• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TINGKAH LAKU MEMIJAH, POTENSI REPRODUKSI IKAN BETINA DAN OPTIMASI TEKNIK PEMIJAHAN IKAN PELANGI Iriatherina werneri MUH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN TINGKAH LAKU MEMIJAH, POTENSI REPRODUKSI IKAN BETINA DAN OPTIMASI TEKNIK PEMIJAHAN IKAN PELANGI Iriatherina werneri MUH."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TINGKAH LAKU MEMIJAH, POTENSI

REPRODUKSI IKAN BETINA DAN OPTIMASI TEKNIK

PEMIJAHAN IKAN PELANGI

Iriatherina werneri

MUH. HERJAYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Tingkah Laku Memijah, Potensi Reproduksi Ikan Betina dan Optimasi Teknik Pemijahan Ikan Pelangi Iriatherina werneri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016 Muh. Herjayanto NIM C151130421

(4)

RINGKASAN

MUH. HERJAYANTO. Kajian Tingkah Laku Memijah, Potensi Reproduksi Ikan Betina dan Optimasi Teknik Pemijahan Ikan Pelangi Iriatherina werneri. Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Ikan pelangi Iriatherina werneri adalah salah satu ikan hias air tawar yang tergolong keluarga Melanotaeniidae (Rainbowfishes) dan merupakan spesies tunggal dari genus Iriatherina. Secara morfologi memiliki dimorfisme seksual, yaitu ikan jantan memiliki warna dan bentuk sirip yang lebih indah dibandingkan betina sehingga harga ikan jantan lebih mahal. Umumnya harga ikan jantan di pasar lokal lebih mahal 30-50 kali lipat dibandingkan ikan betina, sedangkan di pasar internasional harga ikan jantan dapat mencapai 12-36 kali lipat dari harga di pasar lokal. Seperti umumnya keluarga ikan pelangi, I. werneri mampu memijah setiap hari sehingga sangat unik jika dibandingkan dengan spesies budidaya pada umumnya. Berdasarkan tingkah laku memijah dan potensi reproduksinya maka diperlukan manajemen induk dalam teknik pengembangbiakannya sehingga produksinya optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkah laku memijah, potensi reproduksi dan teknik pemijahan ikan pelangi. Kajian tingkah laku memijah meliputi pengamatan waktu pemijahan, tingkah laku induk memijah dan jumlah telur per jam pada hari pemijahan. Kajian potensi reproduksi meliputi jumlah telur dan larva umur lima hari setelah menetas selama 30 hari dan rata-rata telur dan larva per hari per ekor betina berdasarkan perbedaan pakan (buatan dan alami). Kajian optimasi teknik pemijahan meliputi jumlah telur selama 10 hari berdasarkan sistem pemijahan; jumlah telur, tingkat penetasan telur, tingkat kelangsungan hidup larva umur lima hari setelah menetas selama 30 hari pemijahan berdasarkan perbedaan rasio kelamin induk betina dan jantan (1 : 1, 2 : 1, 3 : 1) dan perbedaan ukuran induk betina (kecil, sedang, besar) dalam pemijahan.

Hasil menunjukkan bahwa pemijahan ikan pelangi terjadi pada 13-15 jam sejak pemasangan induk yang diawali oleh gerakan ikan jantan membuka dan menutup sirip. Pemijahan secara massal berakhir 2 jam lebih cepat dibandingkan dengan pemijahan individual dan telur yang dikeluarkan lebih serempak pada pagi hari mencapai 94,92%. Ikan pelangi merupakan partial spawner yang mampu memijah setiap hari selama 30 hari. Potensi jumlah telur dan larva yang dihasilkan dapat ditingkatkan masing-masing sebanyak empat kali lipat dan 14 kali lipat ketika induk diberikan pakan alami. Teknik pemijahan ikan pelangi menggunakan sistem massal dengan rasio kelamin induk 3 : 1 (betina : jantan) dan menggunakan induk betina berukuran 26,98-35,76 mm menunjukkan optimal.

Kata kunci: Iriatherina werneri, potensi reproduksi ikan betina, teknik pemijahan, tingkah laku memijah

(5)

SUMMARY

MUH. HERJAYANTO. Study of Spawning Behavior, Reproduction Potential of Female and Breeding Technique Optimize of Threadfin Rainbowfish Iriatherina werneri. Supervised by ODANG CARMAN and DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Threadfin rainbowfish Iriatherina werneri is one of the fresh water fish included in family Melanotaeniidae (Rainbowfishes) that is a single species of genus Iriatherina. Morphologically this fish has sexual dimorphism which the fin’s color and shape of male is more beautiful than female, so the price is more expensive. Generally, local market price of the male is 30-50 times more expensive than female, and in international market the price reached until 12-36 times higher than in local market. Threadfin rainbowfish can spawn everyday as most of rainbowfish family, so it is unique when compared with general aquaculture species. Based the spawning behavior and its potency of reproduction need a breeding management to optimize the reproduction.

The research aimed to study the spawning behavior, reproduction potential of female and breeding technique of I. werneri. Study of spawning behavior included the observations on spawning time, spawning behavior and number of eggs per hour during on day spawning. Study of reproduction potential included the number of eggs and larvaes as five days after hatching for 30 days observation and the average number of eggs and larvaes per day per female on different treatment of feed (commercial food and natural food). Study of breeding technique included the number of eggs observed in 10 days as different spawning system, the hatching rate and survival rate of larvaes (five days after hatching) as 30 days spawning with in difference of sex ratio between female and male (1 : 1, 2 : 1, 3 : 1 ) and female size (small, medium, large) at spawning.

The results showed that the Threadfin rainbowfish spawned at 13-15 hours after pairing the brood female and male and the fertilization begun when the male opening and closing fins. The masse spawning ended two hours faster than individual spawning and the eggs releassed simultaneously in the morning (94.92%). The Threadfin rainbowfish is also a partial spawner fish which spawn every day until 30 days. The eggs and larvaes production increased until four-times and 14-times when the female was fed with natural food. The spawning technique of I. werneri was optimal as masse system with sex ratio of broods is 3 : 1 (females : male) and size of the female 26.98 to 35.76 mm.

Keyword: breeding technique, Iriatherina werneri, reproduction potential of female, spawning behavior

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

KAJIAN TINGKAH LAKU MEMIJAH, POTENSI

REPRODUKSI IKAN BETINA DAN OPTIMASI TEKNIK

PEMIJAHAN IKAN PELANGI

Iriatherina werneri

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Kajian Tingkah Laku Memijah, Potensi Reproduksi Ikan Betina dan Optimasi Teknik Pemijahan Ikan Pelangi Iriatherina werneri Nama : Muh. Herjayanto

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Kajian Tingkah Laku Memijah, Potensi Reproduksi Ikan Betina dan Optimasi Teknik Pemijahan Ikan Pelangi Iriatherina werneri”. Tema yang dipilih dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Oktober 2015 di Laboratorium Kolam Percobaan Babakan FKIP IPB.

Tulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Dr Ir Odang Carman MSc dan ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku pembimbing atas arahan, bimbingan, semangat dan nasehat-nasehat selama meneliti dan menulis.

2. Bapak Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc selaku penguji dan Dr Ir Eddy Supriyono, MSc selaku perwakilan dari program studi Ilmu Akuakultur atas arahan dan masukannya dalam perbaikan tulisan ini.

3. Ditjen Dikti yang telah memberikan beasiswa (BPP-DN 2013) untuk studi pascasarjana.

4. Kedua orang tua tercinta (ayahanda Herman, SPd dan ibunda Hujah, SPd), adik-adikku (Nur Herjayanti dan Muh. Juraid) serta seluruh keluargaku atas segala doa dan kasih sayangnya.

5. Rekan-rekan tim penelitian ikan pelangi, Rodhi Firmansyah, Rahmadani, Anna Nurkhasanah, Wulan Nurindah Rakhmawati dan Ari Ngastoni serta rekan-rekan penelitian di Kolam Percobaan Babakan, Hasrah, Ahmad Fahrul Syarif, Nurina Pratiwi, Hassane Nadio, Winny Yusrina, Prassetyo Dwi Dhany Wijaya, Uswatun Khasanah dan Hamzah Muhamad Ihsan atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.

6. Magfira yang telah banyak membantu selama penelitian terutama saat pengamatan telur, persiapan seminar dan ujian tesis.

7. Para pegawai dan teknisi di Lab. Kolam Percobaan Babakan FKIP IPB dan Lab. Kimia Nutrisi Ikan FKIP IPB atas bantuannya selama penelitian.

8. Radhi Fadhilah, Nur Hikmah M. Mahasu, Rahmat Hidayat, Ardyen Saputra, Aisyah Lukmini, Tuti Puji Lestari, Didi Humaidi Yusuf, Windu Sukendar, Fahmi Akbar, Dwi Mulyasih, Teuku Muhammad Haja Almuqaramah, Andi Tiara Eka Diana Puteri dan rekan-rekan pascarsarjana Ilmu Akuakultur angkatan 2013 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuannya dalam berdiskusi merancang penelitian, sidang komisi, seminar hasil sampai saat pelaksanaan ujian tesis.

9. Hilmi Fauji, Suardi Laheng dan Sri Iliana atas bantuannya selama penelitian. 10.Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah IPB atas

segala dukungan dan kekeluargaan yang terjalin.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat dan seluruh pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2016 Muh. Herjayanto

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 METODE 2 Prosedur Penelitian 2 Parameter Uji 5

Prosedur Analisis Data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Hasil 6

Pembahasan 10

4 KESIMPULAN DAN SARAN 13

Kesimpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 15

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kajian optimasi teknik pemijahan 5

2 Parameter uji penelitian 5

3 Hasil potensi reproduksi ikan betina selama 30 hari pemijahan pada

pemberian pakan buatan dan pakan alami 9

4 Hasil reproduksi berdasarkan sistem pemijahan selama 10 hari

pemijahan 9

5 Hasil reproduksi berdasarkan rasio kelamin induk selama 30 hari

pemijahan 9

6 Hasil reproduksi berdasarkan ukuran induk betina selama 30 hari

pemijahan 10

DAFTAR GAMBAR

1 Induk ikan pelangi I. werneri 3

2 Hasil kajian tingkah laku memijah ikan pelangi I. werneri 6 3 Persentase telur ikan pelangi I. werneri yang dihasilkan pada pemijahan

dalam satu hari 7

4 Hasil potensi produksi telur dan larva ikan pelangi I. werneri betina

selama 30 hari 8

5 Hasil potensi produksi telur dan larva ikan pelangi I. werneri betina selama 30 hari pada pemberian pakan buatan dan pakan alami 8

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis parameter reproduksi ikan pelangi I. werneri berdasarkan

perbedaan jenis pakan induk selama pemijahan 15

2 Hasil analisis parameter reproduksi ikan pelangi I. werneri berdasarkan

sistem pemijahan 15

3 Hasil analisis parameter reproduksi ikan pelangi I. werneri berdasarkan perbedaan rasio kelamin induk betina dan jantan dalam pemijahan 16 4 Hasil analisis parameter reproduksi ikan pelangi I. werneri berdasarkan

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan pelangi Iriatherina werneri yang juga dikenal dengan nama Threadfin Rainbowfish atau Featherfin Rainbowfish merupakan salah satu ikan hias air tawar dari keluarga Melanotaeniidae (Rainbowfishes) dan satu-satunya spesies dari genus Iriatherina yang secara alami tersebar di pulau Papua bagian tengah sampai selatan (Indonesia dan Papua Nugini) dan Australia Utara pada perairan rawa atau sungai yang mengalir lambat dan terdapat tanaman air (Tappin 2011; Unmack et al. 2013). Ikan I. werneri termasuk spesies yang memiliki dimorfisme seksual yang nyata yaitu ikan jantan memiliki warna dan bentuk sirip yang lebih indah dibandingkan ikan betina. Umumnya harga pasar lokal ikan jantan lebih mahal yaitu 30-50 kali lipat dibandingkan ikan betina, sedangkan untuk pasar internasional harga ikan jantan dapat mencapai 12-36 kali lipat dibandingkan harga jantan di pasar lokal (komunikasi pribadi penulis).

Keluarga ikan pelangi termasuk ikan yang memijah secara parsial (partial spawner) serta umumnya dapat memijah setiap hari sepanjang tahun (Humphrey et al. 2003; Tappin 2011) termasuk spesies I. werneri. Kebiasaan tersebut merupakan fenomena yang sangat unik bila dibandingkan dengan spesies ikan budidaya pada umumnya dan diduga memerlukan manajemen yang berbeda dalam teknik pengembangbiakannya. Sehingga diperlukan kajian yang berkaitan dengan kebiasaan tersebut yang meliputi bagaimana tingkah laku memijahannya, bagaimana potensi reproduksi yang mampu dihasilkan dan bagaimana perbaikan teknik pemijahan untuk memperoleh hasil reproduksi yang optimal.

Tingkah laku memijah ikan secara alami berkaitan dengan aktivitas induk sebelum, saat dan setelah proses pemijahan. Hal ini sangat penting untuk diketahui karena keberhasilan memijah ditentukan oleh kesuksesan interaksi awal saat pemasangan atau penggabungan induk yang matang kelamin. Selain informasi tingkah laku memijah, teknik pemijahan yang optimal sering dikaitkan dengan cara memasangkan induk yang dapat dikelompokkan ke dalam cara massal (kelompok) dan individual (per pasang), perbandingan induk jantan dan betina, ukuran induk produktif dan pemberian pakan yang tepat terutama pada saat pematangan gonad. Sementara kajian potensi reproduksi dikaitkan dengan kecenderungan lama hari memijah dan jumlah telur yang mampu dihasilkan.

Pemasangan induk secara massal atau individual berkaitan dengan tingkah laku yang menginduksi terjadinya pemijahan pada ikan berdasarkan sistem pemijahan atau pasangan yang terlibat dalam perkawinan (Rahardjo et al. 2011). Hal ini penting untuk diketahui karena sistem pemijahan yang tepat akan menentukan keberhasilan proses pemijahan secara alami (Mylonas et al. 2010). Misalnya pada ikan nila, arwana dan guppy yang lebih baik dipijahkan secara massal sedangkan pada ikan lele, cupang dan neon tetra melalui pemijahan individual. Faktor rasio kelamin induk dalam pemijahan berkaitan dengan interaksi dan sinkronisasi antara betina-jantan dalam pemijahan (Mylonas et al. 2010) serta efisiensi penggunaan jumlah induk betina atau jantan dalam pemijahan. Sebagai contoh pada pemijahan ikan mas yang menggunakan jantan lebih banyak untuk satu ekor betina (FAO 2015a), pada ikan nila yang menggunakan betina lebih banyak

(14)

2

untuk satu ekor jantan (Akar 2012; FAO 2015b) atau pada ikan lele yang menggunakan satu betina : satu jantan pada pemijahan secara alami (FAO 2015c). Selain untuk memperoleh hasil pemijahan yang optimal, dengan mengetahui rasio induk tersebut kita dapat melakukan manajemen pemeliharaan induk yang tepat. Kemudian faktor ukuran induk berkaitan dengan ukuran pertama kali matang gonad dan waktu produktivitas tertinggi seiring umur ikan (Ataguba et al. 2013). Sehingga dengan mengetahui ukuran induk optimal kita bisa mengefisienkan biaya atau tempat untuk memelihara induk tetapi produksi telur dan larva tetap optimal. Sementara faktor nutrisi yang diberikan pada induk sangat penting, karena kecukupan nutrien yang diberikan melalui pakan pada induk dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas hasil reproduksi (Izquierdo et al. 2001).

Perumusan Masalah

Kebiasaan memijah keluarga ikan pelangi yang unik berdampak pada manajemen dalam teknik pembenihannya. Evaluasi tingkah laku memijah, potensi reproduksi ikan betina dan optimasi pada teknik pemijahan perlu dilakukan untuk memaksimalkan produksi benih pada budidaya ikan pelangi I. werneri yang berkelanjutan.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengevaluasi tingkah laku ikan pelangi I. werneri memijah 2. Mengevaluasi potensi reproduksi ikan pelangi I. werneri betina 3. Mengevaluasi teknik pemijahan ikan pelangi I. werneri yang optimal

Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian dapat mengoptimalkan potensi reproduksi dan menjadi informasi bagi masyarakat, mahasiswa dan peneliti lain mengenai teknik pemijahan yang tepat untuk ikan pelangi I. werneri.

2

METODE

Prosedur Penelitian Persiapan Penelitian

Ikan pelangi (Gambar 1) yang digunakan berasal dari stok pembudidaya ikan hias di desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Ikan betina memiliki ukuran yaitu bobot (W) berkisar 0,06-0,30 g atau panjang total (TL) 20,77-37,54 mm sedangkan ukuran ikan jantan berkisar 0,11-0,27 g (W) atau 25,61-30,99 mm (TL). Umur ikan yang digunakan berkisar 50-60 hari.

(15)

3

Gambar 1 Induk ikan pelangi I. werneri. (a) betina; (b) jantan

Ikan terlebih dahulu diadaptasikan selama tujuh hari dalam wadah terpisah antara jantan dan betina serta diberi pakan komersial merek dagang Feng Li berbentuk tepung yang mengandung protein 36,05%; lemak 5,96%; kadar air 7,93% dan abu 12,68%. Pakan diberikan secara at satiation dengan frekuensi tiga kali sehari (pukul 07.00, 12.00 dan 17.00). Penyifonan feses dan sisa makanan dilakukan setiap hari. Setelah diadaptasikan, induk dipilih yang siap mijah untuk digunakan pada pengamatan penelitian sesuai dengan perlakuan dan ulangan. Selama penelitian, dilakukan pengukuran suhu setiap hari, pengukuran pH dan oksigen terlarut pada awal, tengah dan akhir penelitian. Selama penelitian suhu air berkisar 24,2-30,2oC, pH 7,7-8,8 dan oksigen terlarut 3,7-7,1 mg L-1.

Tahap I. Tingkah Laku Memijah

Pengamatan tingkah laku ikan memijah berkaitan dengan waktu induk melakukan pemijahan (siang atau malam hari), tingkah laku induk sebelum, saat dan setelah pemijahan serta jumlah telur yang dikeluarkan tiap jam pada hari pemijahan. Pengamatan tingkah laku memijah menggunakan perbandingan 2 betina : 1 jantan, pada sistem massal menggunakan 40 ekor induk betina dan 20 ekor induk jantan dalam wadah pemijahan berupa akuarium berukuran 29 x 29 x 30 cm3 dan diisi 17 L air sedangkan sistem individual menggunakan 2 ekor betina dan 1 ekor jantan dalam wadah pemijahan 19,5 x 13,5 x 8,5 cm3, diisi 2 L air dan masing-masing diberi aerasi. Selain itu, untuk mengetahui tingkah laku memijah per ekor induk, maka dilakukan pula pengamatan dengan memijahkan induk secara berpasangan (1 ekor betina dan 1 ekor jantan). Selama pengamatan, induk diberi pakan komersial berbentuk tepung.

Induk betina yang digunakan pada pengamatan ini berukuran 0,17±0,08 g (W) atau 28,90±5,42 mm (TL), sedangkan induk jantan berukuran 0,16±0,05 g (W) atau 29,96±3,28 mm (TL). Induk yang telah diseleksi kemudian dipasangkan pada sore hari (antara pukul 15.00-17.00) dan selanjutnya substrat dimasukkan pada malam hari pukul 19.00. Substrat pemijahan menggunakan tali rafia sepanjang 8 cm berwarna hitam yang dihaluskan menyerupai akar tanaman air. Penggunaan substrat buatan lebih efisien karena dapat digunakan berulang kali, mudah dibersihkan dan tidak mengotori wadah pemijahan dan penetasan telur. Jumlah substrat untuk seekor induk betina adalah empat buah dengan luas permukaan 224 cm2, substrat tersebut diikat menjadi satu kelompok dan diletakkan di permukaan air pada salah satu sudut wadah pemijahan.

Waktu pemijahan diamati melalui pengecekan substrat pada pagi hari pukul 05.00 dan pada sore hari pukul 17.00. Setelah diketahui waktu ikan melakukan

(16)

4

pemijahan, maka pengamatan selanjutnya dilakukan untuk mengetahui tingkah laku ikan betina dan jantan memijah, serta jumlah telur yang dikeluarkan induk per jam pada hari pemijahan. Pengamatan jumlah telur yang ke luar pada hari pemijahan dilakukan dengan cara memasukkan substrat saat induk menunjukkan tingkah laku akan memijah. Substrat dibiarkan selama satu jam sebelum dilakukan pengecekan dan penghitungan telur, hal ini dilakukan secara periodik tiap satu jam sampai tidak ditemukan lagi telur pada substrat selama lima jam berturut-turut sejak telur terakhir ke luar.

Tahap II. Potensi Reproduksi Ikan Betina

Pengamatan potensi reproduksi ikan betina berkaitan dengan kemampuan seekor betina menghasilkan telur dan larva selama 30 hari pemijahan. Wadah yang digunakan untuk pemijahan berukuran sama dengan wadah pemijahan individual (tahap I). Ikan yang telah dipilih kemudian dipasangkan pada sore hari (antara pukul 15.00-17.00) menggunakan rasio pemijahan 1 : 1 (betina : jantan) dan selanjutnya substrat dimasukkan pada malam hari pukul 19.00. Penghitungan telur dilakukan pada esok hari pukul 17.30 setelah pemijahan berakhir berdasarkan pengamatan tahap I. Substrat yang terdapat telur kemudian diinkubasi sampai menetas dan menjadi larva pada wadah plastik berdiameter 8 cm, tinggi 12 cm dan diisi air 0,38 L tanpa aerasi. Pengamatan tingkat penetasan telur (TPt) dilakukan pada hari ketujuh setelah semua telur menetas. Larva diberi pakan berupa infusoria dan rotifer pada umur 1 hari setelah menetas (hsm). Kemudian pada umur 5 hsm dilakukan pengamatan tingkat kelangsungan hidup larva (TKHL) yang dilakukan selama 30 hari.

Percobaan pertama menggunakan 14 pasang induk yang dipijahkan pada 14 wadah terpisah. Selama pengamatan, induk diberi pakan komersial berbentuk tepung secara at satiation dengan frekuensi tiga kali sehari. Ukuran induk betina yang digunakan adalah 0,19±0,08 g (W) atau 30,39±5,38 mm (TL), sedangkan ukuran induk jantan 0,16±0,05 g (W) atau 30,06±2,86 mm (TL).

Percobaan kedua untuk mengamati pengaruh perbedaan jenis pakan yang diberikan selama pemijahan terhadap potensi reproduksi ikan betina. Pakan yang digunakan yaitu pakan buatan (komersil) dan pakan alami (Moina sp.) yang diberikan selama pemijahan secara at satiation dengan frekuensi tiga kali sehari. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat enam unit percobaan. Induk betina yang digunakan berukuran 0,19±0,07 g (W) atau 30,74±3,62 mm (TL) serta induk jantan yang berukuran 0,11±0,02 g (W) atau 26,41±2,27 mm (TL).

Tahap III. Optimasi Teknik Pemijahan

Pengamatan optimasi teknik pemijahan dilakukan untuk mengetahui teknik pemijahan yang optimal melalui tiga kajian berikut (Tabel 1).

(17)

5 Tabel 1 Kajian optimasi teknik pemijahan

Kajian penelitian Perlakuan penelitian Rancangan dan ulangan

penelitian

Perbedaan sistem pemijahan Massal Deskriptif dan

empat ulangan Individual

Perbedaan rasio kelamin induk dalam pemijahan

Rasio 1♀:1♂ RAL dan

tiga ulangan Rasio 2♀:1♂

Rasio 3♀:1♂ Perbedaan ukuran induk betina

dalam pemijahan Kecil: 0,12±0,01 g (W) atau 26,98±1,37 mm (TL) RAL dan tiga ulangan Sedang: 0,17±0,03 g (W) atau 29,99±3,99 mm (TL) Besar: 0,28±0,01 g (W) atau 35,76±2,84 mm (TL)

Ukuran induk betina dan jantan serta wadah pemijahan yang digunakan pada kajian sistem pemijahan sama dengan yang digunakan pada pengamatan pemijahan massal dan individual (tahap I). Kemudian pada kajian perbedaan rasio kelamin induk menggunakan betina berukuran 0,09±0,02 g (W) atau 23,54±2,24 mm (TL) serta jantan berukuran 0,12±0,03 g (W) atau 27,20±2,30 mm (TL). Selanjutnya pada pengamatan perbedaan ukuran induk betina, ukuran induk jantan yang digunakan yaitu 0,16±0,05 g (W) atau 30,33±2,88 mm (TL). Pengkajian perbedaan sistem pemijahan menggunakan rasio pemijahan 2 : 1, sedangkan kajian perbedaan ukuran induk menggunakan rasio pemijahan 1 : 1 (betina : jantan). Pakan yang digunakan adalah pakan komersial yang diberikan secara at satiation dengan frekuensi tiga kali sehari. Pemasangan induk, penambahan substrat dan pengamatan jumlah telur dan larva dilakukan seperti pengamatan percobaan sebelumnya.

Parameter Uji

Parameter uji pada penelitian tahap I, II dan III dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2 Parameter uji penelitian

Tahap I Tahap II Tahap III

1. Waktu memijah 2. Tingkah laku

memijah

3. Jumlah telur per jam pada hari pemijahan

1. Jumlah telur 2. Jumlah larva

3. Tingkat penetasan telur 4. Tingkat kelangsungan

hidup larva

1. Jumlah telur

2. Tingkat penetasan telur 3. Tingkat kelangsungan

hidup larva

Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat penetasan telur (TPt) dan tingkat kelangsungan hidup larva (TKHL) adalah sebagai berikut:

TPt (%) = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙 x 100

(18)

6

Prosedur Analisis Data

Data penelitian tahap I; waktu memijah, tingkah laku induk memijah dan jumlah telur tiap jam pada hari pemijahan dianalisis secara deskriptif. Data penelitian tahap II; jumlah telur dan larva selama 30 hari serta rata-rata telur dan larva per hari per ekor betina dianalisis secara deskriptif sedangkan data jumlah telur, TPt dan TKHL umur 5 hsm berdasarkan perbedaan jenis pakan dianalisis menggunakan uji T dengan selang kepercayaan 95%. Data penelitian tahap III; jumlah telur berdasarkan perbedaan sistem pemijahan selama 10 hari dianalisis menggunakan uji T dengan selang kepercayaan 95%. Selanjutnya data jumlah telur, TPt dan TKHL umur 5 hsm berdasarkan perbedaan rasio kelamin dan ukuran induk betina dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% dan diuji lanjut menggunakan uji Duncan.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Tingkah Laku Memijah

Pemijahan induk ikan I. werneri betina dan jantan pada pemijahan secara massal dan individual terjadi pada pagi sampai sore hari, meskipun substrat telah dimasukkan sejak malam hari. Hal ini diketahui melalui pemeriksaan substrat pada pukul 05.00 dan tidak ditemukan adanya telur.

Gambar 2 Hasil kajian tingkah laku memijah ikan pelangi I. werneri. Posisi normal sirip ikan jantan (a); posisi siap melakukan pembuahan, ↔ arah membuka dan menutup sirip (b); posisi ikan betina yang memijah dan jantan saat pembuahan (c), telur pada substrat tali rafia (d); telur (e). Pengamatan menunjukkan aktivitas sebelum pemijahan terjadi pada pagi hari 13-15 jam sejak pemasangan induk atau 11 jam sejak substrat diletakkan. Ikan jantan yang telah siap memijah (birahi) terlihat melalui gerakan siripnya, yaitu sirip punggung satu dan dua, sirip perut serta anal akan membuka kemudian menutup

c e

a b

(a) (b)

(19)

7 sangat cepat (Gambar 2.a-b). Gerakan tersebut sangat berbeda dengan gerakan membuka sirip saat mengintimidasi jantan lain. Gerakan jantan saat birahi tersebut merupakan tarian yang digunakan untuk menarik perhatian ikan betina saat memijah. Ikan jantan akan menari di dekat substrat dan saat mendekati betina. Aktivitas jantan menggoda betina tersebut terjadi berulang kali. Selanjutnya ikan betina yang telah tertarik akan mendekati substrat dan diikuti oleh ikan jantan yang merapatkan tubuhnya ke samping betina. Saat pemijahan, telur terlihat ke luar menggumpal seperti buah anggur (Gambar 2.c), kemudian dengan sangat cepat betina dan jantan berenang maju sambil mengibaskan ekor, sehingga telur akan menempel pada substrat (Gambar 2.d) yang beriringan dengan jantan mengeluarkan sperma. Telur yang dikeluarkan berdiameter antara 0,73-1,08 mm dan memiliki benang-benang filamen (Gambar 2.e). Aktivitas memijah tersebut terjadi berulang kali dimulai pagi hari pukul 06.30 dan berakhir pada sore hari, yaitu pukul 15.30 untuk pemijahan massal dan pukul 17.30 untuk pemijahan individual. Jumlah telur yang dikeluarkan pada pemijahan massal dan individual lebih serempak pada pagi hari dan terus menurun pada sore hari (Gambar 3). Pada pemijahan massal ditemukan fenomena induk memakan telur yang menempel di substrat. Ketika pemijahan berakhir, tidak terlihat aktivitas jantan membuka dan menutup siripnya.

Gambar 3 Persentase telur ikan pelangi I. werneri yang dihasilkan pada pemijahan dalam satu hari

Potensi Reproduksi Ikan Betina

Pengamatan jumlah telur menunjukkan bahwa ikan pelangi Iriatherina werneri mampu memijah setiap hari selama 30 hari dan telur yang dikeluarkan jumlahnya berfluktuasi. Percobaan pertama sebagai data awal potensi reproduksi ikan betina pada pemasangan induk sebanyak 14 ekor ikan betina dan 14 ekor ikan jantan menghasilkan total telur selama 30 sebanyak 2.575 butir dengan rata-rata total telur per ekor betina sebanyak 184 butir, rata-rata jumlah telur per hari adalah 6,13±3,37 butir dan puncak jumlah telur terjadi pada hari ke tujuh (15±7,54 butir). Kemudian total larva umur 5 hsm selama 30 hari adalah 609 ekor dengan rata-rata total larva per ekor betina adalah 44 ekor dan rata-rata jumlah larva per hari per ekor betina adalah 1±0,73 ekor (Gambar 4).

94,92 5,08 75,00 25,00 0 20 40 60 80 100 Pagi (06.00-12.30) Sore (12.30-18.00) Ju mla h t el u r (%) Waktu Massal Individual

(20)

8

Gambar 4 Hasil potensi produksi telur dan larva ikan pelangi I. werneri betina selama 30 hari

Percobaan kedua untuk mengkaji perbedaan jenis pakan terhadap potensi reproduksi ikan betina yang masing-masing menggunakan tiga betina dan jantan menunjukkan bahwa pemberian pakan buatan menghasilkan total telur selama 30 hari sebanyak 658 butir, rata-rata jumlah telur per hari adalah 7,31±5,65 butir dan puncak jumlah telur terjadi pada hari ke tujuh (22±1,15 butir). Kemudian total larva umur 5 hsm selama 30 hari sebanyak 86 ekor dan rata-rata jumlah larva per hari per ekor betina sebanyak 1±1,09 ekor. Potensi reproduksi betina menunjukkan peningkatan melalui pemberian pakan alami yang menghasilkan total telur selama 30 hari sebanyak 2.566 butir, rata-rata jumlah telur per hari sebanyak 28,51±9,43 butir dan puncak jumlah telur terjadi pada hari ke-16 (49±18,23 butir). Kemudian total larva umur 5 hsm selama 30 hari sebanyak 1.192 ekor dan rata-rata jumlah larva per hari per ekor betina sebanyak 13±5,56 ekor (Gambar 5).

Gambar 5 Hasil potensi produksi telur dan larva ikan pelangi I. werneri betina selama 30 hari pada pemberian pakan buatan (PB) dan pakan alami (PA).

Hasil analisis parameter reproduksi per ekor betina pada perlakuan perbedaan jenis pakan yang diberikan selama pemijahan (Lampiran 1) menunjukkan perbedaan jumlah telur, TPt dan TKHL selama 30 hari pemijahan (P<0,05) pada pengamatan berpasangan (1 : 1) (Tabel 3) dengan nilai tertinggi terdapat pada penggunaan jenis pakan alami.

0 5 10 15 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ju ml ah t el u r d an la rv a (b u tir , ek o r)

Hari pemijahan

ke-Telur Larva 0 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ju ml ah t el u r d an la rv a (b u tir , ek o r)

Hari pemijahan

(21)

9 Tabel 3 Hasil potensi reproduksi ikan betina selama 30 hari pemijahan pada

pemberian pakan buatan dan pakan alami

Pakan induk ∑T (butir) Parameter pengamatan berdasarkan 1 ekor induk betina

TPt (%) TKHL(%)

Pakan buatan 219,33±20,55a 40,68±11,41a 31,11±13,06a

Pakan alami 855,33±66,15b 76,19±4,58b 61,19±3,72b

Keterangan: ∑T: rata-rata total telur; TPt: tingkat penetasan telur; TKHL: tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm. Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf α 0,05.

Optimasi Teknik Pemijahan

Hasil analisis terhadap perbedaan sistem pemijahan (Lampiran 2), menunjukkan bahwa sistem pemijahan secara massal dan individual tidak memberikan pengaruh (P>0,05) terhadap jumlah peneluran ikan pelangi I. werneri selama 10 hari (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil reproduksi berdasarkan sistem pemijahan selama 10 hari pemijahan

Sistem pemijahan Total telur (butir) per ekor

betina

Telur (butir) per hari per ekor betina

Massal 79±2,00a 8

Individual 56±2,00a 6

Keterangan: Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 0,05. Hasil analisis terhadap parameter reproduksi per ekor betina pada perbedaan rasio kelamin induk betina dan jantan (Lampiran 3) memberikan pengaruh terhadap jumlah telur selama 30 hari pemijahan (P<0,05) dengan jumlah terbanyak pada pemijahan rasio 1 : 1 yaitu 241,33±52,53 butir. Selain itu, perlakuan perbedaan rasio kelamin induk juga berpengaruh terhadap nilai parameter TKHL umur 5 hsm (P<0,05) dengan nilai tertinggi pada rasio 3 : 1 sebesar 46,22±6,71% namun tidak berbeda nyata terhadap rasio 2 : 1. Nilai TKHL umur 5 hsm terendah terdapat pada rasio 1 : 1 (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil reproduksi berdasarkan rasio kelamin induk selama 30 hari pemijahan Rasio kelamin induk Parameter pengamatan berdasarkan satu ekor induk betina ∑T (butir)

TPt (%) TKHL(%)

1♀:1♂ 241,33±52,53b 56,67±19,78a 29,37±7,94a

2♀:1♂ 117,00±18,73a 74,37±3,67a 42,17±2,29b

3♀:1♂ 124,00±8,66a 52,92±10,53a 46,22±6,71b

Keterangan: ∑T: rata-rata total telur; TPt: tingkat penetasan telur; TKHL: tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm. Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf α 0,05.

Pengamatan pada perlakuan perbedaan ukuran induk betina (Lampiran 4), menunjukkan bahwa ukuran induk betina tidak mempengaruhi jumlah telur, tingkat penetasan telur dan tingkat kelangsungan hidup umur 5 hsm selama 30 hari pada pemijahan berpasangan (1 : 1) (P>0,05). Terdapat kecenderungan ikan betina yang

(22)

10

berukuran kecil menunjukkan rata-rata jumlah telur yang lebih tinggi dari pada ikan berukuran sedang dan besar (Tabel 6).

Tabel 6 Hasil reproduksi berdasarkan ukuran induk betina selama 30 hari pemijahan Ukuran induk betina Parameter pengamatan berdasarkan satu ekor induk betina ∑T (butir)

TPt (%) TKHL(%)

Kecil (26,98 mm) 265,00±54,74a 68,73±13,00a 37,48±14,28a

Sedang (29,99 mm) 196,00±26,06a 47,46±7,86a 42,86±14,59a

Besar (35,76 mm) 202,00±40,95a 58,25±24,21a 39,02±15,99a

Keterangan: ∑T: rata-rata total telur; TPt: tingkat penetasan telur; TKHL: tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm. Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 0,05.

Pembahasan

Proses reproduksi yang berujung pada pemijahan memerlukan berbagai adaptasi terhadap lingkungan agar dapat berlangsung. Sistem saraf dan hormon merupakan sistem yang berperan untuk mengindikasikan situasi dan kondisi lingkungan yang tepat, karena kunci keberhasilan reproduksi adalah sinkronisasi yang terjadi pada ikan yaitu memijah pada waktu dan tempat yang tepat (Rahardjo et al. 2011). Kesesuaian faktor lingkungan menjadi sinyal yang direspon melalui perubahan tingkah laku dan diikuti pelepasan feromon untuk menarik lawan jenis (Tappin 2011). Pada penelitian ini terlihat bahwa pemijahan diawali oleh ikan pelangi jantan yang menari dengan cara membuka dan menutup sirip sangat cepat di sekitar substrat dan ikan betina. Diduga bersama gerakan menari tersebut, jantan juga melepaskan feromon ke air untuk merangsang betina sehingga melakukan pemijahan. Telah dilaporkan pada ikan hias Xiphophorus birchmanni, jantan akan melepaskan feromon bersama urin saat prapemijahan untuk merangsang betina memijah (Rosenthal et al. 2011), kemudian pada ikan jantan siklid Afrika Astatotilapia burtoni frekuensi pengeluaran urin tersebut akan lebih tinggi ~10 kali lipat ketika berinteraksi dengan betina matang gonad (Maruska dan Fernald 2012). Pengamatan pada penelitian ini diketahui bahwa perbedaan jumlah jantan pada pemijahan secara massal dan individual dapat mempengaruhi aktivitas pemijahan ikan pelangi. Pemijahan secara massal berakhir dua jam lebih cepat dibandingkan pemijahan secara individual, selain itu telur yang dikeluarkan lebih serempak pada pagi hari mencapai 94,92% dari total telur yang dikeluarkan pada hari pemijahan. Pemijahan secara individual lebih lambat berakhir karena di alam ikan betina pada keluarga ikan pelangi dapat memilih pasangan (jantan) untuk melakukan pemijahan (Tappin 2011) sehingga dengan kondisi tidak ada pilihan jantan lain pada sistem pemijahan individual membuat betina akan menghindar ketika jantan yang dipasangkan tidak cocok. Namun, pada penelitian ini menunjukkan tingkah laku induk betina menghindari jantan terbatasi oleh luas wadah pemijahan yang menyebabkan pemijahan tetap berlangsung dengan sinkronisasi yang lambat dan berdampak pada aktivitas pemijahan yang lebih lama. Perbedaan aktivitas pemijahan yang terjadi pada sistem massal dan individual tidak memberikan perbedaan jumlah telur yang dikeluarkan seekor betina selama 10 hari yang berkisar 6-8 butir per hari.

(23)

11 Berdasarkan pengamatan tingkah laku tersebut, diketahui bahwa ikan pelangi termasuk tipe memijah promiscuous, yaitu tidak melakukan kawin dengan pasangan tertentu melainkan kawin campur dengan banyak pasangan (Rahardjo et al. 2011), sehingga akan lebih baik memijah secara berkelompok (masse spawner). Untuk kegiatan budidaya, pemijahan massal dapat menggunakan banyak induk dalam satu wadah sehingga lebih efisien tempat. Selain itu, berdasarkan persentase telur yang dikeluarkan lebih serempak pagi hari (Gambar 3) maka panen telur ikan pelangi pada pemijahan massal untuk dipindahkan ke wadah penetasan dapat dilakukan pada pukul 12.30. Panen telur yang lebih cepat dapat meminimalkan berkurangnya telur akibat fenomena pemangsaan telur dari induk.

Pemijahan ikan pelangi dapat terjadi setiap hari selama 30 hari (Gambar 4 dan 5) dan diduga akan terus berlanjut tergantung pada kecukupan nutrisi yang diberikan untuk induk dan kondisi lingkungan yang optimum. Tipe pemijahan yang demikian digolongkan ke dalam spesies yang memijah secara parsial (partial spawner). Menurut Rahardjo et al. (2011) tipe pemijahan secara parsial adalah ikan yang mengeluarkan telur beberapa kali dalam satu musim pemijahan. Selain itu umumnya ikan pelangi dapat memijah setiap hari sepanjang tahun (Humphrey et al. 2003; Tappin 2011). Meskipun memijah secara parsial, masing-masing spesies memiliki musim dengan aktivitas pemijahan tertinggi di habitat alam. Misalnya pada ikan pelangi arfak Melanotaenidae arfakensis yang melangsungkan pemijahan selama periode aliran air yang rendah dan stabil (Manangkali et al. 2009). Tipe pemijahan parsial juga terlihat dari jumlah telur yang siap diovulasikan, misalnya pada ikan pelangi M. eachamensis dan M. splendida splendida masing-masing terdapat 2,2-16,4% dan 0,9-3,8% kelompok telur yang siap diovulasikan dari fekunditas total (Pusey et al., 2001), sehingga jumlah telur yang dihasilkan akan berfluktuasi.

Kemampuan atau potensi reproduksi ikan pelangi betina untuk menghasilkan telur dan larva dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Hal ini terlihat pada pengamatan jumlah telur yang mampu dihasilkan seekor betina akan meningkat mencapai empat kali lipat ketika diberikan pakan alami (Moina sp.) dan jumlah larva umur 5 hsm mencapai 14 kali lipat lebih banyak dibandingkan induk yang diberikan pakan buatan. Peningkatan potensi reproduksi tersebut disebabkan oleh pakan alami memiliki nutrien yang lebih lengkap dan memungkinkan proses reproduksi terutama saat vitelogenesis lebih baik yang berdampak pada telur dan larva yang berkualitas. Chumaidi et al. (2009) melaporkan Moina sp. mengandung protein yang tinggi (60,38%), lemak (10,05%) serta asam lemak seperti kaprilat, laurat, palmitat, stearat, oleat, linoleat, arakidonat, EPA dan DHA. Kemudian menurut Izquerdo et al. (2001) penggunaan pakan yang berkualitas dapat meningkatkan kualitas gamet dan produksi benih. Beberapa spesies ikan menunjukkan pemberian pakan yang mengandung HUFA (highly unsaturated fatty acid) dapat meningkatkan jumlah telur, mempengaruhi proses embriogenesis dan penetasan telur. Selanjutnya Badger (2004) melaporkan perbaikan nutrisi pada ikan pelangi M. splendida splendida dapat meningkatkan jumlah telur, interval pemijahan, tingkat kelangsungan hidup embrio, tingkat penetasan telur dan kualitas larva.

Rasio kelamin induk dalam pemijahan sangat penting diperhatikan karena berkaitan dengan efisiensi penggunaan induk betina maupun jantan untuk memperoleh hasil pemijahan yang optimal dalam budidaya (Mylonas et al. 2010),

(24)

12

misalnya pada pemijahan ikan pelangi M. parva yang menggunakan rasio kelamin 1 ♀ : 2 ♂ (Nur dan Nurhidayat 2012), rasio 2 ♀ : 1 ♂ pada ikan pelangi Sulawesi Telmatherina ladigesi (Said dan Mayasari 2007), rasio 2 ♀ : 1 ♂ pada ikan Rasbora argyrotaenia (Said dan Mayasari 2010) dan rasio 3 ♀ : 1 ♂ pada ikan nila (Akar 2012). Terkait hal tersebut dan secara alami jumlah individu jantan ikan pelangi jantan lebih sedikit (10-30%) dibandingkan jumlah betina, maka efisiensi penggunaan induk pada I. werneri berkaitan dengan efisiensi penggunaan individu jantan dalam pemijahan. Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 5) maka sperma seekor jantan masih dapat membuahi telur dari dua atau tiga induk betina pada pemijahan rasio 2 : 1 dan 3 : 1. Kemudian tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm terbaik terdapat pada rasio 2 : 1 dan 3 : 1 dengan kisaran nilai 42,17-46,22%. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian ini untuk mengefisienkan penggunaan jantan maka dalam pemijahan ikan pelangi menggunakan rasio kelamin 3 : 1 (betina : jantan).

Selain rasio kelamin induk dalam pemijahan, hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemijahan adalah ukuran induk betina. Karena umumnya ukuran induk betina akan mempengaruhi jumlah telur yang dihasilkan. Namun pada penelitian ini jumlah telur yang dikeluarkan dan tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm pada ikan pelangi I. werneri tidak dipengaruhi ukuran induk. Hal ini diduga karena kisaran ukuran betina yang digunakan pada penelitian ini masih terlalu sempit. Terkait ukuran betina masih perlu dikaji lebih lanjut dengan menggunakan kisaran yang lebih lebar sehingga diketahui ukuran ikan betina yang paling produktif dalam menghasilkan telur dan larva. Selain itu, perlu dilakukan pengukuran diameter telur berdasarkan ukuran induk betina karena berkaitan dengan kapasitas ovari untuk menampung telur.

Pada penelitian ini seekor induk betina ikan pelangi berukuran 26-36 mm rata-rata menghasilkan telur sebanyak 7-9 butir per hari dan ketika diberi pakan alami, jumlah telur yang dihasilkan mencapai 29 butir per hari. Jumlah telur tersebut lebih sedikit jika dibandingkan dengan beberapa spesies ikan hias yang berukuran kecil. Misalnya pada ikan zebra Danio rerio yang memiliki interval pemijahan 1-6 hari, seekor betina berukuran ± 40 mm mampu menghasilkan ratusan telur dalam sekali pemijahan (Spence et al. 2008), kemudian pada ikan cupang Betta splendens yang berukuran ± 35 mm mampu menghasilkan telur berkisar 751-785 butir saat pemijahan (Dewantoro 2001). Fenomena tersebut berkaitan erat dengan strategi reproduksi (mampu memijah setiap hari) yang dimiliki keluarga ikan pelangi, misalnya pada spesies M. praecox berukuran 60 mm yang menghasilkan telur 27 butir, Rhadinocentrus ornatus berukuran 50-60 mm menghasilkan telur 3-5 butir setiap hari, Pseudomugil gerturde berukuran 30 mm yang mengeluarkan telur setiap hari 10-12 butir dan P. mellis berukuran 25-30 mm yang menghasilkan telur 1-15 butir per hari selama 7-9 hari (Tappin 2011).

Berdasarkan hasil penelitian, maka teknik pemijahan ikan I. werneri dapat menggunakan rasio induk 3 : 1 dengan memakai induk betina yang berukuran 26,98-35,76 mm. Selain itu, untuk mendukung proses memijah yang unik pada induk betina maka selama pemeliharaan atau pemijahan, induk diberikan pakan alami sehingga proses reproduksi terjadi secara kontinu dan kuantitas serta kualitas reproduksi yang dihasilkan lebih optimal.

(25)

13

4

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemijahan ikan pelangi I. werneri diawali oleh perubahan tingkah laku ikan jantan yang membuka dan menutup sirip dengan sangat cepat

2. Pemijahan ikan pelangi I. werneri secara massal lebih cepat berakhir dan lebih serempak terjadi pada pagi hari

3. Potensi reproduksi ikan pelangi I. werneri betina dapat ditingkatkan melalui pemberian pakan alami

4. Teknik pemijahan ikan pelangi I. werneri yang optimal pada penelitian ini menggunakan sistem massal dengan rasio kelamin induk 3 : 1 (betina : jantan) dan menggunakan induk betina berukuran 26,98-35,76 mm.

Saran

Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai keadaan ovari dan testis secara histologi ketika ikan dipijahkan setiap hari, kemudian kajian untuk mengetahui ukuran induk betina yang paling optimal serta melakukan kajian lebih lanjut terkait manajemen pemeliharaan larva dan benih ikan pelangi I. werneri.

DAFTAR PUSTAKA

Akar AM. 2012. Effect of sex ratio on reproductive performance of broodstock nile tilapia Oreochromis niloticus in suspended earthen pond hapas. Journal of the Arabian Aquaculture Society. 7(1): 19-28.

Ataguba GA, Okomoda VT, Onwuka MC. 2013. Relationship between brood stock weight combination and spawning success in African catfish Clarias gariepinus. Croatian Journal of Fisheries. 71: 176-181.

Badger AC. 2004. The effects of nutrition on reproduction in the eastern Rainbowfish Melanotaenia splendida splendida. [tesis]. James Cook University, Queensland.

Chumaidi, Nurhidayat, Priyadi A. 2009. Pemeliharaan larva ikan botia Chromobotia macracanthus menggunakan pakan alami yang diperkaya nutrisinya. Jurnal Akuakultur Indonesia. 8(1): 11-18.

Dewantoro GW. 2001. Fekunditas dan produksi larva ikan cupang Betta splendens Regan yang berbeda umur dan pakan alaminya. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2): 49-52.

[FAO]. 2015a. Common carp Cyprinus carpio (Linneaus, 1958). [internet]. [diunduh 2015 November 17]. Tersedia pada: http://www.fao.org/ fishery/affris/species-profiles/common-carp/common-carp-home/en/. [FAO]. 2015b. Cultured aquatic species in formation programme Oreochromis

niloticus (Linneaus, 1758). [internet]. [diunduh 2015 November 17]. Tersedia pada: http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Oreochromis_ niloticus/en.

(26)

14

[FAO]. 2015c. Cultured aquatic species information programme Clarias gariepinus (Burchell, 1822). [internet]. [diunduh 2015 November 17]. Tersedia pada: http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Clarias_gariepinus/en.

Humphrey C, Klumpp DW, Pearson R. 2003. Early development and growth of the eastern rainbowfish, Melanotaenia splendida splendida (Peters) I. Morphogenesis and ontogeny. Marine and Freshwater Research. 54: 17-25. Izquierdo MS, Fernández-Palacios H, Tacon AGJ. 2001. Effects of broodstock

nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture. 197: 25-42. Manangkali E, Rahardjo MF, Sjafei DS, Sulistiono. 2009. Musim pemijahan ikan

pelangi arfak Melanotaenia arfakensis (Allen) di sungai Nimbai dan sungai Aimasi, Manokwari. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1): 1-12.

Maruska KP, Fernald RD. 2012. Contextual chemosensory urine signaling in an African cichlid fish. The Journal of Experimental Biology. 215: 68-74. doi:10.1242/jeb.062794.

Mylonas CC, Fostier A, Zanuy S. 2010. Broodstock management and hormonal manipulations of fish reproduction. General and Comparative Endocrinology. 165: 516-534. doi:10.1016/j.ygcen.2009.03.007.

Nur B, Nurhidayat. 2012. Optimalisasi reproduksi ikan pelangi kurumoi Melanotaenia parva (Allen, 1990) melalui rasio kelamin induk dalam pemijahan. Jurnal Iktiologi Indonesia. 12(2): 99-109.

Pusey BJ, Arthington AH, Bird JR, Close PG. 2001. Reproduction in three species of rainbowfish (Melanotaeniidae) from rainforest streams in northern Queensland, Australia. Ecology of Freshwater Fish. 10: 75-87.

Rahardjo MF, Sjafei DS, Affandi R, Sulistiono, Hutabarat J. 2011. Iktiology. Cv. Lubuk Agung, Bandung. 394 p.

Rosenthal GG, Fitzsimmons JN, Woods KU, Gerlach G, Fisher HS. 2011. Tactical release of a sexually-selected pheromone in a swordtail fish. PLoS ONE. 6(2): 1-5. doi:10.1371/journal.pone.0016994.

Said DS, Mayasari N. 2007. Reproduksi dan pertumbuhan ikan pelangi Telmatherina ladigesi dengan rasio kelamin berbeda pada habitat ex-situ. Aquaculture Indonesia. 8(1): 41-47.

Said DS, Mayasari N. 2010. Pertumbuhan dan pola reproduksi ikan bada Rasbora argyrotaenia pada rasio kelamin yang berbeda. Limnotek. 17(2): 201-209. Spence R, Gerlach G, Lawrence C, Smith C. 2008. The behaviour and ecology of

the zebrafih, Danio rerio. Biol. Rev. 83: 13-34. doi:10.1111/j.1469-185X.2007.00030.x

Tappin AR. 2011. Rainbowfishes their care and keeping in captivity. 2nd edition. Art Publications. 557 p.

Unmack PJ, Allen GR, Johnson JB. 2013. Phylogeny and biogeography of rainbowfish (Melanotaeniidae) from Australia and New Guinea. Molecular Phylogenetics and Evolution. 67: 15-27.

(27)

15

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis parameter reproduksi ikan pelangi I. werneri berdasarkan perbedaan jenis pakan induk selama pemijahan.

Independent Sample Test

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of

Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Total telur Equal variances assumed 4.162 .111 -15.902 4 .000

Equal variances not assumed -15.902 2.382 .002

Tingkat penetasan telur

Equal variances assumed 2.168 .215 -5.003 4 .007

Equal variances not assumed -5.003 2.630 .021

Tingkat

kelangsungan hidup larva

Equal variances assumed 4.734 .095 -3.837 4 .019

Equal variances not assumed -3.837 2.323 .048

Melihat nilai sig. <0,05 maka perlakuan perbedaan jenis pakan induk berpengaruh terhadap parameter total telur, tingkat penetasan telur dan tingkat kelangsungan hidup larva.

Lampiran 2 Hasil analisis parameter reproduksi ikan pelangi I. werneri berdasarkan sistem pemijahan.

Independent Sample Test

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of

Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Total telur Equal variances assumed .939 .370 1.676 6 .145

Equal variances not assumed 1.676 4.180 .166

Melihat nilai sig. >0,05 maka perlakuan sistem pemijahan tidak berpengaruh terhadap jumlah telur yang dihasilkan.

(28)

16

Lampiran 3 Hasil analisis parameter reproduksi ikan pelangi I. werneri berdasarkan perbedaan rasio kelamin induk betina dan jantan dalam pemijahan.

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Total telur Between Groups 29274.889 2 14637.444 13.781 .006

Within Groups 6372.667 6 1062.111 Total 35647.556 8 Tingkat penetasan telur Between Groups 787.809 2 393.905 2.291 .182 Within Groups 1031.629 6 171.938 Total 1819.438 8 Tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm

Between Groups 464.107 2 232.053 6.133 .035

Within Groups 227.017 6 37.836

Total 691.124 8

Melihat nilai sig. <0,05 pada parameter total telur dan tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm maka perlakuan perbedaan rasio kelamin induk betina dan jantan memberikan pengaruh terhadap parameter tersebut. Selanjutnya untuk melihat perbedaan antar perlakuan maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan sebagai berikut:

Total telur

Duncana

Rasio induk betina

dan jantan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

2 betina : 1 jantan 3 117.0000

3 betina : 1 jantan 3 124.0000

1 betina : 1 jantan 3 241.3333

Sig. .801 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Berdasarkan uji Duncan terhadap total telur maka rasio kelamin 1 betina : 1 jantan berbeda nyata dengan rasio kelamin 2 betina : 1 jantan dan 3 betina : 1 jantan. Kemudian rasio 2 betina : 1 jantan tidak berbeda nyata dengan rasio 3 betina : 1 jantan.

(29)

17

Tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm

Duncana

Rasio induk betina

dan jantan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

1 betina : 1 jantan 3 29.3733

2 betina : 1 jantan 3 42.1700

3 betina : 1 jantan 3 46.2233

Sig. 1.000 .450

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Berdasarkan uji Duncan terhadap tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm maka rasio kelamin 3 betina : 1 jantan dan 2 betina : 1 jantan tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan rasio kelamin 1 betina : 1 jantan.

Lampiran 4 Hasil analisis parameter reproduksi ikan pelangi I. werneri berdasarkan perbedaan ukuran induk betina dalam pemijahan.

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Total telur Between Groups 8766.000 2 4383.000 2.456 .166

Within Groups 10706.000 6 1784.333 Total 19472.000 8 Tingkat penetasan telur Between Groups 678.881 2 339.441 1.246 .353 Within Groups 1634.734 6 272.456 Total 2313.615 8 Tingkat kelangsungan hidup larva umur 5 hsm

Between Groups 46.062 2 23.031 .103 .904

Within Groups 1345.516 6 224.253

Total 1391.577 8

Melihat nilai sig. >0,05 maka perlakuan perbedaan ukuran induk betina tidak berpengaruh terhadap parameter total telur, tingkat penetasan telur dan tingkat kelangsungan hidup larva.

(30)

18

RIWAYAT HIDUP

Muh. Herjayanto lahir di Lombonga - Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada tanggal 01 Februari 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara keluarga bapak Herman, SPd dan ibu Hujah, SPd.

Penulis mengawali pendidikannya di Sekolah Taman Kanak-kanak Dharmawanita Desa Wosu (Kabupaten Morowali). Setelah itu melanjutkan studi ke SD Inpres 1 Wosu selama 3 tahun dan 3 tahun berikutnya dilanjutkan di SD Inpres 1 Tondo (Kota Palu). Kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah MTs Alkhairaat Sis Al-Jufrie Palu selama 1 tahun dan 2 tahun berikutnya dilanjutkan di MTs Alkhairaat Parigi (Kabupaten Parigi Moutong). Pada tahun 2005 melanjutkan studi ke SMKN 1 Parigi mengambil bidang keahlian Pengolahan Hasil Perikanan dan tamat pada tahun 2008. Pendidikan strata satu (S1) ditempuh pada tahun 2008 di Universitas Tadulako, Program Studi Budidaya Perairan dan memperoleh gelar sarjana perikanan (SPi) pada tahun 2013. Setelah lulus, penulis melanjutkan pendidikan strata dua (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Akuakultur tahun 2013 dengan sponsor Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dalam Negeri (BPP-DN) Ditjen Dikti.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun tesis dengan judul “Kajian Tingkah Laku Memijah, Potensi Reproduksi Ikan Betina dan Optimasi Teknik Pemijahan Ikan Pelangi Iriatherina werneri”.

Gambar

Gambar 1 Induk ikan pelangi I. werneri. (a) betina; (b) jantan
Tabel 2 Parameter uji penelitian
Gambar 3  Persentase telur ikan pelangi I. werneri yang dihasilkan pada pemijahan  dalam satu hari
Gambar 4   Hasil  potensi  produksi  telur  dan  larva  ikan  pelangi  I.  werneri  betina  selama 30 hari
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka memelihara fungsi sungai tersebut, maka diperlukan instrumen lingkungan yang mampu menjaga pelestarian fungsi sungai berupa: pengintegrasian ke dalam

Berdasarkan gambar 2 dari data hasil kusiner pada pasien malaria di Rumah Sakit Islam (RSI) UNISMA Malang tahun 2016-2017diketahui pada parameter usia, kasus malaria pertama

Melalui WBS yang diwujudkan dalam bentuk jaringan kerja,dapat diperoleh informasi, kapan aktivitas dapat atau harus mulai, kapan sumber daya harus tersedia,

 Susu, daging, hati, ginjal, jantung ikan, telur Laktoflavin  Riboflavin dalam susu..

Dalam upaya meningkatkan kedudukan, peran, kualitas perempuan, dan kesetaraan gender, serta penjaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak dalam kehidupan berkeluarga,

Anti nutrisi yang terkandung didalam kulit buah kakao adalah tanin (Duke, 1983) dan theobromine (Wong et al., 1987).Menurut Figueira and Miller(1993), jenis tanin

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah

Brand yang akan digunakan sesuai dengan nama produk tersebut yaitu The Beauty Portable yang artinya semua kebutuhan kosmetik, alat-alat kecantikan dan perlengkapan