DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Ang, Robbert Buku Pintar Pasar Modal Indonesia (The Intelligent Guide to
Indonesia Capital Market), Mediasoft, Jakarta, 1997.
Anwar, Jusuf. Pasar Modal Sebagi Sarana Pembiayaan dan Investasi, Alumni, Bandung, 2005.
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, RajaGrafindo Persada,Jakarta, 2014.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum Pencaraian dan Pembebasan. UMS Press, Surakarta, 2010.
_______________. Sisi-Sisi Lain Hukum Dari Hukum Di Indonesia. Kompas, Jakarta, 2009.
________________, Ilmu Hukum, Bandung, Aditya Bakti, 2013, hal 5
Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, Penebar Swadaya Grup, 2014.
Sundari, Siti. Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementrian Hukum dan HAM RI, 2011.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2014.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta.2008
Fuady, Munir. Pasar Modal Indonesia (Tinjauan Hukum), Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996.
Tim Panitia antar Departemen Rancangan Undang-undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik UU OJK
Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusi Peraturan Perundang-Undangan
Nasioanal, Padang, Fakultas Hukun Universitas Andalas, 1994
Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014
D. Tjiptono & Hendy M. Pasar modal di Indonesia, Jakarta: Salemba, 2001.
Nasarudin, Irsan. dkk, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Prenada Media,2004.
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Nomorrmatif, Surabaya, Bayu Media Publishing, 2005
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2003.
Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010.
P. Sitorus, “Pengantar Ilmu Hukum (Dilengkapi Tanya Jawab)”, Bandung:
Pasundan Law Faculty, Alumnus Press, 1998.
Arief, Barda Nawawi, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Cetakan Kesatu, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1996.
Soesilo,R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor, 1995
Nasution Bismar, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana, 2001.
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007.
B. Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Pasar Modal Peraturan Bapepam-LK NO.IV.C.5
Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. Kep-43/BL/2008 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas.
Peraturan Bapepam dan LK No.IV.D.11 Lampiran Kep. Ketua Bapepam No. KEP-480/BL/2009 tentang Pedoman Fungsi-fungsi Manajer Investasi.Peraturan Bapepam No.IV.B 1. Tentang Pedoman pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Peraturan Bapepam No.IV.B.2.tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Peraturan Bapepam No. IV.A.3 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Di Bidang Pasar Modal
Keputusan Ketua Bapepam Nomormor: Kep- 86/ PM / 1996 dan Peraturan Nomormor X.K1, mengenai Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik
C. Website
S.Destyantoro. Otoritas Jasa Keuangan OJK Pengawas Lembaga Keuangan Baru
Yang Memiliki Kewenangan Penyidikan,
http://www.academia.edu/9310472/ diakses tanggal 21 Februari 2016.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/12/23/2106030/OJK.Tangani.Bank. Mutiara.per.1.Januari.2014, diakses tanggal 1 April 2016.
http://kendaripos.fajar.co.id/2016/03/ojk-siapkan-penyidik-optimalkan-perlindungan-konsumen/ (diakses tanggal 1 Mei 2016)
Paripurna P Sugarda, Status Hukum dan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, www.ugm.ac.id, diakses tanggal 12 Mei 2016.
Harry Koot, Analisis Pemebntukan Otoritas Jasa Keuangan, diakses dari
http://www.geocities.ws/jurnalhet/dokumen/ringkasan-skripsi-harry-koot.pdf, diakses tanggal 15 Mei 2016.
http://azarasidi.blogspot.com/2013/10/peran-ojk-dalam-pengaturan-keuangan.html diakses tgl 3 Juni 2016.
http://www.pulausumbawanews.com/daerah/ojk-berwenang-ciptakan-investasi-yangkondusif/ diakses tgl 3 Juni 2016.
Zulkarnain Sitompul, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan, http://Sippm.unas.ac.id, hal. 1, diakses tanggal 15 Mei 2016.
http://www.bisnis-kti.com, Berita Ekonomi dan Bisnis, tanggal (30/9/2013). diakses tanggal 21 Mei 2016.
http://www.kabarbisnis.com/read/2844036, diakses tanggal 21 Mei 2016.
Zaidatul Amina, Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia: Melihat Dari Pengalaman Negara Lain, www.unesa.ac.id, diakses tanggal 15 Mei 2016
Darmin Nasution, Konsepsi Pemikiran Otoritas Jasa Keuangan, http://books.google.co.id, diakses tanggal 12 Mei 2016.
Fitrianti Lestari, http://fitrianalestari.blogspot.com/2011/10/kejahatan-pelanggaran-dibidangpasar.html diakses tgl 1 Juni 2016
http://www.kompasiana.com/minnie/peranan-otoritas-jasa-keuangan-dalam- melindungi-praktek-praktek-kecurangan-yang-terjadi-dalam-pasar-modal_56bd1c2a7193731b05dfe710 (diakses tanggal 1 Juni 2016)
D. Artikel/Jurnal
Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Pengawasan Lembaga Perbankan Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Skripsi Sarjana, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004)
Afika Yumya, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan, (Skripsi sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2008).
Rizka Maulida, dkk. Pengalihan Kewenangan BAPEPAM-LK Kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal Pengawasan Transaksi Efek (Studi di Kantor Otoritas Jasa Keuangan Pusat), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2015, hal 11.
Nurhaida (Anggota Dewan komisioner Kepala Eksekutif Pangawas Pasar Modal), Reformasi Pengawasan Jasa Keuangan Melalui Pembentukan Otoritas Jasa keuangan Sebagai Upaya Mendorong pertumbuhan PerekoNomormian Nasional, www.itb.ac.id, diakses tanggal 28 Desember 2012
Afika Yumya, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan, (Skripsi sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2008).
BAB III
KEDUDUKAN DAN FUNGSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MENANGANI KASUS KEJAHATAN PASAR MODAL
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011
A. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi
masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam
rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang
dapat diterima.55Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi
kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan
ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan
membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan
kejahatan.
Marjono Reksodipoetro memberikan batasan bahwa sistem peradilan
pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.56 Berdasarkan
apa yang dikemukakan oleh Marjono tersebut terlihat bahwa komponen atau sub
sistem dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya Marjono juga mengemukakan bahwa
55
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007, hal 4.
56 Romli Atmasasmita,
tujuan dari sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah diadili, mengusahakan agar
mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya.57
Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum
pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus
dilihat dalam konteks sosial.58 Hal ini dimaksudkan untuk mencapai keadilan
sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan
hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan
mencapai keadilan, juga meliputi lembaga serta proses yang mewujudkan
berlakunya kaidah tersebut sebagai kenyataan di masyarakat.59
Wewenang untuk menunjuk penyidik tersebut dapat dilimpahkan oleh
Kapolri kepada Pejabat Kepolisian Negara RI. Sedangkan penyidik yang dijabat
oleh Pegawai Negeri Sipil, pengangkatannya dilakukan oleh Menteri atas usul
Departemen yang membawahi Pegawai Negeri Sipil tersebut. Mentri sebelum
melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan Jaksa
Agung dan Kepala Kepolisian RI. Dan wewenang pengangkatan itu dapat
dilimpahkan oleh Menteri Kepada Pejabat yang ditunjuknya. (Pasal 2 (6) PPRI
No. 27 Tahun 1983).
57
Ibid, hal 3
58
Ibid, hal 5-6
59P. Sitorus,
Pengantar Ilmu Hukum (Dilengkapi Tanya Jawab) , Ba du g: Pasu da
Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang mengatur tentang
acara sendiri khususnya perihal penyidikan. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan
akankah terjadi penyidikan oleh penyidik OJK di dalam tindak pidana yang sama,
dimana hak dan kewenangan penyidikan pada tindak pidana OJK dipunyai juga
oleh penyidik lain yang telah ada. Keadaan ini nampaknya akan tidak selaras
dengan integrated criminal justice system. Integrated criminal justice system
mempunyai pengertian adanya keterpaduan penyidik bidang tindak pidana. Salah
satu pilar dari sistem penanganan terpadu, adalah harus adanya koordinasi dari
para penyidik.60
Dengan adanya penyidik OJK, hal ini akan menimbulkan rebutan perkara
dalam penyidikan tindak pidana OJK dan akan terjadi tumpang tindih
kewenangan yang berujung kepada adanya nebis in idem. Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) adalah lembaga yang mandiri dan independen serta bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di sektor perbankan, pasar modal,
pengasuransian, dana pensiun, lembaga pembayaran dan lembaga keuangan
lainnya. Dengan demikian termasuk penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
perdagangan obat bius, perdagangan senjata dan manusia, penyelundupan,
kejahatan di bidang perpajakan, pasar modal dan kejahatan di industri asuransi. Itu
dapat disidik oleh penyidik OJK apabila terindikasi adanya kejahatan. Dengan
demikian penyidik OJK mempunyai kewenangan yang besar selain berwenang
melakukan penyidikan yang tidak dipunyai oleh penyidik lain. Dalam hal
penyidikan terhadap tindak pidana jasa keuangan undangundang OJK
mengaturnya dalam Pasal 49 yang berbunyi:
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat
diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;
b. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
c. melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan
atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
d. memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti
dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam
tindak pidana di sektor jasa keuangan;
e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
f. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga
terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan
bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan;
g. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun
elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;
h. dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang
untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah
melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. meminta bantuan aparat penegak hukum lain;
j. meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang
diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
k. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak
yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor
jasa keuangan;
l. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan m. menyatakan saat
dimulai dan dihentikannya penyidikan.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 menyampaikan hasil
penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan dan Jaksa wajib
kewenangannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya hasil
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Tentang kewenangan penyidikan yang dipunyai oleh penyidik OJK ini,
seperti penyidikan terhadap semua tindak pidana yang menyangkut jasa keuangan
seperti diatur dalam sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun,
lembaga pembiayaan. Sementara terhadap tindak pidana perbankan telah ada
penyidik sebelumnya yaitu pejabat polisi negara.
Polisi sebagai penyidik tindak pidana perbankan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 6 ayat (1) a. Penyidik adalah
Polisi Negara Republik Indonesia, selain itu Polisi sebagai penyidik diatur pula
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat
(1) a: Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya.
Dengan demikian Polisi sebagai penyidik termasuk penyidik mempunyai hak dan
kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana,
termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan dan lainlain). Begitu
juga Kejaksaan. Jaksa sebagai penyidik mempunyai kewenangan melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, ini diatur
dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia Pasal 30 ayat (1) d. Di bidang Pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Jadi apabila terindikasi adanya tindak pidana korupsi di sektor jasa
keuangan (sektor perbankan dan lain-lain) maka Jaksa berwenang melakukan
penyidikan. Dengan adanya kewenangan penyidikan dari penyidik OJK, maka
akan terjadi diverifikasi penyidik dan akan membuat makin tumpang tindihnya
penyidikan dalam tindak pidana tertentu yaitu tindak pidana yang diatur di luar
KUHAP.
Kedudukan hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditetapkan sebagai
lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal tertentu yang diatur tegas dalam
UU Nomor 21 Tahun 2011.Akan tetapi, meski independen, anggaran OJK
bersumber pada APBN, dan/atau pungutan dari penyelenggara jasa.
Independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK.Secara orang
perorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat
diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK.
Disamping itu, untuk mendapatkan pimpinan yang tepat, dalam UU OJK diatur
juga mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi
publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas pemerintah,
Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan.61 Sebagai lembaga yang
bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di
luar pemerintah. OJK berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.62
61Wahyu Uto o, OJK Bagia Refor asi Eko o i I do esia , artikel da Jur al
B. Unsur-Unsur Kejahatan dalam Pasar Modal yang terdapat di dalam Pasar Modal UU Nomor 8 tahun 1995
Tindak pidana di bidang Pasar Modal mempunyai karakteristik yang khas,
yaitu antara lain adalah “barang” yang menjadi obyek dari tindak pidana adalah
informasi, selain itu pelaku tindak pidana tersebut bukanlah mengandalkan
kemampuan fisik seperti halnya pencurian atau perampokan mobil, akan tetapi
lebih mengandalkan pada kemampuan untuk membaca situasi pasar serta
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Tindak Pidana Pasar Modal
merupakan aktifitasnya (tindak pidananya) terkait Langsung dalam ruang lingkup
definisi Pasar Modal Pasal 1 angka 13 UUPM.63
Melalui UUPM tersebut, maka dapat kita lihat bersama kategori kejahatan
Pasar Modal pada Bab XI tentang penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan
orang dalam, mulai dari pasal 90 sampai dengan pasal 99. Yang dapat di bagi
menjadi 3 (tiga) kategori kejahatan Pasar Modal beserta unsur – unsurnya, yaitu:
1. Penipuan (fraud)
Penipuan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 90 huruf
c, adalah membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta material atau tidak
mengungkapkan fakta material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan
mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk
menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain
63Fitrianti Lestari,
atau dengan tujuan memengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek.64
Terkait dengan pengertian KUHP tentang penipuan, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 juga memberikan beberapa spesifikasi mengenai pengertian
penipuan, yaitu terbatas dalam kegiatan perdagangan efek yang meliputi kegiatan
penawaran, pembelian, dan/atau penjualan efek yang terjadi dalam rangka
penawaran umum, atau terjadi di bursa efek maupun diluar bursa atas efek emiten
atau perusahaan publik. Mengenai pengertian tipu muslihat atau rangkaian
kebohongan sebagaimana ditentukan dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 menegaskan bahwa hal tersebut termasuk membuat pernyataan yang
tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta yang
material.
Unsur – unsur tindakan kejahatan Pasar Modal yang dilarang yang berupa
penipuan yang terdapat di dalam Pasal 90 adalah, antara lain:65
a. Setiap pihak; Berdasarkan Pasal 1 angka 23 UUPM, pihak yang
dimaksud adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama,
asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
b. Menipu atau menggelabui pihak lain atau turut serta menipu atau turut
serta mengelabui pihak lain; Berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penipuan, maka unsur – unsur
yang dikatakan penipuan adalah orang yang hendak mengguntungkan
diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hak, baik dengan
64
http://www.kompasiana.com/minnie/peranan-otoritas-jasa-keuangan-dalam-
memakai nama palsu atau keadaan palsu baik dengan tipu muslihat
maupun perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan
barang, membuat hutang atau menghapus piutang.66
c. Dengan menggunakan sarana ataupun cara apapun;
d. Membuat pernyataan tidak benar tentang fakta material atau tidak
mengungkapkan fakta material; Informasi atau Fakta Material adalah
informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian,
atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada Bursa Efek dan
atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang
berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut.67 Informasi atau
fakta materil yang diperkirakan dapat mempengharui efek atau
keputusan investasi pemodal, antara lain hal-hal sebagai berikut:
1) Penggabungan usaha, pembelian saham,peleburan usaha, atau
pembentukan usaha patungan;
2) Pemecahan saham atau pembagian deviden saham;
3) Pendapatan dari deviden yang luar biasa sifatnya;
4) Perolehan atau kehilangan kontrak penting;
5) Produk atau penemuan baru yang berarti;
6) Perubahan dalam pengendalian atau perubahan penting dalam
manajemen;
66
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor, 1995, hal 262
67 Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal,
7) Pengumuman pembelian kembali atau pembayaran efek yang
bersifat utang;
8) Penjualan tambahan efek kepada masyarakat atau secara terbatas
yang material jumlahnya;
9) Pembelian, atau kerugian penjualan aktiva yang materil;
10)Perselisihan tenaga kerja yang relatif penting;
11)Tuntutan hukum yang penting terhadap perusahaan, dan atau
direktur atau komisaris perusahaan;
12)Pengajuan tawaran untuk pembelian efek perusahaan lain;
13)Penggantian akuntan yang mengaudit perusahaan;
14)Penggantian wali amanat;
15)Perubahan tahun fiskal perusahaan.68
Menurut pendapat pengadilan dalam List v.Fashion Park, Inc,340 F. 2d
457 (2d Cir. 1995), fakta materil adalah meliputi fakta – fakta yang
secara rasional dan objektif mempengharui nilai saham perusahaan.69
e. Dengan tujuan agar pernyataan yang di buat tidak menyesatkan mengenai
keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk
menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau
Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli
atau menjual efek.
68
Keputusan Ketua Bapepam Nomormor: Kep- 86/ PM / 1996 dan Peraturan Nomormor X.K1, mengenai Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik
69 Bismar Nasution,
Undang – Undang No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, memberikan
batasan mengenai kegiatan perdagangan efek yang dimaksud dalam pasal 90 ini
melalui penjelasannya yaitu, kegiatan yang meliputi kegiatan penawaran,
pembelian, dan atau penjualan Efek yang terjadi dalam rangka Penawaran Umum,
atau terjadi di Bursa Efek, maupun kegiatan penawaran, pembelian.70 Peristiwa –
peristiwa yang dapat mempengharui harga saham harus dilaporkan paling lambat
2 (dua) hari kerja.71 Berdasarkan unsur – unsur kejahatan tersebut Pasar Modal
yang berupa Penipuan di atas, maka dapat diketahui bahwa setiap perbuatan
semua pihak ataupun turut serta, yang dilarang berdasarkan Pasal 90 UUPM atau
memenuhi unsur – unsur dari Pasal 90 tersebut maka di namakan telah melalukan
kejahatan Pasar Modal yang berupa Penipuan. Pihak yang melakukan penipuan
dikenakan ketentuan selain sanksi administratif, yaitu sanksi pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah). 72
2. Manipulasi Pasar
Selain tindak pidana penipuan, terdapat tindak pidana yang berupa
manipulasi pasar berdasarkan Pasal 91 dan pasal 92 UUPM, maka dapat dilihat
ketentuan tentang unsur – unsur yang dikatakan manipulasi pasar yaitu sebagai
berikut:
a. Setiap pihak baik sendiri maupun bersama-sama dengan pihak lain;
70 Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal,
Pasal 90
71
Keputusan Ketua Bapepam Nomormor: Kep- 86/ PM / 1996 dan Peraturan Nomormor X.K1, mengenai Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik
72
b. dilarang melakukan tindakan atau melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau
lebih, baik langsung maupucn tidak langsung;
c. dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan
mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa
Efek. Atau dengan tujuan menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik,
atau turun dengan tujuaan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual,
atau menahan.73Pada penjelasan Pasal 91 UUPM yang berbunyi: “Masyarakat
pemodal sangat memerlukan informasi mengenai kegiatan perdagangan,
keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek yang tercermin dari kekuatan
penawaran jual dan penawaran beli Efek sebagai dasar untuk mengambil
keputusan investasi dalam Efek. Sehubungan dengan itu, ketentuan ini
melarang adanya tindakan yang dapat menciptakan gambaran semu mengenai
kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek, antara lain:
a. melakukan transaksi Efek yang tidak mengakibatkan perubahan pemilikan;
atau
b. melakukan penawaran jual atau penawaran beli Efek pada harga tertentu,
di mana Pihak tersebut juga telah bersekongkol dengan Pihak lain yang
melakukan penawaran beli atau penawaran jual Efek yang sama pada
harga yang kurang lebih sama.”74
Sementara pada penjelasan Pasal 92 UUPM yang berbunyi: “Ketentuan ini
melarang dilakukannya serangkaian transaksi Efek oleh satu Pihak atau beberapa
Pihak yang bersekongkol sehingga menciptakan harga Efek yang semu di Bursa
73
Efek karena tidak didasarkan pada kekuatan permintaan jual atau beli Efek yang
sebenarnya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain.” 4422
Berdasarkan penjelasan Pasal 91 dan 92 UUPM, maka dapat diketahui bahwa
rencana pertama dari praktek manipulasi pasar adalah melakukan restriksi
artifisial atau penciptaan penampilan palsu atas kegiatan perdagangan yang
sebenarnya dalam persedian (supply) dengan mengakuisisi saham secara
substansial dalam controlled account. Kegiatan merangsang permintaan (demand)
saham yang disengaja dengan upaya pengendalian pesediaan saham. Selanjutnya
melakukan penjualan atas persedian saham yang dibeli, sejalan dengan harga
saham yang telah membubung (harga manipulasi).
Setiap pihak yang melakukan pratek menipulasi pasar yang dilarang oleh
UUPM, dapat dikenakan sanksi administrasi dan juga sanksi pidana yang sama
dengan melakukan tindak pidana Penipuan di Pasar Modal. Penipuan dengan
manipulasi perbedaannya pada dasarnya hanya terletak pada akibat dari perbuatan
tersebut. Pada manipulasi pasar,akibat dari perbuatan tersebut harga saham
menjadi semu sedangkan pada tindak pidana penipuan maka akibat dari informasi
atau keadaan tidak sebenarnya tersebut akan dapat merugikan pihak lain tanpa
mesti mempunyai akibat terhadap pasar yang termanipulasi.
Penjelasan Pasal 92 UUPM yang berbunyi: “Ketentuan ini melarang
dilakukannya serangkaian transaksi Efek oleh satu Pihak atau beberapa Pihak
yang bersekongkol sehingga menciptakan harga Efek yang semu di Bursa Efek
sebenarnya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain.”75
Berdasarkan penjelasan pasal 91 dan 92 UUPM, maka dapat diketahui bahwa
rencana pertama dari praktek manipulasi pasar adalah melakukan restriksi
artifisial atau penciptaan penampilan palsu atas kegiatan perdagangan yang
sebenarnya dalam persedian (supply) dengan mengakuisisi saham secara
substansial dalam controlled account. Kegiatan merangsang permintaan (demand)
saham yang disengaja dengan upaya pengendalian pesediaan saham. Selanjutnya
melakukan penjualan atas persedian saham yang dibeli, sejalan dengan harga
saham yang telah membubung (harga manipulasi).76
Setiap pihak yang melakukan pratek menipulasi pasar yang dilarang oleh
UUPM, dapat dikenakan sanksi administrasi dan juga sanksi pidana yang sama
dengan melakukan tindak pidana Penipuan di Pasar Modal.77 Penipuan dengan
manipulasi perbedaannya pada dasarnya hanya terletak pada akibat dari perbuatan
tersebut. Pada manipulasi pasar,akibat dari perbuatan tersebut harga saham
menjadi semu sedangkan pada tindak pidana penipuan maka akibat dari informasi
atau keadaan tidak sebenarnya tersebut akan dapat merugikan pihak lain tanpa
mesti mempunyai akibat terhadap pasar yang termanipulasi.
Di dalam penjelasan Pasal 94 UUPM, memberikan batasan bahwa suatu
tindakan yang dilarang pada Pasal 91 dan 92 UUPM tersebut menjadi tindakan
yang tidak terlarang yang berupa :
a. stabilisasi harga efek dalam rangka Penawaran Umum sepanjang hal
tersebut dicantumkan dalam Prospektus; dan
75
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Penjelasan Pasal 92
76 Bismar Nasution,
b. penjualan dan pembelian efek oleh Perusahaan Efek selaku pembentuk
pasar untuk rekeningnya.78
3. Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading)
Perdagangan orang dalam dilarang karena pihak yang memiliki informasi
orang dalam, dan kemudian mempergunakannya untuk memperdagangkan efek,
pada dasarnya mempunyai keuntungan berhadapan dengan pihak lain, yang tidak
mempunyai informasi orang dalam. Pihak yang memiliki informasi orang dalam
ini tidak beda dengan seorang pencuri, karena pihak lain tidak mengetahui
informasi orang dalam tersebut (apabila dia mengetahui informasi orang dalam
tersebut) mungkin tidak akan pernah menjual sahamnya pada harga tersebut.
(apabila dia mengetahui bahwa informasi tersebut akan menyebabkan kenaikan
harga), ataupun dia mungkin akan menunda membeli saham seandainya pihak
tersebut mengetahui bahwa harga efek tersebut akan turun (apabila informasi yang
belum dikeluarkan oleh emiten itu akan menyebabkan penurunan
harga).79 Memang tidak semua orang yang membeli atau menjual saham pada
harga tersebut mengetahui adanya informasi orang dalam, tetapi bagi pihak yang
mengetahui informasi orang dalam dan kemudian menggunakannya bertransaksi,
jelas merampas kesempatan pihak lainnya.
78
Undang – Undang No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Penjelasan Pasal 94.
79
Larangan perdagangan oleh orang dalam, sebagaimana dikatakan di atas,
pada dasarnya adalah larangan yang dimaksud agar informasi yang keluar dari
perusahaan dapat sampai kepada semua orang (pemodal dan calon pemodal)
secara bersamaan dan merata, akan memberikan kepada setiap pihak yang
membutuhkan informasi kesempatan yang sama untuk mempergunakan informasi
tersebut untuk kepentingan masing-masing. Perlunya disampaikannya informasi
yang ada dan dimiliki emiten tersebut secara bersamaan dan merata dimaksudkan
juga untuk memastikan bahwa tidak ada satu pihak pun yang diuntungkan, baik
karena hubungan yang bersangkutan dengan perusahaan maupun karena yang
bersangkutan memperolehnya secara melawan hukum. Perlakuan yang sama dan
merata atas informasi emiten ini diperlukan, karena (sekali lagi) informasi di pasar
modal merupakan komoditi penting yang membuat orang memutuskan,
melakukan atau tidak melakukan investasi. Oleh karena itu orangorang yang
dianggap mempunyai hubungan khusus dengan perusahaan (emiten), dilarang
melakukan transaksi dengan mempergunakan informasi orang dalam. Dengan
tidak seorang pun akan diuntungkan, terutama apabila yang bersangkutan
mempunyai akses terhadap manajemen perusahaan.
Jenis kejahatan Pasar Modal yang lainnya adalah insider trading. UUPM
melarang adanya praktek perdagangan orang dalam yang dapat dilihat dari Pasal
95 – 99 UUPM. Yang unsur – unsur suatu kejahatan Pasar Modal yang berupa
praktik perdagangan orang dalam dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Adanya orang dalam atau setiap pihak yang berusaha untuk memperoleh
Berdasarkan penjelasan pasal 95 UUPM, maka dapat kita ketahui bahwa
yang dimaksud dengan orang dalam adalah:
1) komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik;
2) pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik;
3) orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau
karena hubungan usahanya dengan Emiten atau Perusahaan Publik
memungkinkanorang tersebut memperoleh informasi orang dalam;
atau Berdasarkan kategori orang dalam ini,maka yang dimaksud
dengan:
a) Yang dimaksud dengan “kedudukan” dalam penjelasan angka iii
ini adalah jabatan pada lembaga, institusi, atau badan pemerintah.
b) Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” dalam penjelasan angka
iii ini adalah hubungan kerja atau kemitraan dalam kegiatan usaha,
antara lain hubungan nasabah, pemasok, kontraktor, pelanggan,
dan kreditur.
4) Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi
Pihak sebagaimana dimaksud dalam angka i, ii, iii di atas.
b. Mempunyai informasi orang dalam yang belum tersedia untuk umum;
Yang dimaksud dengan “informasi orang dalam” dalam penjelasan angka
iii adalah Informasi Material yang dimiliki oleh orang dalam yang belum
tersedia untuk umum.
c. Dilarang mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau
mana pun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud
untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek
Alasan mengapa perdagangan orang dalam dilarang adalah sebagai
berikut:
1) Larangan bagi orang dalam untuk melakukan pembelian atau penjualan
atas efek Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan didasarkan
atas pertimbangan bahwa kedudukan orang dalam seharusnya
mendahulukan kepentingan Emiten, Perusahaan Publik, atau pemegang
saham secara keseluruhan termasuk di dalamnya untuk tidak
menggunakan informasi orang dalam untuk kepentingan diri sendiri atau
Pihak lain.
2) Orang dalam dari suatu Emiten atauPerusahaan Publik yang melakukan
transaksi dengan perusahaan lain juga dikenakan larangan untuk
melakukan transaksi atas Efek dari perusahaan lain tersebut, meskipun
yang bersangkutan bukan orang dalam dari perusahaan lain tersebut. Hal
ini karena informasi mengenai perusahaan lain tersebut lazimnya diperoleh
karena kedudukannya pada Emiten atau Perusahaan Publik yang
melakukan transaksi dengan perusahaan lain tersebut. Yang dimaksud
dengan “transaksi” disini adalah semua bentuk transaksi yang terjadi
antara Emiten atau Perusahaan Publik dan perusahaan lain, termasuk
transaksi atas Efek perusahaan.
Beberapa hal yang tidak tergolong ke dalam perdagangan orang dalam
1) Apabila setiap pihak yang berusaha untuk memperoleh informasi orang
dalam dan kemudian memperolehnya tanpa melawan hukum, sepanjang
informasi tersebut disediakan oleh Emiten atau Perusahaan Publik tanpa
pembatasan.
2) Perusahaan Efek yang memiliki informasi orang dalam mengenai Emiten
atau Perusahaan Publik melakukan transaksi Efek Emiten atau Perusahaan
Publik bukan atas tanggungannya sendiri, tetapi atas perintah nasabahnya.
3) Perusahaan Efek tersebut tidak memberikan rekomendasi kepada
nasabahnya mengenai Efek yang bersangkutan.
Sanksi yang dapat dikenakan pada pihak yang melakukan pelanggaran di
Bursa Efek Indonesia sama dengan sanksi yang dikenakan pada kejahatan
manipulasi pasar dan penipuan yaitu berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana
yang berupa hukuman sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).80
4. Informasi yang Menyesatkan (misleading information)
Landasan hukum Missleading information dalam UUPM dapat ditemui pada
Pasal 80, 81, 93 UUPM. Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 93 dan 94 UUPM,
maka informasi yang menyesatkan merupakan jenis kejahatan pasar modal yang
lainnya selain yang telah disebutkan di atas. Pengertian informasi yang
menyesatkan adalah pernyataan menyesatkan yang disebabkan adanya
misrepresentation atau pernyataan dengan membuat penghilangan (omission)
fakta materil, baik dalam dokumen – dokumen penawaran umum maupun dalam
80
perdagangan saham. Pernyataan pernyataan tersebut menciptakan gambaran yang
salah dari kualitas emiten, manajemen, dan potensi ekonomi emiten. Mengenai
informasi yang menyesatkan dapat dilihat dari Pasal 93 UUPM.
Unsur – unsurnya dapat berupa:
a. Setiap pihak;
b. Dengan cara apapun;
c. Membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material
tidak benar atau menyesatkan;
d. Dengan ketentuan apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan
diberikan pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara material
tidak benar atau menyesatkan atau pihak yang bersangkutan tidak cukup
berhati-hati dalam menentukan kebenaran material;
e. Bertujuan mempengaruhi harga efek di Bursa Efek;
Enam elemen informasi yang menyesatkan antara lain:
a) Adanya pernyataan fakta material yang salah (palsu) atau pernyataan
fakta material itu tidak lengkap
b) Adanya kewajiban untuk menyampaikan informasi kepada publik,
apabila gugatan itu didasarkan pada fakta material yang salah atau
kurang lengkap.
c) Adanya pengetahuan oleh pihak yang melakukan misrepresentation
atau omission dan dilakukannya dengan maksud melakukan penipuan
d) Merupakan fakta material
e) Adanya keyakinan (reliance)
f) Adanya kerugian (injury).81
Namun dalam Pasal 94 UUPM beserta penjelasannya menerangkan
bahwa ada beberapa tindakan memenuhi unsur misleading information
namun tidak termasuk ke dalam kategori kejahatan Pasar Modal yang
berupa:
1) Stabilisasi harga Efek dalam rangka Penawaran Umum sepanjang hal
tersebut dicantumkan dalam Prospektus.
2) Penjualan dan pembelian Efek oleh Perusahaan Efek selaku
pembentuk pasar untuk rekeningnya sendiri. Mengenai tanggung
jawab atas informasi yang menyesatkan, maka pada Pasal 80 dan 81
UUPM, dapat kita ketahui bahwa ada 2 (dua) hal yang wajib
bertanggung jawab, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, atas
kerugian yang timbul akibat informasi yang menyesatkan tersebut.
a. Apabila pernyataan dalam rangka penawaran umum ada informasi
yang tidak benar tentang fakta material atau tidak memuat
informasi tentang fakta material, maka setiap pihak yang
menandatangani pernyataan pendaftaran tersebut, direktur dan
komisaris emiten, penjamin pelaksana emisi efek, profesi
penunjang Pasar Modal atau pihak lain yang memberikan pendapat
81
atau keterangan dan atas persetujuannya dimuat dalam pernyataan
pendaftaran.
b. Setiap Pihak yang menawarkan atau menjual Efek dengan
menggunakan Prospektus atau dengan cara lain, baik tertulis
maupun lisan, yang memuat informasi yang tidak benar tentang
Fakta Material atau tidak memuat informasi tentang Fakta Material
dan Pihak tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui
mengenai hal tersebut.
Namun terdapat pengecualian apabila penjamin pelaksana emisi efek,
profesi penunjang Pasar Modal atau pihak lain yang memberikan pendapat atau
keterangan dan atas persetujuannya dimuat dalam pernyataan pendaftaran, dapat
membuktikan bahwa Pihak yang bersangkutan telah bertindak secara profesional
dan telah mengambil langkah-langkah yang cukup untuk memastikan bahwa
1) Pernyataan atau keterangan yang dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran adalah
benar; dan
2) Tidak ada fakta material yang diketahuinya yang tidak dimuat dalam
Pernyataan Pendaftaran yang diperlukan agar Pernyataan Pendaftaran tersebut
tidak menyesatkan.
Maka tuntutan ganti rugi hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak pernyataan pendaftaran efektif.82 Bagi pihak yang melakukan pelanggaran
dengan memberikan informasi yang menyesatkan dapat dikenakan ketentuan
pidana dan sanksi administratif yang sama dengan kejahatan pasar modal yang
lainnya.83
C. Wewenang Otoritas Jasa Keuangan untuk Melakukan Penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Kewenangan Pemeriksaan Terhadap Kegiatan Pasar Modal yang dimiliki
OJK terkait dengan pemeriksaan dapat dikatakan sebagai kewenangan yang super
power. Hal ini dapat terlihat pada kewenangan yang dimiliki OJK yang mencakup
pengaturan dan pengawasan serta perizinan dalam jasa keuangan, termasuk di
dalamnya kegiatan di Pasar Modal. Dengan kewenangan yang dimiliki OJK,
tentunya untuk dapat melakukan pencegahan dalam bentuk identifikasi adanya
potensi kejahatan di pasar modal akan menjadi mudah. Namun demikian,
serangkaian kewenangan tersebut tidaklah akan berarti jika OJK tidak memiliki
kewenangan dalam penjatuhan sanksi terhadap pelaku kejahatan di pasar modal.
Pada dasarnya kewenangan menjatuhkan sanksi tidak hanya dimiliki oleh
OJK, badan pengawasan sebelumnya, yakni Bapepam juga memiliki kewenangan
dalam hal menjatuhkan sanksi. Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, penyidikan juga dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengawasan sektor jasa
keuangan di lingkungan OJK.
Ketentuan pidana di dalam UU OJK meliputi :84
83
Ibid, Pasal 104.
84 Kasmir. Bank dan
Lembaga Keuangan Lainnya, RajaGrafindo Persada,Jakarta, 2014,
1. Perbuatan-perbuatan terhadap pelanggaran kerahasian informasi yang
subjeknya adalah setiap orang perorangan atau korporasi
2. Perbuatan-perbuatan terhadap pelaksanaan kewenangan OJK dalam
perlindungan konsumen
3. Perbuatan-perbuatan dalam hal tidak mengabaikan perintah tertulis dari OJK
Kewenangan OJK juga mengacu pada Undang-Undang tentang Pasar
Modal, yang menentukan bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap
pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari OJK, dapat
dijatuhi sanksi berupa:
1. Peringatan tertulis;
2. Denda yaitu kewajiban berupa pembayaran sejumlah uang tertentu;
3. Pembatasan kegaitan usaha;
4. Pembekuan kegiatan usaha;
5. Pencabutan izin usaha;
6. Pembatalan persetujuan; dan
7. Pembatalan pendaftaran; Selain sanksi sebagai mana di atas, OJK juga
berwenanga untuk menjatuhkan sanksi berdasar pada Pasal 9 UU OJK,
yakni memberikan yaitu antara lain :
a. Izin usaha;
b. Izin orang perseorangan;
c. Efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. Surat tanda terdaftar;
f. Pengesahan; dan
g. Persetujuan penetapan pembubaran;
Kewenangan yang dimiliki OJK dalam menjatuhkan sanksi, diharapkan
mampu menjadi alat penanggulangan yang efektif dalam mencegah terjadinya
kejahatan manipulasi pasar di pasar modal. Sejauh ini pihak OJK telah
memberikan sanksi terhadap beberapa perusahaan yang laporan keuangannya
dianggap bermasalah, seperti yang dikutip penulis pada salah satu media massa
nasional sebagai berikut :85
Otoritas Jasa Keuangan mengganjar Asuransi Jiwa Bersama (AJB)
Bumiputera 1912 dengan sanksi peringatan kedua karena kesehatan keuangan
perusahaan dinilai bermasalah. Ngalim Sawega, Deputi Komisioner Pengawas I
Industri Keuangan Nonbank OJK, mengatakan pihaknya telah memberikan sanksi
kepada perseroan. Namun, dia enggan merinci sejak dan sampai kapan sanksi itu
berlaku.“Jangan sampai sanksi itu menjurus ke pencabutan izin [usaha]. Karena
kalau kita cabut izinnya, ini kan [perusahaan] besa, ada 4 juta, 5 juta pemegang
polis, tentunya nasib mereka akan terkatung-katung.”
Bekti Anuar mengemukakan bahwa dalam satu tahun ini telah banyak
perusahaan yang kegiatan jasa keuangannya dibekukan karena terbukti melakukan
tindakan melawan hukum dalam kegiatan jasa keuangan di pasar modal. Misalnya
85 http://www.bisnis-kti.com, Berita Ekonomi dan Bisnis, tanggal (30/9/2013). diakses
kasus Perusahaan Modal Ventura (PMV) yang tidak beroperasi secara benar, telah
diberikan sanksi pembekuan kegiatan usaha dari Otoritas.86
Jasa Keuangan (OJK). Bekti Anuar mengemukakan bahwa pihaknya telah
memberhentikan kegiatan usaha 15 perusahaan modal Ventura, sehingga
perusahaan modal ventura tersebut dilarang melakukan kegiatan usaha. Hal
tersebut seperti yang tertuang dalam Pasal 38 Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 18/PMK. 010/2012 tentang perusahaan modal ventura. Disisi lain, dalam
penghentian praktik usaha tersebut, ke 15 PMV tersebut dipandang tidak
memenuhi ketentuan Pasal 42 ayat 2 huruf a PMK Nomor 18/PMK. 010/2012
tentang perusahaan modal ventura. Isi peraturan tersebut adalah, perusahaan
modal ventura wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha semesteran kepada
Menteri, Ketua dan Kepala Biro dengan ketentuan paling lama satu bulan setelah
periode semester berakhir. Namun pada kenyataannya, 15 Perusahaan Modal
Ventura tersebut tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha sejak semester I
tahun 2012. Berdasarkan ketentuan pasal 62 ayat 5 PMK Nomor
18/PMK.010/2012 tentang perusahaan Modal Ventura (PMK18/2012), sanksi
pembekuan kegiatan usaha berlaku selama 30 hari kerja. Bekti Anuar
menambahkan, bila sampai 1 (satu) bulan tidak ada itikad baik dari mereka
(PMV) maka izin usahanya akan dicabut.
Selain itu, berdasarkan penelusuran penulis terkait dengan kejahatan di
pasar modal, pada tahun 2013 terdapat 34 (tiga puluh empat) pelanggaran, namun
pelanggaran tersebut belum selesai diproses. Hal ini dikemukakan oleh Kepala
86
Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida mengatakan, pelanggaran
tersebut belum bisa disampaikan secara detail karena masih dalam proses lebih
lanjut, beliau menegaskan dari 34 pelanggaran atau kejahatan pasar 23 modal
tersebut, terbagi menjadi dua pelanggaran yakni yang berkaitan dengan emiten
dan yang kedua berkaitan dengan efek. Nurhaida menjanjikan kepada masyarakat
akan mengumumkan siapa saja pelaku kejahatan pasar modal. Dalam hal ini, kita
akan share dengan publik, apabila prosesnya sudah selesai 87
Tindakan tegas OJK dalam menjatuhkan sanksi kepada perusahaan ini
adalah langkah tepat untuk menghindari terjadinya berbagai kejahatan di pasar
modal. Dengan adanya penjatuhan sanksi ini, diharapkan mampu memberikan
efek jera baik kepada perusahaan yang telah dijatuhi sanksi dan juga akan
memberikan rasa takut kepada perusahaan yang akan melakukan tindakan modus
operandi untuk mempengaruhi harga efek di pasar modal. Masih banyak
bentuk-bentuk tindakan penjatuhan sanksi yang telah dikeluarkan OJK sampai dengan
saat ini.
Pasal 7 UU OJK mengatur tugas dan kewenangan OJK dalam pengaturan
dan pengawasan perbankan, hal ini dapat diinterpretasikan bahwa kewenangan
OJK tersebut merupakan kewenangan dalam pengaturan dan pengawasan
microprudential. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan,
aspek kehatihatian dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan
pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun
lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan
87
pengawasan selain hal yang diatur dalam Pasal ini, merupakan tugas dan
wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan
macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan
moral (moral suasion) kepada perbankan.
Pasal 8 UU OJK menjelaskan ketentuan yang menentukan secara khusus
tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas pengaturan bank. Untuk
melaksanakan tugas pengaturan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, OJK
mempunyai wewenang:
a. Menetapkan peraturan pelaksana Undang-Undang ini.
b. Menetapkan Peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
c. Menetapkan paraturan dan keputusan OJK.
d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan.
e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK.
f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap
lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu.
g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statute pada
lembaga jasa keuangan.
h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara
dan manata usahakan kekayaan dan kewajiban.
i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
D. Fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Menangani Kasus Kejahatan Pasar Modal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan
stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan
seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan
secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program pembangunan
ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu
menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan
yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian
masyarakat Indonesia. Program pembangunan ekonomi nasional juga harus
dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip
demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945.88
Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan,
yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan
konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan
semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di
sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
88
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah
1. Pengaturan dan pengawasan pasar modal setelah peralihan BAPEPAM kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 kewenangan
OJK terkait dengan kegiatan jasa keuangan memisahkan secara limitatif jenis
kewenangannya, yakni pada Pasal 8 diatur yang berkaitan dengan pengaturan,
dan pada Pasal 9 diatur mengenai kewenangan yang berkaitan dengan
pengawasan.
2. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Menangani Kasus Kejahatan
Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, Penyidik
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tugas dalam Pasal 49 menyampaikan
hasil penyidikan kepada jaksa untuk dilakukan penuntutan, selanjutnya Jaksa
yang menerima laporan dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib
menindaklanjuti dan memutuskan tindak lanjut hasil penyidikan sesuai dengan
kewenangannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya hasil
penyidikan, sesuai dengan Pasal 50 UU OJK
B. Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan sesuai dengan permasalahan
1. Harus dilakukan harmonisasi undang-undang terkait, seperti Undang-undang
Perbankan, Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang LPS sehingga tidak
terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyidikan tindak pidana pasar
modal.
2. Dalam pelaksanaan kewenangan penanganan kejahatan manipulasi pasar di
pasar modal, diharapkan OJK tidak hanya menunggu adanya laporan dari
konsumen/investor mengenai adanya dugaan telah terjadinya manipulasi
pasar, namun harus mampu lebih aktif dalam melakukan penelitian terhadap
BAB II
PENGATURAN DAN PENGAWASAN PASAR MODAL SETELAH PERALIHAN BAPEPAM KEPADA OTORITAS
JASA KEUANGAN
A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan
Berdasarkan Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(BI), pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa
keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010. Lembaga ini
bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal,
modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.26
Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang
meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa
keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong
diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan disektor jasa keuangan yang
terintegrasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu dilakukan penataan
kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup
perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya.
26
Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi
yang lebih efektif di dalam menangani permasalaan yang timbul dalam sistem
keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan,
pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut
harus dilakukan secara terintegrasi.27
Menurut penjelasan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, OJK
bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di
luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebelum OJK
dibentuk, maka Undang-undangnya harus dibuat terlebih dahulu. Jika mau
dibentuk, undang-undangnya harus dibuat dulu, jika tidak OJK tidak punya dasar
hukum.28
Alasan pembentukan OJK ini antara lain makin kompleks dan
bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan
jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu
alasan rencana pembentukan OJK adalah karena pemerintah beranggapan bahwa
BI, sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sekor perbankan.
Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia
mulai pertengahan tahun 1997, dimana sebanyak 16 bank dilikuidasi pada saat
itu.29
27
Undang-Undang Nomormor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomormor 111, hal 1
28
Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Pengawasan Lembaga Perbankan Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Skripsi Sarjana, Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal 6.
29
Pembentukan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak
lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan yaitu OJK tidak terlepas dari situasi krisis moneter
yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang menimpa wilayah Asia. Krisis ekonomi
selalu menelan biaya yang tidak sedikit, baik dilihat dari biaya ekonomi maupun
biaya sosial yang diakibatkannya. Krisis ekonomi di tahun 1997-1998,
misalnya,membebani perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik
Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi minus 13%. Di sisi lain, diperlukan
waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan perekonomian ke kondisi sebelum
krisis.30
Juli 1997 Indonesia terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional
Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Akibat dari
krisis yang terjadi tersebut berdampak sangat besar terhadap perekonomian di
Indonesia. Pasar modal, kegiatan usaha di sektor riil maupun perbankan
mengalami penurunan yang cukup besar. Salah satu penyebab krisis yang melanda
sebahagian besar perusahaan di Indonesia adalah karena kurang dimanfaatkannya
pasar modal sebagai sumber dana perusahaan. Ketidaksesuaian pembiayaan,
karena dipakainya dana jangka pendek bagi pendanaan investasi jangka panjang
tersebut dapat dihindari apabila perusahaan memanfaatkan instrument pasar modal
bagi kegiatan pembiayaannya baik dalam ekuitas (equity) maupun hutang (debt).
Indonesia pada saat itu memusatkan sektor perbankan (Banking Centric)
dalam perkembangan perekonomiannya. Terdapatnya Banking Centric
30
menimbulkan risiko sistemik terhadap jasa keuangan lain dan lebih jauh dapat
menimbulkan gangguan stabilitas finansial sehingga krisis yang terjadi pada tahun
1997-1998 yang melanda Indonesia menyebabkan banyaknya bank mengalami
kolaps. Fungsi pengawasan bank yang merupakan tugas dari BI banyak yang
dipertanyakan, bahkan dianggap krisis tersebut disebabkan oleh lumpuhnya sektor
perbankan di Indonesia.31 Dengan melakukan reformasi hukum terus menerus
terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional yaitu sistem
keuangan dan keseluruhan kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi
intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional
yang diharapkan dan dapat mencegah terulangnya krisis sekaligus penangkal
dalam pemikiran permasalahan-permasalahan dimasa depan, sehingga program
pembangunan ekonomi nasional yakni dengan tujuan untuk menciptakan pondasi
yang kuat harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan
kegiatan perekonomian nasional yang harus dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel yang berpedoman pada prinsip-prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana
diamanatkan Pancasila dan UUD 1945.32
Sesuai dengan amanat Pasal 34 Undang-undang No. 23 tahun 1999
Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3
Tahun 2004, terakhir dengan Undang-undang No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank
Indonesia yang menyatakan:
31 Paripurna P Sugarda, Status Hukum dan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan,
www.ugm.ac.id, diakses tanggal 12 Mei 2016.
32
(1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawas sektor jasa
keuangan yang independen dan di bentuk dengan undang-undang
(2) Pembentukan lembaga pegawas sebagaimana di maksud pada ayat (1) akan
dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010 pasal tersebut
mengamanatkan pembentukan sebuah lembaga jasa keuangan yang
independen yang bertugas mengawasi kegiatan perbankan di Indonesia.
Sehingga tugas pengawasan tidak dilakukan oleh BI.
Namun dalam perkembangan, lembaga jasa keuangan yang dimaksud
berganti nama menjadi OJK dan kewenangan meluas. Tidak hanya mengawasi
perbankan saja, tetapi seluruh jasa keuangan yang ada. Termasuk pasar modal dan
jasa-jasa keuangan lainnya. Untuk keperluan tersebut akan menyatukan seluruh
aktifitas pengawas sektor jasa keuangan di bawah satu atap yang jangka waktu
pendirian OJK tersebut di perpanjang menjadi paling lambat akhir Desember
2010, yang mencakup perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, sekuritas,
modal ventura dan perusahaan pembiayaan serta badan-badan lain yang mengelola
dana masyarakat.33
Sebagaimana Pasal 34 UU BI dijadikan landasan pembentukan dan
pengaturan lembaga pengawasan keuangan dalam UU BI kurang tepat. Karena
pengaturan pengalihan kewenangan kepada lembaga pengawas keuangan bukan
merupakan kompetensinya dan terdapat kesan pasal tersebut merupakan sisipan
bagi pembentukan lembaga pengawas keuangan. Berdasarkan hal tersebut maka
harus dipahami mengapa UU BI berlaku.34 Norma tertinggi atau norma dasar dan
dalam konteks Indonesia norma dasar tersebut adalah UUD 1945, dalam hal ini
Pasal 23D UUD 1945 “Negara memiliki suatu Bank Sentral yang susunannya,
kedudukannya, kewenangan, tanggung jawab dan indepedensi di atur dengan
Undang-undang”. Pada dasarnya UU OJK memuat ketentuan tentang Organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan
pengawasan terhadap industri jasa keuangan, sedangkan ketentuan mengenai
jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa
keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan
pengaturan prudensial serta ketentuan jasa penunjang industri jasa keuangan dan
lain sebagainya menyangkut transaksi jasa keuangan di atur dalam undang-undang
sektoral tersendiri yaitu UU No. 6 Tahun 2009 Tentang BI, UU No. 8 Tahun 1995
Tentang Pasar Modal, UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian, UU No. 11
Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan sektor jasa keuangan lannya.
Landasan filosofis mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia,
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. OJK dibentuk dengan
tujuan agar keselurahan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan
dapat terselenggarakan secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta dapat
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. OJK
di bentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi
34Tim Panitia antar Departemen Rancangan Undang-undang Tentang Otoritas Jasa
independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran
(fairness).35
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembentukan OJK tersebut di atas,
maka OJK harus merupakan bagian dari penyelenggaraan urusan kenegaraan yang
integrasi secara baik dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintahan lainnya
di dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum
dalam konstitusi Republik Indonesia. Di samping itu, agar OJK dapat
melaksanakan fungsinya secara efektif, maka OJK harus memiliki independensi di
dalam melaksanakan fungsinya agar dapat terlindungi dari berbagai kepentingan
yang dapat menghambat tercapainya tujuan tersebut. Independensi ini diwujudkan
dengan dua hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas
lain di dalam Pemerintah Negara Republik Indonesia, dan kedua, secara orang
perseorangan yang memimpin OJK harus memiliki kepastian atas jabatannya
berupa jangka waktu jabatan yang tidak bias diganti sejauh melaksanakan tugas
dengan benar dan tidak terlibat dalam kriminalitas.36
Landasan filosofis berkaitan dengan “rechtside” di mana semua
masyarakat mempunyai yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya
untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Cita hukum
tersebut tumbuh dari sistem nilai masyarakat mengenai baik atau buruk. Sehingga
hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yang
melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkan dalam tingkah laku
masyarakat.37
Dasar sosiologis artinya, mencerminkan kenyataan yang hidup dalam
masyarakat. Dalam suatu masyarakat industri, hukumnya harus sesuai dengan
kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Dengan
landasan ini diharapkan suatu Undang-undang yang akan di buat akan di terima
masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang
diterima secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu
banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya.
Landasan yuridis, yaitu Pasal 34 UU No. 33 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, UU No. 6 tahun 2009 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.33 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi undang-undang.38
Seperti yang dikemukan oleh Bagir Manan, bahwa
kecenderungan-kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat dalam kenyataan dalam
masyarakat merupakan dasar sosiologi. Kelumpuhan peranan hukum akan terjadi
apa bila peraturan perundang-undangan apa bila tidak memasukkan faktor
kecenderungan dan harapan masyarakat tersebut karena hanya akan sekedar
merekam seketika (momen opname). OJK harus menemparkan dirinya secara
proporsional dan mengayomi berbagai kepentingan dari pelaku industri dan
pemangku kepentingan lainnya. Apabila seluruh pemangku kepentingan
(stakeholders) industri dapat menata perilakunya sendiri, OJK dapat menjadi
37
Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusi Peraturan Perundang-Undangan Nasioanal, Padang, Fakultas Hukun Universitas Andalas, 1994, hal 135
38