• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Prostituere atau Prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Prostituere atau Prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan,"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelacur merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri dan senantiasa menjadi masalah sosial. Pelacuran atau prostitusi berasal dari bahasa latin

Prostituere atau Prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan.1 Pelacuran adalah gejala kemasyarakatan, di mana wanita menjual diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Pelacuran ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang.

Pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi juga lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di Indonesia, pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek pelacuran. Ketidaktegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 296, 297 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya.2 Namun dalam praktik sehari-hari, pekerjaan sebagai mucikari atau germo ini selalu ditolerir, secara inkonvensional dianggap ‘sah’, atau dijadikan sumber pendapatan dan pemerasan yang tidak resmi.

1 Kartini Kartono. Patologi Sosial Jilid I. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 177. 2Ibid. 207.

(2)

Di Indonesia pelacur sering disebut dengan Pekerja Seks Komersial (PSK), yang mata pencahariannya menyediakan diri bagi siapa saja yang menghendaki (tanpa pilihan), dan atas kesediaannya dia mendapat upah uang atau barang-barang yang diterimanya sebagai bayaran.3 Bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil. Biasanya pekerja seks komersial yang berada di bordil-bordil ini dipelihara oleh seseorang yang dinamakan germo atau mucikari. Ada pula pekerja seks komersial yang hanya melayani panggilan ke tempat tertentu seperti di hotel, pesanggrahan atau rumah tertentu. Pekerja seks komersial jenis ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan).

Pekerja seks komersial tersebut diperoleh dari tempat penampungan milik germo dan sulit ditelusuri keberadaannya.

Dari hal-hal tersebut di atas dapat ditelaah bahwa PSK sangat erat hubungannya dengan pelacuran. PSK menunjukkan kepada “orang”nya, sedangkan pelacuran menunjukkan kepada “perbuatan”.4

Berdasarkan teori-teori sosial yang ada, PSK hanya merupakan salah satu unsur penyebab terjadinya pelacuran, meskipun kedudukan unsur ini amat penting artinya. Soedjono mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti:5

1. Pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan);

2. Pelacuran Menengah, yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersih dan pelayanannya baik;

3. Pelacuran kelas tinggi, biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri (terselubung/tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup mahal.

3

D. Soedjono. Pelacuran, Ditinjau dari segi hukum dan kenyataan dalam masyarakat. (Bandung: Penerbit Karya Nusantara, 1977), 123.

4 A.S. Alam. Pelacuran dan Pemerasan: Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi Manusia Oleh Manusia. (Bandung: Penerbit Alumni, 1984), 15.

(3)

Ada berbagai penyebab yang mendorong banyak wanita untuk memilih pelacuran sebagai mata pencaharian, antara lain ialah:6

1. Aspirasi materiil tinggi dibarengi dengan usaha mencari kekayaan lewat jalan yang mudah dan “bermalas-malas”,

2. Memberontak terhadap otoritas orang tua,

3. Ada disorganisasi kehidupan keluarga atau “broken home”,

4. Penundaan perkawinan jauh sesudah kematangan biologis.

5. Bermotifkan standar hidup atau ekonomis yang tinggi, yang mendorong makin pesatnya tumbuhnya pelacuran.

6. Ajakan teman-teman sekampung atau sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.

Norma-norma sosial secara jelas tidak menyetujui adanya pelacuran. Dunia kesehatan pun juga telah menunjukkan bahaya penyakit kelamin akibat adanya pelacuran di tengah masyarakat, namun masyarakat dari abad ke abad tidak pernah berhasil melenyapkan masalah pelacuran ini. Ada beberapa sisi negatif mengenai masalah pelacuran, yaitu:7

1. Bahwa pelacuran merupakan pukulan terhadap rumah tangga dan keluarga, menyebar kebohongan, dan memperlemah tali perkawinan serta memperlemah kepribadian.

2. Pelacuran dapat menggangu kesehatan umum, menyebarkan penyakit, seperti: penyakit menular seksual dan HIV/AIDS.

3. Pelacuran akan meracuni generasi muda, terutama wanita menjadi objek eksploitasi pihak ketiga yang hanya bergerak untuk mengejar keuntungan.

6 Lihat Kartini Kartono. Patologi Sosial...., 232-234.

(4)

4. Pelacuran mendorong berkembangnya penyelewengan-penyelewengan, kecurangan-kecurangan dan perbuatan melanggar hukum pejabat negara.

5. Mendorong ke arah kriminalitas seksual sehubungan dengan gairah remaja.

Berdasarkan uraian mengenai masalah pelacuran tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di Bandungan. Bandungan merupakan sebuah obyek wisata pegunungan yang terdapat di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Obyek wisata ini dapat ditempuh dengan kendaraan selama 1 jam dari Kota Semarang atau sekitar 20 menit dari Ungaran, atau sekitar 15 menit dari Ambarawa melalui jalur pegunungan.8 Batas sebelah Barat adalah Kecamatan Sumowono, batas sebelah Timur adalah Kecamatan Bergas, batas sebelah Utara adalah Kecamatan Bawen, sedangkan batas sebelah Selatan adalah Kecamatan Ambarawa. Banyaknya hotel-hotel, tempat pijat, kafe dan karaoke di kecamatan Bandungan merupakan salah satu penanda bahwa daerah ini memang menjadi rujukan bagi wisatawan untuk berwisata. Hal inilah yang kemudian menjadi peluang masuknya bisnis layanan seks bagi wisatawan atau bahkan malah bisnis layanan seks tersebutlah yang menjadikan daya tarik wisata bagi para wisatawan. Mengingat kenyataan bahwa hubungan pasar adalah luar biasa dinamis, konteks sosial di mana hubungan seks yang dikomoditikan berlangsung juga memberi respons terhadap kekuatan-kekuatan pasar.9 Wisata seks juga mempunyai dampak ekonomi yang signifikan dan bagi banyak wanita menawarkan atau memberikan kesempatan untuk kemerdekaan finansial.10

Studi tentang hubungan antara pariwisata dan seks menunjukkan bahwa periode perjalanan wisatawan di luar rumah bukan sekedar kesempatan untuk berfantasi, bersantai atau

8

Bandungan. http://www.wikipedia.org/bandungan.htm.

9 Tham-Dam Truong. Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. (Jakarta: LP3ES, 1992), 91.

(5)

mencari kesegaran, tetapi juga refleksi tentang bagaimana masyarakat itu berfungsi.11 Fungsi masyarakat akan berjalan seiring dengan cara pandang individu dalam suatu masyarakat terhadap suatu gejala dalam masyarakat. Cara pandang inilah yang juga dapat berpengaruh bagi individu dalam suatu masyarakat untuk mengambil suatu tindakan.

GBI Bandungan yang beralamat di Jalan Tirtomoyo No 3 Kecamatan Bandungan, letaknya tidak jauh dari kompleks di mana PSK Bandungan beroperasi. Dalam hal inilah, GBI Bandungan sebagai sebuah gereja tentunya memiliki pandangan atau sikap sosial yang tersendiri terhadap realitas sosial yang berada di sekitarnya, realitas di mana pelacuran tumbuh subur di dalam wilayah jangkauan gereja tersebut. Masalah sikap sosial adalah masalah yang erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang terdapat dalam kelompok, ke dalam mana individu tertentu menjadi anggota atau berhasrat mengadakan hubungan strukturil organisatoris dan atau berhasrat mengadakan hubungan psikologik.12

Dalam pendampingan pastoral, Gereja juga memiliki norma tertentu dalam berhadapan dengan tuntutan-tuntutan dalam kehidupan sosial masyarakat. Fungsinya adalah membimbing tingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan bentuk kehidupan sosial itu.13 Tingkah laku tersebut adalah satu-satunya akal sehat karena antara etos dan pandangan dunia, antara gaya hidup yang diterima dan struktur kenyataan yang diandaikan, terdapat sesuatu yang dipahami sebagai sebuah kesesuaian yang jelas dan mendasar, sehingga keduanya saling melengkapi dan saling meminjamkan makna satu sama lain.14

11Ibid.

12

Kasmiran Wuryo & Ali Syaifullah. Pengantar Ilmu Jiwa Sosial. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1983), 107. 13 Roos Poole. Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 179.

(6)

Agama sebagai refleksi atas iman tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana kepercayaan agama itu diungkapkan ke dalam dunia.15 Demikian juga halnya pandangan warga jemaat GBI Bandungan terhadap PSK di Bandungan yang merupakan proses pendampingan pastoral bagi tindakan praksis warga jemaat GBI Bandungan terhadap PSK di Bandungan. Pendampingan pastoral berhubungan dengan manusia, tidak peduli macam kepercayaannya, kedudukan sosialnya, atau prestisnya.16 Pendampingan pastoral tidak bisa dihayati dengan hanya belajar teknik-tekniknya saja. Seseorang harus juga mempelajari manusia yang terlibat dalam pendampingan pastoral dan relasi di antara mereka. Dalam hal inilah, maka perlu mengintregasikan antara pengetahuan agama (Kristen) dan ilmu psikologi17—oleh sebab itulah, terhadap objek yang sama, setiap individu dalam warga jemaat GBI Bandungan dimungkinkan memiliki pandangan yang berbeda terhadap PSK di Bandungan. Milton mengemukakan adanya beberapa faktor yang berpengaruh dalam persepsi, yaitu objek yang dipersepsi, situasi, individu yang mempersepsi (perceiver), persepsi diri, dan pengamatan terhadap orang lain.18 Faktor-faktor inilah yang nantinya akan membentuk pandangan jemaat GBI Bandungan terhadap PSK di Bandungan.

Dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat sebuah judul dalam sebuah penulisan skripsi: “Studi Pastoral Mengenai Pandangan Warga Jemaat

GBI (Gereja Bethel Indonesia) Bandungan Terhadap PSK (Pekerja Seks Komersial) di Bandungan.”

15 Mulyanto Sumardi. Penelitian Agama: Masalah dan Pemikirannya. (Jakarta: PT Sinar Agape Press, 1982), 26.

16

Mesach Krisetya. Teologi Pastoral. (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2004), 1.

17Ibid, 38.

(7)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang akan penulis telusuri adalah: 1. Bagaimana pandangan warga Jemaat GBI Bandungan terhadap Pekerja Seks Komersial

di Bandungan?

2. Pelayanan semacam apa yang diberikan warga Jemaat GBI Bandungan terhadap Pekerja Seks Komersial di Bandungan dalam menyikapi pandangan mereka?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan terhadap PSK di Bandungan.

2. Mengetahui pelayanan yang telah dan akan dilakukan warga Jemaat GBI Bandungan terhadap Pekerja Seks Komersial di Bandungan dalam menyikapi pandangan mereka.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini memakai metode penelitian deskriptif untuk memahami pandangan Jemaat GBI Bandungan terhadap PSK di Bandungan dan pelayanan pastoral apa saja yang dilakukan Jemaat GBI Bandungan terhadap Pekerja Seks Komersial di Bandungan dalam menyikapi pandangannya. Metode deskriptif adalah sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan obyek penelitian untuk

(8)

mendeskripsikan fakta-fakta pada tahap permulaan secara lengkap di dalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan kondisinya.19

2. Tehnik Pengumpulan Data a. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa data mengenai sejarah singkat gereja, keseharian Warga Jemaat GBI Bandungan, pandangan dan kegiatan pastoral terhadap PSK dengan melakukan wawancara kepada Warga Jemaat Gereja GBI Bandungan. Metode wawancara bertujuan untuk mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.20 Dalam penelitian ini bentuk wawancara yang dilakukan adalah wawancara terarah untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian. Wawancara tersebut menggunakan tape recorder, yang nantinya hasil wawancara tersebut dituangkan secara verbatim. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara kepada para PSK di Bandungan sehubungan dengan keseharian mereka dan pemaknaan mereka terhadap agama.

Data Sekunder dalam penelitian ini adalah berupa dokumen-dokumen aktivitas ibadah gereja GBI Bandungan dan studi kepustakaan. Melalui studi kepustakaan, penulis akan mencari bahan-bahan tulisan, baik itu berupa buku maupun artikel-artikel yang sesuai dengan topik yang akan ditelaah untuk menyusun landasan teori yang digunakan dalam menganalisa data yang diperoleh dalam penelitian.

19 Nawawi Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. (Jakarta: Gajah Mada University Press, 1983), 63. 20 Koentjaranigrat. Metode-Metode penelitian Masyarakat. (Jakarta: PT Gramedia, 1985), 129.

(9)

b. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di GBI Bandungan, yang beralamat di Jalan Tirtomoyo No 3 Kecamatan Bandungan, karena Gereja ini masih merupakan satu wilayah di mana para PSK Bandungan beroperasi.

E. Signifikansi Penelitian

a. Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan Fakultas Teologi UKSW khususnya mata kuliah Pastoral dalam peranan mata kuliah tersebut untuk kehidupan gereja dan masyarakat.

b. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi gereja khususnya GBI Bandungan mengenai pandangan Warga Jemaat terhadap PSK.

Referensi

Dokumen terkait

Melihat fenomena gereja yang terkesan jatuh pada ghetto ini, tampaknya akan menarik untuk mempelajari sejauh mana gambar gereja dipahami di GKJW Jemaat Rejoagung,

Namun penelitian ini tidak membahas spiritualitas warga gereja melainkan bagaimana komitmen dapat ditumbuhkan di dalam diri setiap jemaat sehingga mereka dapat terus

BAB IV : Bab ini berisi tentang penyajian analisis data, yang terdiri dari sub bab deskrpsi obyek penelitian (deskripsi ini berupa sejarah singkat dan profil pembaca Aula;

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan“Konseling Pastoral Lintas Budaya Bagi Warga Dewasa di Gereja Kristen Sumba (GKS) Jemaat Waingapu” adalah proses

Perancangan interior pada Gereja Sidang Kristus menerapkan fungsi dan program gereja, yaitu pada saat acara besar, kapasitas gereja dapat dimasuki oleh 300 jemaat

Beberapa alasan mengapa penulis memilih GPIB “Penabur” Surakarta yaitu karena penulis merupakan warga jemaat dari gereja tersebut, karena penulis melihat fenomena-fenomena dalam

Perubahan dari gereja monokultural menjadi gereja yang multikultural mau tidak mau menghadapi kenyataan bahwa akan tetap ada anggota jemaat yang sudah merasa

Dengan melihat teologi bangunan gereja dalam HKBP sebagai jawaban motif dan pendorong semangat membangun gedung gereja pada jemaat HKBP, dan menjadi referensi