• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PRAKTEK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI PASAR MODAL. Pasar modal merupakan salah satu bagian dari pasar keuangan (financial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PRAKTEK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI PASAR MODAL. Pasar modal merupakan salah satu bagian dari pasar keuangan (financial"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PRAKTEK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI PASAR MODAL

Pasar modal merupakan salah satu bagian dari pasar keuangan (financial market), di samping pasar uang (money market) yang sangat penting peranannya bagi pembangunan nasional pada umumnya, khususnya bagi pengembangan dunia usaha sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan eksternal oleh perusahaan.50 Sama halnya dengan pencarian sumber dana segar untuk menyelenggarakan bisnis perusahaan yang dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau pengelola perusahaan, dalam hal ini jajaran direksi. Pasar modal merupakan salah satu dari perkembangan bisnis dewasa ini. Pasar modal dapat memainkan peranan penting dalam perkembangan ekonomi di suatu negara, baik sebagai sarana investasi maupun sebagai sumber pembiayaan bagi para investor.51

Melalui pasar modal, perusahaan dapat mengembangkan instrumen keuntungan, mendiversifikasikan resiko dan memobilisasi dana masyarakat sehingga dapat tercipta pengalokasian sumber dana secara lebih efisien dan dapat melahirkan budaya fairness melalui keterbukaan yang pada akhirnya akan menciptakan ekonomi yang sehat dari suatu negara.52 Fairness di atas dimaksudkan adalah keadilan dalam dunia usaha yaitu menguntungkan pengusaha dan pemodal. Tidak ada yang dirugikan disini, namun jika usaha yang dilakukan mengalami kemunduran atau kerugian maka

50

Nasarudin dan Surya, Op.cit., hal. 13. 51

Perlindungan terhadap investor merupakan satu kata kunci di pasar modal. Perlindungan merupakan kebutuhan dasar investor yang harus dijamin keberadaannya. Hal ini penting dan mutlak. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin investor bersedia menanamkan dananya, jika tidak ada jaminan perlindungan terhadap investasinya. Sumber : I Putu Gede Ary Suta, Peranan Pasar Modal, hal. 91.

52

I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, (Jakarta : Yayasan SAD Satria Bhakti, 2000), hal. 51.

(2)

dapat diambil jalan pembagian kerugian. Dengan kata lain, pemodal juga tidak dapat menerima untung atau laba saja melainkan kerugian juga ditanggung mereka.

Adapun misi dari pasar modal di Indonesia adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.53 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan fungsi dari pasar modal, yaitu54 :

1. Sarana untuk menghimpun dana-dana masyarakat untuk disalurkan ke dalam kegiatan-kegiatan yang produktif;

2. Sumber pembiayaan yang mudah, murah, dan cepat bagi dunia usaha dan pembangunan nasional;

3. Mendorong terciptanya kesempatan berusaha dan sekaligus menciptakan kesempatan kerja;

4. Mempertinggi efisiensi alokasi sumber produksi;

5. Memperkokoh beroperasinya mekanisme finansial market dalam menata sistem moneter, karena pasar modal dapat menjadi sarana ”open market operation” sewaktu-waktu diperlukan oleh Bank Sentral;

6. Menekan tingginya tingkat bunga menuju suatu ”rate” yang reasonable; dan 7. Sebagai alternatif investasi bagi para pemodal.

Adanya modal yang cukup mengakibatkan perusahaan dapat melanjutkan bidang usahanya dalam membuka lapangan pekerjaan dengan begitu dapat menampung banyak masyarakat yang dapat bekerja. Adanya masyarakat yang

53

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Op.cit., dalam Penjelasan Umum. 54

(3)

bekerja akan memutar perekonomian negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penegakan hukum tidak boleh terlepas dari kerangka keadilan, karena kalau tidak, penegakan hukum malah akan menjadi counter productive, yang pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi perkembangan pasar modal. Bagi investor sebaiknya membekali dirinya dengan pemahaman yang mencukupi sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi efek. Prospektus dan laporan berkala dan insidentil menjadi pedoman bagi investor untuk dapat melihat dan mempertimbangkan pengambilan keputusannya.55 BAPEPAM-LK secara tidak langsung berupaya agar pemegang saham mengetahui dan mempergunakan hak dalam melindungi kepentingannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkembangan pasar modal sangatlah pesat sehingga perangkat hukum yang ada perlu penyempurnaan dan penajaman. Perkembangan dan kemajuan pasar modal sangat ditentukan oleh adanya kepastian hukum bagi para pelakunya, terutama masyarakat investor.

Investor, khususnya investor internasional menaruh perhatian yang sangat besar terhadap aturan hukum (rule of law) disamping adanya aspek disclosure

(keterbukaan informasi). Investor manapun pasti enggan masuk pasar jika pasar yang bersangkutan tidak memiliki perangkat aturan yang jelas. Apalagi bisnis di pasar modal dapat dibilang sebagai bisnis yang mengandalkan kepercayaan. Kepercayaan tersebut akan lebih aman dan terjamin jika dipayungi oleh peraturan yang jelas dan

55

(4)

mengikat. Oleh karena itu, sejalan dengan semakin diakuinya peran strategis di bidang pasar modal, BAPEPAM-LK memiliki kewajiban untuk mengeluarkan regulasi di bidang pasar modal Standar dan praktek internasional telah mengharuskan BAPEPAM-LK untuk membuat setiap aturan yang mengacu kepada standar internasional.56

Hal tersebut diwujudkan dalam kebijakan pembuatan peraturan BAPEPAM-LK yang pada intinya menetapkan mekanisme pembuatan peraturan yang melibatkan semua pihak yang terkait. Sebagai hasilnya, telah dibuat peraturan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, dimana keseluruhan peraturan tersebut tertuang dalam buku Peraturan BAPEPAM-LK (BAPEPAM-LK Rulebook) yang telah menjadi acuan bagi para pihak yang bergerak di bidang pasar modal.

Tindak pidana dan aktivitas di pasar modal telah semakin kompleks yang antara lain berdampak pada semakin canggihnya tekhnik yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang melakukan tindak pidana di Pasar Modal. Tantangan yang dihadapi oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil BAPEPAM-LK sebagai aparat penegak hukum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan saat ini dan pada masa yang akan datang akan semakin berat, seiring dengan semakin canggihnya tekhnik tindak pidana, termasuk di dalamnya tindak pidana di bidang pasar modal.57

56

BAPEPAM-LK adalah instansi yang berada di bawah Departemen Keuangan, merupakan instansi yang setingkat dengan Direktorat Jenderal. Dalam kegiatan pasar modal, BAPEPAM-LK bertindak sebagai wasit yang adil bagi pelaku pasar modal, yakni perusahaan go public (emiten), penjamin emisi (underwriter), investor dan broker/dealer. BAPEPAM-LK berwenang untuk menyiapkan berbagai perangkat aturan (hukum) yang berhubungan dengan aktivitas pasar modal, lihat Marzuki Usman, Singgih Riphat, dan Syahrir Ika, Pengetahuan Dasar Pasar Modal, (Jakarta : Jurnal Keuangan dan Moneter, 1997), hal. 13.

57

(5)

Untuk dapat memahami lebih lanjut tentang tindak pidana di bidang Pasar Modal, berikut ini akan diuraikan lebih rinci jenis-jenis tindak pidana yang dikenal di Pasar Modal. Tindak pidana di pasar modal terbagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : tindak pidana yang berasal dari dalam pasar modal itu sendiri dan tindak pidana yang berasal dari luar pasar modal.

A. Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari dalam (Internal) Pasar Modal

Tindak pidana pencucian uang yang berasal dari dalam (internal) pasar modal terbagi 2 (dua), yaitu : penipuan dan manipulasi pasar. Penipuan dalam pasar modal, menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 90 huruf c adalah :

”membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek”.

Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek dan atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang berkepentingan yang menjadi nasabahnya.58 Fakta material sebagai salah satu tujuan dari prinsip keterbukaan.

Larangan ini ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dalam perdagangan efek, bahkan turut serta melakukan penipuan pun tidak terlepas dari jerat pasal ini.

58

(6)

Bagi kalangan tertentu yang mempunyai kemampuan dan fasilitas teknologi yang dengan itu semua mereka dapat melakukan penipuan pun tidak lepas dari pasal ini. BAPEPAM-LK dan PT. Bursa Efek Jakarta selaku regulator dan pengelola kegiatan perdagangan pasar modal harus mampu menjaga kredibilitas pasar modal Indonesia. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal juga memberikan beberapa spesifikasi mengenai pengertian penipuan, yaitu terbatas dalam kegiatan perdagangan Efek yang meliputi kegiatan penawaran, pembelian, dan atau penjualan Efek yang terjadi dalam rangka Penawaran Umum, atau terjadi di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek atas Efek Emiten atau Perusahaan Publik.

Berkaitan dengan pengertian tipu muslihat atau rangkaian kebohongan sebagaimana ditentukan dalam KUHP, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menegaskan bahwa hal tersebut termasuk membuat pernyataan yang tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta yang material.

Selain penipuan, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dikenal pula suatu bentuk tindak pidana lain, yaitu manipulasi pasar. Secara sederhana manipulasi pasar adalah kegiatan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek atau memberi pernyataan, atau keterangan yang tidak benar atau menyesatkan sehingga harga Efek di bursa terpengaruh. Ketentuan tentang manipulasi pasar diatur dalam Pasal 91, 92, dan 93 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

(7)

Menurut R. J. Shook dan Robert L. Shook dalam The Wall Street Direct Dictionary, manipulasi pasar adalah59 :

The illegal buying or selling of security to create the false impression that active trading exist in an effort to convince other people to buy more shares or sell the ones they own. Manipulation is done to influence prices so the person doing the manipulating can achieve a more advantegeous market”.

False Impression tersebut mendorong pihak lain melakukan tindakan jual atau beli suatu efek pada tingkat harga yang diinginkan manipulator. Transaksi yang dapat menimbulkan gambaran semu antara lain adalah transaksi Efek yang tidak mengakibatkan perubahan kepemilikan atau penawaran jual atau beli Efek pada harga tertentu dimana Pihak tersebut juga telah bersekongkol dengan Pihak Lain yang melakukan penawaran beli atau jual Efek yang sama pada harga yang kurang lebih sama. Motif dari manipulasi pasar antara lain adalah untuk meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan harga efek.

Beberapa pola manipulasi pasar diantaranya60 :

a. Menyebarluaskan informasi palsu mengenai emiten dengan tujuan untuk mempengaruhi harga efek perusahaan yang dimaksud di Bursa Efek (false information). Misalnya suatu pihak menyebarkan rumor bahwa Emiten A akan segera dilikuidasi, pasar merespon yang menyebabkan harga efeknya jatuh tajam di Bursa.

b. Menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau informasi yang tidak lengkap (misinformation). Misalnya, suatu pihak menyebarkan rumor bahwa

59

R. J. Shook dan Robert L. Shook, The Wall Street Direct Dictionary, hal. 234. 60

(8)

Emiten A tidak termasuk perusahaan yang akan dilikuidasi oleh pemerintah, padahal Emiten A termasuk yang diambil alih oleh pemerintah.

Dalam praktek perdagangan Efek dikenal beberapa kegiatan yang dapat digolongkan sebagai manipulasi pasar, yaitu61 : marking the close; painting the tape; pembentukan harga berkaitan dengan merger, konsolidasi, dan akuisisi; cornering the market; pools; wash sales; dan insider trading (perdagangan orang dalam).

Selain bentuk tindak kejahatan di atas, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, mengkategorikan sejumlah tindakan lain di bidang pasar modal sebagai tindakan kejahatan yang diancam pidana, yaitu62 :

1. Setiap pihak yang tanpa izin, persetujuan atau pendaftaran melakukan kegiatan di bidang pasar modal sebagai :

a. Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.

b. Perseroan Reksa Dana. c. Perusahaan Efek. d. Penasihat Investasi.

e. Penyelenggara Jasa Kustodian. f. Biro Administrasi Efek. g. Wali Amanat.

h. Profesi Penunjang Pasar Modal, seperti Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, Notaris, dan Profesi Lain yang ditetapkan Pemerintah.

61

Ibid.

62

(9)

2. Manajer Investasi dan Pihak terafiliasi yang menerima imbalan dari pihak lain dalam bentuk apapun, langsung maupun tidak untuk melakukan pembelian atau penjualan efek;

3. Emiten atau Perusahaan Publik melakukan penawaran umum namun tidak menyampaikan pernyataan pendaftaran atau pernyataan pendaftarannya belum dinyatakan efektif oleh BAPEPAM-LK (Pasal 70, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal);

4. Siapa saja yang melakukan penipuan, menyesatkan BAPEPAM-LK, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari pihak yang memperoleh izin, persetujuan dan pendaftaran dari BAPEPAM-LK (Pasal 107, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal);

5. Pihak yang langsung atau tidak mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran pasal-pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal diancam pidana seperti ditentukan dalam Pasal 103, 104, 105, 106, 107. (Pasal 108, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal);

Setiap pelaku kejahatan atau tindakan lain yang dikualifikasikan sebagai kejahatan di bidang pasar modal, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengancam pidana penjara selama 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) tahun dan

denda sebanyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) sampai Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah). 63 Bila dibandingkan dengan KUHP

63

(10)

Pasal 378, ancaman hukumannya paling lama adalah 4 (empat) tahun penjara bagi mereka yang terbukti melakukan penipuan. Sedanagkan dalam KUHP Pasal 390, ancaman hukumannya adalah paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara.

Dalam KUHP Pasal 378 disebutkan bahwa :

”Penipuan adalah tindakan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum, mamakai nama palsu atau martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang”.

Dengan tetap memperhatikan ketentuan yang diatur dalam KUHP, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memberikan beberapa spesifikasi mengenai pengertian penipuan, yaitu terbatas dalam kegiatan perdagangan efek yang meliputi kegiatan penawaran, pembelian, dan atau penjualan efek yang terjadi dalam rangka penawaran umum, atau terjadi di bursa efek maupun di luar bursa efek atas efek Emiten atau Perusahaan Publik.64

Dari pengertian Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, beberapa di antaranya merupakan lembaga yang melakukan kegiatan di pasar modal seperti perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian. Sebagai lembaga yang termasuk dalam kategori Penyedia Jasa Keuangan, lembaga-lembaga

64

(11)

ini mempunyai kewajiban untuk menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dalam hal mendapatkan kondisi berikut65 :

a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;

b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau

c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.

Dalam hubungannya dengan kewajiban pelaporan perusahaan efek kepada PPATK, hal yang dilaporkan pada dasarnya adalah : a) mengetahui latar belakang, keadaan keuangan, dan tujuan investasi nasabahnya; dan b) membuat dan menyimpan catatan dengan baik mengenai pesanan, transaksi dan kondisi keuangannya.66 Selain itu, terhadap Perusahaan Efek, Pengelola Reksa Dana, dan Bank Kustodian, Wali Amanat, dan Lembaga Penyelesaian dan Penyimpanan, berdasarkan ketentuan Peraturan BAPEPAM No. V.D.10, kewajiban untuk menyampaikan laporan tersebut lebih difokuskan terhadap transaksi yang mencurigakan. Adapun contoh-contoh transaksi keuangan yang mencurigakan dalam pasar modal diantaranya67 :

1. Transfer dana tanpa disertai informasi yang jelas mengenai identitas pengirim atau penyetor dana tersebut;

65

Pasal 23 ayat (1), Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Op.cit.

66

Pasal 36, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Op.cit.

67

Robinson Simbolon, “Mewaspadai Pencucian Uang Melalui Pasar Modal, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 3, (Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003), hal. 55.

(12)

2. Transfer dana, terutama dari luar negeri, untuk tujuan investasi tetapi jumlah investasinya relatif lebih kecil dibandingkan dengan jumlah dana yang ditransfer tersebut;

3. Keputusan investasi yang tidak memperhatikan pertimbangan ekonomis (misalnya menyimpan dana yang besar dalam rekening pasar uang);

4. Nasabah yang mempunyai beberapa rekening atau yang mempunyai rekening atas nama pihak lain yang tidak mempunyai hubungan bisnis atau alasan yang tepat lainnya dengan nasabah;

5. Adanya aliran dana yang masuk ke dalam rekening nasabah yang jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan atau sumber penghasilan nasabah;

6. Nasabah yang memperlihatkan kehati-hatian yang berlebihan terutama terhadap kerahasiaan identitas atau kegiatan usahanya, atau nasabah yang menunda-nunda untuk memberikan informasi dan dokumen pendukung mengenai identitasnya;

7. Nasabah yang tidak memperhitungkan resiko dalam berinvestasi termasuk biaya-biaya yang timbul dalam berinvestasi;

8. Nasabah yang berasal dari atau yang mempunyai rekening di Negara yang dikenal sebagai tempat pencucian uang atas Negara yang kerahasiaan banknya sangat ketat;

9. Adanya transfer dana ke dalam suatu rekening yang sangat tinggi secara tiba-tiba padahal sebelumnya rekening tersebut tergolong tidak aktif;

(13)

10.Pembayaran transaksi melalui uang tunai, transfer dari rekening atas nama pihak lain, cek atas nama pihak lain, atau bentuk pembayaran lain yang sejenis dalam jumlah yang besar; dan

11.Adanya frekuensi transaksi pada rekening nasabah yang sangat tinggi tetapi frekuensi transaksi efeknya sangat sedikit.

B. Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari luar (Eksternal) Pasar Modal

Tindak pidana yang berasal dari luar (eksternal) pasar modal dapat dilihat pada Pasal 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, yang menyatakan bahwa68 :

(1) “Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. Korupsi;

b. Penyuapan; c. Narkotika; d. Psikotropika;

e. Penyelundupan tenaga kerja; f. Penyelundupan imigran; g. Di bidang perbankan; h. Di bidang pasar modal; i. Di bidang perasuransian; j. Kepabeanan;

k. Cukai;

l. Perdagangan orang;

m. Perdagangan senjata gelap; n. Terorisme; o. Penculikan; p. Pencurian; q. Penggelapan; r. Penipuan; s. Pemalsuan uang; t. Perjudian; 68

Pasal 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Op.cit.

(14)

u. Prostitusi;

v. Di bidang perpajakan; w. Di bidang kehutanan;

x. Di bidang lingkungan hidup;

y. Di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n”.

Pembagian tindak pidana pasar modal ke internal dan eksternal adalah untuk memudahkan pemahaman mengenai kejahatan asal dari pencucian uang dilakukan. Untuk lebih lanjut akan dibahas mengenai contoh kasus pencucian uang. Kasus yang diangkat dalam penulisan riset penelitian ini adalah Kasus L/C Fiktif Bank BNI’46.

C. Kasus L/C Fiktif BNI’46

Kasus pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat Indonesia di akhir tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp.1,7 triliun yang diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif melalui surat Letter of Credit (disingkat L/C).69 Kasus ini menjadi fenomenal karena selain merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara makro. Awal terbongkarnya kasus, pada saat BNI melakukan audit internal pada bulan Agustus

69

Letter of Credit (disingkat L/C) adalah suatu pernyataan tertulis dari bank atas permintaan nasabah untuk menyediakan dan menyelesaikan suatu jumlah kewajiban tertentu bagi kepentingan pihak ketiga (beneficiary), dengan syarat-syarat yang ditentukan. Pada umumnya L/C digunakan untuk membiayai penjualan barang jarak jauh antara eksportir dan importir. Lihat Black’s Law Dictionary, http://www.blackslawdictionary.com/Home/Default.aspx., diakses pada 20 Maret 2011.

(15)

2003. Dari audit itu diketahui bahwa ada posisi euro yang tinggi, senilai 52 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbatas dan kinerja euro yang sedang baik pada saat itu.70

Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang besar dan negara bakal rugi lebih dari satu triliun rupiah. Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI 46 adalah sebagai berikut71 :

1. Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003;

2. Opening Bank72 : RosBank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd., The Wall Street Banking Corp., dan Middle East Bank Ltd.;

3. Total nilai L/C : US$. 166,79 juta dan €. 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 triliun;

4. Beneficiary/Penerima L/C73 : 11 Perusahaan di bawah Gramarindo Group dan 2 Perusahaan di bawah Petindo Group; 5. Objek Ekspor : Pasir Kuarsa dan Minyak Residu;

6. Tujuan Eskpor : Congo dan Kenya; 7. Skim : Usance L/C.74

70

“Indikasi Kejahatan yang dilakukan oleh Kreditur/Bank kepada Debitur/Nasabah”, http://korup5170.files.wordpress.com/2008/05/money-laundering.pdf., diakses pada 19 Maret 2011.

71

Ibid.

72

Opening Bank atau Issuing Bank atau Bank Penerbit adalah bank yang diminta oleh yang mengajukan permohonan/applicant untuk menerbitkan L/C. Dalam Black’s Law Dictionary, Op.cit.

73

Beneficiary atau Penerima adalah pihak yang menerima L/C dan biasanya juga adalah eksportir. Dalam Ibid.

74

Usance L/C adalah L/C yang mensyaratkan pembayaran atas unjuk, dimana kewajiban bank untuk melakukan pembayaran adalah pada saat dokumen-dokumen diajukan kepadanya. Dalam

(16)

Adapun kronologis kejadian L/C BNI 46 tersebut, adalah sebagai berikut75 : 1. Bank BNI Cabang Kemayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing

Bank : RosBank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd., The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden langsung dengan bank yang tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express bank dan Standard Chartered Bank;

2. Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas BNI dan disetujui oleh pihak BNI. Gramarindo Group menerima Rp. 1,6 triliun dan Petindo Group menerima Rp. 105 miliar;

3. Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya;

4. Setelah diusut pihak Kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah ada terjadi;

5. Gramarindo Group telah mengembalikan Rp. 542 miliar, sisanya (Rp. 1,2 triliun) merupakan potensi kerugian BNI.

Dalam menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI mengatakan bahwa tidak ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang ada hanya potensi kerugian

75

(17)

(potential losses). Minimnya informasi mengenai sistem pembayaran perdagangan internasional melalui Letter of Credit (L/C) menimbulkan semakin banyaknya kerugian-kerugian yang akan ditimbulkan di kemudian hari.76

1. Pelanggaran dan Penyimpangan yang Terjadi

Adapun beberapa pelanggaran atau penyimpangan yang terjadi pada kasus yang sudah dipaparkan di atas, antara lain77 :

1. Pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya;

Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank (prudential banking practice) Bank Indonesia telah membuat ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yaitu 20 % dari modal disetor bank. Modal disetor BNI per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp 7.042 milyar, sehingga dengan demikian BMPK untuk kelompok Gramarindo dan Petindo adalah Rp 1,4 trilyun (20% modal disetor). Nilai L/C yang diberikan kepada Gramarindo transaksi sebesar Rp. 1,7 triliun jelas merupakan pelanggaran karena pada dasarnya dapat digolongkan dalam fasilitas pemberian kredit, terutama ketika fasilitas negosiasi tersebut efektif menjadi kredit karena tidak bisa dibayar oleh Issuing Bank. Diduga telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L), karena dari informasi yang ada, ternyata tidak pernah terjadi realisasi ekspor dan pengapalan barang ke Kenya dan Kongo.

76

Ibid.

77

(18)

Di samping itu, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diputuskan terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Pasal 6 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (pada saat kasus diperiksa di pengadilan masih menggunakan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang).

2. Pelanggaran terhadap aturan internal Bank;

Semua bank, tidak terkecuali Bank BNI pasti sudah mempunyai aturan baku dalam menangani transaksi L/C, sehingga apabila semua aturan yang ada dilaksanakan niscaya kasus seperti Bank BNI tidak akan terjadi. Untuk lebih memberikan gambaran yang rinci, akan dianalisa kemungkinan pelanggaran pada setiap tahapan pemrosesan L/C sebagai berikut :

a. Pada saat meneruskan L/C;

Dari nama-nama Issuing Bank sebagaimana disebutkan, tidak terdapat dalam daftar nama-nama bank yang ada di Bankers Almanac atau setidak-tidaknya tidak cukup terkenal, untuk tidak mengatakan bahwa nama-nama bank itu hanya fiktif. Dalam praktek perbankan pada umumnya, kalau Issuing Bank tersebut bukan korespnden, tentunya pada saat L/C diterima mestinya tidak bisa diproses, karena tidak bisa dilakukan otentikasi atas kebenaran dan keabsahan L/C dimaksud, terlebih lagi kalau ternyata L/C itu diterbitkan oleh bank fiktif, jelas bank tidak boleh melakukan proses selanjutnya.

(19)

Dalam UCP 50078 Pasal 7 disebutkan bahwa dalam hal advising bank79 memutuskan untuk meneruskan L/C maka harus mengambil langkah-langkah yang benar dalam memeriksa keabsahan L/C yang diteruskannya dan apabila bank tersebut memutuskan tidak meneruskan, maka ia harus memberitahukan kepada Issuing

Bank. Pasal 7 lebih lanjut mengatur bahwa apabila tidak bisa memastikan keabsahan L/C, Advising Bank pada kesempatan pertama harus memberitahukan kepada Issuing

Bank dan apabila Advising Bank memilih untuk meneruskan L/C tersebut, maka ia harus memberitahukan kepada Beneficiary bahwa ia tidak dapat memastikan keabsahan L/C tersebut. Ada beberapa kemungkinan atas lolosnya L/C dari bank-bank tersebut, yaitu :

1) L/C tersebut memang benar-benar asli dan otentik, dalam arti nama bank memang ada dan Bank BNI dapat melakukan otentikasi atas keabsahan L/C dimaksud.

2) L/C tersebut asli tapi palsu, dalam artian bukan diterbitkan oleh bank-bank tersebut,tapi dibuat seolah-olah diterbitkan oleh bank-bank tersebut dan dengan bantuan oknum-oknum yang ada di Bank BNI dapat diotentikasi dengan menggunakan sandi otentikasi dari bank-bank tersebut dengan cara-cara illegal. 3) L/C memang tidak diotentikasi sama sekali oleh Bank BNI

4) Satu hal yang juga sudah menjadi praktek standart yang dilakukan oleh

78

UCP 500 adalah peraturan internasional mengenai perdagangan antar negara dengan menggunakan L/C. Kepanjangannya adalah Uniform Customs and Practice for Documentary Credits. Dikeluarkan oleh ICC (International Chamber of Commerce) di Paris, Perancis. 500 adalah nomor seri keluarannya. Dalam Black’s Law Dictionary, Op.cit.

79

Advising Bank atau Bank Penerus adalah bank koresponden dari Issuing Bank yang diminta untuk meneruskan L/C kepada eksportir. Dalam Ibid.

(20)

bank diseluruh dunia dan itu mungkin tidak dilakukan dalam kasus Bank BNI, adalah bahwa untuk nilai transaksi yang cukup besar biasanya dimintakan klarifikasi ulang kepada Issuing Bank untuk memastikan keabsahan dari L/C. b. Pada saat proses negosiasi (Diskonto Usance L/C);

Sebelum melakukan negosiasi, bank biasanya melakukan rating terhadap resiko bank korespondennya dan kemudian dibuatkan commercial line. Ada atau tidaknya commercial line, dijadikan dasar pertimbangan untuk menegosiasi atau tidak. Artinya bahwa jika tidak ada commercial line, maka Bank dapat memutuskan untuk menolak negosiasi. Pada saat dokumen ekspor diajukan kepada bank, maka bank akan memeriksa untuk meyakini bahwa semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi. Dalam memeriksa dokumen bank tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran isi dokumen, sebagaimana diatur dalam UCP Pasal 4 : “dalam pelaksanaan L/C, bank hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan dengan barang-barang, jasa-jasa dan atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen yang bersangkutan”.

Meskipun UCP Pasal 4 mengatur demikian, bukan berarti bank tidak berhak mengecek apakah memang barang telah benar-benar dimuat di atas kapal, sehingga bisa diterbitkannya Bill of Lading.80 Dalam kasus BNI, seharusnya karena nilai dokumennya sangat besar, maka bank harus meyakini bahwa barang memang benar-benar telah dimuat diatas kapal dengan mengklarifikasi kepada perusahaan pelayaran

80

Bill of Lading adalah surat yang dikeluarkan maskapai pelayaran yang menerangkan bahwa ia telah menerima barang dari pengirim untuk diangkut sampai ke pelabuhan tujuan dan diserahkan kepada penerima; surat muatan mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai perjanjian pengangkutan, tanda bukti penerimaan barang, dan tanda bukti pemilikan barang. Dalam Ibid.

(21)

atau dengan memeriksa secara langsung di pelabuhan muat. Setelah dokumen diperiksa lengkap dan sesuai dengan L/C, maka dalam kasus Bank BNI dimana L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, maka tahap selanjutnya adalah memintakan akseptasi kepada Issuing Bank dan apabila sudah ada akseptasi maka baru bisa dilaksanakan negosiasi.

c. Penanganan Pasca Negosiasi (Diskonto Usance L/C);

Permasalahan di Bank BNI adalah bahwa setelah jatuh tempo, ternyata pihak

Issuing Bank wanprestasi atau tidak bisa membayar tagihan wesel ekspor Usance. Sudah menjadi praktek umum di dunia perbankan, apabila terdapat tagihan wesel yang tidak dibayar oleh Issuing Bank, maka Negotiating Bank harus mengusahakan agar outstanding tagihan tersebut segera dibayar dan agar tidak terjadi akumulasi tagihan wesel yang tidak terbayar, maka bank seharusnya untuk sementara berhenti memberikan fasilitas negosiasi sampai semua tagihan weselnya dilunasi oleh

Issuing Bank. Disamping itu pada saat memberikan fasilitas negosiasi, bank biasanya mensyaratkan kepada beneficiary untuk menyerahkan semacam surat jaminan yang dimana jika ternyata wesel ekspornya tidak dibayar oleh bank di luar negeri,

negotiating bank dapat menarik kembali dari beneficiary atau sering disebut dengan hak regres.

Hak regres adalah hak yang dimiliki oleh Negotiating Bank atas L/C yang tidak dikonfirmasi, untuk L/C yang dikonfirmasi Negotiating Bank tidak mempunyai hak regres (Pasal 9.IV UCP 500). Jadi dalam praktek, sebelum melakukan negosiasi bank akan meminta terlebih dahulu surat jaminan yang nantinya akan digunakan oleh

(22)

bahwa pada saat hak regres itu akan dieksekusi, maka rekening nasabah masih tersedia cukup dana.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan telah terjadi pelanggaran prosedur dalam menangani transaksi L/C tersebut di atas sejak dari tahap awal penerusan L/C sampai dengan L/C itu kemudian direalisir dan terjadi negosiasi. Pelanggaran tersebut kemudian berlanjut hingga saat fasilitas negosiasi menjadi bermasalah karena tidak dibayar oleh Issuing Bank, dimana kemungkinan Bank BNI kurang cepat dalam melakukan tindakan-tindakan pengamanan atas fasilitas yang telah diberikan kepada nasabahnya.

3. Pelanggaran terhadap UCP 500;

Dalam kasus Bank BNI, pihak yang wanprestasi adalah Issuing Bank. Dengan asumsi bahwa nama-nama bank yang disebutkan sebelumnya adalah benar, maka

Issuing Bank dimaksud telah melanggar Pasal 9.A.III, UCP 500 yang antara lain berbunyi :

“Suatu irrevocable L/C merupakan jaminan yang pasti dari Issuing Bank asalkan dokumen-dokumen yang diminta diserahkan kepada Bank yang ditunjuk Negotiating Bank dan sesuai dengan syarat dan kondisi L/C, untuk :

a. Apabila L/C mensyaratkan pembayaran atas unjuk (sight) – untuk membayar atas unjuk;

b. Apabila L/C mensyaratkan pembayaran kemudian (defferred payment) – untuk membayar pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan sesuai dengan yang disyaratkan L/C tersebut;

c. Apabila L/C mensyaratkan akseptasi :

1) Oleh Issuing Bank – untuk mengaksep wesel yang ditarik oleh

beneficiary pada Issuing Bank dan membayarnya pada saat jatuh tempo

2) Oleh bank tertarik lainnya untuk menerima dan membayar pada saat jatuh tempo wesel yang ditarik oleh beneficiary pada Issuing

Bank dalam hal bank tertarik yang ditunjuk dalam L/C tidak mengaksep wesel yang ditarik atas bank tersebut, atau membayar wesel yang telah diaksep tetapi tidak dibayar oleh bank tertarik

(23)

tersebut pada saat jatuh tempo”.

4. Penyimpangan terhadap kebiasaan dan Best Practice di Dunia Perbankan;

Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan telah terjadi penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan sebagai berikut :

a. Tidak dilakukan assessment resiko terhadap Issuing Bank (Commercial Line); b. Tidak dimintakan konfirmasi dari First Class International Bank, padahal

untuk yang L/C berasal dari high risk country dan nilainya sangat besar lazimnya dikonfirmasi;

c. Tidak dilakukan assessment terhadap nasabah penerima fasilitas (Gramarindo & Petindo), dengan analisa 5C (Character, Capability, Capital, Collateral &

Condition) dan Trade Line;

d. Tidak ada pemisahan fungsi manajemen risiko dan fungsi marketing karena semua keputusan dilakukan oleh satu pejabat yakni Kepala Cabang atau pejabat lain yang ditunjuk Kepala Cabang, tanpa adanya review dari sisi Risk Manajemen.

5. Pelanggaran terhadap Etika;

Pegawai Bank BNI Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang, sehingga potensi kerugian Bank BNI menjadi semakin besar.

6. Vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;

Sehubungan dengan persidangan kasus L/C fiktif Bank BNI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis sebagai berikut :

(24)

Vonis terhadap pelaku internal BNI :

No. Nama Jabatan Vonis PN

1. Edi Santoso Kabid Pelayanan LN BNI

Cab. Kebayoran Baru Penjara Seumur Hidup

2. Kusadiyuwoon Kepala Cab. BNI Kebayoran

Baru

16 Tahun Penjara

Vonis terhadap pelaku nasabah BNI :

No. Nama Jabatan Vonis PN

1. Olah Abdullah Agam Direktur PT. Gramarindo

Legal Indonesia

15 Tahun penjara dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 300 Juta.

2. Aprilla Widharta Direktur Pan Kifros 15 Tahun Penjara

dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 200 juta

3. Adrian P. Lumowa Direktur Magnetique Esa

Indonesia

15 Tahun Penjara dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 400 juta.

4. Titik Pristiwanti Direktur Binekatama Pasific 8 Tahun Penjara;

Denda Rp. 300 juta.

5. Richard Kuontul Direktur Netrantara 10 Tahun Penjara;

Denda Rp. 150 juta.

PASAL YANG DILANGGAR : PRIMAIR :

- Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

SUBSIDAIR :

- Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

LEBIH SUBSIDAIR :

- Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

(25)

Penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku baik internal maupun eksternal pada kasus L/C Fiktif Bank BNI’46 ini adalah terlalu ringan karena dana yang diambil lebih besar dari yang dijatuhi hukuman. Hal tersebut jelas tidak membuat jera para pelaku kejahatan. Seharusnya para pelaku kejahatan tersebut dimiskinkan atau disita seluruh harta bendanya baik atas namanya maupun atas nama anak, saudara dan 3 (tiga) garis keturunan ke bawah. Jika sudah dimiskinkan maka pelaku tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk naik banding ataupun ingin mengajukan upaya hukum lainnya. Sehingga kasus tersebut selesai sampai disitu.

2. Analisis Hukum L/C Fiktif Bank BNI’46

Dalam Kasus seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya, ada beberapa indikasi yang dilakukan oleh pihak kreditur bersama dengan para penegak hukum, yaitu81 :

1. Melaporkan tindak pidana kepada Aparat Kepolisian. Contoh kasus tersebut, kreditur melakukan penyuapan kepada pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan agar kasus tersebut dapat dipidanakan, sehingga menyeret beberapa aparat kepolisian masuk penjara karena terlibat penyuapan. Pihak kejaksaan dan pengadilan belum ditemukan adanya kasus penyuapan karena terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk saling menyelamatkan institusi;

2. Walaupun telah dilaporkan kepada pihak kepolisian, bahwa telah terjadi tindak pidana, tetapi beberapa Asset yang telah diserahkan karena Debitur melaksanakan Akte Pengakuan Hutang, dijual sendiri oleh kreditur dengan

81

(26)

alasan melakukan recovery bank atau melakukan negosiasi sendiri apabila yang dijaminkan oleh debitur adalah Tagihan Piutang pada Pihak ke-III; 3. Polisi seharusnya menyita Asset dari Debitur, karena telah dibuktikan

melakukan tindak pidana, tidak segera menyita, sebaliknya bersama kreditur ikut melakukan penjualan Asset tersebut tanpa melibatkan Debitur, sehingga Debitur tidak tahu dengan sebenar-benarnya berapa yang telah dijual dan yang telah disetorkan kepada pihak Kreditur, contoh kasus L/C BNI tersebut, aparat polisi bersama-sama dengan kreditur menjual Assets milik Debitur, dengan hasil penjualan adalah Rp. 5,3 miliar, disetorkan kepada Kreditur hanya Rp. 1 miliar, sisanya hilang begitu saja;

4. Terjadi tarik menarik dan saling menyalahkan, antara pihak kepolisian yang seharusnya berhak menyita, karena telah dilaporkan adanya tindak pidana, tetapi Kreditur tidak menyerahkan kepada aparat polisi karena mengharapkan melakukan recovery sendiri;

5. Kreditur sangat melindungi institusinya dengan mengorbankan pejabat rendahan. Bahwa pejabat tersebut yang telah bersama-sama dengan debitur melakukan tindak pidana padahal sistem pada BNI 46 tersebut sangatlah tidak mungkin apabila pejabat sampai tingkat pusat tidak mengetahui, karena semua transaksi sangat berpengaruh pada perdagangan Valuta Asing (Valas) yang bersifat harian dan menggunakan sistem online;

6. Kreditur selalu memberikan biaya operasi kepada setiap tindakan para aparat hukum, membelikan laptop, handphone, meubelair, uang saku, dan uang operasional perjalanan untuk melakukan sita administrasi dan biaya-biaya

(27)

lainnya agar tindak pidana tersebut tidak melebar dan mengarah kepada tindak pidana yang dilakukan oleh Kreditur, cukup para Debitur dan pegawai rendahan Kreditur yang dikorbankan;

7. Kreditur rela mengeluarkan uang untuk mengatur media massa, cetak dan elektronik dalam bentuk pemasangan iklan, sehingga semua pemberitaan menjadi tidak seimbang, semua pemberitaan menyudutkan debitor hanya untuk membentuk opini masyarakat;

8. Secara aktif melakukan pendekatan kepada institusi penegak hukum, melewati pengacaranya dan memberikan informasi kepada penegak hukum baik tertulis ataupun lisan yang menguntungkan Debitur;

9. Ada kecenderungan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) yang menangani kasus tersebut tidak begitu paham/pandai melihat kasus yang sebenarnya, penegak hukum dan Kreditur telah melakukan kolaborasi untuk memidanakan Debitur dengan alasan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi, karena kalau dikenakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, penegak hukum yakin Debitur akan bebas karena alasan pembuktiannya akan lemah sekali dan mudah dibantahkan oleh Debitur;

10.Ada kecenderungan Kreditur mempengaruhi proses persidangan, bahkan daftar penyitaan asset yang dilakukan oleh hakim, bukan dari alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan yang terlebih dahulu telah disita oleh polisi tetapi daftar asset yang diajukan oleh Kreditur pada saat menjadi saksi dalam persidangan, dimana daftar asset-asset tersebut harus diteliti lebih dahulu

(28)

kepemilikannya bahkan kepemilikan pihak ketiga yang tidak terkait kasus tersebut ikut disita;

11.Ada perlakuan pidana yang tidak sama terhadap para Debitur, walaupun peran dan pasal yang divoniskan sama, Debitur A divonis ringan, tanpa penyitaan, Debitur B divonis berat, tanpa penyitaan, Debitur C divonis berat dan tetap dilakukan penyitaan, dan penghitungan uang pengganti untuk menutu pkerugian negara, tanpa menggunakan tolok ukur yang benar;

12.Penyitaan asset yang dilakukan, hanya Sita Administrasi karena ada unsur kesengajaan yang dilakukan Penegak Hukum dan Kreditur untuk tidak segera melakukan Sita Eksekusi terhadap asset debitur, sehingga asset potensial yang seharusnya dapat menutup kerugian negara, menjadi terlantar dan terjadi penurunan nilai ekonomis yang cukup signifikan;

13.Kreditur melakukan window dressing selama lebih dari satu tahun terhadap neraca keuangannya, karena ada maksud tersembunyi dari pemidanaan para Debitur yaitu menutupi kejadian Debitur lainnya yang lebih besar, agar Kreditur tidak ketahuan dan Debitur yang dilindungi dapat mempunyai waktu untuk melakukan penyelesaian kreditnya.

Dari seluruh poin-poin di atas yang terkait dengan pencucian uang dalam kasus L/C Fiktif BNI 46 dibuktikan dengan hasil pencucian uang kasus BNI masuk

(29)

ke pasar modal.82 Menurut keterangan Ketua BAPEPAM, Herwidayatmo, sebagai berikut :

”Terdapat aliran dana ke pasar modal yang diduga merupakan hasil tindak pidana pencucian uang (money laundering). Jumlahnya sekitar Rp. 11,4 miliar. Berdasarkan laporan dari PPATK aliran dana diduga merupakan bagian dari hasil tindak pidana manipulasi kredit ekspor BNI. Sebagian dimasukkan ke reksadana, sebagian lagi ke pasar saham, dan sisanya dibelikan obligasi korporasi.

BAPEPAM-LK sudah mengirim tim ke PPATK untuk mengkaji bahan-bahan dan temuan yang ada untuk ditindaklanjuti. Saat ini sudah ada empat perusahaan yang terindikasi menerima dana tersebut. Perusahaan tersebut harus diperksa apabila diketahui ada transaksi yang mencurigakan, maka berdasarkan peraturan yang ada perusahaan-perusahaan tersebut harus dilaporkan ke PPATK dan BAPEPAM-LK.

Berdasarkan Peraturan BAPEPAM No. 5/D/10, perusahaan diwajibkan untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah atau Know Your Customer (KYC). Kebanyakan perusahaan-perusahaan tersebut tidak mengetahui bahwa duit yang digunakan untuk membeli surat-surat berharta tersebut adalah uang haram. Sewaktu mengambil uangnya di bank tidak ada masalah karena kasusnya baru terbongkar beberapa waktu kemudian”.

Sebelumnya berkas laporan telah terjadi pencucian uang di pasar modal sudah diserahkan kepada BAPEPAM-LK oleh PPATK. Hal ini diungkapkan oleh Ketua PPATK, Yunus Husein, sebagai berikut83 :

”Yunus Husein mengakui adanya empat perusahaan sekuritas yang menjadi sarana pencucian uang (money laundering) dana hasil pembobolan BNI. Tetapi kemungkinan besar perusahaan tersebut tidak mengetahuinya.

Sebagian dana hasil pembobolan BNI ternyata disalurkan ke pasar modal. Dana sebesar Rp. 11,4 miliar tersebut digunakan untuk membeli satu obligasi, dua saham, dan satu reksadana. Hal ini terungkap berkat laporan dari bank yang digunakan untuk menyalurkan dana tersebut. Jadi, bank tidak salah.

82

Ahmad Ihsan, “Hasil Pencucian Uang Kasus BNI Masuk Pasar Modal”, Kamis, 19 Februari 2004, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/02/19/brk,20040219-28,id.html., diakses pada 19 Maret 2011.

83

Ahmad Ihsan, “PPATK : Empat Perusahaan Sekuritas Terlibat Pencucian Uang”, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/02/19/brk,20040219-39,id.html., diakses pada 21 Maret 2011.

(30)

Bank justru yang membantu karena melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan tersebut.

PPATK kemudian menemukan adanya empat perusahaan sekuritas yang membantu menyalurkan dana tersebut. Selanjutnya, PPATK melayangkan surat pemberitahuan kepada perusahaan-perusahaan bahwa mereka telah menjadi sarana tindak pidana pencucian uang. Perusahaan tersebut hanyalah sebagai sarana, pelaku sebenarnya adalah yang menyuruh untuk membeli dan sekarang memiliki surat-surat berharga tersebut.

Yunus mengakui keempat perusahaan tersebut bersalah karena tidak melaporkan dari awal adanya transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut. Barulah setelah dikirimi pemberitahuan oleh PPATK keempatnya melaporkan konfirmasi adanya empat perusahan sekuritas tersebut. Yunus menduga kemungkinan besar mereka memang tidak mengetahui bahwa dana yang disetorkan oleh investornya adalah dana hasil pembobolan BNI. Informasi yang dikumpulkan PPATK menyatakan bahwa aktivitas pembelian surat berharga oleh uang haram tersebut dilakukan pada bulan September, Oktober, dan November 2003.

Menurut Yunus Husein, wajar apabila empat perusahaan sekuritas tersebut tidak mencurigai dana dan si investor karena pada saat itu kasus BNI belum terbuka, BI baru menerima laporan dari BNI pada bulan Oktober 2003. Beberapa bank juga tidak mengetahui adanya uang haram hasil pembobolan BNI yang disimpannya.

Bagaimana bank bisa curiga karena mereka menggunakan nama badan hukum lain, nama orang lain yang tidak dikenal untuk menyimpan maupun mencairkan uang tersebut. Oleh karena itu wajar saja kalau empat perusahaan sekuritas tersebut tidak menyadari bahwa dana yang diterima adalah uang haram.

Bank saja awalnya tidak tahu. Baru setelah dikirimi surat pemberitahuan kemudian menjadi waspada dan berhasil menemukan beberapa rekening yang mencurigakan. Walaupun demikian pemeriksaan tetap dilakukan mengapa keempatnya tidak melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut. Seluruh berkas laporan sudah diserahkan kepada Bapepam, kini semuanya tergantung dengan mereka. PPATK juga melaporkan temuan ini kepada Kepolisian karena dana tersebut merupakan barang bukti kasus BNI”.

Dalam hal pengejaran atau pencarian aliran dana yang masuk ke pasar modal dapat dilakukan dengan mengikuti arus aliran dana atau arus aliran saham, seperti

(31)

yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Hal inilah yang dilakukan PPATK untuk mengejar para pelaku kejahatan pencucian uang. Pengejaran dimaksud harus didasarkan dengan laporan dari BAPEPAM-LK terlebih dahulu barulah PPATK dapat bekerja. Ini yang disebut passive responsive dari institusi PPATK. Dalam pemberian sanksi kepada perusahaan sekuritas tempat terjadinya pencucian uang kasus BNI ini diserahkan kembali oleh PPATK kepada BAPEPAM-LK karena pemberian sanksi bukanlah kewenangan PPATK. Ranah hukumnya adalah BAPEPAM-LK.

Mengenai budaya hukum yang diutarakan dalam teori Sistem Hukum, Lawrence M. Friedman terkait dengan kasus L/C Fiktif BNI adalah bahwa belum adanya budaya anti korupsi di dalam masyarakat dan perbedaan pemahaman masyarakat (nasabah bank) mengenai praktik pencucian uang. Karena masih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa pencucian uang tidak langsung akan merugikan masyarakat. Substansi dari sistem hukum adalah norma-norma yang tedapat dalam undang-undang dan putusan pengadilan. Aparatur atau organ dapat diumpamakan sebagai mesin yang menghasilkan produk hukum tersebut. Selanjutnya, yang menentukan berjalannya suatu sistem hukum adalah budaya hukum (legal culture) masyarakat. Budaya hukum masyarakat ditentukan oleh sub-culture. Sub-Culture

tersebut dipengaruhi, antara lain oleh : agama; pendidikan, posisi atau kedudukan; kepentingan; dan nilai-nilai yang dianut.

(32)

Secara umum hambatan yang ada dalam tindak pidana pencucian uang dalam Kasus L/C Fiktif BNI tersebut, yaitu84 :

1. Kelemahan substansi sistem hukum yang antara lain disebabkan oleh : a. Materi dan sanksi hukum tidak lengkap;

b. Sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera;

c. Hukum hanya mementingkan kepastian hukum dan mengabaikan keadilan;

d. Tidak mengikuti perkembangan zaman. 2. Kelemahan aparatur negara;

a. Ketidakpastian bank-bank dan penyedia jasa keuangan untuk melaksanakan kewajiban pelaporan;

b. Ketidakmampuan para petugas penyedia jasa keuangan dalam mendeteksi transaksi dan rekening yang ada, atau yang menimbulkan kecurigaan; c. Kinerja atau profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai dalam

mengungkapkan kejahatan money laundering;

3. Budaya hukum masyarakat belum mendukung anti pencucian uang.

Agar tindak pidana money laundering dapat diberantas maka harus dilakukan secara sistematis dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem tersebut. Upaya memerangi tindak pidana ini harus digerakkan serta didukung sepenuhnya oleh Presiden dan pejabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti Menteri, Kepala Kepolisian, Kepala Kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-ketua Pengadilan dan tentunya anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Para penegak hukum tersebut harus mengedepankan supremasi hukum di atas kekuatan dan kepentingan lainnya.85

84

“Indikasi Kejahatan yang dilakukan oleh Kreditur/Bank kepada Debitur/Nasabah”, Op.cit.

85

(33)

Selain itu diperlukan peran serta masyarakat untuk melaporkan setiap transaksi (perbankan) yang mencurigakan serta lembaga-lembaga suatu ”kelompok pengawas” yang secara konsisten melakukan pengawasan terhadap penguasa dan jajaran pemerintahannya misalnya lembaga seperti Indonesian Corruption Watch

(ICW) di setiap Kabupaten/Kota untuk mengawasi perilaku penguasa dan pemerintah daerah tersebut.86

D. Terjadinya Praktek Pencucian Uang di Pasar Modal

Adapun terjadinya praktek pencucian uang di Pasar Modal dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu : integration dan layering. Integration adalah mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman.

Layering adalah memindahkan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks dalam rangka mempersulit pelacakan (audit trail) asal usul dana.87

Pertama, hasil dari tindak pidana selain tindak pidana pasar modal masuk ke dalam sistem pasar modal (dicuci melalui transaksi yang dilakukan di pasar modal, misalnya uang hasil korupsi diinvestasikan dengan cara pembelian saham. Kedua, hasil tindak pidana pasar modal dicuci melalui sistem pasar modal juga. Jika yang terjadi adalah keadaan yang kedua, maka kejahatan dan proses pencucian uang dilakukan dalam satu medium yang sama yaitu pasar modal.

86

Ibid.

87

Yunus Husein, “Rezim Anti Money Laundering : Aspek Hukum dan Perkembangan Terkini”, Disampaikan dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 8 Mei 2009, hal. 8.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini,. tahun dua ribu. Bahwa saya sanggup ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa saya sanggup mengganti seluruh kerugian biaya

Pengaruh langsung terjadi pada impor bawang merah, di mana peningkatan harga yang cukup tajam pada pertengahan tahun 2014 akibat kelangkaan barang, ditindaklanjuti

Dalam bersih desa, seluruh masyarakat ikut terlibat. Di dalamnya terdapat pembagian kerja, dimana individu-individu sebagai bagian dari masyarakat Dusun Sambeng

Pada hasil penelitian ini, efek pemberian minuman isotonik terhadap daya tahan otot selama aktivitas lari 30 menit adalah didapatkannya daya tahan dengan minuman

Analisis data dilakukan secara kualitatif empirik yakni analisis yang dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan statistik dan matematika artinya disajikan dalam

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Tambak Tinggi Kecamatan Depati VII dengan rumusan masalah bagaimanakah dampak percepatan pembangunan infrastruktur pasca

Kebudayaan tahun 2014 adalah melaksanakan Olimpiade Sains Nasional (OSN) Berdasarkan hasil-hasil yang telah diperoleh peserta Indonesia dalam mengikuti 2) Seleksi Peserta

Pertanian di Desa Pangenteran Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang. Tujuan penelitian ini antara lain adalah mengetahui jaringtan sosiaol petani dalam pelaksanaan sistem