ANALISIS RENCANA PEMBERLAKUAN ELECTRONIC
ROAD PRICING UNTUK MENGURANGI POLUSI
LINGKUNGAN
(Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)
DESSY CHRISTIARINI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
DESSY CHRISTIARINI. Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat). Dibimbing Oleh RIZAL BAHTIAR.
Electronic Road Pricing (ERP) merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan. Kebijakan ini bertujuan agar kelancaran lalu lintas dapat dicapai sehingga masalah lingkungan yang berdampak pula pada sosial ekonomi masyarakat dapat diatasi. Tujuan Penelitian ini adalah 1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar, 2) Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP), 3) Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP, 4) Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP, dan 5) Menganalisis rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP.
Berdasarkan hasil estimasi pada model regresi linier berganda diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai ERP dilihat dari Willingness To Pay (WTP) pengguna jalan adalah tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar, tingkat pendapatan, dan durasi terkena kemacetan. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah keinginan untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan. Nilai rata-rata WTP (EWTP) sebesar Rp 23.100. Nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam penetapan tarif ERP. Nilai total WTP responden pengguna Jalan Jenderal Sudirman sebesar Rp 212.583.756.000/tahun. Tarif ERP yang sesuai untuk diberlakukan adalah sebesar nilai mean WTP yaitu Rp 23.100, sehingga jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP sebesar 5.429.628 unit kendaraan/tahun atau 59% dari total populasi. Pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi emisi di sekitar wilayah Sudirman. Asumsinya apabila ERP diterapkan maka kondisi pengurangan emisinya akan mendekati rata-rata Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Estimasi perkiraan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP sebesar 3.773.132 unit kendaraan/tahun. Dengan demikian, perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari pemberlakuan ERP dihitung dengan mengalikan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP dengan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan, sehingga total dana yang dapat dihasilkan adalah Rp 87.159.349.200/tahun dengan asumsi ERP diberlakukan pada peak pagi, peak siang, dan peak sore. Namun, apabila ERP hanya diberlakukan pada peak pagi dan peak sore saja (ERP tidak berlaku pada peak siang), maka perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari penerapan kebijakan ERP adalah Rp 66.382.428.420/tahun.
ANALISIS RENCANA PEMBERLAKUAN ELECTRONIC
ROAD PRICING UNTUK MENGURANGI POLUSI
LINGKUNGAN
(Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)
DESSY CHRISTIARINI H44070026
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Rencana Pemberlakuan
Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan: Kasus Jalan
Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Judul Skripsi : Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)
Nama : Dessy Christiarini
NIM : H44070026
Menyetujui
Dosen Pembimbing,
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si NIP. 19800603 200912 1 006
Mengetahui
Ketua Departemen,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu baik moril maupun materil untuk menyelesaikan
skripsi ini, yaitu kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan.
2. Ayahanda (Yohanes Sumarjo), Ibunda (Brigita Suharsih), Kakakku (Rosa
Maharani), Tanteku (Yanti), dan seluruh keluarga besar saya yang selalu
memberikan semangat, kasih sayang, doa dan dukungannya kepada penulis.
3. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan semangat, perhatian, bimbingan,
motivasi, saran, dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr dan Bapak Novindra, SP sebagai dosen
penguji yang bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan
saran demi penyempurnaan skripsi ini.
5. Abdull Balfash dan Sahabat-sahabat terbaikku (Oi, Vita, Ai, Astrid, Echi,
Uut), teman-teman 1 PS, dan seluruh mahasiswa/i ESL yang selalu membantu,
mendoakan, dan memberi semangat/dukungan kepada penulis hingga saat ini.
6. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB.
7. Seluruh pihak dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah dan Dinas
Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu dalam pengambilan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Rencana Pemberlakuan
Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan
Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)” disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak
baik secara moril maupun materil. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
memperoleh kesempurnaan dalam penulisan berikutnya. Semoga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya serta pihak-pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
DAFTAR ISI
2.2. Latar Belakang Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) ... 13
2.3. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Beberapa Negara ... 15
2.4. Manfaat dan Dampak Electronic Road Pricing (ERP) ... 17
2.5. Dasar Hukum Electronic Road Pricing (ERP) ... 18
2.6. Permasalahan Transportasi Publik ... 21
2.7. Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara ... 22
2.8. Dampak Pencemaran Udara ... 25
2.9. Manajemen Transportasi ... 26
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 30
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 30
3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM) ... 30
3.1.1.4. Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method ... 38
3.1.2. Regresi Linier Berganda ... 39
3.1.3. Instrumen Ekonomi ... 41
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 43
IV. METODE PENELITIAN ... 46
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 46
ix
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 47
4.4.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya
4.5. Pengujian Parameter... 55
4.5.1. Uji Statistika...
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 61
5.2. Karakteristik Responden ... 65
5.2.1. Jenis Kelamin ... 65
6.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP Dilihat dari Willingness To Pay (WTP) Pengguna Jalan .. 70
6.2. Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya Nilai ERP... 76
6.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang ... 81
6.4. Analisis Dampak Lingkungan dari Pemberlakuan ERP ... 84
6.4.1. Kondisi Lingkungan ... 85
6.4.2. Kondisi Sosial ... 87
6.4.3. Kondisi Ekonomi ... 87
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta Menurut
Jenis Tahun 2005-2010 ... 1
2. Pengelompokan Road Pricing... 11
3. Metode Analisis Data ... 47
4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis di Wilayah Jakarta Pusat Tahun 2005-2010 ... 64
5. Hasil Analisis Nilai WTP Responden Pengguna Jalan Jenderal Sudirman ... 70
6. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda yang Menunjukkan Tidak Adanya Pelanggaran Asumsi dalam Model... 76
7. Distribusi Nilai WTP Responden ... 78
8. Total WTP Masyarakat Pengguna Jalan Jenderal Sudirman ... 79
9. Total Kendaraan yang Berkurang Akibat Pemberlakuan ERP ... 82
10. Data Car Free Day tahun 2010 ... 84
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Aplikasi ERP di Beberapa Kota di Dunia ... 16
2. Diagram Alur Kerangka Berfikir ... 45
3. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Blok-M ... 63
4. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Semanggi ... 64
5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66
6. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia ... 66
7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 67
8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 68
9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 68
10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan... 69
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda ... 101 2. Perhitungan Perkiraan Total Dana yang Dapat Dihasilkan dari
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jakarta merupakan ibu kota negara dan sebagai pusat pemerintahan
Indonesia. Menurut Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Administrasi (2010), Jakarta mempunyai luas 7.659,02 km2 dengan jumlah
penduduk sebesar 8.525.109 jiwa. Jakarta juga mempunyai kepadatan penduduk
yang tinggi yaitu mencapai 19.537 jiwa/km2. Peningkatan jumlah penduduk dan
pertumbuhan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan
pembangunan fisik kota terus melaju dengan pesat.
Peningkatan jumlah penduduk juga menyebabkan semakin bertambahnya
pengguna kendaraan bermotor yang melebihi kapasitas jalan. Hal ini didorong
oleh keinginan untuk kemudahan beraktivitas. Badan Pusat Statistik (2010)
memaparkan bahwa produksi kendaraan bermotor untuk kuartal II-2010
mengalami kenaikan hingga 26,15% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sementara untuk produksi alat transportasi selain roda empat atau lebih
mengalami kenaikan 19,23%. Berikut ini merupakan data perkembangan jumlah
kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta tahun 2005-2010.
Tabel 1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta Menurut
2 Tabel 1 menunjukkan data jumlah kendaraan bermotor menurut jenisnya,
yaitu kendaraan bermotor berjenis penumpang meliputi mobil pribadi dan
angkutan umum, kendaraan bermotor berjenis beban meliputi truk dan
angkutan-angkutan berat, kendaraan bermotor berjenis bus dan sepeda motor. Sejak tahun
2005-2010 jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya cenderung mengalami
peningkatan. Perkembangan Kota Jakarta yang semakin pesat ditandai dengan
semakin pesatnya pertumbuhan industri, perdagangan, bisnis, pertokoan, dan
pemukiman sehingga aktivitas perjalanan menjadi tinggi dan menimbulkan beban
pada ruas-ruas jalan. Hal ini mengakibatkan kemacetan hampir di semua ruas-ruas
jalan utamanya.
Kemacetan lalu lintas di Kota Jakarta semakin hari semakin sulit diatasi.
Setiap hari, kemacetan selalu terjadi di berbagai belahan wilayah ibu kota, mulai
dari jalan protokol. Kemacetan dapat menimbulkan berbagai masalah yang erat
kaitannya dengan sektor lingkungan, sosial, dan ekonomi. Kerugian utama dari
kemacetan adalah menurunnya efisiensi dan efektivitas perekonomian kota yang
sekaligus dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi nasional karena
produktivitas pekerja yang menurun. Selain itu, kemacetan juga meningkatkan
biaya operasi dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) serta meningkatkan
polusi udara di Kota Jakarta karena jumlah emisi yang dikeluarkan ke udara lebih
tinggi akibat mesin yang menyala lebih lama. Polusi udara yang terus meningkat
akan menjadikan lingkungan kota yang tidak sehat dan dapat menurunkan
kesehatan manusia.
Kebijakan dalam hal sistem transportasi telah banyak dikeluarkan oleh
3 sehingga inefisiensi bahan bakar dapat ditekan dan polusi udara dapat dikurangi.
Tingkat polusi yang semakin meningkat tidak dapat dipisahkan dengan masalah
perencanaan dan manajemen transportasi. Manajemen transportasi yang baik
harus diterapkan untuk melancarkan arus lalu lintas dan meningkatkan tingkat
mobilitas serta mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam membatasi kendaraan bermotor, Dinas Perhubungan DKI Jakarta
menjalankan aturan three in one, yaitu kebijakan mobil berpenumpang minimal
tiga orang pada jam-jam tertentu di jalan-jalan protokol Jakarta. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan dan tingkat polusi udara yang semakin
tinggi. Penerapan jalur three in one telah diberlakukan sejak 23 Desember 2003.
Jalur three in one ini meliputi Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH. Thamrin, Jalan
Sisimangaraja, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Majapahit, Jalan Gajah Mada,
Jalan Hayam Wuruk, Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Pintu Besar Utara, dan Jalan
Jenderal Gatot Subroto. Sistem ini sedikit banyak telah mampu menekan
penggunaan kendaraan pribadi pada jalan-jalan utama tersebut, akan tetapi hal ini
tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan di
Jakarta. Kebijakan three in one ini dinilai tidak efektif dalam mengurangi
kemacetan dan menekan penggunaan kendaraan pribadi di kota Jakarta. Hal ini
dikarenakan sistem tersebut memiliki beberapa kelemahan antara lain: (1) tidak
adanya manajemen atau aturan yang melarang penggunaan jalan-jalan lokal,
sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal atau biasa disebut ”jalan
tikus” yang ada untuk menghindari daerah three in one, ini memindahkan
kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya penyedia jasa illegal yang berperan
4 jumlah penumpang menjadi tiga, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada
satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain
(seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.1
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan salah satu kebijkan baru
di bidang transportasi yaitu Electronic Road Pricing (ERP). Mekanismenya
adalah setiap kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan diminta untuk membayar
dengan harga tertentu. Kebijakan ini bertujuan untuk menggantikan kebijakan
three in one yang dinilai tidak efektif dalam mengendalikan laju penggunaan
mobil pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas, inefisiensi BBM, dan
polusi udara di Kota Jakarta. Upaya ini sangat baik dilakukan karena dapat
menurunkan tingkat polusi dan konsumsi bahan bakar minyak. Kebijakan ERP
akan diterapkan di beberapa jalan protokol dan rawan macet yang menjadi pusat
bisnis Jakarta, seperti Jalan Thamrin-Sudirman, Jalan Gajahmada-Hayamwuruk,
dan lain-lain.
Electronic Road Pricing (ERP) merupakan teknologi retribusi yang paling
efektif dan efisien untuk segera mengatasi kemacetan di Jakarta karena alat
pendeteksi kendaraan bermotor yang menggunakan on board unit tersebut bisa
mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke Trans Jakarta (busway). Efisien,
karena sistem ERP bisa sinkron dengan konsep zona (pembagian daerah) parkir,
yaitu zona tengah, zona pinggir dan zona antara. Di Singapura, ERP terbukti
berhasil meningkatkan kesadaran masyarakatnya menggunakan kendaraan umum.
Sistem ERP juga akhirnya memaksa pengguna kendaraan pribadi mengeluarkan
1
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta.
5 biaya yang tidak sedikit. Ketika masuk zona-zona parkir tertentu, kendaraannya
tidak akan bisa masuk tanpa dilengkapi alat pendeteksi (Business News, 2010)2.
Sistem ERP yang dikelola dengan mekanisme yang baik dapat menekan
penggunaan kendaraan pribadi hingga titik minimal dan mengarahkan para
pengguna kendaraan pribadi untuk beralih dan memanfaatkan angkutan umum
yang ada sehingga kemacetan lalu lintas dapat diatasi dan tercapainya efisiensi
bahan bakar dan pengurangan polusi di udara secara signifikan. Dana yang
diperoleh dari penerapan sistem ERP tersebut dapat digunakan untuk
mengembangkan transportasi publik yang lebih aman dan nyaman.
1.2. Perumusan Masalah
Jumlah penduduk di Jakarta setiap tahunnya selalu mengalami
peningkatan. Hal ini diakibatkan selain tingginya tingkat kelahiran, arus
urbanisasi di Jakarta juga cenderung tinggi karena daya tarik kota Jakarta untuk
mencari pekerjaan. Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan peningkatan
jumlah kendaraan karena kebutuhan masyarakat terhadap alat transportasi
semakin meningkat. Hal tersebut didorong oleh keinginan untuk kemudahan
beraktivitas karena aktivitas perjalanan atau tingkat mobilitas di Kota Jakarta
cenderung tinggi. Permasalahan transportasi yang dihadapi kota Jakarta sangat
besar. Permasalahan utama yang dapat dilihat adalah kemacetan yang terjadi
hampir di seluruh ruas jalan kota Jakarta dan sekitarnya. Masalah kemacetan ini
merupakan masalah yang selalu timbul di kota-kota besar, khususnya Jakarta.
2
Business News. 2010. Investasi ERP Sebesar Rp 500 Miliar Mengatasi Kemacetan di Jakarta.
6 Tingkat kemacetan di Kota Jakarta sudah termasuk dalam kategori yang cukup
parah dan merugikan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Sistem transportasi di Kota Jakarta yang belum efisien dapat menghambat
aktivitas ekonomi. Hal ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi karena
produktivitas yang menurun akibat kemacetan. Dari total waktu perjalanan pada
beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu
hambatan. Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V
Menko Perekonomian, 2007)3.
Selain itu, kemacetan juga berdampak besar bagi lingkungan, yaitu
meningkatnya polusi akibat emisi kendaraan bermotor karena mesin yang
menyala lebih lama sehingga menimbulkan juga inefisiensi dalam hal bahan bakar
minyak (BBM). Tingkat polusi yang semakin tinggi dapat berdampak negatif bagi
kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.
Berbagai solusi dan kebijakan telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta untuk mengatasi permasalahan transportasi di kota Jakarta. Namun,
upaya-upaya tersebut belum mampu untuk memberikan hasil yang diharapkan.
Penerapan aturan three in one yang mewajibkan setiap kendaraan berpenumpang
minimal tiga orang pada saat melewati jalan-jalan protokol tertentu dinilai belum
efektif dalam mengurangi tingkat kemacetan.
Salah satu rencana kebijakan pemerintah dibidang transpotasi adalah
diterapkannya Electronic Road Pricing (ERP). Electronic Road Pricing (ERP)
merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing
3
7 sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan. ERP adalah bentuk program
pembatasan kendaraan pengganti sistem three in one yang efektif untuk
mengurangi kemacetan dan polusi udara, khususnya di wilayah yang terbilang
sempit dengan persentase pertumbuhan penduduk dan mobilitas yang tinggi.
Biaya yang dikenakan dalam mekanisme ERP bertujuan membatasi
volume kendaraan dan memberikan kesadaran kepada para pengguna kendaraan
pribadi bahwa perjalanan mereka berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan
dan kerugian kepada masyarakat yang tidak menggunakan kendaran pribadi.
Pemberlakuan ERP diharapkan mampu mengurangi dampak lingkungan dan
kemacetan, meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar dan mendorong
penggunaan angkutan massal, seperti busway, kereta api, dan lain-lain. Dengan
menggunakan angkutan massal, diharapkan adanya efisiensi ruang jalan. Dana
yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP dapat menjadi sumber dana pemerintah
daerah dalam meningkatkan pelayanan di bidang transportasi dan sebagai salah
satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya transportasi yang lebih
efektif dan ramah lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah :
1) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari
kemampuan pengguna jalan untuk membayar?
2) Berapa besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari
kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP)?
3) Berapa besar jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat
8 4) Bagaimana dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP?
5) Bagaimana kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan
keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP?
1.3. Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari
kemampuan pengguna jalan untuk membayar.
2) Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat
dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP).
3) Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang
akibat pemberlakuan ERP.
4) Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP.
5) Kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang
dihasilkan dari pemberlakuan ERP.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai Analisis Lingkungan Pemberlakuan Electronic Road
Pricing untuk Mengurangi Polusi diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1) Akademisi dan peneliti, khususnya dalam menilai kebijakan pemerintah di
bidang transportasi.
2) Pemerintah Daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan
dalam penerapan kebijakan ERP dan membangun sistem transportasi publik
9 3) Masyarakat, khususnya untuk mendorong penggunaan transportasi massal,
efisiensi bahan bakar dan memperbaiki kualitas lingkungan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :
1) Penelitian ini hanya dilakukan terhadap pengguna Jalan Jenderal Sudirman,
Jakarta Pusat.
2) Responden pengguna jalan yang dianalisis merupakan pengendara mobil
10
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Electronic Road Pricing (ERP)
Electronic road pricing (ERP) adalah kebijakan pemberlakuan jalan
berbayar untuk setiap kendaraan yang melewatinya. ERP bertujuan mengurangi
kemacetan di ruas jalan tertentu meski pada simpul jalan yang lain justru
menambah kemacetan (Bisnis Indonesia, 2010)4.
Salah satu strategi dalam kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan
(sustainable transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan
(travel demand management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand
management adalah untuk mendorong pengguna jalan untuk mengurangi
perjalanan yang relatif tidak perlu (terutama pengguna kendaraan pribadi) dan
mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih sehat, dan
ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan
menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen ekonomi (economic instruments),
persetujuan-persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan
instrumen-instrumen regulasi (regulatory instruments)5.
1) Economic instruments menggunakan insentif dan/atau disinsentif untuk
mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport).
Salah satu economic instrument yang sering diaplikasikan di beberapa kota
di dunia adalah road pricing. Road pricing adalah pengenaan biaya secara
langsung terhadap pengguna jalan karenamelewati ruas jalan tertentu. Pada
4
Bisnis Indonesia. 2010. Pusat Ganjal Penerapan ERP. http://bataviase.co.id/node/390480. Diakses tanggal 21 November 2010.
5
11 dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan road pricing yaitu untuk
menambah pendapatan suatu daerah atau negara, atau suatu sarana untuk
mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan. Tujuan
utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber
pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong
penggunaan angkutan massal. Berikut ini merupakan pengelompokan road
pricing berdasarkan tujuan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengelompokan Road Pricing
HOV lanes Bagi kendaraan yang tidak
12 2) Cooperative instruments adalah keterlibatan individu, perusahaan swasta
atau institusi pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai
contoh carpooling yaitu penggunaan kendaraan yang memiliki daya
tampung besar agar dapat mengangkut banyak penumpang, misalnya bus
jemputan pegawai.
3) Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh pemerintah dan berisi
standar-standar, larangan-larangan dan prosedur administrasi untuk
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh penetapan hari
bebas kendaraan, melarang kendaraan pribadi untuk wilayah tertentu,
batasan jumlah penumpang lebih dari 3, dan lain-lain.
Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu
economic instrument yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk
congestion pricing. Dengan congestionpricing, pengguna kendaraan pribadi akan
dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada
periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi pada akhirnya harus
menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor
tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencari rute lain, mencari tujuan
perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi
melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan
untuk melewati area atau koridor tersebut6.
6
13 Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada
pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi
mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada
masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali
tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Congestion pricing
telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Stockholm, dan
London. Dana yang terkumpul dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih
efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid
Transit, dan lain-lain7. Menurut Button dalam Santos (2004), road pricing adalah
sebuah konsep sederhana yang menggunakan harga untuk mencerminkan
kelangkaan dan untuk mengalokasikan sumber daya untuk individu yang
menggunakannya.
2.2. Latar Belakang Penerapan Electronic Road Pricing (ERP)
Latar belakang diterapkannya ERP adalah daya dukung jalan di Jakarta
tidak memadai, kerugian akibat kemacetan sangat tinggi (± 42 trilyun), degradasi
sistem angkutan umum, dan trend pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang
sangat tinggi (Dishub DKI Jakarta, 2011). Berdasarkan informasi dari Dinas
Perhubungan DKI Jakarta, peningkatan jumlah kendaraan pribadi sangat pesat
yaitu mencapai 1.117 per hari atau sekitar 9% per tahun. Peningkatan yang terjadi
saat ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan luas jalan. Pertumbuhan jalan relatif
7
14 tetap, yakni sekitar 0,01% per tahun. Jika pembenahan pola transportasi tidak
dilakukan, maka pada 2014 Jakarta diperkirakan macet total.
Kemacetan akan memberi dampak negatif, baik dalam aspek sosial,
lingkungan, maupun ekonomi. Dampak negatif tersebut diantaranya pemborosan
Bahan Bakar Minyak (BBM), peningkatan polusi udara, dan penurunan mobilitas.
Sebelumnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerapkan aturan three in
one (3 in 1) di beberapa luas jalan ibu kota. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi
jumlah kendaran pada jam-jam sibuk sehingga kemacetan dapat dikurangi.
Namun, dalam pelaksanaanya aturan tersebut dinilai tidak efektif dalam mengatasi
kemacetan. Kelemahan penerapan sistem three in one, diantaranya inkonsistensi
penindakan pelanggaran aturan 3 in 1, jumlah petugas penegak hukum tidak
memadai, dan muncul masalah sosial baru yaitu fenomena joki (Dishub DKI
Jakarta, 2010).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan kebijakan
Electronic Road Pricing (ERP), yaitu kebijakan pembatasan jumlah kendaraan
melalui sistem jalan berbayar, dimana setiap kendaraan yang melintasi ruas jalan
tertentu akan dikenakan biaya. Tujuannya adalah untuk mengatasi berbagi
masalah yang ditimbulkan akibat kemacetan. Mekanisme penerapan ERP adalah
setiap kendaraan yang melintasi zona ERP akan dikenakan sejumlah biaya
tertentu. Pintu gerbang zona ERP akan dilengkapi teknologi OBU (on board unit),
yaitu alat sensor yang dipasang pada setiap kendaraan yang secara otomatis
15
2.3. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Beberapa Negara
Elektronic Road Pricing telah sukses diterapkan dibeberapa kota di dunia.
Kota-kota yang telah mengaplikasikan sistem ERP ini diantaranya8:
1) Singapore
Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun
1998), pada awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah
untuk membatasi lalu lintas yang masuk pada saat jam puncak untuk
mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore menggunakan Area
-Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic
Road Pricing (ERP). Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP
bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi
tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km/jam
pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri. Dampak diterapkanya
congestion pricing atau ERP di Sangapore cukup signifikan. Prosentase
penggunaan carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan
volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya congestion pricing
menurun sampai dengan 44%.
2) London
ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan
reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara. Aplikasi ERP di
London memberikan beberapa hasil positif antara lain: a) penurunan volume
8
16 lalu lintas 15%, b) penurunan kemacetan 30%, c) penurunan polusi 12%
(NOx, PM10), d) perjalanan menjadi lebih reliable, e) reliabilitas bus
schedule meningkat signifikan, f) kecelakaan lalu lintas menurun, g)
peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan, h) tidak
terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion
charging, i) menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk
perbaikan pelayanan angkutan umum.
3) Stockholm
ERP diaplikasikan secara resmi mulai 1 Agustus 2007, setelah diuji cobakan
sejak tahun 2006. Tujuannya mengurangi kemacetan, meningkatkan
aksesibilitas, memperbaiki kualitas lingkungan. Beberapa hasil positif yang
bisa dicatat adalah:
a) Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di
pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%.
b) Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat
kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.
Sumber : Susantono (2010)
17
2.4. Manfaat dan Dampak Electronic Road Pricing (ERP)
Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta (2011), manfaat Electronic Road
Pricing (ERP), diantaranya:
1) Pemerintah :
a) Mengurangi kemacetan
b) Sumber pendapatan baru dari lalu lintas
c) Mempermudah penerapan pembatasan lalu lintas
d) Peralihan moda kendaraan pribadi ke angkutan umum
e) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari manajemen permintaan
2) Pengendara :
a) Kenyamanan berkendara
b) Perjalanan menjadi lebih tepat waktu
c) Kemudahan pembayaran
d) Kemudahan berpindah moda ke angkutan umum
3) Masyarakat :
a) Mengurangi kebisingan yang dihasilkan kendaraan
b) Menurunkan tingkat polusi udara yang berasal dari asap kendaraan
c) Minimalisasi kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas
Apabila diterapkan ERP maka pengemudi dihadapkan pada
pilihan-pilihan, yaitu membayar dan menikmati perjalanan, merubah waktu perjalanan
untuk membayar lebih murah, merubah rute perjalanan, merubah moda angkutan
yang digunakan, merubah tujuan perjalanan, atau membatalkan perjalanan.
18 a) Tercapainya efisiensi dalam aspek transportasi seperti tercapainya
kelancaran lalu lintas yang menyebabkan penghematan waktu tempuh dan
biaya perjalanan.
b) Peningkatan kualitas lingkungan, TDM (Travel Demand Management)
dalam aspek lingkungan diharapkan dapat mengurangi polusi udara, dan
mengurangi polusi bunyi dan getaran.
c) Penataan sistem tata guna lahan, TDM diharapkan dapat merevitalisasi
fasilitas perkotaan sesuai dengan fungsinya.
d) Meningkatkan ekonomi, TDM diharapkan dapat memberikan pendapatan
tambahan bagi pemerintah sehingga mendapat dana tambahan untuk
meningkatkan kualitas angkutan umum.
e) Menjamin persamaan hak pengguna jalan, TDM diharapkan dapat
memberikan keadilan bagi pengguna jalan dengan memberikan kewajiban
yang lebih berat bagi pengguna jalan yang lebih berkontribusi terhadap
kemacetan. Selain itu, jaminan terhadap pejalan kaki dan penghuni daerah
lokal pun diharapkan dapat terealisasi.
2.5. Dasar HukumElectronic Road Pricing (ERP)
Dasar hukum penerapan Electronic Road Pricing (ERP) adalah sebagai
berikut (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2011):
1) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
a) PASAL 133 UU NO. 22/2009
Pasal 133 ayat (3), Pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan
19 bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan
angkutan umum. Saat ini Peraturan Pemerintah untuk Undang-Undang
ini sedang dalam proses pembahasan, diharapkan dapat lebih
menegaskan perlunya pelaksanaan ERP.
b) PASAL 472 RPP LLAJ
Pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi
pengendalian lalu lintas. Retribusi pengendalian lalu lintas adalah biaya
tambahan yang harus dibayar oleh pengguna kendaraan perseorangan
dan kendaraan barang akibat kemacetan yang disebabkannya. Dana
yang diperoleh dari retribusi pengendalian lalu lintas diperuntukkan
bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan pelayanan angkutan umum.
Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan penerapan pembatasan lalu
lintas dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri yang bertanggung jawab dibidang
sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan
memperhatikan pendapat Menteri dibidang urusan dalam negeri.
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah (PDRD)
Ketentuan tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas / ERP belum dimuat,
walaupun pada saat penyusunannya termasuk materi yang dibahas. Namun
sesuai pasal 150 Undang-Undang ini, jenis retribusi selain yang ditetapkan
dalam pasal 110 ayat (1) (retribusi jasa umum), pasal 127 (retribusi jasa
20 kriteria-kriteria sebagai retribusi, maka dapat ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
ERP dapat memenuhi kriteria sebagai Retribusi Jasa Umum. Retribusi Jasa
Umum merupakan retribusi untuk jasa yang disediakan atau diberikan oleh
Pemda untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan; (Pasal 1 Ketentuan Umum).
3) Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 Tentang LLAJ, Kereta Api, Sungai
Dan Danau, Penyeberangan
4) Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007 Tentang Pola Transportasi
Makro
Strategi Pola Transportasi Makro (PTM) meliputi :
a) Pembangunan infrastruktur
b) Pembangunan angkutan umum massal
c) Pengaturan-pengaturan
Kebijakan pengaturan berupa rencana pembatasan lalu lintas yang terdiri
dari :
a) Pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor
b) Pembatasan penggunaan jalan
c) Pembatasan parkir
d) Pengaturan penggunaan jalan tertentu
5) Draft RTRW Provinsi DKI Jakarta 2010 - 2030
Bab IV Pasal 22 ayat (1), Penerapan manajemen lalu lintas terdiri dari
21 kebijakan pembatasan lalu lintas yang diemplementasikan secara bertahap
pada daerah tertentu.
Electronic Road Pricing (ERP) belum dapat diimplementasikan karena
ERP dalam RPP tentang LLAJ masih dalam pembahasan. Selain itu belum ada
RPP tentang PDRD yang mengatur ERP dan belum disusunnya Perda tentang
ERP. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam ERP, yaitu :
1) Apek legal, berupa dasar penerapan ERP, dasar penarikan pembayaran,
dasar penindakan terhadap pelanggar, dasar pengenaan sanksi terhadap
pelanggar, dan mekanisme penggunaan uang hasil ERP
2) Aspek perencanaan
3) Aspek teknis berupa teknologi mana yang paling tepat untuk DKI Jakarta
4) Aspek kelembagaan (institusi)
2.6. Transportasi Publik
Menurut Papageorgiou dalam Hall (2003), transportasi selalu menjadi
aspek penting dari peradaban manusia, tetapi fenomena kemacetan lalu lintas telah
menjadi dominan karena peningkatan pesat jumlah kendaraan dan permintaan
transportasi hampir di semua moda transportasi. Kemacetan lalu lintas terjadi
karena kendaraan terlalu banyak sedangkan untuk menggunakan transportasi
umum kapasitasnya terbatas sehingga kebutuhan inovasi baru di bidang
transportasi sangat diperlukan. Kemacetan lalu lintas menyebabkan fenomena
antrian meskipun kapasitas infrastruktur sepenuhnya dimanfaatkan. Dalam kasus
yang terburuk, kemacetan lalu lintas mengarah pada terdegradasinya penggunaan
infrastruktur yang tersedia, berkurangnya keamanan, dan peningkatan polusi
22 Menurut Evans dalam Hall (2003), keamanan merupakan pertimbangan
penting dalam kegiatan manusia. Setiap jenis sistem transportasi melibatkan
beberapa risiko bahaya. Tujuan utama dari transportasi yaitu mengefektifkan
pergerakan orang dan barang.
Saat ini telah dikembangkan Sistem Transportasi Cerdas (Transportasi
Intelligent Systems). Istilah Transportasi Intelligent Systems (ITS) mengacu pada
multimoda transportasi paket inovasi canggih yang menggunakan teknologi dalam
elektronik dan informasi untuk meningkatkan kinerja kendaraan, jalan raya, dan
sistem transit. Pembuat kebijakan telah lama memandang ITS sebagai teknologi
potensial untuk memperbaiki masalah kemacetan dan berkurangnya produktivitas
sistem transportasi negara. Sementara ITS memungkinkan masyarakat untuk
melakukan hal-hal lama yang lebih baik (menekan jumlah kendaraan dan
mengurangi insiden yang dapat terjadi di jalan raya). Selain itu memungkinkan
masyarakat untuk melakukan hal-hal baru, misalnya mengetahui kapan sebuah
bus datang begitu transit dengan ketidakpastian minimal, atau menggunakan
variabel harga untuk mengelola puncak permintaan (Gillen dan Levinson, 2004).
2.7. Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara
Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing
di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari
keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah
tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama akan mengganggu
kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Pembangunan yang berkembang pesat
23 kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil menyebabkan udara
menjadi tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran (Wardhana, 2004).
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 41 tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1407 tahun 2002
tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara, pencemaran udara
adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia.
Menurut Wardhana (2004), secara umum penyebab pencemaran udara ada
dua macam, yaitu :
a) karena faktor internal (secara alamiah), contohnya debu yang beterbangan
akibat tiupan angin, abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi
berikut gas-gas vulkanik, proses pembusukan sampah organik, dan lain-lain.
b) karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contohnya hasil pembakaran
bahan bakar fosil, debu/serbuk dari kegiatan industri, dan pemakaian zat-zat
kimia yang disemprotkan ke udara.
Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran
dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang
24 Kecepatan penyebaran ini akan tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi
setempat.
Pemakaian bahan bakar fosil untuk kegiatan ekonomi berkontribusi besar
dalam meningkatkan kadar pencemar di udara. Menurut Wardhana (2004),
dampak pencemaran lingkungan sebenarnya tidak semata-mata disebabkan oleh
karena kegiatan industri dan teknologi saja, namun juga disebabkan oleh faktor
lain yang menunjang kegiatan tersebut. Faktor penunjang kegiatan industri dan
teknologi adalah faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi.
Kegiatan industri dan teknologi membutuhkan tersedianya daya listrik dan
transportasi yang sangat diperlukan untuk kelancaran kegiatan industri dan
teknologi. Faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi merupakan
penyerap terbesar pemakaian bahan bakar fosil, baik berupa batu bara maupun
minyak bumi. Sebagian besar pencemar udara (sekitar 75%) berasal dari gas
buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil (Wardhana, 2004).
Menurut Harssema dalam Mulia (2005), pencemaran udara diawali oleh
adanya emisi. Emisi merupakan jumlah polutan atau pencemar yang dikeluarkan
ke udara dalam satuan waktu. Emisi dapat disebabkan oleh proses alam maupun
kegiatan manusia. Emisi akibat proses alam disebut biogenic emissions,
contohnya yaitu dekomposisi bahan organik oleh bakteri pengurai yang
menghasilkan gas metan (CH4). Emisi yang disebabkan kegiatan manusia disebut
anthropogenic emissions. Contoh anthropogenic emissions yaitu hasil
pembakaran bahan bakar fosil, pemakaian zat kimia yang disemprotkan ke udara,
25
2.8. Dampak Pencemaran Udara
Menurut Wardhana (2004), dampak pencemaran udara merupakan
masalah serius yang dihadapi oleh negara-negara industri. Pencemaran tersebut
tidak hanya mempunyai akibat langsung terhadap kesehatan manusia saja, tetapi
juga dapat merusak lingkungan lainnya, seperti hewan, tanaman, bangunan
gedung, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada
tahun 1980, kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara mencapai angka
kurang lebih 51.000 orang. Menurut para ahli, pada sekitar tahun 2000-an
kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara akan mencapai angka 57.000
orang per tahunnya. Selama 20 tahun angka kematian yang disebabkan oleh
pencemaran udara naik mendekati 14% atau mendekati 0,7% per tahun. Selain itu
kerugian materi yang disebabkan oleh pencemaran udara, apabila diukur dengan
uang, dapat mencapai sekitar 12-16 juta US dollar per tahun (Wardhana, 2004).
Menurut Bank Dunia, estimasi kerugian yang diakibatkan oleh
pencemaran udara di Indonesia sebesar 400 US dollar setahun. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Asian Devolepment Bank (ADB) kerugian tersebut
belum termasuk kematian dini dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
PM10 dan SO2 (World Bank, 2003). Perkiraan kerugian ekonomi yang
ditimbulkan pencemaran udara SO2 terhadap kesehatan manusia adalah senilai Rp
92.157.163,- pada tahun 2001. Pencemaran udara menimbulkan kerugian berantai.
Masyarakat kota Jakarta harus menanggung kerugian sekitar 180 juta US dollar
per tahun akibat polusi udara. Biaya tersebut diprediksi akan meningkat dua kali
26 karena warga kota tidak dapat bekerja karena sakit. Untuk itu penting mengelola
udara bersih agar dampak pencemaran udara tersebut dapat dicegah. Transportasi
perkotaan sangat berkontribusi besar dalam menimbulkan pencemaran udara
karena emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor9.
2.9. Manajemen Transportasi
Tujuan pembangunan sistem transportasi sebagaimana dinyatakan oleh
BAPPEDA DKI Jakarta adalah 1) tersusunnya suatu jaringan sistem transportasi
yang efisien dan efektif; 2) meningkatnya kelancaran lalu lintas dan angkutan; 3)
terselenggaranya pelayanaan angkutan yang aman, tertib, nyaman, teratur, lancar,
dan efisien; 4) terselenggaranya pelayanaan angkutan barang yang sesuai dengan
perkembangan sarana angkutan dan teknologi transportasi angkutan barang; 5)
meningkatnya keterpaduan baik antara sistem angkutan laut, udara, dan darat
maupun antar moda angkutan darat; dan 6) meningkatnya disiplin masyarakat
pengguna jalan dan pengguna angkutan (Nugroho, 2003).
Menurut Duff (1961) dalam Setijadji (2006), manajemen lalu lintas adalah
usaha pengaturan jalan yang ada dalam usaha untuk memanfaatkan secara
optimal, prasarana jalan tersebut untuk kepentingan umum.
Menurut PP Nomor 43 Tahun 1993, Tentang Prasarana dan Lalu Lintas
Jalan, manajemen lalu lintas adalah pengelolaan dan pengendalian arus lalu lintas
dengan melakukan optimasi penggunaan prasarana yang ada. Hal ini menyangkut
kondisi arus lalu lintas dan juga sarana penunjangnya, baik saat sekarang maupun
9
WALHI Jabar. 2007. Udara Bersih : Kenyataan, Harapan dan Tantangan.
27 yang direncanakan. Manajemen lalu lintas meliputi kegiatan perencanaan,
pengaturan, pengawasan dan pengendalian lalu lintas.
Manajemen lalu lintas adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk
menjelaskan suatu proses pengaturan lalu lintas, dan sistem prasarana jalan
dengan menggunakan beberapa metode ataupun teknik rekayasa tertentu, tanpa
mengadakan pembangunan jalan baru, dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuan
ataupun sasaran-sasaran tertentu yang berhubungan dengan masalah lalu lintas
(Modul Pelatihan Transportasi ITB, 1997).
Tujuan dari manajemen lalu lintas adalah :
1) Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh
dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi, dengan menyeimbangkan
permintaan dengan sarana penunjang yang tersedia.
2) Meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh
semua pihak dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik
mungkin.
3) Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana lalu
lintas tersebut berada.
4) Mempromosikan penggunaan energi secara efisien ataupun penggunaan
energi lain yang dampak negatifnya lebih kecil dari pada energi yang ada.
Sasaran diberlakukannya manajemen lalu lintas adalah :
1) Mengatur dan menyederhanakan lalu lintas dengan melakukan pemisahan
terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk
28 2) Mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan menaikkan kapasitas atau
mengurangi volume lalu lintas pada suatu jalan.
3) Melakukan optimasi ruas jalan dengan menentukan fungsi dari jalan dan
kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang tidak cocok dengan fungsi jalan
tersebut.
Manfaat pelaksanaan manajemen lalu lintas adalah :
1) Efisiensi pergerakan
Berhubungan dengan tingkat kecepatan dan pergerakannya, biasanya
mereka ingin menyelesaikan perjalanannya secara nyaman dan aman.
Karena perjalanan tanpa adanya keterlambatan adalah hal utama yang
diinginkan dalam pergerakan lalu lintas.
2) Keselamatan pergerakan
Kecelakaan atau bahaya keselamatan, biasanya dihubungkan dengan
tingginya kecepatan kendaraan, namun bertentangan dengan prinsip
efisiensi yang hendak dicapai. Makin tinggi kecepatan kendaraan, akan
makin sulit untuk dikontrolnya, apalagi jika diminta untuk berhenti.
Mengingat bahwa efisiensi pergerakan pada batas tertentu sangat
bertentangan dengan keselamatan pergerakan, adalah penting untuk
menciptakan keseimbangan yang baik, agar kedua hal tersebut dapat
dipertemukan dengan baik tanpa harus bertentangan satu dengan yang lain.
3) Terciptanya lingkungan yang baik dan nyaman
Lingkungan yang baik dan nyaman adalah suatu lingkungan yang tidak
terganggu atau lingkungan yang asli. Untuk itu hal yang perlu dipikirkan
29 pergerakan dapat diminimalkan dalam usaha menjaga lingkungan yang
nyaman.
Transportasi dikatakan baik, apabila perjalanan cukup cepat, tidak
mengalami kemacetan, frekuensi pelayanan cukup, aman, bebas dari
kemungkinan kecelakaan dan kondisi pelayanan yang nyaman. Oleh
karena itu untuk mencapai kondisi yang ideal tersebut sangat ditentukan
oleh berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi ini, yaitu kondisi
prasarana (jalan), sistem jaringan jalan, kondisi sarana (kendaraan) dan
30
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari beberapa teori yang digunakan
dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan teori-teori yang sesuai dengan
tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu Contingent Valuation Method (CVM),
regresi linier berganda, dan instrumen ekonomi.
3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM)
Penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market
valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) revealed
preference approach merupakan teknik penilaian yang mengandalkan harga
implisit di mana Willingness to Pay terungkap melalui model yang
dikembangkan, meliputi: Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility
Model. 2) stated preference approach merupakan teknik penilaian yang
didasarkan pada survei di mana keinginan membayar atau Willingness to Pay
diperoleh dari responden, meliputi: Contingent Valuation, RandomUtility Model,
dan Contingent Choice. Menurut Yakin (1997), Contingent Valuation Method
(CVM) merupakan metode yang popular digunakan saat ini, karena CVM dapat
mengukur nilai penggunaan (use value) dan nilai non pengguna (non use values)
dengan baik.
Metode CVM ini sangat tergantung pada hipotesis yang akan dibangun.
Misalnya, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana
pembayarannya, dan sebagainya. Metode CVM ini secara teknis dapat dilakukan
31 Metode CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif sumber daya alam
atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaaan. Metode CVM pada dasarnya
bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (Willingness To Pay) dari
masyarakat terhadap perbaikan lingkungan dan keinginan menerima kompensasi
(Willingness To Accept) dari kerusakan lingkungan (Fauzi, 2006).
3.1.1.1 Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM)
Menurut Hanley dan Spash (1993) kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh
pendekatan CVM dalam memperkirakan nilai ekonomi suatu lingkungan adalah
sebagai berikut :
1) Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu
seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat dan
dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.
2) Dapat digunakan dalam berbagai macam penelitian barang-barang
lingkungan di sekitar masyarakat.
3) Dibandingkan dengan teknik penilaian lingkungan lainnya, CVM memiliki
kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM,
seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang
lingkungan bahkan jika tidak digunakan secara langsung. Meskipun teknik
dalam CVM membutuhkan analis yang kompeten, namun hasil penelitian
dari peneliti yang menggunakan metode ini tidak sulit untuk dianalisis dan
32
3.1.1.2 Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM)
Menurut Fauzi (2006), meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang
cukup baik untuk mengukur WTP, namun terdapat beberapa kelemahan yang
perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dari
pendekatan ini adalah timbulnya bias.
Bias dalam pengumpulan data dengan mengunakan teknik CVM menurut
Hanley dan Spash (1993) terdiri dari :
1) Bias Strategi (Strategic Bias)
Adanya responden yang memberikan suatu nilai WTP yang relatif kecil
karena alasan bahwa ada responden lain yang akan membayar upaya
peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi
kemungkinan dapat terjadi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini
adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran
rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan
mendorong responden untuk memberikan nilai WTP yang benar. Mitchell
dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan empat
langkah untuk meminimalkan bias strategi yaitu :
a) Menghilangkan seluruh pencilan (outliner)
b) Penekanan bahwa pembayaran oleh responden adalah dapat dijamin
c) Menyembunyikan nilai tawaran responden lain
d) Membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai tawaran
Sedangkan Hoehn dan Randall (1987) dalam Hanley dan Spash (1993)
menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan
33 2) Bias Rancangan (Design Bias)
Beberapa hal dalam rencangan survei yang dapat mempengaruhi responden
adalah :
a) Pemilihan jenis tawaran (bid vehicle). Jenis tawaran yang diberikan dapat
mempengaruhi nilai-nilai rata-rata tawaran.
b) Bias titik awal (starting point bias). Pada metode bidding game, titik
awal yang diberikan kepada responden dapat mempengaruhi nilai
tawaran (bid) yang ditawarkan. Hal ini dapat dikarenakan responden
yang ditanyai merasa kurang sabar atau karena titik awal yang
mengemukakan besarnya nilai tawaran adalah tepat dengan selera
responden (disukai responden karena responden tidak memiliki
pengalaman tentang nilai perdagangan benda lingkungan yang
dipermasalahkan).
c) Sifat informasi yang ditawarkan (nature of information provided). Dalam
sebuah pasar hipotesis, responden mengkombinasikan informasi benda
lingkungan yang diberikan kepadanya dan bagaimana pasar akan bekerja.
Tanggapan responden dapat dipengaruhi oleh pasar hipotesis maupun
komoditas spesifik yang diinformasikan pada saat survei.
3) Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden (Mental
Account Bias)
Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang
individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan
waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam
34 4) Kesalahan Pasar Hipotetik (Hypotetical Market Error)
Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada
responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda
dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan
menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi
CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu
perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari
pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias
pasar hipotetik bergantung pada :
a) Bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei.
b) Seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi.
c) Bagaimana format WTP yang digunakan.
Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat
survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan
diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari
responden.
3.1.1.3Tahap-tahap Contingent Valuation Method (CVM)
Menurut Hanley dan Spash (1993), beberapa tahap dalam penerapan
analisis CVM, yaitu :
1) Membuat Pasar Hipotetik
Tahap awal dalam menjalankan CVM adalah membuat pasar hipotetik.
Pasar hipotetik tersebut dibangun untuk memberikan suatu alasan mengapa
masyarakat seharusnya membayar terhadap suatu barang/jasa lingkungan
35 lingkungan tersebut. Dalam pasar hipotetik harus menggambarkan
bagaimana mekanisme pembayaran yang dilakukan. Skenario kegiatan
harus diuraikan secara jelas dalam kuisioner sehingga responden dapat
memahami barang lingkungan yang dipertanyakan serta keterlibatan
masyarakat dalam rencana kegiatan. Selain itu, di dalam kuisioner juga
perlu dijelaskan perubahan yang akan terjadi jika terdapat keinginan
masyrakat membayar.
2) Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP
Penawaran besarnya nilai WTP dilakukan dengan menggunakan kuesioner.
Setelah itu dilakukan kegiatan pengambilan sampel. Hal ini dapat dilakukan
melalui wawancara dengan tatap muka, dengan perantara telepon, atau surat.
Terdapat empat metode yang dapat digunakan untuk memperoleh
penawaran besarnya nilai WTP responden (Hanley dan Spash, 1993), yaitu:
a) Bidding Game adalah metode tawar-menawar dimana responden
ditawarkan sebuah nilai tawaran yang dimulai dari nilai terkecil hingga
nilai terbesar sehingga mencapai nilai WTP maksimum yang sanggup
dibayarkan responden.
b) Open-ended Question adalah metode yang memberikan pertanyaan
terbuka kepada responden tentang WTP maksimum yang mampu
mereka bayarkan dengan tidak ada nilai tawaran sebelumnya sehingga
tidak menimbulkan bias titik awal (starting point bias). Kelebihan
metode ini yaitu responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa
36 nilai yang diberikan kurang akurat dan variasi yang dihasilkan terlalu
besar.
c) Payment Card adalah metode yang menawarkan kepada responden nilai
tawaran yang disajikan dalam bentuk kisaran nilai dalam sebuah kartu
yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar dimana
responden dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai
dengan preferensinya. Metode ini pada awalnya dikembangkan untuk
mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar.
d) Closed-ended Referendum adalah metode yang memberikan sebuah
nilai tawaran tunggal kepada responden, baik responden setuju ataupun
tidak setuju dengan nilai tersebut. Metode ini menawarkan responden
jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah respnden mau membayar
atau tidak sejumlah uang untuk memperoleh peningkatan kualitas
lingkungan.
3) Memperkirakan Nilai Tengah dan Nilai Rata-Rata WTP
Setelah data mengenai nilai WTP terkumpul, tahap selanjutnya adalah
menghitung nilai tengah (median) dan nilai rata-rata (mean) dari WTP
tersebut. Nilai tengah digunakan apabila terjadi rentang nilai penawaran
yang terlalu jauh. Jika penghitungan nilai penawaran menggunakan
rata-rata, maka akan diperoleh nilai yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Oleh
karena itu, lebih baik menggunakan nilai tengah karena nilai tengah tidak
dipengaruhi oleh rentang penawaran yang cukup besar. Nilai tengah
37 4) Memperkirakan Kurva WTP
Suatu kurva WTP dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP
sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai
tersebut sebagai variabel independen. Kurva WTP ini dapat digunakan
untuk memperkirakan perubahan nilai WTP karena perubahan sejumlah
variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Hubungan
antara variabel bebas dan variabel terikat dapat berkorelasi linier dengan
bentuk persamaan umum sebagai berikut :
WTPi = f(Yi, Ei, Ki, Ai, Qi)
dimana i adalah responden ke-i.
5) Menjumlahkan Data
Penjumlahan data merupakan proses dimana rata-rata penawaran
dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Bentuk ini sebaiknya
termasuk seluruh komponen dari nilai relevan yang ditemukan seperti nilai
keberadaan dan nilai penggunaan.
6) Mengevaluasi Penggunaan CVM
Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penerapan CVM telah
berhasil dilakukan. Penilaian tersebut dilakukan dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah responden benar-benar mengerti dan
memahami mengenai pasar hipotetik, berapa banyak kepemilikan responden
terhadap barang/jasa lingkungan yang terdapat dalam pasar hipotetik,
seberapa baik pasar hipotetik yang dibuat dapat mencakup semua aspek
38 nilai tengah dan menggambarkan nilai tawaran agregat, dan pertanyaan
sejenis lainnya.
3.1.1.4 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi pengoperasian
CVM, yaitu :
1) Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realitas.
2) Alat pembayaran yang digunakan dan atau ukuran kesejahteraan (WTP)
sebaiknya tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang terkait di
masyarakat.
3) Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang
publik yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk
penawaran mereka.
4) Jika memungkinkan, ukuran WTP sebaiknya dicari, karena responden
seringkesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.
5) Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah
perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.
6) Pengujian kebiasaan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi uuntuk
memperkecil strategi bias secara khusus.
7) Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.
8) Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik
yangsama dengan populasi dan penyesuaian diperlukan.
9) Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali untuk melihat jika mereka setuju