• Tidak ada hasil yang ditemukan

Schistosomiasis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Schistosomiasis"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 Schistosomiasis a.

Definisi Schistosomiasis

Kata “Schistosoma” (sistosoma) berasal dari kata “schist” yang berarti suatu alur atau kanal yang panjang. Sistosoma satu-satunya trematoda yang mempunyai dua jenis kelamin, sedangkan trematoda yang lain bersifat hermaprodisme (dalam satu individu sudah bersifat jantan dan betina sekaligus) (Sudoyo et al, 2009).

Schistosomiasis atau “demam sungai” disebut juga bilharziasis dari nama Theodor Bilharz, seorang ahli patologi berkebangsaan Jerman yang mengidentifikasi cacing ini pada tahun 1851 (Sudoyo et al, 2009). Schistosomiasis atau penyakit demam keong adalah penyakit menular menahun yang menyerang manusia ( Ditjen PP & PL kemenkes, 2010). Schistosomiasis merupakan penyakit parasit yang bersifat zoonosis (Iskandar, 2009).

b. Epidemiologi

Schistosomiasis adalah penyakit tropis ketiga yang paling dahsyat secara global(setelah malaria dan infeksi usus) dan merupakan penyebab utama morbiditas dan kematian bagi negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Timur Tengah, dan Asia (Olveda et al, 2013).

Organisme kesehatan sedunia (WHO) memperkirakan 800 juta penduduk dunia yang berisiko terkena schistosomiasis dan, 200 juta yang sudah terinfeksi dan 120 juta yang bergejala. Schistosomiasis berhubungan dengan faktor kemiskinan, sanitas yang jelek dan tempat tinggal kumuh. Didaerah endemis insidens sistomiasis umumnya rendah. Prevalensi berhubungan dengan umur 3-4 tahun meningkat sampai 100 % pada umur 15-20 tahun, lalu menurun kembali setelah 40 tahun. Beratnya infeksi ditentukan menurut jumlah telur dalam urine atau tinja, hal mana sesuai pula banyaknya cacing dewasa (Sudoyo et al, 2009).

Daerah sebaran schistosomiasis sesuai dengan sebaran populasi siput yang menjadi hospes perantara masing-masing spesies cacing. Schistosoma Haematobium dilaporkan dari Afrika dan negara-negara Timur Tengah, sedangkan Schistosoma japonicum endemis di Asia Timur dan Asia Tengara termasuk Indonesia. Schistosoma mansoni banyak di

(2)

jumpai di Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Schistosomiasis japonicum di Indonesia dilaporkan endemis di Sulawesi Tengah dengan prevalensi antara 12% sampai dengan 74% ( Soedarto, 2011).

Sebagai hasil dari skema irigasi, peningkatan populasi dan gerakan, status sosial-ekonomi rendah, schistosomiasis (bilharzia) terus menjadi masalah kesehatan masyarakat dan utama sosial-ekonomi untuk beberapa juta orang yang tinggal di daerah pedesaan tropis (Legesse et al, 2009). Hal ini merupakan penyakit intravaskular, yang disebabkan oleh cacing trematoda parasit dari genus Schistosoma (Li et al, 2011).

c.

Etiologi

Skistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang ditemukan pada manusia, yaitu: Schistosoma japonicum, S. haematobium dan S. Mansoni (Rosmini et al, 2010).

Di bidang kesehatan masyarakat, ada lima spesies Schistosoma yang dilaporkan dapat menjadi masalah kesehatan, yaitu S. Intercalatum japonicum, S. Mansoni, S. Haematobium, S. Intercalatum dan S. Mekongi (Soedarto, 2003).

d.

Faktor Resiko 1)

Jenis kelamin

Jenis kelamin laki-laki lebih banyak ditemukan menderita schistosomiasis yaitu dari 196 responden ada sebanyak 43 (21,9%) yang menderita schistosomiasis sedangkan jenis kelamin perempuan yaitu 31 (15,8) (Rosmini et al, 2010)

2) Umur

Menurut (Rosmini et al,2010) Kelompok umur yang ditemukan banyak menderita schistosomiasis yaitu pada kelompok umur 10-19 tahun yaitu sebanyak 17 orang (8,7) (Rosmini et al, 2010).

3) Sumber air

Analisis hubungan antara sumber air yang digunakan untuk kebutuhan sehari hari dengan kejadian schistosomiasis diperoleh bahwa ada sebanyak 56 dari 119 (47,4) responden yang mempunyai sumber air berasal dari sumur menderita schistosomiasis sedangkan diantara respon yang sumber airnya dari mata air yang

(3)

dialirkan melalui pipa ada 18 dari 77 (23,4%) yang menderita schistosomiasis (Rosmini et al, 2010).

4) Aktivitas di hutan

Pada aktivitas di hutan bisa terjadi terinfeksinya schistosomiasis mengolah tergumpulkan rotan, mencari kayu dan berburu di hutan mempunyai kemungkinan besar terinfeksi S japonicum karena sewaktu melakukan kegiatan tersebut tidak jarang mereka melewati daerah fokus keong Oncornelania yang terinfeksi S. Japonicum (Rosmini et al, 2010).

Pada aktivitas di hutan bisa terjadi terinfeksinya schistosomiasis mengolah tergumpulkan rotan, mencari kayu dan berburu di hutan mempunyai kemungkinan besar terinfeksi S japonicum karena sewaktu melakukan kegiatan tersebut tidak jarang mereka melewati daerah fokus keong Oncornelania yang terinfeksi S. Japonicum (Rosmini et al, 2010).

5) Aktivitas di sawah

Pada responden yang bekerja petani disawah lebih lebih banyak ditemukan menderita schistosomiasis yaitu sebanyak 47 (24,0%) dari 196 responden (Rosmini et al, 2010). Prevalensi ditemukan pada responden yang bekerja sebagai petani. Masyarakat yang bukan petani mempunyai prevalensi yang lebih rendah dibandingkan yang bekerja sebagai petani. (Rosmini et al, 2010).

6) Aktivitas di kebun

Aktivitas dikebun yang dimaksud ini misalnnya prilaku responden yang sering bepergian ke daerah fokus yaitu sawah, kebun coklat, kebun sayur ataupun ke pinggir-pinggir hutan untuk mencari kayu dengan kejadian schistosomiasis diperoleh bahwa ada sebanyak 74 dari 189 (39,2%) responden yang pergi ke daerah fokus menderita (Rosmini et al, 2010).

Hafsah, 2013 mengatakan jumlah habitat secara keseluruhan yaitu 144 fokus dengan distribusi persebaran 44,44% (sawah), 29,86% (kebun), 18,06% (padang rumput), dan 7,64% (hutan).

e. Daur hidup

Telur berisi mirasidium yang sudah terbentuk lengkap dan menetas jika telur masuk ke dalam air. Mirasidium berenang aktif untuk menembus keong yang sesuai sesudah

(4)

memasuki keong, berubah menjadi sporokista, kemudian membentuk spokista II dan akhirnya membentuk serkaria. Pada schistosoma, redia tidak dibentuk. Serkaria ke luar dari keong terutama jika kena cahaya dan menginfeksi hospes hewan dengan menembus kulit. Semua serkaria schistosomiasis mempunyai 2 ekor yang bercabang 2 dan tidak mempunyai faring. Ekor serkaria lepas pada waktu menembus dan parasit berubah menjadi schistosomula dalam jaringan hospes. Pertama-tama scistosomula memasuki aliran darahn dan menemukan jalan ke sirkulasi portal. S. Japonicum menjadi dewasa dalam vena mesenterium sirkulasi potral. Telur S. Japonicum terutama dikeluarkan bersama tinja dan telur. (Zaman et al, 1997)

f.

Patofisiologi

Patofisiologi infeksi berhubungan dengan siklus hidup dari parasit sebagai berikut : 1) Serkaria

Penetrasi serkaria pada kulit menyebabkan dermatitis alergika ditempat masuknya. Pada stadium ini kelainan kulit berupa eritema dan papula dengan rasa gatal dan panas 2-3 hari pasca infeksi dan disebut “swinner’s itch”, paling sering disebabkan oleh S.mansoni dan S. japonikum. bilamana jumlah serkaria menembus kulit cukup banyak, maka dapat terjadi dermatitis (cercarial dermatitis) yang akan sembuh sendiri dalam lima hari (Sudoyo et al, 2009).

2) Sistosomula

Sistosomula merupakan cercaria yang tidak berekor yang diangkut melaui darah atau limfatik kesebelah kanan paru-paru dan jantung. Infeksi berat dapat menyebabkan gejala seperti demam dan batuk. Eosinophilia bisa juga ditemukan (Sudoyo et al, 2009).

3) Cacing dewasa

Cacing dewasa tidak memperbanyak diri dalam tubuh manusia. Didalam darah vena, cacing jantan dan betina kawin, kemudian betina bertelur 4-6minggu setelah penetrasi sercaria. Cacing dewasa jarang bersifat patogen. Cacing betina dewasa dapat hidup sekitar 3-8 tahun bahkan lebih 30 tahun dan bertelur sepanjang hidupnya, namun tidak merusak karena hanya telur-telurnya saja yang dapat merusak organ (Sudoyo et al, 2009).

(5)

Telur-telur ini yang menyebabkan schistosomiasis dan demam katayama. Hingga saat ini Katayama patofisiologi yang tepat belum diketahui. Demam Katayama dilaporkan paling sering pada S.japonicum tetapi juga telah dilaporkan terjadi S.mansoni, jarang dirasakan pada schistosomiasis hematobium (Sudoyo et al, 2009). g.

Patogenensis, Imunitas dan Gambaran Klinis

Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh tiga stadia cacing sistosoma yaitu serkaria, cacing dewasa dan telur. Yang paling banyak menyebabkan kelainan adalah telur. Perubahan-perubahan pada schistosomiasis dapat dibagi dalam tiga stadia yaitu: 1) masa tunas biologik, 2) stadium akut dan 3) stadium menahun (Sudoyo et al, 2009).

1) Masa Tunas Biologik

Waktu antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa disebut masa tunas biologik (masa prepatent). Disini terjadi respons baik humoral maupun seluler. Reaksi alergis yang terjadi akibat dari hasil metabolik sistosomula atau cacing dewasa, dan protein asing yang disebabkan adanya cacing yang mati. Manifestasi klinisnya dapat berupa urtikaria atau edema angioneurotik, dapat disertai demam 10 hari kemudian. Gejala batuk produktif dan hemoptisis sering ditemukan pada pasien yang sangat sensitif dan dapat timbul serangan asma. Keadaan toksik dapat muncul antara minggu kedua sampai minggu kedelapan pasca infeksi (Sudoyo et al, 2009).

2) Stadium Akut (Demam Katayama)

Demam katayama dianggap mempunyai kaitan dengan rangsangan telur dan antigen cacing yang diakibatkan oleh terbentuknya kompleks imun, 4-6 minggu setelah terinfeksi yaitu ketika terjadi pelepasan telur. Sindrom schistosomiasis akut berkaitan dengan reaksi imunologis telur sistosoma yang terjerat di jaringan. Antigen yang lepas dari telur mernagsang suatu reaksi granulomatosa terdiri atas sel T, makrofag, dan eosinofil mengakibatkan manifestasi klinis. Tanda dan gejala tergantung dari banyaknya dan lokasi telur pada jaringan pada awal terjadinya reaksi inflamasi yang reversibel, mirip “serum sicness” yang disertai demam, keringat banyak, menggigil dan batuk-batuk, limfadenopati generalisata, dan hepatosplenomegali. Demam katayama jarang dirasakan pada schistosomiasis hematobium. Keluhan ini mulai ringan sampai berat, jarang menimbulkan kematian (Sudoyo et al, 2009).

(6)

Sindroma disentri biasanya ditemukan pada infeksi berat, sedangkan yang ringan hanya diare (Sudoyo et al, 2009).

Hepatomegali timbul lebih dini disusul dengan splenomegali. Hal ini dapat terjadi dalam waktu 6-8 bulan setelah infeksi. Selanjutnya penderita memasuki periode asimptomatis 2-8 minggu, namun demikian secara umum pelangsungannya ringan. Pada pemeriksaan laboratorium mungkin didapatkan leukositosis dan eosinofilia berat. Karena hasil pemeriksaan tinja pada awal infeksi sering hasilnya negatif, maka dianjurkan pemeriksaan diulangi sedikitnya enam kali, sedangkan pemeriksaan serologis positif beberapa minggu setelah telur ditemukan dalam tinja (Sudoyo et al, 2009).

3) Stadium Kronik

Stadium ini mulai enam bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi. Pada infeksi S. mansoni dan S. japonicum ditemukan diare, nyeri perut, berak darah. Pada stadium ini kebanyakan manifestasi klinis disebabkan oleh penumpukan telur-telur dalam jaringan. Respons jaringan granulomatosa di sekitar telur berupa sel-sel yang diatur oleh ada atau tidak adanya suatu kaskade respons sitokin, selular dan humoral. Pembentukan granulomatosa mulai dengan pengerahan sel-sel radang sebagai respons atas sekresi antigen oleh organisme hidup dalam telur. Respons ini dimulai dengan pengerahan sel-sel termasuk fagosit, sel T spesifik dan eosinofil (Sudoyo et al, 2009).

Sel-sel fibroblast, sel-sel raksasa, sel-sel limfosit B akan dominan kemudian hari. Sekali diaktifkan, sel-sel T akan menghasilkan berbagai sitokin misalnya tumor necrosis factor α (TNF-α), interleukin 2 (IL-2), IL-4, dan IL-5, yang selanjutnya mengaktifkan sel-sel endotel untuk mengeluarkan sekresinya (kemokin) yang spesifik seperti monosites chemotactic protein 1 (MCP-1). Akibat rekruitmen elemen sel-sel akan mendorong pembentukan jaringan granulomatosa di sekitar telur-telur. Lesi ini berlipat-lipat kali besarnya dari telur-telur , dan menyebabkan organomegali dan obstruksi. Peningkatan atau penurunan respons kekebalan hospes terhadap telur-telur sistosoma memegang peranan penting dalam membatasi meluasnya jaringan granulomatosa. Akibat lanjut dari respons granulomatosa terjadi pembentukan jaringan fibrosis. Hepar yang tadinya membesar (hepatomegali) karena peradangan dan pembentukan lesi granulomatosis, kemudian mengecil karena terjadi fibrosis (sirosis

(7)

hepatis). Pada sirosis akibat schistosomiasis yang terjadi adalah sirosis periportal yang berakibat terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan dalam jaringan hati. Tanda yang timbul berupa splenomegali, edema pada tungkai bawah atau alat kelamin, asites dan ikterus (Sudoyo et al, 2009).

Manifestasi klinis schistosomiasis kronis umumnya ringan atau sedang saja, sehingga tidak perlu dirawat inap, lain halnya dengan schistosomiasis akut dapat fatal, hal ini tergantung dari spesies sistosoma. Mulanya disangka S. japonicum dapat menimbulkan penyakit yang lebih berat karena dapat memproduksi telur 10 kali lebih banyak dari pada S. mansoni, namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Pada stadium yang sangat lanjut pada infeksi S. mansoni dan S. japonicum dapat terjadi hematemesis melena karena pecahnya varises esofagii, dan dapat ditemukan tumor polipoid intestinalis. Beratnya schistosomiasis intestinalis sering berhubungan dengan beratnya infeksi. Dengan adanya infeksi tambahan hepatitis B, hepatitis C atau keadaan malnutrisi dapat mempercepat terjadinya penurunan fungsi hepar. Pada infeksi S. hematobium, gejala dini dari traktus urinarius berupa disuri, lalu hematuria terminalis dan proteinuria. Gross hematuri dapat berulang. Sequele dapat berupa polip buli-buli, sistitis, infeksi salmonela kronis, pielitis, pielonefritis, urolitiasis, hidronefrosis akibat obstruksi uretra, dan gagal ginjal (Sudoyo et al, 2009).

Pada pemeriksaan laboratorium, telur-telur dapat ditemukan dalam sedimen urine, biopsi atau kerokan mukosa rektum atau buli-buli (Sudoyo et al, 2009).

(8)

(Ross, et al, 2002).

Gambar 2.1 h.

Manifestasi

Schistosomiasis akut (demam katayama): biasanya terdapat pada pengunjung dari daerah nonendemik, 2-6 mingggu setelah pajalan-demam,urtikaria, nyeri kepala, nyeri perut dan diare yang berlangsung selama beberapa hari atau minggu. Gejala SPP mielitis dapat terjadi. Sering terjadi eosinofilia (Mandal et al, 2008)

i. Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam tinja, dahak,urin, atau dalam jaringan biopsi: dapat pula dengan reaksi serologi untuk membantu menegakkan diagnosis (Gandahusada et al, 1990).

Masa inkubasi : 2-6 minggu. 1) Keluahan pokok

a) Ada riwayat sebagai penduduk daerah/ pernah tinggal didaerah endermis b) Demam, menggigil

c) Sefalgi d) Lemah

e) Berat badan merosot f) Batuk nonproduktif 2) Tanda utama

a) Demam katayama (demam plus eosinofili)

b) Hepatomegali terutama lobus kiri, nodul pada hepar

(9)

3) Pemeriksaan laboratorium a) Eosinofili

b) Leukositosis c) Telur dalam tinja

4) Pemeriksaan khusus CT scan (Mubin H, 2007) j.

Komplikasi

Hanya sebagian kecil penduduk di daerah endemis sebagai pengidap berat sistosoma yang kemudian hari dapat memberi komplikasi seperti :

a. Hipertensi portal b. Splenomegali c. Varises esofagii

d. Gangguan fungsi hati : ikterus, asites, koma heoatikum

e. Hipertensi pulmonal dengan korpulmonale, gagal jantung kanan.

f. Gangguan usus besar berupa striktur, granuloma besar, infeksi salmonale yang menetap, poliposis kolon yang mengakibatkan berak darah, anemi, hipoalbuminemia dan clubbing fingers ( jari tabuh).

g. Kontraktur leher buli-buli sering disertai kerusakan M.detrusor. h. Batu buli-buli

i. Obstruksi ren dan buli-buli (Sudoyo et al, 2009).

j. (Greenberg,I.M, 2011) menyatakan bahwa komplikasi juga meliputi hematuria (S.haematobium) dan predisposisi untuk beberapa bentuk kanker kandung kemih. Infeksi pada anak dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan dan anemia.

k.

Pengobatan

1) (Greenberg, M.I 2012) menyatakan bahwa obat Praziquantel efektif pada semua bentuk schistosomiasis hampir tidak ada efek samping. Dan daya sembuh obat ini untuk S.mansoni dan S. Japonicum, 63-85 % dan dapat menurunkan telur-telur lebih 90% setelah 6 bulan terapi. Obat ini tidak sensitif terhadap sistoma muda (2-5 minggu). Dosis 2 x 20 mg/kg berat badan/ hari untuk S. Haematobium dan S.mansoni, dan 3 x perhari untuk S. Japonicum (Sudoyo et al, 2009). Gandahusada,

(10)

1990 mengatakan bahwa obat yang terbaik untuk pengobatan cacing adalah prazikuental.

Efek samping berupa malese, sakit kepala, pusing, anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, diare, pruritus, urtikaria, artralgia, dan mialgia. Gejala ini mulai dari ringan sampai sedang, berlangsung beberapa jam sampai satu hari. Menurut WHO obat ini bisa diberikan pada ibu hamil (Sudoyo et al, 2009).

2) (Greenberg,M.I, 2012) menyatakan bahwa obat Oxamniquine digunakan untuk mengobati schistosomiasis usus di Afrika dan Amerika Selatan. Obat ini sangat efektif hanya untuk S. Mansoni. Dosis sekali 12-15 mg/kg/hari. Ada juga yang memberikan 40-60 mg/kg/hari dosis terbagi 2 atau 3 selama 2-3 hari, diberikan bersama makanan. Angka kesembuhan 70-95 % (Sudoyo et al, 2009).

Efek samping terjadi dalam beberapa jam berupa pusing, vertigo, mual-muntah, diare, sakit perut dan sakit kepala. Walaupun jarang terjadi dapat terjadi perubahan tingkah laku, halusinasi, kejang-kejang setelah 2 jam obat ditelan. Obat ini mempunyai efek mutagenik dan teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu hamil (Sudoyo et al, 2009).

3) Artemisinin obat ini yang digunakan untuk terapi malaria, kini sementara dalam penelitian. Obat ini efektif terhadap sistosomula dan mungkin bermanfaat untuk profilaksis. Pada terapi terhadap S.haematobium, efektifnya jauh dibawah praziquantel (Sudoyo et al, 2009).

4) Greenberg, 2012 menyatakan bahwa obat Metrifonate untuk mengobati schistosomiasis urinarius. Obat ini snagat efektif hanya untuk S.haematobium, namun kini sudah ditarik dari peredaraan (Sudoyo et al, 2009).

5) Tindakan bedah pada keadaan tertentu dibutuhkan tindakan bedah mengeluarkan polip atau sumbatan saluran kemih. Bila ada perdarahan varises esofagus, skleroterapi merupakan tindakanpilihan, walaupun beberapa pasien membaik dengan propranolol. Pada perdarahan yang berulang, pembuatan shunting rupanya kurang bermanfaat. Bila terjadi pansitopeni indikasi untuk splenektomi (Sudoyo et al, 2009).

(11)

Pada keadaan akut dapat dikacaukan dengan : amebiasis, disenteri basiler,malaria, leptospirosis, dan sebab lain dari diare. Padaa keadaan lebih lanjut perlu dibedakan dari berbagai sebab hipertensi portal atau poliposis usus. Di daerah endemis sistomiasis vesikalis harus dibedakan dari penyebab keluhan-keluhan traktus urinarius lain seperti kanker traktus genitourinarius, infeksi saluran kemih (ISK), dan nefrolitiasis, atau tuberkulosis ginjal. Bila ada keluhan-keluhan saluran cerna dapat dikacaukan dengan ulkus peptikum, pankreatitis atau penyakit traktus biliaris (Sudoyo et al, 2009).

m.

Pencegahan

Dilakukan menghindari kontak langsung dengan air tawar yang terkontaminasi, sanitas,terapi untuk penderita, dan pengendalian siput air tawar (Widoyono, 2011).

n.

Penularan

Penularan pada sapi, kuda, dan hewan lain terjadi pada saat hewan tersebut berdiri ditepi danau atau dalam air yang dangkal untuk makan atau minum. Cercaria dapat menembus kulit hewan yang utuh (tanpa luka), menjadi schistosomula, dan terbawa lewat aliran darah ke paru-paru. Kemudian schistosomula akan terbawa ke hati dan ke vena mesenterialis serta tumbuh menjadi cacing dewasa (Soeharsono, 2005).

Manusia tertular penyakit dengan cara seperti pada hewan. Dengan kata lain, manusia tidak tertular secara langsung dari hewan yang bertindak sebagai reservoir parasit, tetapi parasit tersebut memerlukan induk semang antara (siput) untuk menjadi bentuk cercaria (Soeharsono, 2005)

o. Prognosis

Dengan terapi pada infeksi dini hasilnya sangat baik. Kelainan patologi dari hepar, ginjal dan usus membaik dengan pengobatan. Pengidap (karier) Schistosomiasis hepatosplenik relatif baik karena fungsi hepar tetap baik sampai akhir dari penyakit (jika tidak ada perdarahan) (Sudoyo et al, 2009).

Korpulmonale tidak membaik secara bermakna dengan terapi. Tergantung dari lokasi luasnya lesi biasanya membaik dengan terap. Tergantung dari lokasi dan luasnya lesi biasanya membaik dengan terapi. Karier schistosomiasis medula spinalis harus diwaspadai. Pemberian praziquantel harus diberikan secepatnya. Dalam keadaan lanjut prognosisnya jelek (Sudoyo et al, 2009).

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Adimihardja, A., Hardjowigeno, W., Fagi, A.M., Hartalik, W. (2004) Tanah Sawah Dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah Dan Agroligmat, Depertemen Pertanian.

BUMN, 2014. Salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Jakarta: bumn.

Ditjen PP & PL kemenkes, 2010, Program Pengendalian Schistosomiasis, Kementrian RI. Greenberg,I.M., (2008) Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan, Jilid 3, Jakarta : Erlangga.

Hidayat,A.A., (2011) Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif, Surabaya : health Books Publishing.

Hafsah, 2013, Karakteristik Habitat Dan Morfologi Siput Ongcomelania Hupensis Lindoensis Sebagai Hewan Reservoir Dalam Penularan Shistosomiasis Pada Manusia Dan Ternak Di Taman Nasional Lore Lindu (Habitat Characteristics And Morphology Of Oncomelania Hupensis Lindoensis As A Reservoir In Transmission Of Schistosomiasis On Human And Animal In Lore Lindu National Park), J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, 20, (2) : 144 – 15.

Gandahusada, S., Pribadi, W., Illahude, H.D. (1990). Parasitologi Kedokteran. Jakarta : FKUI. Iskandar, 2009, Tinjauan Skistosomiasis Pada Hewan DanManusia DiLembah Napu, Lembah

Besoa Dan Lembah Danau Lindu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.

Legesse, M., Jones, C.R., Singh, S.K., Erko, B., Mekonnen, Y., 2009. Community’s Awareness About IntestinalSchistosomiasis And The Prevalence Of Infection In Two Endemic Localities Of Ethiopia, Community’s Awareness about Intestinal Schistosomiasis and the Prevalence, 19 (2) : 103-110.

(13)

Li, Y., Ross, A.G., Hou, X., Lou, Z., McManus, D.P., 2011. Oriental schistosomiasis with neurological complications: case report,Annals of clinical microbiology and antimicrobials. 10 (5) : 2-5.

Litbang, 2013, Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Sawah Dan Lahan Sawah Tadah Hujan, Raker Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

Nugrahaeni., (2012) Konsep Penelitian Epidemiologi. Jakarta : EGC.

Mandal, B.K., Wilkins, E.G.L., Dunbar, E.M., Mayon-White, R.T. (2006) Lecture Note:Penyakit Infeksi.ed. VI. Jakarta : Erlangga.

Mubin A.H., (2008), Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Olveda, D.U et al., 2013, Bilharzia: Pathology, Diagnosis, Management and Control. Tropical Medicine & Surgery, 1 (4): 2-9.

Rosmini., Soeyoko., Sumardi, S., 2010. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penularan Schistosoma japonicum Di Dataran Tinggi Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Buletin Penelitian Kesehatan, 38 (3): 131-139.

Ross, A.G.P., Bartley, P. B., Sleigh, A.C., Olds, G.R., Li, Y., Williams, G.M., McManus, D.P., 2002. Schistosomiasis. the new england journal of medicine, 346 (6) : 1213

Setiawan, E., (2012) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudoyo., (2009) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 3. Jakarta, Interna Publishing. Sugiyono., (2010) Statistik Nonparametris Untuk Penelitian, IKAPI.

Soeharsono., ( 2005) Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia, Volume 2, Yogyakarta: Kanisius.

Veridiana dan chadijah, 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Masyarakat Dalam MencegahPenularan Schistosomiasis Di Dua Desa Di Dataran Tinggi Napu Kapupaten Poso, Sulawesi Tengah Tahun 2010, Balai Litbang P2B2 Donggala, Media Litbangkes, 23 (3): 130-136, diakses pada 18 februari 2015.

Widoyo., (2011) Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya, Edisi 2, Jakarta : Erlangga.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah telur menetas, serangga menjadi hewan kecil kemudian berkembang menjadi dewasa yang tidak mengalami perubahan bentuk hanya terjadi perubahan

Cacing pita dewasa hidup dalam usus kambing dan domba akan melepaskan segmen yang masak bersama tinja, segmen tersebut pecah dan melepaskan telur. Telur- telur cacing dimakan

Schistosomiasis adalah penyakit infeksi parasit kronis yang disebabkan oleh cacing darah (Trematoda) dari genus Schistosoma.. Schistosomiasis merupakan parasit yang biasa

 Kelainan yang disebabkan oleh larva  ERUSISME / dermatitis ulat/ Caterpillar dermatitis..  Kelainan yang disebabkan oleh Std

Tidak terjadi penularan dari orang ke orang, namun orang yang menderita schistosomiasis kronis menyebarkan infeksi dengan dikeluarkannya telur bersama urin atau feces

Angka infeksi serkaria pada keong di Lindu pada tahun 2011 sampai 2013 ditemukan menurun, akan tetapi tidak tersedia data angka infeksi pada keong di tiga daerah endemis karena

1) Penyakit kaki gajah (Filariasis) disebabkan oleh cacing filaria dan dapat menyebabkan kecacatan. 2) Cacing filaria akan dimatikan oleh obat sehingga terjadi penyembuhan.

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa