• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESILIENSI PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESILIENSI PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S-1

Diajukan oleh : WIWIT WIDYOWATI

F 100 090 154

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

(2)

i

RESILIENSI PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S-1

Diajukan oleh : WIWIT WIDYOWATI

F 100 090 154

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

(3)

ii

RESILIENSI PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai

Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Diajukan Oleh: WIWIT WIDYOWATI

F 100 090 154

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

(4)

'u;ruqurng IS '14l 6und61 Inlorqez 'Br11

\f)M

Eulqrugqura4 : qalo rnfnlesrp r{BIeI rfn8ue4 ue^\eq uudep ry uu>luequuedlp >tntun 1nfruoslp qulel ,s106000I'.{ pu,u.o,{p1r11 il,rq1\ : qelo ue{nl€lq VANdNOIH NYCNYSYd

IIYI^I

TYS9NIII(I

SNYA YISNVA YOYd ISNf,ITISflU

(5)

AI 6ulruqerng IS'W "!Sd'S "oluB/lrrnd o^pes u8peq 1[n8uo4 IS 'W "lsd's 'IuI{BH BulrnN I}IS unpe{ gJn8ue4 IS'tr^['rrnao IntorqBz'ur(I Eruuln 1[n8ual lere.ft qnueruetu q?lol uelptefurp uup gtgz

IInf

leEEuul epu4 rfn8ued ue,l\ep uedeprp uapuqq.redlp rluloJ

,sr

060 00r

I

ffi

: qelo ue4nlelp Euea YANdOOIH NVONVSYd IIYIAI

IYOCNIIIC

ONVA YISNVA Y(IVd ISNSITISf,U

(6)

1 ABSTRAKSI

RESILIENSI PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA

Wiwit Widyowati Dra. Zahrotul Uyun, M. Si

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta widyowati@gmail.com

Resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu dalam menghadapi masalah atau situasi yang menekan dalam hidup sehingga dapat bangkit kembali serta memandang masalah dan penderitaan secara positif serta merupakan hal yang wajar dalam kehidupan. Kematian pasangan bagi lansia membuat lansia memerlukan penyesuaian diri guna menjalani masa depan setelah kematian pasangan. Pada umumnya setelah kematian pasangan lansia akan merasa kesepian, tidak lagi memiliki teman untuk bertukar pikiran, hilangnya sosok yang dapat dipercaya dan sebagainya sehingga membuat lansia merasa terasing dari kehidupan keluarga.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan resiliensi pada lansia yang ditinggal mati pasangan hidupnya. Informan dalam penelitian ini adalah tiga orang perempuan lanjut usia berusia enampuluh tahun ke atas, suami yang telah meninggal maksimal selama 2 tahun, sudah tidak bekerja, dan tidak menikah lagi. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dan observasi deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek- aspek yang membangun perilaku resilien pada lansia adalah relatif sama, meliputi: regulasi emosi, optimisme, empati, efikasi diri, kontrol terhadap impuls, kemampuan menganalisa masalah, dan pencapaian. Akan tetapi terdapat perbedaan aspek yang menonjol pada diri masing- masing lansia sehingga setiap lansia memiliki aspek khas dari dirinya yang akhirnya dapat membentuk perilaku resilien pada lansia. Selain itu, dapat pula diketahui bahwa faktor pembentuk perilaku resilien pada lansia antara lain bersumber dari dalam diri sendiri dan berasal dari dukungan orang terdekat seperti anak dan teman sebaya.

(7)

2

PENDAHULUAN

Lanjut usia adalah salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada fase ini seorang individu mengalami berbagai macam kemunduran dalam hidupnya seperti kemunduran fisik dan fungsi kognisi yang mengakibatkan lansia sering dipandang sebagai makhluk yang merepotkan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Administration

of Aging ( dalam Papalia dkk, 2009)

diperoleh bahwa populasi lansia usia enampuluh tahun ke atas akan melambat di negara-negara maju namun akan tetap meningkat di negara berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah lansia diperkirakan akan terus meningkat. Kondisi kehidupan dan perawatan yang baik pada kebanyakan laki- laki

dan perempuan saat ini tidak menunjukkan tanda- tanda penuaan mental maupun fisik hingga usia enam puluh ke atas. Karena hal itulah usia enam puluh ke atas dijadikan sebagai usia pensiun di berbagai jurusan, sebagai tanda dimulainya usia lanjut (Hurlock, 2012 ). Pada saat lanjut usia terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para lansia seperti terjadinya berbagai kemunduran fisik, psikologis, kognitif dan sebagainya yang tentu memerlukan penyesuaian bagi lansia untuk menjalani peran baru tersebut. Proses penyesuaian diri pada setiap lansiapun juga berlangsung secara berbeda- beda dalam menghadapi berbagai kemunduran diri serta masalah yang muncul dalam sehari- hari. Salah satu masalah yang cukup penting yang harus dihadapi lansia

(8)

3

adalah kehilangan pasangan hidup. Kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup lansia memerlukan suatu kesiapan dan penyesuaian diri guna menjalani kehidupan ke depan tanpa pasangan yang selama ini selalu menemani dan bersama. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka diperlukan suatu kemampuan atau kapasitas individu dalam menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan serta penderitaan hidup secara positif sehingga individu dapat memandang permasalahan tersebut sebagai hal yang wajar yang dikenal dengan istilah resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk mengatasi dan melakukan adaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam

kehidupan seseorang. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma yang dialami dalam kehidupan (Reivich & Shatte, 2002). Middleton dkk (dalam Mancini & Bonanno, 2009) menyatakan bahwa individu yang mengalami stres atau tekanan akibat kehilangan seseorang yang dekat dalam hidup mereka beranggapan akan mengalami kesulitan hidup di masa depan. Penelitian yang dilakukan Luthans, (dalam Yuniar dkk, 2011) menyatakan bahwa resiliensi menjadi faktor yang sangat penting untuk dapat mengubah ancaman-ancaman yang ada di sekitar menjadi kesempatan untuk bertumbuh, berkembang, dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi demi perubahan ke arah

(9)

4

yang baik. Penelitian lain juga dilakukan oleh Moneerat, dkk (2011) yang meneliti tentang struktur konsep resiliensi pada lansia Thailand yang mengambil sampel dari empat provinsi di Thailand terhadap 14 lansia berusia antara 62- 82 tahun yang mengalami tantangan keras dalam hidup seperti kehilangan rumah dan memiliki penyakit kronis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi adalah bentuk adaptasi sukses dalam menghadapi kesulitan besar dalam kehidupan seperti kemiskinan, penyakit, trauma masa lalu, dan kehilangan orang terdekat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa resiliensi disebut sebagai kualitas pribadi yang memungkinkan lansia untuk berkembang dan bertahan di tengah- tengah kesulitan. Penelitian yang dilakukan oleh D’Epinay dkk (2003) menyatakan bahwa kematian

dari orang terdekat (pasangan, saudara, atau teman) tidak berdampak pada fungsi kesehatan fisik pada lansia, akan tetapi kehilangan orang terdekat lebih diasosiasikan sebagai simptom depresi dari kemampuan untuk bertahan akibat kesepian. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa perilaku resilien diperlukan guna menghadapi berbagai kesulitan hidup. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan resiliensi pada lansia yang ditinggal mati pasangan hidupnya.

LANDASAN TEORI

1. Resiliensi

Luthans (dalam Yuniar dkk, 2011) yang menyatakan bahwa resiliensi adalah istilah ketahanan dalam ilmu psikologi positif. Kata resiliensi mengacu pada kemampuan atau kapasitas

(10)

5

individu untuk bertahan dan bangkit kembali dari suatu keadaan yang menekan guna memulihkan kebahagiaan setelah menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk mengatasi dan melakukan adaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma yang dialami dalam kehidupan (Reivich & Shatte, 2002 ).

Reivich & Shatte (2002) menyebutkan bahwa individu yang resilien atau mampu menghadapi masalah memiliki aspek- aspek di bawah ini:

a. Pengaturan Emosi (Emotion

Regulation), didefinisikan sebagai

kemampuan individu untuk dapat mengatur emosi sehingga tetap tenang meskipun sedang berada dalam situasi yang tertekan. b. Optimisme (Optimism),

didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk yakin bahwa sesuatu akan berubah menjadi lebih baik, memandang masa depan dengan semangat, namun tetap realistis.

c. Empati (Emphaty), didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk dapat memahami dan mengerti perasaan dan keadaan psikologis orang lain.

d. Efikasi Diri (Self Efficacy), didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk yakin dan percaya untuk dapat mengatasi masalah dan akan berhasil.

(11)

6

e. Kontrol Terhadap Impuls (Impuls

Control), didefinisikan sebagai

kemampuan individu untuk mengontrol dorongan- dorongan dari dalam diri sehingga dapat berpikir secara bijak dan jernih. f. Kemampuan Menganalisis

Masalah (Causal Analysis), didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam menganalisa permasalahan dan penyebab terjadinya suatu masalah.

g. Pencapaian (Reaching Out), didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam dirinya sehingga dapat mengatasi ketakutan yang mengancam dalam kehidupan.

Moneerat dkk (2011) mengemukakan bahwa individu yang resilien memiliki tiga domain atau wilayah yang

mempengaruhi terbentuknya perilaku resilien meliputi: kekuatan diri (I Am), memiliki dukungan eksternal (I Have), dan

memiliki kemampuan

interpersonal (I Can). Werner (dalam Sudaryono, 2007) yang menekankan pada proses terbentuknya resiliensi dalam perkembangan individu, yaitu:

Pertama, berasal dari kondisi

personal atau internal (kemampuan individu untuk berkomunikasi, mudah bergaul, dan memiliki kemampuan menyelesaikan masalah). Kedua, berasal dari lingkungan keluarga dan orang terdekat yang perduli (eksternal). Ketiga, lingkungan komunitas (interpersonal).

2. Lanjut Usia

Hurlock (2012) mendefinisikan lanjut usia sebagai periode

(12)

7

kemunduran fisik dan mental pada manusia yang terjadi secara perlahan dan bertahap yang dikenal dengan istilah

“senescence”, yaitu fase proses

menjadi tua. Individu akan menjadi semakin tua ketika berusia limapuluhan hingga mencapai sekitar awal atau akhir enampuluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mental masing- masing individu. Lanjut usia merupakan periode akhir dari kehidupan manusia yang identik dengan perubahan yang bersifat menurun dan merupakan masa kritis untuk mengevaluasi kesuksesan dan kegagalan seseorang dalam menjalani hidup serta menghadapi masa kini dan masa depan (Indriana dkk 2011). Hurlock (2012) menjelaskan secara lebih khusus bahwa masa

lansia memiliki ciri- ciri: 1) Terjadinya berbagai macam kemunduran (fisik dan mental), 2) Terjadi perbedaan individual pada efek menua, 3) Usia lanjut dinilai dengan kriteria yang berbeda, 4) Munculnya berbagai streotipe yang diberikan pada lansia (seringnya bersifat negatif), 5) Sikap sosial terhadap lansia yang sering tidak menyenangkan, 6) Lansia mempunyai status kelompok yang minoritas, 7) Belajar menerima perubahan peran sebagai lansia, 8) Lansia sering memiliki penyesuaian diri yang buruk akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan, dan 9) Memiliki keinginan untuk kembali muda. Papalia dkk (2009) yang menjelaskan lanjut usia memiliki karakteristik atau ciri- ciri yang secara umum meliputi

(13)

8

dua hal, yaitu: 1) Perkembangan Fisik, meliputi: terjadi penurunan sistem tubuh, terjadi penuaan pada otak, terjadi perubahan fungsi sensorik dan psikomotor, terjadi perubahan pola tidur, dan penurunan fungsi seksual. 2) Perkembangan Kognitif, meliputi: terjadi perubahan dalam kemampuan memproses, ingatan yang menurun, dan pada umumnya para lanjut usia sering melakukan evaluasi terhadap perjalanan hidup yang telah dilalui selama ini sehingga membuat individu belajar lebih bijaksana.

Hurlock (2012) membagi tahapan usia lansia menjadi dua macam, yaitu: 1) Usia lanjut dini (berusia antara 60- 70 tahun), dan 2) Usia

lanjut (berusia antara 70 tahun-

akhir kehidupan seseorang). Eddy

& Sarwoko (dalam Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1990) yang menyatakan bahwa masa usia lanjut dimulai ketika memasuki usia 60 tahun sampai meninggal. Hurlock (2012) yang menyatakan bahwa sebagian besar tugas perkembangan lansia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Tugas perkembangan tersebut meliputi: 1) Penyesuaian diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan. 2) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income atau pendapatan. 3) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup. 4) Membentuk hubungan dengan orang- orang yang seusia. 5) Membentuk pengaturan

(14)

9

kehidupan fisik yang memuaskan. 6) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

Hurlock (2012) menyebutkan beberapa masalah umum yang unik bagi lansia meliputi: 1) Melemahnya keadaan fisik sehingga sering dan harus bergantung dengan orang lain, 2) Pendapatan yang menurun menyebabkan lansia harus mengubah pola hidup, 3) Harus menyesuaikan diri seiring dengan perubahan ekonomi dan fisik, 4) Kehilangan pasangan sehingga harus mencari teman baru, 5) Semakin banyaknya waktu luang sehingga harus mencari kegiatan, 6) Harus dapat memperlakukan anak sebagai orang dewasa, 7) Harus mulai terlibat dan membiasakan diri dengan kegiatan yang berhubungan

dengan lansia, 8) Mengurangi kegiatan berat yang sering dilakukan ketika masih muda, dan 9) Memiliki masalah yang berhubungan dengan kesehatan. 3. Resiliensi pada Lansia yang

Ditinggal Mati Pasangan Hidupnya

Kehilangan pasangan hidup merupakan salah satu bentuk kehilangan yang harus dihadapi oleh lansia. Kehilangan yang disebabkan karena kematian pasangan hidup merupakan penyebab utama terjadinya stress dalam kehidupan lansia (Santrock, 2002). Rathus & Nevid (dalam Awaningrum, 2007) menyatakan bahwa individu baru dapat menerima kematian seseorang terutama orang terdekatnya setelah 2 tahun. Lansia yang berkepribadian resilien ketika

(15)

10

pasangan meninggal adalah lansia yang mampu menyadari bahwa kematian pasti datang dan menyikapi hal tersebut secara wajar sehingga akan merasa tenang atas dirinya sendiri maupun kematian pasangan (Santrock, 2002). Secara singkat dinamika psikologis lansia yang resilien menurut Erikson (dalam Awaningrum 2007) adalah lanjut usia yang mampu bahagia dan merasa puas atas hidup yang telah dijalani (evaluasi atas hidup) meskipun dengan berbagai kemunduran yang saat ini dialami

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Data penelitian akan diungkap melalui wawancara mendalam dan observasi deskriptif terhadap informan penelitian.

Informan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik

purposive sampling yang berjumlah

3 orang. Adapun kriteria dari subjek penelitian dalam penelitian ini meliputi: 1) Lansia perempuan yang berusia minimal 60 tahun. 2) Memiliki pasangan yang sudah meninggal maksimal 2 tahun. 3) Sudah tidak bekerja dan tidak menikah lagi. Adapun lokasi penelitian ini adalah di sekitar wilayah Surakarta. Pada penelitian ini, data- data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif Model Interaktif Miles dan Huberman.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan terhadap 3 informan (lansia I, S, dan M), diketahui bahwa para informan

(16)

11

tetap dapat melakukan aktifitas yang selama ini sudah dikerjakan dan tidak memiliki rencana apapun lagi di masa depan. Selain itu, hal yang membuat lansia untuk tetap bertahan dan optimis menjalani kehidupan masa depan setelah kematian pasangan adalah berbeda- beda. Lansia I mampu bertahan karena adanya kegiatan keagamaan yang sering diikuti, lansia S merasa mampu bertahan karena dirinya sendiri yang berusaha untuk mengontrol perasaan yang dirasakan, sedangkan lansia M mampu bertahan karena adanya kehadiran anak dan cucu serta keinginan dari dalam diri untuk menjadi lebih baik.kematian pasangan tidak terlalu mempengaruhi kehidupan lansia secara signifikan, perubahan yang paling terasa adalah pada kebiasaan sehari- hari saat mereka masih bersama pasangan.

Selain itu, setelah kematian suami para lansia menemukan sosok lain yang dijadikan sebagai tempat bertukar pikiran seperti anak, teman sebaya, dan sebagainya. Secara umum para lansia juga sudah merasa bahagia, puas, dan tidak memiliki keinginan lain yang ingin dicapai dalam hidup, mereka lebih suka melanjutkan aktifitas yang selama ini telah mereka kerjakan baik saat suami masih hidup ataupun telah meninggal, para lansia juga ingin melewati masa tua dengan perbuatan yang lebih baik dan bermanfaat bagi diri mereka karena memandang bahwa suatu saat kematianpun akan datang pada mereka.

KESIMPULAN

1. Regulasi Emosi. Secara umum semua informan memiliki regulasi emosi yang hampir sama. Semua informan merasakan kesedihan

(17)

12

ketika suami meninggal, meskipun kematian pasangan tidak membawa pengaruh yang besar dalam hidup semua informan. Dua dari tiga informan mengeskpresikan apa yang dirasakan dengan bercerita kepada orang terdekat, sedangkan seorang informan tidak suka mengespresikan apa yang dirasakan. Hal ini juga berpengaruh pada bagaimana para informan berusaha untuk tetap tenang ketika ada masalah, seperti melalui kegiatan keagamaan dan usaha dari dalam diri sendiri.

2. Optimisme. Semua informan memandang masa depan setelah kematian pasangan tanpa ada rencana atau perubahan yang berarti. Mereka lebih suka melanjutkan aktifitas yang selama ini sudah dijalani saat suami masih hidup. Sedangkan hal yang mendorong untuk tetap merasa semangat dan bertahan ketika

menghadapi kesulitan adalah rasa pasrah terhadap Tuhan dan usaha dari dalam diri sendiri yang berusaha untuk tetap merasa senang. Begitu pula ketika ada suatu masalah, dua dari tiga informan berusaha untuk menyelesaikan sendiri masalah yang ada baru kemudia berdiskusi dengan orang terdekat seperti anak- anaknya, sedangkan satu informan lebih suka menyelesaikan setiap masalah yang sendiri.

3. Empati. Para informan dapat berhubungan sosial dengan orang- orang sekitar, baik dengan keluarga maupun tetangga. akan tetapi setiap informan memiliki kelekatan yang berbeda- beda dengan keluarganya. Terdapat lansia yang sangat memiliki hubungan erat dengan keluarganya yang ditunjukkan dengan perasaan informan yang merasa bahwa anak- anaknya sangat perhatian dengan

(18)

13

dirinya, akan tetapi terdapat seorang lansia yang tidak memiliki hubungan dekat dengan keluarga. Para informan juga ikut merasa sedih jika ada orang lain yang mengalami hal sama dengan mereka.

4. Efikasi Diri. Ketika dihadapkan pada masalah kematian suami, seluruh informan memiliki keyakinan di dalam diri mereka bahwa mereka akan berhasil mengatasi masalah yang ada, karena seluruh informan memandang kematian suami adalah takdir Tuhan yang tidak dapat dihindari serta berpendapat bahwa kematian akan datang kepada siapapun. Sedangkan untuk kegiatan sehari- hari, seluruh informan tidak suka melakukan atau mencoba aktifitas dan kegiatan baru yang belum pernah dilakukan karena merasa apa yang sudah dilakukan

selama ini sudah membuat mereka nyaman.

5. Kontrol Terhadap Impuls. Sebelum kematian suami, dua dari tiga informan tidak memiliki semacam firasat bahwa suami mereka akan meninggal sedangkan satu informan merasakan firasat bahwa suaminya akan meninggal. Sedangkan cara para informan untuk tetap berpikir positif adalah relatife sama yaitu dengan memasrahkan hidup mereka saat ini kepada Tuhan dengan banyak melakukan kegiatan keagamaan seperti sering pengajian, membaca Al Quran dan sebagainya.

6. Kemampuan Menganalisa Masalah. Meskipun merasa sedih, para informan tidak memandang kematian suami dengan menyalahkan pihak lain dan berusaha mengikhlaskan kematian pasangan. Maka, ketika ada masalah datang setelah kematian

(19)

14

suami, para informan lebih sering berdiskusi dengan orang terdekat seperti anak dan teman sebaya guna mencari solusi dari suatu masalah. Akan tetap, satu informan lebih suka

untuk memendam dan

menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi karena lansia tersebut tidak suka mengungkapkan apa yang dirasakan kepada orang lain.

7. Pencapaian. Secara umum dapat disimpulkan bahwa semua informan sudah merasa tercukupi dengan kehidupan mereka saat ini dan merasa puas serta bahagia dengan keadaan mereka meskipun tidak ada lagi pasangan yang menemani. Selain itu, para informan juga sudah tidak memiliki keinginan yang masih ingin dicapai setelah kematian pasangan, mereka hanya berharap kehidupan yang tenang dan tidak ada

masalah berat dalam kehidupan masa tua sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Awaningrum, I.N. (2007). Psychological Well- Being Perempuan Lanjut Usia yang Mengalami Grief Karena Kematian Suami. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (Diakses dari http//.e.psikologi.com/psych ological.well-being.perempuan.lanjut.usia. yang.mengalami.grief.karen a.kematian.suami, tanggal 20 Januari 2013, pukul 18.00 WIB).

D’ Epinay C. J, Cavalli .S, & Spini, D. (2003). The Death of A Loved One: Impact on Health and Relationships in Very Old Age. Omega Vol. 47. No. 2, 265- 284.

Hurlock, E. B (2002). Psikologi

Perkembangan Suatu

Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta

: Erlangga.

Indriana Y, Desiningrum D. R, dan Kristiana I. F. (2011). Religiositas, Keberadaan Pasangan dan Kesejahteraan Sosial (Social Well Being)

pada Lansia Binaan PMI Cabang Semarang. Jurnal

Psikologi Undip Vol. 10,

(20)

15

Mancini A. D & Bonanno G. A. (2009). Predictors and Parameters of Resilience to Loss: Toward an Individual Differences Model. Journal

of Personality. Columbia

University, Vol. 2, No. 7, 1-28.

Maneerat . S, Isaramalai . S, & Boonyasopun .U. (2011). A Conceptual Structure of Resilience among Thai Elderly. International

Journal of Behavioral

Science Vol. 6, No. 1, 25-

40.

Papalia, E.D, Olds S. W, & Feldman R. D. (2009). Human Development Perkembangan

Manusia. Jakarta : Salemba

Humanika.

Reivich, K & Shatte, A. (2002). The

Resilience Factor: 7

Essential Skills for

Overcoming Life’s

Inevitable Obstacles. New

York: Broadway Books. Santrock, J. W. (2002). Life-Span

Development,

Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Sudaryono. (2007). Resiliensi dan Locus of Control Guru dan Staf Sekolah Pasca Gempa. Jurnal Kependidikan. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga: Surabaya, Vol. 3, No. 1, 1-8

Referensi

Dokumen terkait

Paradigma baru pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan diharapkan lebih dapat bersifat memberdayakan masyarakat mengingat salah satu

Dari hasil simulasi dan eksperimen ditunjukkan bahwa dengan fungsi keanggotaan, kaidah fuzzy dan skala yang sama, pengendali fuzzy adaptif bertipe-.. 2 interval memiliki

Penelitian ini mengkaji mengenai bagaimana menentukan estimasi parameter dengan variabel dummy menggunakan metode kuadrat terkecil, menentukan rata-rata dan faktor-faktor yang

Pedoman Simintas yang digunakan, dibuat dan dikembangkan oleh unit yang terkait dalam proses pengembangan dan produksi bahan ajar seperti Fakultas dan unit-unit dibawah

Pada hari ini Senin tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Agustus tahun Dua Ribu Enam Belas (29-08-2016) bertempat di Sekretariat ULP Kabupaten Sumbawa, Kelompok Kerja 43

Hasil dari penelitian ini adalah SRPMM yang peruntukannya untuk wilayah gempa sedang, tetap dapat memberikan kinerja cukup baik yang ditunjukkan dengan

BMKG (Badan Metrologi Klimatologi dan Geofisika) sebetulnya telah menyediakan data perkiraan iklim, cuaca dan gejala alam lainnya, secara lengkap. Data tersebut

Berdasar data awal hasil pengamatan akhir pada parameter tinggi batang yang tercantum pada gambar grafik 4 menyatakan bahwa rata pertumbuhan tanaman okra yang