• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Kepok - TRI FEBY ADINSYAH BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Kepok - TRI FEBY ADINSYAH BAB II"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pisang Kepok

Pisang kepok adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari

kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan dapat tumbuh di dataran

rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut.

Pisang dapat tumbuh pada iklim tropis basah, lembab, dan panas dengan curah

hujan optimal adalah 1.520–3.800 mm/tahun dengan 2 bulan kering (Munajdim,

1984 dalam Sari, 2008).

Klasifikasi tanaman pisang kepok (Steenis et al., 2008) adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Plantae

Division : Spermatophyta

Classis : Angisopermae

Orde : Monokotyledonae

Family : Musaceae

Genus : Musa

Species : Musa paradisiaca L.

Tanaman pisang kepok yang utuh memiliki bagian-bagian yang penting di

antaranya daun, batang, buah, jantung, dan bagian umbi atau bonggol pisang.

Bagian-bagian tersebut memiliki berbagai macam manfaat, misalnya buah

(2)

bagi manusia. Kandungan mineral dan vitamin yang berperan antara lain kalium,

magnesium, fosfor, besi, vitamin C, dan B kompleks. Dari segi varietas,

kandungan gizi buah pisang tidak berbeda jauh antara satu varietas dengan

varietas lainnya (Suprapti, 2005 dalam Sari, 2008)

Tabel 2.1 Komposisi substrat kulit pisang kepok berdasarkan berat basah.

Sumber : Dewati (2008).

2.2 Starter

Starter adalah populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang

siap diinokulasikan pada media fermentasi (Dewan IPTEK dan Industri , 2001).

Media starter biasanya identik dengan media fermentasi. Media ini diinokulasi

dengan biakan murni dari agar miring yang masih segar. Starter baru dapat

digunakan 3-6 hari setelah diinokulasi dengan biakan murni (Dewati, 2008; Retno

& Nuri, 2011). Hal tersebut dikarenakan Saccharomyces cerevisiae pada fase log

(3)

pertumbuhan. Starter yang telah berumur 9 hari (dihitung setelah diinokulasi

dengan biakan murni) tidak dianjurkan digunakan lagi karena kondisi fisiologis

tidak optimum untuk fermentasi dan tingkat kontaminasi mungkin sudah cukup

tinggi (Purwoko, 2009). Volume starter disesuaikan dengan volume media

fermentasi dan volume starter tidak kurang dari 5% volume media yang akan

difermentasi (Prescott & Dunn, 1959 dalam Retno & Nuri, 2011).

2.3 Fermentasi

Fermentasi merupakan suatu cara pengolahan melalui proses

memanfaatkan penguraian senyawa organik sebagai aseptor elektron terakhir

untuk pembentukan energi (Timotius, 1982). Klasifikasi fermentasi berdasarkan

substratnya dibedakan menjadi fermentasi karbohidrat dan senyawa nitrogen

organik. Pada fermentasi karbohidrat, karbohidrat tersebut diubah menjadi

senyawa-senyawa lebih sederhana dengan bantuan enzim yang berasal dari

mikroorganisme (Timotius, 1982). Mikroorganisme yang melakukan fermentasi

membutuhkan energi yang umumnya diperoleh dari glukosa (Timotius, 1982).

Fermentasi sebenarnya proses yang tidak memerlukan atau tidak melibatkan

oksigen (anaerob) tetapi mikroorganisme fermentif terkadang memerlukan

oksigen untuk proses metabolisme lainnya maupun pertumbuhannya (Purwoko,

2009)

2.4 Bioetanol

Bioetanol merupakan cairan hasil proses fermentasi gula dari sumber

karbohidrat (pati) menggunakan bantuan mikroorganisme (Wijaya, 2009).

(4)

dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) dengan

beberapa metode di antaranya dengan hidrolisis asam dan secara enzimatis.

Glukosa yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses fermentasi atau peragian

dengan menambahkan yeast atau ragi sehingga diperoleh bioetanol sebagai

sumber energi (Sari 2009).

Bioetanol secara umum dapat digunakan sebagai bahan baku industri

turunan alkohol, campuran bahan bakar untuk kendaraan (Wijaya, 2009).

Bioetanol yang digunakan sebagai bahan bakar mempunyai beberapa kelebihan,

di antaranya lebih ramah lingkungan, karena bahan bakar tersebut memiliki nilai

oktan 92 lebih tinggi dari premium nilai oktan 88, dan pertamax nilai oktan 94

(Wijaya, 2009). Hal ini menyebabkan bioetanol dapat menggantikan fungsi zat

aditif yang sering ditambahkan untuk memperbesar nilai oktan. Zat aditif yang

banyak digunakan seperti metal tersier butil eter dan Pb tetapi zat aditif tersebut

sangat tidak ramah lingkungan dan dapat bersifat toksik (Murdiatmo, 2006).

Bioetanol juga merupakan bahan bakar yang tidak mengakumulasi gas karbon

dioksida (CO2) dan relatif kompetibel dengan mesin mobil berbahan bakar bensin.

Kelebihan lain dari bioetanol ialah cara pembuatannya yang sederhana yaitu

fermentasi menggunakan mikroorganisme tertentu (Komarayati & Gusmailina,

2010).

Proses pembuatan bioetanol secara sederhana melalui beberapa tahap

yaitu pembuatan tepung, hidrolisis pati menjadi glukosa, fermentasi atau

perubahan glukosa menjadi etanol atau bioetanol, dan destilasi bioetanol (Fitriana,

2009).

(5)

a. Pembuatan tepung kulit pisang

Kulit pisang sebagai bahan baku dikupas dan dibersihkan dari kotoran.

Kulit pisang kemudian dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan dengan cara dijemur

dan diangin-anginkan sampai kering. Kulit pisang dibuat kering bertujuan agar

lebih awet dan menghilangkan kandungan airnya sehingga diperoleh kulit yang

kering dan dapat disimpan sebagai cadangan bahan baku. Kulit pisang kering

diblender sehingga menjadi serbuk halus. Serbuk kulit pisang diayak sehingga

diperoleh serbuk kulit pisang yang lebih halus dan homogen.

Gambar 2.1 Tepung kulit pisang.

b. Hidrolisis pati menjadi glukosa

Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dalam proses pembuatan

bioetanol, karena proses ini menentukan jumlah glukosa yang dihasilkan untuk

kemudian dilakukan fermentasi menjadi bioetanol (Putri & Sukandar, 2008).

Prinsip hidrolisis pati adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit

dekstrosa atau monosakarida yaitu glukosa (C6H12O6) (Fitriana, 2009; Widyastuti,

2006). Pemutusan ikatan pada pati atau karbohidrat menjadi glukosa dapat

menggunakan beberapa metode diantaranya yaitu metode kimiawi (hidrolisis

(6)

HCl sebagai katalisator sehingga proses hidrolisis dapat berlangsung lebih cepat.

Hidrolisis asam lebih mudah, biayanya murah, dan cepat menghasilkan glukosa

(Widyastuti, 2006: Retno & Nuri, 2011).

Gambar 2.2 Proses hidrolisis pati menjadi glukosa kulit pisang kepok.

c. Fermentasi glukosa menjadi bioetanol

Proses hidrolisis pati dengan metode katalis asam akan menghasilkan

glukosa sebagai bahan pembuatan bioetanol. Bioetanol yang dihasilkan dapat

digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk mengatasi krisis energi.

Pembuatan bioetanol dari glukosa melibatkan proses fermentasi. Fermentasi

adalah perubahan 1 mol glukosa menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2 (Sa’id,

1987). Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan yeast atau ragi untuk

mengkonversi glukosa menjadi bioetanol yang bersifat anaerob fakultatif yaitu

tidak memerlukan okasigen (O2) (Timotius, 1982). Saccharomyces cerevisiae

merupakan mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi alkohol karena dapat

berproduksi tinggi, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar

(7)

glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur

Embden Meyerhof Parnas (Fardiaz, 1992; Purwoko, 2009). Asam piruvat

selanjutnya mengalami reaksi dekarboksilasi menjadi asetaldehid dan mengalami

reaksi dehidrogenasi menjadi etanol (Purwoko, 2009).

Gambar 2.3 Proses fermentasi menjadi bioetanol.

d. Destilasi Bioetanol

Bioetanol hasil proses fermentasi dipisahkan dengan cara disaring,

kemudian filtrat didestilasi sehingga dapat dihasilkan bioetanol yang bebas dari

kontaminan atau pengotor yang terbentuk selama proses fermentasi. Bioetanol

yang dihasilkan dari destilasi pertama biasanya memiliki kadar sebesar 95 %.

Destilasi merupakan proses pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya, titik

didih etanol murni sebesar 78oC, sedangkan air adalah 100oC, dengan pemanasan

larutan pada suhu rentang 78 - 100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol

menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan

konsentrasi 95% volume (Soebagyo, 1980 dalam Hasanah, 2008). Bioetanol

dengan konsentrasi 95 % belum dapat dijadikan sebagai bahan bakar. Bioetanol

yang digunakan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan harus

(8)

mempunyai grade sebesar 99,5 – 100 % volume. Oleh karena itu, bioetanol hasil

destilasi harus ditambahkan suatu bahan yang dapat menyerap atau menarik

kandungan air yang masih terdapat dalam bioetanol, bahan yang sering digunakan

diantaranya yaitu, CaCO3, dan zeolit atau dilakukan destilasi vakum, sehingga

dapat dihasilkan bioetanol yang lebih murni yang dapat dijadikan sebagai bahan

bakar (Komarayati & Gusmailina, 2010).

2.5 Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae adalah fungi uniseluler yang juga disebut ragi,

berbentuk bulat atau oval, berukuran 5-12 μm, bermultifikasi membentuk bud

(bulatan), dan setelah dewasa akan pecah menjadi sel induk (Pelczar & Chan,

1988; Fardiaz, 2009).

Klasifikasi S. cerevisiae (Fardiaz, 1992) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Fungi

Division : Ascomycota

Class : Ascomycetes

Order : Endomycetales

Familia : Saccharomycetaceae

Genus : Saccharomyces

Species : Saccharomyces cerevisiae

S. cerevisiae dapat melakukan fermentasi alkohol yaitu memecah glukosa

melalui jalur glikolisis (EMP) menjadi alkohol dan kanbon dioksida. S. cerevisiae

banyak digunakan untuk membuat alkohol dengan kadar yang tinggi dan dapat

(9)

Persamaan reaksi (Sa’id, 1987) sebagai berikut:

C6H12O6 S. cerevisae  2C2H5OH + 2CO2

Glukosa Alkohol Karbondioksida

Khamir yang bersifat fermentatif, 70% dari glukosa di dalam substrat akan

diubah menjadi karbondioksida dan alkohol sedangkan sisanya sebanyak

sedangkan sisanya sebanyak 30% tanpa adanya nitrogen akan diubah menjadi

produk penyimpanan cadangan (Fardiaz, 1992).

2.6 Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Proses Fermentasi Bioetanol

Proses fermentasi gula menjadi alkohol dengan bantuan ragi/starter

tergantung dari faktor – faktor yang mempengaruhinya antara lain kadar gula,

suhu, pH, nutrisi yang dibutuhkan, dan waktu fermentasi.

2.6.1 Kadar gula/Substrat

Hampir semua mikroorganisme dapat memfermentasikan glukosa,

fruktosa, sukrosa, dan galaktosa sampai kadar gula optimum. Gula yang umum

dapat difermentasikan oleh S. cerevisiae adalah glukosa, galaktosa, maltose,

sukrosa, laktosa,trehalosa, melibiosa, dan raffinosa (Fardiaz, 1992). Konsentrasi

gula yang baik antara 10 – 18%, apabila dipergunakan konsentrasi lebih dari 18%

akan mengakibatkan pertumbuhan ragi terhambat dan waktu fermentasi lama

mengakibatkan banyak gula yang tidak terfermentasi, sehingga hasil alkohol akan

rendah begitu juga jika konsentrasi kurang dari 10%, maka alkohol yang

(10)

2.6.2 Suhu

Suhu berpengaruh terhadap proses fermentasi melalui dua hal yaitu:

Secara langsung mempengaruhi aktifitas enzim di dalam sel mikroorganisme, dan

secara tidak langsung mengurangi hasil alkohol karena penguapan (Prescott &

Dunn, 1959 dalam Retno & Nuri, 2011). Pertumbuhan mikroorganisme,

pembentukan produk, reaksi pertumbuhan mikrobial juga dipengaruhi oleh suhu

(Sa’id, 1987). Suhu yang baik untuk pertumbuhan S. cerevisiae sekitar 250 – 300 C

dan suhu maksimum 350 – 470 C (Fardiaz,1992).

2.6.3 pH

pH yang cocok untuk S. cerevisiae untuk proses fermentasi berkisar 4,5 –

5, kisaran pH tersebut juga dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme jenis

lain (Rhonny & Danang, 2003 dalam Retno & Nuri, 2011). Pertumbuhan

mikroorganisme sebagian besar sangat peka terhadap perubahan pH, akan tetapi

setiap kelompok mikroorganisme mempunyai kisaran nilai pH optimum tertentu.

2.6.4 Nutrisi yang dibutuhkan

Bahan nutrisi yang ditambahkan kedalam bahan yang difermentasi adalah

zat –zat yang mengandung fosfor dan nitrogen seperti super phosphat, ammonium

sulfat, ammonium phosphat, urea selain itu juga biasa ditambahkan magnesium

sulfat (Elevri & Surya, 2006; Dewati, 2008). Unsur C, H, O, N, dan P

merupakan unsure makro yang dibutuhkan dalam jumlah besar maka jika

kekurangan unsur – unsur tersebut maka mikroorganisme tidak akan tumbuh

dengan baik atau berkembang biak (Fardiaz, 1992). Hal ini mempengaruhi produk

(11)

kejenuhan yang akan menghambat pertumbuhan sel yang mempengaruhi produk

fermentasi.

2.6.5 Waktu Fermentasi

Waktu fermentasi yang diperlukan antara 3–14 hari jika terlalu cepat S.

cereviseae masih dalam pertumbuhan sehingga alkohol yang dihasilkan dalam

jumlah sedikit dan jika terlalu lama akan mati maka alkohol yang dihasilkan tidak

maksimal. Lama fermentasi menghasilkan kadar bioetanol tertinggi untuk

fermentasi kulit pisang kepok yaitu 6 hari (Retno & Nuri, 2011). Semakin lama

waktu fermentasi maka kadar yang dihasilkan semakin tinggi sampai waktu

tertentu (Asngad & Suparti, 2009).

Gambar

Tabel 2.1 Komposisi substrat kulit pisang kepok berdasarkan berat basah.
Gambar 2.1 Tepung kulit pisang.
Gambar 2.2 Proses hidrolisis pati menjadi glukosa kulit pisang kepok.
Gambar 2.3 Proses fermentasi menjadi bioetanol.

Referensi

Dokumen terkait

Judul yang diajukan adalah “ Pengaruh Volume Inokulum Pada Produksi Bioetanol dari Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca L. Kepok Kuning) menggunakan Zymomonas

Aktivitas crude enzim amilase yang dihasilkan oleh Aspergillus oryzae pada media kulit pisang kepok (kulit pisang kepok : larutan nutrisi = 1:8) selama waktu fermentasi

Sintesis kulit pisang kepok menjadi bioetanol dilakukan melalui proses hidrolisa asam dengan katalis HCl 0,5 N; proses fermentasi dengan ragi Saccharomyses

Pada pembuatan bioetanol perlakuan pertama menggunakan hidrolisis pati menggunakan asam yang digunakan untuk mengubah lignoselulosa menjadi bioetanol dengan tujuan

Judul : Pemanfaatan Pati Kulit Pisang Kepok ( Mussa paradisiaca linn ) sebagai bahan pengisi tablet paracetamol 500mg.. Kategori

Komposisi terbanyak kedua kulit pisang kepok adalah karbohidrat 18,50% dimana karbohidrat dapat dikonversi menjadi glukosa yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan

Produksi etanol/bioetanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)

Reaksi yang terjadi pada proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa yaitu : C6H10O5n + n H2O ---> nC6H12O6 Selulosa Air Glukosa 2.7.3 Fermentasi Fermentasi merupakan suatu proses