SKENARIO “PERANG PUISI”
PALAGAN AMBARAWA, 10 OKTOBER 2016
stage #2 stage #1
stage #utama monumen
SCENE#1
Screen : Shoot Monument pan Drum Band
Backsound : Drum Band
Ligthing : ON
Drum band memasuki panggung dari kanan dan kiri monument, dan beratraksi di
atas dan bawah panggung.
Drum band keluar dari panggung.
SCENE#2
Screen : Film Dokumentasi Perang
Backsound : Instrumen Megah Opening Ditimpali Suara Tembakan dan Bom
Ligthing : MOVE FAST
Beberapa penduduk dan pejuang berlari2an kesana kemari, panik, ketakutan,
teriakan : “Allahu Akbar, Tolong, Merdeka, dll”.
Setiap ada suara Pesawat mengebom, gunungan dari damen terbakar (2 gunungan).
Api di talang depan ikut menyala.
Para penduduk dan pejuang perlahan masuk.
10 orang puisi menempatkan diri, menyebar di sekitar panggung seperti yang telah
ditentukan.
Backsound : PelanAMBARAWA BERKOBAR
Karya: JP AWIG SOEDJATMIKO Ambarawa Berkobar!!
Senapan mendesing
Membelah dedaunan sepanjang hutan bedono – tempuran Kaki-kaki pribumi melangkah, berlari tanpa barisan
Memukul mundur pasukan sekutu Sekutu berkhianat !!
Munusuk punggung bayi Republik ini Meludah dan menjilat amanah rakyat negri
Berusaha mencakar kedaulatan Negara kembali
dan meniup musnah gempita kemerdekaan di tanah ini Darah-darah para pejuang terbakar!!
2 desa yang diduduki sekutu harus direbut Selagi nyawa masih di badan
Tangan masih bisa meregang Dan kaki masih bisa berlari
Satu mili tanahpun tak boleh hilang Ambarawa Berkobar!!
Suara dentum meriam ikut mengoyak tanah ambarawa Allahu Akbar.. Allahu Akbar
Rakyat tanpa dosa berhamburan
Pucat muka melangkah cepat tanpa arah Senjatakan Tuhan di tiap dada mereka Allahu Akbar.. Allahu Akbar
Bayi-bayi dalam selendangpun harus ikut berlari
Menjauh dari kehangatan dinding anyaman bambu kamarnya Menatap sawah-sawah sang bapak
Yang bakal tak terurus beberapa hari
Atau mungkin akan hancur dalam sebuah ledakan mortir Selama kehangatan ASI masih bisa teraba
Aku tak akan kelaparan Di tanah pengungsian nanti Tapi apa yang akan dimakan ibuku Nenek tua disampingku
Kakak-kakak berambut kuncung atau berkepang dua Tiada ruang dalam tiap pikiran
Untuk menjawab itu.. Ambarawa berkobar !!
Merah fajar di timur Ambarawa Seolah melukis darah Pahlawan yang akan terus tertumpah di bumi Palagan ini… berbalut sang saka yang akan menemaninya melebur di tanah pertiwi
Merdeka !! Merdeka !! Merdeka!!
Terus berumandang, menggema di langit negri Tak surut tekad, tak pupus asa
Mendaki bukit, menurun lembah Nyanyikan perang
Memukul mundur sekutu.
20 November menuju 15 Desember 1949 Ambarawa benar-benar berkobar! Tiga pesawat mustang
Bercocor merah melayang penuh amarah Menyebar ke Bandungan, Jambu dan Tuntang Menebar peluru di kulit pertiwi
Dan menghujam bom di dada sang ibu Sang Perwira Isdiman gugur
Tapi nyawa tak pernah sia-sia Sebab setiap percikan darahnya
Memantik setiap aroma nafas perjuangan Memukul mundur langkah penjajah Dengan teriakan lantang; MERDEKA!! Ambarawa akan berkobar !!
Dan terus berkobar Hingga di malam ini…
Backsound : Mengeras
para penduduk pribumi dan pejuang kembali masuk, gambaran kekacauan perang,
panik, berlarian kesana kemari,
Backsound : CUT TO – Music Tarian
Para penari membawa gunungan api memasuki panggung, diantara para penduduk
yang masih berlarian kesana kemari
Perlahan penduduk masuk dan penari menarikan tarian Kobaran Api
Figure Penari Buto masuk, menggambarkan kekacauan, keserakahan, penindasan,
penjajah, yang saat itu menyebar di bumi Ambarawa.Pada sesi ini gambaran Buto
memenangkan keadaaan.
Tarian selesai , para penari memasuki panggung
Backsound : FADE OUTSCENE #3
Screen : Shoot artis
Ligthing : ON
Ucapan selamat datang dan sambutan dari MC
STAGE UTAMA: Dilanjutkan Bedah Kepahlawanan Letkol Isdiman oleh para
narasumber di pandu MC
Narasumber:
1. ……….
2. ……….
3. ………..
Bedah Kepahlawanan selesai, MC mengajak menyaksikan acara selanjutnya.
Ligthing : FADE OUT
SCENE #4
Screen : Shoot Patung Monumen
Backsound : Instrumen Keras
Ligthing : ON
Dari bawah 6 orang membawa bendera Merah Putih besar berlari memasuki
panggung
Kemudian membuat sedkiti koreografi diatas panggung utama
Screen : Shoot artis
Backsound : Iringan “Indonesia Pusaka”
Stage #1: Penyanyi menyanyIkan “Indonesia Pusaka”
Screen : Shoot Aktifitas Stage
Backsound : Instrumen Pelan,Syahdu
Ligthing : ON
Panggung menggambarkan beberapa aktifitas kehidupan sehari-hari saat ini, tukang
sayur, orang lalu lalang berangkat kerja, dll
Seorang Bapak tua dengan berpeci hitam naik stage#1. Dengan tangan dan kaki
gemetar dia duduk sambil memandang kosong ke depan.
Seorang petugas pos dengan sepeda ontel masuk membawa beberapa surat. Seorang
gadis masuk sambil berlari kegirangan menyambut surat yang diberikan oleh tukang
pos.
Bapak Tua melambaikan tangannya kepada tukang pos. Tukang pos mendekat.
Seolah bapak Tua menanyakan apakah ada surat belsit untuknya. Beberapa saat
kemudian tukangpos mengotak atik tumpukan suratnya, kemudian tangannya
melambai tanda tak ada surat untuk Bapak Tua. Tukang Pos kemudian berlalu. Bapak
tua kembali duduk memandang ke depan.
Stage #2 : Pembacaan puisi “PECI HITAM SEBUAH PESAN”
1. PECI HITAM SEBUAH PESAN
Karya : Djawahir Muhammad Meraba kepala. ubanan, dan botak di tengah
Menghitung hari-hari berlalu Menunggu belsit veteran tiba Lima puluh tahun menunggu Dan tak kunjung tiba
Dari lipatan peci hitam Kenangan masa perjuangan Selembar kertas
Kumal kusam Dibaca perlahan Mendalam-dalam " ..komandan gerilya
Kesatuan sematang, front tugu muda Menyatakan dengan sesungguhnya Bahwa pemegang surat ini
Sungguh-sungguh laskar keaatuan kami ..." ( kemudian seolah ia mendengar suara Peluru mendesing, granat meledak Takbir yang tak selesai dilafaskan Sementara dari hutan yang terbakar Derap langkah pengungsi
Bertebaran bagai laron di akhir Penghujan)
Selanjutnya : sunyi Dqrah mengalir dari luka Setangkai kembang melati Di atas pusara tanpa nama Sambil meraba sebelah kaki Sisa masa perjuangan Tak henti ia menanti
Belsit veteran tak juga datang
SCENE #6
Screen : Shoot stage #1
Backsound : Instrumen Pelan
Ligthing : stage #1 FADE OUT Stage utama FADE OUT Stage #2 ON
Bapak tua mulai mengambil pecinya, dari selipan peci dia mengambil secarik kertas
dan dibukanya.
Perlahan dia berdiri lalu membacakan puisi “Pahlawan Tak Dikenal”
2. PAHLAWAN TAK DIKENAL
Oleh: Toto Sudarto Bachtiar
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun Orang-orang ingin kembali memandangnya Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring MK
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
SCENE #7
Screen : Shoot stage Utama
Backsound : Instrumen mengeras, ditimpa suara perang
Ligthing : MOVE FAST
Beberapa pejuang masuk dengan adegan peperangan. Beberapa mati di tengah
panggung.
Stage Utama: Pembaca puisi masuk dan berdiri ditengah hamparan mayat-mayat
pejuang.
3. KARAWANG-BEKASI
Karya: Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi ...
Lampu : FADE OUT
SCENE #8
Screeen : Shoot Stage #2
Stage#2 Lampu : FADE IN
Back Sound : Instrumen lagu “Gugur Bunga”
Suasana Sepi
Stage #2: Pembaca puisi membacakan puisi “GUGUR”
4.
"Gugur"
karya W.S Rendra Ia merangkakdi atas bumi yang dicintainya Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya Ia sudah tua
luka-luka di badannya Bagai harimau tua
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya Ia menolak
dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya Belum lagi selusin tindak mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya ia berkata :
” Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan. Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang.” Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa Orang tua itu kembali berkata : “Lihatlah, hari telah fajar ! Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya ! Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!” Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya.
Stage#2 Lampu : FADE OUT
SCENE #9
Screeen : Shoot Stage #2
Back Sound : Instrumen lagu “Gugur Bunga”
Stage #1: Pembaca puisi
Stage #2: Penyanyi “ Gugur Bunga”
2 orang (co) pembawa karangan bunga dan seorang (ce) pembawa keranjang bunga
tabur berjalan dari bawah menuju tengah monument. Sesampainya di bawah
monument karangan bunga di tempatkan di tengah, dan mereka menabur bunga di
depannya, lalu masuk
Puisi di bacakan.
5. KARANGAN BUNGA
Taufiq ismail
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.’
1966
Lagu “GUGUR BUNGA” dinyanyikan.
Semua Lampu : FADE OUT
SCENE #10
Screen : Shoot stage#1
Backsound : Intrumen Gending Jawa
Lampu semua : FADE IN
Beberapa orang masuk, 3 laki-laki dan 3 perempuan, sambil sesekali mengamati relief dan
patung2 di monument
Kemudian sedikit membuat koreografi tarian prajuritan, lalu naik ke stage#1 mengelilingi
pembaca puisi “ DI MONUMEN INI, KU TAHU”
6. DI MONUMEN INI, KU TAHU…..
Karya : Maria Utami (Ning…Nong..Ning ..Gung..)
Genduk…Thole….Genduk ….Thole…
Adakah kau tahu arti tumpukan semen dan batu yang bernama monumen itu? Adakah kau tahu arti kebisuan patung berjajar di situ?
Di Monumen Palagan Ambarawa
Adakah kau tahu mengapa ada pesawat terseok di situ? Adakah kau tahu?
Adakah kau peduli tentang itu? (Ning…Nong..Ning ..Gung..)
Lihat para pemuda gagah yang sedang menampilkan tari prajuritan itu Dengan iringan irama rancak mereka pamerkan kebolehannya
Ingatkanku pada moyangmu yang gagah berani Membawa bambu runcing di tangan
Menyerbu…menyerang….melawan penjajah Di sini, di Ambarawa…
dan monumen itu adalah ukiran sejarah mereka
dan lihat di sana, Benteng Willem menjadi saksi bisu keperkasaan mereka (Ning…Nong..Ning ..Gung..)
Genduk…Thole….Genduk ….Thole…
Kolonel Isdiman tidak tidur, ia terus berteriak..! “teiakan darah yang mengucur di bumi Ambarawa “berjuang, berjuang, berjuang….
Lawan penjajahan ekonomi, kebodohan, kemalasan, kemiskinan Dengan cita dan asa demi kejayaan Indonesia
Biarkan merah putih terus membara Ning…Nong..Ning ..Gung..
(Alunan itu masih saja ku dengar…syahdu..)
Lampu semua : FADE OUT
SCENE #11
Screen : Cuplikan film melepas kekasih ke medan perang
Backsound : Instrumen “Kulepas Dikau Pahlawan” Titik Puspa
Screen menyala tampak cuplikan film kuno yang menggambarkan melepas kekasih di
medan perang.
Lampu stage#2 : FADE IN
Back Sound : Instrumen “Kulepas Dikau Pahlawan” Titik Puspa ditimpali suara mesin jahit
Screen : Video Shoot stage #2
Stage#2: Tampak seorang gadis menjahit sebuah kain berenda dengan menggunakan
mesin jahit. Sesaat kemudian berdiri, sambil masih menimang kain berenda putih di
tangan dan mulai membacakan puisi “ KAIN PUTIH BERENDA”.
7. KAIN PUTIH BERENDA
Aku menjahit kain putih berenda Bukan untuk menghias peti matimu Tapi untuk menutup atas kepala kita Saat hari ijab qobul yang kau janjikan… Sapu tangan ini kuambil dari sakumu Sebelum engkau pergi ke medan perang Karena aku tak ingin melihatmu pulang Dengan balutan kain bercampur darah Kekasihku,
Aku tak mampu merindumu lagi Karena suara mesiu di telingaku
Selalu Menakutkanku akan membawamu pergi Dariku….
Jika Sudirman telah mengusir sekutu Dari bumi Ambarawa ini
Pulanglah segera dengan seutuhnya dirimu Ambillah aku dari persembunyian ini Hantarkan aku pada kedua orang tuaku Dan pinanglah aku dengan janjimu di bawah kain putih berenda ini karena aku hampir mati
menahan cintaku padamu…
Pembaca puisi masih duduk bersimpuh di lantai, menunduk sedih, dengan kain putih berenda di kerudungkan di kepalanya.
SCENE #12
Screen : Shoot stage#1
Backsound : Instrumen “Kulepas Dikau Pahlawan” Titik Puspa, ditimpali Suara tembakan dan bom
Lampu stage #1 : FADE IN
Stage #1: Laki-laki Pembaca puisi dengan berpakian pejuang kemerdekaan berdiri
dengan membawa senapan. Kemudian membacakan puisi: “Lagu Seorang Gerilya”
8. LAGU SEORANG GERILYA
(Untuk putraku, Isaias Sadewa) Karya : WS Rendra
Engkau melayang jauh, kekasihku engkau mandi cahaya matahari aku di sini memandangmu
menyandang senapan, berbendera pusaka
Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu engkau berkerudung selendang katun di kepalamu
engkau menjadi suatu keindahan sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu Malam bermandi cahaya matahari
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur di dalam berjuang membela rakyat jelata.
Semua Lampu : FADE OUT
Backsound : FADE OUT
SCENE #13
Backsound : Instrumen megah
Semua Lampu : FADE IN
Stage Utama: 4 orang laki-lagi bercena pendek dengan tubuh berbalut gliter emas
dan perak berjalan masuk dengan gerakan patah-patah (robot) dengan membawa
bamboo runcing.
Sampai di tengah membuat komposisi mematung. Tiap bebrapa saat komposisi
mematung berubah
Salat satu patung maju membacakan puisi: “Bambu Runcing”
9. Bambu Runcing
Karya: Rayhandi
Di ujung bambu tajam menyikat Mengoyak musuh hingga ampun Di bilah tajam sakit mencekat Siap siaga menelan musuh Ujung bambu jadi saksi Hitam rasa menyakit
Mengusir iblis dengan nyawa Tanpa takut tanpa gentar Rasa cinta tanah air Menyatu di darah merah Mengakar di tulang putih Menguasai nafas
Mereka berjuang hingga raib Bercerai dengan raga
Untuk bumi garuda Untuk indonesia raya Mereka mati dengan hormat
Memperjuangkan secerut kebebasan Yang terenggut durjana
Untuk satu kemerdekaan.
Para pemain masuk lagi masih dengan gerakan patah-patah
SCENE #14
Screen : Shoot Stage #1
Backsound : Instrumen megah
Semua Lampu : FADE IN
Stage #1: Pembaca Puisi naik ke stage#1 membacakan Puisi “ AKU MELIHAT
INDONESIA”
10. Aku Melihat Indonesia
Karya: IR. Soekarno
Jikalau aku berdiri di pantai Ngliyep Aku mendengar Lautan Hindia bergelora membanting di pantai Ngliyep itu Aku mendengar lagu, sajak Indonesia Jikalau aku melihat
sawah-sawah yang menguning-menghijau Aku tidak melihat lagi
Aku melihat Indonesia
Jikalau aku melihat gunung-gunung
Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Merbabu Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Kelebet
dan gunung-gunung yang lain Aku melihat Indonesia Jikalau aku mendengarkan Lagu-lagu yang merdu dari Batak bukan lagi lagu Batak yang kudengarkan Aku mendengarkan Indonesia
Jikalau aku mendengarkan Pangkur Palaran bukan lagi Pangkur Palaran yang kudengarkan Aku mendengar Indonesia
Jikalau aku mendengarkan lagu Olesio dari Maluku bukan lagi aku mendengarkan lagu Olesio
Aku mendengar Indonesia
Jikalau aku mendengarkan burung Perkutut menyanyi di pohon ditiup angin yang sepoi-sepoi bukan lagi aku mendengarkan burung Perkutut Aku mendengarkan Indonesia
Jikalau aku menghirup udara ini Aku tidak lagi menghirup udara Aku menghirup Indonesia
Jikalau aku melihat wajah anak-anak
di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar “Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!” Aku bukan lagi melihat mata manusia Aku melihat Indonesia
SCENE #15
Screen : Shoot Stage Utama
Backsound : Lagu Tari
Semua Lampu : ON
Stage Utama: Para penari masuk dengan membawa bambu runcing, Perang dengan
Buto. Buto mati tertusuk bamboo runcing. Menggambarkan penjajahan, keburukan,
dll telah kalah.
Para penari masuk
Semua Lampu : FADE OUT
SCENE #16
Screen : Wajah Letkol Isdiman
Backsound : Instrument tenang
Stage Utama: Sosiawan Leak masuk dan membacakan “Puisi Isdiman”
Backsound : FADE OUT Lampu : FADE OUT
SCENE #17
Screen : Wajah Letkol Isdiman
Backsound : Instrument tenang
Lampu : Shoot Artis
Stage Utama: Artis Monolog masuk
Lampu : FADE OUT
SCENE #18
Screen : Shoot Artis
Backsound : Home band
Lampu : Semua ON
Stage Utama: Artis menyanyikan Medley lagu Perjuangan dengan meriah:
1. Gebyar-gebyar
2. Berkibarlah
3. ….
SCENE #19
Screen : Shoot Artis
Backsound : Home band
Lampu : Semua ON