• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK UWI SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DAN BAHAN DIVERSIFIKASI PANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROSPEK UWI SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DAN BAHAN DIVERSIFIKASI PANGAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

26

ABSTRAK

Prospek uwi sebagai pangan fungsional dan bahan diversifikasi pangan. Uwi (Dioscorea alata) merupakan tanaman pangan lokal yang pros-pektif dan dapat digunakan sebagai pangan fung-sional dan bahan diversifikasi pangan. Uwi mengan-dung karbohidrat dan protein tinggi namun rendah kadar gula. Berbagai penelitian telah mengung-kapkan manfaat uwi bagi kesehatan, seperti dapat digunakan sebagai pengganti nasi untuk penderita diabetes, mengurangi risiko terkena kanker payu-dara dan penyakit kardiovaskular, serta dapat digunakan sebagai obat terapi pada penderita os-teoporosis dan memelihara kesehatan usus. Budi-daya tanaman uwi relatif mudah dan tidak memer-lukan perawatan khusus, masa dormansi umbi yang panjang dapat dipersingkat hingga 1 bulan, satu umbi berukuran sedang dapat menghasilkan 16– 24 batang bibit. Untuk mempermudah proses peng-olahan uwi, sebaiknya dilakukan perbaikan genetik umbi uwi yang memiliki bentuk seragam dan kan-dungan nutrisi yang baik. Prospek uwi sebagai pangan fungsional dan bahan diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan proses pembuatan tepung yang memiliki kapasitas antioksidan yang baik selanjutnya dapat digunakan untuk pembuatan beragam produk olahan modern seperti roti, kue kering (cookies), flakes, muffin, mie atau bihun. Selain itu sosialisasi dan promosi mengenai ke-unggulan uwi dari segi kesehatan juga diperlukan untuk meningkatkan nilai ekonomi uwi.

Kata kunci: Dioscorea alata, pangan fungsional, budidaya tanaman, diversifikasi.

ABSTRACT

Prospects water yam as functional food and food diversification. Water yam (Dioscorea alata) is a prospective local food crops and can be used as a functional food and food diversification. Water yam contains high carbohydrates and pro-tein but low sugar content. Various studies have revealed water yam for health benefits, it can be used as substitute rice for diabetics, reduces the

risk of breast cancer and cardiovascular disease, can be used as a therapeutic drug in patients with osteoporosis, and intestinal health. Water yam cultivation is easy and requires no special treat-ment, long tuber dormancy period can be shortened up to one month, and one medium -sized tuber can produce 16–24 stems of seedlings. The uwi process-ing can be facilitatprocess-ing by genetic improvement to have a uniform tuber shape and good nutritional content. Prospects uwi as functional food and food diversification can be done by making flour which has good antioxidant capacity and then can be used to manufacture a variety of modern processed prod-ucts such as bread, pastry, flakes, muffins, noodles or vermicelli. Socialization and promotion consum-ing uwi benefit for health also necessary to increase uwi economic value.

Keywords: Dioscorea alata, functional food, culti-vation, diversification

PENDAHULUAN

Uwi (Dioscorea alata) merupakan tanaman pangan lokal yang prospektif dan dapat digu-nakan sebagai sumber pangan fungsional. Di samping mengandung karbohidrat yang tinggi, berbagai penelitian (Wanasundera dan Ravin-dran 1994; Lebot et al. 2005) telah membuk-tikan bahwa uwi mengandung protein tinggi namun rendah kadar gula. Hasil penelitian tersebut sangat membantu penderita diabetes yang harus membatasi konsumsi gula di dalam makanan mereka. Selain itu, uwi juga memiliki kandungan vitamin C dan layak digunakan se-bagai sumber mineral yang baik (Wanasundera dan Ravindran 1994). Hsu et al. (2006) menge-mukakan bahwa konsumsi uwi bermanfaat untuk kesehatan mikloflora usus dan sebagai antioksidan. Lubag et al. (2008) menjelaskan bahwa uwi memiliki kandungan antioksidan setara atau lebih tinggi dari 100

μ

g BHA ( butyl-hydroxyanisole) dan

α

-tokoferol.

Uwi termasuk ke dalam suku uwi-uwian (Dioscorea spp.). Di dunia, Dioscorea spp. terma-suk ke dalam 15 komoditas pertanian penting, dan menduduki peringkat ke-4 dalam kelompok komoditas tanaman umbi-umbian penting setelah kentang, ubi kayu, dan ubi jalar. Dios-corea spp. diproduksi sekitar lima juta hektar di 59 negara di wilayah tropis dan subtropis.

PROSPEK UWI SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL

DAN BAHAN DIVERSIFIKASI PANGAN

Ratri Tri Hapsari1)

1) Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak km 8 PO Box 66 Malang 65101; email: hapsari_ratri@yahoo.com.

Naskah diterima 3 Desember 2013; disetujui untuk diterbitkan 30 Januari 2014.

(2)

Sebanyak 56,5 juta ton Dioscorea spp. yang diproduksi di dunia pada tahun 2012, 96,2% berada di Afrika (FAOSTAT 2014). Data produksi Dioscorea spp. terbesar di dunia dapat dilihat pada Tabel 1.

Data luas pertanaman dan produksi uwi di Indonesia hingga saat ini belum tersedia. Di Indonesia sentra penanaman uwi terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Sela-tan, Sulawesi Tenggara dan Maluku (Deptan 2002). Uwi sebenarnya sudah sejak lama meru-pakan tanaman budidaya, tetapi masih sangat jarang ditanam secara besar-besaran. Biasanya orang mengusahakan hanya dalam jumlah yang terbatas sebagai pekerjaan sambilan (Bimantoro 1981). Di Nigeria, uwi telah dibudidayakan serius dan massal. Nigeria yang beriklim kering mampu menjadi produsen uwi nomor satu di dunia (Rahardi 2013).

Uwi (D. alata) memiliki mutu rasa yang lebih baik dibandingkan jenis-jenis lain yang masih satu marga (Dioscorea spp.) yang sudah dikenal (Bimantoro 1981). Di Indonesia, pemanfaatan uwi masih terbatas pada olahan makanan tradisional (dikukus, digoreng, dibakar dan dibuat keripik), padahal uwi dapat diolah menjadi tepung. Kelebihan bentuk olahan ini antara lain bahan mudah disimpan, volumenya kecil, mudah dalam transportasi, dan lebih fleksibel untuk berbagai produk pangan olahan. Tepung uwi dapat diolah menjadi beragam jenis produk pangan diantaranya sebagai mie, kue kering, cake, bolu kukus dan jajanan tradisional lainnya (Tejasari et al. 2001). Olahan uwi ungu juga dapat dijadikan dessert di restoran bintang lima di Taiwan (Rahardi 2013). Di Filipina, uwi ungu sangat populer dibuat haleyang ube (selai), cake, es krim (halo-halo), dan kue tradisional lainnya (Lubag et al. 2008; Belen 2010). Di Afrika barat, tepung uwi dapat diolah menjadi amala (makanan khas Afrika seperti bubur/ pasta) (Baah 2009). Tepung uwi ungu juga dapat dibuat menjadi bahan edible paper. Edible paper dapat digunakan sebagai bahan pengganti tepung beras dalam pembuatan rice paper (kulit lumpia basah) (Indrastuti et al. 2012).

Indonesia termasuk negara ” megabiodi-versity” terbesar ketiga yang berfungsi sebagai lumbung energi hayati. Namun demikian ke-anekaragaman yang berlimpah ini belum digali dan dimanfaatkan secara optimal, serta belum diterapkannya teknologi yang memadai dalam pemanfaatan, pengelolaan maupun usaha pelestariaannya (Sutarno dan Sugiyarto 2006).

Saat ini keberadaan uwi lokal di Indonesia mulai tergusur. Keengganan petani untuk menanam uwi disebabkan nilai ekonomi yang rendah dan belum tereksplorasinya manfaat dari uwi.

Sastrapraja dan Rifai (1989) dalam Khai-rullah et al. (2006) menyatakan Indonesia merupakan pusat keragaman genetik Dioscorea spp. (uwi-uwian). Berdasarkan morfologinya, uwi yang berasal dari Indonesia memiliki kera-gaman tertinggi, selain di Papua Nugini dan Filipina (Flach dan Rumawas 1996; Purnomo et al. 2012b). Uwi memiliki keragaman morfologi dalam hal bentuk, ukuran, bobot, warna dan daging umbi. Jika kondisi seperti ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang dikhawatirkan uwi menjadi umbi langka dan tersingkir sebagai tanaman yang dibudidayakan. Pada tahun 1963 ketika bahaya kelaparan terjadi di Gunung Kidul (Yogyakarta), umbi ini pernah digunakan sebagai cadangan makanan di musim paceklik (Suwarna 2004). Hingga saat ini, kearifan budaya lokal masyarakat sekitar hutan Wono-sadi Gunung Kidul Yogyakarta masih mengkon-sumsi uwi sebagai cadangan pangan di musim kering. Umbi uwi juga dimanfaatkan untuk diet bagi penderita kencing manis, dan bahan mentah umbi uwi ungu digunakan untuk meng-atasi diare di pedesaan (Purnomo et al. 2012a). Oleh karena itu, pemberdayaan umbi-umbian minor seperti uwi perlu dilakukan mengingat prospek uwi sebagai bahan pangan fungsional dan diversifikasi pangan.

Tabel 1. Produksi Dioscorea spp. terbesar di dunia tahun 2012

Benua Negara Produksi (ton)

Afrika Nigeria 38.000.000

Ghana 6.638.867

Cote d’Ivoire 5.674.696

Benin 2.739.088

Togo 864.408

Amerika Colombia 361.034

Oseania Papua Nugini .345

Asia Jepang .170

Filipina 15.799

Eropa Portugal 1.900

(3)

28

TAKSONOMI DAN MORFOLOGI

Taksonomi

Berdasarkan data ITIS (2009), uwi termasuk: Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Subkelas : Lilidae Orde : Liliales Famili : Dioscoreaceae Genus : Dioscorea. L Spesies : Dioscorea alata L.

Morfologi

Uwi merupakan tanaman merambat yang dapat mencapai panjang 10 m. Akarnya berse-rabut dan dangkal, biasanya terbatas pada kedalaman 1,0 m dari tanah. Tanaman ini umumnya berumbi satu dan memiliki variasi dalam ukuran maupun bentuk, yakni: berlekuk ataupun menjari. Kulit umbi berwarna coklat sampai hitam sedangkan daging umbi berwarna putih, krem atau keunguan (sedikit ataupun keseluruhan). Ciri khas lainnya yaitu batang-nya membelit ke arah kanan. Daun berbentuk mata panah (pangkalnya berkaki) dan saling berhadapan, berwarna hijau terang atau sedikit keunguan serta memiliki bunga yang tersusun majemuk yang tumbuh dari ketiak daun. Uwi termasuk tanaman yang berumah dua (Prohati 2009). Bunga jantan tersusun rapat pada daun dan bersumbu di cabang, dapat mencapai pan-jang 30 cm, sedangkan bunga betina tersusun jarang dan lebih panjang (60 cm). Beberapa kultivar tidak memiliki bunga, dan kebanyakan tipe seperti itu steril. Bagian tanaman uwi dapat dilihat pada Gambar 1.

Ditinjau dari segi ekologi, tanaman ini meru-pakan tanaman subhumid-humidtropis. Ling-kungan tumbuh pertanaman uwi yang baik adalah yang memiliki curah hujan 1000–1500 mm/tahun dan terdistribusi dengan baik, yakni 6–7 bulan. Umumnya uwi ditanam di dataran rendah, namun di India dapat tumbuh pada elevasi sampai 2500 m. Hari yang pendek (kurang dari 12 jam) dapat mendukung proses pembentukan umbi. Dioscorea alata lebih tole-ran terhadap tanah yang miskin dibandingkan dengan tanaman sejenis dari satu familinya, namun demikian hara tanaman ini sangat rentan terhadap keracunan aluminium dalam tanah.

Secara garis besar, pertumbuhan dan per-kembangan uwi terbagi ke dalam empat fase. Fase pertama, 0–6 minggu setelah perkecam-bahan, ditandai dengan distribusi akar dan perambatan batang yang semakin luas tetapi perluasan daun masih sangat terbatas. Fase ke dua, 6–12 minggu setelah perkecambahan, ditandai dengan perkembangan akar yang ter-batas namun perkembangan tunas dan daunnya meluas diiringi dengan permulaan pembentuk-an umbi. Fase ke tiga adalah fase pertumbuhpembentuk-an terakhir sampai akhir musim, dicirikan dengan perkembangan umbi dan umur masak. Pada tahap ini perkembangan akar dan tunas sangat terbatas. Total periode pertumbuhan 8–10 bulan. Pada fase ke empat umbi mulai memasuki periode dormansi selama 2–4 bulan sebelum bertunas kembali (Flach dan Rumawas 1996).

Gambar 1. Bagian tanaman uwi (D. alata).

(4)

ASAL-USUL DAN PENYEBARAN

Uwi (D. alata) termasuk ke dalam genus Dioscorea spp (uwi-uwian). Tanaman uwi-uwian kemungkinan berasal dari negara-negara Timur jauh kemudian menyebar ke arah barat. Menurut Burkill dalam Purseglove (1972) Dioscorea spp. memiliki enam genus dengan 650 spesies, namun ada pula yang menyebutkan jumlahnya 600 spesies karena tiga genus yang berumah dua dimasukkan dalam famili yang lain (Hutchinson dalam Purseglove 1972). Dari ratusan spesies tersebut hanya sedikit saja yang dibudidayakan untuk tujuan memperoleh bahan makanan dan obat. Spesies terbesar yang berasal dari Afrika adalah White Guinea Yam (D. rotundata Poir), Yellow Guinea Yam (D. cayanensis Lam) dan Bitter Yam (D. dumetorum Kunth). Spesies yang berasal dari Asia adalah Water/Greater Yam (D. alata), Lesser Yam (D. esculenta [Lour.] Burkill) sedangkan Cush-cushYam (D. trifida L.) berasal dari Amerika (IITA 2009).

Spesies uwi-uwian yang paling luas penye-barannya di dunia adalah D. alata (Flach dan Rumawas 1996). Uwi merupakan tanaman polymorphic sp., tidak diketahui kerabat liarnya. Tanaman ini pertama kali ditanam di Asia Tenggara dan kemungkinan ditanam di daerah Assam-Burma sehingga diduga merupakan per-kembangan dari spesies D. Hamiltonii Hook atau D. Persimilis Prain & Burk yang tumbuh liar di daerah tersebut. Tanaman ini diduga mulai menyebar pada tahun 100 SM melalui negara Thailand dan Vietnam kemudian mulai menyebar ke negara-negara lain, terutama di daerah Tropis (Purseglove 1972). Di Asia Tenggara, tanaman ini termasuk tanaman yang dapat berkembang di hampir seluruh wilayah, terutama di Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina dan Vietnam.

Uwi memiliki keragaman dalam bentuk, ukuran, bobot, warna dan daging umbi serta daun yang sangat baik di tempat tumbuhnya namun masih dalam nama daerah asalnya. Purnomo et al. (2012b) melakukan klasifikasi terhadap 44 aksesi uwi yang dikumpulkan dari beberapa pulau di Indonesia, antara lain pulau Jawa, Madura, Lampung (Sumatra), Kaliman-tan SelaKaliman-tan, Sulawesi Tengah, Ternate (Ma-luku), Lombok (Nusa Tenggara), dan Papua. Berdasarkan perbedaan daun, bentuk dan warna daging umbi, uwi di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu grup hijau dan merah keunguan. Kedua grup tersebut,

ter-bagi lagi ke dalam subgrup. Berdasarkan bentuk dan warna daging umbi, grup hijau terbagi lagi menjadi enam sub-grup sedangkan berdasarkan bentuk umbi, warna kulit umbi dan distribusi warna daging umbi, grup merah keunguan terbagi menjadi lima sub-grup (Tabel 2).

Berdasarkan data IITA, mayoritas produksi uwi bertempat di daerah yang sering disebut ”Yam Zone” yaitu Kamerun, Nigeria, Benin, Togo, Ghana dan Cote de Ivoire (Global Crop Diversity 2006). Hal ini karena uwi menjadi makanan pokok dalam kehidupan sosial dan keagamaan di Afrika Barat (Purseglove 1972). Masyarakat Internasional sering menyebut uwi sebagai greater yam atau water yam. Penamaan water yam kemungkinan disebabkan karena kandungan terbesar dari umbi ini adalah air (Rostiawati 1990; Baah 2009). Bahkan ada pula yang menamainya purple yam atau white yam, hal ini dikarenakan daging umbinya yang berwarna ungu atau putih. Nama Greater yam karena daerah persebarannya paling luas di antara jenis yang lainnya. Di beberapa negara, uwi dikenal dengan sebutan Ife (Nigeria), ube (Filipina), ratalu (India), ubi kipas (Malaysia), uhi (Hawai dan Tahiti). Di Indonesia, uwi dikenal dengan beberapa nama daerah seperti ubi alabio atau ubi kelapa (Kalimantan), uwi (Jawa), huwi (Sunda), same (Sulawesi Selatan), dan lutu (Maluku).

Uwi telah dibudidayakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Di kelima wilayah tersebut uwi dibudidayakan secara teratur. Budidaya tidak teratur terdapat di daerah Jawa Barat dan DI Yogyakarta, sedangkan para petani di daerah Sumatera Barat, Riau dan Sulawesi Selatan belum membudidayakan tanaman ini dan masih merupakan tanaman liar yang tumbuh di pinggir-pinggir hutan dan pinggir-pinggir ladang yang tidak diusahakan (Deptan 2002). Menurut data survei Tejasari et al. (2001) di Jawa Timur, uwi dominan ditanam di Kabupaten Trenggalek, Bojonegoro, Sampang, Jember, Ngawi, Nganjuk dan Banyuwangi.

UWI DAN MANFAAT KESEHATAN

(5)

30

Tabel 2. Klasifikasi uwi di Indonesia berdasarkan bentuk dan warna daging umbi

Grup Sub grup Nama dan Asal Kultivar

Hijau Bentuk bulat panjang, warna daging Uwi beras, Bantul, Yogyakarta

putih Uwi elus, Purwodadi, Jawa Tengah

Uwi alas, Rembang, Jawa Tengah dan Gunung Kidul, Yogyakarta

Uwi putih, Purwodadi, Jawa Tengah Ubi putih, Banggai, Sulawesi Tengah Uwi putih, Sarimulya, Kalimantan Selatan

Bentuk tidak beraturan, warna daging Uwi legi, Bantul, Yogyakarta putih, agak manis

Bentuk ovate sampai panjang, warna Uwi putih, Ternate, Maluku Utara dan

daging putih Lombok, Nusa Tenggara

Bentuk ovate sampai panjang, warna Uwi butun, Yogyakarta

daging kuning Uwi kuning, Yogyakarta

Bentuk silinder, warna daging putih Uwi luyung putih, Yogyakarta

sampai kuning Uwi luyung kuning, Yogyakarta

Uwi ulo, Yogyakarta

Uwi ular Bawean, Madura, Jawa Timur Uwi kinton, Sulawesi Tengah

Bentuk panjang, warna daging putih Ubi putih, Merauke, Papua Barat

Merah Keunguan Bentuk silinder panjang, warna daging Luyung senggani, Yogyakarta ungu

Bentuk ob-ovate, warna daging putih Uwi bangkulit, Yogyakarta dengan lingkar ungu

Bentuk tidak beraturan, warna daging Uwi senggani, Yogyakarta

ungu Uwi ungu, Demak dan Purwodadi Jawa

Tengah, Sarimulya Kalimantan Selatan, Cianjur Jawa Barat, Tanggamus

Lampung, Uwi merah Lampung (Sumatra)

Bentuk panjang, warna daging oranye Uwi Jingga, Lampung, Sumatra

kehitaman, ungu Uwi hitam, Pelaihari, Kalimantan

Selatan

Bentuk bulat sampai silinder, warna Uwi ungu ternate (Maluku Utara),

daging ungu Lombok (Nusa Tenggara) dan Merauke

(Papua Barat)

Kulit ungu dengan warna daging kuning Uwi kuning, Pelaihari, Kalimantan Selatan

Sumber: Purnomo et al. 2012b.

sumber alternatif pangan yang sehat adalah uwi (D. alata) karena umbi ini memiliki kadar gula yang rendah namun berkarbohidrat tinggi sehingga cocok untuk penderita diabetes (Swa

(6)

Sari et al. (2013) juga mengemukakan bahwa D. alata memiliki nilai IG 22,4. Helen et al. (2013) membuktikan bahwa konsumsi uwi secara nyata dapat menurunkan kadar gula darah dan berat badan dibandingkan dengan kontrol.

Menurut Campbell (2010) penggunaan IG tidak hanya terbatas pada penderita diabetes, akan tetapi juga digunakan dalam pemilihan pola makan yang sehat, proses pengurangan berat badan, dan dalam proses lain untuk me-ngelola penyakit degeneratif. Imanningsih (2013) melaporkan bahwa tepung uwi memiliki efek antihiperkolesterolemia yang dapat meng-hambat pertumbuhan plak aterosklerosis. Ate-rosklerosis merupakan suatu kondisi pengerasan dan penyempitan pembuluh darah akibat tim-bunan lemak, kolesterol, dan produk seluler yang dikenal sebagai plak di dinding pembuluh darah arteri selama bertahun-tahun. Jika ateroskle-rosis terjadi pada arteri koroner, ia akan meng-hambat aliran darah yang menuju jantung dan menyebabkan serangan jantung (AHA 2008). Hasil penelitian (Baah et al. 2009) juga mene-mukan kandungan serat makanan total yang tinggi dan kandungan mineral pada uwi sehingga mengkonsumsi umbi uwi sangat bagus untuk formulasi diet. Menurut Faustina Dufie et al. (2013) uwi memiliki kandungan bahan kering yang rendah tetapi memiliki kadar amilosa yang tinggi. Uwi juga memiliki serat makanan total yang lebih tinggi dibandingkan dengan nasi coklat dan dua varietas di anta-ranya memiliki serat makanan total yang seban-ding dengan tepung terigu. Kandungan amilosa dan serat makanan total yang tinggi pada uwi sangat berguna untuk dikonsumsi penderita diabetes dan masyarakat yang sadar akan kese-hatan. Menurut Lionora et al. (2013) tepung uwi juga memiliki kadar gluten yang rendah sehingga dapat dikonsumsi oleh anak berkebu-tuhan khusus (autis). Hal ini menunjukkan potensi penggunaan uwi sebagai makanan fungsional untuk melengkapi serat dan min-eral dalam tubuh.

tobacillus dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan mengurangi risiko bahan karsinogenik. Sebaliknya Clostridium perfri-ngens dianggap merugikan karena merupakan penyebab umum dari gastroenteritis akut.

Air getah uwi juga bisa digunakan sebagai pestisida yang ramah lingkungan. Untuk men-dapatkan air getah uwi juga sangat mudah yaitu dengan merendam parutan uwi ke dalam air kapur sehingga air getah uwi itu akan memisah dari parutannya, sedangkan parutan yang sudah dikeringkan dapat langsung diolah men-jadi tepung (Ajisaka 2008). Selain sebagai sumber pangan alternatif dan pestisida nabati, uwi dapat juga digunakan sebagai obat-obatan salah satunya sebagai obat bengkak, caranya dengan menumbuk daunnya hingga halus. Bahan mentah umbi uwi ungu juga dapat digunakan untuk mengatasi diare di Yogyakarta (Purnomo et al. 2012a). Umbi uwi mengandung alkaloida, saponin, flavonoida, dan politenol (Depkes 2009). Peng et al. (2011) melaporkan ekstrak etanol rimpang uwi varietas Phyto, Dispo85E prospektif dapat dijadikan obat untuk terapi osteoporosis, karena memiliki mekanisme mendorong diferensiasi keturunan spesifik sel-sel sumsum tulang stroma. Chen et al. (2009) melaporkan bahwa tikus yang telah dilakukan ovariektomi dan diberi diet dengan uwi varietas Tainung no.2 kepadatan tulang femoral dan lumbarnya lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pada kesimpulannya Chen mengemu-kakan bahwa konsumsi uwi bermanfaat untuk mencegah kehilangan kepadatan tulang bagi wanita yang telah mengalami menapouse.

Kandungan nutrisi uwi dapat dilihat pada Tabel 3. Penelitian kandungan nutrisi yang dilakukan Wanasundera dan Ravindran (1994) menunjukkan bahwa uwi mengandung rata-rata 7,4% protein kasar, pati 75,6–84,3%, vita-min C 13–24,7 mg/100g pada bobot segar dan oksalat 58,6–198 mg/100 g pada bobot kering. Baah et al. (2009) melaporkan kandungan nutrisi dari 16 aksesi uwi yang diteliti memiliki kisaran protein kasar (4,3–8,7), abu (2,9–4,1), gula (3,6–11,0), pati (60,3–74,4), dan serat makanan total (4,1–11,0%) pada basis berat kering. Mineral yang terkandung dalam uwi setiap mg per kg (berat kering) adalah P (878– 1900), Ca (260–410), Mg (390–580), K (10,5– 20,1), Na (84–131), Mn (4,8–22,1), Cu (12,3– 15,7) dan Zn (10,1–14,1). Menurut Depkes 1992 dalam Widowati 2000 kandungan protein uwi (2,1 g) lebih besar daripada umbi-umbian lain dari daerah tropis, termasuk ubi kayu (1,2 g), Hsu et al. (2006) mengemukakan bahwa

(7)

Lac-32

kentang hitam (0,9 g), ubijalar (1,8 g), ganyong (1,0 g), gembili (1,5 g), suweg (1,0 g) dan sente (2,0 g).

Selain itu, protein yang terkandung dalam uwi juga memiliki asam amino yang lebih baik dibandingkan umbi-umbian yang lain. Wu et al. (2005) melaporkan tentang efek uwi terhadap hormon estrogenik pada wanita yang telah menapouse. Hasil penelitiannya adalah dengan mengganti 2/3 pangan utama dengan uwi selama 30 hari dapat meningkatkan hormon seks, lipid dan antioksidan. Hal ini dapat mengu-rangi risiko terkena kanker payudara dan penyakit kardiovaskular pada wanita yang telah mengalami menapouse.

BUDIDAYA TANAMAN

Budidaya tanaman uwi cukup mudah dan tidak memerlukan perawatan khusus, namun bila dilakukan dengan budidaya yang tepat, tentu akan menambahkan keuntungan bagi petani karena akan menghasilkan umbi yang besar-besar. Tanaman uwi dapat ditanam secara tumpang sari ataupun secara monokultur. Masyarakat Papua Nugini biasa menanamnya secara bergilir (Flach dan Rumawas 1996).

Bibit

Bibit dapat diperoleh dari biji, serta umbi yang berada di tanah. Perbanyakan diri melalui biji memiliki banyak kekurangan antara lain:

tanaman baru sering tidak memiliki sifat yang sama dengan induknya dan jumlah umbi per satuan luasnya sedikit (Deptan 2002). Menurut Bimantoro (1981), bibit yang baik adalah umbi yang sedang tidak tumbuh (dormant) yang digali pada musim kemarau pada saat bagian-bagian tanaman di atas tanah sudah kering dan mati. Masa dormansi umbi berkisar antara 2– 4 bulan setelah panen, tetapi dapat dipatahkan dengan ethylene chlorohydrin (Flach dan Ruma-was 1996). Menurut Sudarmadi et al. (2012) lamanya waktu tumbuh mata tunas di bagian pangkal umbi dapat diatasi dengan teknik produksi bibit uwi sebagai berikut:

1) menyiapkan tempat semaian (seedbad), menggunakan media tumbuh serbuk sabut kelapa (cocopeat) yang dicampur dengan kompos (1:2);

2) menyiapkan larutan fungisida Benomyl (5 g/ l air);

3) menyiapkan larutan ZPT Rooton-F (5 g/l air); 4) menyiapkan umbi bahan semaian, yaitu dengan membelah umbi menjadi tiga bagian (bagian pangkal, tengah, dan pucuk) dimana masing-masing bagian tersebut dibelah lagi menjadi 4–6 bagian dengan mengupayakan setiap hasil belahan umbi ada mata tunas akar;

5) merendam materi-materi tersebut kedalam larutan fungisida Benomyl selama 5–10 menit, kemudian dipindahkan ke larutan ZPT Rooton F setelah ditiris sekitar 5 menit; 6) tanam materi calon bibit ke dalam Seedbad. Teknik tersebut, dapat mempersingkat waktu tumbuh bagian-bagian umbi. Bagian pangkal mempunyai kecepatan tumbuh lebih awal, sekitar 21–35 hari setelah penyemaian, kemu-dian berturut-turut diikuti oleh tumbuhnya umbi bagian tengah dan pucuk. Dalam waktu singkat, satu umbi berukuran sedang dapat menghasilkan 16–24 batang bibit, sehingga dapat diproduksi masif dan tidak bergantung pada awal musim hujan saat tanam.

Pengolahan Tanah dan Pemupukan

Uwi dapat ditanam dengan tiga cara, yaitu menggunakan lubang, larikan dan guludan. Lubang dapat dibuat dengan diameter antara 30–50 cm, kedalaman 30–40 cm, jarak tanam antara 100–130 cm. Guludan dapat dibuat dengan jarak antar guludan 0,75–1,0 m dan jarak antar tanaman 1,7 m. Untuk hasil yang lebih maksimal, sebaiknya tanah digemburkan

Pustaka PROSIDING tolong dilengkapi dengan penyunting, halaman, Judul Prosiding

Tabel 3. Kandungan nutrisi uwi (tiap 100 g bahan).

Nutrisi Kisaran

Protein Kasar (%) 6,7

Bahan Kering

Karbohidrat (%) 81,6–87,6

Mineral 240–400

Kalsium (mg) 190–380

Natrium (mg) 180–340

Potasium (mg) 20,2–80,2

Klor (mg) 24,3–97,2

Vitamin

C (mg) 16,7–28,4

Total Fenolik (g) 0,68

Flavonoid (g) 1,21

Serat makanan total (g) 9,37

Serat makanan terlarut (g) 0,76

(8)

terlebih dahulu sebelum tanam dan diberikan tambahan pupuk kompos atau pupuk kandang ke dalam lubang tersebut. Jumlah pupuk kandang yang dibutuhkan berkisar antara 12– 15 ton/ha. Pupuk buatan dapat diberikan pada tanaman yang berusia kira-kira tiga bulan. Pupuk disebarkan di sekitar tanaman sedalam 5 cm. Urea yang dibutuhkan 112–135 kg/ha atau 30 g (2 : 2 : 3 NPK) pada masing-masing lubang atau tiap tanaman. Susanto (2010) melaporkan bahwa pemberian pupuk organik 5 kg/lubang tanam dan pupuk NPK secara nyata dapat meningkatkan rata-rata pertumbuhan umbi D. alata pada umur empat bulan setelah tanam dibandingkan dengan kontrol.

Pemeliharaan

Pemeliharaan uwi sangat ringan dan ekonomis, pemeliharaan khusus dapat dikata-kan tidak ada. Umbi yang besar dapat diusaha-kan dengan membiardiusaha-kan satu tunas saja yang tumbuh terus. Tanaman juga diusahakan memanjat dengan cara merambatkan pada tiang-tiang bambu atau pada pohon-pohon di dekat tempat tumbuhnya. Menurut Purnomo et al. (2012a), masyarakat di sekitar hutan Wonosadi, Gunung Kidul, Yogyakarta lebih memilih tanaman Lamtoro (Lechaena glauca L.) sebagai inang belitan yang spesifik agar mendapatkan hasil umbi yang paling baik. Hal ini dikarenakan tanaman inang tersebut tajuknya tidak terlalu tinggi dan mudah ber-gerak oleh angin sehingga tajuk tanaman uwi dapat ikut serta. Tanah juga perlu dibumbun agar umbinya tidak tersembul keluar dari permukaan tanah. Umbi yang tersembul keluar permukaan tanah dapat menyebabkan rasa pahit.

Hama dan Penyakit

Penyakit yang perlu diwaspadai adalah antraknosa, penyakit ini lebih sering menyerang D. alata dibandingkan tanaman umbi-umbian yang lain. Menurut Mordue (1971) dalam Brunt et al. (1989), penyakit antraknosa menyebar hampir ke seluruh wilayah tropis. Antraknosa disebabkan oleh beberapa organisme, di anta-ranya Collectichum spp. dan Glomerella spp. Cara yang paling mudah untuk mengatasi antraknosa adalah penggunaan varietas tahan. Dilaporkan bahwa pada varietas tahan terjadi peningkatan kandungan fenol dibandingkan dengan varietas yang rentan. Sedangkan pada umbi, penyakit yang sering menyerang dise-babkan oleh Fusarium spp., Penicillium spp.

dan Rosellinia spp., penyakit ini biasanya me-nyerang pada saat pascapanen (penyimpanan). Hama yang menyerang umbi D. alata adalah yam beetle (Heteroligus spp), namun hama ini dapat diatasi dengan penyemprotan insektisida atau dengan menanam uwi pada akhir musim (Flach dan Rumawas 1996).

Panen

Panen uwi tergantung dari jenis dan kebu-tuhannya. Ciri-ciri tanaman uwi yang dapat dipanen ditandai dengan daun-daunnya yang menguning kemudian rontok dan pohonnya mulai mengering. Waktu yang paling baik untuk memanen adalah pada musim kemarau (Bimantoro 1981). Abass et al. (2003) dalam Manu et al. (2013) melaporkan bahwa hasil umbi yang tinggi dan kualitas umbi yang baik dihasilkan dari umbi yang dipanen ketika sulur tanaman kering. Lebih lanjut Manu et al. (2013) melaporkan umbi uwi yang dipanen pada umur 9 bulan memiliki bahan kering dan pati yang tinggi dibandingkan dengan uwi yang dipanen pada umur 5 dan 7 bulan.

Pascapanen

a. Bentuk segar

Uwi dapat dikonsumsi dalam bentuk segar dengan direbus, dikukus, dibakar atau digoreng. Metode memasak umbi uwi yang paling baik yaitu dengan menggunakan pressure cooking atau sering disebut juga metode memasak dengan tekanan tinggi karena dapat mengha-silkan nilai glukosa tersedia yang rendah dibandingkan dengan direbus, atau disteam (Ahmed dan Urooj 2008). Ika (2010) melaporkan pemanggangan uwi dalam suhu 180 oC selama 20 menit dapat menekan IG uwi dibandingkan dengan cara direbus.

Penyimpanan uwi dalam bentuk segar dapat dilakukan dengan membersihkan uwi dari kotoran kemudian membuang akarnya dan tanah yang masih menempel pada umbi. Pemi-sahan uwi yang sudah tua juga diperlukan untuk mencegah hama dan penyakit pada masa penyimpanan. Tempat yang paling baik untuk penyimpanan uwi adalah naungan yang cukup memadai, terlidung dari hujan, ventilasi yang baik, dan terhindar dari binatang dan tikus (Wilson 1987).

(9)

34

luka. Menurut Sahore et al. (2007) penyimpanan umbi uwi pada suhu kamar (28 oC) selama 4 minggu mengalami perubahan nutrisi (kadar air, kadar keasaman, protein, lemak, karbo-hidrat, gula total, abu dan nilai kalori) yang lebih sedikit dibandingkan ubikayu dan pisang. Manu et al. 2013 melaporkan uwi dapat di-simpan selama 5 bulan tanpa perubahan sifat fisikokimia yang berarti. Selama penyimpanan, terjadi peningkatan viskositas pasting, bahan kering dan gula. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan uwi dapat disimpan lama, dan dapat meningkatkan kualitas umbi sebagai bahan pangan.

b. Bentuk olahan

Uwi dapat diolah menjadi produk setengah jadi ataupun beberapa produk makanan, antara lain:

1. Keripik

Pembuatan keripik uwi dapat dilakukan dengan berbagai metode. Pembuatan keripik yang paling sederhana adalah pengirisan umbi, penambahan bumbu dan langsung digoreng (keripik matang). Teknik yang lain adalah dengan mengolah umbi menjadi keripik setengah jadi. Keripik kering mentah ini dapat digoreng apabila akan dikonsumsi. Secara garis besar teknik pembuatan keripik ini adalah teknik pengupasan umbi, perendaman dalam larutan kapur, pengukusan, pemberian bumbu dan pengeringan. Karateristik produk kering ini menyerupai kerupuk dan tahan lama disimpan (Bargumono dan Wongsowijaya 2013). 2. Tepung

Tepung uwi instan dapat dimanfaatkan seperti halnya tepung lain, yaitu untuk bahan baku/campuran produk kue, roti dan mie. Peng-gunaannya dapat dicampur dengan tepung terigu atau tepung kacang-kacangan untuk meningkatkan nilai gizinya (tepung komposit). Pembuatan tepung uwi sangat mudah, dan menggunakan peralatan sederhana sehingga dapat dilakukan oleh petani. Proses pembuatan tepung uwi yakni pengupasan, pengirisan, pengeringan, penggilingan/penepungan dan pengayakan. Kadar air tepung sekitar 6–8,5%, tahan lama disimpan beberapa bulan dalam kemasan kantong plastik rapat (Bargumono dan Wongsowijaya 2013).

Menurut Imanningsih (2013) perlakuan perendaman dalam 1% asam sitrat dan steam blanching terhadap umbi uwi selama 10 menit

menghasilkan nilai retensi tertinggi antosianin yaitu 104,36 mg/100 g tepung dan total fenolat setara 198,52 mg asam galat/100 g tepung, serta kapasitas antioksidan setara dengan 1300 mg trolox/100 g tepung. Penelitian ini menunjuk-kan bahwa upaya retensi komponen bioaktif pada umbi uwi melalui perendaman pada bahan yang tidak mahal, seperti asam sitrat, yang dikombinasikan dengan steam blanching dapat menghasilkan tepung yang memiliki kandungan antosianin dan senyawa fenolat sebesar 44,51% dan 62,58% dari yang terdapat pada umbi segar. Proses blanching bertujuan menginak-tivasi enzim PPO (polifenol oksidase) yang dapat mendegradasi antosianin dan komponen fenolat pada umumnya. Cara blanching dengan meng-gunakan steam (uap) telah terbukti dapat mem-pertahankan kandungan antosianin, karena enzim PPO diinaktivasi secara total, sehingga antosianin tidak terdegradasi (Lee et al. 2002 dalam Imanningsih 2013). Tepung yang di-hasilkan memiliki kapasitas antioksidan yang baik serta dapat meningkatkan potensi tepung uwi sebagai pangan fungsional. Diagram alir pembuatan tepung uwi dapat dilihat pada Gambar 2.

Tejasari et al. (2001) melaporkan bahwa tepung uwi dapat digunakan secara luas sebagai produk pangan olahan baik sebagai pengganti atau subtitusi dibandingkan dengan tepung bentul dan pati ganyong. Tepung uwi dides-kripsikan memiliki karakteristik fisiko-kimia tahan panas, viskositas tinggi, konsistensi gel keras, dan nilai penyerapan air tinggi sehingga produk olahan yang sesuai adalah cookies, cake,

Gambar 2. Diagram alir pembuatan tepung uwi.

(10)

bolu kukus, bihun atau mie dan jajanan tradi-sional. Purnomo et al. (2012a) melaporkan ber-bagai jenis makanan olahan dari tepung uwi dapat digunakan sebagai bahan pembuatan Nata de uwi, puding uwi, bolu uwi dan jajanan tradisional lainnya. Warna ungu, ungu muda dan kuning dari uwi sangat prospektif diguna-kan sebagai pewarna madiguna-kanan alami. Menurut Nadia (2013) komposisi kimia tepung spesifik bagi masing-masing kultivar uwi. Zat warna yang terdapat dalam tepung merupakan kelom-pok zat warna antosianin yang hanya dida-patkan dalam tepung uwi dengan umbi ber-warna ungu. Komponen ber-warna antosianin yang teridentifikasi adalah cyaniding-3-glukosida yang didapat pada fraksi kecil tepung uwi ungu gelap. Zat warna lainnya adalah karoten yang didapatkan dalam tepung uwi dengan umbi berwarna kuning/krem dan oranye. Komponen warna karoten yang teridentifikasi pada uwi kuning adalah lutein, zeaxantine, dan betaka-rotin, sedangkan pada uwi oranye teridentifikasi sebagai lutein dan betakarotin.

3. Sawut instan

Sawut instan merupakan produk setengah jadi, berbentuk serpihan kering dengan kadar air sekitar 10%, tahan lama apabila disimpan dan mudah dalam penyajian. Teknik pembuatan sawut sangat mudah dan hanya menggunakan peralatan sederhana, sehingga dapat dilakukan oleh petani. Secara garis besar, pembuatan sawut adalah pengupasan, penyawutan, pengu-kusan uwi hingga matang dan pengeringan. Sawut dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok maupun dikonsumsi sebagai makanan sam-pingan. Cara mengkonsumsi sawut instan adalah dengan menyiram sawut kering dengan air panas, diaduk, kemudian dikukus sekitar 15 menit hingga lunak. Sebagai makanan pokok (pengganti nasi), uwi kukus tersebut dikonsumsi bersama sayur dan lauk lainnya, seperti ikan, telur, dan lain-lain. Sebagai makanan kecil (“snack”), sawut kukus tersebut dapat dicampur dengan larutan gula merah. Selain itu, adonan sawut kukus yang telah digiling juga dapat dicampur dengan bahan-bahan lain, seperti telur, terigu dan gula, kemudian digoreng atau dikukus (Bargumono dan Wongsowijaya 2013).

PROSPEK UWI SEBAGAI BAHAN DIVERSIFIKASI PANGAN

Prospek uwi sebagai bahan diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mengem-bangkan produk olahan uwi menjadi produk

setengah jadi seperti tepung, yang dapat digu-nakan untuk diversifikasi menjadi bentuk olahan makanan lain. Penggunaan tepung uwi yang dikombinasikan dengan tepung lain (komposit) dapat meningkatkan cita rasa tanpa menghi-langkan keistimewaan kandungan fungsional uwi. Pengolahan tepung uwi menjadi makanan modern seperti cake, flakes, muffin, bihun atau mie, atau sebagai pengental pudding, saus dan vla sangat prospektif dilakukan. Menurut Eni-tarahayu (2012) pembuatan roti berbasis tepung uwi sebagai pengganti tepung terigu juga sangat prospektif untuk dijual karena aroma dan rasa uwi tetap ada. Keistimewaan lainnya adalah warna ungu dari beberapa kultivar uwi dapat dijadikan sebagai pewarna alami dan kelebi-hannya karena mengandung antioksidan.

Flakes uwi dapat dibuat dengan komposisi bahan baku utama tepung uwi (75%), jagung (12,5%) serta tepung tapioka (12,5%) dan penambahan berupa mikroalga Spirulina pla-tensis (10% dari keseluruhan adonan). Spiru-lina platensis diketahui mengandung zat vikosianin (20%) yang mampu meningkatkan kekebalan tubuh, sebagai antioksidan, dan anti peradangan. Flakes berbasis uwi ini sangat layak dikomersialkan karena memiliki berbagai keunggulan kompetitif, yakni mempunyai sifat fungsional, alami, dan menggunakan bahan pangan lokal. Pengolahan uwi menjadi flakes uwi dapat meningkatkan nilai ekonomi uwi. Dari hasil analisa wirausaha yang telah dilakukan dengan biaya produksi Rp8.143 biaya overhead per tahun 3 juta rupiah, investasi awal Rp1.352.500 dan memasang harga jual Rp18.000 tiap 250 gramnya, maka titik impas akan dicapai pada produksi ke-132 kemasan (Ika 2010).

(11)

36

campuran tepung uwi : pati sagu (80:20) dan STPP 0,3% (b/b) dengan penambahan kara-ginan 1% (b/b). Formulasi tersebut menyerupai karakteristik pasta pada tepung beras (Budi dan Harijono 2014). Indrastuti et al. (2012) mela-porkan untuk proses pembuatan tepung uwi yang akan digunakan sebagai bahan pembuat-an edible paper, direkomendasikan untuk memberi perlakuan perendaman umbi uwi selama 24 jam kemudian dilanjutkan dengan pengeringan suhu 50 oC.

KESIMPULAN

1. Uwi (Dioscorea alata) merupakan tanaman pangan lokal yang prospektif sebagai pangan fungsional karena mengandung indeks glikemik yang rendah, serat makanan total yang tinggi, vitamin C dan mineral, antiok-sidan, dapat menjaga kesehatan mikroflora usus, dan menghambat pertumbuhan plak aterosklerosis sehingga cocok dikonsumsi pen-derita diabetes dan penyakit kardiovaskular. 2. Budidaya tanaman uwi relatif mudah dan tidak memerlukan perawatan khusus, masa dormansi umbi yang panjang dapat diper-singkat hingga 1 bulan, satu umbi berukuran sedang dapat menghasilkan 16–24 batang bibit. Untuk mempermudah proses pengo-lahan uwi, sebaiknya dilakukan perbaikan genetik terhadap uwi yang memiliki bentuk seragam dan kandungan nutrisi yang baik. 3. Prospek uwi sebagai pangan fungsional dan bahan diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan proses pembuatan tepung yang memiliki kapasitas antioksidan yang baik selanjutnya dapat digunakan untuk pem-buatan beragam produk olahan modern seperti roti, kue kering (cookies), flakes, muf-fin, mie atau bihun. Selain itu sosialisasi dan promosi mengenai keunggulan uwi dari segi kesehatan (pangan fungsional) juga diper-lukan untuk meningkatkan nilai ekonomi uwi.

DAFTAR PUSTAKA

AHA. American Heart Association. 2008. Atheroscle-rosis. http://www.heart.org/HEARTORG/Condi- tions/Cholesterol/WhyCholesterolMatters/Athe-rosclerosis_UCM_305564_Article.jsp. Diakses 14 Maret 2014.

Ahmed, F.A., and Urooj. 2008. In vitro strach digesti-bility characteristics of D.alata tuber. World J. of dairy & food sciences 3 (2): 29–33. http://idosi. org/wjdfs/wjdfs3(2)/1.pdf. Diakses 28 Juni 2013.

Ajisaka. 2008. Kulit pisang, jangan dibuang, bikin aja roti. http://www.kompas.com. Diakses 15 Juni 2009.

Baah, F.D. 2009. Characterization of water yam (Dioscorea alata) for existing and potential food products. [Dissertation]. Kwame Nkrumah Univ. of Sci. and Tech.

Baah FD, B Maziya-Dixon, R Asiedu, I Oduro, WO Ellis. 2009. Nutritional and biochemical compo-sition of D. alata (Dioscorea spp.) tubers. Jour-nal of Food, Agric. & Environtment 7(2): 373– 378.

Bargumono dan S. Wongsowijaya. 2013. 9 Umbi utama sebagai pangan alternative nasional. http:/ /repository.upnyk.ac.id/id/eprint/6244. Diakses 22 November 2013.

Belen J. 2010. Ube, the purple yam: why filipinos love purple sweet treats. http://blog.junbelen.com/ 2010/05/25/purple-yam-why-filipinos-love-purple-sweet-treats/. Diakses 29 Oktober 2013.

Bimantoro R. 1981. Uwi (Dioscorea spp.) bahan pangan non-beras yang belum diolah. Bul. Kebun Raya 5(1): 7–18.

Brunt AA, GVH Jackson and EA Frison. 1989. Fao/ IBPGR technical guidelines for the safe movement of yam germplasm. Bioversity International. http://www.ipgri.cgiar.org/publications/pdf/ 504.pdf. Diakses 27 Mei 2009.

Budi YP dan Harijono. 2014. Pengaruh penambahan karaginan terhadap karakteristik pasta tepung uwi dan sagu sebagai bahan baku pembuatan bihun. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2(1): 113– 120.

Campbell B. 2010. Glycemic load vs glycemic index. Paper of National Strength & Conditioning As-sociation 1–5.

Chen, H.L., L.T. Hong, J.K. Lee, C.J. Huang. 2009. The bone-protective effect of a Taiwanese yam (Dioscorea alata L. cv. Tainung No.2) in ovari-ectomised female BALB/C mise. J. of the Sci. of Food and Agric. 89(3): 517–522. http://online-library. wiley.com/doi/10.1002/jsfa.3489/abstract. Diakses 20 November 2013.

Depkes. 2009. Dioscoera alata L. http://www.free. vlsm. org/v12/artikel/ttg_tanaman_ obat/depkes/ buku1/1-108.pdf. Diakses 30 Mei 2009.

Deptan. 2002. Sekilas pengenalan dan budidaya talas, garut, ganyong, gembili, ubi kelapa, gadung, iles-iles, dan suweg. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jakarta. hlm. 53– 57.

Enitarahayu. 2012. Roti manis uwi ”nytha bakery”. http://enitarahayu.wordpress.com/2012/06/17/ roti-manis-uwi-nytha-bakery. Diakses 22 Novem-ber 2013.

(12)

Faustina Dufie W.M., I. Oduro, W.O. Ellis, R. Asiedu and B. Maziya-Dixon. 2013. Potential health ben-efits of water yam (Dioscorea alata). Food Func 4(10): 1496–1501.

Flach, M., and F. Rumawas. 1996. Plant resources of South-East Asia No 9, Plants yielding non-seed carbohydrates, Bogor. pp. 85–97.

Global Crop Diversity Trust. 2006. Yam. http://www. croptrust.org. Diakses 5 Juni 2009.

Helen O.T., A.E. Olusola, I. Eghosa, A.U. Bond. 2013. Dioscorea alata L. reduces body weight by re-ducing food intake and fasting blood glucose level. British J. of Medicine & Medical Res. 3(4): 1871– 1880.

Hsu C.C., Y.C. Huang, M.C. Yin, S.J. Lin. 2006. Effect of yam (Dioscorea alata compared to Dios-corea japonica) on gastrointestinal function and antioxidant activity in mice. J of Food Sci. 71(7): 513–516.

Ihediohanma, N.C., N.C. Onuegbu, A.I. Peter-lke-chukwu, N.C. Ojimba. 2012. A comparative study and determination of glycemic indices of three yam cultivars (Dioscorea rotundata, Dioscorea alata and Dioscorea domentorum). Pakistan J. of Nutr. 11 (6): 547–552.

IITA. 2009. Yam. IITA http://www.iita.org. Diakses 5 Juni 2009.

IITIS. 2009. Dioscorea alata L. taxanomy serial no 43372. ITIS http://www.itis.gov. Diakses 1 Juni 2009.

Ika. 2010. Flakes berbasis uwi antar mahasiswa UGM raih juara nasional. http://ugm.ac.id/id/ berita/2158-flakes.berbasis.uwi.antar.maha-siswa.ugm.raih.juara.nasional. Diakses 26 Fe-bruari 2014.

Imanningsih, N. 2013. Potensi umbi dioskorea (Dioscorea alata) untuk mencegah aterosklerosis pada kelinci percobaan. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Indrastuti, E., Harijono, B. Susilo. 2012. Karakte-ristik tepung uwi ungu (Dioscorea alata L.) yang direndam dan dikeringkan sebagai bahan edible paper. J. Tek. Pert. 13(3): 169–176.

Khairullah, I, Mawardi, M. Sarwani. 2006. Sumber-daya hayati pertanian lahan rawa dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sum-berdaya Lahan Pertanian. hlm. 203–228. Lebot V, R Malapa, T Molisale and JL Marchand.

2005. Physico-chemical characterisation of yam (Dioscorea alata L.) tubers from Vanuatu. Ge-netic Resources and Crop Evolution 00: 1–10 Lionora G, D.R.S. Dewi, DES Rahaju. 2013. Analisis

kelayakan bisnis kue muffin dari tepung uwi. Widya Teknik 12 (1): 92–102. http://www.acade-mia.edu/3431501/ANALISIS_KELAYAKAN_

BISNIS_KUE_MUFFIN_DARI_TEPUNG_UWI. Diakses 22 November 2013.

Lubag AJM, AC Laurena, EMT Mendoza. 2008. An-tioxidants of Purple and White Greater Yam (Dioscorea alata L.) Varieties from the Philip-pines. Philippine J of Sci. 137 (1): 61–67. Manu FDW, I Oduro, WO Ellis, R Asiedu and BM

Dixon. 2013. Food quality changes in water yam (Dioscorea alata) during growth and storage. Asian J of Agric. and Food Sci. 1(3): 66–72. Nadia L dan Hartari A. 2011. Potensi umbi uwi ungu

sebagai bahan pangan dan khasiatnya sebagai pangan fungsional. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahap I Tahun Anggaran 2011. Uni-versitas Terbuka. Jakarta.

Nadia L. 2013. Karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional fraksi pati dan tepung umbi lima kultivar uwi. [Disertasi]. Bogor. Institut Perta-nian Bogor.

Peng K.Y., L.Y. Horng, H.C. Sung, H.C. Huang, R.S. Wu. 2011. Antiosteoporotic Activity of Dioscorea alata L. cv. Phyto through Driving Mesenchymal Stem Cells Differentiation for Bone Formation. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. Article ID 712892, doi: 10.1155/2011/712892. http://www.hindawi.com/ journals/ecam/2011/712892/. Diakses 12 Juni 2013.

Purnomo, B.S. Daryono, Rugayah, I. Sumardi. 2012a. Studi Etnobotani Dioscorea spp. ( Dios-coreaceae) dan kearifan budaya lokal masyarakat di sekitar hutan Wonosadi Gunung Kidul Yogya-karta. J. Natur Indonesia 14(3): 191–198. Purnomo, B,S, Daryono, Rugayah, I. Sumardi, and

H. Shiwachi. 2012b. Phenetic analysis and in-tra-spesific classification of Indonesian water yam germplasm (Dioscorea alata L.) based on morpho-logical characters. Sabrao J of Breeding and Ge-netics 44 (2): 277–291.

Prohati. 2009. Keanekaragaman hayati Indonesia Dioscorea alata L. Prosea. http://www.proseanet. org. Diakses 27 Mei 2009.

Purseglove, J.W. 1972. Tropical crops monocotyle-dons. Longman, London. pp 97–117.

Rahardi F. 2013. Belajar Tanam Yam dari Nigeria http://sains.kompas.com/read/2013/07/29/ 1134376/Belajar.Tanam.Yam.dari.Nigeria. Diakses 24 Oktober 2013.

Rostiawati Y. 1990. Penggunaan tepung uwi sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies. [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

(13)

38

doi/10.1002/ts.200/abstract. Diakses 22 Novem-ber 2013.

Sakthidevi, G., and V.R. Mohan. 2013. Total Phe-nolic, Flavonoid Contents and In vitro Antioxi-dant Activity of Dioscorea alata l. Tuber. J. Pharm. Sci. & Res. 5(5): 115–119.

Sari, I.P., E. Lukitaningsih, Rumiyati, I.M. Setiawan. 2013. Glycemic index of uwi, gadung, and talas which were given on rat. Trad. Med. J. 18(3): 127–131.

Sudarmadi, P., T. Zubaidi, Bonimin, Abu. 2012. Teknik produksi bibit uwi (Dioscorea spp.) secara konvensional, cepat dan massif. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. Jakarta 20–21 No-vember 2012.

Susanto, D. 2010. Pertumbuhan umbi dioscorea alata pada perlakuan pemberian bahan organik dan pupuk NPK. Mulawarman Sci. 9(1): 103– 106.

Sutarno dan Sugiyarto. 2006. Keanekaragaman hayati Indonesia dan pemanfaatannya untuk sumber energi. Prosiding Seminar Nasional Energi Hayati Sebagai Solusi Krisis, Energi: Peluang dan Tantangannya di Indonesia, Sura-karta.

Suwarna B. 2004. Trisno Suwito penyelamat umbi-umbian. Kompas. http://www.kompas.com. Diakses 27 Mei 2009.

Swa. 1999. Diabetes research focuses on local foods. Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com. Diakses 5 Juni 2009.

Tejasari, S. Hartanti, Herlina, B.H. Purnomo. 2001. Laporan penelitian kajian tepung umbi-umbian lokal bahan pangan olahan. Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur dan FTP Univ. Jember, 121 hlm.

Udensi, E.A., H.O. Oselebe, and O.O. Iweala. 2008. The investigation of chemical composition and functional properties of water yam (Dioscorea alata): effect of varietal differences. Pakistan J. of Nutrition 7(2): 342–344.

Wanasundera JPD and G Ravindran. 1994. Nutri-tional assesment of yam (Dioscorea alata) tubers. Plant Foods of Human Nutr. 46: 33–39.

Widowati, S. 2000. Identifikasi bahan makanan alternatif dan teknologi pengolahannya untuk ketahanan pangan nasional. Bul. Agrobio 3(2): 42–50.

Wilson, J.W. 1987. Careful storage of yams-some ba-sic principles to reduce losses. IRETA, Samoa http://www.ctahr.hawaii.edu/adap2/Publications/ Ireta_pubs/yam_storage.pdf. Diakses 27 Mei 2009.

Gambar

Tabel 1. Produksi Dioscorea spp. terbesar di duniatahun 2012
Gambar 1. Bagian tanaman uwi (D. alata).
Tabel 2. Klasifikasi uwi di Indonesia berdasarkan bentuk dan warna daging umbi
Tabel 3. Kandungan nutrisi uwi (tiap 100 g bahan).
+2

Referensi

Dokumen terkait

Judul: “Pengaruh Leverage dan Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel Pemoderasi Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar di Jakarta Islamic

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kevalidan LKPD yang dikembangkan ini adalah angket penilaian oleh ahli materi, ahli media, dan bahasa, untuk mengukur

Produksi nyata alat adalah hasil yang dapat dicapai suatu alat dalam realitas kerjanya pada saat alat itu dioperasikan.. Produksi teoritis merupakan hasil terbaik

Penelitian ini dimaksudkan untuk membangun model yang dapat memprediksi kuat tekan, diameter tulangan dan tebal selimut beton berdasarkan bacaan peralatan NDT yang

Di hadapan saudara telah tersedia sampel “manisan kering pepaya”, saudara diminta untuk memberikan penilaian terhadap sampel-sampel tersebut yang meliputi aroma, rasa, tekstur, dan

April 2014 - Maret 2015 Menunjang kegiatan Pastori April 2014 - Maret 2015 Menjamin kesejahteraan Vikaris Sesuai peraturan.. GPIB April 2014 - oktober 2014 Vikaris mendapat

Pada pengujian air garam menjadi sumber energi, daya yang besar didapatkan pada luas penampang tembaga 21 cm 2 yang dirangkaikan dengan seng yang mempunyai luas penampang 21 cm 2