• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 I.1. Latar Belakang

Pemetaan laut khususnya pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan informasi di bidang kelautan (Soeprapto 2001a). Batimetri (dari bahasa Yunani: bathy, berarti “kedalaman”, dan metry, berarti “ukuran”) adalah ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan

studi tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau. Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontor (contour lines) yang disebut kontor kedalaman (depth contours atau isobath), dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan (anonim 2015). Dalam bidang pelayaran informasi kedalaman air, jenis dasar laut, bentuk dan sifat pantai, bahaya-bahaya pelayaran serta sarana bantu navigasi merupakan hal-hal yang harus ada dalam peta laut.

Indonesia merupakan negara dengan wilayah laut yang luas yaitu hampir dua pertiga wilayah kekuasaannya. Luas wilayah laut yang besar menjadikannya memiliki potensi ekonomi kelautan yang juga sangat besar. Bidang perikanan, wisata, serta transportasi laut merupakan beberapa sumber potensi tersebut. Salah satu wilayah yang memiliki potensi ekonomi kelautan dan juga menjadi penggerak ekonomi masyarakat pesisir selatan Yogyakarta adalah wilayah Laut Sadeng dimana terdapat Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng. Wilayah ini berada di selatan Pantai Sadeng yang termasuk wilayah paling timur pesisir selatan Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masuk ke dalam wilayah Desa Songobanyu dan Pucung, Kecamatan Girisubo. Wilayah perairan ini juga berbatasan dengan wilayah perairan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah di sisi timurnya. Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No.16 Tahun 2011 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DIY tahun 2011-2030, wilayah Pantai Sadeng ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul bagian timur dengan kegiatan utama perikanan tangkap dan

(2)

kegiatan pendukung wisata dan pertanian. Sebelumnya telah ditetapkan pula dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.10/MEN/2005, tentang Peningkatan Status Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) bahwa Sadeng merupakan salah satu yang menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP). Berdasarkan hal ini maka Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah memiliki PPP. Kemudian dengan adanya PPP di Daerah Istimewa Yogyakarta maka pemanfaatan dan pengelolaan potensi laut selatan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilaksanakan secara optimal. Berlakunya peraturan-peraturan tersebut tentunya semakin memperjelas bagaimana pentingnya wilayah ini dalam pengembangan potensi kelautannya serta untuk mendukung daerah disekitarnya.

Mengingat pentingnya wilayah ini baik sebagai penggerak ekonomi masyarakat Gunungkidul tentunya ketersediaan data untuk pengembangan infrastruktur, navigasi kapal-kapal nelayan maupun keperluan mitigasi bencana menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Peta batimetri atau peta laut menjadi salah satu data yang harus ada. Dimana peta tersebut dapat menyajikan data informasi topografi bawah laut wilayah tersebut. Namun tidak semua jenis peta batimetri dapat digunakan. Untuk kegiatan pengembangan infrastruktur pelabuhan dan alur masuk ke pelabuhan dibutuhkan peta dengan skala 1:10.000 atau lebih besar (Poerbandono dan Djunarsjah 2005).

Badan Informasi Geospasial (BIG) selaku otoritas tertinggi di Indonesia dalam pengadaan peta hanya mempunyai peta wilayah ini paling besar dalam skala 1:50.000. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa keperluan pengembangan infrastrukutur pelabuhan maupun alur masuk pelabuhan diperlukan peta batimetri yang lebih besar. Selain itu, data yang digunakan dalam peta tersebut merupakan data lama yang dapat memiliki banyak perbedaan kondisi dengan kondisi sekarang mengingat perbedaan waktu. Untuk itu perlu diadakan pengadaan suatu peta batimetri yang baru dengan data kedalaman yang terbaru di wilayah Laut Sadeng ini, atau dengan kata lain adalah revisi peta lama tersebut dengan peta baru. Peta baru tersebut diharapkan dapat menyajikan data topografi dasar laut tersebut secara lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Peta tersebut juga dapat digunakan oleh para nahkoda kapal untuk panduan memasuki wilayah PPP Sadeng.

Kegiatan proyek ini bertujuan untuk menyediakan sebuah Peta Batimetri Laut Sadeng berskala 1:10.000, yang memuat informasi data kedalaman terbaru dari

(3)

wilayah tersebut. Selain itu, peta ini juga dilengkapi dengan simbol-simbol alat bantu navigasi serta kenampakan-kenampakan yang menonjol di sekitar PPP Sadeng. Peta ini juga diharapkan dapat menjadi referensi baru dalam perencaan pengembangan PPP Sadeng serta panduan para nahkoda.

I.2. Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan pada pekerjaan ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Data yang digunakan untuk pembuatan peta ini diambil pada tanggal 13 s.d 16 Mei 2015, 13 Juni 2015 dan 3 Oktober 2015.

2. Skala rencana peta yang dihasilkan yaitu 1:10.000 untuk keperluan alur pelabuhan dan pengembangan infrastruktur pelabuhan, begitu pula skala surveinya. Dengan demikian kerapatan lajur utama sebesar 100 m dan lajur silang sebesar 1000 m sesuai dengan ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang survei hidrografi.

3. Alat yang digunakan adalah Fishfinder GARMIN Map Sounder 178C. 4. Pada pekerjaan ini kesalahan pengukuran kedalaman akibat pergerakan kapal

diabaikan.

5. Pengamatan pasut secara manual dilakukan selama 4 hari disesuaikan dengan keterbatasan waktu dan biaya.

6. Metode penentuan posisi horisontal titik pengukuran menggunakan metode

absolute positioning karena keterbatasan dalam ketersediaan dan kemampuan alat yang digunakan.

7. Data pasut diperoleh dari website International Oceanographic Comission

(IOC) pada Stasiun Pasut Pelabuhan Pantai Sadeng, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta selama 150 hari dari 9 Mei 2015 hingga 5 Oktober 2015.

8. Ketetelitian pengukuran survei batimetri didasarkan pada ketentuan SNI 7646:2010 tentang Survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder

orde 1 dan International Hydrographic Organization (IHO) SP-44 tahun 2008 orde 1a.

(4)

9. Lokasi pengukuran adalah wilayah perairan Laut Sadeng seluas 5 km x 5 km dan wilayah mulut pelabuhan. Wilayah tersebut berbentuk persegi agar nantinya data ukuran dapat digunakan untuk studi pemodelan tsunami.

I.3. Tujuan Kegiatan

Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyediakan Peta Batimetri wilayah Laut Sadeng, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan skala 1:10.000 dan Peta Batimetri Daerah Alur Masuk PPP Sadeng dengan skala 1:3.000. Peta ini diharapkan dapat menyajikan deskripsi spasial serta morfologi dasar Laut Sadeng dan daerah sekitar mulut pelabuhan dapat tersaji.

I.4. Manfaat Kegiatan

Peta Batimetri Laut Sadeng dan Peta Batimetri Daerah Alur Masuk PPP Sadeng ini dapat memeberikan manfaat-manfaat meliputi:

1. Peta tersebut dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan infrastruktur wilayah PPP Sadeng.

2. Peta tersebut dapat digunakan sebagai panduan para nahkoda kapal untuk navigasi jalur masuk ke wilayah pelabuhan.

3. Data kedalaman pada peta tersebut dapat digunakan dalam pemodelan tsunami wilayah Sadeng guna meminimalisir resiko akibat bencana tsunami.

I.5. Landasan Teori I.5.1. Pasang Surut

I.5.1.1 Definisi pasang surut. Pasang surut merupakan peristiwa naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di Bumi (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Pengertian pasang surut menurut IHO adalah naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda langit terutama bulan dan matahari di bumi yang berotasi (IHO 2008). Berdasarkan pengertian di atas, maka bisa diketahui bahwa pasang surut yang terjadi di Bumi disebabkan oleh gaya tarik matahari dan bulan, walaupun sebetulnya benda-benda angkasa yang lain juga

(5)

mempengaruhi, akan tetapi pengaruhnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh dan ukurannya lebih kecil (Khasanah 2014).

I.5.1.2. Analisis harmonik. Kedudukan tinggi muka air laut di setiap tempat bervariasi akibat dari penggabungan atau superposisi dari berbagai gelombang komponen harmonik pasut. Tujuan analisis pasut adalah menguraikan gelombang pasut menjadi gelombang tunggal berdasarkan pada konstanta harmonik yang didasarkan pada nilai amplitudo dan kelambatan fase masing-masing gelombang. Amplitudo dan kelambatan fase diperoleh dari pengamatan pasut dalam jangka waktu tertentu. Nilai amplitudo dan kelambatan fase dinyatakan dalam bentuk konstanta harmonik pasut, beberapa metode dalam analisis pasut adalah (Basith 2013):

1. metode hitung kuadrat terkecil, 2. metode admiralty,dan

3. metode respons (Munk dan Cartwright 1966).

Kegiatan proyek ini menggunakan metode kuadrat terkecil untuk menghitung analisis harmonik pasut. Penggunaan metode ini melalui aplikasi t_tide yang dijalankan dengan software MatLab R2008a.

Prinsip analisis pasut dengan metode kuadrat terkecil yaitu dengan meminimkan perbedaan sinyal komposit dan sinyal ukuran. Tujuan analisis yaitu menentukan konstanta pasut berupa amplitudo dan kelambatan fase, konstituen-konstituen pasut, sehingga sinyal komposit nantinya hampir menyerupai sinyal hasil ukuran. Metode hitung kuadrat terkecil menggunakan pendekatan fungsi sinus. Keuntungan analisis harmonik pasut menggunakan metode kuadrat terkecil adalah dapat digunakan untuk menghitung data pasang surut yang tidak terbatas jumlahnya. Persamaan sinus untuk menghitung elevasi pasut dapat dilihat pada persamaan (I.1) (Basith 2013).

) cos( 1 Sso 0 ) ( i p t i N i i A S t         ………..……….…….. (I.1)

dalam hal ini :

(t) : elevasi pasut fungsi waktu

S0 : duduk tengah/ Mean Sea Level (MSL)

Sso : perubahan duduk tengah musiman yang disebabkan oleh monsun atau angin, jadi oleh faktor meteorologis

(6)

Ai : ampitudo komponen ke- i

ωi : 2π

Ti,Ti=periode komponen ke-i

Pi : beda fase komponen ke-i

t : waktu

N : jumlah komponen Bentuk lain dari persamaan (I.1):

………. (I.2)

dalam hal ini :

Ar dan Br : konstanta harmonik ke-i

K : jumlah konstanta pasang surut

tn : waktu pengamatan tiap jam (tn = -n, n+1, n; tn =0 adalah waktu tengah-tengah pengamatan).

Besarnya (tn) hasil perhitungan dengan persamaan (I.1) akan mendekati elevasi pasang surut pengamatan (tn)jika:

  

  2 2 } ) ( { n n n t n t t n    minimum ....……….………….… (I.3) Fungsi μ2 minimum jika memenuhi hubungan ini:

0 ; 0 ; 0 2 2 0 2          s s B A s

……….………..……….…… (I.4) dengan s : 1,2,…,…,…k n t i K q r r B n t i N r r A S n t            cos 1 Sso 0 ) (

(7)

I.5.1.3. Konstanta harmonik pasut. Konstanta harmonik pasut merupakan konstanta-konstanta yang dapat menyebabkan terjadinya pasut. Konstanta-konstanta pasut memiliki sifat yang harmonik terhadap waktu, sehingga dinamakan konstanta harmonik pasut. Secara garis besar konstanta harmonik pasut dibagi menjadi tiga kelompok seperti di bawah ini (Basith 2013):

1. konstanta harmonik pasut periode harian (diurnal period tide),

2. konstanta harmonik pasut periode harian ganda (semidiurnal period tide), dan 3. konstanta harmonik pasut periode panjang (long period tide).

Selain konstanta-konstanta yang disebutkan di atas, terdapat konstanta harmonik pasut lain yang dipengaruhi oleh perairan dangkal. Konstanta- konstanta harmonik pasut dapat dilihat pada Tabel I.1.

Tabel I.1 Konstituen-konstituen pasut (Basith 2013). Jenis, nama dan simbol

komponen-komponen pasut Kecepatan sudut (derajat/jam) Periode (jam) Semi Diurnal 1 Principal Lunar (M2) 28,9841 1,42 2 Principal Solar (S2) 30 12

3 Larger Lunar Elliptic (N2) 28,4397 12,66

4 Luni Solar (K2) 30,0821 11,97 Diurnal 1 Luni Solar (K1) 15,0411 23,33 2 Principal Lunar (O1) 13,943 25,82 3 Principal Solar (K1) 14,9589 24,07 Long Period 1 Lunar Fortinighly (Mf) 1,098 327,86 2 Lunar Monthly (Mm) 0,5444 661,3

3 Solar Semi Annual (Ssa) 0,0821 2191,43

Shallow Water 1 2SM2 31,016 11,61 2 MNS2 27,424 13,13 3 MK3 44,025 8,18 4 M4 57,968 6,21 5 MS4 58,084 6,2

I.5.1.4. Pengukuran pasang surut. Pengukuran pasang surut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam alat, diantaranya yaitu (Soeprapto 2001b):

1. Pengukuran dengan menggunakan palem pasut merupakan teknologi tertua. Pengukuran ini dilakukan dengan meletakkan palem di dinding dermaga

(8)

ataudinding stasiun pengamat pasut. Pencatatan hasil pengamatan dilakukan secara manual oleh si pengamat di atas kertas dengan interval misal per-jam. Sampai saat ini penggunaan palem pasut masih terus dilakukan dengan alasan

data control dan reality check di lapangan.

2. Prinsip pengukuran menggunakan tekanan adalah mengukur tekanan hidrostatik dari kolom-kolom air untuk posisi titik tetap (fixed point) dan mengkonversi tekanan tersebut dalam wujud level/ketinggian muka laut. Terdapat berbagai macam bentuk pengukuran dengan menggunakan prinsip ini, diantaranya: Single Transducer (sistem transducer tunggal), Multiple Pressure Transducer systems/ ‘BGauges’ (system transducer multi tekanan),

Pressure Transducers in Stilling Wells (tekanan transducer dalam tabung),

Bubbler Pressure Gauges dan Bottom Mounted Pressure Gauges.

I.5.2. Chart Datum

Chart datum adalah bidang permukaan acuan pada suatu perairan yang didefinisikan terletak di bawah permukaan air laut terendah yang mungkin terjadi (Basith 2013). Chart datum digunakan sebagai dasar penentuan angka kedalaman pada peta batimetri, pada dasarnya chart datum merupakan bidang nol peta batimetri yang ditentukan dari suatu bidang muka air terendah yang mungkin terdapat di wilayah yang bersangkutan. Setiap daerah mempunyai tipe dan karakteristik pasut yang berbeda-beda, oleh karena itu banyak model untuk menentukan muka surutan peta (chart datum). Kedudukan muka surutan peta dapat dilihat pada Gambar I.1.

(9)

Secara umum, nilai chart datum (CD) dapat ditentukan dengan persamaan (I.5) (Soeprapto 2001b).

𝐶𝐷 = 𝑆𝑜 − 𝑍𝑜………...………... (I.5) Dalam hal ini

CD : Chart datum / muka surutan peta

So : titik duduk tengah di atas titik nol palem

Zo : jarak surutan peta

Perhitungan nilai chart datum dipengaruhi oleh besarnya Zo. Beberapa definisi dalam penentuan Zo dapat dilihat sebagai berikut (Soeprapto 2001b):

1. Menurut definisi IHO

𝑍𝑜 = ∑𝑛𝑖=1𝐴𝑖 ……….. (I.6) Dengan Ai adalah amplitudo komponen pasut ke-i dan n adalah jumlah komponen.

2. Menurut definisi di Perancis

𝑍𝑜 = 1.2 (M2 + 𝑆2 + 𝐾2) ………....………... (I.7) 3. Menurut definisi admiralty Inggris

𝑍𝑜 = 1.2 (M2 + 𝑆2) ………...……... (I.8) 4. Menurut definisi Indian Spring Low Water

𝑍𝑜 = ( K1 +O1 + 𝑀2 + 𝑆2) ………...……….… (I.9) 5. Menurut Dinas Hidro-oseanografi TNI AL

Zo = AR (kombinasi konstanta harmonik utama pasut)………..… (I.10) dalam hal ini 9 konstanta utama meliputi: K1, K2, M2, S2, O1, P1, N2, M4, dan MS4.

I.5.3. Survei Batimetri

Survei batimetri merupakan suatu aktivitas dan proses dalam menentukan posisi titik-titik di dasar permukaan air laut dengan sistem koordinat tertentu, sehingga dari data hasil survei tersebut didapatkan model bentuk topografi dasar permukaan air laut yang divisualisasikan atau dituangkan dalam peta (Parikesit 2008). Bentuk permukaan yang dimaksud hanya sebatas pada konfigurasinya saja, tidak sampai pada

(10)

kandungan meterialnya atau pun biota yang tumbuh di atasnya (Poerbandono dan Djunarsjah 2005).

Indonesia sebagai negara kepulauan yang mayoritas wilayahnya terdiri dari perairan memiliki suatu acuan atau pedoman bagi seluruh pelaksana survei hidrografi untuk pemetaan dasar laut. Acuan tersebut adalah SNI 7646:2010 untuk bidang survei hidrografi. SNI 7646:2010 dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BSNI) yaitu lembaga yang bertugas membuat standardisasi nasional di Indonesia.

SNI 7646:2010 merujuk pada IHO Standards of Hydrographic Surveys SP-44 karena Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi anggota dari IHO. Dalam SNI ini hanya dibahas mengenai SNI survei hidrografi dengan menggunakan peralatan

singlebeam echosounder. Pemilihan metode singlebeam echosounder karena metode ini paling banyak digunakan di Indonesia pada saat ini. SNI 7646:2010 menetapkan ketentuan dan prosedur survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder yang meliputi ketentuan-ketentuan, prosedur pelaksanaan survei hidrografi, pengolahan data, kontrol kualitas, penyajian data, dan pelaporan hasil survei hidrografi (BSN 2010). SNI 7646:2010 dan IHO Standards of Hydrographic Surveys SP-44 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran A dan Lampiran B.

I.5.4. Peta Batimetri

Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka kedalaman dan garis-garis kedalaman yang diukur terhadap datum vertikal (Chart Datum). Peta batimetri diperlukan untuk mengetahui keadaan kedalaman laut sekitar lokasi suatu perairan (Triatmodjo 2010).

Peta batimetri harus memenuhi standar minimum tertentu agar menghasilkan kualitas yang baik. Oleh karena itu, pembuatan peta batimetri harus mengacu pada standar ketentuan teknis yang berlaku, yakni IHO Standards of Hydrographic Surveys

SP-44 dan SNI 7646:2010. Peta batimetri harus memiliki datum vertikal yang digunakan sebagai bidang referensi kedalaman. Pada umumnya, peta batimetri menggunakan Chart Datum sebagai bidang referensi kedalaman (Poerbandono dan Djunarsjah 2005).

(11)

IHO telah menetapkan tujuh aspek kartografi peta laut, yaitu; datum vertikal, datum horisontal, sistem proyeksi, sistem satuan, ketelitian (skala), dan simbol serta warna. Aspek tersebut dapat dilihat pada Tabel I.2.

Tabel I.2. Aspek kartografi peta laut (Poerbandono dan Djunarsjah 2005).

Aspek Ketentuan

Datum Vertikal Lokal dengan Chart Datum, disebutkan kedudukan muka surutannya terhadap duduk tengah

Datum Horisontal Titik kontrol horisontal pada elipsoida referensi World Geodetic Spheroid (WGS) ’84 dalam sistem gratikul (jaring garis proyeksi lintang dan bujur)

Sistem proyeksi Mercator untuk 75°LU-75°LS

Polar Stereografis untuk 75°-90°LU dan 75°-90°LS Sistem Satuan Metrik, dalam meter atau mil laut

Ketelitian ≥ 1:10.000 untuk bandar, pelabuhan, alur pelayaran dan perairan wajib pandu

≥ 1:20.000 untuk alur pendekatan pelabuhan dan perairan lain yang digunakan teratur untuk pelayaran

≥ 1:50.000 untuk daerah pantai sampai kedalaman rata-rata sekurang-kurangnya 30 m

1:10.000-1:100.000 untuk daerah dengan kedalaman antara 30 m sampai 200 m

Simbol dan Warna Peta konvensional: mengikuti Peta Laut no.1

Peta digital: mengikuti SP-52 IHO tentang Aspek Kartografi ECDIS dan SP-57 IHO tentang Standar Pertukaran Data Digital

Butir 8.2 SNI 7646:2010 juga mengatur tentang ketentuan bagaimana penyajian hasil pengukuran kedalaman. Diantaranya sebagai berikut (SNI 2010):

1. Memuat angka kedalaman, kontur kedalaman, garis pantai berikut sungai, karang, tanda atau sarana bantu navigasi, bahaya pelayaran, jenis dasar laut, serta objek penting lain yang perlu ditampilkan.

2. Kerapatan angka kedalaman adalah 1 cm (satu sentimeter) dari skala peta, dimana koordinat penggambaran menggunakan proyeksi Universal Tranverses Mercator pada Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN-95) yang mengacu pada WGS’84, atau sesuai dengan kebutuhan.

(12)

3. Kontur kedalaman laut dicantumkan sesuai kebutuhan. Kontur kedalaman mencantumkan kontur kedalaman sebagai berikut 0, 2, 5, 10, 20, dan seterusnya dalam meter.

4. Lembar lukis (peta) mencantumkan legenda yang didalamnya berisi indeks peta, data referensi, pemilik pekerjaan, pelaksana pekerjaan, proyeksi, spheroid, skala, unit kedalaman dalam meter, kedudukan relatif chart datum

terhadap MSL, posisi bench mark (BM) , nomor lembar peta, judul atau lokasi, dan waktu pelaksanaan.

I.5.5.Lajur Pemeruman

Berdasarkan fungsinya lajur pemeruman dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam (Soeprapto 2001) yaitu lajur utama, lajur silang, lajur tambahan/investigasi.

I.5.5.1. Lajur perum utama. Lajur perum utama adalah lajur perum yang direncanakan sedemikian rupa sehingga seluruh daerah survei dapat tercakup dan dapat tergambarkan dasar perairannya (Soeprapto 2001a). Ketentuan untuk pembuatan lajur perum utama telah diatur oleh IHO dalam IHO Standards of Hydrographic Surveys. Standarisasi terbaru yang telah diterbitkan oleh IHO adalah IHO SP-44 tahun 2008 ditunjukkan pada tabel I.3. Lajur utama menurut IHO SP-44 tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Tabel I.3. Standar kerapatan data, deteksi fitur bawah laut dan lajur maksimum (IHO SP-44 2008). Orde Spesial 1a 1b 2 Cakupan Dasar Laut (Batimetri) 100%

Diperlukan Diperlukan Tidak Diperlukan Diperlukan Tidak

Kemampuan Deteksi Sistem Cubic Feature > 1 m Cubic Feature > 2 m pada kedalaman hingga 40 m dan 10 % dari kedalaman jika kedalaman lebih dari 40 m

(13)

Lanjutan Tabel I.3.

Orde Spesial 1a 1b 2

Lebar Lajur

Maksimum Tidak digunakan Tidak digunakan

3 x kedalaman rata-rata atau 25 (mana yang lebih

besar), dan spasi spot LIDAR 5 m x

5 m

4 x kedalaman

rata-rata

Lajur perum utama harus tegak lurus garis pantai dengan interval maksimal 1 cm pada skala survei (SNI 2010). Hal ini juga bergantung pada maksud dan tujuan pengukuran, skala pengukuran, kedalaman serta keadaan topografi dasar laut daerah pengukuran (Soeprapto 2001a). Setiap ujung lajur diberi lajur tambahan untuk manuver kapal atau wahana apung yang digunakan.

I.5.5.2. Lajur perum silang. Tujuan pembuatan lajur perum silang adalah mendeteksi ada tidaknya kesalahan hasil pengukuran baik posisi horisontal maupun kedalaman pada sistem lajur utama. Lajur perum silang menurut IHO SP-44 tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 1.2.

(14)

Lajur perum silang harus memotong lajur perum utama dengan sudut lebih besar dari 450 dan diusahakan arahnya mendekati tegak lurus dengan lajur utama. Jarak antar lajur perum silang tidak lebih dari 10 kali jarak antara lajur perum utama (SNI 2010). I.5.5.3. Lajur perum tambahan/investigasi. Lajur perum tambahan/investigasi dibuat jika terjadi hal-hal diluar perencanaan misalnya adanya perubahan kedalaman yang terlalu signifikan, pusaran arus atau mengisi gap akibat penyimpangan pengambilan data pada lajur utama yang terdapat antara dua lajur yang bersebelahan pada sistem lajur perum utama (Soeprapto 2001a).

I.5.6. Penentuan Kedalaman Titik Pemeruman

Penentuan kedalaman titik pemeruman merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai suatu kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar perairan (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Teknologi yang sering digunakan dalam kegiatan pemeruman adalah hydro-acoustic, yakni teknologi yang digunakan untuk mendeteksi di bawah perairan menggunakan gelombang akustik. Alat survei batimetri yang menggunakan teknologi akustik adalah

echosounder.

Perangkat echosounder terdiri dari alat perekam data, trandsucer (pemancar),

hydrophone (penerima), dan catu daya. Untuk memperoleh nilai kedalaman yaitu

transducer memancarkan gelombang akustik secara vertikal menuju dasar perairan dengan frekuensi tertentu, kemudian gelombang akustik tersebut dipantulkan kembali oleh dasar perairan dan diterima oleh hydrophone. Data yang dihasilkan dari proses tersebut adalah selang waktu dari gelombang dipancarkan hingga gelombang diterima kembali, dengan data tersebut kedalaman dasar perairan dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan (I.11) sebagai berikut (Poerbandono dan Djunarsjah 2005):

𝑑 = 1

2∫ 𝑣(𝑡). 𝑑𝑡 𝑡1

𝑡2 ……….. (I.11)

Keterangan:

d : kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,

v(t) : cepat rambat gelombang suara di air,

t1 dan t2 : waktu pada saat gelombang suara dipancarkan dan saat penerimaan gelombang pantulnya.

(15)

Nilai kecepatan rambat gelombang di air adalah 1500 m/detik, maka nilai kedalaman perairan dapat di tentukan berdasarkan persamaan (I.12) berikut ini (Poerbandono dan Djunarsjah 2005):

𝑑 = 1

2(𝑣. Δt) ………... (I.12)

Keterangan:

d : kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,

v : cepat rambat gelombang akustik di medium air (meter/detik), Δt : selang waktu antara saat gelombang akustik dipancarkan dan saat

gelombang kembali diterima (detik). I.5.7. Koreksi dan Reduksi Data Kedalaman

Data kedalaman hasil pengukuran perlu dilakukan koreksi dan reduksi. Untuk mendapatkan nilai kedalaman akhir, nilai kedalaman dikoreksikan terhadap kedudukan transducer dan kesalahan pengukuran dari alat atau koreksi barcek dan kemudian direduksikan ke bidang referensi (Soeprapto 2001a) seperti ditunjukkan pada Gambar I.3. Koreksi kedalaman dilakukan dengan menggunakan persamaan (I.13) berikut (Soeprapto 2001a):

H terkoreksi = H ukuran+ draft transducer ± koreksi barcek …... (I.13) Keterangan:

H : Nilai kedalaman

(16)

Reduksi kedalaman dimaksudkan untuk melakukan reduksi nilai kedalaman yang terukur untuk disurutkan terhadap bidang acuan surutan peta yang ditentukan dari data pengamatan pasang surut (Soeprapto 2001a). Pengamatan pasang surut (pasut) bertujuan untuk mencatat atau merekam gerakan vertikal permukaan air laut yang terjadi secara periodik yang disebabkan tarik-menarik antara bumi dengan benda-benda angkasa terutama bulan dan matahari (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Melaksanakan pengamatan permukaan air laut sesaat selama periode tertentu maka akan dapat menentukan bidang referensi kedalaman (datum vertikal). Bidang referensi kedalaman yang sering digunakan yaitu muka laut rerata atau duduk tengah yang dikenal dengan MSL, dan Chart Datum (Soeprapto 2001a). Ilustrasi reduksi kedalaman ini dapat dilihat pada Gambar I.4.

Gambar I.4. Reduksi kedalaman ke bidang referensi (Modifikasi Haryanto dkk. 2010).

Nilai kedalaman terkoreksi merupakan hasil ukuran pada permukaan air laut sesaat (MAS), kemudian nilai tersebut direduksi atau dibawa menjadi kedalaman yang terukur dari bidang MSL. Nilai kedalaman yang terukur dari MSL kemudian direduksi lagi menjadi kedalaman yang terukur dari chart datum. Secara matematis dapat dituliskan dengan persamaan (I.14) berikut (Soeprapto 2001a):

Hakhir = Hterkoreksi ± nilai surutan MSL – Zo ……… (I.14) Keterangan:

(17)

I.5.8. Penentuan Posisi Horisontal Titik-Titik Pemeruman

Penentuan posisi horisontal suatu titik-titik pemeruman pada dasarnya adalah untuk menentukan koordinat titik-titik (di atas atau di bawah) permukaan bumi dan permukaan air laut. Pada intinya penentuan posisi horisontal yang digunakan pada pekerjaan survei batimetri dan survei topografi adalah sama. Perbedaannya terletak pada objek yang diamati. Jika pada survei topografi objek yang diamati dalam kondisi tidak bergerak, pada survei batimetri objek yang diamati tidak dapat diam, sehingga objek selalu dalam keadaan bergerak (Soeprapto 2001a).

Dalam menentukan posisi horisontal terdapat beberapa metode, salah satunya metode penentuan posisi horisontal menggunakan gelombang elektromagnetik, yaitu dengan menggunakan receiver gelombang elektromagnetik yang dipancar oleh satelit

Global Navigation Satelite System (GNSS), yang kemudian disebut receiver Global Positioning System (GPS), yang dipasangkan pada kapal. Terdapat dua metode penentuan posisi horisontal menggunakan sinyal satelit GNSS, yakni metode absolut dan metode differential (Poerbandono dan Djunarsjah 2005).

Metode absolut merupakan metode yang sering digunakan dalam keperluan praktis. Metode ini hanya memerlukan satu buah receiver GNSS. Penentuan posisi secara absolut menggunakan data pseudorange yang berisi empat parameter yang harus ditentukan yaitu parameter koordinat (X, Y, Z) dan parameter kesalahan jam

receiver GPS. Berdasarkan alasan tersebut, maka diperlukan minimal empat buah satelit yang harus ditangkap oleh receiver (Abidin 2000).

I.5.9. Uji Kualitas Data Hasil Pemeruman

Acuan yang digunakan untuk menentukan nilai ketidakpastian kedalaman yang disyaratkan IHO yaitu IHO SP-44 tahun 2008 dan SNI 7646:2010 dengan tingkat kepercayaan 95%. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung nilai ketidakpastian kedalaman yang disyaratkan IHO tersebut dapat dilihat pada rumus (I.15) (SNI 2010):

Total Vertical Uncertainty (TVU) IHO = ±√𝑎2+ (𝑏 𝑥 𝑑)2…... (I.15)

Keterangan:

a : kesalahan independen,

(18)

d : kedalaman rata-rata,

(b x d) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman yang dependen),

TVU IHO : nilai ketidakpastian kedalaman yang disyaratkan IHO.

Nilai a dan b dalam persamaan (I.15) tersebut disesuaikan dengan orde survei yang dilakukan seperti yang tercantum pada Tabel I.4.

Tabel I.4. Standar ketelitian kedalaman (IHO SP-44 Tahun 2008) Orde Spesial (khusus) 1a (Orde 1) 1b (Orde 2) 2(Orde 3) Konstanta

a = 0,025 m a = 0,5 m a = 0,5 m a = 1,0 m

b = 0,075 b = 0,013 b = 0,013 b = 0,023 Uji ini dilakukan dengan mengansumsikan bahwa Hlu (kedalaman lajur utama) nilainya sama dengan Hls (kedalaman lajur silang) yang saling berpotongan. Adapun lebih lanjut disajikan pada persamaan (I.16) sampai dengan persamaan (I.19) (Widjajanti 2011) seperti berikut:

1. Hlu = Hls = H...….…...… (I.16) 2. µU – µS = δ……...……….……….……... (I.17) 3. Mean error : H …...…...……..……... (I.18) 4. Standard deviation : Sh =± √∑ (𝐻𝑖− 𝐻̅) 2 𝑛 𝑖=1 𝑛−1 …...……...………...……..………... (I.19) Keterangan:

Hlu : kedalaman lajur utama

Hls : kedalaman lajur silang

H : nilai true value (beda kedalaman yang sebenarnya =0)

Hi : beda nilai kedalaman lajur utama dan lajur silang

(19)

Uji kualitas ini dilanjutkan dengan menghitung nilai ketidakpastian data beda kedalaman (TVU) dengan tingkat kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP-44 tahun 2008 yaitu sebesar 1,96xσ. Jika nilai kesalahan data beda kedalaman masih

dalam batas toleransi kedalaman yang diperoleh dengan persamaan (I.15), maka kualitas sampel data kedalaman masuk dalam toleransi yang merujuk pada IHO SP-44 tahun 2008, sedangkan jika nilai kesalahan data beda kedalaman di luar batas toleransi kedalaman, maka kualitas sampel data kedalaman tidak masuk dalam toleransi. I.5.10. Pembuatan Kontur Peta Batimetri

Nilai ketinggian atau kedalaman pada dasarnya dapat direpresentasikan dalam bentuk titik atau dengan garis/bidang yang disusun berdasar algoritma dengan basis berupa jaringan segitiga, grid, maupun gabungannya (Li dkk. 2005) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.5.

Gambar I.5. Representasi nilai ketinggian dengan point, triangle, grid dan hybrid (Li dkk. 2005).

Dari keempat algoritma yang ada tersebut, algoritma gridmerupakan salah satu yang banyak digunakan perangkat lunak untuk membangun model terrain digital

(DTM) dalam pembuatan garis kontur (Sulistian 2015). Model terrain digital adalah model matematik yang digunakan untuk menggambarkan bentuk permukaan bumi termasuk dasar suatu perairan. Pembentukannya menggunakan satu atau beberapa fungsi matematika sesuai dengan karakter titik pengukuran. Fungsi-fungsi ini sering disebut sebagai fungsi interpolasi (Li dkk. 2005). Surfer 10 merupakan salah satu

(20)

software pemetaan yang melakukan penarikan garis kontur menggunakan model

terrain digital (DTM) dengan algoritma grid(Yang dkk. 2004).

Grid adalah algoritma yang digunakan untuk membuat DTM dan penarikan garis kontur menggunakan konsep jaring segiempat. Dalam metode grid ini, fungsi interpolasi lebih menggunakan pendekatan matematis yaitu menggunakan fungsi polinomial (Li dkk. 2005) pada Tabel 1.5.

Tabel I.5. Fungsi polinomial metode grid (Li dkk. 2005).

No Fungsi Orde Deskripsi

1 Z = a0 (I.20) Nol Planar 2 Z = a0 + a1 X + a2 Y (I.21) Satu Linear 3 Z = a0 + a1 X + a2 Y + a3 X2 + a4 Y2+a5 XY (I.22) Dua Quadratic 4 Z = a0 + a1 X + a2 Y + a3 X 2 + a 4 Y2+a5 XY+ a6X3 + a7 Y3 + a8 X2Y + a9 XY2 (I.23) Tiga Cubic 5 Z = a0 + a1 X + a2 Y + a3 X2 + a4 Y2+a5 XY+ a6X3 + a7 Y3 + a8 X2Y + a9 XY2 + a10 X4 + a11 Y4 + a12 X3Y + a13X2Y2 +a14XY3 (I.24) Empat Quartic 6 Z = a0 + a1 X + a2 Y + a3 X2 + a4 Y2+a5 XY+ a6X3 + a7 Y3 + a8 X2Y + a9 XY2 + a10 X4 + a11 Y4 + a12 X3Y + a13X2Y2 +a14XY3 + a15X5+a16Y5+ a17X4Y +a18 X3Y2 + a19 X2Y3+ a20 XY4 (I.25) Lima Quantic

Gambar

Tabel I.1 Konstituen-konstituen pasut (Basith 2013).  Jenis, nama dan simbol
Gambar I.1. Kedudukan chart datum (Soeprapto 2001b).
Tabel I.2. Aspek kartografi peta laut (Poerbandono dan Djunarsjah 2005).
Tabel I.3. Standar kerapatan data, deteksi fitur bawah laut dan lajur maksimum (IHO  SP-44 2008)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pengenalan objek dan ektraksi fitur berdasarkan peta disparitas atau kedalaman telah dikembangkan dalam beberapa penelitian di antaranya adalah: ekstraksi fitur

Kini dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut tahun 1982, dimana ditetapkan bahwa batas wilayah negara dengan laut teritorial atau perairan kepulauan adalah garis

Peta yang akan dihasilkan menggambarkan bentuk kota atau morfologi wilayah kota Jayapura, analisis peta dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis perubahan bentuk

Penerapan garis acuan penarikan klaim daerah di wilayah laut, yakni garis dasar kombinasi sesuai dengan Permendagri No.01 tahun 2006 dan garis pantai sesuai

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan studi peningkatan penanganan pengangkutan barang berbahaya di sektor transportasi laut yang bertujuan

Pencatatan data karyawan baru yang masih manual membuat data-data penting karyawan rawan hilang / terjadinya human error, dengan permasalahan tersebut maka perlu

Salah satu teknologi akustik yang telah dikenal dan sering digunakan dalam pemetaan batimetri yaitu dengan menggunakan teknologi echosounder, dalam hal ini

Dalam setiap pekerjaan survei batimetri akan dibarengi pula dengan pengamatan pasang surut pada waktu yang sama dengan pekerjaan, atau dapat pula surveyor meminta