• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISTRIBUSI VERTIKAL SUHU DAN OKSIGEN TERLARUT TERKAIT AKTIVITAS KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI PERAIRAN WADUK CIRATA, JAWA BARAT ENDANG SRI UTAMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DISTRIBUSI VERTIKAL SUHU DAN OKSIGEN TERLARUT TERKAIT AKTIVITAS KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI PERAIRAN WADUK CIRATA, JAWA BARAT ENDANG SRI UTAMI"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI VERTIKAL SUHU DAN OKSIGEN TERLARUT

TERKAIT AKTIVITAS KARAMBA JARING APUNG (KJA)

DI PERAIRAN WADUK CIRATA, JAWA BARAT

ENDANG SRI UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Distribusi Suhu dan Oksigen Terlarut Terkait Aktivitas Karamba Jaring Apung (KJA) di Perairan Waduk Cirata, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Endang Sri Utami

(4)

RINGKASAN

Waduk Cirata dibangun dengan tujuan utama sebagai pembangkit listrik untuk unit Pulau Jawa dan Bali yang juga dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk kegiatan perikanan dengan sistem karamba jaring apung (KJA). Kegiatan perikanan di Waduk Cirata telah melebihi daya dukung perairan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis profil stratifikasi vertikal DO, menduga faktor-faktor yang menyebabkan hipoksia dan menjelaskan secara kualitatif respon terjadinya hipoksia terhadap aktivitas KJA.

Pengamatan dan pengambilan sampel air dilakukan di empat stasiun yang didasarkan pada tinggi dan tidak adanya aktivitas KJA. Data parameter DO, suhu, pH dan COD diperoleh secara insitu selama 6 minggu dari April-Mei 2015. Konsentrasi DO di daerah padat KJA lebih rendah dari daerah non KJA. Konsentrasi DO di daerah padat KJA mencapai hipoksia (<3 mg/l) pada kedalaman 7 m di minggu pertama dan bergerak menuju kedalaman 4 m pada minggu terakhir pengamatan dengan lapisan anoksik terjadi pada kedalaman 20 m. COD dan pH di daerah padat KJA berbeda nyata (p<0.05) dari daerah non KJA. Konsentrasi DO, suhu, pH dan COD juga berbeda nyata di kedalaman dan minggu yang berbeda.

Kondisi hipoksia di Waduk Cirata dapat terjadi beberapa hari sampai minggu bahkan lebih lama, dengan kondisi anoksik yang memberikan tekanan pada kematian ikan. Lapisan hipoksia dan anoksia ini akan berbahaya jika cuaca mendung dan hujan secara terus menerus karena dapat diikuti kejadian umbalan

(upwelling). Seperti yang diketahui, bahwa masalah paling buruk yang terjadi di setiap tahunnya di Waduk Cirata adalah kejadian umbalan (upwelling) dan kematian ikan secara massal.

Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonium di daerah padat KJA memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dari konsentrasi di daerah non KJA, tetapi secara umum parameter ini memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di daerah padat KJA. Konsentrasi nitrit tertinggi terdapat di kolom perairan pada kedalaman 20 m (0.003 mg/l). Ortofosfat dan klorofil-a memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di daerah padat KJA daripada daerah non KJA. Secara vertikal ortofosfat dan klorofil-a juga memiliki konsentrasi yang berbeda nyata. Adanya aktivitas KJA memberikan pengaruh terhadap perbedaan karakterisitik parameter fisika dan kimia perairan Waduk Cirata yang ditunjukkan oleh grafik dendrogram.

(5)

SUMMARY

ENDANG SRI UTAMI. Vertical Distribution of Temperature and Dissolved Oxygen Related to Floating Cage Activitiy in Cirata Reservoir, West Java. Supervised by SIGID HARIYADI and HEFNI EFFENDI.

Cirata Reservoir was built for hydropower to supply electricity for Java and Bali Islands. It is also used for fish culture in floating cage. However, aquaculture in Cirata Reservoir has been far exceeded carriying capacity. This research aims to analyze the vertical dissolved oxygen (DO) profile, determining the factors causing the hypoxia, and qualitatively explaining the response of hypoxia related to floating cage activity.

Investigation and water sampling were conducted at four sites with and without floating cage activity. Data on DO, temperature, pH and chemical oxygen demand (COD) were collected weekly for six weeks from April to May 2015. The DO concentration in intensive cage area was lower than in no cage area. DO concentration in areas with intensive cage fell to hypoxia (< 3 mg/l) at 7 m of depth in the first week and moved upward to 4 m of depth in sixth week observation. COD and pH in intensive cage areas were significantly different (P<0.05) from the area with no cage activitiy. The hypoxic and anoxic layers could be dangerous if it continues to be supported by the long rainy days because it may be followed by the upwelling events and the massive fish kills.

Nitrate, nitrite and ammonium in intensive cage area have no significantly diffenrent concentration from no cage area. But generally, these parameters have higher concentration in intensive cage area. The highest nitrite concentration found in water column at 20 m (0.003 mg/l). Orthophosphate and chlorophyll-a concentration in intensive cage area is significantly higher than no cage area. Vertically, orthophosphate and chlorophyll-a also have significantly different concentration. From dendrogram graph it is showed that floating cage activities affect to the different characteristic of N, P and chlorophyll-a in Cirata Reservoir. Keywords: chlorophyll-a, Cirata Reservoir

,

floating cage, hypoxia, oxygen

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

DISTRIBUSI VERTIKAL SUHU DAN OKSIGEN TERLARUT

TERKAIT AKTIVITAS KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI

PERAIRAN WADUK CIRATA, JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Distribusi Vertikal Suhu dan Oksigen Terlarut Terkait Aktivitas Karamba Jaring Apung (KJA) di Perairan Waduk Cirata, Jawa Barat

Nama : Endang Sri Utami NIM : C251130221

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc Ketua

Dr Ir Hefni Effendi, MPhil Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah oksigen terlarut, dengan judul Distribusi Vertikal Suhu dan Oksigen Terlarut Terkait Aktivitas Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sigid Hariyadi MSc dan Bapak Dr Ir Hefni Effendi MPhil selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Mohammad Mukhlis Kamal MSc dan David A Bengtson PhD yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga dihaturkan kepada Bapak dan Ibu tercinta, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman SDP 2013 atas kebersamaan dan dukungannya selama penelitian dan perkuliahan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

2 DISTRIBUSI VERTIKAL SUHU DAN OKSIGEN TERLARUT 4

2.1 Pendahuluan 4

2.2 Metode Penelitian 5

2.3 Hasil dan Pembahasan 8

2.4 Simpulan dan Saran 13

3 SEBARAN N, P DAN KLOROFIL-A SERTA TINGKAT EUTROFIKASI 15

3.1 Pendahuluan 15

3.2 Metode Penelitian 16

3.3 Hasil dan Pembahasan 18

3.4 Simpulan dan Saran 22

PEMBAHASAN UMUM 23

SIMPULAN DAN SARAN 23

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 28

(13)

DAFTAR TABEL

1 Alat dan Metode Yang Digunakan 6

2 Derajat Keasaman (pH) Daerah Padat KJA dan Non KJA 11

3 Alat dan Metode yang Digunakan 16

4 Klasifikasi Status Kesuburan Berdasarkan Nilai TSI 17 5 Klasifikasi Status Trofik Di Perairan Danau Dan Waduk 18 6 Konsentrasi Nitrat (NO3), Nitrit (NO2) dan Amonium (NH3OH) 18

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Skema Perumusan Masalah 2

2 Peta Lokasi Pengamatan Parameter T, DO, pH dan COD 5

3 Diagram Alir untuk Status Uji 7

4 Stratifikasi Vertikal Suhu di Daerah Padat KJA dan Non KJA 8 5 Stratifikasi Vertikal Oksigen Terlarut di Daerah Padat KJA dan Non

KJA 9

6 Konsentrasi COD di Daerah Padat KJA dan Non KJA 12 7 Dendrogram Parameter T, DO, pH dan COD Antar Stasiun Pengamatan 13 8 Peta Lokasi Pengamatan Parameter N, P dan Klorofil-a 16 9 Konsentrasi Ortofosfat di Daerah Padat KJA dan Non KJA 19 10 Konsentrasi Klorofil-a di Daerah Padat KJA dan Non KJA 20 11 Dendrogram Parameter N, P dan Klorofil-a Antar Stasiun Pengamatan 21

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta sebaran KJA ( di dalam garis kuning) pada lokasi pengamatan 28 2. Data curah hujan harian BMKG stasiun Waduk Cirata April-Mei 2015 28 3. Data cuaca harian di lokasi pengamatan April-Mei 2015 29

(16)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat, mengalami pembendungan yang menghasilkan tiga waduk (Saguling, Cirata dan Jatiluhur). Ekosistem waduk merupakan perpaduan antara ekosistem lacustrine (lentik) dan

riverine (lotik). Waduk Cirata yang terletak antara Waduk Saguling dan Waduk Jatiluhur memiliki potensi pembangunan sebagai pembangkit listrik tenaga air untuk unit Jawa Bali. Perairan tergenang di Waduk Cirata dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk kegiatan perikanan budidaya KJA, perikanan tangkap, pemasaran dan pengolahan ikan, pariwisata dan ekonomi serta pelayaran dan pelabuhan (Komarawijaya et al. 2005).

Perairan Waduk Cirata yang bersifat common property dan open access

menyebabkan semua orang berhak untuk memiliki. Jumlah KJA di perairan Waduk Cirata berkembang sangat pesat dan menutupi hampir seluruh permukaan perairan. Pada tahun 1988 jumlah KJA adalah 12 000 unit dan tahun 2011 telah mencapai lebih 50 000 unit . Sebagian besar dari kepemilikan unit usaha KJA ini tidak memiliki perijinan khusus dan hanya memiliki surat penunjukan lokasi sehingga perkembangan KJA leluasa terjadi di Waduk Cirata. Pemberian pakan ikan yang berlebihan telah menyebabkan sedimentasi mencapai 3 000 ton/bulan sehingga volume air terus menurun.

Tingginya sedimentasi di Waduk Cirata yang disebabkan oleh berlebihnya aktivitas KJA menyebabkan berkurangnya potensi kerja mesin pembangkit listrik. Sedimentasi ini sebagian besar disebabkan oleh kegiatan pemberian pakan dari aktivitas KJA. Menurunnya kualitas perairan selain disebabkan tingginya aktivitas KJA juga dipengaruhi oleh tingginya masukan air lindi yang berasal tempat pembuangan sampah Sarimukti yang terletak di sekitar Waduk Cirata.

Aktivitas budidaya ikan di dunia tumbuh dengan sangat cepat sebagai upaya pemenuhan kebutuhan protein hewan (Abreu et al. 2011), hal ini juga tergambarkan dengan banyaknya jumlah KJA yang beroperasi di Waduk Cirata yang akan sangat mempengaruhi terjadinya penurunan kualitas air. Aktivitas budidaya KJA secara tidak langsung akan memberikan dampak terhadap peningkatan unsur hara yang berasal dari sisa hasil metabolisme ikan dan pakan yang tidak termakan yang lepas ke dalam perairan (Wang et al. 2012; Santoso et al. 2012). Peningkatan bahan organik yang berasal dari sisa pakan yang terbuang dari aktivitas budidaya ikan ataupun limbah domestik dan industri menyebabkan masalah serius yang terkait dengan penurunan kualitas air (Hamblin and Gale 2002; Sugiura et al. 2006; Young et al. 2011).

Jenis ikan yang biasa dibudidayakan di Waduk Cirata diantaranya adalah ikan carp, tilapia, bawal, bandeng dan lele. Produksi maksimum ikan dari aktivitas budidaya KJA mencapai 25 100 ton di tahun 1996. KJA dikembangkan dengan menggunakan sistem jaring ganda dengan ukuran rata-rata 7 m x 7 m x 4 m untuk jaring atas dan 7.5 m x 7.5 m x 8 m untuk jaring bagian bawah. Pemberian pakan pada ikan budidaya dilakukan dengan pakan berprotein tinggi dan limbah pakan secara langsung atau tidak akan memperburuk kualitas perairan waduk tepatnya di kolom perairan bagian bawah jaring KJA. Hal inilah yang

(17)

2

kemudian menyebabkan terjadinya kematian ikan budidaya secara massal. Kematian ikan secara massal terbesar terjadi pada 17-18 Desember 2000 yang mencapai kematian ikan hingga 800 ton (Effendie et al. 2005).

1.2 Perumusan Masalah

Aktivitas budidaya KJA di wilayah perairan Waduk Cirata telah melebihi daya dukung dari perairan tersebut. Berlebihnya aktivitas budidaya ikan melalui KJA terhadap daya dukung perairan telah memberikan dampak negatif pada kualitas perairan, diantaranya adalah rendahnya oksigen terlarut. Konsentrasi oksigen berperan penting pada proses siklus biogeokimia dan perubahan struktur dan fungsi ekosistem serta sebagai indikator sensitif terhadap perubahan fisika dan biogeokimia ekosistem air (Arend et al. 2011).

Oksigen terlarut juga terkait dengan pola stratifikasi suhu danau dan peningkatan lamanya stratifikasi suhu ini akan menyebabkan terisolasinya lapisan hipolimnetik terhadap oksigen bebas di udara. Terjadinya stratifikasi suhu akan memberikan dampak pada formasi hipoksia dan deplesi oksigen terlarut di perairan danau yang dalam. Oksigen terlarut sangat penting untuk kualitas air yang baik dan ekosistem yang sehat. Sehingga para pengelola perairan waduk harus memahami hal ini dalam mengembangkan standar untuk mempertahankan konsentrasi DO minimum terutama untuk kelangsungan hidup biota air dan keberlanjutan fungsi perairan. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman akan profil kedalaman DO dan faktor–faktor yang mempengaruhinya serta keterkaitan dengan adanya aktivitas budidaya ikan melalui sistem KJA untuk pengembangan strategi dalam menjaga dan mengelola kelestarian perairan Waduk Cirata.

Gambar 1 Skema perumusan masalah

 Eutrofikasi Kultural (KJA)

 Limbah Domestik  Limbah Pertanian Loading N & P Peningkatan Produktifitas Primer dekomposisi bahan organik Stratifikasi Suhu  Siklus Biogeokimia  Pola Hipoksia

Sistem Pengelolaan Perairan

Stratifikasi Oksigen Terlarut

(18)

3 1.3 Tujuan Penelitian

Rangkaian penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Menganalisis karakteristik profil stratifikasi kedalaman DO sebagai respon dari terjadinya stratifikasi suhu

2. Menduga faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hipoksia

3. Menjelaskan secara kualitatif respon terjadinya hipoksia terhadap aktivitas KJA

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi berkenaan dengan profil stratifikasi suhu dan DO terkait dengan adanya aktivitas budidaya ikan melalui sistem KJA. Hal ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengembangkan strategi pengelolaan perairan Waduk Cirata, Jawa Barat.

(19)

4

2 DISTRIBUSI VERTIKAL SUHU DAN OKSIGEN

TERLARUT

2.1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Wilayah Waduk Cirata memiliki luas sebesar 7 111 Ha yang mencakup tiga kabupaten (Bandung Barat, Purwakarta dan Cianjur). Aktivitas budidaya KJA di wilayah perairan Waduk Cirata telah melebihi daya dukung perairan. Konsentrasi DO adalah parameter yang penting di lingkungan perairan karena konsentrasi DO yang rendah akan memberikan tekanan fisiologi bahkan kematian bagi organisme air (Breitburg et al. 1997; Young et al. 2011). Tingkat konsentrasi DO dipengaruhi oleh adanya interaksi faktor fisik dan biologi, termasuk stratifikasi dan kebutuhan oksigen organisme bentik serta aktivitas fotosintesis (Brown and Power 2011). Kondisi hipoksia dari suatu perairan diartikan sebagai periode ketika rata-rata konsentrasi DO berada kurang dari 3 mg/l atau pengamatan selama periode 24 jam mencapai kurang dari 1 mg/l dengan total DO terukur 6 % kurang dari 3 mg/l (Nezlin et al. 2009).

Seiring dengan meningkatnya bahan organik akan menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion (Issac 1997; Evans 2007), hal ini terjadi karena oksigen dibutuhkan mikroorganisme (bakteri aerob) untuk merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Bila aktivitas bakteri pengurai ini berlangsung intensif, maka perombakan bahan organik yang terjadi pada waduk menyebabkan kondisi perairan akan menjadi anaerob (Purnamawati 2009). Pakan yang tidak termakan oleh ikan yang kemudian lepas keperairan akan mengalami perombakan menjadi bahan anorganik (Hamblin and Gale 2002).

Eutrofikasi menyebabkan meningkatnya bahan organik dan beban nutrien yang menyebabkan kualitas air memburuk dan menyebabkan deoksigenasi musiman pada lapisan air bagian bawah meningkat (Zhang et al. 2015). Kunci dari proses hidrodinamika yang berdampak pada fungsi suatu ekosistem termasuk yang disebabkan oleh angin, pemanasan dan pendinginan pada permukaan danau. Hal penting dari produktivitas perairan dan proses biogeokimia adalah arus turbulensi yang mendistribusi kembali nutrien, gas dan organisme (MacIntyre and Jellison 2001).

Terjadinya perubahan iklim global juga memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan perairan. Rendahnya suhu permukaan perairan pada musim penghujan dapat memberikan pengaruh terhadap proses terjadinya pembalikan massa air atau biasa yang dikenal dengan istilah umbalan (upwelling). Stratifikasi suhu pada kondisi normal berubah karena terjadinya musim dingin dan besarnya kekuatan angin yang bertiup pada sepanjang danau yang menghasilkan kemiringan konsentrasi oksigen dan upwelling dari lapisan hipolimnion.

(20)

5

Google Earth Pro 1 : 80.000

Legenda

Daerah Padat KJA Daerah Non KJA

Tujuan

Rangkaian penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Menganalisis karakteristik stratifikasi vertikal DO sebagai respon dari terjadinya stratifikasi suhu

2. Menduga faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hipoksia

3. Menjelaskan secara kualitatif respon terjadinya hipoksia terhadap aktivitas KJA

2.2 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada April-Mei 2015 yang merupakan peralihan dari musim hujan ke musim kemarau dengan kondisi mendung dan curah hujan yang relatif masih tinggi. Pengambilan sampel air dilakukan setiap minggu sebanyak 6 kali dari pukul 09.00-14.00 WIB di empat lokasi, yaitu dua daerah dengan aktivitas padat KJA (Cikalong Kulon dan Tegal Datar) dan dua daerah yang tidak terdapat aktivitas KJA (Maniis dan Purwakarta). Pengamatan kecerahan, temperatur, pH dan oksigen terlarut (DO) dilakukan secara insitu pada permukaan hingga kedalaman 40 m. Pengambilan sampel COD dilakukan pada dua kedalaman yaitu kedalaman 1 dan 20 m. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) FPIK, IPB.

Gambar 2 Peta lokasi pengamatan parameter T, DO, pH dan COD Bahan dan Alat

Pengambilan sampel air dilakukan dengan Van Dorn Water Sampler. Kecerahan perairan diukur secara insitu dengan menggunakan secchi disk dan prinsip pemantulan. Pengukuran suhu, DO dan pH dilakukan dengan DO meter dan pH meter yang telah dikalibrasi. Sampel air untuk analisis COD dimasukkan ke dalam botol gelas (250 ml) dengan fiksasi H2SO4 kemudian dianalisis di

(21)

6

Yijkl =  + i + j + ij +l(ij) + k + ik + jk + ijk + ijkl

Tabel 1 Alat dan metode yang digunakan

Parameter Unit Metode Keterangan

Suhu oC DO meter In situ

Kecerahan m Pemantulan/Secchi Disc In situ

pH - DO meter In situ

DO mg/l DO meter In situ

COD mg/l Reflux Laboratorium

Analisis Data Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan perubahan profil suhu dan oksigen terlarut terhadap kedalaman serta menjelaskan respon hipoksia terhadap adanya aktivitas budidaya KJA.

Analisis Statistik

Analisis statistik digunakan untuk melihat adanya pengaruh perbedaan stasiun, kedalaman dan waktu pengamatan dengan menggunakan rancangan pengamatan berulang (Repeated Measurement Factorial) dengan model rancangan sebagai berikut (Gomez and Gomez 1983):

Keterangan : Yijkl = Nilai pengamatan pada stasiun ke-i, kedalaman ke-j pada

waktu pengamatan ke-k ulangan ke-l

 = Rataan umum

I = Pengaruh aditif aktivitas budidaya ke - i

ij = Pengaruh interaksi dari stasiun ke-i dengan kedalaman

ke-j

l(ij) = Pengaruh interaksi stasiun ke-i, kedalaman ke-j, dan

ulangan ke-i

k = Pengaruh waktu pengamatan ke-k

ik = Pengaruh interaksi dari stasiun ke-i dengan waktu ke-k jk = Pengaruh interaksi kedalaman ke-j dengan waktu ke-k ijk = Pengaruh interaksi stasiun ke-i, kedalaman ke-j dan

waktu ke-k

ijkl = Pengaruh galat pada stasiun ke-i, kedalaman ke-j, waktu

ke-k i = 1, 2 j = 1, 2, 3,...17 k = 1, 2, 3, 4, 5, 6 l = 1, 2

(22)

7 Diagram alir untuk status uji pada masing-masing parameter adalah sebagai berikut:

Keterangan : P1= P value 1 faktor

P2 = P value 2 faktor

P3 = P value 3 faktor

 = 5 %

Gambar 3 Diagram alir untuk status uji

Sebaran karakteristik fisika-kimia antar stasiun

Sebaran karakteristik fisika dan kimia perairan antar stasiun pengamatan ditentukan dengan pendekatan analisis multivariabel yang didasarkan pada analisis klaster. Analisis dilakukan pada jarak Pearson dengan menggunakan MINITAB versi 16.0 dan diinterpretasikan dalam bentuk dendrogram.

Interaksi 3 Faktor

Tidak ada Interaksi 3 faktor P3 > 

Interaksi 2 Faktor

Ada interaksi 3 faktor P3 <     

Uji lanjut interaksi 3 faktor

Uji lanjut interaksi 2 faktor

Uji lanjut pengaruh faktor utam a Ada interaksi 2 Faktor

Ada pengaruh faktor utam a Tidak ada interaksi 2 faktor

Pengaruh faktor utam a

Tidak ada pengaruh faktor utam a

Tidak cukup bukti untuk m enyatakan adanya pengaruh faktor utam a

P2 >

P1 < P2 <

(23)

8 Suhu (oC) K e d a la m a n ( m )

a) daerah padat KJA b) daerah non KJA 2.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil distribusi suhu

Secara umum kedalaman perairan pada lokasi pengamatan berada pada kisaran 40-67 m. Kecerahan di perairan Waduk Cirata memiliki nilai berkisar antara 1-1.6 m. Kecerahan tertinggi terdapat di lokasi Tegal Datar dan Purwakarta sedangkan kecerahan terendah terdapat di lokasi Cikalong Kulon yang merupakan daerah paling padat dengan aktivitas KJA. Kecerahan di suatu perairan danau dapat dipengaruhi oleh tingginya kandungan nutrien, komunitas plankton dan alga (Lathrop 1998; Burns et al. 2005).

Kecerahan suatu perairan akan memberikan pengaruh terhadap kedalaman termoklin dan hipoksia di suatu perairan (Zhang et al. 2014). Rendahnya kecerahan suatu perairan yang disebabkan oleh eutrofikasi akan membuat stratifikasi kosentrasi DO semakin kuat dan menurunkan kedalaman hipoksia (Zhang et al. 2015). Hal ini menjelaskan bahwa rendahnya kecerahan di daerah padat KJA terjadi karena tingginya kandungan nutrien dan fitoplankton.

Gambar 4 Stratifikasi vertikal suhu di daerah padat KJA dan non KJA Satu hal yang sangat penting berkaitan dengan dinamika fisik di suatu perairan tergenang adalah parameter suhu (Song et al. 2013). Suhu permukaan di perairan Waduk Cirata selama pengamatan berkisar 30.2-31.5 oC dan suhu pada kolom air (40 m) berkisar 24-26.5 oC (Gambar 4). Kisaran suhu ini tidak jauh berbeda dengan penelitian pada 2012 yang berkisar antara 25.9-30.3 oC (Santoso

et al. 2012). Interaksi antara adanya aktivitas KJA dengan waktu pengamatan menunjukkan perbedaan suhu yang signifikan, yaitu di daerah KJA pada pengamatan minggu ke-5. Suhu di perairan dari awal minggu pengamatan hingga akhir pengamatan cenderung mengalami penurunan. Suhu terendah terdapat di minggu ke-5 di daerah yang padat KJA, hal ini karena pada minggu ini didukung dengan cuaca yang mendung dan hujan (Lampiran 3).

(24)

9

hipoksia daerah non KJA hipoksia daerah padat KJA

DO padat KJA DO non KJA a). 4/15 b). 4/22 c). 4/29 d). 5/7 e). 5/14 f). 5/21 K e d a la m a n ( m )

Keberadaan suhu di ekosistem perairan secara umum ditentukan oleh gabungan dari kondisi cuaca dan lingkungan disekitarnya. Penetrasi cahaya berpengaruh terhadap formasi gradien panas dan berakibat pada densitas air serta terbentuknya lapisan termoklin dimana semakin tinggi penetrasi cahaya akan menyebabkan paparan panas mencapai kolom air yang lebih dalam (Santoso et al.2012; Song et al. 2013; Zhang et al. 2015). Hal inilah yang juga menyebabkan profil vertikal suhu perairan yang semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman dengan nilai yang berbeda nyata. Kondisi ini terjadi hampir di semua perairan terutama perairan tergenang (Effler et al. 2004; Hamidi et al. 2015; Zhang et al. 2015).

Profil distribusi oksigen terlarut (DO)

Konsentrasi DO adalah parameter penting di lingkungan perairan karena DO yang rendah akan memberikan tekanan fisiologi bahkan kematian bagi organisme air (Breitburg et al. 1997; Young et al. 2011). Konsentrasi DO dipengaruhi oleh adanya interaksi faktor fisik dan biologi, termasuk stratifikasi dan kebutuhan oksigen organisme bentik serta aktivitas fotosintesis (Brown and Power 2011).

Gambar 5 Stratifikasi vertikal DO di daerah padat KJA dan non KJA Profil vertikal konsentrasi DO di daerah KJA lebih rendah dari daerah non KJA (Gambar 5). Di daerah KJA, konsentrasi DO permukaan berkisar 5.6-6.3 mg/l dan DO di kedalaman 40 m berkisar 0-0.3 mg/l. Di daerah non KJA, konsentrasi DO permukaan berkisar 6.3-7.1 mg/l dan DO di kedalaman 40 m berkisar 0-0.4 mg/l. Rendahnya konsentrasi DO di daerah KJA karena tingginya beban masukan bahan organik yang berasal dari sisa pakan dan sisa metabolisme ikan (Hamblin and Gale 2002; Sugiura et al. 2006; Young et al. 2011; Wang et al.

(25)

10

konsentrasi DO di suatu perairan dapat disebabkan oleh tingginya nutrien dan aktivitas dekomposisi.

Interaksi kedalaman dan waktu pengamatan menunjukkan terjadinya gradasi konsentrasi DO yang berbeda nyata. Secara vertikal konsentrasi DO di kolom air pada pengamatan minggu ke-1 dan ke-2 tidak berbeda nyata yang dimulai dari kedalaman 15-40 m. Pada pengamatan minggu ke-3, konsentrasi DO pada kolom air tidak berbeda nyata dari kedalaman 10-40 m. Pada pengamatan minggu ke-4, konsentrasi DO tidak berbeda nyata dari kedalaman 9-40 m. Pada pengamatan minggu ke-5, konsentrasi DO tidak berbeda nyata dari kedalaman 8-40 m. Pada pengamatan minggu ke-6, diperoleh konsentrasi DO yang tidak berbeda nyata dari kedalaman 7-40 m. Konsentrasi DO yang tidak berbeda nyata dimulai dari kedalaman 15, 10, 9, 8 dan 7 m selama waktu pengamatan menjelaskan bahwa dari kedalaman tersebut hingga kedalaman 40 m tidak terjadi penurunan konsentrasi DO yang tajam.

Lapisan hipoksia di daerah KJA pada pengamatan ke-1 hingga ke-3 terdapat di kedalaman 7 m, kemudian pada pengamatan ke-4, 5 dan 6 masing-masing terdapat di kedalaman 6, 5 dan 4 m. Lapisan hipoksia di daerah non KJA pada pengamatan ke-1 hingga ke-3 terdapat di kedalaman 8 m dan pengamatan ke-4, 5 dan 6 masing-masing terdapat di kedalaman 7 m dan 6 m. Semakin bertambahnya minggu pengamatan maka kedalaman hipoksia perairan terlihat semakin dangkal (Zhang et al. 2015). Kondisi ini juga terjadi di Danau Onondaga yang menunjukkan terjadinya perubahan profil vertikal DO yang diikuti dengan perubahan kedalaman hipoksia yang semakin dangkal selama waktu pengamatan (Effler et al. 2004). Perubahan kedalaman hipoksia ini terjadi karena adanya peningkatan konsumsi DO oleh proses dekomposisi bahan organik yang terakumulasi selama waktu pengamatan. Kondisi cuaca hujan secara terus menerus juga turut memberikan dampak terhadap penurunan aktivitas fotosintesis sehingga suplai oksigen rendah. Hal ini dijelaskan oleh Goldman dan Horne (1983) serta Middleburg dan Levin (2009) bahwa konsentrasi DO di badan air diatur oleh keseimbangan proses suplai dan deplesi oksigen oleh aktivitas biologis.

Data curah hujan yang diperoleh dari BMKG stasiun Waduk Cirata menunjukkan intensitas hujan yang masih terjadi selama waktu pengamatan (Lampiran 2). Beberapa hari dalam minggu pengamatan terutama minggu ke-5 dan 6 tidak diperoleh informasi curah hujan di BMKG stasiun Waduk Cirata tetapi berdasarkan informasi penduduk setempat cuaca di lokasi pengamatan selama minggu waktu pengamatan tersebut relatif masih sering mendung dan hujan. Pengamatan minggu ke-5 (14 Mei) tepat saat dilakukan sampling kondisi cuaca di lokasi pengamatan mendung dan hujan ringan (Lampiran 3). Pada minggu pengamatan ini juga diperoleh suhu dan DO perairan yang rendah (Gambar 1 dan 2).

Scavia et al. (2014) menjelaskan bahwa sedimentasi alga dan nutrien menyebabkan terjadinya deplesi oksigen di kolom perairan karena meningkatnya respirasi bakteri dekomposer. Berdasarkan hal tersebut, ekosistem dengan eutrofikasi tinggi sering menunjukkan terjadinya peningkatan frekuensi dan durasi hipoksia (Diaz and Rosenberg 2008). Bahan organik diasimilasikan oleh organisme heterotrofik atau dimineralisasikan dengan konsekuensi meningkatkan

(26)

11 laju konsumsi oksigen (Rucinski et al. 2014). Mineralisasi bahan organik terutama dalam kondisi anaerobik akan menghasilkan berbagai bentuk senyawa seperti NH3, H2S dan CH4. Lebih dari itu, kondisi anoksik yang diikuti atau tidak adanya

senyawa sulfida dapat memberikan konsekuensi yang berbeda karena sifat racun dan mematikan bagi organisme (Bagarinao 1992).

Budidaya ikan di Waduk Cirata pada umumnya dilakukan di kedalaman 4-10 m dengan dominansi jenis ikan mas (Cyprinus carpio), nila (Oreochromis niloticus) dan bawal (Colossoma sp.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman hipoksia terjadi mulai dari kedalaman 4-7 m dari permukaan. Duy et al. (2008) menjelaskan bahwa pertumbuhan ikan mulai mengalami penurunan seiring rendahnya konsentrasi DO perairan. Konsumsi pakan ikan diatur oleh kondisi fisiologis dan faktor lingkungan atau interaksi antara keduanya. Terbatasnya konsentrasi oksigen di dalam air dimanfaatkan ikan melalui difusi permukaan insang. Dengan demikian, semua proses di dalam tubuh ikan yang membutuhkan energi bergantung pada kapasitas maksimum penyerapan oksigen. Hal ini juga dijelaskan oleh Breitburg et al. (1997) dan Young et al. (2011) bahwa konsentrasi DO merupakan parameter penting di lingkungan perairan karena rendahnya konsentrasi DO akan memberikan tekanan fisiologi dan kematian organisme air.

Pengaruh kecerahan terhadap kedalaman hipoksia menunjukkan bahwa adanya korelasi positif antara keduanya. Semakin rendah kecerahan menyebabkan penurunan kedalaman hipoksia yang berbeda nyata (p<0.05) dengan persamaan y = 4.20x-0.14 (R2 = 0.74) untuk daerah padat KJA dan y = 14.416x-14.16 (R2 =0.88) untuk daerah non KJA. Perairan Danau Qiandaohu juga menunjukkan kondisi yang sama yang menunjukkan bahwa adanya korelasi positif antara kecerahan perairan dan kedalaman hipoksia (Zhang et al. 2015).

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) di perairan alami terbentuk karena adanya interaksi ion H+ yang meningkat dari disosiasi H2CO3 dan ion OH- yang dihasilkan selama

proses hidrolisis HCO3-.

Tabel 2 Derajat keasaman (pH) daerah padat KJA dan non KJA Daerah Padat KJA Daerah Non KJA

Permukaan Kolom Air Permukaan Kolom Air 6.64-6.92 5.52-6.41 6.71-7.07 5.62-6.32

Perairan di daerah padat KJA memiliki pH air yang berbeda nyata dengan perairan di daerah non KJA (Tabel 2). Permukaan perairan dan kedalaman 40 m di daerah KJA memiliki kisaran nilai pH lebih rendah dari daerah non KJA. Interaksi antara adanya aktivitas KJA dan waktu pengamatan menunjukkan pH yang berbeda nyata, yaitu diperairan KJA pada minggu pengamatan ke-5 (14 Mei) dengan perairan non KJA pada awal pengamatan (15 April). Hal ini menjelaskan bahwa dengan bertambahnya waktu menyebabkan penurunan pH di perairan KJA. Goldman dan Horne (1983) menjelaskan bahwa nilai pH di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi CO2. Di perairan daerah padat KJA memiliki

(27)

12 COD (mg/l) K e d al am an ( m )

beban masukan bahan organik lebih tinggi dari daerah non KJA, sehingga aktivitas dekomposisi di daerah KJA lebih tinggi dan secara tidak langsung akan menyebabkan nilai pH semakin rendah. Secara vertikal, nilai pH juga berbeda nyata dari permukaan hingga kolom perairan. Hal ini menjelaskan bahwa pada kolom perairan bagian dalam terjadi dekomposisi yang tinggi dan selanjutnya akan menurunkan nilai pH.

Konsentrasi COD (Chemical Oxygen Demand)

Konsentrasi COD adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk menguraikan bahan organik yang terkandung di dalam air sehingga COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak baik untuk kepentingan perikanan dan pertanian.

Gambar 6 Konsentrasi COD di daerah padat KJA dan non KJA

Konsentrasi COD di daerah padat KJA memiliki konsentrasi lebih besar dan berbeda nyata dari daerah non KJA (Gambar 6). Permukaan perairan memiliki COD lebih kecil dan berbeda nyata dari COD di kolom air (20 m). COD di daerah KJA pada permukaan perairan dan kolom air masing-masing berkisar 36.3-50.4 mg/l; 43.6-61.5 mg/l dan daerah non KJA 36.3-43.1 mg/l; 43.8-48.5 mg/l. Tingginya COD di daerah KJA karena meningkatnya masukan bahan organik dari sisa pakan dan metabolisme ikan sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan proses dekomposisi di kolom air. Tingginya konsumsi oksigen untuk proses dekomposisi mengakibatkan menipisnya konsentrasi oksigen pada kolom air, selanjutnya terbentuk lapisan hipoksia (Purnamawati 2009).

Secara umum profil vertikal dan stratifikasi DO terkait erat dengan kedalaman dan stratifikasi suhu (Gambar 4 dan 5). Meskipun demikian, profil DO tidak sepenuhnya sama dengan profil suhu. Hal ini menunjukkan bahwa adanya faktor lain yang mengatur konsentrasi oksigen di kolom perairan. Jika dibandingkan dengan suhu perairan maka konsentrasi DO menurun lebih tajam di lapisan metalimnion dan terus semakin rendah karena semakin tingginya konsumsi oksigen akibat proses dekomposisi. COD tertinggi terdapat di kolom air

(28)

13 Purwakarta Maniis Tegal Datar Cikalong Kulon 13.56 42.37 71.19 100.00 Stasiun Pengamatan S im ila ri ta s (% )

pada kedalaman 20 m. Hal ini juga terlihat dari konsentrasi DO pada kedalaman ini yang telah mencapai hipoksia bahkan anoksia pada minggu pengamatan terakhir (21 Mei) di daerah padat KJA. Kondisi yang sama juga terjadi di Danau Onondaga yang diamati selama musim semi sampai awal musim panas (Effler et al. 2004). Perubahan profil konsentrasi DO pada umumnya diatur oleh pertukaran gas yang terjadi di permukaan air, mixing di kolom air, fotosintesis, respirasi organisme air, oksidasi bahan organik oleh bakteri, oksidasi kimia dan konsumsi oksigen oleh bahan anorganik lainnya (Zhang et al. 2015).

Analisis karakteristik fisika – kimia antar stasiun

Tingkat kemiripan antara stasiun pengamatan yang didasarkan pada parameter fisika dan kimia perairan (suhu, DO, pH dan COD) digambarkan pada grafik dendrogram (Gambar 7).

Gambar 7 Dendrogram parameter T, DO, pH dan COD antar stasiun pengamatan Stasiun pengamatan Cikalong Kulon memiliki tingkat kemiripan karakter fisika dan kimia perairan dengan stasiun pengamatan Tegal Datar. Kedua stasiun ini membentuk satu kelompok dengan tingkat kemiripan 13.56 %. Hal ini karena stasiun pengamatan Cikalong Kulon dan Tegal Datar merupakan dua stasiun dengan aktivitas KJA. Stasiun pengamatan Maniis memiliki tingkat kemiripan yang sama dengan stasiun pengamatan Purwakarta. Kedua stasiun pengamatan ini membentuk satu kelompok dengan tingkat kemiripan 31.47 %. Hal ini karena stasiun pengamatan Maniis dan Purwakarta merupakan dua daerah yang tidak terdapat aktivitas KJA. Terbentuknya dua kelompok stasiun pengamatan menjelaskan bahwa daerah pengamatan dengan aktivitas KJA dan yang tidak terdapat aktivitas KJA membentuk kelompok yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya aktivitas KJA diperairan Waduk Cirata telah memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisika dan kimia perairan.

(29)

14

2.4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Profil kedalaman dan stratifikasi vertikal DO secara umum terkait tetapi tidak sama persis dengan profil kedalaman dan stratifikasi vertikal suhu. Padatnya aktivitas KJA memberikan pengaruh secara signifikan terhadap karakteristik fisika dan kimia perairan. Profil kedalaman dan stratifikasi DO mengalami perubahan kedalaman hipoksia yang semakin dangkal selama waktu pengamatan. Kondisi pergerakan hipoksia ini jika terus terjadi dan didukung dengan cuaca mendung dan hujan secara terus menerus maka akan memungkinkan terjadinya peristiwa upwelling dan kematian ikan secara massal.

Saran

Pengamatan pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pada rentang waktu yang dimungkinkan terjadi kematian ikan secara massal. Penentuan rentang waktu didasarkan pada informasi kejadian pada periode beberapa tahun sebelumnya terkait dengan cuaca mendung dan hujan yang berlangsung lama. Hal ini dilakukan agar dapat digunakan untuk mengembangkan metode peringatan awal akan terjadinya kematian ikan secara massal.

(30)

15

3 SEBARAN N, P DAN KLOROFIL-a SERTA TINGKAT

EUTROFIKASI

3.1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perairan Indonesia yang luas memiliki potensi sumberdaya yang besar tetapi tidak merata pada seluruh wilayahnya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tingkat kesuburan perairan yang dapat diidentifikasi berdasarkan tingkat produktifitas primernya. Masukan nutrien antropogenik ke permukaan bumi telah meningkat tajam selama beberapa abad yang lalu. Peningkatan nutrien (eutrofikasi) akan menyebabkan tingginya perubahan struktur dan fungsi ekosistem yang tidak diinginkan (Smith et al. 1999). Waduk Cirata merupakan tipe kaskade yang dibangun dengan membendung Sungai Citarum dengan tujuan utama sebagai pembangkit listrik unit Jawa Bali berkapasitas 1 008 MW. Kegiatan perikanan karamba jaring apung (KJA) di perairan Waduk Cirata yang memiliki luas 2 976 Ha meningkat di luar kendali dari 12 000 (1988) hingga lebih dari 56 000 (2012) sehingga menutupi sebagian besar permukaan perairan dan melebihi daya dukung perairan.

Pemenuhan kebutuhan ikan mendorong berkembangnya kegiatan perikanan melalui sistem KJA (Gondwe et al. 2011; Abreu et al. 2011) yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan perekonomian masyarakat. Budidaya ikan yang dikembangkan di perairan danau atau waduk meningkat sangat tajam di negara tropis dan subtropis (Bueno et al. 2015). Tingginya aktivitas kegiatan KJA akan memberikan dampak terhadap peningkatan unsur hara (Avezedo et al. 2011) yang berasal dari sisa hasil metabolisme ikan atau pakan tidak termakan yang lepas ke perairan (Wang et al. 2012; Santoso 2012). Pakan yang tidak termakan oleh ikan kemudian lepas keperairan akan mengalami perombakan menjadi bahan anorganik (Hamblin and Gale 2002). Hasil perombakan bahan organik bukan hanya saja berupa nutrien yang menyebabkan eutrofikasi perairan tetapi akan diikuti deplesi oksigen dan terbentuknya senyawa toksik berupa H2S dan NH3.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh tingginya unsur hara dari aktivitas KJA adalah terjadinya eutrofikasi. Suatu perairan danau secara umum memiliki tingkat produktifitas yang bergantung pada ketersediaan nutrien dan cahaya (MacIntyre and Jellison 2001). Terjadinya perubahan iklim global juga memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan perairan. Rendahnya suhu permukaan perairan pada musim penghujan dapat memberikan pengaruh terhadap proses terjadinya pembalikan massa air (upwelling).

Tujuan

Rangkaian penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Memahami distribusi nutrien N dan P serta klorofil-a terkait dengan aktivitas budidaya ikan (KJA)

(31)

16

Google Earth Pro 1 : 80.000 Legenda Daerah Padat KJA Daerah Non KJA 3.2 METODE PENLITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengamatan dilakukan setiap dua minggu sekali pada April-Mei 2015 di empat lokasi yang didasarkan ada dan tidak adanya aktivitas KJA. Empat lokasi tersebut terdiri dari dua daerah dengan aktivitas padat KJA (Cikalong Kulon dan Tegal Datar) dan dua daerah yang tidak terdapat aktivitas KJA (Maniis dan Purwakarta) (Gambar 8).

Pengambilan sampel klorofil-a dilakukan pada tiga kedalaman (0, 1 dan 2 m). Pengambilan sampel N-NO3, N-NO2, N-NH3 dan P-PO4 dilakukan pada dua

kedalaman (1 dan 20 m). Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan FPIK, IPB.

Gambar 8 Peta lokasi pengamatan parameter N, P dan klorofil-a Bahan dan Alat

Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan Van Dorn Water Sampler. Sampel air untuk klorofil-a ditampung dalam botol polyethylene (1000 ml) dengan fiksasi MgCO3. Sampel air untuk N-NO3, N-NO2, N-NH3 dan P-PO4

dimasukkan ke dalam botol gelas (250 ml) dengan fiksasi senyawa H2SO4.

Penentuan konsentrasi nitrat, nitrit, amonium dan ortofosfat didasarkan pada APHA (2012) (Tabel 3).

Tabel 3 Alat dan metode yang digunakan

Parameter Unit Metode Keterangan

Klorofil-a µg/l Spektrofotometer Laboratorium N-NH3 mg/l Spektrofotometer Laboratorium

N-NO2 mg/l Spektrofotometer Laboratorium

N-NO3 mg/l Spektrofotometer Laboratorium

(32)

17 Analisis Data

Analisis statistik

Analisis statistik digunakan untuk melihat adanya pengaruh perbedaan stasiun, kedalaman dan waktu pengamatan dengan menggunakan rancangan pengamatan berulang (Repeated Measurement Factorial) (Gomez and Gomez 1983) (Gambar 3).

Sebaran karakteristik fisika-kimia antar stasiun

Sebaran karakteristik kimia perairan antar stasiun pengamatan ditentukan dengan pendekatan analisis multivariabel yang didasarkan pada analisis klaster. Analisis dilakukan pada jarak Pearson dengan menggunakan MINITAB versi 16.0 dan diinterpretasikan dalam bentuk dendrogram.

Status kesuburan perairan

Analisis status kesuburan perairan Waduk Cirata dilakukan dengan menggunakan indeks status kesuburan Carlson (Carlson 1977). Penentuan status kesuburan perairan tersebut didasarkan pada konsentrasi klorofil-a, kecerahan dan total fosfat dengan persamaan sebagai berikut:

TSISD = = 10x[6-lnSD ln2 ] TSICHL−a = 10x[6-2,04-0,86 ln(CHL-a) ln2 ] TSIPtot = 10x[6-ln(48/Ptot) ln2 ]

TSI = TSISD+TSICHL-a+TSIPtot

3

Penentuan status kesuburan perairan dalam nilai TSI kemudian dibandingkan dengan nilai kriteria status kesuburan pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi status kesuburan berdasarkan nilai TSI Nilai TSI Status kesuburan Ciri-ciri

<30 Oligotofik Air jernih, oksigen mencapai hipolimnion sepanjang tahun

30-40 Oligotrofik Beberapa danau dangkal menjadi anoksik pada musim panas

40-50 Mesotrofik Air cukup jernih, ada kemungkinan anoksik selama musim panas

50-60 Eutrofik Kecerahan rendah, perikanan perairan hangat 60-70 Eutrofik Dominansi alga hijau biru, makrofita berlebih 70-80 Eutrofik Blooming alga sepanjang musim panas

(33)

18

Status kesuburan perairan di Waduk Cirata diperkuat dengan menggunakan kriteria status kesuburan menurut Jones and Lee (1982) (Tabel 5).

Tabel 5 Klasifikasi status trofik di perairan danau dan waduk Status kesuburan Klorofil-a (μg/l) Kecerahan (m)

Oligo <2.0 >4.6

Oligo-meso 2.1-2.9 4.5-3.8

Meso 3.0-6.9 3.7-2.4

Meso-eutrof 7.0-9.9 2.3-1.8

Eutrof ≥10 ≤1.7

3.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi nitrat (N-NO3), nitrit (N-NO2) dan Amonium (N-NH4OH) Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonium di daerah padat KJA dan daerah non KJA tidak memiliki nilai yang berbeda nyata, tetapi secara umum daerah padat KJA memiliki konsentrasi lebih tinggi dari daerah non KJA (Tabel 6).

Tabel 6 Konsentrasi nitrat (N-NO3), nitrit (N-NO2) dan ammonium (N-NH4OH)

Kedalaman (m)

KJA Non KJA

Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonium (mg/l) Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonium (mg/l) 1 0.1520 0.0013 0.0510 0.1390 0.0010 0.0578 20 0.5780 0.0022 0.3767 0.9590 0.0018 0.2837

Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonium di permukaan perairan memiliki nilai lebih rendah dan berbeda nyata dengan kolom perairan (20 m). Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonium dipermukaan perairan daerah KJA masing-masing berkisar 0.0940-0.2240; 0.0010-0.0020; 0.0280-0.0900 mg/l dan di kolom perairan 0.1210-1.3970; 0.0010-0.0030; 0.0410-0.5310 mg/l. Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonium di permukaan perairan daerah non KJA masing-masing berkisar 0.0970-0.2180; 0.0010; 0.0420-0.1080 mg/l dan di kolom perairan 0.3590-1.6380; 0.0010-0.0030; 0.1690-0.3780 mg/l. Kisaran konsentrasi nitrat dan nitrit yang hampir sama juga diperoleh pada penelitian tahun 2014 dengan masing-masing berkisar 0.17-0.34 dan 0.00-0.07 mg/l (Riyani 2014).

Konsentrasi nitrit tertinggi terdapat di kedalaman 20 m (0.003 mg/l). Pada kedalaman tersebut konsentrasi DO telah mencapai hipoksia. Hal ini dijelaskan oleh Goldman dan Horne (1983), bahwa senyawa nitrat (NO3) di perairan dengan

oksigen rendah akan tereduksi menjadi nitrit (NO2). Konsentrasi nitrat dan

amonium tertinggi juga terdapat di kolom air (20 m), hal ini karena terjadi akumulasi dari senyawa-senyawa tersebut.

(34)

19 0 5 10 15 20 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 K eda la man (m) ortofosfat (mg/l) KJA non KJA Konsentrasi ortofosfat (PO4-P)

Secara alami, senyawa fosfat yang terdapat pada perairan bersumber dari hasil pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi sisa-sisa organisme di dalam air. Selain itu, senyawa fosfat juga dapat bersumber dari faktor antropogenik yang antara lain berasal dari limbah rumah tangga, pertanian dan perikanan.

Gambar 9 Konsentrasi ortofosfat di daerah KJA dan non KJA

Total fosfat di Waduk Cirata pada tahun 2013 adalah 99 mg/m3 (Hidonis 2014). Konsentrasi ortofosfat di daerah KJA lebih besar dan berbeda nyata dari daerah non KJA (Gambar 9). Tingginya konsentrasi ortofosfat di daerah KJA karena tingginya beban masukan nutrien yang berasal dari sisa pakan atau sisa metabolisme ikan dalam KJA (Wang et al. 2012; Santoso et al. 2012). Konsentrasi ortofosfat di permukaan perairan lebih rendah dan berbeda nyata dengan kolom perairan. Permukaan perairan daerah KJA memiliki konsentrasi ortofosfat dengan kisaran 0.036-0.075 mg/l dan di kolom air (20 m) 0.063-0.162 mg/l. Permukaan perairan daerah non KJA memiliki konsentrasi ortofosfat yang berkisar 0.021-0.028 mg/l dan kolom air (20 m) 0.057-0.078 mg/l. Di kolom perairan terjadi proses pembentukan ortofosfat yang semakin tinggi karena meningkatnya dekomposisi bahan organik (Corell 1998).

Konsentrasi klorofil-a

Klorofil adalah zat pembawa warna hijau yang berperan menyerap dan menggunakan energi sinar matahari dalam mensintesis karbohidrat dan oksigen. Oleh karena itu, kandungan klorofil pada tumbuhan foto-autotrof menjalankan peranan yang sangat penting dalam menentukan laju fotosintesis.

(35)

20

Gambar 10 Konsentrasi klorofil-a pada daerah KJA dan non KJA

Interaksi adanya aktivitas KJA dan waktu pengamatan menunjukkan konsentrasi klorofil-a yang berbeda nyata (Gambar 10). Di daerah KJA memiliki konsentrasi klorofil-a lebih besar dan berbeda nyata dari daerah non KJA. Secara vertikal konsentrasi klorofil-a memiliki nilai yang berbeda nyata. Daerah KJA memiliki konsentrasi klorofil-a pada permukaan perairan, 1 dan 2 m dengan masing-masing berkisar 22.5-43.2; 46.1-60.2; 25.4-46.5 µg/1 dan di daerah non KJA masing-masing berkisar 12.3-23.8; 13.9-49.4; 13.6-26.1 µg/1. Kisaran nilai klorofil yang diperoleh menjelaskan bahwa adanya aktivitas KJA menyebabkan peningkatan nutrien. Peningkatan nutrien inilah yang akan meningkatkan biomassa klorofil-a dan aktivitas fotosintesis.

Pada kolom air 1 m, konsentrasi klorofil-a lebih besar dan berbeda nyata dari kedalaman permukaan dan 2 m. Konsentrasi klorofil-a pada kedalaman permukaan relatif sama dan tidak berbeda nyata dari kedalaman 2 m. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas maksimal fotosintesis fitoplankton terjadi di kolom air (Dandonneau and Lemasson 1987; D’souza et al. 2016). Biomassa fitoplankton akan memberikan pengaruh terhadap profil kedalaman konsentrasi DO. Hal ini dijelaskan oleh Brown dan Power (2011) bahwa tingkat konsentrasi DO dipengaruhi oleh adanya interaksi faktor fisik dan biologi, termasuk stratifikasi dan kebutuhan oksigen organisme bentik serta aktivitas fotosintesis.

Analisis karakteristik fisika – kimia antar stasiun

Tingkat kemiripan antara stasiun pengamatan yang didasarkan pada parameter nitrat, nitrit, amonium, ortofosfat dan klorofil-a perairan digambarkan pada grafik dendrogram (Gambar 11).

(36)

21 Tegal Datar Purwakarta Maniis Cikalong Kulon 12.67 41.78 70.89 100.00 Stasiun Pengamatan Si m ila ri ta s (% )

Gambar 11 Dendrogram parameter N, P dan klorofil-a antar stasiun pengamatan Stasiun pengamatan Maniis memiliki tingkat kemiripan karakter N, P dan klorofil-a dengan Purwakarta (Gambar 11). Hal ini dapat dijelaskan karena dua stasiun tersebut merupakan daerah yang tidak terdapat aktivitas KJA sehingga membentuk satu kelompok dengan tingkat kemiripan 40,15%. Stasiun pengamatan Tegal Datar memiliki tingkat kemiripan terhadap Maniis dan Purwakarta sebesar 34,63% yang kemudian diikuti oleh stasiun pengamatan Cikalong Kulon dengan tingkat kemiripan 12,67%.

Stasiun pengamatan Tegal Datar dan Cikalong Kulon merupakan dua daerah dengan aktivitas KJA dimana jumlah KJA di daerah perairan Cikalong Kulon jauh lebih banyak dan padat daripada Tegal Datar. Hal inilah yang menyebabkan stasiun pengamatan daerah Cikalong Kulon memiliki karakteristik N, P dan klorofil-a paling berbeda diantara 3 stasiun pengamatan lainnya. Grafik dendrogram yang diperoleh menjelaskan bahwa tingginya aktivitas KJA menyebabkan terjadinya perbedaaan karakteristik N, P dan klorofil-a di perairan Waduk Cirata.

Status kesuburan perairan

Status kesuburan perairan Waduk Cirata berdasarkan indeks status trofik oleh Carlson (1977) untuk klorofil-a, kecerahan dan total fosfat adalah eutrofik yang menunjukkan terjadinya masalah pertumbuhan alga dan makrofita berlebih. Hal ini terlihat dengan tingginya pertumbuhan tanaman eceng gondok yang cukup tinggi dan menutupi sebagian besar permukaan perairan. Indeks status trofik ini didasarkan pada nilai klorofil-a 59.82 µg/l; kecerahan 54.80 cm dan total fosfat 73.64 mg/l dengan nilai TSI rata-rata 62.75. Status eutrofik Waduk Cirata juga dijelaskan berdasarkan klasifikasi status trofik oleh Jones and Lee (1982) dengan nilai klorofil-a 23.31 µg/l dan nilai kecerahan 140 cm.

(37)

22

3.4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perairan Waduk Cirata adalah perairan yang memiliki tingkat kesuburan eutrofik yang diikuti dengan masalah pertumbuhan makrofita berlebih. Aktivitas KJA telah memberikan dampak terhadap karakter nutrien N, P dan klorofil-a di perairan.

Saran

Dengan memahami karakter profil nutrien N, P dan juga klorofil-a perairan Waduk Cirata, diharapkan adanya pengurangan jumlah KJA yang beroperasi sehingga beban masukan nutrien akan menurun. Penelitian lanjutan dengan jumlah titik pengambilan yang lebih banyak baik secara spasial (vertikal dan horizontal) dan temporal sangat dibutuhkan agar status kesuburan yang terkait dengan ketersediaan oksigen dapat terus dipantau dengan lebih baik.

(38)

23

PEMBAHASAN UMUM

Aktivitas budidaya ikan di Waduk Cirata yang telah melebihi daya dukung perairan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air, diantaranya tingginya kandungan nutrien (N dan P), eutrofikasi, pertumbuhan makrofita yang tinggi (eceng gondok), deplesi oksigen dan bahkan kematian ikan. Sisa pakan yang tidak termakan dan sisa metabolisme ikan menambah beban masukan nutrien di kolom perairan (Wang et al. 2012; Santoso et al. 2012). Bahan organik yang terakumulasi tersebut akan terurai menjadi bahan anorganik (Hamblin and Gale 2002) dengan mengkonsumsi sejumlah oksigen terlarut (aerob) (Purnamawai 2009). N-organik akan terurai menjadi N-anorganik berupa nitrat (NO3), nitrit

(NO2) dan amonium (NH4OH) sedangkan P-organik akan terurai menjadi

ortofosfat (PO4). Hal inilah yang menyebabkan rendahnya konsentrasi oksigen di

kolom perairan (Goldman and Horne 1983; Issac 1997; Evans 2007).

Pemberian pakan dengan kandungan protein yang tinggi akan meningkatkan konsentrasi unsur N dan P diperairan yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan. Pakan ikan terdiri dari lebih 60% protein (Goddard 1996). Tekhnik pemberian pakan secara berlebihan juga akan menambah tingginya jumlah pakan yang tidak termakan yang lepas ke perairan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode pemberian pakan yang baru yang dapat menghambat lepasnya pakan ke perairan. Metode pemberian pakan dapat dilakukan dengan menggunakan wadah atau tempat tertentu (feeding tray) sehingga akan mengurangi limbah pakan yang terbuang ke perairan.

Akumulasi bahan organik di kolom perairan menyebabkan proses dekomposisi terus berlanjut dengan kondisi oksigen terlarut yang rendah (anaerob) (Scavia et al. 2014) dan akan menghasilkan senyawa toksin berupa amonia (NH3), asam sulfida (H2S) dan methan (CH4) (Bagarinao 1992;

Purnamawati 2009). Tingginya aktivitas dekomposisi bahan organik dan aktivitas metabolisme ikan di kolom perairan inilah yang menyebabkan ketersediaan oksigen terlarut menjadi semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman yang kemudian akan membentuk pola hipoksia (Zhang et al. 2015) (Gambar 5). Jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk menguraikan total bahan organik di kolom perairan tergambarkan dengan tingginya konsentrasi COD. Secara umum konsentrasi COD di daerah padat KJA lebih tinggi dari daerah non KJA (Gambar 6) yang menjelaskan bahwa akumulasi bahan organik di derah padat KJA lebih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan profil stratifikasi vertikal oksigen terlarut secara umum terkait tetapi tidak sama persis dengan profil stratifikasi vertikal suhu karena ada faktor lain yang mempengaruhi oksigen terlarut. Tingginya bahan organik yang diikuti dengan meningkatnya dekomposisi dan konsentrasi CO2 di

daerah padat KJA menyebabkan pH lebih rendah dari daerah non KJA (Tabel 2). Suplai oksigen terlarut yang rendah karena berkurangnya aktivitas fotosintesis yang disebabkan rendahnya penetrasi cahaya matahari (curah hujan atau kondisi mendung yang tinggi) turut mempengaruhi berubahnya kedalaman hipoksia yang semakin dangkal. Kondisi inilah yang kemudian jika curah hujan atau cuaca mendung terus berlanjut akan menyebabkan terjadinya kematian ikan secara massal dan memungkinkan terjadinya peristiwa pembalikan massa air atau umbalan (upwelling).

(39)

24

SIMPULAN dan SARAN

Simpulan

Kegiatan KJA di Waduk Cirata memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisika-kimia perairan dan menyebabkan eutrofikasi dengan masalah pertumbuhan makrofita yang berlebih. Tingginya bahan organik karena kegiatan KJA yang didukung dengan curah hujan dan cuaca mendung yang tinggi menyebabkan terbentuknya pola hipoksia yang semakin dangkal.

Saran

Terkait dengan kedalaman DO minimum bagi pertumbuhan ikan maka aktivitas budidaya ikan sebaiknya dilakukan dengan sistem jaring ganda dengan kedalaman 3 m pada jaring pertama dan 7 m pada jaring kedua. Mekanisme pemberian pakan pada aktivitas budidaya dapat dilakukan dengan menggunakan sistem feeding tray, yaitu dengan menebarkan pakan ikan di tempat khusus sehingga menahan dan mengurangi sisa pakan yang terbuang ke lingkungan.

Kegiatan KJA di Waduk Cirata harus dikurangi sesuai dengan daya dukung perairan. Hal ini dibutuhkan ketegasan dari pemerintah setempat dan penawaran alternatif konversi kegiatan KJA bagi petani budidaya. Pengerukan sedimen dapat dilakukan sebagai usaha perbaikan kualitas air untuk jangka pendek dan untuk tujuan jangka panjang diperlukan usaha yang terkait dengan ketegasan pemerintah. Ketegasan pemerintah terkait operasi KJA diantaranya adalah diberlakukannya standar usia operasi KJA dan tidak diikuti dengan perpanjangan ijin operasi, adanya ijin khusus operasi KJA dan adanya kontrol dan patroli secara periodik dari petugas setempat.

(40)

25

DAFTAR PUSTAKA

Abreu MH, Pureira R, Yarish C, Buschmann AH, Pinto IS. 2011. IMTA with

Gracilaria vermiculophylla: Productivity and nutrient removal performance of the seaweed in land-based pilot scale system. Aquaculture. 312:77-87 APHA. 2012. Standard methods for the examination of water and wastewater.

Baltimore, Maryland. Port City Press.

Arend KK, Beletsky D, Depinto JV, Ludsin SA, Roberts JJ, Rucinski DK, Scavia D, Schwab DJ, Hook TO. 2011. Seasonal and interannual effects of hypoxia on fish habitat quality in central Lake Erie. Freshwater Biol. 56:366-383 Avezedo PA, Podemski CL, Hesslein RH, Kasian SEM, Findlay DL, Bureau DP.

2011. Estimation of waste outputs by a rainbow trout cage farm using a nutritional approach and monitoring of lake water quality. Aquaculture. 311:175-186

Bagariano T. 1992. Sulfide as an environmental factor and toxicant: tolerance and adaptations in aquatic organisms. Aquat Toxicol. 24:21-62

Breitburg DL, Loher T, Pacey CA, Gerstein A. 1997. Varying effects of low dissolved oxygen on trophic interactions in an estuarine food web. Ecol Monogr. 67(4):489–507

Brown CA, Power JH. 2011. Historic and recent patterns of dissolved oxygen in the Yaquina Estuary (Oregon, USA: Importance of antrophogenic activities and oceanic conditions. Estuar Coast Shelf S. 92:446-455

Bueno GW, Ostrensky A, Canzi C, Matos FTD, Roubach R. 2015. Implemetation of aquaculture parks in federal government water in Brazil. Aquaculture.

7:1-12

Burns NM, Rockwell DC, Bertram PE, Dolan DM, Ciborowski JJH. 2005. Trends in temperature, secchi depth and dissolved oxygen depletion rates in Central Basin of Lake Erie, 1983-2002. J Great Lakes Res. 31(2):35-49

Carlson RE. 1977. A trophic state index for lakes. Limnol Oceanogr. 22(2):361-369

Corell DL. 1998. The role of phosphorus in the eutrophication of receiving water: a review. J Environ Qual. 27:261-266

Dandonneau Y, Lemasson L. 1987. Water-column chlorophyll in an oligotrophic environment: correction for the sampling depth and variation of the vertical structure of density, and observation of growth period. J Plankton Res.

9:215-234

Diaz RJ, Rosenberg R. 2008. Spreading dead zones and consequences for marine ecosystems. Science. 321:926-929

D’souza NA, Subramaniam A, Juhl AR, Hafez M, Chekalyuk, Phan S, Yan B. Macdonald IR, Weber SC, Montoya JP. 2016. Elevated surface chlorophyll associated with natural oil seeps in the Gulf of Mexico. Nat Geosci. 9:1-4 Duy AT, Schrama JW, Dam AAV, Verreth JAJ. 2008. Effects of oxygen

concentration and body weight on maximum feed intake, growth and hematological parameters of Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Aquaculture. 275:152-162

(41)

26

Effendie I, Nirmala K, Saputra HU, Sudrajat AO, Zairin M, Kurokura H. 2005. Water quality fluctuations under floating net cages for fish culture in Lake Cirata and its impact on fish survival. Fisheries Sci. 71:972-977

Effler SW, Wagner BA, O’Donnel SM, Matthews DA, O’Donnel DM, Gelda RK, Matthew CM, Cowen EA. 2004. An upwelling event at Onondaga Lake, NY: characterization, impact and recurrence. Hydrobiologia. 511:185-199 Evans DO. 2007. Effects of hypoxia on scope-for-activity and power capacity of

lake trout (Salvelinus namaycush). Can J Fish Aquat Sci. 64:345-361

Goddard S. 1996. Feed management in intensive aquaculture. New York (NY): Chapman and Hall.

Goldman CR, Horne AJ. 1983. Limnology. United States of America (US): McGraw-Hill.

Gomez KA, Gomez A. 1983. Statistical Procedures for Agricultural Research.

John Wiley and Sons, Inc.

Gondwe MJS, Guildford SJ, Hecky R.E. 2011. Carbon, nitrogen and phosphorus loading from tilapia fish cages in Lake Malawi and factors influencing their magnitude. J Great Lakes Res. 37:93-101

Hamblin PF, Gale P. 2002. Water quality modeling of caged aquaculture impacts in Lake Wolsey, North Channel of Lake Huron. J Great Lakes Res.

28(1):32-43

Hamidi SA, Bravo HR, Klump JV, Waples JT. 2015. The role of circulation and heat fluxes in the formation of stratification leading to hypoxia in Green Bay, Lake Michigan. J Great Lakes Res. 41(4):1024-1036

Hidonis K. 2014. Motode pengelolaan waduk berbasis sistem KJA multispesies (studi kasus Waduk Cirata). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Isaac RA. 1997. Estimation of nutrient loading and their impact on dissolved

oxygen demonstrated at Mt. Hope Bay. Environ Int. 23:151-165

Jones RA, Lee GF. 1982. Review: Recent advances in assessing impact of phosphorus loads on eutrophication-related water quality: Water Res. 16: 503-515

Komarawidjaya W, Sukimin S, Arman E. 2005. Status kualitas air Waduk Cirata dan dampaknya terhadap pertumbuhan ikan budidaya. JTL. 6(1):268-273 Krebs CJ. 1989. Ecological methodology. United States of America (US): Harper

Collins Publisher. Inc.

Lathrop RC. 1998. Water clarity responses to phosphorus and daphnia in Lake Mendota. [dissertation]. Madison (US): University of Wisconsin

MacIntyre S, Jellison R. 2001. Nutrient fluxes from upwelling and enhanced turbulence at the top of the pycnocline in Mono Lake, California.

Hydrobiologia. 466:13-29

Middleburg JJ, Levin LA. 2009. Coastal hypoxia and sediment biogeochemistry.

Biogeosciences. 6:1273-1293

Nezlin NP, Kamer K, Hyde J, Stein ED. 2009. Dissolved oxygen dynamics in a eutrophic estuary, Upper Newport Bay, California. Estuar Coast Shelf S.

82:139-151

Purnamawati. 2009. Tingkat perombakan bahan organik sedimen Waduk Cirata pada kondisi anaerobik skala laboratorium. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(42)

27 Riyani E. 2014. Kontaminasi logam berat pada ikan budidaya dalam karamba

jaring apung di Waduk Cirata. Jurnal Teknobiologi. 1(1): 51-61

Rucinski DK, DePinto JV, Scavia D, Beletsky D. 2014. Modeling Lake Erie’s hypoxia response to nutrient loads physical variability. J Great Lakes Res. 40(3):151-161

Santoso AD, Susanto JP, Komarawidjaja. 2012. Kestabilan oksigen terlarut di Waduk Cirata. JTL. 139-145

Scavia D, Allan JD, Arend KK, Bartel S, Beletsky D, Bosch NS, Brandt SB, Briland RD, Daloglu I, DePinto JV, Dolan DM et al. 2014. Assessing and addressing the eutrophication of Lake Erie: central basin hypoxia. J Great Lakes Res. 40:226-246

Smith VH, Tilman GD, Nekola JC. 1999. Eutrophication: impacts of excess nutrient inputs on freshwater, marine and terrestrial ecosystems. Environ Pollut. 100:179-196

Song K, Xenopoulos MA, Buttle JM, Marsalek J, Wagner ND, Pick FR, Frost PC 2013. Thermal stratification patterns in urban ponds and their relationships with vertical nutrient gradients. J Environ Manage. 127:317-323

Sugiura SH, Marchant DD, Kelsey K, Wiggins T, Ferraris RP. 2006. Effluent profile of commercially used low-phosphorus fish feeds. Environ Pollut. 140:95-101

Wang X, Olsen LM, Reitan KI, Olsen Y. 2012. Discharge of nutrient wastes from salmon farms: environmental effects, and potential for integrated multi-trophic aquaculture. Aquac Environ Interact. 2:267-283

Young JD, Winter JG, Molot L. 2011. A re-evaluation of the empirical relationships connecting dissolved oxygen and phosphorus loading after dreissenid mussel invasion in Lake Simcoe. J Great Lakes Res. 37:7-14 Zhang Y, Wu Z, Liu M, He J, Shi K, Wang M, Yu Z. 2014. Thermal stratification

and response to long-term climate change in a Lake Qiandaohu, a deep subtropical reservoir in China. Limnol Oceanogr. 59(4):1193-1202

Zhang Y, Wu Z, Liu M, He J, Shi K, Zhao Y, Wang M, Liu X. 2015. Dissolved oxygen stratification and response to thermal structure and long-term climate change in a large and deep subtropical reservoir (Lake Qiandahohu, China). Water Res. 75:249-258

(43)
(44)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta sebaran KJA (di dalam garis kuning) di lokasi pengamatan

www.google.com/earth

Lampiran 2 Data curah harian BMKG stasiun Waduk Cirata April-Mei 2015

Tanggal April Mei Tanggal April Mei

1 67 - 16 8 - 2 - 9 17 - - 3 - - 18 - - 4 12,5 - 19 - - 5 1 - 20 - - 6 16,2 21,7 21 43 - 7 - - 22 - - 8 - - 23 - - 9 - - 24 - - 10 - - 25 - - 11 13 - 26 - - 12 12,5 - 27 23,5 - 13 - - 28 - - 14 - - 29 - - 15 15,5 - 30 - -

(45)

29

Lampiran 3 Data cuaca harian di lokasi pengamatan April-Mei 2015 Pengamatan ke- Tanggal Cuaca harian

1 15 April Cerah

2 22 April Berawan

3 29 April Cerah

4 7 Mei Berawan

5 14 Mei Mendung dan Hujan Ringan

Gambar

Gambar 1 Skema perumusan masalah
Gambar 2 Peta lokasi pengamatan parameter T, DO, pH dan COD  Bahan dan Alat
Tabel 1 Alat dan metode yang digunakan
Gambar 3  Diagram alir untuk status uji
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh persentase kerapatan KJA terhadap kondisi kualitas perairan dan mendeskripsikan aktivitas pengelolaan budidaya ikan

Dari hasil pemeriksaaan yang dilakukan terhadap ikan bandeng ukuran kecil dan ikan bandeng ukuran besar ditemukan adanya perbedaan nilai intensitas yaitu

Tingginya kadar TN dan TP ini tidak terlepas dari aktivitas KJA yang sangat intensif di Danau Maninjau, yang membutuhkan pasokan pakan yang cukup besar untuk

Pening- katan konsentrasi oksigen terlarut di perairan dengan sistem aerasi dapat dilakukan menggunakan kincir yang dapat dipasang di setiap unit KJA atau pada

Sedikitnya jumlah ektoparasit yang ditemukan pada ikan bandeng ukuran kecil maupun ikan bandeng ukuran besar diduga karena kegagalan parasit dalam menyerang,

Sedangkan rendahnya rata-rata konsentrasi oksigen terlarut di zona lakustrin karena zona lakustrin memiliki kedalaman yang tinggi sehingga cahaya matahari yang masuk ke

Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya konsentrasi oksigen pada perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran massa air sempurna (holomictic) serta tingginya

Tingginya kadar TN dan TP ini tidak terlepas dari aktivitas KJA yang sangat intensif di Danau Maninjau, yang membutuhkan pasokan pakan yang cukup besar untuk