• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh gereja gereja khususnya di Indonesia adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh gereja gereja khususnya di Indonesia adalah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Permasalahan

A.1. Latar Belakang Masalah

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh gereja–gereja khususnya di Indonesia adalah perkembangan budaya yang hingga saat ini masih menjadi suatu perdebatan baik di kalangan teolog maupun tokoh gereja. Perkembangan budaya tersebut setidaknya telah menimbulkan pengaruh dalam dimensi kehidupan manusia, di antaranya dimensi ekonomi, politik, sosial, budaya dan religius. Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai kehidupan gereja terhadap perkembangan budaya, penulis akan menjelaskan secara singkat mengenai perkembangan budaya modern menuju budaya postmodern.

Perkembangan budaya yang terjadi begitu cepat, sehingga menimbulkan pergeseran paradigma dalam segala dimensi kehidupan manusia. Pergeseran paradigma tersebut merupakan hasil dari sebuah proses dengan adanya benturan–benturan ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam hal ini penulis sedikit menjelaskan mengenai perkembangan budaya yang sedang terjadi dari budaya modern menuju ke budaya postmodern.

Budaya Modern dan Budaya Postmodern

Budaya modern atau yang biasa disebut sebagai “jaman modern” itu muncul sekitar abad ke-17, yang ditandai oleh karya Galileo dalam bidang fisika, gagasan-gagasan seperti Francis Bacon mengatakan bahwa melalui ilmu pengetahuan dapat mengusahakan penemuan-penemuan yang meningkatkan kemakmuran dan hidup yang enak. Menurutnya manusia dapat

MILIK

(2)

menguasai kekuatan–kekuatan alam dengan perantaraan penemuan–penemuan ilmiah.1 Kebenaran bersifat universal dan mutlak yang merupakan hasil dari penemuan–penemuan secara ilmiah. Begitu pula tokoh filsafat modern lainnya yaitu Rene Descartes, dasar pemikirannya yaitu “kebenaran” adalah sesuatu yang jelas dan terpilah–pilah, artinya bahwa gagasan-gagasan atau ide–ide itu seharusnya dapat dibedakan dengan persis dari gagasan– gagasan atau ide–ide yang lainnya. Mengenai manusia dikatakan bahwa manusia bukanlah tujuan dari penciptaan dan juga bukan menjadi pusatnya melainkan umat manusia mewujudkan suatu organisme yang besar, sedangkan perorangan adalah bagian dari

keseluruhan.2 Dengan kata lain yang menjadi ciri dalam budaya modern, dapat digambarkan

dengan kata–kata; individulisme, rasionalisme, universalisme, absolutisme sampai pada eksklusivisme.

Walaupun sekarang ini kita telah berada di dunia abad 21, ternyata pengaruh dari budaya modern masih terasa dalam kehidupan masyarakat. Perjalanan waktu yang terjadi ternyata banyak menimbulkan pemikiran–pemikaran baru khususnya bagi para ahli filsafat, sosiologi maupun teologi. Suatu terminologi baru telah lahir di abad ini, di mana mereka menyebutnya dengan jaman post–modern. Dilihat dari akar katanya, postmodern memiliki arti; post (Inggris) = sesudah, melampaui, setelah, yang sudah terlewati atau berlalu, sedangkan arti kata modern = suatu jaman yang ditandai dengan penerimaan otoritas sains dan penolakan segala asumsi–asumsi abad pertengahan yang ditandai keberkuasaan institusi agama beserta

substansinya.3

Salah satu tokoh postmodern yaitu Jean Baudrillard, merupakan sosiolog Perancis, kritikus

budaya, dan ahli teori postmodernitas. Pokok kajian dititik–beratkan dalam bidang kebudayaan, yang memperlihatkan transformasi dan pergeseran yang terjadi dalam struktur       

1

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, ( Yogyakarta, Kanisius, 1990), p. 15 2

 Ibid, p. 19-20

3 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), p. 645

MILIK

(3)

masyarakat yang disebutnya sebagai masyarakat simulasi dan hiperealitas, di mana batas– batas nilai kemanusiaan telah menjadi kabur, realitas yang ada pun dapat dimanipulasi sedemikian rupa untuk memenuhi kepuasan batin dari manusia.

Selain itu seorang filsuf postmodern asal Amerika, Richard Rorty yang mendukung filsafat– filsafat yang mendatangkan kemajuan (edifying) dan mencurigai semua pretensi filsafat sistematik. Menurutnya sebuah filsafat yang mendatangkan kemajuan memiliki tujuan bukan hanya untuk menemukan kebenaran sebagaimana dalam filsafat sistematik, tetapi hanya untuk melanjutkan percakapan.4 Maksudnya melanjutkan percakapan merupakan suatu proses yang terjadi antara ide-ide yang lama dengan realitas yang terjadi, di mana yang diperlukan untuk menjaga percakapan agar terus berlangsung adalah kebebasan diskursus dan dilakukan pada langkah yang tidak tergesa–gesa. Kemajuan (edification), bagi Rorty merupakan sebuah proyek untuk menemukan hal yang baru, yang lebih baik, yang sangat menarik dan cara-cara

percakapan yang lebih bermanfaat.5

Dalam hal ini postmodern dapat dipahami sebagai suatu gerakan kebudayaan pada umumnya, yang memiliki ciri menentang rasionalisme, totalitarianisme dan universalisme, di mana postmodern memiliki kecenderungan ke arah penghargaan akan keanekaragaman, pluralitas,

kelimpahruahan dan fragmentasi dengan menerima segala kontradiksi yang ada di dalamnya.6

Banyaknya pemahaman mengenai postmodern dari para ahli, tetapi yang menjadi sebuah kesimpulan bahwa postmodern merupakan suatu reaksi terhadap perkembangan budaya modern.

Ketegangan-ketegangan yang terjadi antara budaya modern dengan postmodern antara lain;

Pertama, bahwa postmodern menolak kata universe, maksudnya pemikiran ini adalah untuk

       4

Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), p. 45-46 5

  Ibid, p. 47 6

 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, (Yogyakarta, Jalasutra, 2004), p.24

MILIK

(4)

menghentikan upaya bagi pencarian kesatuan realitas obyektif, setiap komunitas memiliki kebenarannya sendiri, sehingga di dalam postmodernisme kita diajak untuk menghargai keanekaragaman makna yang dipahami oleh berbagai komunitas yang ada di dunia ini. Kedua, postmodernisme menolak paham modernisme yang mengatakan “kebenaran bersifat pasti dan rasional” sebab bagi postmodernisme ada banyak jalan untuk menuju pengetahuan selain rasio, termasuk emosi dan intuisi. Ketiga, postmodernisme menolak individualisme, karena postmodernisme lebih menekankan kehidupan komunal atau komunitas dan kebenaran hanya ada di dalam komunitas, bukan dari individu yang terpisah dari komunitas tersebut.

Dengan adanya ketegangan-ketegangan tersebut, menunjukan bahwa realitas postmodern menjunjung tinggi semangat pluralisme, relativisme, komunal, dan emansipasi sehingga menghasilkan suatu produk kebudayaan yang telah menjadi pola hidup masyarakat. Di mana kita dapat melihat keberadaan masyarakat sekarang ini sedang menuju pada sebuah realitas baru yaitu realitas postmodern. Kita dapat melihat realitas postmodern dalam kehidupan masyarakat sekarang ini seperti pluralitas budaya – agama, penggunaan teknologi, globalisasi,

kehidupan komunal/individu, dan lain sebagainya.7

Masuknya budaya postmodern ke Indonesia ditandai dengan era globalisasi yang terjadi sekitar tahun 1990-an. Dampak yang sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia ketika hancurnya sistem perekonomian negara kemudian diikuti oleh krisis multi dimensi yang hingga kini masih dirasakan. Selain itu perkembangan dunia informasi dan teknologi telah menyelimuti bangsa Indonesia, di mana ruang dan waktu tidak memiliki batasannya lagi. Masyarakat dapat dengan mudah mencari informasi mengenai pengetahuan melalui dunia maya. Budaya asing dengan mudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dengan kata lain budaya postmodern menciptakan masyarakat informasi.

       7

 Rijnardus A.van Koij, dkk, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, (Jakarta, Gunung Mulia, 2007), p. 50-67

MILIK

(5)

Dengan meminjam pemahaman dari Rorty, bahwa kemajuan merupakan sebuah proyek untuk menemukan hal yang baru, yang lebih menarik dan cara-cara percakapan yang lebih bermanfaat, tanpa harus meninggalkan pemahaman yang lama. Dengan kata lain perubahan yang terjadi merupakan hasil dari “percakapan” yang terjadi antara pemahaman lama dengan realitas yang terjadi sekarang ini. Sehingga tumbuh pertanyaan yaitu bagaimana pemahaman dan perkembangan gereja di jaman postmodern ini, khususnya terhadap pemahaman koinonia atau persekutuan gereja?

Koinonia

Berbicara mengenai gereja, maka kita tidak bisa lepas dari tiga tugas dan panggilan gereja yang biasa disebut dengan “tridarma” gereja yaitu : “Koinonia” yang diartikan sebagai “persekutuan”, “Marturia” yang diartikan sebagai “kesaksian”, dan “Diakonia” yang diartikan sebagai “pelayanan”. Idealnya “tridarma” gereja ini harus berjalan secara seimbang atau diberlakukan secara adil, tetapi apa yang terjadi dalam kehidupan gereja dalam melakukan “tridarma” gereja? Dengan melihat eksistensi gereja saat ini, ternyata telah terjadi penyempitan-penyempitan makna dalam memahami “tridarma” gereja. Misalnya saja koinonia hanya dipahami sebagai kebaktian, sedangkan marturia hanya dipahami sebagai sebuah kesaksian yang berkaitan dengan Firman Allah , dan diakonia hanya dipahami sebagai

pelayanan firman Allah.8

Dalam hal ini penulis akan memfokuskan pembahasan mengenai “Koinonia” atau persekutuan gereja. Alasan mengapa penulis memilih koinonia atau persekutuan gereja, karena penulis melihat pada saat ini banyak gereja telah mempersempit makna dari koinonia atau persekutuan tersebut. Persekutuan hanya dipandang sebagai sebuah kebaktian yang telah dijadual oleh gereja. Padahal persekutuan tersebut tidaklah hanya berputar pada masalah internal gerejawi       

8

 Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, berteologi dalam konteks di awal milenium III ( Jakarta, Gunung Mulia, 2005), p.18-19

MILIK

(6)

saja, di mana gereja saat ini hidup di tengah-tengah pluralitas agama dan masyarakat sehingga

persekutuan seharusnya lebih bersifat terbuka.9 Lalu apa yang menjadi hakikat, makna dan

fungsi dari koinonia atau persekutuan yang seharusnya dikembangkan oleh gereja-gereja saat ini?

Menurut eklesiologi Paulus (Kis. 2:42), kata “koinonia” diterjemahkan sebagai “bersatu” atau “mengambil bagian”. Paulus juga menggunakan kata “Koinonos” dan “Koinonein”, di mana kata “Koinonos” diterjemahkan sebagai “mendapat bagian”, “bersekutu”, “teman” dan untuk kata “Koinonein” diterjemahkan sebagai “bantulah” (dalam kekurangan), “beroleh bagian”

dan “membagi”.10 Dari makna kata-kata tersebut dapat dilihat bahwa koinonia memiliki

makna “kebersamaan” atau “persekutuan” dalam rangka saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Sedangkan LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) menterjemahkan kata “Koinonia” sebagai “persekutuan”.

Penggunaan kata “koinonia” yang dipakai Paulus dibagi tiga golongan atau kelompok antara lain; Persekutuan dengan Kristus, Persekutuan dengan Roh Kudus dan Persekutuan dalam

jemaat.11 Ketiga golongan ini selayaknya tumbuh dan berkembang dalam kehidupan

persekutuan gereja. Dalam kehidupan gereja kata persekutuan dapat dipahami sebagai perkumpulan umat atau yang sering dikenal sebagai “paguyuban” dalam jemaat.

Ketika berbicara mengenai konsep pemikiran teologis mengenai persekutuan gereja maka kita tidak lepas dari apa itu hakikat, makna dan tujuan dari persekutuan yang ada di dalam gereja. Karena hal ini mencakup pokok-pokok masalah seperti: peribadahan, spiritualitas, teologi,

       9

Rijnardus A.van Koij, dkk, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, (Jakarta, Gunung Mulia, 2007), p. 86 10

 Tom Jacobs, Koinonia Dalam Eklesiologi Paulus, (Malang, Dioma, 2003), p. 29-30. 11 Ibid, p. 30-31.

MILIK

(7)

misi, dinamika sosial, iman dan sebagainya.12 Dalam hal ini persekutuan merupakan salah satu aspek yang penting dalam membangun pertumbuhan jemaat.

Koinonia dan Vitalitas Gereja

Ketika berbicara mengenai koinonia atau persekutuan dalam gereja, maka hal yang sangat berpengaruh yaitu partisipasi jemaat. Tanpa adanya partisipasi jemaat secara langsung maka pelaksanaan koinonia tersebut tidak akan berjalan dalam rangka memenuhi tugas dan panggilan gereja sebagai persekutuan. Partisipasi jemaat yang dilandaskan pada iman akan

mendorong terwujudnya vitalitas gereja.13 Pemahaman vitalisasi menurut Jan Hendrik yaitu

suatu proses yang terjadi dalam kehidupan gereja dalam rangka menciptakan jemaat yang berdaya, hidup dan kreatif, sedangkan vitalitas gereja merupakan hasil dari proses vitalisasi. Setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi vitalitas gereja, yaitu; iklim, identitas, tujuan serta tugas, struktur, dan kepemimpinan.14 Faktor iklim menentukan apakah orang berpartisipasi dengan senang hati dan efektif, dalam hal ini adanya iklim positif yang tumbuh dan berkembang dalam jemaat untuk saling menerima dan menghargai sehingga tercipta

tujuan yang lebih baik.15 Kemudian faktor identitas, di mana pemahaman akan identitas

menunjukkan yang khas/membedakan diri dari yang lainnya.16 Melalui identitas yang jelas

(memahami siapakah kita dan apa tugas kita), akan membuat jelas bagaimana jemaat dapat bekerja dan berkarya dalam tugas dan panggilan gereja ditengah-tengah dunia ini. Faktor

tujuan serta tugas ini memiliki hubungan yang erat dan saling berkaitan, di mana tujuan

adalah sesuatu yang dikejar, sedangkan tugas adalah pekerjaan yang disanggupi oleh seseorang atau kelompok. Dalam hal ini yang penting adalah tujuan tersebut jelas, kongkret,       

12

 Wilred J.Samuel, Kristen Kharismatik, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2007), p.39 13 Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, (Yogyakarta, Kanisius, 2002), p. 19 14 Ibid, p. 39-40 15  Ibid, p. 48‐49  16  Ibid, p. 173 

MILIK

UKDW

(8)

bersama dan menggairahkan.17 Faktor struktur yang dimaksud yaitu keseluruhan relasi dan hubungan antara orang yang memegang posisi-posisi organisatoris yang formal, yang

institusional, dan yang kurang institusional.18 Dengan kata lain adanya relasi antara individu

dan relasi antar kelompok. Faktor Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap vitalitas gereja, kepemimpinan dalam kehidupan gereja lebih

bersifat melayani, membantu, dan menyokong kehidupan jemaat.19

Kelima faktor yang mempengaruhi proses vitalitas gereja ini merupakan satu-kesatuan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan, karena kelima faktor tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Kemudian timbul pertanyaan bahwa apa yang menjadi hakikat, makna, dan tujuan persekutuan dalam rangka pembangunan jemaat untuk menjadi jemaat yang vital dan menarik di tengah perkembangan dan pengaruh budaya postmodern?

Untuk itu penulis melihat hakikat, makna, dan tujuan dari persekutuan yang ada di gereja (secara khusus terhadap persekutuan pemuda gereja) dalam rangka berinteraksi dengan perkembangan budaya postmodern saat ini. Penulis memilih GPIB “Penabur” Surakarta sebagai gereja “mainstream” dan GBI “Keluarga Allah” Surakarta sebagai gereja yang beraliran “kharismatik” yang akan dijadikan fokus penelitian dalam tulisan ini. Beberapa alasan mengapa penulis memilih GPIB “Penabur” Surakarta yaitu karena penulis merupakan warga jemaat dari gereja tersebut, karena penulis melihat fenomena-fenomena dalam kehidupan jemaat dalam rangka memahami perkembangan atau pergeseran budaya postmodern yang terjadi saat ini. Sedangkan penulis memilih GBI “Keluarga Allah” Surakarta, karena penulis melihat gereja tersebut berkembang dengan pesat di kota Surakarta. Selain itu rumor yang berkembang bahwa GBI “Keluarga Allah” Surakarta merupakan gereja yang populer atau terkenal di kalangan umat kristiani di kota Surakarta.

       17

Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, (Yogyakarta, Kanisius, 2002), p. 148 18   Ibid, p. 92 19   Ibid, p. 68

MILIK

UKDW

(9)

1. GPIB dan Persekutuan Pemuda Gereja

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) merupakan salah satu gereja mainstream yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Yang menjadi dasar dari persekutuan di dalam GPIB adalah Tubuh Kristus, di mana jemaat merupakan satu tubuh dalam menjalankan tugas dan panggilan gereja di tengah–tengah dunia. Sehingga persekutuan atau “koinonia” yang ada di GPIB, dalam rangka memenuhi tugas panggilan dan pengutusan gereja di tengah-tengah

dunia ini dilakukan dalam bentuk :20

a. Ibadah

Adapun jenis ibadah-ibadah yang ada antara lain; ibadah hari minggu, pelayanan sakramen, peneguhan sidi, pemberkatan nikah, ibadah keluarga, pemakaman, peneguhan pejabat, hari raya kristen, hari raya nasional dan ibadah lainnya yang dianggap perlu (misalnya kebaktian anak, Persekutuan Taruna, Gerakan Pemuda, Persekutuan Kaum Bapak, Persatuan Wanita dll). Dalam hal ini tata ibadah yang dipakai telah ditetapkan oleh persidangan sinode dan para pelayan yang memimpin ibadah ditentukan oleh Majelis Jemaat.

b. Bentuk dan cara persekutuan lainnya (misalnya; penelaahan Alkitab, kelompok doa dan penyegaran iman), hal ini dapat dilakukan dengan tertib dan dipimpin oleh pelayan yang ditetapkan oleh Majelis Jemaat.

c. Dalam mengadakan persekutuan yang bersifat oikumenes, Majelis Jemaat dapat bekerja sama dengan gereja-gereja dan badan-badan atau organisasi kristen lainnya yang mempunyai hubungan kelembagaan dengan GPIB dan melaporkan kepada Majelis Sinode.

Dalam hal tersebut nampak terlihat jelas bahwa persekutuan (koinonia) yang ada dalam GPIB telah tersusun rapi dan sistematis. Segala sesuatunya haruslah melewati prosedur atau ketentuan yang berlaku di dalam GPIB. Makna koinonia atau persekutuan tidak hanya terjadi antara kehidupan jemaat GPIB sendiri, tetapi juga membuka pintu untuk bersekutu dengan jemaat dari gereja-gereja lainnya (oikumenis).

      

20 Majelis Sinode, Ketetapan Persidangan Sinode Istimewa, (Bandung, 1996), p.45

MILIK

(10)

Pada poin pertama persekutuan atau ibadah dilakukan dengan menggunakan liturgi khusus yang telah ditentukan oleh Majelis Sinode, misalnya ibadah minggu, ibadah keluarga dan ibadah kategorial yang sifatnya lebih kepada ritual dan menekankan unsur kebersamaan. Sedangkan pada poin kedua mengenai persekutuan lainnya yaitu penelaahan Alkitab, kelompok doa dan penyegaran iman, dengan tujuan untuk menjangkau setiap pribadi kehidupan jemaat.

Tetapi yang sering terjadi adalah kecurigaan–kecurigaan di kalangan Majelis Jemaat GPIB “Penabur” Surakarta apabila ada anggota–anggota jemaat yang melakukan kegiatan–kegiatan seperti kelompok doa atau penyegaran iman. Karena hal itu dianggap meniru atau mencontek kegiatan yang ada di dalam gereja kharismatik, sehingga sering terjadi perselisihan antara Majelis Jemaat dengan mereka, khususnya dengan pemuda. Di sini terlihat kesan bahwa GPIB lebih mengutamakan unsur kebersamaan dibandingkan dengan kebutuhan pribadi jemaat. Dalam hal ini penulis akan lebih memfokuskan pengamatan pada persekutuan pemuda gereja. Di kalangan GPIB “Penabur” Surakarta, persekutuan pemuda gereja dimasukkan kedalam bidang pelayanan kategorial “Gerakan Pemuda”. Persekutuan Gerekan Pemuda merupakan suatu wadah persekutuan bagi kaum remaja dewasa atau pemuda, di mana yang termasuk menjadi anggota Gerakan Pemuda, yaitu mereka yang telah melakukan peneguhan sidi dan yang belum menikah.

Persekutuan Gerakan Pemuda biasanya dilakukan seminggu sekali dan ada indikasi yang nampak dalam perubahan warna persekutuan Gerakan Pemuda yang lebih menyukai nuansa modern atau gaya kharismatik misalnya menggunakan lagu–lagu rohani yang populer saat ini, liturgi yang fleksibel, menggunakan alat–alat musik modern, lebih menyukai nuansa yang membakar emosi pemuda dalam hal pemberitaan firman Tuhan dan sebagainya. Hal-hal yang bernuansa seperti kharismatik tersebut sering menjadi perselisihan atau penolakan Majelis

MILIK

(11)

Jemaat terhadap sikap pemuda gereja tersebut, dan yang menjadi alasan utama Majelis Jemaat adalah menjaga “identitas” gereja (GPIB). Konsep pemahaman “identitas” yang dipahami bahwa, identitas merupakan ciri/kekhasan yang membedakan dirinya dengan yang lainnya. Ciri/kekhasan yang dimaksud dapat dilihat dalam ajarannya, liturgi gereja dan lembaga organisasinya. Ketika adanya perubahan dalam ciri/kekhasan tersebut maka akan terjadi

kehilangan identitas diri.21

Persekutuan yang dilakukan masih dalam lingkup GPIB, sedangkan untuk melakukan dialog dengan masyarakat atau lingkungan sekitar hanya bersifat musiman. Maksudnya, adanya dialog atau kerja sama dengan lingkungan sekitar terjadi pada waktu-waktu tertentu seperti natal, paskah dan lain sebagainya.

2. GBI dan Persekutuan Pemuda Gereja

Gereja Bethel Indonesia (GBI) merupakan salah satu gereja yang mengadopsi budaya kharismatik, yang ada di Indonesia. Hakikat persekutuan yang ada dalam GBI didasarkan pada Yesus Kristus dan Roh Kudus. Dalam hal ini Roh Kudus menjadi suatu hal yang utama dalam inti gerakan kharismatik. Bentuk-bentuk persekutuan seperti ibadah raya (kebaktian-kebaktian umum), kebaktian kategorial (komisi anak, remaja, dewasa muda, wanita), Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), dan persekutuan dalam kelompok-kelompok kecil atau yang

sering dikenal dengan istilah cell group. 22 Mereka juga memiliki hubungan kerjasama dengan

gereja-gereja sekitar untuk melakukan kegiatan-kegiatan gerejawi atau kebaktian bersama

(oikumenis).23

       21

 Jan Hendriks, Jemaat Vital & Menarik, (Yogyakarta, Kanisius, 2002), p. 173-174  22 www.gbika.org/home.php

23

 Tata Dasar dan Tata Tertib Gereja Bethel Indonesia, (Jakarta, Badan Pekerja Sinode GBI), p.6

MILIK

(12)

Pola yang berkembang di dalam gereja kharismatik yaitu pola gereja super besar (mega church)24 dan hal ini terlihat jelas di dalam GBI “Keluarga Allah” Surakarta. Di mana bangunan gereja yang sangat besar serta jumlah jemaat yang sangat besar dan dalam sekali ibadah jemaat yang hadir bisa mencapai ribuan jemaat. Dengan banyaknya jumlah anggota jemaat yang hadir dalam setiap ibadah dan mereka tidak mengenal satu dengan yang lainya,

maka akan menimbulkan sikap individualisme.25 Dengan ada sikap tersebut kemudian gereja

menyikapi hal tersebut dengan mengadakan kelompok-kelompok kecil, tetapi yang menjadi pertanyaan apakah kegiatan cell group ini dapat mengubah sikap individualisme yang terjadi dalam jemaat?

Kalau kita melihat secara praksis dalam sebuah persekutuan atau ibadah, hal yang paling menonjol adalah gaya atau kebudayaan kharismatik seperti halnya; mengangkat tangan, menari, bertepuk tangan, menyanyi berulang-ulang, kesaksian-kesaksian dalam ibadah,

berbicara dalam bahasa lidah dan sebagainya.26 Hal inilah yang menjadikan ciri atau karakter

gereja kharismatik yang berkembang dewasa ini dan termasuk di dalamnya GBI “Keluarga Allah” Surakarta.

Apalagi ditambah dengan penggunaan teknologi modern dalam menunjang pelaksanaan persekutuan atau ibadah, musik-musik yang bernuansa kontemporer yang dapat dengan mudah meningkatkan semangat jemaat dalam beribadah dan liturgi yang digunakan lebih bersifat fleksibel. Kemudian timbul sebuah pertanyaan mengapa keberadaan gereja yang seperti ini lebih cepat mengalami pertumbuhan atau perkembangan jemaat? Apa hal-hal tersebut menjadi suatu daya tarik tersendiri atau trend dalam kehidupan jemaat sekarang ini? Atau dengan kata lain penggunaan teknologi dan sistem informasi modern yang digunakan dalam

praktek-       24

 Wilred J.Samuel, Kristen Kharismatik, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2007), p.40  25 Ibid, p.43

26

 Ibid, p.6 

MILIK

(13)

praktek persekutuan atau ibadah, menjadi tujuan gereja dalam rangka perkembangan jumlah jemaat?

Kehidupan persekutuan pemuda GBI “Keluarga Allah” Surakarta, lebih dikenal sebagai Youth Mobile Ministry. Di mana persekutuan ini beranggotakan pemuda yang berusia 16 tahun ke atas dan belum menikah. Yang menarik di sini selain adanya persekutuan pemuda yang dilakukan di gereja, ada pula kelompok-kelompok kecil bagian dari persekutuan pemuda. Kelompok ini sering dikenal dengan sebutan cell group, karena merupakan bagian dari persekutuan maka keanggotaannya lebih kecil (terdiri dari 7-10 orang) dan sifat persekutuan yang dilakukan lebih kepada “sharing” antar anggota sel.

Kreativitas, inovasi, dan lebih fleksibilitas sangat terlihat dalam kehidupan persekutuan pemuda di GBI “Keluarga Allah” Surakarta, hal itu nampak dari nuansa-nuansa baru yang mereka ciptakan guna untuk mencegah terjadinya kejenuhan atau kebosanan dan jenis-jenis kegiatan yang ditawarkan merupakan hal yang menarik perhatian pemuda gereja, misalnya; retreat, bedah buku-buku rohani, penyegaran iman dengan memanggil artis-artis kristen yang

terkenal dan sebagainya.27

Ada indikasi bahwa sikap kreatif, inovatif, dan fleksibel ternyata memiliki kelemahan

tersendiri berupa kurangnya konsistensi dan objektivitas (khususnya dalam hal pengajaran)28.

Hal ini terlihat dalam hal penafsiran Alkitab yang terlalu subjektif, tergantung dari siapa yang menjadi pengkhotbah atau pelayan firman, sehingga tidak jarang yang lebih diutamakan adalah pengalaman pribadi dari pengkhotbah tersebut yang kemudian dilegitimasi manjadi sebuah ajaran dalam kehidupan jemaat. Dengan melihat pemahaman yang demikian, kemudian timbul pertanyaan dari penulis yaitu apa yang telah dilakukan gereja dalam       

27

  www.gbika.org/home.php

28 Rijnardus A.van Kooij & Yam’ah Tsalatsa A, Bermain-main dengan Api, Relasi antara gereja-gereja

Mainstream dan kalangan Kharismatik Pentakosta, (Jakarta, Gunung Mulia, 2007), p. xvi

MILIK

(14)

persekutuan pemuda GBI “Keluarga Allah” Surakarta untuk menghadapi pengaruh dari perkembangan budaya postmodern yang berkembang dengan cepat saat ini?

Dengan melihat penjelasan mengenai persekutuan yang ada di dalam gereja (baik itu GPIB maupun GBI), penulis melihat adanya kelebihan dan kekurangan terutama dalam hal berinteraksi dengan perkembangan budaya. Kemudian timbul pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah hakikat, makna, dan tujuan persekutuan yang ada di dalam gereja, yang relevan dengan perkembangan budaya postmodern?

A.2. Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang tersebut, penulis merumuskan beberapa masalah yang nantinya akan dijadikan bahan untuk melakukan penelitian. Rumusan masalah tersebut antara lain :

1. Apakah yang menjadi hakikat, makna, dan tujuan persekutuan pemuda yang ada di dalam GPIB “Penabur” Surakarta dan GBI “Keluarga Allah” Surakarta dalam rangka berinteraksi dengan perkembangan budaya postmodern saat ini?

2. Apakah yang menjadi tantangan persekutuan pemuda gereja GPIB “Penabur” Surakarta dan GBI “Keluarga Allah” Surakarta ketika berinteraksi dengan perkembangan budaya postmodern sebagai konteks masyarakat sekarang ini?

3. Mengapa persekutuan pemuda menjadi bagian yang vital dalam kehidupan gereja? 4. Seperti apakah persekutuan pemuda gereja yang sebaiknya dikembangkan dalam

rangka berinteraksi dengan perkembangan budaya postmodern saat ini? agar tercipta jemaat yang vital dan transformatif.

MILIK

(15)

B. Judul

B.1 Rumusan Judul

Judul yang direncanakan oleh penulis untuk tesis ini yaitu;

PERSEKUTUAN PEMUDA GPIB “PENABUR” SURAKARTA, GBI “KELUARGA ALLAH” SURAKARTA

DAN TANTANGAN BUDAYA POSTMODERN (Sebuah Studi Teologis)

B.2 Alasan Pemilihan Judul

Adapun alasan penulis memilih judul tersebut antaralain :

1. Menarik dan penting, karena persekutuan (koinonia) merupakan salah satu dari tugas dan panggilan gereja (tridarma gereja), khususnya persekutuan pemuda dalam menghadapi tantangan budaya postmodern. Sehingga penulis merasa perlu untuk melihat pemahaman dan pelaksanaanya dari sudut pembangunan jemaat sebagai salah satu bidang ilmu dalam teologi gereja.

2. Bermanfaat, karena melalui pembahasan tema ini diharapkan ada sumbangan yang berharga bagi gereja, khususnya dalam hal pemahaman dan pelaksanaan perekutuan pemuda di GPIB “Penabur” Surakarta dan GBI “Keluarga Allah” Surakarta.

MILIK

(16)

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulis antara lain :

1. Untuk melihat apa yang menjadi hakikat, makna, dan tujuan persekutuan pemuda yang ada di GPIB “Penabur” Surakarta dan GBI “Keluarga Allah” Surakarta, di tengah perkembangan budaya postmodern saat ini.

2. Ingin mengetahui apa yang menjadi tantangan yang dihadapi oleh persekutuan pemuda di GPIB “Penabur” Surakarta dan GBI “Keluarga Allah” Surakarta terhadap budaya postmodern yang telah berkembang saat ini.

3. Melihat peran dan fungsi pemuda gereja sebagai salah satu bagian yang vital dalam kehidupan gereja untuk kedepannya.

4. Untuk mengetahui model atau jenis persekutuan pemuda gereja yang sebaiknya dikembangkan oleh gereja dalam rangka menghadapi perkembangan budaya modern yang terjadi saat ini, guna terciptanya jemaat yang vital dan transformatif.

D. Metode

D.1 Metode Pembahasan

Dalam membahas tema ini, penulis menggunakan metode deskriptif–analitis, di mana pembahasan akan dimulai melalui pemaparan tentang kenyataan yang ada sehubungan dengan pemahaman dan pelaksanaan persekutuan pemuda di GPIB “Penabur” Surakarta dan GBI Keluarga Allah Surakarta, yang kemudian dianalisa.

MILIK

(17)

D.2 Metode Penggalian Sumber

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh dengan dua cara, yaitu; 1. Penelitian Pustaka

Metode pengumpulan data ini ditempuh dengan meneliti sumber-sumber literatur yang ada, yang berhubungan dengan objek penelitian, misalnya profil gereja yang diteliti dan literatur-literatur tentang persekutuan (koinonia), budaya postmodern dan pembangunan jemaat.

2. Penelitian Lapangan

Penulis menggunakan metode penelitian yaitu Partisipatif–kualitatif, adapun tahap–tahap

yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut :29

a. Persiapan observasi, dalam bagian ini penulis mempersiapkan diri sebelum melakukan observasi dengan maksud dan tujuan agar penulis mumpunyai motifasi yang positif agar observasi dapat dilakukan se–objektif mungkin.

b. Pemilihan objek observasi, yaitu persekutuan pemuda gereja (baik di GPIB “penabur” Surakarta dan GBI “Keluarga Allah” Surakarta).

c. Adapun metode observasi yang digunakan adalah participative observation (penulis melakukan pengamatan dan ikut serta secara langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh persekutuan pemuda gereja), melakukan wawancara terhadap beberapa pemuda gereja, pengurus komisi pemuda, Majelis Jemaat yang bertanggungjawab terhadap komisi pemuda. Metode wawancara yang digunakan adalah bersifat terbuka dan terstruktur, maksudnya dapat memberi ruang yang luas kepada informan untuk       

29

 J.B. Banawiratma, J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, (Yogyakarta, Kanisius, 1993), p.64-69

MILIK

(18)

menceritakan apa yang menjadi pengetahuan dan pengalamannya, dan pertanyaan yang diberikan sama kepada setiap informan, dimana isi pertanyaan sudah difokuskan terlebih dahulu. Bagian ini akan memperoleh data dan fakta yang akan digunakan untuk menganalisa masalah.

d. Melakukan analisa dari data dan fakta yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara.

e. Dalam melakukan analisa, penulis juga menggunakan sumber-sumber literatur yang berguna untuk membantu penulis dalam proses analisa.

MILIK

(19)

E. Sistematika

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bagian ini penulis menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, rumusan judul, tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TANTANGAN BUDAYA POSTMODERN DI INDONESIA.

Bagian ini menjelaskan perkembangan budaya postmodern dan realitas masyarakat postmodern sebagai konteks situasi di Indonesia.

BAB III PERSEKUTUAN PEMUDA GPIB “PENABUR” SURAKARTA, GBI “KELUARGA ALLAH” SURAKARTA DAN TATANGAN BUDAYA POSTMODERN.

Dalam bagian ini, penulis akan melakukan penelitian terhadap persekutuan pemuda GPIB “Penabur” Surakarta dan GBI “Keluarga Allah” Surakarta. Hasil penelitian akan digunakan untuk menganalisa masalah.

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP PERSEKUTUAN PEMUDA DALAM BUDAYA POSTMODERN

Penulis akan memberikan refleksi teologis terhadap persekutuan pemuda dalam menghadapi tantangan budaya postmodern.

BAB V MEWUJUDKAN VITALITAS DALAM PERSEKUTUAN PEMUDA YANG TRANSFORMATIF DAN KREATIF.

Dalam bagian ini, penulis akan melakukan proses transformasi dan kemudian akan memberikan usulan kepada persekutuan pemuda.

BAB VI KESIMPULAN

Bagian ini berisikan kesimpulan dari penulis, sehingga dapat berguna bagi pembangunan jemaat dan perkembangan pemuda gereja yang akan datang.

MILIK

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan: (1) antara pengetahuan mahasiswa tentang ekosistem dengan sikap terhadap pelestarian lingkungan, (2) antara

Penelitian disimpulkan bahwa teknologi force molting pada ayam petelur afkir dapat mengaktifkan kembali produksi telur tanpa mempengaruhi bagian-bagian organ pencernaan

• Pengadilan  Niaga  Jakarta  Pusat  menolak  permohonan  penundaan  kewajiban  pembayaran  utang  (PKPU)  yang  dilayangkan  Bank  of  New  York  Mellon 

Uji coba ini dilakukan untuk pengambilan data dengan menguji efesiensi dari sistem solar panel dalam beberapa hal, yaitu perhitungan berapa lama penggunaan baterai untuk

Kemudian dalam putusan pengadilan disebutkan adanya obyek sengketa yang berupa sertipikat hak atas tanah diputus oleh majelis hakim menjadi tidak berkekuatan hukum,

bahan perbandingan hasil kuat tekan dari pengujian dan permodelan pola retak yang didapat dilihat dari distribusi tegangan dan displacement pada benda yang pada

Semua peserta ujian memainkan tangga nada arpeggio mayor dan minor tiga oktaf a) Memainkan dua gerakan kontras dari konserto atau sonata standar. Dua kutipan dari literatur

Kepada Suara Islam, Nasrulloh menyatakan : “Saya yang turut hadir dalam persidangan menyatakan apa yang dijelaskan dan disampaikan Saksi Habib Novel sudah tepat dan