• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERLIBATAN NEGARA MENGAWAL HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERIBADAH DITENGAH PLURALISME MASYARAKAT INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETERLIBATAN NEGARA MENGAWAL HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERIBADAH DITENGAH PLURALISME MASYARAKAT INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia KETERLIBATAN NEGARA MENGAWAL HAK KEBEBASAN

BERAGAMA DAN BERIBADAH DITENGAH PLURALISME MASYARAKAT INDONESIA

Oleh : Heru Drajat Sulistyo

Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRACT

The first principleof Pancasila, the Almighty GodimpliesanyIndonesianmanshallrespectall religions and beliefsof others, because itis the right ofeverypersontochoose, embraceandpracticetheir religionfreely without interferencefromother parties. Freedom of religionandworshipin Indonesia isguaranteedinlegislation, althoughin reality there areconflicts betweenandinter-religious.

This type of researchis anormativejuridicalempirically.The purposeof thisstudywastodetermine the relationshipbetweenthe stateandreligioninIndonesia, andtoknowthe freedom of religionandworshipinIndonesia.

The relationship betweenthe StateandReligioninIndonesia isable tointerferein thereligioustangin the form oflegislation.Therejuaminaninvitationinthe form ofregulationsto implementthe freedom of religionandworship

B. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia masih menjadi barang mahal, hal ini terbukti masih ada kekerasan, konflik dan radikalisme di kalangan umat beragama, juga terjadi adanya aturan hukum yang dinilai oleh sebagian penduduk beragama belum menjamin hak beragama dan beribadahnya.

Kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan, walaupun dalam kenyataannya konflik berlatar belakang atau mengatas namakan

agama masih sering terjadi dalam masyarakat.

Kebebasan beragama dan beribadah disatu sisi dan larangan penodaan agama disisi yang satunya, merupa-kan dua hal yang saling bersinggungan.

Adanya judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No.1/PNPS/Thn.1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dapat dilihat dari sisi Pemohon maupun Pendukung UU ini.Dari sisi pemohon, UU ini telah merampas kebebasan beragama dan beribadah.Alasannya, selama ini telah banyak terjadi justifikasi penyesatan terhadap kelompok

(2)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia minoritas penganut agama.Mereka

yang memiliki penafsiran lain terhadap ajaran agama dianggap sesat dan menyesatkan dan secara hukum di tuduh telah melakukan penistaan, penodaan, pelecehan terhadap agama, pada hal mereka melakukan itu atas dasar keyakinan mereka sendiri.

Disisi Pendukung UU ini, larangan penodaan agama merupakan alat untuk menjaga kebebasan beragama dan beribadah, karena menjalankan kebebasan ber-agama dan beribadah harus ada kontrolnya.Alat kontrolnya adalah dalam menjalankan kebebasan ber-agama dan beribadah harus ada syarat-syaratnya. Adanya persyarat-an ini, seseorpersyarat-ang tidak boleh menjalankan kebebasan beragama dan beribadah dengan menodai ajaran agama lain.

2. Perumusan Masalah

a. Bagaimanakah hubungan antara negara dengan agama di Indonesia?

b. Bagaimanakah jaminan terhadap hak atas kebebabasan beragama dan beribadah di Indonesia ? 3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui hubungan antara negara dengan agama di Indonesia.

b. Untuk mengetahui adanya jaminan terhadap hak atas kebebabasan beragama dan beribadah di Indonesia. C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Hak Konstitusional

Masya-rakat

Menurut Sri Soemantri, mengutip Mr.J.G. Steenbeek (Sri Soemantri Sri Soemantri 2006:59), menyatakan secara umum konstitusi memuat tiga hal pokok, yaitu adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga Negara, ditetapkannya susunan ketata-negaraan suatu Negara yang bersifat fundamental, dan adanya pemba-gian dan pembatasan tugas ketata-negaraan suatu Negara yang bersifat fundamental.

Selanjutnya menurut Dahlan Thaib dkk (Dahlan Thaib 2008:1) Dengan adanya paham mengenai pembagian kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia maka bisa disebut bahwa suatu konstitusi yang berpemua tindakan atau paham konstitusionalisme. Dengan kata lain, semua tindakan atau perilaku seorang atau penguasa berupa kebijakan yang tidak berdasarkan atau menyimpangi konstitusi berarti tindakan tersebut tidak konstitusional.

Jadi penguasa dalam mengeluarkan kebijakan harus mendahulukan hak-hak konstitusional masyarakat agar kebijakan tersebut mempunyai sifat melindungi masyarakat.

2. Adanya Dinamika Kekerasan Agama dan Pluralisme

Telah ada peraturan per-undangan yang mengatur kebebasan beragama dan beribadah, namun kenyataannya kekerasan atas nama agama tetap saja terjadi dalam masyarakat.

Mohammad Ridwan

(Mohammad Ridwan 2007:45) saat Situbondo Jawa Timur, yang dihuni

(3)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia masyarakat berkarakter keras,

diguncang oleh kekerasan dan penghancuran sejumlah gereja, asumsi yang langsung mengedepan adalah Situbondo dilanda konflik antar pemeluk agama atau Situbondo dilanda konflik antar pemeluk agama, atau Situbondo terjangkit ketidakharmonisan antar pemeluk agama atau pluraslisme agama telah menjadi akar penyebab terjadinya dan maraknya kekerasan.

Masyarakat Indonesia di-benturkan dengan menempatkan pluralisme agama sebagai salah satu sumber konflik sosial.Pada hal adanya pluralisme sebagai suatu kenyataan, pluralisme sebagai modal untuk membangun kerukunan dan mewujudkan masya-rakat beradap.

Menurut Alwi Shihab (Alwi Shihab 1997:40) ada tiga tesis pluralisme, pertama, pengertian pluralisme agama adalah tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dan kebhinenekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.Kosmo-politanisme menunjuk pada suatu realisme dimana aneka ragam agama, ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.Namun interaksi antar penduduk amat minim.Ketiga, seorang pemeluk agama yang hidup dalam realitas pluralismetidak boleh menganalinasi-kan diri dan menempuh jalan uzlah (mengasingkan diri) yang mengakibatkan komunikasi dengan

sesama atau lintas pemeluk agama menjadi rusak.Manusia harus merealisasikan diri secara sosiologis untuk menjadi pilar dan arsitek moral teologis yang mampu menghadirkan nuansa keharmonisan dan kebahagiaan sesamanya. Tanpa humanitas ini, manusia tidak akan memperolehkebermaknaan

keberagamannya.

Menurut Mohammad Mahfud (Mohammad Mahfud 2009:22) „Tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai sesama-nya sebagaimana mencintai dirisesama-nya sendiri’, demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Sabda itu mengajarkan manusia untuk membangun relasi social universal, yang masing-masing diri berkewajiban berlomba saling mencintai, tidak saling menempatkan diri sebagai sosok yang paling superior, predator, ningrat dan menentukan nasib sesamanya. Meski ada sesama yang berbeda agama, tidak lantas dialinasikan dan dibenci, tetapi sebaiknya dicintai dan disayangi. 3. Kebebasan Beragama dan

Beribadah dalam Perspektif Islam

Kebebasan beragama dan beribadah, dapat dirujuk dalam Surat Al-Baqarah (2):256, yaitu:‟tidak ada paksaan untuk

(memasuki) agama

(Islam).Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.

Menurut Quraish Shihab (Quraish Shihab 2007:255), yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama

(4)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia adalah menganut aqidahnya. Ini

berarti jika seseorang telah memilih suatu aqidahnya, maka ia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, di berkewajiban melaksanakan perin-tah-perintahnya.‟tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama berarti Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai.Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan.

4. Adanya Klaim Kebenaran Untuk Melakukan Kekerasan

Menurut Mohammad

Mahfud(Mohammad Mahfud 2009:23), masih ada komunitas beragama yang terseret pada sikap eksklusif, mengutamakan klaim kebenara (truth claims), arogansi etnis dan utamanya keserakahan kekuasaan, dendam dan fraksi-fraksi politik yang dibenarkan melalui pola manipulative dokrin agama.

Selanjutnya Alwi Shihab (Alwi Shihab 1997:40), di Bosnia misalnya, umat-umat ortodok, Katolik dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, Ketiga cucu Nabi Ibrahim AS, umat Yahudi, Kristen dan Islam salng menggunakan bahasa kekerasan. Di Sudan, senjata dijadikan alat komunikasi antara umat Islam dan Kristen. Di Kasmir, umat Hindu dan Islam saling berlomba untuk berkuasa secara deskrutif. Yang menyayat hati, ketegangan antar pemeluk agama ini telah

menjadikan agama sebagai elemen utama dalam mesin penghancur manusia, suatu kenyataan yang sangat bertentangan dengan ajaran semua agama diatas permukaan bumi.

Doktrin agama tidak pernah mengajarkan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap pemeluk agama lain, sebaliknya doktrin agama selalu mengajarkan agar umatnya saling menyayangi, melindungi, tolong menolong dan seterusnya.

Menurut Pendeta A.H.L. Lowing dikutip Sidik Maulana (Sidik Maulana 2009:4), pada umumnya massa yang menjadi sasaran tersebut masuk pada kategori “rentan”, gampang dipeng-aruhi dan tanpa pikir panjang. Sebab tidak mampu lagi mengendalikan emosi diri dan mudah melakukan berbagai perbuatan kejahatan seperti perusakan dan pembakaran rumah-rumah ibadah dan berbagai fasilitas umum lainnya.

D. METODE PENELITIAN Menurut Setiono (2005:3) metode adalah alat untuk mencari jawab. Jadi menggunakan suatu metode (alat) harus mengetahui dulu apa yang dicari.

Selanjutnya Abdul Kadir

Muhammad(Abdul Kadir

Muhammad 2004:7) penelitian adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris research, yang terdiri dari re dan search artinya mencari.Jadi research atau penelitia adalah kegiatan mencari ulang, mengungkapkan kembali gejala

(5)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia atau kenyataan yang sudah ada

untuk direkontruksi dan diberi arti guna memperoleh kebenaran yang dipermasalahkan.Metode penelitian digunakan untuk mengumpulkan data guna mendapat jawaban atas pokok permasalahan, sehingga data yang diperoleh dari penelitian dapat dipertanggungjawabkan dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan.

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder (bahan pustaka), maka tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji (2004:13) penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis nor-matif.Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji (2004:7) pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang bertitik tolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan diteliti dilapangan untuk mem-peroleh faktor pendukung dan hambatan-hambatannya. 3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka, dokumen dan arsip

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sumber data sekunder, yang terdiri :

a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan hak kebebasan beragama dan beribadah.

b. Bahan hukum sekunder, seperti buku-buku, jurnal. 5. Analisa Data

Menurut Lexy J. leong (1990:3) analisis data adalah proses mengatur urutann data mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Model analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpulkan kemudian dikelompokan selanjutnya dihubungkan satu sama lainnya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna serta dilakukan penilaian-penilaian kualitatif (non statistik).

E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

1. Hubungan Antara Negara Dengan Agama di Indonesia

Pancasila sebagai dasar Negara, yang rumusan autentiknya terdapat dalam Pembukaan Alinea keempat UUD 1945.Sila Pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar rohani dan dasar moral kehidupan bangsa, juga mengandung ajaran toleransi beragama.

Adanya Sila Pertama Pancasila, berarti setiap manusia di Indonesia

(6)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia berkewajiban untuk menghormati

agama dan kepercayaan orang lain. Juga dapat diartikan menjadi hak setiap orang untuk memilih, memeluk dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya tanpa gangguan dan mengganggu pihak lain.Dengan adanya Sila Pertama Pancasila maka paham atheisme dilarang di Indonesia, juga larangan melakukan penodaan agama.

Negara memberikan kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana diatur Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 29 UUD 1945.

Pasal 28E ayat (1), sebagai berikut :

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih peker-jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Pasal 29 UUD 1945, sebagai berikut :

(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Negara menjamin

kemer-dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.

Menurut Yusril Ihza Mahendra (Yusril Ihza Mahendra 1996:105), Pasal 29 UUD 1945 dilihat dari sudut teologi keagamaan, yaitu kebebasan untuk memeluk agama itu bersifat transenden (bersumber dari Tuhan) yang memberikan kebebasan pada manusia untuk

memeluk agama-agama secara bebas tanpa paksaan dari siapapun, selain itu Pasal 29 mengatur dengan tegas kebebasan memeluk agama bukan kebebasan untuk tidak menganut agama.

Selanjutnya menurut Ismail Sunny (Ismail Sunny 1982:87), hubungan antara 2 (dua) ayat dalam dalam Pasal 29 yaitu bahwa”….agama dan kepercayaan yang boleh diberi hak di Negara Repulik Indonesia adalah agama dan kepercayaan yang tidak bertentangan atau membahayakan dasar negara Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan paham atheisme secara tegas membahayakan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena paham tidak berTuhan itu bertujuan menghapuskan kepercayaan terhadap Tuhan.

Hubungan antara Sila Pertama Pancasila dengan Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 29 UUD 1945 dalam hal kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia, yaitu kebebasan beragama dan beribadah didasarkan pada Sila Pertama Pancasila “ Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kemudian menjiwai Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 29 UUD 1945.

Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana pendapat Azhary yang menyatakan unsur-unsur Negara Hukum Indonesia (Azhary 1995:143) sebagai berikut:

a. Hukumnya bersumber pada Pancasila;

b. Berkedaulatan rakyat;

c. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi;

(7)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia d. Persamaan dalam hukum dan

pemerintahan;

e. Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya;

f. Pembentukan undang-undang oleh Presiden bersama-sama dengan DPR;

g. Dianutnya sistem DPR. Oemar Seno Adji (Oemar Seno Adji 1985:38) menyampaikan salah satu ciri Negara Hukum Indonesia adalah tidak adanya pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan negara, karena agama dan negara berada dalam hubungan yang harmonis.

Menurut Muhammad Tahir (Muhammad Tahir Azhari 1992:69), satu ciri Negara Hukum Indonesia adalah adanya hubungan yang erat antara agama dengan negara yang bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya Muhammad Tahir (Muhammad Tahir 1992:74) menyampaikan Negara Hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan Negara baik secara mutlak maupun secara nisbi karena hal itu akan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Jadi hubungan antara Negara dengan agama di Indonesia sebagai berikut : Indonesia adalah Negara Hukum yang dalam penyelengaraan negara dijiwai oleh Pancasila, tetapi Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler dan terjadi hubungan yang erat antara negara dan agama, sehingga negara dapat mengatur agama dalam hal ajaran agama memerlukan campur tangan

negara, pengaturan tersebut berbentuk peraturan perundang-undangan.

2. Jaminan Terhadap Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah Di Indonesia.

Kebebasan beragama dan beribadah atau kebebasan beragama (freedom of religion) adalah salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar (basic).Hak atas kebebasan beragama telah diakui oleh masyarakat dunia sebagai hak individu yang melekat secara langsung pada setiap manusia, yang wajib dilindungi, diakui, dihormati, oleh pemerintah, negara, dan setiap manusia demi kehormatan dan melindungi harkat dan martabat manusia.

Jaminan kebebasan beragama dan beribadah atau kebebasan beragama (freedom of religion) tidak bersifat absolut atau mutlak, melainkan kebebasan yang terbatas atau terikat oleh batasan-batasan hak-hak beragama pihak lain. Pembatasan atas kebebasan beragama dan beribadah melalui atauran yang dibuat negara (regulasi) harus menjamin rasa keadilan, kedamaian, kesamaan derajat (egalitarian) antar pemeluk agama.

Di Indonesia ada jaminan konstitusional untuk melaksanakan kebebasan beragama dan beribadahantara lain :

a. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, menyatakan, „Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,

(8)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali‟.

b. Pasal28I ayat (1) UUD 1945, menyatakan, „Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.‟

c. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, menyatakan, „Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.‟

d. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia), yang mengatur kebebasan beragama dan beribadah, yaitu :

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin

kemer-dekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan

kepercayaannya itu.

e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional (ICCPR yaitu International Convenant on Civil and Political Right), juga

memuat kebebasan beragama dalam Article 18 ICCPR.)

f. Undang-undang Nomor 1 / PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang sudah diundangkan dengan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang.

g. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada pasal 156a menyatakan, „Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Undang-undang Nomor 1 /PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang sudah diundangkan dengan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang telah diajukan permohonan pengujian (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (Putusan Mahkamah Kontitusi No. 140/PPU-VII/2009 : 3) oleh Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Masyarakat Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

(9)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia Perhimpunan Bantuan Hukum dan

Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, KH. Maman Imanul Haq.Selanjutnya dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya (Putusan Mahkamah Kontitusi No. 140/PPU-VII/2009:506).

Mahkamah Konstitusi menyatakan (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PPU-VII/2009:300), bahwa dalam bentuk apapun, baik dilakukan perorangan maupun kelompok. Penodaan dan penyalahgunaan agama adalah tindakan yang tidak bias dibenarkan dalam pandangan hukum.

Jadi tidak dibenarkan melakukan melakukan penistaan agama.

Menurut Ismail Sunny (Ismail Sunny 1982:87), Undang-undang No. 1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, merupakan langkah awal untuk menyelamatkan dan mengamankan Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, bahkan pengaturan ini harus dilanjutkan dengan membentuk UU lainnya yang mengatur lebih lanjut tentang jaminan hak atas kebebasan beragama dan beribadah yang dijiwai pembukaan dan UUD 1945. Pasal 1 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965menyatakan, „Setiap orang dilarang dengan sengaja

dimuka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupaikegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu‟.

Hal yang diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tersebut sudah sesuai dengan Sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang maha Esa, dan Pasal 29 UUD 1945 yang melarang melakukan penistaan, penodaan, penyalahgunaan agama di Indonesia, juga telah sesuai dengan Pasal 28E dan Pasal 28I UUD 1945 yang mengatur bahwa kebebasan beragama dan beribadah merupakan hak asasi setiap orang, sehingga dalam Undang-undang Nomor 1 / PNPS/1965 yang dilarang adalah melakukan kegiatan yang menodai, menista, atau menjalankan agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama tersebut.

Dalam hubungannya dengan jaminan kebebasan beragama dan beribadah, maka pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh, tidak hanya sekedar perkataan, akan tetapi yang lebih penting adalah perbaikan pengaturan yang terkait dengan kebebasan beragama dan beribadah agar tidak terjadi lagi kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa.

F. PENUTUP 1. Kesimpulan

(10)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia a. Hubungan antara Negara

dengan agama di Indonesia, yaitu Indonesia adalah Negara Hukum yang dalam penyelengaraan negara dijiwai oleh Pancasila, tetapi Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler dan terjadi hubungan yang erat antara negara dan agama, sehingga negara dapat mengatur agama dalam hal ajaran agama memerlukan campur tangan negara, pengaturan tersebut berbentuk peraturan perundang-undangan.

b. Di Negara Indonesia ada jaminan konstitusional untuk melaksanakan kebebasan beragama dan beribadah. 2. Saran-saran

a. Hendaknya pemerintah menata hubungan yang baik antar dan inter pemeluk agama dengan membuat suatu regulasi (aturan) yang dapat mengakomodir semua pemeluk agama

b. Kepada pemeluk agama hendaknya dalam men-jalankan agama dan beribadah tetap ada batasan kebebasan yaitu seseorang tidak boleh menjalankan kebebasan beragama dan beribadah dengan menodai ajaran agama lain.

c. Berhubung dalam masyarakat banyak timbul konflik inter agama Islam, maka wewenang melakukan penafsiran atas ajaran agama Islam hendaknya diserahkan

kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), selanjutnya Pemerintah (Negara) yang melaksanakan penafsiran tersebut.

DAFTAR PUSTKA

Buku-buku

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Alwi Shihab, Islam Insklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,Mizan,Bandung,1 997.

Azhari, Negara Hukum Indonesia:Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI-Press, Jakarta, 1995

Dahlan Thaib, dkk.,Teori dan Hukum Konstitus, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Ismail Suny, Mencari Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Mohammad Mahfud, Islam Tanpa Darah, Islam membuka Jalan Rahma, Permata Hati, Malang,2009.

Mohammad Ridwan, Agenda Kekerasan Agama (Model-Model Pelanggaran Hak beragama dibalik Jubah Agama, Titian Kalam, Suarabaya, 2007.

Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum:Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,

(11)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia Implementasinya, pada

Periode Negara Madinah dan Masa kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992. Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas

Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985.

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,Volume 1, Lentera Hati Tangerang,2007.

Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, UNS, Surakarta, 2005.

Sidik Maulana, Beragama dengan Cerdas,LP-Progresif,

Jakarta,2009.

Soejono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Sri Soemantri Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitus,PT Alumni, Bandung, 2006. Yusril Ihza Mhendra, Dinamika

Tata Negara

Indonesia:Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Peraturan perundang undangan

Undang-undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-undang Nomor 1 / PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama yang sudah diundangkan dengan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Ber-bagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 1 / PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945.

(12)

Heru Drajat Sulistyo ,Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah ditengah Pluralisme Masyarakat Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan

Beberapa pengertian tentang warga negara juga diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 26 menyatakan "warga negara adalah bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah mendasari dan menjiwai sila- sila,Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Secara filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut sebagai

Unsur inilah yang kemudian dituangkan dalam pokok pikiran keempat yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu bahwa Bangsa Indonesia mendasarkan pada Ketuhanan Yang Maha

Sedangkan pasal 29 ayat 1 UUD 1945 berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” Terhadap pasal 29 ayat 1 UUD 1945, Hazairin memberi komentar antara

UUD 1945 juga menegaskan kembali rumusan sila pertama Pancasila sebagaimana tertulis dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa

Pada kajian yang dilakukan oleh Muwaffiq Jufri, 52 terdapat setidaknya dua kelemahan mendasar dari pola pengaturan hak dan kebebasan beragama dalam UUD NRI 1945