• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perang melawan buta huruf telah dilakukan badan keamanan dunia dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perang melawan buta huruf telah dilakukan badan keamanan dunia dan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

- 1 - BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perang melawan buta huruf telah dilakukan badan keamanan dunia dan organisasinya yang menangani masalah budaya dan pendidikan, UNESCO, sejak dua dekade yang lalu. Saat itu PBB mengumumkan kepada dunia bahwa tahun 1990 merupakan tahun literasi sehingga berbagai kontribusi diberikan selama dekade itu. Tahun 1989 konferensi umum UNESCO mengadopsi suatu rencana aksi menghapuskan buta aksara hingga tahun 2000. UNESCO menyatakan aksi tersebut sebagai prioritas dari beberapa prioritas (Tronbacke,1996). Sembilan tahun telah berlalu sejak UNESCO menyatakan aksi tersebut, di belahan dunia lain masih banyak anak-anak yang bergelut dengan sebuah hambatan yang bernama kesulitan belajar dan hambatan akibat ketunaan yang dimilikinya. Hambatan tersebut membuat mereka memiliki kesempatan terbatas untuk mampu mengadaptasi sebuah pengajaran, khususnya pengajaran yang berkaitan dengan literasi. Literasi dalam arti fungsional sering diartikan sebagai kemampuan cukup seseorang dalam membaca dan menuliskan sedikit riwayat hidup diri pribadi, membaca pengumuman pendek dan uraian ringkas sebuah artikel di surat kabar. (Tronbacke,1996). Literasi memungkinkan seseorang mengakses pikiran dan ide orang lain

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Luwingkewas, Muljohardjono & Warsiki tahun 1988, serta Prasadio tahun 1976 (Hamid, 1993) menyebutkan

(2)

bahwa jumlah individu tunagrahita di Indonesia adalah sebanyak 10 hingga 30 individu dalam 1000 orang atau 1% – 3% dari seluruh populasi. Dirjen Pendidikan Luar Biasa menyatakan bahwa jumlah siswa tunagrahita yang tercantum di dalam data pokok sekolah luar biasa tahun 2003 adalah sekitar 2% dari seluruh populasi (Dirjen Pendidikan Luar Biasa, 2006). Jumlah itu hampir sama dengan jumlah populasi individu tunagrahita di Amerika Serikat, yaitu sekitar 3 % (Hamid, 1993; AAMR (Luckasson et al., 2002) dalam Hamid, 1993; Smith, 2006). Namun sayangnya jumlah individu tunagrahita yang sama tidak menunjukkan kondisi dan nasib yang sama yang diterima individu tunagrahita di kedua negara tersebut. Di Indonesia individu tunagrahita dewasa lebih sering menjadi beban keluarga disebabkan keterbatasan bawaan yang mereka sandang. Pendidikan yang tidak menyeluruh (holistik) dan kurang menjangkau keterbatasan individu tunagrahita memperparah kondisi mereka. Mereka ada di lingkungannya namun tidak menjadi bagian penting dari lingkungannya, terdapat jurang pemisah antara individu tunagrahita dengan lingkungannya.

Beberapa buku dan literatur yang membahas anak tunagrahita mendefinisikan anak tunagrahita sebagai individu yang memiliki dua keterbatasan, yaitu keterbatasan kognitif dan keterbatasan adaptif yang muncul pada masa pertumbuhan (Beirne-Smith,Ittenbach&Patton, 2002). Perkembangan mereka diukur berdasarkan suatu ukuran kemampuan kognitif (IQ) yang dikaitkan dengan suatu ukuran lain bernama mental age (umur mental). Mental age menjadi benchmark (titik landasan) dalam menentukan level kematangan mereka. Anak tunagrahita selalu memiliki umur mental yang sama dengan anak-anak non

(3)

tunagrahita yang umur kronologisnya lebih muda dari mereka. Tidak heran jika ada anak tunagrahita berumur kronologis 19 tahun disejajarkan dengan anak non tunagrahita berumur kronologis 10 tahun (pada anak normal atau non tunagrahita, umur kronologis sama dengan umur mentalnya).

Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua aspek kemampuan akademik. Umumnya mereka memiliki kemampuan membaca yang lebih rendah dari yang diharapkan dari umur mental mereka (Carter, 1975; Dunn,1973 dalam Beirne-Smith,Ittenbach&Patton, 2002). Namun terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa individu tunagrahita mampu mempelajari keterampilan membaca meskipun tidak sefasih dan sekomprehensif teman seusianya (Houston&Torgesen, 2004). Beberapa pakar percaya bahwa individu dengan keterbatasan kognitif yang cukup parah pun dapat dan mampu menunjukkan kemampuan literasi pada level yang lebih tinggi jika mereka dipenuhi dengan berbagai instruksi, pengalaman dan kesempatan yang cukup (Coval, 1996).

Dalam pendidikan dasar, kemampuan membaca merupakan salah satu mata pelajaran yang paling penting, dimana penguasaan pada mata pelajaran lain berbanding lurus dengan penguasaan pada aspek membaca. Jika siswa memiliki keterampilan yang rendah dalam pelajaran membaca maka dapat dipastikan bahwa dia pun memiliki keterampilan yang rendah dalam pelajaran lainnya. Dalam kehidupan, keterampilan membaca memberikan peran yang utama dalam membantu seorang individu mengatur kehidupannya yang mandiri. Keterampilan membaca memungkinkan seseorang memberikan kontribusi yang lebih luas dalam pekerjaan, dalam mengakses informasi dan dalam melakukan pilihan-pilihan

(4)

(Houston&Torgesen, 2004). Kemampuan membaca yang baik dapat mendukung kehidupan individu tunagrahita dengan lebih mandiri. Orang-orang dewasa dengan tungrahita ringan mampu menghasilkan dan mengatur pekerjaan dan secara ekonomi mampu mencukupi kebutuhan pribadi. (Barlow & Durand, 1995; Borthwick-Duffy & Eyman, 1990 dalam Beirne-Smith, Ittenbach, Patton, 2002). Meskipun data menunjukkan bahwa untuk mencapai itu banyak yang harus dikerjakan (Beirne-Smith, Ittenbach, Patton, 2002).

Dalam proses membaca, agar dapat memahami suatu bacaan, paling sedikit seseorang harus mengenali 90% - 95% kosakata dan mengetahui artinya. Mereka juga harus dapat membaca teks dengan fasih, lancar dan berintonasi sehingga mereka dapat membangun dan menggambarkan imejnya (Kintsch, 2004 dalam Fang, 2008). Imej bacaan yang terbangun ketika siswa membaca, melibatkan pengetahuan yang lebih banyak dari kosakata dan kalimatnya itu sendiri, dimana pengetahuan ini berasal dari kekayaan bahasa mereka (Fang, 2008). Dengan kata lain, siswa membutuhkan suatu “kebiasaan” (Bourdieu, 1977 dalam Fang, 2008) atau “peran budaya (cultural model)” sebagai pengalaman pribadi yang paling relevan (Gee, 2001 dalam Fang, 2008). Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah pekerjaan kompleks yang melibatkan banyak proses. Proses tersebut melibatkan kesadaran linguistik, yaitu pengetahuan internal seseorang bagaimana sebuah bunyi diterjemahkan ke dalam kata-kata dan bagaimana kata-kata tersebut menyampaikan pesannya (Buenavista, 2006). Lengkapnya, proses tersebut tidak dapat dijalankan tanpa disertai oleh adanya tiga pilar pemahaman. Pertama, pemahaman dalam berbahasa (contohnya, kata,

(5)

kalimat, struktur bahasa oral) dimana cerita tersebut terbangun. Kedua, pengalaman dan pengetahuan yang relevan dengan latar belakang cerita. Ketiga, kemampuan strategis pengaturan diri (contohnya, dalam memonitor, mengambil kesimpulan, memvisualkan, mempertanyakan, mengklarifikasi), pengaktifan dan penggunaan yang efektif dari pemahaman pembaca pada bahasa dan pengetahuan isi materi.

Telah disinggung di atas bahwa jumlah individu tunagrahita di Indonesia dan di Amerika adalah sama, namun tingkat kehidupan individu tunagrahita dewasa di kedua negara tersebut jauh berbeda. Keberhasilan individu tunagrahita di Amerika merupakan tanda keberhasilan pendidikan khusus di sana. Sebuah artikel menyebutkan bahwa di sana seorang individu tunagrahita ringan dapat hidup mandiri dan bahkan bekerja di sebuah Biro Periklanan (Rondal, 1999). Di Indonesia pekerjaan di biro periklanan hanya dapat diperoleh apabila seseorang telah lulus dari pendidikan desain grafis, sebuah jenjang pendidikan yang dapat diikuti seseorang setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah tingkat atas dengan tuntutan kualitas akademis tertentu. Di Amerika individu tunagrahita mendapatkan bekal pendidikan yang cukup memadai. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak sekolah (guru) dan pemerintah untuk kepentingan siswa tunagrahita. Para guru membimbing siswa tunagrahita sehingga mereka dapat menguasai kemampuan akademis dan keterampilan yang cukup. NLTS (National Longitudinal Transition Study of Special Education Students yang didirikan oleh Office of Special Education Program, U.S Department of Education) mencatat 16,5 % siswa tunagrahita ringan di Amerika melanjutkan studinya ke akademi

(6)

pasca-sekolah menengah (academic post secondary program) dan 14,7 % berada di program kejuruan pasca-sekolah menengah (vocational post secondary program) (Smith, 2006). Pemerintah mendirikan berbagai lembaga riset yang melakukan penelitian dalam ranah yang berkaitan dengan kemampuan siswa tunagrahita dan kemajuan mereka. Lembaga yang dengan resmi melakukan penelitian mengenai kemampuan membaca adalah National Reading Panel - sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 1998 berdasarkan permintaan kongres Amerika dan berada di bawah kementrian pendidikan – yang bertanggung jawab terhadap riset pendekatan efektif dalam mengajar membaca. Hasil riset yang dilakukan oleh NRP menjadi bahan pertimbangan penting bagi pemerintah dan kalangan praktisi dalam memperbaiki instruksi membaca di sekolah-sekolah. Salah satu gerakan yang dilakukan pemerintah negara bagian berdasarkan laporan NRP adalah mendesain gerakan No Child Left Behind (NCLB) legislation (Elementary and Secondary Education Act, 2001) (Houston&Torgesen, 2004). No Child Left Behind pun menjadi ikon bagi riset yang berkaitan dengan otak dan hubungannya dengan learning process (BrainConection.com, 2009). Di sana setiap orang tidak ingin ketinggalan dalam memberikan dukungan bagi pendidikan anak khususnya pendidikan anak tunagrahita. Sebuah artikel yang dipublikasikan oleh Bureau of Instructional Support and Community Services Florida Department of Education berjudul Teaching Students with Moderate Disabilities to Read: Insights from Research (Houston&Torgesen, 2004) merupakan contoh adanya dukungan dari dunia akademis.

(7)

Di Indonesia banyak dukungan yang harus ditumbuhkan dari berbagai kalangan. Suatu dukungan yang dapat membantu siswa tunagrahita mendapatkan kehidupan sosial yang normal dan masa depan yang mandiri. Salah satu dukungan yang diberikan adalah melalui berbagai penelitian yang memfokuskan sudut pandang penelitian pada diri individu tunagrahita itu sendiri; apa yang dibutuhkan oleh mereka, media apa yang dapat menggiring mereka pada kemandirian, cara apa yang sesuai dengan karakteristik mereka dan lain-lain.

Karena alasan-alasan itulah perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa tunagrahita khususnya siswa tunagrahita ringan. Dari beberapa alternatif penelitian mengenai membaca maka penelitian pertama yang perlu dilakukan adalah menemukan potensi kekuatan dan kelemahannya serta batas maksimal kemampuan membaca yang bisa dicapainya. Kekuatan dan kelemahan kemampuan membaca tersebut dinyatakan dalam bentuk profil kemampuan membaca. Profil membaca dapat memberikan informasi kepada pendidik mengenai kemampuan membaca siswa tersebut serta mengenai upaya yang perlu dilakukan pendidik di sekolah dan orang tua di rumah dalam meningkatkan kemampuan membaca siswa. informasi yang didapat dari profil dapat digunakan untuk membuat rencana pengajaran membaca yang tepat bagi siswa.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini tidak memfokuskan diri pada kemampuan membaca permulaan siswa tunagrahita ringan dari sudut pandang ilmu bahasa (linguistik)

(8)

tetapi dari sudut pandang ketunagrahitaan yang tidak dapat dilepaskan dari ilmu linguistik. Pada dasarnya siswa tunagrahita ringan juga merupakan makhluk sosial yang memiliki berbagai pengalaman berbahasa. Dalam kondisi dimana zaman ‘berputar’ dengan cepatnya, maka mereka pun dituntut untuk memiliki kemampuan berbahasa, terutama kemampuan membaca, yang sesuai untuk zamannya. Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah profil kemampuan membaca permulaan siswa tunagrahita ringan dan dengan profil kemampuan membaca permulaan siswa non tunagrahita?

2. Bagaimanakah kemampuan membaca permulaan siswa tunagrahita ringan dan siswa non tunagrahita ditinjau dari beberapa aspek linguistik (pengalaman berbahasa), meliputi penggunaan satu/dua bahasa di rumah, kebiasaan menyanyikan lagu dalam bahasa Indonesia, kebiasaan menyanyikan lagu dalam bahasa Sunda, kebiasaan menonton televisi, mendengarkan radio&tape serta mendengarkan isi buku yang dibacakan setiap harinya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana profil kemampuan membaca permulaan siswa tunagrahita ringan dibandingkan dengan siswa non tunagrahita ditinjau dari beberapa aspek linguistik.

(9)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini ada dua macam; untuk kepentingan praktis dan untuk kepentingan riset. Dalam kepentingan praktis, dengan mengetahui sebaran kemampuan membaca permulaan siswa tunagrahita ringan di Kota Tasikmalaya maka para pendidik dan pejabat terkait dapat menyusun rencana program pembelajaran membaca yang lebih spesifik dan efisien. Bagi kepentingan riset, penelitian ini menjadi landasan awal dalam mengembangkan riset selanjutnya baik dalam pengembangan instrumen membaca, metoda pengajaran membaca dan lain sebagainya.

E. Seting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di seluruh SLB di Kota Tasikmalaya ditambah dengan satu sekolah dasar di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya. Siswa tunagrahita ringan yang diteliti berasal dari kelas dua Sekolah Dasar Luar Biasa hingga kelas satu Sekolah Menengah Atas Luar Biasa. Sedangkan siswa non tunagrahita berasal dari kelas satu hingga kelas tiga Sekolah Dasar.

F. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan rincian sebagai berikut:

a. Subjek penelitian terdiri dari siswa tunagrahita ringan dan siswa non tunagrahita.

(10)

b. Variabel penelitian terdiri dari variabel terikat yaitu kemampuan membaca permulaan terdiri dari aspek fonem, morfem, semantik dan sintaksis. Variabel bebas yaitu beberapa aspek linguistik (pengalaman berbahasa) yang terdiri dari penggunaan satu bahasa atau dua bahasa percakapan yang dipakai siswa ketika berinteraksi dengan orang-orang di rumahnya, kebiasaan siswa di rumah dalam menyanyikan lagu dalam bahasa daerah (sunda) yang dikuasainya, kebiasaan menyanyikan lagu dalam bahasa Indonesia, kebiasaan menonton televisi kebiasaan siswa mendengarkan radio&tape, dan kebiasaan siswa mendengarkan isi buku yang dibacakan orang tuanya di rumah.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor tersebut adalah faktor lingkungan fisik, faktor penampilan, faktor tempat dan harga, faktor desain dan faktor promosi mempengaruhi keputusan pembelian konsumen pada

Bank BRI Syariah Kantor Cabang Malang mеrasa gaji yang ditеrima sudah sеsuai dеngan kеbutuhan pokok, sеsuai dеngan masa kеrja dan pеngorbanan karyawan,

dеngan pеngumpulan data mеnggunakan ku е sion еr yang dianalisis mеnggunakan

Siswa menyimak penjelasan guru tentang tugas tiap kelompok, yaitu mengerjakan Lembar Kerja (LK) yang memuat permasalahan seperti yang telah ditampilkan secara

Pemilihan supplier yang hanya didasarkan pada daftar supplier dan kesepakatan harga yang ditawarkan oleh perusahaan dengan pihak supplier juga menjadi masalah

Rekomendasi yang dapat diberikan dalam hasil penelitian yaitu perlu adanya klasifikasi mengenai karateristik lahan terlebih dahulu agar mengetahui permasalahannya

Pengembangan daya tarik kawasan wisata bunga cihideung, kecamatan parongpong, Kabupaten bandung barat.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar menjadi awal dan landasan untuk mengembangkan materi pokok kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk