. Berdasarkan penjelasan diatas, locus of control dibagi menjadi dua dimensi, yaitu:

A. Locus of control eksternal

Rotter (1990) menyatakan bahwa locus of control eksternal adalah sejauh mana seseorang mengharapkan dan meyakini bahwa reinforcement atau hasil yang ada dipengaruhi oleh kesempatan, atau keberuntungan, takdir, kekuatan lain atau hal-hal yang tidak menentu atau tidak dapat dikontrol. Orang seperti ini yakin bahwa dirinya tidak

(3)

yang memiliki locus of control eksternal mempercayai bahwa sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya dipengaruhi oleh kekuatan di luar dirinya.

Ketika orang dengan locus of control eksternal mencapai kesuksesan atau kegagalan maka ia akan beranggapan bahwa semua itu terjadi bukan karena dirinya. Misal seorang mahasiswa mendapatkan nilai ujian yang tinggi, ia akan menganggap pencapaian itu merupakan keberuntungan semata. Mungkin saja ia menilai soal ujian terlalu mudah atau ia berpendapat bahwa dosen berbaik hati memberikan nilai yang tinggi. Jika ia mendapatkan nilai yang rendah, maka ia akan menyalahkan situasi atau menganggap bahwa kegagalannya merupakan takdir. Kemungkinan ia akan beranggapan bahwa dosen tidak mau memberikan nilai yang tinggi, atau mungkin ia menganggap situasi saat belajar atau saat ujian tidak kondusif sehingga mengganggu konsentrasinya dan mungkin juga ia menganggap bahwa nasibnya memang kurang baik.

B. Locus of control internal

Rotter (1990) menyatakan bahwa locus of control internal adalah sejauh mana seseorang mengharapkan dan meyakini bahwa sebuah reinforcement atau hasil dari perilaku mereka adalah tergantung pada perilaku atau karakterisrik personal mereka sendiri. Orang yang memiliki locus of control internal yakin bahwa dirinya bertanggung jawab dan memiliki kontrol atas kejadian-kejadian yang dialaminya.

(4)

Individu dengan locus of control internal meyakini bahwa kesuksesan atau kegagalannya merupakan buah dari perilakunya sendiri. Saat ia sukses dalam pekerjaan, maka sangat mungkin bahwa ia akan beranggapan dirinya memang memiliki skill yang baik dan karena ia sudah bekerja keras. Begitu pula saat mengalami kegagalan, ia akan beranggapan bahwa usaha yang dilakukannya mungkin belum maksimal sehingga tidak mencapai tujuan yang diinginkan.

Hal yang perlu diperhatikan adalah dengan adanya pembagian dimensi locus of control, bukan berarti setiap orang hanya memiliki satu locus of control saja karena sifatnya kontinuum (Ghufron & Risnawita, 2008). Berdasarkan teori-teori yang ada, banyak orang berpikiran bahwa tingginya skor locus of control internal pada seseorang merupakan karakteristik yang diidamkan dan sebaliknya untuk locus of control ekstenal. Feist& Feist (2008) menyatakan bahwa tinggi skor yang terlalu ekstrim pada dua dimensi tersebut pada dasarnya tidak baik. Locus of control eksternal yang terlalu tinggi bisa mengarah pada keputusasaan dan apati sedangkan locus of control internal yang terlalu tinggi dapat membuat seseorang merasa bertanggung jawab atas segala hal termasuk yang memang berada diluar kendali mereka. Menurut Feist & Feist (2008), locus of control yang sehat adalah ketika skor berada ditengah kedua dimensi tetapi condong ke arah internal.

(5)

2.1.3 Academic Locus of Control

Academic locus of control memiliki struktur yang sama seperti locus of control hanya saja menunjukkan keyakinan atas kontrol dalam hal yang lebih spesifik yaitu konteks pencapaian dan akademik (Sarıçam, Duran & Mehmet, 2012; Trice 1985).

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Locus of Control

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi berkembangnya locus of control, karena locus of control terbentuk sejak masa kanak-kanak dan semakin dewasa, seseorang akan menjadi semakin internal (Schultz & Schultz, 2005). Serin, Serin & Sahin (2010); Schultz & Schultz (2005), menyatakan bahwa locus of control setiap orang bisa berbeda dlihat dari jenis kelamin dan status sosio-ekonomi. Orang-orang dengan status sosio-ekonomi rendah cenderung mengembangkan locus of control eksternal dan sebaliknya untuk orang-orang yang status sosio-ekonominya tinggi.

Latar belakang dan lingkungan keluarga juga berperan dalam pembentukan locus of control. Anak yang tidak memiliki role model laki-laki dalam keluarganya (Schultz & Schultz, 2005) dan anak yang tidak tinggal bersama keluarganya (Serin, Serin & Sahin, 2010) cenderung mengembangkan locus of control eksternal. Pola asuh orang tua yang tidak otoriter, suportif, disiplin, dan menekankan reinforcement positif memungkinkan anak untuk membentuk locus of control internal pada dirinya (Schultz & Schultz, 2005).

(6)

2.2 Stres

2.2.1 Definisi Stres

Stres merupakan istilah yang berkenaan dengan keadaan psikologis dan fisiologis seseorang (Lovallo, 2005). Lazarus & Folkman (1984) menyatakan bahwa stres merupakan sebuah hubungan antara seseorang dengan lingkungannya dimana situasi yang dihadapinya dinilai melebihi kemampuannya atau membahayakan kesejahteraanya. Lazarus & Folkman (1984); Dougall & Baum (2012) memperkenalkan tiga pendekatan dalam definisi stres, yaitu:

1. Pendekatan stimulus (stimulus approach): dalam pendekatan ini stres dilihat sebagai stimulus atau disebut juga sebagai stressor. Stimulus dapat berupa hal-hal yang terjadi dalam hidup dan sifatnya memberi tekanan.

2. Pendekatan respon (response approach): dalam pendekatan ini stres dilihat sebagai reaksi individu terhadap stimulus. Respon dapat berupa reaksi psikologis yang melibatkan emosi seperti marah, cemas, sedih, serta reaksi secara fisiologis seperti detak jantung yang cepat, berkeringat dan sebagainya (Sarafino, 2008; Lazarus, 2006).

3. Pendekatan hubungan (relational approach): dalam pendekatan ini stres dilihat sebagai proses yang melibatkan kedua hal diatas, yaitu stimulus dan respon. Lazarus & Folkman (1984) menekankan pada hubungan antara individu dan lingkungannya dimana mereka saling mempengaruhi satu sama lain.

(7)

Pastorino & Partillo (2011) mendefinisikan stres sebagai segala kejadian atau stimulus lingkungan (stressor) yang kita berikan respon karena kita mempersepsikannya menantang atau mengancam. Lazarus & Folkman (1984) mengungkapkan bahwa suatu kejadian dapat menjadi tekanan pada saat adanya kesenjangan antara tuntutan atau demand dari sebuah situasi dan kemampuan individu untuk memenuhi permintan tersebut.

Menurut Larsen & Buss (2010), stres merupakan perasaan subjektif yang dihasilkan oleh kejadian-kejadian yang tidak dapat dikontrol atau mengancam. Stres merupakan reaksi (response) terhadap tuntutan (demand) yang diterima dalam situasi tertentu. Sedangkan situasi tersebut disebut penyebab stres (stressor). Stressor memiliki beberapa atribut yaitu sifatnya yang ekstrim sehingga menimbulkan rasa kewalahan, terkadang menimbulkan pertentangan, dan tidak bisa dikontrol atau dikendalikan.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa stres merupakan reaksi seseorang, baik psikologis maupun fisiologis, terhadap situasi yang tidak dapat dikontrol, dan dinilai mengancam kesejahteraannya, serta membuatnya merasa tertekan karena adanya kesenjangan antara kemampuan diri dan tuntutan.

2.2.2 Sumber-sumber Stres

Pastorino & Portillo (2011), membagi sumber-sumber stres atau stressor secara general ke dalam empat bagian, yaitu:

(8)

1. Perubahan besar dalam hidup (major life events): perubahan yang terjadi dalam hidup dapat bersifat baik atau buruk tetap dapat dianggap sebagai suatu tekanan karena segalanya membutuhkan penyesuaian. Situasi-situasi seperti kematian atau kehilangan orang terdekat, pernikahan, penambahan anggota keluarga, membuat pencapaian besar dapat dikategorikan sebagai major life events.

2. Bencana (catastrophes): faktor-faktor seperti bencana alam, peperangan, dan hal-hal traumatis lainnya, seperti pemerkosaan. 3. Gangguan sehari-hari (daily hassles): faktor stres datang dari gangguan

sehari-hari yang dialami setiap manusia seperti mengantri, kehilangan barang, kekurangan uang, bertengkar dengan orang lain, didiskriminasi, merasa kesepian, dan sebagainya.

4. Konflik (conflict): kondisi dimana individu dihadapkan pada berbagai pilihan seperti keinginan, kebutuhan atau tuntutan.

a. Approach–approach conflict: individu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama menguntungkan atau menyenangkan

b. Avoidance-avoidance conflict: individu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak diinginkan

c. Approach-avoidance conflict: individu dihadapkan pada pilihan kebutuhan yang di dalamnya terdapat keuntungan dan kerugian

(9)

d. Multiple conflict: individu dihadapkan pada beberapa pilihan atau alternatif tetapi semuanya sama-sama memiliki aspek negatif dan positif.

Kemudian berdasarkan beberapa penelitian tentang stres pada mahasiswa yang sudah pernah dilakukan sebelumnya (Ross, Niebling & Heckert, 1999), sumber stres terbagi menjadi empat kelompok, yaitu:

a. Faktor interpersonal: perubahan dalam aktifitas sosial, masalah dengan orang tua, teman dan pacar, bekerja dengan orang yang tidak dikenal, interaksi dengan dosen

b. Faktor intrapersonal: masalah keuangan, kesehatan, perubahan rutinitas, kematian orang terdekat, tanggung jawab baru, berbicara di depan publik, ekspektasi akan pencapaian, manajemen waktu (Lin, Lin & Wang, 2009)

c. Faktor akademik: ujian, nilai atau hasil belajar, metode dosen dalam mengajar, materi pelajaran, jumlah dan sifat tugas-tugas yang diberikan, kompetisi akademik (Lin, Lin & Wang, 2009) d. Faktor lingkungan: kondisi hidup dan tempat tinggal,

perubahan lingkungan hidup, waktu liburan yang diberikan, mengantri, masalah komputer, perceraian orang tua.

2.2.3 Penilaian terhadap Stres

Lazarus & Folkman (1984); Lazarus (2006), mengemukakan bahwa stressor dilihat sebagai stimulus yang menekan atau membahayakan adalah berdasarkan appraisal atau penilaian individu

(10)

terhadap stres itu sendiri. Lazarus & Folkman menyebutnya sebagai cognitive appraisal yang terdiri dari dua tipe, yaitu primary dan secondary:

a. Primary appraisal: individu menilai apakah situasi dan tuntutan dari lingkungan membahayakan (harm/ loss), dan mengancam (threat) kesejahteraannya, atau malah dinilai sebagai tantangan (challenge). Bell, Greene, Fisher & Baum (2001) menjelaskan bahwa harm/ loss difokuskan pada kerusakan yang sudah terjadi sedangkan threat berhubungan dengan bahaya yang akan datang. Challenge merupakan hal yang berbeda karena penilaian ini tidak berfokus pada harm atau threat stressor melainkan berfokus pada kemungkinan mengatasi stressor itu sendiri. Perbedaan yang signifikan adalah penilaian challenge ditandai dengan emosi yang positif seperti antusiasme, semangat dan kegembiraan, sedangkan penilaian threat ditandai dengan emosi negatif seperti rasa takut, rasa cemas dan rasa marah (Lazarus & Folkman, 1984).

b. Secondary appraisal: individu menilai apakah dirinya sendiri memiliki kemampuan, kapasitas atau sumber daya untuk menghadapi situasi dan memenuhi tuntutan lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi appraisal adalah karakteristik kondisi, situasi kondisi, perbedaan individual, serta variabel lingkungan, sosial, dan psikologis (Bell, Greene, Fisher& Baum, 2001).

(11)

2.2.4 Reaksi Stres

Gadzella, Carvallo & Masten (2008), mengelompokkan reaksi stres menjadi empat kategori:

1. Reaksi fisiologis (physiological): reaksi tubuh atau fisik individu. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya seperti gemetar,kram, sakit punggung, penurunan dan peningkatan berat badan yang drastis, mudah terjangkit virus, sakit kepala, tekanan darah tinggi, timbulnya bisul (Gadzella, Carvallo & Masten, 2008; Stokols & Altman, 1987; Sarafino, 2008). Menurut Pomerantz (2011) gaya hidup yang terlalu cepat dan riuh dapat menyebabkan stres kronis (chronic stres) yaitu simptom-simptom yang didefinisikan melalui tingkat stres yang tinggi dan terus-menerus. Tubuh manusia tidak dapat menangani stres yang berkepanjangan, sehingga jika dibiarkan, tubuh akan rentan terhadap penyakit.

2. Reaksi kognisi (cognition): pada reaksi kognisi, stres dapat mempengaruhi proses berpikir individu. Kondisi yang ditemui adalah terganggunya konsentrasi, tidak bisa fokus, pikiran kacau dan tidak terorganisir. Stres juga dapat mempengaruhi memori, atensi dan sulit mengambil keputusan (Sarafino, 2008).

3. Reaksi emosi (emotion): pada reaksi emosi, stres dapat menimbulkan perasaan-perasaan seperti rasa takut, ditandai dengan adanya ketidaknyamanan psikologis dan fisik saat merasa terancam. Rasa takut bisa terbagi lagi menjadi phobia dan anxiety atau kecemasan. Kemudian stres juga dapat menyebabkan gangguan mood, rasa sedih,

(12)

khawatir, rasa bersalah, depresi, serta rasa marah (Gadzella, Carvalho & Masten, 2008; Sarafino, 2008).

4. Reaksi perilaku (behavior): pada reaksi perilaku, stres dapat memengaruhi tingkah laku individu secara pribadi maupun perilaku dalaminteraksi individu dengan orang lain. Dalam situasi tertentu, stres dapat membuat individu mencari kenyamanan dari orang lain untukmendapatkan dukungan sosial tetapi tidak sedikit juga individu yang justru menarik diri dari orang lain dan menghindari interaksi. Perilaku yang paling sering ditemukan adalah menangis, mengalami gangguan pola tidur dan pola makan, serta konsumsi alkohol. Stres juga dapat menyebabkan individu menjadi tidak peka terhadap lingkungannya dan juga dapat menimbulkan perilaku agresif (Gadzella, Carvalho & Masten, 2008; Sarafino, 2008).

2.2.5 Paparan terhadap Stres

Berdasarkan teori General Adaptation Syndrome (GAS) yang dikemukakan Selye (Powell, 1983; Pastorino & Portillo, 2011), tubuh bereaksi terhadap stressor dan ada tiga tahap atau fase yang disebut alarm reaction (aktifasi sistem saraf dan endokrin), resistance stage (sistem saraf dan endokrin terus aktif), dan fase paling akhir yaitu exhaustion stage (sumber daya tubuh terkuras, lelah dan aus). Model respon tiga fase ini diaplikasikan terhadap seseorang yang mengalami stres dalam jangka waktu yang lama. Semakin lama seseorang mengalami stres, ia akan beranjak ke fase yang paling tinggi.

(13)

Kemudian Larsen & Buss (2010), mengemukakan beberapa jenis stres yaitu acute stres (stres karena adanya tuntutan secara tiba-tiba), episodic acute stres (stres yang terjadi berulang-ulang), traumatic stres (stres yang disebabkan oleh kejadian besar yang traumatis), dan chronic stres (stres yang tidak berhenti, ada terus menerus).

Berdasarkan kedua teori diatas, peneliti melihat bahwa paparan terhadap stres dinilai dari durasi dan frekuensi stres yang dialami. Durasi adalah jangka waktu atau seberapa lama seseorang mengalami stres dan frekuensi adalah seberapa sering seseorang mengalami stres.

2.3 Definisi Mahasiswa

Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) dan UURI Tahun 2012 NO. 12 mahasiswa adalah orang atau peserta didik yang belajar di perguruan tinggi.

2.4 Kerangka Berpikir

Dalam menjalani peran sebagai seorang mahasiswa banyak hal atau situasi yang dianggap menekan dan tidak dapat dikontrol. Tekanan-tekanan tersebut dapat bersumber dari faktor interpersonal, intrapersonal, akademik serta faktor lingkungan, contohnya seperti adanya perubahan dalam aktifitas sosial, masalah dengan orang tua, atau orang-orang terdekat lainnya, masalah keuangan, kesehatan, perubahan rutinitas, kematian orang terdekat, tanggung jawab, kesulitan dalam kegiatan akademik, kondisi hidup serta masalah-masalah lainnya yang seringkali dialami hampir setiap hari. Setiap orang yang menghadapi

(14)

tekanan seperti yang disebutkan diatas, dalam penelitian ini khususnya mahasiswa, akan melakukan penilaian atau appraisal terhadap faktor-faktor tersebut serta kemampuan mereka untuk menghadapi situasi. Yang pertama kali akan dilakukan oleh individu adalah menilai apakah situasi yang dihadapinya membahayakan atau mengancam kesejahteraannya, inilah yang disebut primary appraisal. Kemudian individu menilai apakah dirinya mampu atau memiliki sumber daya untuk menghadapi situasi tersebut, hal ini disebut juga secondary appraisal. Penilaian-penilaian inilah yang akan menentukan reaksi atau respon seseorang terhadap sumber stres.

Reaksi terhadap stres dapat berupa reaksi fisiologis, kognisi, emosi dan perilaku. Reaksi fisiologis merupakan reaksi pada tubuh atau fisik individu, seperti gemetar, penurunan dan peningkatan berat badan yang drastis, mudah terjangkit virus dan penyakit lainnya, sakit kepala, serta tekanan darah tinggi. Reaksi kognisi merupakan rekasi pada proses berpikir individu dimana gejalanya dapat berupa terganggunya konsentrasi, tidak bisa fokus, pikiran kacau dan tidak terorganisir. Kemudian reaksi emosi merupakan reaksi pada perasaan individu, diantaranya dapat timbul perasaan takut, ketidaknyamanan psikologis, gangguan mood, rasa marah, dan sebagainya. Yang terakhir adalah reaksi perilaku dimana reaksi terhadap stres ditunjukkan melalui tingkah laku baik pribadi maupun sat berinteraksi dengan orang lain. Contoh reaksi perilaku diantaranya ialah menangis, mengalami gangguan pola tidur dan pola makan, peningkatan tingkah laku agresif, serta menjauhi kontak sosial dengan orang lain. Paparan terhadap stres juga dapat dialami oleh individu dalam jangka waktu atau durasi dan

(15)

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bernardi (1997) mengenai locus of control, stres, dan performa pada karyawan fresh graduate, dinyatakan bahwa locus of control memiliki hubungan dengan stres dimana individu dengan locus of control eksternal lebih mudah mengalami stres dibandingkan dengan individu dengan locus of control internal. Begitu pula pada penelitian Roddenberry (2007) mengenai mediasi locus of control dan self-efficacy terhadap stres, penyakit, dan pemanfaatan layanan kesehatan terhadap mahasiswa di Amerika, yang menemukan adanya korelasi antara locus of control dan stres. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa locus of control eksternal berhubungan dengan peningkatan stres, sedangkan tingkat stres yang rendah diasosiasikan dengan tingkat locus of control internal yang tinggi.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, peneliti menduga bahwa academic locus of control memiliki hubungan dengan tingkat stres pada mahasiswa universitas Bina Nusantara. Tingkat stres mahasiswa dilihat dari penilaian terhadap stres, respon, serta paparan terhadap stres yang dialami. Kerangka dapat dilihat pada gambar 2.1

(16)

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Hubungan? Sumber stres (stressor):

• Intrapersonal • Interpersonal • Akademik • Lingkungan Penilaian terhadap stres (appraisal): Primary appraisal Secondary appraisal Paparan terhadap stres: • Frekuensi • Durasi Reaksi stres (response): • Fisiologis • Kognisi • Emosi • Perilaku Tingkat Stres: • Tinggi • Sedang • Rendah Academic Locus of Control: • ALOC internal • ALOC eksternal MAHASISWA

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

berusaha ikut berperan serta dalam pembangunan di Kota Surabaya, khususnya dalam pengadaan fasilitas pusat perdagangan yang modem dan lengkap dengan segal a fasilitas

Kemudian dengan undang-undang ini, khususnya Pasal 15 ayat (3), Anda dirugikan oleh berlakunya ayat itu, sehingga di dalam memberi argumentasi bahwa Anda punya legal standing

Perusahaan yang melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja secara serius, akan dapat menekan angka resiko kecelakaan dan penyakit kerja dalam tempat kerja, sehingga

Pelatihan pemasangan intra vena line dilakukan kepada seluruh perawat baik yang bertugas di runag rawat inap ataupun rawat jalan Rumah Sakit Santa Maria yang dilakukan selama 2

Dengan hasil ini pada pelebaran kapasitas jalan di walisongo semarang masih tinggi nya angka kemacetan.Karena jalan walisongo banyak di lalui bus-bus dan truck

 Kelompok terbaik pada hari itu diberikan reward oleh guru  Siswa bersama guru mengevaluasi hasil pembelajaran hari ini.. Rincian Kegiatan

b. Penahanan justisial, yaitu penahanan sementara di bidang hukum pidana. Pendapat pertama, tindakan penahanan yang dilakukan KOPKAMTIB/LAKSUSDA termasuk boleh

Sikap pada pesan kampanye dan citra merek memberikan pengaruh sebesar 60,4% terhadap loyalitas konsumen, yang berarti bahwa 39,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak