EKA WIDIYASTUTIK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Nilai Ekonomi Hasil Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Di Sub DAS Tirto adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
Eka Widiyastutik
Land Rehabilitation (GERHAN) Results in Sub DAS Tirto, Jawa Tengah. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO and BRAMASTO NUGROHO.
One of the efforts to improve the decreasing function of forest and land is by conducting national movement on forest and land rehabilitation (GERHAN). GERHAN is one kind of investments, like another investment there always an expectation of benefits from the result of its. The objective of this study were to elaborate total economic value of GERHAN results in Sub DAS Tirto and to determine the variables which influence to the failure of GERHAN. Total economic value was calculated by using the market price, replacement cost and contingency valuation methods and it was based on estimating direct use, indirect use, and non use value (option and existence value). The result was obtained that the total economic value of 1463 ha rehabilitation land in Sub DAS Tirto is Rp 331.223.929.621 in 15 years analysis periods (rotation of cutting wood trees) with a 15% rate of interest or Rp 15.093.367/ha/year. From these benefits are share 92,21% by direct benefits, 6,64% by indirect benefits and 1,15% non use value. These benefits were obtained from percentage of rehabilitation trees growth 88% for wood tree and 85% for multi purpose tree species (MPTS). Some variables that influence to failure of GERHAN were farmer participation in rehabilitation planning, marketing products, incentive of rehabilitation and the integrated implementation rehabilitation with land use direction.
Key word :Sub DAS Tirto, GERHAN (national movement on forest and land rehabilitation), economic value
RINGKASAN
EKA WIDIYASTUTIK. Nilai Ekonomi Hasil Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) di Sub DAS Tirto Propinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan BRAMASTO NUGROHO
Sub DAS Tirto merupakan salah satu Sub DAS di pantai utara Jawa Tengah, luas wilayahnya ±15.937,44 ha yang meliputi 3 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan (98,88%), Blora (0,88%) dan Pati (0,84%). Karena kekritisan dan potensi kerusakannya menyebabkan Sub DAS Tirto termasuk dalam kategori prioritas I untuk ditangani. Untuk memperbaiki kerusakan hutan dan lahan guna meningkatkan produktifitas dan memulihkan fungsinya sebagai perlindungan DAS maka dilakukan rehabilitasi yaitu melalui GERHAN. Sejumlah biaya dan pengorbanan telah dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis di Sub DAS Tirto. Dari tahun 2003-2008, seluas 1463 ha telah menelan dana sebesar
Rp 3.242.663.450. Sebagai sebuah investasi maka pasti selalu ada
manfaat/keuntungan yang diharapkan baik manfaat langsung maupun tidak langsung. GERHAN merupakan kegiatan yang bersifat hibah seharusnya hal tersebut merupakan pendorong keberhasilannya tetapi pada kenyataannya banyak dijumpai kegagalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar manfaat (langsung maupun tidak langsung) yang dihasilkan dari kegiatan GERHAN di Sub DAS Tirto dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan potensi kegagalan GERHAN.
Nilai ekonomi yang dihitung meliputi nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai bukan guna (nilai pilihan dan keberadaan). Metode yang digunakan dalam pendugaan nilai ekonomi hasil GERHAN di Sub DAS Tirto ini adalah pendekatan harga pasar untuk barang dan jasa yang diperdagangkan, sementara untuk barang dan jasa yang tidak diperdagangkan menggunakan teknik pengukuran tidak langsung yaitu pendekatan biaya pengadaan, dan biaya pengganti, serta pengukuran secara langsung dengan pendekatan kontingensi. Untuk mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap potensi kegagalan dilakukan analisis pengaruh variabel-variabel penduga penyebab kegagalan terhadap kegagalan GERHAN yang tercermin dari prosentase kegagalan tanaman.
Dari hasil kegiatan GERHAN di Sub DAS Tirto seluas 1463 ha, dengan rata-rata keberhasilan tanaman kayu 88% dan tanaman MPTS 85%, periode analisis 15 tahun, dan pada tingkat suku bunga 15% diperoleh nilai kini sebesar Rp 331.223.929.621 atau Rp 15.093.367/ha/tahun. Dari nilai ini menunjukkan bahwa dengan dilakukan rehabilitasi atau penanaman tanaman kayu dan tanaman MPTS akan memberikan harapan manfaat langsung dan tidak langsung yang lebih besar dari pada lahan dibiarkan dalam kondisi kritis atau tegalan dengan tanaman semusim saja yang hanya memberikan manfaat sebesar Rp 10.699.707/ha/tahun. Nilai manfaat GERHAN di Sub DAS Tirto terdiri dari nilai guna langsung Rp 324.662.438.996 (98,02%), nilai guna tidak langsung Rp 2.499.738.902 (0,75%) dan nilai bukan guna Rp 4.061.751.724 (1,23%). Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa nilai manfaat GERHAN di Sub DAS Tirto lebih didominasi dari manfaat yang bersifat nyata dapat dirasakan oleh masyarakat yaitu berupa nilai guna langsung atau manfaat yang langsung dapat diambil dari hasil rehabilitasi sebagai
GERHAN di Sub DAS Tirto tidak memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Begitu juga dengan nilai bukan guna yang diukur dengan pendekatan kontingensi berdasarkan persepsi masyarakat hanya 1,23% dari nilai manfaat total. Kecilnya nilai bukan guna ini menggambarkan persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya hasil rehabilitasi yang dikuantifikasikan untuk menunjukkan nilai atau manfaat dari barang dan jasa lingkungan yang dihasilkan dari kawasan yang direhabilitasi. Dengan tingkat pendapatan masyarakat yang hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari (rata-rata Rp 755.625./bulan) menyebabkan masyarakat belum bisa memikirkan untuk kebutuhan yang lainnya apalagi untuk suatu hal yang belum secara nyata manfaatnya seperti nilai pilihan dan nilai keberadaan. Secara ekonomi GERHAN layak untuk dilaksanakan yang ditunjukkan dari hasil analisis ekonomi kegiatan GERHAN seluas 1463 ha dengan
periode analisis 15 th pada tingkat suku bunga 15% diperoleh NPV = Rp 111.034.577.505, BCR = 1,5 dan IRR = 62,91%.
Variabel yang diduga penyebab kegagalan yang diamati adalah : kurangnya keikutsertaan masyarakat sesuai dengan kapasitasnya dalam perencanaan
rehabilitasi (X1), ketidak sesuaian jenis tanaman dengan kondisi ekologisnya (X2),
rendahnya kualitas bibit (X3), ketidak sesuaian jenis dengan yang diusulkan (X4);
kondisi bibit waktu diterima kurang bagus (X5); sulitnya pemasaran hasil (X6);
kurangnya insentif/penghargaan untuk kegiatan rehabilitasi (X7); Kurangnya
kapasitas instansi terkait dalam kegiatan rehabilitasi dilihat dari kecukupan
tenaga kerja, kapasitas teknis dan dukungan logistik (X8); kurangnya keterpaduan
kegiatan rehabilitasi dengan perencanaan penggunaan lahan yang lebih luas (X9);
Ketidakjelasan pembagian hak dan kewajiban para pihak dalam hal rehabilitasi
hutan dan lahan (X10). Dari kesepuluh variabel tersebut terdapat 4 variabel yang
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap kegagalan GERHAN yaitu kurangnya keikutsertaan masyarakat sesuai dengan kapasitasnya dalam
perencanaan rehabilitasi (X1), sulitnya pemasaran hasil (X6), kurangnya
insentif/penghargaan untuk kegiatan rehabilitasi (X7) dan kurangnya keterpaduan
kegiatan rehabilitasi dengan perencanaan yang lebih luas (X9). Hubungan antara
kegagalan GERHAN dengan variabel penentunya digambarkan dalam persamaan
Y = -0.05 + 0.028X1 + 0.012X6 + 0.045X7 + 0.019X9 dari model ini diperoleh
koefisien determinasi 52%. Berdasarkan persamaan tersebut apabila keempat variabel tersebut dapat diperbaiki dalam kondisi yang maksimal dapat menekan kegagalan GERHAN sampai 5,4%
Kata Kunci : Sub DAS Tirto, GERHAN (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), nilai ekonomi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EKA WIDIYASTUTIK
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Nilai Ekonomi Hasil Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) di Sub DAS Tirto Propinsi Jawa Tengah
Nama : Eka Widiyastutik
NRP : E151070141
Mayor : Ilmu Pengelolaan Hutan
Disetujui Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Prof.Dr. Ir.Khairil. A.Notodiputro, MS
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini bertema “Nilai Ekonomi Hasil Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) di Sub DAS Tirto Propinsi Jawa Tengah”. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini terutama :
1. Dr.Ir.Hariadi Kartodihardjo,MS dan Dr.Ir.Bramasto Nugroho,MS selaku
dosen pembimbing serta Dr.Ir. Supriyanto selaku dosen penguji.
2. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Departemen Manajemen Hutan
dan teman-teman IPH angkatan 2007 atas bantuan dan dukungannya.
3. Departemen Kehutanan sebagai sponsor, Pusdiklat Departemen Kehutanan,
Pimpinan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan serta BPDAS Pemali Jratun yang memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 ini.
4. Pimpinan beserta staf Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten
Grobogan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Dinas Kehutanan Kabupaten Blora, yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data.
5. Kedua orangtuaku, suamiku Heru Djatmika, anakku Idza dan Andis, serta
seluruh keluargaku atas segala doa, kesabaran dan dukungannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Insya Allah.
Bogor, Februari 2010
Pendidikan Sarjana ditempuh di Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2007 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi ke program pasca sarjana IPB pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH). Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Penulis merupakan staf di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah V sejak tahun 1998 hingga sekarang yang berganti nama menjadi Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Pemali Jratun salah satu UPT Ditjen RLPS Departemen Kehutanan.
DAFTAR ISI
Daftar Tabel ... xiii
Daftar Gambar ... xv
Daftar Lampiran ... xvi
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1
I.2. Pertanyaan Penelitian... 3
I.3. Tujuan Penelitian ... 4
I.4. Manfaat Penelitian ... 5
I.5. Kerangka Pemikiran... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA II.1.Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN/GNRHL)... 11
II.2.DAS/Sub DAS Sebagai Unit Analisis ... 13
II.3.Penilaian Ekonomi... 14
II.4.Analisa Manfaat dan Biaya Proyek... 20
II.5.Imbalan Jasa Lingkungan RHL ... 21
II.6.Penelitian Sebelumnya ... 24
II.7.Faktor Penyebab Kegagalan Rehabilitasi ... 26
III.METODE PENELITIAN III.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
III.2.Lingkup Penelitian... 29
III.2.1.Lokasi Penelitian ... 29
III.2.2.Lingkup Nilai Ekonomi yang Dinilai ... 30
III.3.Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data ... 30
III.3.1.Pengambilan Sampel... 30
III.3.2.Pengambilan Data ... 31
III.4.Analisis Data ... 31
III.4.1.Nilai Ekonomi Total Hasil GERHAN... 31
III.4.2.Analisis Faktor Penyebab Potensi Kegagalan GERHAN ... 46
III.4.3.Rancangan Sistem Insentif Untuk Tidak Merusak Hutan dan Lahan... 49
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 50
IV.1.Keadaan Biofisik ... 50
IV.2.Keadaan Sosial Ekonomi ... 53
IV.3.Rehabilitasi Lahan Kritis Melalui GERHAN... 54
IV.4.Evaluasi GERHAN oleh Pemerintah ... 56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59
V.1. Nilai Ekonomi Total Hasil GERHAN ... 59
V.1.1. Nilai Guna Langsung ... 64
V.1.2. Nilai Guna Tidak Langsung ... 74
V.1.3. Nilai Bukan Guna ... 83
V.2.Analisis Kelayakan ... 86
V.3.Faktor Penyebab Potensi Kegagalan GERHAN... 93
DAFTAR PUSTAKA ...108 LAMPIRAN ...111
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perubahan Kebijakan Pemerintah Mempengaruhi Program
Rehabilitasi Hutan... 12
Tabel 2. Perbedaan Insentif Variabel (Variable Incentives) dan Insentif Pemungkin (Enabling Insentives)... 23
Tabel 3. Estimasi Nilai Ekonomi Hutan... 25
Tabel 4. Nilai Ekonommi Total Hutan Alam Produksi Pada Berbagai Intensitas Penebangan ... 26
Tabel 5. Sub DAS Tirto Menurut Wilayah Administrasi ... 50
Tabel 6. Kelas Kelerengan Sub DAS Tirto ……… 51
Tabel 7. Luas Kekritisan Lahan Sub DAS Tirto ... 52
Tabel 8. Jumlah Penduduk dalam Wilayah Sub DAS Tirto... 53
Tabel 9. Kegiatan GERHAN (Vegetatif) di Wilayah Sub DAS Tirto ... 55
Tabel 10. Kegiatan GERHAN (Sipil Teknis) di Wilayah Sub DAS Tirto ... 56
Tabel 11. Keberhasilan Tanaman GERHAN di Wilayah Sub Tirto ... 57
Tabel 12. Nilai Ekonomi Total Hasil Rehabilitasi Sub DAS Tirto... 61
Tabel 13. Nilai Manfaat Lahan Tanpa Kegiatan Rehabilitasi ... 63
Tabel 14. Perkiraan Nilai Ekonomi Hasil GERHAN Pada Berbagai Keberhasilan Tanaman ... 64
Tabel 15. Kondisi Harga Kayu Bundar Jati di Kabupaten Grobogan ... 65
Tabel 16. Prediksi dan Nilai Hasil Kayu Jati dari GERHAN di Sub DAS Tirto.65 Tabel 17. Jenis dan Jumlah Tanaman MPTS GERHAN di Sub DAS Tirto... 66
Tabel 18. Prediksi Hasil Tanaman MPTS GERHAN di Sub DAS Tirto... 68
Tabel 19. Nilai Hasil Tanaman Semusim per Tahun ... 70
Tabel 20. Nilai Hasil Tanaman Empon-Empon per Tahun... 71
Tabel 21. Nilai Hijauan PakanTernak Pada Lokasi GERHAN di Sub DAS Tirto... 73
Tabel 22. Nilai Kayu Bakar pada Lokasi Kegaiatn GERHAN di Sub DAS Tirto... 74
Tabel 23. Kandungan Unsur Hara Makro pada Masing- Masing Jenis Tanah di Sub DAS Tirto... 75
Tabel 24. Nilai Pengurangan Erosi On-plot per tahun... 75
Tabel 25. Nilai Pengurangan Sedimentasi dari Masing- Masing Lokasi Tanaman ... 76 Tabel 26. Prediksi Nilai Pengurangan Erosi dan Sedimentasi di Sub DAS Tirto77
Tabel 30. Nilai Jasa Penyerapan Karbon Tanaman Rehabilitasi (GERHAN) di Sub DAS Tirto ... 83 Tabel 31. Nilai Pilihan Hasil Rehabilitasi (GERHAN) di Sub DAS Tirto ... 85 Tabel 32. Nilai Keberadaan Hasil Rehabilitasi (GERHAN) di Sub DAS Tirto.. 86 Tabel 33. Aliran Kas Kegiatan Rehabilitasi (GERHAN) di Sub DAS Tirto... 87 Tabel 34. Analisis Finansial Kegiatan Rehabilitasi (GERHAN) Pada
Tia Luas Kepemilikan di Sub DAS Tirto... 92 Tabel 35. Pendapatan Petani dari Hasil GERHAN Pada Berbagai Strata
Kepemilikan ... 93 Tabel 36. Hasil Analisis Varian Faktor Penyebab Kegagalan GERHAN... 94 Tabel 37. Biaya GERHAN di Sub DAS Tirto ... 97
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Nilai Ekonomi Hasil GERHAN... 10
Gambar 2. Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan Menurut Turner et al, 1994. ... 15 Gambar 3. Bagan Alir Pemilihan Metode Penilaian Nilai Guna Langsung
(Direct Use Value) Sumberdaya Hutan (James, 1991) …………... 17 Gambar 4.`Bagan Alir Pemilihan Metode Penilaian Nilai Guna Tidak
langsung, Nilai Pilihan dan Nilai Keberadaan Sumberdaya Hutan (James, 1991) ... 18 Gambar 5. Lokasi Penelitian di Sub DAS Tirto... 29
Gambar 6. Proyeksi Manfaat dan Biaya GERHAN di Sub DAS Tirto………… 91
Gambar 7. Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan dan Lahan ... 98 Gambar 8. Penyebab Langsung Kerusakan Hutan dan Lahan Menurut
Persepsi Masyarakat ... 99 Gambar 9. Penyebab Pokok Kerusakan Hutan dan Lahan Berdasarkan Persepsi
Masyarakat... 101 Gambar 10.Insentif yang Dibutuhkan... 103
Lampiran 2 Pendugaan Nilai Manfaat GERHAN... 114
Lampiran 3 Pendugaan Nilai Manfaat GERHAN (keberhasilan 70%) ... 119
Lampiran 4 Pendugaan Nilai Manfaat GERHAN (keberhasilan 50%)... 124
Lampiran 5 Pendugaan Nilai Manfaat GERHAN (keberhasilan 30%)... 129
Lampiran 6 Prediksi Hasil Kayu Jati Pada Masing-masing Lokasi yang Direhabilitasi (GERHAN) di Sub DAS Tirto... 134
Lampiran 7 Hasil Tanaman Semusim Pada Masing- Masing Lokasi GERHAN ... 136
Lampiran 8 Prediksi Hasil Tanaman Empon-Empon pada Lokasi GERHAN di Sub DASTirto... 139
Lampiran 9 Perhitungan Nilai Ekonomi Hijauan pakan ternak ... 140
Lampiran 10 Pendugaan Nilai Hija uan pakan ternak dari Masing- masing Lokasi GERHAN di Sub DAS Tirto ... 142
Lampiran 11 Pendugaan Nilai Kayu Bakar dari Lokasi Rehabilitasi (GERHAN) di Sub DAS Tirto... 143
Lampiran 12 Pendugaan Nilai Pengendalian Erosi dan Sedimentasi ... 144
Lampiran 13 Pendugaan Nilai Ekonomi Air Untuk Keperluan Rumah Tangga 146 Lampiran 14 Rekapitulasi Hasil wawancara Faktor Penyebab Kegagalan GERHAN ... 149
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Akibat eksploitasi yang berlebihan, sumberdaya hutan maupun lahan telah mengalami penurunan kualitas maupun kuantitasnya. Berdasarkan pengukuran luas hutan pertengahan tahun 1980an (program pemetaan RePPProt) dan MoFEC tahun 1996, dalam jangka waktu 12 tahun telah terjadi pengurangan luas hutan di Indonesia sebesar ± 20 juta hektar atau rata-rata sebesar 1,7 juta hektar per tahun (World Bank, 2001). Angka tersebut telah melebihi taksiran laju deforestrasi yang dapat diterima yaitu berkisar antara 0,6 – 1,3 juta hektar per tahun (World Bank, 1994 dalam World Bank, 2001). Laju deforestasi ini diperkirakan semakin besar dan tidak terkendali karena semakin meningkatnya kegiatan illegal logging dan konversi hutan menjadi areal penggunaan lain. Luas hutan Indonesia mengalami penurunan rata-rata 1,872 juta Ha (1,7%) per tahun pada periode tahun 1990-2000, dan 1,871 juta Ha (2%) per tahun pada periode tahun 2000 – 2005 (FAO, 2007).
Kerusakan hutan dan lahan telah menimbulkan berbagai macam bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang menyebabkan kerugian materi dan korban jiwa. Walaupun tidak dapat dikatakan dengan begitu saja bahwa kerusakan hutan menyebabkan banjir, tetapi pengaruh aktifitas tataguna lahan terutama di daerah hulu dapat memberikan akibat yang nyata pada volume air dan waktu tercapainya debit puncak sebagai respon daerah aliran sungai (DAS) terhadap curah hujan.
Sub DAS Tirto yang merupakan bagian dari DAS Serang ds meliputi 3
wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Grobogan (98,88%), Kabupaten Blora (0,88%), dan Kabupaten Pati (0,84%). Kondisi hutan dan lahannya telah
mengalami kerusakan yang cukup luas, dari luas total ± 15.937,4 ha seluas
2581,58 Ha (16,2%) telah mengalami degradasi sehingga masuk dalam kriteria agak kritis, kritis dan sangat kritis (BPDAS Pemali Jratun, 2004). Pada Sub DAS tersebut mengalir anak sungai menuju sungai Lusi yang merupakan salah satu sungai besar yang mengalir melalui Kabupaten Grobogan, dan sering meluap menyebabkan banjir pada musim penghujan. Karena kekritisan dan potensi
dampak kerusakannya membuat Sub DAS Tirto termasuk dalam kategori prioritas I untuk ditangani.
Untuk memperbaiki kondis i hutan dan lahan pada daerah-daerah yang telah mengalami kekritisan tersebut maka dilakukan upaya rehabilitasi melalui kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). GERHAN
dilaksanakan mulai tahun 2003, diselenggarakan untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan, sehingga diharapkan dapat berfungsi kembali sebagai perlindungan DAS, sekaligus untuk mendukung produktivitas sumberdaya hutan dan lahan serta melestarikan keanekaragaman hayati.
GERHAN merupakan sebuah investasi, sejumlah sumberdaya finansial, sosial, fisik dan material ditanamkan untuk upaya pemulihan produktifitas hutan dan lahan. Selama enam tahun (tahun 2003 - 2008) kegiatan GERHAN di Sub DAS Tirto telah menelan dana sebesar Rp 3.242.663.450 untuk merehabilitasi lahan kritis seluas ± 1.463 ha melalui kegiatan pembuatan hutan rakyat (Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Grobogan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Dinas Kehutanan Kabupaten Blora, tahun 2009)
Sebagaimana investasi pada umumnya akan selalu ada keuntungan atau manfaat yang diharapkan. Manfaat yang diperkirakan akan dihasilkan dari kegiatan GERHAN secara menyeluruh baik manfaat yang dapat dinilai langsung
dengan uang (tangible benefits) maupun yang tidak dapat dinilai langsung dengan
uang (intangible benefits) antara lain berupa hasil kayu dan non kayu bagi
masyarakat, perbaikan fungsi hidrologi DAS, pengendalian erosi, maupun jasa penyimpan karbon.
GERHAN dibiayai Pemerintah hanya sampai pemeliharaan tahun kedua, selepas itu keberhasilannya akan tergantung oleh peran masyarakat pemilik lahan karena GERHAN dilaksanakan di lahan milik dimana pemilik lahan mempunyai hak penuh terhadap pengelolaan lahan selanjutnya. Manfaat-manfaat dari hasil GERHAN umumnya baru dapat dinikmati dalam jangka panjang jika GERHAN berhasil sedangkan manfaat terutama jasa lingkungan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat lokal yang melaksanakan kegiatan tetapi juga oleh masyarakat luas
3
didaerah hilir. Untuk membangun hubungan hulu hilir yang dapat menguntungkan semua pihak, diperlukan pengaturan pembagian keuntungan dari jasa lingkungan yang dinikmati masyarakat hilir dengan pemberian penghargaan berupa insentif kepada masyarakat pemilik lahan untuk tetap mau memelihara mempertahankan tanaman rehabilitasi sampai dapat memberikan manfaat-manfaat tersebut.
Kegiatan GERHAN merupakan kegiatan hibah dimana untuk petani menerima bantuan bibit, biaya penanaman dan pemeliharaannya sampai tahun kedua serta hasilnya untuk masyarakat sendiri. Hal tersebut seharusnya menjadi pendorong keberhasilan GERHAN tetapi pada kenyataannya banyak dijumpai kegagalan, oleh karena itu perlu dicari penyebab kegagalan sebagai bahan pembelajaran dimasa mendatang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan penilaian ekonomi hasil GERHAN khususnya di Sub DAS Tirto Propinsi Jawa Tengah untuk mengetahui berapa besar nilai manfaat dari hasil GERHAN; menganalisis faktor-faktor penyebab kegagalan GERHAN, serta mengkaji sistem insentif yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk tetap memelihara tanaman rehabilitasi agar diperoleh manfaat-manfaat dari hasil GERHAN.
I.2. Pertanyaan Penelitian
Untuk memperbaiki kerusakan hutan dan lahan telah dilakukan berbagai program rehabilitasi, salah satunya melalui GERHAN. GERHAN adalah program nasional untuk perbaikan kualitas lingkungan DAS yang dalam pelaksanaannya melibatkan banyak pihak, membutuhkan biaya besar dan diharapkan mempunyai nilai manfaat yang besar pula. Investasi lebih dari satu triliun rupiah dalam GERHAN harus dapat dikembalikan beserta segala marginnya, sejumlah sumberdaya finansial, sosial, fisik dan material ditanamkan pada suatu unit RHL (Setyarso,2004). Untuk itu harus diidentifikasi apa yang seharusnya dapat dipasarkan agar investasi tersebut membuahkan hasil yang lebih besar.
Biaya-biaya yang ditimbulkan dari GERHAN bukan hanya biaya langsung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tetapi juga termasuk biaya-biaya lain yang tidak diperhitungkan misalnya sewa tanah atau
biaya tenaga kerja. Begitu juga dengan manfaatnya, dapat bersifat dapat dipasarkan (hasil kayu, non kayu) dan tidak dapat dipasarkan (jasa lingkungan). Untuk mengetahui besarnya keuntungan atau manfaat menyeluruh dari hasil kegiatan GERHAN maka perlu dilakukan penilaian ekonomi terhadap manfaat keseluruhan GERHAN. Hal ini untuk menunjukkan secara obyektif dan kuantitatif seberapa besar kegiatan GERHAN memberikan keuntungan.
Peran daerah hulu sangatlah penting karena pengelolaannya berdampak pada keberlangsungan fungsi lingkungan yang menyokong kehidupan masyarakat di daerah hilir. Begitu juga dengan kegiatan rehabilitasi di daerah hulu, maka dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang melakukan rehabilitasi tetapi juga masyarakat di daerah hilir. Lahan yang direhabilitasi merupakan lahan milik sehingga keberlanjutan kegiatan rehabilitasi sangat tergantung pada pemilik lahan. Untuk itu diperlukan insentif untuk mendorong pemilik lahan pelaku rehabilitasi untuk memelihara tanaman rehabilitasinya sampai memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitarnya.
GERHAN merupakan kegiatan yang bersifat hibah dimana petani diberikan bantuan bibit, biaya penanaman dan pemeliharaan serta hasilnya untuk petani sendiri dengan demikian sudah sepantasnya kalau tanaman dipelihara sampai berhasil. Pada kenyataannya kegiatan GERHAN banyak mengalami kegagalan, faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan tersebut menarik untuk diketahui sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dimasa mendatang.
I.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk :
1. Menduga besarnya nilai ekonomi dari hasil kegiatan GERHAN di Sub DAS
Tirto Propinsi Jawa Tengah
5
I.4.Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah :
1. Memberikan bahan informasi yang memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
mengenai nilai ekonomi hasil kegiatan rehabilitasi, khususnya kegiatan GERHAN di Sub DAS Tirto Propinsi Jawa Tengah.
2. Sebagai bahan masukan untuk evaluasi kebijakan.
I.5.Kerangka Pemikiran
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan dan mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar melalui sungai utama sampai ke laut atau danau. DAS merupakan suatu ekosistem dengan berbagai sumberdaya dalam suatu hubungan saling interaksi. Adanya hubungan keterkaitan tersebut maka segala aktivitas komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Begitu juga dengan aktifitas tata guna lahan di hulu DAS tidak hanya memberikan dampak pada daerah setempat tetapi juga akan menimbulkan dampak pada bagian hilir DAS seperti fluktuasi debit air antar musim (pada musim hujan banjir dan kekeringan pada musim kemarau), transport sedimen serta material terlarut dalam aliran airnya
Tekanan terhadap sumberdaya alam dalam DAS terutama sumberdaya hutan dan lahan telah menyebabkan degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis serta meningkatnya erosi yang dapat menyebabkan menurunnya daya dukung DAS. Untuk memulihkan kerusakan DAS diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan yaitu melalui GERHAN. GERHAN dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi dan produktivitas sumber daya hutan dan lahan.
Rehabilitasi memberikan dampak manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat ekonomi yang dapat teridentifikasi dari kegiatan GERHAN di Sub DAS Tirto adalah sebagai berikut :
1. Nilai guna langsung
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan penanaman tanaman kayu maupun MPTS, tentu saja manfaat langsung yang dapat diharapkan adalah dari
hasil kayu dan hasil tanaman MPTS, hasil tanaman semusim dan empon- empon
yang ditanam secara swadaya, kayu bakar, dan hijauan pakan ternak.
2. Nilai guna tidak langsung
2.1.Pengendalian erosi
Rehabilitasi dengan penanaman tanaman kayu-kayuan pada saatnya nanti penutupan tajuk tanamannya akan memperbaiki penutupan lahan sehingga dapat melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung. Selain itu perakaran dari tanaman rehabilitasi akan memperbaiki struktur tanah yang dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi sehingga air hujan yang jatuh dapat lebih banyak diserap kedalam tanah dan mengurangi aliran permukaan yang menyebabkan erosi. Berdasarkan penilaian dampak lingkungan pada lima proyek rehabilitasi yang dilakukan oleh CIFOR, pada proyek hutan rakyat menunjukkan telah ada dampak positif pada variabel erosi tanah setelah 5 tahun pertama maupun pada 5 tahun pertama proyek. Menurut laporan hasil evaluasi dampak dan manfaat GERHAN kabupaten Grobogan diharapkan setelah umur 5 tahun nanti penutupan tajuknya akan optimal menutup tanah dari percikan air hujan.
Dampak lanjutan dari erosi adalah sedimentasi pada sungai, saluran irigasi dan badan-badan air lainnya. Sebagaimana diketahui sedimentasi pada sungai menyebabkan kapasitas tampungnya menurun sehingga pada waktu hujan dengan intensitas yang tinggi melebihi kapasitas tampungnya akan menyebabkan luapan air sungai atau banjir, sehingga secara tidak langsung rehabilitasi daerah hulu DAS memberikan dampak pada pengendalian bencana banjir di bagian hilirnya.
2.2.Nilai jasa penyerapan karbon
Dalam proses pertumbuhannya tanaman menyerap karbon yang ada di udara untuk fotosintesis. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa. Jasa penyerapan karbon saat ini sudah ada pasarnya di dunia internasional, melalui pasar sukarela maupun melalui skema Mekanisme
7
Pembangunan Bersih (MPB/CDM) dalam Protokol Kyoto dimana negara-negara maju (Annex 1) mempunyai kewajiban untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kacanya sebesar 5% dibandingkan emisinya pada tahun 1990 melalui proyek aforestasi dan reforestasi (A/R) di negara berkembang. Walaupun masih ada perbedaan definisi A/R untuk kelayakan dalam skema MPB, tetapi pada intinya jasa penyerapan karbon dari rehabilitasi lahan kritis mempunyai nilai ekonomi.
2.3.Nilai hasil air
Tutupan lahan oleh vegetasi pohon dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi aliran air dalam daur hidrologi DAS, antara lain sebagai pendorong perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologis dalam tanah (Asdak, 2004). Kapasitas infiltrasi tanah akan meningkat dengan adanya tutupan vegetasi tersebut. Dengan meningkatnya kapasitas infiltras i menyebabkan air yang masuk dalam tanah menjadi lebih besar. Air hujan yang terinfiltrasi selanjutnya mengalami perkolasi, yaitu setelah lapisan atas jenuh air akan bergerak ke tanah yang lebih dalam akibat gaya gravitasi bumi. Air inilah
yang akan menjadi air tanah yang akan keluar melalui mata air dan mengalir ke
sungai yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat musim kemarau.
Berdasarkan inventarisasi mata air yang dilakukan BPDAS Pemali Jratun, di Sub DAS Tirto terdapat kurang lebih 27 buah mata air, antara lain di Kecamatan Ngaringan (12 mata air), Kecamatan Tawangharjo (6 mata air), Kecamatan Wirosari (2 mata air) dan Kecamatan Tambakromo (7 mata air). Pemanfaatan mata air tersebut sebagian besar untuk kebutuhan rumah tangga.
Dalam Sub DAS Tirto mengalir anak-anak sungai yang berfungsi mengairi sawah irigasi seluas 4.597,73 Ha(28,85%) dari luas Sub DAS Tirto. Sebagaimana uraian sebelumnya, kontinuitas aliran sungai pada musim penghujan maupun musim kemarau dipengaruhi oleh penutupan vegetasi daerah hulunya. Cadangan air tanah pada musim kemarau akan dialirkan melalui mata air-mata air
selanjutnya akan menuju ke sungai sehingga dengan demikian pada musim kemarau sungai tetap dapat mengairi sawah.
Menurut hasil penilaian dampak lingkungan pada lima proyek rehabilitasi yang dilakukan oleh CIFOR, pada proyek hutan rakyat menunjukkan telah ada dampak positif pada variabel hasil air setelah 5 tahun pertama, sedangkan menurut laporan hasil evaluasi dampak dan manfaat GERHAN kabupaten Grobogan dengan keberhasilan tanaman rata-rata 70% diperkirakan setelah tanaman berumur 5 tahun nanti manfaat hasil air dapat dirasakan.
3. Nilai Bukan Guna 3.1.Nilai Pilihan
Penanaman beberapa jenis tanaman kayu, MPTS pada lahan kritis secara bertahap akan membentuk suatu ekosistem yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas habitat untuk keanekaragaman flora maupun fauna. Keberadaan flora dan fauna tersebut merupakan nilai pilihan. Nilai pilihan merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap komoditas yang saat ini digunakan (konsumsi), maupun yang belum dimanfaatkan. Keberadaan flora dan fauna meskipun saat ini kegunaannya belum diketahui tetapi mempunyai potensi manfaat pada masa yang akan datang.
3.2.Nilai Keberadaan
Penanaman tanaman kayu maupun MPTS pada saatnya nanti mampu memberikan kenyamanan, keindahan dan nilai budaya bagi masyarakat setempat. Manfaat yang dihasilkan dari kenyamanan, keindahan dan budaya merupakan bentuk nilai keberadaan. Menurut Bahruni (1999) nilai keberadaan merupakan nilai yang menggambarkan manfaat (kesejahteraan) yang diperoleh seseorang atau masyarakat dengan mengetahui keberadaan sumberdaya tersebut, meskipun masyarakat tersebut tidak memiliki atau menggunakan sumberdaya hutan tersebut. Nilai keberadaan termasuk pula manfaat sosial budaya yang diperoleh masyarakat lokal sebagai interaksi kehidupan sosial budaya mereka dengan keberadaan hutan tersebut, yang berarti keberadaan hutan menentukan kelangsungan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tersebut.
9
Manfaat-manfaat yang telah disebutkan di depan tidak dapat begitu saja dijumlahkan untuk mendapatkan manfaat total dari kegiatan rehabilitasi. Antara manfaat hasil kayu dan manfaat jasa lingkungan mempunyai hubungan yang saling meniadakan, apabila pohon ditebang untuk memperoleh hasil kayu maka otomatis manfaat jasa lingkungan berupa pengendalian erosi, manfaat hasil air dan jasa penyerapan karbon akan hilang. Demikian juga apabila yang diharapkan manfaat jasa lingkungannya maka hasil kayu tidak bisa diambil.
Dari hasil identifikasi manfaat tersebut di atas dapat dikatakan bahwa manfaat dari hasil rehabilitasi hutan dan lahan tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang melakukan rehabilitasi tetapi juga dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat yang tidak melakukan kegiatan rehabilitasi terutama masyarakat yang tinggal di daerah hilir. Untuk mendorong berbagai pihak agar ikut berperan serta dalam rehabilitasi hutan dan lahan maka perlu suatu sistem insentif terutama untuk mendorong masyarakat pelaku rehabilitasi untuk memelihara tanaman agar berbagai manfaat tersebut dapat dirasakan.
Manfaat dari kegiatan rehabilitasi baru dapat dirasakan dalam jangka panjang setelah tanaman rehabilitasi berhasil membentuk suatu ekosistem yang menyerupai hutan terutama, terutama untuk manfaat jasa lingkungan disamping hasil kayu maupun tanaman MPTS. Dalam jangka waktu sampai dapat menghasilkan manfaat tersebut dimungkinkan adanya peluang kegagalan dari tanaman yang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan perlu diketahui sebagai bahan pembelajaran di masa mendatang.
Secara garis besar kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Nilai Ekonomi Hasil GERHAN LAHAN KRITIS dalam
DAS/Sub DAS Sistem Insentif RHL keterangan : : lingkup studi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Rehabilitasi berhasil (pulihnya fungsi dan peningkatan produk-tifitas sumberdaya
hu-tan dan lahan)
Nilai Ekonomi Hasil GERHAN
Marketable Non-marketable
Hasil kayu, MPTS,
kayu bakar dll Jasa lingkungan
Diterima masyarakat yang melakukan Rehabilitasi Rehabilitasi gagal Faktor penyebab kegagalan Dirasakan oleh masyarakat penerima jasa
II.
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN/GNRHL)
Kerusakan hutan dan lahan yang semakin meningkat telah menyebabkan semakin meluasnya dampak kerusakan yaitu dengan kejadian berbagai bencana seperti banjir, kekeringan dan semakin meluasnya lahan kritis. Berbagai upaya pemulihan fungsi sumberdaya hutan dan lahan telah dilakukan dengan berbagai bentuk program rehabilitasi hutan dan lahan.
Rehabilitasi menurut Tim CIFOR 2003 dalam Nawir et al. (2008)
didefinisikan sebagai ”kegiatan yang secara sengaja ditujukan untuk regenerasi pohon, baik secara alami dan/atau buatan, pada padang rumput, semak belukar, atau wilayah tandus yang dulunya merupakan hutan, dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas, penghidupan masyarakat, dan/atau manfaat jasa lingkungan. Sedangkan menurut Departemen Kehutanan, rehabilitasi terdiri atas dua kategori yaitu reboisasi dan penghijauan. Reboisasi atau rehabilitasi hutan didefinisikan dengan kegiatan menanam pohon yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan penghijauan atau rehabilitasi lahan berkenaan dengan kegiatan penanaman pohon yang dilaksanakan di lahan milik masyarakat di luar kawasan hutan.
Penerapan program rehabilitasi telah dilakukan oleh Pemerintah sejak awal tahun 1950 an dengan berbagai pendekatan. Pada periode tahaun 1950-1970an
rehabilitasi menggunakan pendekatan top-down. Antara tahun 1980-1990an
kebijakan rehabilitasi hutan berada pada masa transisi dari top-down ke arah
partisipatif, mulai akhir tahun 1990an secara konseptual kebijakan rehabilitasi lebih partisipatif. Pengaruh kebijakan pemerintah terhadap program rehabilitasi hutan dan lahan sejak tahun 1950an sampai sekarang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perubahan Kebijakan Pemerintah Mempengaruhi Program Rehabilitasi Hutan
Aspek Kebijakan
Orientasi Kebijakan
1950-1960an 1970-1990an 1998 – hingga saat ini
Pengelolaan hutan Difokuskan pada aspek ekologi : mengembalikan dan mempertahankan fungsi ekologis (konservasi tanah dan air) Difokuskan pada aspek ekonomi : berorientasi pada pengelolaan kayu untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor miyak Difokuskan pada pengelolaan berbasis sumberdaya : menyeimbangkan aspek sosial-ekonomi dan lingkungan Skala pengelolaan Pengelolaan skala kecil hingga sedang
Pengelolaan skala besar Pengelolaan hutan berbasis masyarakat Sistem pemerintahan
Pemerintahan terpusat Pemerintahan terpusat Desentralisasi pemerintahan Target rehabilitasi kehutanan Rehabilitasi umumnya dilakukan di pulau Jawa melalui pengembangan tanaman jati Rehabilitasi kawasan hutan produksi dan lahan milik
Rehabilitasi hutan produksi dan kawasan konservasi
Pendekatan pengelolaan
Pendekatan sektoral Pendekatan sektoral Pendekatan terpadu
Pendanaan Pendanaan dari
pemerintah
Pendanaan dari pemerintah dan donor
Prinsip berbagi biaya, namun masih mempunyai
ketergantungan pada dana pemerintah Sumber : Mursidin et al. (1997); Christanty dan Atje, 2000; Dirjen RLPS 2003; Dirjen
RLPS 2004 dalam Murniati, 2007 dan Nawir et al. (2008)
Berdasarkan pengalaman yang lalu, berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan tetap tidak mampu mengimbangi laju kerusakan hutan dan lahan karena kompleksnya faktor yang menyebabkan kerusakan tersebut. Kegiatan rehabilitasi seharusnya dimulai dengan tujuan untuk menyikapi berbagai penyebab degradasi dan deforestasi tersebut (Murniati, 2007). Karena keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan solusi yang tepat terhadap masalah yang juga tepat. Menurut Russell L. Ackoff (1974) dalam Dunn (2004) kita lebih sering gagal karena kita memecahkan suatu masalah yanag salah daripada menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang tepat.
13
Dengan semakin meningkatnya kerusakan sumberdaya hutan dan lahan yang menimbulkan dampak kerusakan yang telah memberikan pembelajaran dan pengalaman berharga betapa besar dan mahalnya kerugian akibat kerusakan tersebut bagi masyarakat maka perlu dilakukan percepatan rehabilitasi hutan dan lahan untuk memulihkan fungsi sumberdaya hutan dan lahan melalui GERHAN. Pelaksanaan GERHAN didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menko, yaitu Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang ditandatangani tanggal 31 Maret 2003, dengan tujuan melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan terencana dengan melibatkan semua instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat untuk memulihkan kualitas sumberdaya hutan/lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Upaya rehabilitasi melalui GERHAN dilaksanakan dalam bentuk penanaman sejumlah bibit pohon dan tanaman buah-buahan di dalam kawasan hutan dan lahan kosong/kritis dengan melibatkan partisipasi berbagai pihak terkait termasuk masyarakat di sekitar hutan. Bentuk kegiatannya meliputi pembuatan hutan rakyat, rehabilitasi mangrove, pembuatan hutan kota dan pembuatan banguan konservasi tanah dan air (embung, dam pengendali, dam penahan, gully plug, umur resapan) serta kegiatan pendukung berupa pengembangan kelembagaan dan kepeloporan TNI.
II.2. DAS/Sub DAS Sebagai Unit Analisis
DAS sebagai bagian dari sistem hidrologi didefinisikan sebagai suatu bentang lahan yang secara topografis dibatasi oleh punggung punggung bukit atau gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkanny a ke laut melalui sungai utama (Asdak C, 2004). DAS terbagi dalam beberapa sub DAS, merupakan suatu ekosistem yang terdiri atas berbagai sumberdaya alam geologi, tanah, air (air permukaan dan air tanah), tumbuhan/hutan, satwa, manusia, iklim, dan berbagai sumberdaya budaya dalam suatu hubungan saling interaksi. Dari aspek kelembagaan, DAS merupakan
sumberdaya alam berupa stok dalam ragam pemilikan, berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok, masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan saling ketergantungan atau interdependensi antar pihak, individu dan/atau kelompok masyarakat serta antar lembaga (Kartodihardjo et al. 2004).
Alasan utama dari pendekatan DAS sebagai unit pengelolaan dan fokus kegiatan rehabilitasi adalah dengan pendekatan DAS lebih holistik dan dapat pula digunakan untuk mengevaluasi hubungan antar faktor biofisik dan intensitas kegiatan sosial ekonomi dan budaya dari daerah hulu ke daerah hilir; dapat pula digunakan untuk menilai dampak terhadap lingkungan secara lebih cepat dan
lebih mudah (Ditjen RLPS 2003 dalam Nawir et al. 2008). DAS atau sub DAS
menerima pengaruh atau merespon langsung antara lain perubahan debit dan hasil air akibat peristiwa presipitasi atau hujan. DAS memiliki keterkaitan biogeofisik yang sangat kuat antara hulu hilir sehingga mampu menggambarkan perubahan perilaku air akibat perubahan karakteristik lanskapnya secara nyata (Asdak,
2004). Selain itu menurut NRC (1999) dalam Nawir et al. (2008), DAS
mempunyai batas wilayah dan konsep unit yang logis untuk pengelolaan ekosistem karena konsep DAS mengakui pentingnya peran air dalam hubungan biologis serta DAS mudah dikenal sehingga memudahkan para pengelola untuk mengukur dan mengamati komponen dasar fisik dan kimia dari suatu ekosistem.
II.3. Penilaian Ekonomi
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, nilai total dari keberadaannya seringkali hanya dinilai dari produk-produk yang memiliki manfaat nyata (tangible benefit) dan terukur dalam mekanisme pasar seperti kayu, padahal berdasarkan pendekatan ekosistem nilai total sumberdaya hutan dan lahan tidak hanya dapat dilihat dari kayu saja tetapi juga harus menilai manfaat-manfaat lain
dari hutan yang bersifat tidak nyata (intangible benefit) seperti penyediaan jasa
hidroorologis, estetika, ritual adat keagamaan dan habitat satwa.
Penilaian didefinisikan sebagai penentuan nilai manfaat barang ataupun jasa bagi manusia atau masyarakat (Davis dan Johnson, 1987). Nilai diartikan sebagai
15
kegunaan, kemanfaatan, kepuasan dan rasa senang yang diperoleh oleh individu atau masyarakat atas keberadaan suatu obyek. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, nilai hutan merupakan ekspresi kemanfaatan hutan berdasarkan ekspresi individu atau masyarakat terhadap sumberdaya hutan tersebut dalam satuan moneter pada ruang atau tempat dan waktu tertentu. Nilai yang dimiliki oleh suatu barang atau jasa akan mengarahkan perilaku pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu, masyarakat, ataupun organisasi.
Nilai ekonomi total dari sumberdaya hutan menurut Turner et al. (1994)
adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan menurut Turner et al.(1994)
Nilai keberadaan (existence value) Nilai ekonomi
Nilai guna (Use value)
Nilai bukan guna (non use value)
Nilai guna langsung
Nilai guna tidak langsung Nilai Pilihan (option value) Nilai Warisan (Bequest value) Kayu, buah, biji Fungsi hidro logis, penyim pan karbon Suaka margasatwa, ekosistem Rekreasi, habitat Biodiversity, pemandangan Dari pembangunan Dari konservasi Total Keuntungan pembangunan Total Keuntungan
Berdasarkan Gambar 2 tersebut total nilai ekonomi dari sumberdaya hutan terdiri dari nilai guna dan nilai bukan guna. Nilai guna dibedakan menjadi nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung. Nilai guna langsung merupakan nilai yang bersumber dari penggunaan secara langsung oleh masyarakat atau perusahaan terhadap komoditas hasil hutan berupa kayu bukan kayu, fauna dan komoditas dari proses ekologis (ekosistem) hutan Sedangkan nilai guna tidak langsung merupakan manfaat yang diperoleh individu/masyarakat melalui suatu penggunaan secara tidak langsung terhadap sumberdaya hutan yang memberikan jasa (pengaruh) pada aktivitas ekonomi/produksi atau mendukung kehidupan mahluk hidup. Nilai sumberdaya hutan yang termasuk nilai guna tidak langsung adalah nilai berbagai fungsi jasa hutan berupa manfaat hutan bagi pengendalian
banjir, prasarana angkutan air (sungai), pengendalian erosi dan penyerapan CO2
(Bahruni, 1999).
Dalam Bahruni (1999) dijelaskan mengenai nilai pilihan, yaitu merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap komoditas yang saat ini digunakan (konsumsi) maupun yang belum dimanfaatkan. Nilai pilihan ini berkaitan dengan adanya ketidakpastian yang bersumber dari dua hal; yang pertama preferensi masyarakat konsumen saat ini terhadap komoditas hutan (barang dan jasa) pada masa yang akan datang maupun preferensi generasi yang akan datang, yang kedua adalah ketidakpastian teknologi pemanfaatan maupun manajemen sumberdaya
terhadap pasokan (supply) komoditas pada masa yang akan datang. Nilai pilihan
seperti nilai flora dan fauna yang saat ini belum dimanfaatkan secara potensial. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan sumberdaya tersebut, berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika dan kultural. Nilai warisan muncul ketika orang-orang menempatkan suatu nilai konservasi sumberdaya tertentu untuk anak cucu (generasi yang akan datang). Nilai keberadaan maupun nilai warisan in i tidak terefleksi dalam harga pasar (Bishop, 1999)
17
Untuk memudahkan dalam memilih metode penilaian ekonomi, berikut ini adalah bagan alir pemilihan metode penilaian dari nilai guna langsung maupun nilai guna tidak langsung (Gambar 3).
Gambar 3. Bagan Alir Pemilihan Metode Penilaian Nilai Guna Langsung (Direct
Use Value) Sumber Daya Hutan (James, 1991)
Pemilihan metode yang digunakan dalam penilaian nilai guna langsung pada Gambar 3 tersebut di atas didasarkan pada seberapa jauh ketersediaan data harga yang ada dan sifat dari barang tersebut. Sedangkan pemilihan metode penilaian untuk nilai guna tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan ditentukan berdasarkan pada dapat tidaknya nilai tersebut direfleksikan pada nilai-nilai manfaat yang mudah terukur (Gambar 4)
ya Data demand dan supply
hasil hutan tersedia lengkap
Metode Manfaat Sosial Bersih (Net Social Benefit Methods)
Ada pasar Hasil Hutan (Hasil hutan di jual di pasar)
Metode Harga Pasar
(Market Price Methods)
Hasil Hutan merupakan Barang Siap Pakai
(Final Product)
Harga Pengganti (Surrogate Price) : 1. Harga Substitusi
2. Harga Substituti tidak langsung 3. biaya oportunitas tidak
langsung
4. Nilai Tukar Perdagangan (Nilai Relatif)
5. Biaya Relokasi
6. Biaya Perjalanan / Pengadaan (Travel cost Methods)
Hasil Hutan merupakan Produk Antara
(Intermediate Product)
Nilai Produksi:
1. Pendekatan Fungsi Produksi
2. Pendapatan Faktor Produksi Bersih ya ya ya tidak tidak tidak
Gambar 4. Bagan Alir Pemilihan Metode Penilaian Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value), Nilai Pilihan dan Nilai Keberadaan Sumber Daya Hutan (James, 1991)
Dalam penelitian ini metode penilaian untuk nilai guna langsung (hasil kayu, tanaman MPTS, kayu bakar, tanaman semusim) adalah metode harga pasar. Untuk menduga nilai hasil air, menggunakan metode biaya pengadaan yang
merupakan modifikasi biaya perjalanan (Travel Cost Methods), yaitu berdasarkan
ya Hutan mempunyai fungsi
perlindungan terhadap aset
Metode Perlindungan Aset (Protection of Assets): 1. Biaya penggantian 2. biaya rehabilitasi 3. nilai kehilangan produksi 4. biaya pembangunan tambahan
Nilai fungsi hutan / atribut hutan dapat direfleksikan dalam nilai lahan atau harga
lainnya (Hedonic Pricing) Hutan (ekosistemnya) berfungsi mendukung produksi pertanian Nilai Produksi :
1. Pendekatan Fungsi Produksi 2. Faktor Pendapatan Bersih
Ada harga pasar untuk barang yang mempunyai fungsi sama dengan fungsi
hutan
Harga Pengganti : 1. Harga Substitusi
2. harga substitusi tak langsung ya ya ya tidak tidak tidak
Fungsi/atribut hutan tidak ada kaitan dengan transaksi komersial maupun substitusi
Penilaian Kontingensi (Contingent Valuation) ya
19
biaya pengadaan sampai air tersebut dapat dikonsumsi. Metode yang sama juga digunakan untuk menghitung nilai hijauan pakan ternak. Untuk nilai jasa penyerapan karbon, karena ada harga pasarnya di dunia internasional maka untuk penilaiannya menggunakan pendekatan harga pasar. Untuk penilaian hasil pengendalian erosi, digunakan pendekatan biaya pengganti, sedangkan untuk nilai pilihan flora/fauna dan nilai keberadaan diduga dengan metode kontingensi.
Metode biaya pengganti (replacement cost), nilai/harga dari suatu fungsi
sumberdaya didekati dengan biaya pengganti suatu aset yang rusak akibat hilangnya fungsi jasa lingkungan sumberdaya hutan sehingga aset tersebut berfungsi kembali (Bahruni, 1999). Metode biaya pengganti digunakan untuk pendekatan menghitung nilai dari pengendalian erosi. Lahan yang tererosi menyebabkan hilangnya juga unsur hara, sehingga untuk memulihkan kesuburannya kembali petani harus mengeluarkan biaya untuk pemupukan. Sehingga nilai dari manfaat pengendalian erosi didekati dengan biaya penggantian pupuk untuk mengembalikan kesuburan tanahnya. Dampak lanjutan dari erosi adalah sedimentasi di sungai ataupun badan air lainnya yang menyebabkan berkurangnya daya tampung sungai. Untuk memulihkan agar sungai dapat berfungsi normal (kapasitas normal) guna menghindarkan dari terjadinya peluapan sungai diperlukan biaya normalisasi sungai. Uuntuk itu nilai dari pengurangan sedimentasi merupakan biaya normalisasi sungai yang tidak jadi dikeluarkan.
Metode kontingensi (Contingent value method/CVM) merupakan salah satu
metode penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak terpasarkan (non marketable) yang sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering dikenal dengan nilai keberadaan. Ada 2 metode
dalam CVM yaitu willingness to pay (WTP) yang bertujuan untuk mengetahui
jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya
penurunan terhadap sesuatu, dan willingness to accept (WTA) untuk mengetahui
jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu (Fauzi, 2006). Pemilihan teknik ini didasarkan atas hak kepemilikan, jika yang ditanya individu yang tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan
dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah WTP yang maksimum, sebaliknya jika individu yang ditanya adalah pemilik hak atas sumberdaya, maka pengukuran yang relevan adalah WTA yang paling minimum (Fauzi, 2004). Dalam praktek pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada
WTA, karena WTA bukan pengukuran yang berdasarkan insentif (insentive
based) sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (Fauzi, 2004), selain itu menurut Garrod dan Willis (1999), Hanley dan Splash (1993) dalam Fauzi (2004), meski besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana besaran WTA berada pada kisaran 2 sampai 5 kali lebih besar dari pada besaran WTP.
Asumsi dasar dari CVM adalah bahwa individu- individu memahami benar-benar pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada mereka dan bahwa mereka cukup familiar atau tahu kondisi lingkungan yang dinilai, dan bahwa apa yang dikatakan orang adalah sungguh-sungguh apa yang mereka lakukan jika pasar untuk barang lingkungan itu benar-benar terjadi.
II.4. Analisis Manfaat dan Biaya Proyek
Menurut Gittinger (1986), proyek adalah kegiatan yang menggunakan
sumber-sumber untuk memperoleh manfaat (benefit), atau suatu kegiatan dimana
dikeluarkan biaya dengan harapan untuk memperoleh hasil pada waktu yang akan datang. Suatu proyek atau kegiatan hendaknya dipandang dari berbagai kelayakan (feasibility) diantaranya kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi. Untuk mengevaluasi kelayakan proyek digunakan analisis manfaat-biaya.
Analisa manfaat-biaya adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analisis membandingkan dan menganjurkan suatu kebijakan dengan cara menghitung total biaya dan total keuntungan dalam bentuk uang (Dunn, 2003). Secara sederhana konsep analisa manfaat-biaya adalah
mengenali manfaat (benefit) dan biaya (cost) atas proyek kemudian mengukurnya
dalam ukuran yang dapat diperbandingkan. Apabila nilai manfaat lebih besar daripada nilai biaya, maka proyek tersebut menuju alokasi faktor produksi yang efisien (Suparmoko, 2006).
21
Biaya dalam analisa proyek menurut Gittenger (1986) adalah tiap barang dan jasa yang digunakan dalam suatu proyek yang akan mengurangi tujuan yang harus ditempuh tergantung dari sisi mana analisa dilakukan. Sedangkan manfaat adalah tiap barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu proyek yang dapat meningkatkan pendapatan petani atau perusahaan atau menaikkan pendapatan nasional masyarakat/suatu negara. Biaya dan manfaat proyek dibedakan atas biaya
yang dapat dikuantifikasikan (tangible cost) dan biaya yang tidak dapat
dikuantifikasikan (intangible cost), dan juga manfaat yang dapat dikuantifikasikan
(tangible benefit) dan manfaat yang tidak terukur (intangible benefit).
Bahan pertimbangan yang menjadi kriteria kelayakan investasi proyek menurut Gittenger (1986) adalah :
(1) Net Present Value (NPV) atau nilai kini bersih, yang diperoleh dengan
mendiskontokan semua biaya (costs) dan penerimaan (benefits) pada discount
rate tertentu, kemudian hasil diskonto penerimaan dikurangi hasil diskonto
biayanya. Suatu proyek dikatakan layak apabila NPV-nya bernilai posistif. (2) Benefit Cost Ratio (BCR), didapatkan dengan membagi jumlah hasil diskonto
penerimaan dengan jumlah hasil diskonto biaya. Suatu proyek dikatakan layak apabila nilai rasio manfaat biayanya lebih besar dari 1.
(3) Internal Rate Return (IRR), adalah tingkat discount rate yang menyebabkan jumlah hasil diskonto penerimaan sama dengan hasil diskonto biaya. Suatu
proyek dikatakan layak apabila IRR-nya lebih besar dari tingkat discount rate
yang ditetapkan.
II.5. Imbalan Penyediaan Jasa Lingkungan RHL
Jasa lingkungan hutan didefinisikan sebagai hasil atau implikasi dari dinamika hutan berupa jasa yang mempunyai nilai manfaat atau memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia (Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, 2009). Jasa lingkungan ini dihasilkan oleh proses yang terjadi pada ekosistem alam. Hutan sebagai ekosistem alam selain berbagai produk kayu dan non kayu, merupakan reservoir besar yang menampung air hujan, menyaring
air tersebut dan kemudian melepaskan secara gradual sehingga air tersebut bermanfaat bagi manusia.
Sedangkan jasa lingkungan hutan menurut Pagiola et al. (2004) dan
Leimona et al. (2006) dalam Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata
Alam 2009, dibedakan dalam 4 kategori yaitu :
(1) Perlindungan dan pengaturan tata air (Jasa Lingkungan Air)
(2) Konservasi keanekaragaman hayati (Jasa Lingkungan Keanekaragaman
Hayati)
(3) Penyediaan keindahan bentang alam (Jasa Lingkungan Ekowisata)
(4) Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (Jasa Lingkungan Karbon).
Prinsip dasar konsep pembayaran jasa lingkungan, adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat insentif terhadap usaha yang mereka lakukan, dilain pihak pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan.
Rehabilitasi hutan dan lahan menghasilkan jasa lingkungan berupa perbaikan kualitas air, pengendalian banjir, penyerapan karbon yang dirasakan oleh masyarakat luas melampaui wilayah DAS yang direhabilitasi. Sehingga implikasinya adalah upaya rehabilitasi hutan dan lahan tidak bisa hanya mengandalkan inisiatif masyarakat ataupun Pemda setempat, tetapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas diperlukan suatu mekanisme insentif. Masyarakat atau Pemerintah Daerah setempat seharusnya mendapat kompensasi/insentif atas biaya yang dikeluarkan untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan. Besarnya nilai kompensasi minimal sebesar selisih antara peningkatan nilai ekonomi dari rehabilitasi dan jasa lingkungan dengan manfaat yang diterima masyarakat setempat.
Insentif rehabilitasi hutan dan lahan didefinisikan sebagai semua bentuk dorongan spesifik atau rangsang/stimulus yang berasal dari institusi eksternal (pemerintah, LSM atau swasta) yang dirancang dan diimplementasikan untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat baik secara individu maupun kelompok untuk bertindak atau mengadopsi teknik dan metode baru yang
23
bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan DAS melalui rehabilitasi hutan dan lahan (Putro et al. 2003).
Menurut kamus bahasa inggris Oxford Modern, insentif adalah pembayaran atau konsesi untuk menstimulir output yang lebih besar dari pekerja. Definisi lain, insentif termasuk perangsang atau dorongan untuk aksi, suatu faktor motivasi yang mendorong aktif, atau stimulus motivasi untuk mengambil petunjuk atau
latihan tertentu (Sanders et al. 1999). Lebih lanjut dijelaskan bahwa insentif
merupakan katalis untuk perubahan dalam praktek pertanian dan penggunaan lahan. Insentif adalah instrumen, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi keputusan produsen atau konsumen melalui finansial dan atau dorongan non-keuangan. Insentif didesain untuk mengkatalis perubahan dan untuk menghasilkan dampak secepatnya pada perilaku individu atau masyarakat.
Insentif langsung termasuk : input pertanian, perlengkapan dari infrastruktur lokal, dana dan subsidi, pajak konsesi untuk investasi dalam praktek konservasi
tanah, pembiayaan hijau (green funds), biaya-biaya yang berbeda (differential
fees), akses yang berbeda untuk sumber penghasilan, penghargaan dan hadiah,
pinjaman murah dan kredit, dan penetapan cost sharing (Sanders et al. 1999).
Sedangkan insentif tidak langsung menurut Sanders et al. (1999) yang
diadaptasikan dari IFAD (1996 dan 1998), terdiri dari insentif variabel dan insentif pemungkin (Tabel 2).
Tabel 2. Perbedaan Insentif Variabel (Variable Incentives) dan Insentif
Pemungkin (Enabling Insentives)
Insentif variabel
Variabel pemungkin
Sektoral Ekonomi makro
- harga input dan output - pajak - subsidi - nilai penukaran (exchange rate) - pajak - tingkat bunga - keamanan lahan - aksesibilitas - pembangunan pasar
- devolusi pengelolaan sumberdaya alam
- tariff - tindakan fiskal dan
moneter
- desentralisasi dalam pembuatan
keputusan - fasilitas kredit - keamanan nasional
Sumber : Sanders et al. (1999) diadaptasi dari IFAD (1996 dan 1998)
Dalam merancang sistem insentif RHL, langkah yang harus diambil adalah mengidentifikasi dan memastikan jasa lingkungan yang akan disediakan dari
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan beserta penyedia dan penggunaannya, termasuk menemukan mekanisme pemberian imbalan yang sesuai apakah bersifat finansial atau tidak, yang mampu menciptakan kerangka kebijakan dan kelembagaan yang dapat mendukung skema transfer lingkungan yang efektif.
Menurut Putro et al. (2003) dalam merancang sistem insentif RHL yang
dikembangkan berdasarkan dokumen ”Community-based Incentive For Nature Conservation” yang ditulis oleh Emerton (1999) dan diterbitkan IUCN, ada 5 tahapan yang harus dilakukan yaitu : (1) pengumpulan informasi yang melatarbelakangi mata pencaharian masyarakat dan kharakteristik sumberdaya alam dalam DAS; (2) analisis pengaruh ekonomi masyarakat terhadap sumberdaya alam; (3) identifikasi kebutuhan dan relung insentif; (4) memilih insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan dan lahan berbasis masyarakat; (5) pertimbangan praktis dalam penerapan tindakan insentif.
II.6. Penelitian Sebelumnya
Berbagai penelitian mengenai nilai ekonomi lingkungan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dalam berbagai literatur yang ada. Lingkup nilai ekonomi yang dinilai berbeda-beda dan dengan menggunakan metode penilaian yang berbeda juga. Salah satu contoh adalah penilaian oleh NRM dalam Suparmoko (2006) diperoleh nilai ekonomi hutan tropis mencapai Rp 38,39 juta/ha yang dihitung berdasarkan penggunaan kayu, kayu bakar, produk hutan non kayu, konsumsi air dan nilai guna tidak langsung seperti konservasi tanah dan air, penyerap karbon, pencegah banjir, transportasi air dan keanekaragaman
hayati. Costanza et al. (1997) dalam Krieger (2001) menghitung nilai berbagai
25
Tabel 3. Estimasi Nilai Ekosistem Hutan (berdasarkan dolar tahun 1994)
Barang & Jasa Ekosistem
Pasar Jasa Alam
Nilai Global menurut type hutan ($/acre) Nilai seluruh hutan Amerika (juta $) Semua hutan Tropis Temperate/ boreal 1 2 3 4 5 6 Regulasi iklim NM 57,1 90,2 35,6 18,5 Pengendalian bencana NM 0,8 2,0 na Na Pengaturan air NM 0,8 2,4 0 0 Supplay air M,NM 1,2 3,2 na Na
Pengend. Erosi & sed NM 38,8 99,1 0 0
Pembentukan tanah NM 4,0 4,0 4,0 2,1 Siklus hara NM 146,1 373,1 na Na Pengelolaan limbah NM 35,2 35,2 35,2 18,3 Pengendalian biologis NM 0,8 Na 1,6 0,8 Produksi pangan M 17,4 12,9 20,2 10,5 Bahan baku M 55,8 127,5 10,1 5,3 Sumberdaya genetik M,NM 6,5 16,5 na Na Rekreasi M,NM 26,7 45,3 14,6 7,6 Budaya NM 0,8 0,8 0,8 0,4 Total 292,1 812,2 122,2 63,6
Keterangan : na = tidak tersedia, NM = non market, M = market Sumber : Costanza et al. (1997) dalam Krieger, 2001
Nurfatriani (2005) menghitung nilai ekonomi kawasan yang di rehabilitasi (hutan dan lahan) pada proyek RHL Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul yang terdiri dari nilai penggunaan langsung (nilai kayu pertukangan, kayu bakar, pakan ternak, tanaman obat, madu, dan daun kayu putih), nilai penggunaan tidak langsung (fungsi hidrologis dan fungsi pencegah erosi), nilai pilihan dan nilai keberadaan. dengan metode pendekatan kesediaan membayar. Hasil penilaian ekonomi total kawasan hutan dan lahan yang direhabilitasi adalah sebesar Rp
95.886.082.429/tahun yang terdiri dari nilai guna langsung Rp
18.616.097.938/tahun (19,41%), nilai guna tidak langsung sebesar Rp 2.236.240.078/tahun (2,335%), nilai pilihan sebesar Rp 1.969.001.771/tahun (2,05%) dan nilai keberadaan sebesar Rp 73.064.742.642/tahun (76,20%).
Bahruni (2008) menduga nilai ekonomi total ekosistem hutan dengan pendekatan sistem, nilai ekonomi total ekosistem hutan alam produksi dari hasil kayu dan non kayu pada berbagai intensitas penebangan dan nilai ekonomi total yang terdiri dari nilai guna kayu dan non kayu, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan kehati sebagaimana Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Alam Produksi Pada Berbagai Intensitas Penebangan
No Nilai Kiwari pada Intensitas Penebangan
(Rp/ha)
Keterangan
0% 50% 76% 100%
1 2560000 3249000 3457000 3619000 Nilai guna langsung kayu dan
non kayu
2 3860000 3760000 3219000 2664000 Nilai guna langsung kayu,non
kayu, dan nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan kehati
Sumber : Bahruni, 2008
II.7. Faktor Penyebab Kegagalan Rehabilitasi
Pelaksanaan program GERHAN di lapangan masih terdapat permasalahan-permasalahan yang mendasar. Keberlanjutan kegiatan rehabilitasi masih terhambat dengan : kurangnya rencana pengelolaan jangka panjang (masih bersifat keproyekan); kondisi teknis pada tingkat proyek hasilnya belum signifikan; pengaturan kelembagaan (tidak jelasnya pembagian hak dan
kewajiban); partisipasi masyarakat masih terkendala (Nawir et al. 2008). Hasil
studi pada 2 kasus di Riau pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah, belum disertai oleh
upaya penguatan kelembagaan (Kartodihardjo, 2006).
Awang (2006) menyatakan bahwa keberhasilan GERHAN hanya dapat
dicapai jika GERHAN menjadi sebuah program nasional multi year didukung
oleh sistem anggaran berkelanjutan yang dikuatkan oleh Keputusan Presiden, sebagai gerakan sosial maka penguatan organisasi kawasan dan organisasi sumberdaya manusia para pihak menjadi syarat mutlak.
Secara teknis berhasil/tidaknya program GERHAN dipengaruhi oleh kualitas bibit dengan jumlah yang cukup serta sesuai dengan kondisi tapak tanam, tata waktu penanaman yang tepat, tersedianya pengawasan atau pengendalian dan pemeliharaan tanaman serta adanya kelembagaan yang mendukung pelaksanaan
program tersebut (Darwo et al. 2005). Di tingkat lapangan, pemilihan jenis pohon
27
pemilihan je nis andalan setempat akan lebih menarik minat masyarakat untuk menanamnya. Jenis andalan setempat telah dikenal masyarakat dari segi ekologis dan ekonomis. Dari segi ekologis, maka resiko kegagalannya akan kecil karena tanaman akan mampu bertahan dengan kondisi alam dan iklim setempat, dari segi ekonomis masyarakat sudah mengetahui manfaat dan nilai ekonominya sehingga secara sosial akan lebih diterima masyarakat (Pasaribu, 2008).
Sebagai gerakan nasional, GERHAN dilakukan dengan skala yang besar dan melibatkan masyarakat banyak untuk itu keberhasilannnya sangat tergantung dari peranserta masyarakat. Sementara peran serta masyarakat sangat dipengaruhi oleh motivasi yang berada dalam kultur sosial masyarakat setempat, baik motivasi yang bersifat individu maupun kelompok. Selain itu pembiayaan dari Pemerintah untuk kegiatan GERHAN hanya sampai tahun ke-2 setelah penanaman, sehingga keberlanjutan tanamannya akan sangat tergantung dari peranserta dan kelembagaan masyarakat.
Murniati (2007) menyampaikan upaya-upaya untuk mencapai keberlanjutan kegiatan rehabilitasi, yaitu :
1. Keberlanjutan hidup tanaman :
Keberhasilan tanaman di lapangan menuntut berbagai syarat diantaranya waktu penanaman yang tepat, adanya pemeliharaan terhadap tanaman dan pengamanan lokasi dar i gangguan (kebakaran, penyerobotan lahan, penebangan liar, dll). Untuk itu upaya yang diperlukan adalah : (1) mengintegrasikan antara kegiatan pembuatan bibit dengan penanaman dimana kedua kegiatan tersebut harus dilaksanakan oleh pihak yang sama yaitu kelompok masyarakat, (2) menjamin partisipasi masyarakat untuk pengamanan lokasi rehabilitasi dengan cara merumuskan hak dan kewajiban secara jelas dengan proses yang partisipatif, (3) perlu adanya reformasi mekanisme pendanaan untuk rehabilitasi hutan dan lahan dengan sistem multi tahunan dan disesuaikan dengan musim tanam sesuai kondisi setempat.
2. Keberlanjutan inisiatif rehabilitasi setelah proyek berakhir
Untuk keberlanjutan inisitaif rehabilitasi setelah proyek perlu adanya pengalihan tanggung jawab yang jelas kepada lembaga atau kelompok yang tepat serta perencanaan jangka panjang sebagai bagian dari rancangan proyek.
3. Keberlanjutan kelembagaan masyarakat
Keberlanjutan kelembagaan masyarakat khususnya yang mewadahi kegiatan RHL dapat diwujudkan jika lembaga tersebut tumbuh dari masyarakat itu sendiri, atau dapat saja dibentuk oleh pelaksana proyek tetapi secara partisipatif. Berdasarkan penelitian Tonny (2004) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kelembagaan adalah : intervensi positif pemerintah, jejaring kerjasama, kecukupan anggaran dan aturan tertulis.
4. Keberlanjutan manfaat
Keberlanjutan manfaat/insentif dari kegiatan rehabilitasi berupa hasil dari tanaman kayu dan bukan kayu secara terus menerus dimaksudkan agar sebagian hasilnya dapat digunakan untuk reinvestasi pada rotasi kedua dan selanjutnya. Untuk itu diperlukan adanya kesepakatan bersama mengenai mekanisme dan proporsi pembagian hasil rehabilitasi. Pasar yang jelas diperlukan guna keberlanjutan manfaat rehabilitasi. Untuk mencapai keberlanjutan tersebut diperlukan peningkatan peran penyuluhan.