• Tidak ada hasil yang ditemukan

CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesi"

Copied!
274
0
0

Teks penuh

(1)

CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Hendra Sigalingging 044114028

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Orang yang tidak pernah membuat kekeliruan adalah orang yang tidak pernah

melakukan apapun

(Theodre Roosevelt)

Saya bukanlah manusia gagal, saya hanya menemukan sepuluh ribu cara yang tidak

efektif

(Benjamin Franklin)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Sang Maha Kasih, Yesus Kristus

Amang dohot Inang yang telah membuat aku ada

Rika dan Riko yang mengasihiku

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam

menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:

1. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing I, terima kasih

atas segala bimbingan dan masukan kepada saya untuk meyelesaikan

skripsi ini.

2. SE Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing II, terima kasih

telah meluangkan banyak waktu untuk memberi masukan dan

membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar

membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

4. Amang dohot Inang yang telah memberi dukungan secara materiil dan

spirituil kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai.

5. Rika dan Riko, terima kasih atas dukungan dan celotehannya “Cepat

(6)

6. Bawoxku, terima kasih atas segala kesabaran dan dukungannya untuk

tetap memberiku semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman Bengkel Sastra yang telah membantu penulis

mewujudkan penulisan skripsi ini.

8. Menyun dan Doler, terima kasih atas sharingnya pada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2004, terima kasih atas

kebersamaannya selama di bangku perkuliahan.

10.Semua karyawan di Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas

pelayanannya selama ini.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun

telah banyak memberikan dukungan dan perhatian sampai selesainya

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala

saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala kerendahan

hati dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga berharap

skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 15 April 2009

(7)
(8)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Hendra Sigalingging Nomor Mahasiswa : 044114028

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 20 April 2009

Yang menyatakan

(9)

ABSTRAK

Sigalingging, Hendra. 2009. “Citra Pemeluk Agama Hindu-Buddha dan Agama Islam dalam Novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer : Analisis Strukturalisme Genetik.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan analisis struktural yang difokuskan pada analisis alur, mendeskripsikan situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan Majapahit, dan menganalisis serta mendeskripsikan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik.

Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucian Goldmann. Diawali dengan analisis struktur teks yang difokuskan pada analisis alur, lalu dilanjutkan pada analisis struktur historis, yaitu situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan Majapahit sebagai kelas-kelas sosial dan bandingan untuk menemukan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam sebagai struktur sosial yang ada dalam teks sastra.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi. Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi teks sastra. Dalam penelitian ini, metode analisis isi digunakan untuk mengkaji isi teks sastra tanpa melihat isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari teks sastra tersebut.

(10)

masyarakat. Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha juga terangkum dalam sembilan poin, yaitu (i) pemeluk agama Hindu-Buddha lebih menghargai alam, (ii) pemeluk Hindu-Buddha tidak rakus akan ambisi pribadi, (iii) Pemeluk Hindu-Buddha tetap menjaga kebudayaannya, (iv) Pemeluk Hindu-Buddha sangat menghargai dewanya, (v) pemeluk Hindu-Buddha taat menjalankan ritual keagamaannya, (vi) pemeluk Hindu-Buddha tidak memaksakan kehendak, (vii) sikap mental yang mandiri dari pemeluk Hindu-Buddha, (viii) pemeluk Hindu-Buddha menghargai manusia lainnya, dan (ix) pemeluk Hindu-Buddha memiliki cinta kasih. Agama Hindu-Buddha tidak memiliki citra negatif.

Ada tiga poin citra positif Islam yang dibentuk oleh sikap pemeluknya meliputi (a) pemeluk agama Islam adalah individu yang ulet, (b) pemeluk Islam juga mengkritisi kelemahan ajaran Hindu-Buddha, dan (c) pemeluk agama Islam taat menjalankan ajaran agamanya. Citra Islam sendiri dominan bersifat negatif dalam novel Arus Balik. Citra negatif ajaran agama Islam adalah memaksakan aturan-aturannya sendiri.

Citra negatif pemeluk agama Islam terangkum dalam lima poin, yaitu (i) pemeluk agama Islam gemar melakukan penghinaan dan pelecehan, (ii) pemeluk agama Islam juga gemar menghina antarsesama Islam, (iii) pemeluk agama Islam menggunakan agamanya sebagai pembenaran, (iv) pemeluk agama Islam kurang memiliki iman yang kuat, dan (v) pemeluk agama Islam suka melakukan kekerasan.

Pandangan dunia Pramoedya yang tergambar dalam Arus Balik mengatakan jika citra “Islamnya Pram” adalah Islam yang identik dengan anarkisme dan fanatisme. Agama Hindu-Buddha sendiri berdiri sebagai agama yang sesuai dengan budaya Nusantara, khususnya Jawa dan berakulturasi hingga menciptakan kedamaian bagi manusia di Nusantara secara umum.

(11)

ABSTRACT

Sigalingging, Hendra. “Image Of Hindu-Buddha Followers and Islam Followers from Arus Balik Novels’s written by Pramoedya Ananta Toer: An Analysis Of Genetic Structuralism.” Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Department Of Indonesian letter, Faculty Of Letter, Sanata Dharma University. 2009.

This research examines the image of Hindu-Buddha religions and Islam from Arus Balik novel written by Pramoedya Ananta Toer. The aims of this research are to analyze and describe novel’s structure that focus to plot, describe the situation of religion’s livelihood on Majapahit collapse period, and analyze along with describing the image of Hindu-Buddha religions and Islam from Arus Balik novel

This research uses genetic structuralism which was expanded by Lucian Goldmann. It’s starting with text structure analysis that focus to plot analysis, then continue with historical structure analysis about the situation of religions livelihood on Majapahit collapse period as social classes and comparison to find the image of Hindu-Buddha religions and Islam as social structure that was written in letter’s text.

The method which is used to analyze the data in this research is content analysis method. Content analysis method is used to analyze the content of letter’s text. In this, research, content analysis method is used to examine only for the content of letter’s text, without the communication content analysis (the commands which are received by the reader) from letter’s text.

(12)

Hindu-Buddha followers appreciated the other human, (ix) Hindu-Buddha followers have love. Hindu-Buddha have not many negative images.

There are three points the positive image of Islam wihich were sign by their followers attitude include (a) Islam followers were perseverance persons, (b) Islam followers were also criticize the weakness of Hindu-Buddha, and (c) Islam followers kept their devotion. The image of Islam were dominant negative in Arus Balik. The negative image of Islam is force their rules.

The negative image of Islam followers described in five points include (i) Islam followers enjoy to did some humiliation, (ii) Islam followers were also enjoy to did humiliation fellow Islam followers, (iii) Islam followers used their religion as justification, (iv) Islam followers had not solid faith, and (v) Islam followers enjoy to did some violence.

Pramoedya’s world view which was describe in Arus Balik tell if the image of Pram’s Islam was close with anarchism and fanatism. Hindu-Buddha exist as the religion that was better for Nusantara culture, especially Java and mixed until make peace for the people in Nusantara in general.

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

KATA PENGANTAR……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. vii

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

1.5 Tinjauan Pustaka……….. 11

1.6 Landasan Teori... 12

1.6.1 Teori Struktural dan Teori Alur ... 12

1.6.2 Strukturalisme Genetik... 15

1.6.3 Citra... 18

(14)

1.6.5 Agama Hindu-Buddha ... 20

1.6.6 Agama Islam ... 23

1.6.7 Citra Pemeluk Agama………. 24

1.7 Metode Penelitian ... 25

1.7.1 Pendekatan ... 25

1.7.2 Metode Penelitian ... 25

1.8 Teknik Pengumpulan Data……….. 27

1.9 Sumber Data………. 28

1.10 Sistematika Penyajian………... 28

BAB II ANALISIS ALUR NOVEL ARUS BALIK... 30

2.1 Tahap Penyituasian……….. 30

2.2 Tahap Pemunculan Konflik………. 33

2.3 Tahap Peningkatan Konflik………. 74

2.4 Tahap Klimaks……… 135

2.5 Tahap Penyelesaian……….. 139

2.6 Rangkuman……….. 143

BAB III SITUASI KEHIDUPAN KEAGAMAAN DALAM MASA KERUNTUHAN MAJAPAHIT ... 145

3.1 Kehidupan Agama pada Masa Majapahit……… ... 149

(15)

BAB IV CITRA AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM

NOVEL ARUS BALIK………. . 168

4.1 Citra Agama Hindu-Buddha……… 170

4.1.1 Citra Positif Agama Hindu-Buddha………... 171

4.1.2 Citra Negatif Agama Hindu-Buddha……….. 200

4.2 Citra Agama Islam………... 200

4.2.1 Citra Positif Agama Islam……….. 201

4.2.2 Citra Negatif Agama Islam………. 205

BAB V PENUTUP... 252

5.1 Kesimpulan ... 252

5.2 Saran... 255

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dunia sastra merupakan sebuah wadah seni yang dapat memberi kepuasan

ataupun pengetahuan yang diterima oleh pembaca melalui refleksinya terhadap karya

sastra, realitas, dan imajinasi. Hanya saja, yang membedakannya dengan seni yang

lain adalah sastra memiliki aspek bahasa (Semi, 1984:39).

Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif

pengarang. Dalam proses ini dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang.

Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi

pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Sumardjo

(1979:65) yang mengatakan karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan

terhadap kehidupan sekitarnya. Novel sebagai salah satu genre sastra juga merupakan

produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi,

dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan kembali fenomena kehidupan

(Sardjono, 1992:10).

Selain berhubungan dengan masyarakat, karya sastra juga dapat bersumber

dari peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah juga merupakan motivasi seorang pengarang

untuk menciptakan karya sastra. Menurut Kuntowijoyo (2006: 171), objek karya

sastra adalah realitas, apa pun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang.

(17)

mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa yang imajiner dengan maksud

untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua,

karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran,

perasaan, serta tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga

karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa

sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Seorang pengarang novel sejarah dapat menggunakan masa lampau yang luas

untuk menolak atau mendukung suatu interpretasi atau gambaran sejarah yang sudah

mapan. Hal ini juga dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disingkat

Pram) dalam novelnya berjudul Arus Balik. Arus Balik adalah sebuah novel sejarah

yang mengangkat Nusantara dalam segala kejayaannya sebagai kesatuan maritim.

Peristiwa sejarah yang diangkat Pram adalah masa pascaruntuhnya Majapahit sampai

pendudukan Portugis di Nusantara.

Arus Balik bercerita tentang seorang anak desa, Galeng, yang terlibat dalam

arus kekuasaan dan intrik politik yang mengatasnamakan agama di kerajaan

Nusantara. Galeng hidup di desa Awis Krambil, salah satu desa di bandar Tuban yang

merupakan pecahan dari runtuhan kejayaan Majapahit. Galeng yang menjadi juara

gulat dan diangkat menjadi Syahbandar muda Tuban, memiliki seorang istri, Idayu,

penari cantik yang juga menjuarai kompetisi tari di Tuban. Pasangan ini menjadi

pujaan dalam masyarakat Tuban sehingga mereka dianggap sebagai turunnya Dewa

Kamajaya dan Dewi Kamaratih di atas bumi Tuban. Galeng dan Idayu menjadi ikon

(18)

dianggap telah merosot pamornya karena tidak berjuang mengembalikan kejayaan

Majapahit, tetapi mengubah bandar Tuban menjadi bandar perdagangan.

Galeng dan Idayu terseret dalam dunia kekuasaan dan politik sejak Galeng

dipilih menjadi Syahbandar Muda Tuban. Padahal, cita-cita pasangan ini hanyalah

menjadi petani biasa di desanya. Sebagai Syahbandar Muda Tuban, Galeng

diwajibkan untuk ikut mengurus segala sesuatu mengenai Tuban termasuk keamanan

Tuban dari serangan saudara sendiri ataupun serangan dari bangsa luar.

Ketika Nusantara bergelut dengan kenyamanan perdagangan, arus zaman pun

berbalik. Arus yang selama ini bergerak dari selatan (kejayaan Nusantara) ke utara

(dunia luar), berganti haluan menjadi arus dari utara (bangsa /dunia luar) ke selatan

(Nusantara). Bangsa-bangsa asing mulai melakukan pelayaran dan memonopoli

bandar-bandar perdagangan di Nusantara. Bangsa-bangsa yang datang dari utara ini

telah menaklukkan Malaka yang merupakan bandar terpenting di Nusantara. Hal ini

mengancam keberlangsungan perdagangan di Nusantara. Arus pemikiran yang

mengatakan bahwa kekuatan Majapahit merupakan kekuatan yang paling kuat di

bumi ini menjadi terbalik ketika melihat keperkasaan bangsa yang datang dari utara

(Portugis) bersama meriamnya yang mengalahkan cetbang Majapahit.

Secara perlahan, arus kekuasaan yang berpusat di selatan (Jawa), mulai

digeser oleh kekuasaan utara (Portugis). Malaka dan Pasai pun telah dikuasai oleh

Portugis. Hal ini seharusnya mendapat perlawanan dari Tuban yang merupakan sisa

armada terkuat pasukan Majapahit. Akan tetapi, Adipati Tuban tidak memerangi

(19)

perdagangan. Otak Adipati yang penuh dengan perdagangan ini tidak mendapat

respon dari masyarakat Tuban yang telah antipati kepada Adipati.

Perlawanan pertama terhadap Portugis malah dilakukan oleh kerajaan Demak

di bawah panji Adipati Unus. Demak dengan bantuan dari kerajaan-kerajaan kecil di

Jawa pun mulai menyerang Portugis di Malaka. Salah satu pasukan bantuan tersebut

adalah pasukan Tuban dengan Galeng di dalamnya yang akan menyusul dari

belakang pasca-pemberangkatan pasukan Demak. Demak terdesak oleh taktik

Portugis. Adipati Unus menunggu kedatangan pasukan Tuban yang dijanjikan akan

menyusul akan tetapi sia-sia karena pasukan Tuban sengaja diperlambat

keberangkatannya oleh Adipati Tuban. Imbasnya, pasukan Demak

diporak-porandakan oleh Portugis. Serangan Demak gagal total akibat perilaku Adipati

Tuban. Galeng pun bingung akan sikap Adipatinya yang tidak ksatria.

Dimulai dari peristiwa itulah, Galeng menginjakkan kakinya dalam

hiruk-pikuk politik dan kekuasan. Galeng memiliki harapan, yaitu kembalinya kejayaan

Majapahit di Nusantara. Intrik politik yang terjadi pascapenyerangan Adipati Unus ke

Malaka membuat Galeng sadar kalau kekuatan yang ada sekarang adalah kekuatan

agama Hindu-Buddha, agama Islam, dan Portugis. Pergulatan juga terjadi dalam

keluarganya. Idayu, sang isteri yang cantik jelita menjadi objek sasaran dari Adipati

Tuban dan Syahbandar Tuban, yang menyukai Idayu. Klimaksnya adalah

pemerkosaan yang dilakukan oleh Syahbandar Tuban, Sayid Habibullah setelah

terlebih dahulu membius Idayu. Idayu pun melahirkan anak hasil perbuatan

(20)

Di lain sisi, Rangga Iskak mantan Syahbandar Tuban yang dipecat secara

sepihak oleh Adipati Tuban, melakukan pergolakan di daerah pedalaman Tuban.

Pengaruhnya pun mulai meluas hingga ia dapat menghimpun kekuatan dari berbagai

desa di bawah nama Islam, seperti dalam kutipan berikut.

“ Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan, dan penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana kehendaknya. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada tanganku, kalian harus tujukan meriam itu kepada kafir Jawa, kafir Peranggi, dan kafir apa saja” (Pramoedya, 1995: 307).

Dalam kutipan di atas, terlihat bagaimana Rangga Iskak membawa agama

sebagai pembenaran tindakannya untuk melakukan pergolakan. Selanjutnya, Rangga

Iskak menamakan dirinya Sunan Rajeg dan berniat membalas dendam kepada Adipati

Tuban. Perang saudara pun terjadi. Patih Tuban yang ditugaskan oleh Adipati untuk

mengatasi pemberontakan Sunan Rajeg, tidak juga melakukan pergerakan. Hal ini

dikarenakan kekecewaan Patih atas sikap Adipati yang tidak mengambil tindakan

tegas dari dulu sehingga pergolakan Sunan Rajeg tidak akan terjadi. Melihat Patihnya

yang hanya ceramah tentang Adipati dan tidak melakukan pergerakan, Galeng yang

pada saat itu telah berposisi sebagai kepala pasukan laut pun membunuh Sang Patih

dan mengangkat dirinya sebagai Senapati sekaligus Patih Tuban. Galeng memimpin

pasukan Tuban memerangi pasukan Sunan Rajeg. Galeng pun meraih kemenangan.

Galeng meraih kejayaannya bersama sorakan masyarakat Tuban yang semakin

memberi hormat kepadanya. Tuban bersorak.

Di lain pihak, Demak di bawah komando Fatahillah mulai menyerang

(21)

Trenggono sebagai pengganti Adipati Unus untuk mengusir Portugis di Malaka

belum juga terbukti. Hal ini membuat ibunya, Ratu Aisah membentuk armada

gabungan untuk melakukan penyerangan ke Malaka karena lawan sesungguhnya

adalah Portugis bukan kerajaan tetangga. Armada gabungan ini terbentuk antara

armada Jepara, Aceh, Bugis, Lao Sam, dan Tuban. Pemimpin pasukan gabungan ini

adalah Galeng yang telah memenangi perang saudara di Tuban.

Mengingat kesempatan untuk mengusir Portugis datang, Galeng yang telah

memutuskan untuk menjadi petani, kembali tergerak untuk meneruskan cita-cita

Adipati Unus yang pernah dikhianati oleh Adipatinya. Akan tetapi, kejadian ini hanya

trik rencana dari Demak agar Tuban sebagai pusat sisa kejayaan Majapahit di Jawa

kosong dan dapat ditaklukkan. Penyerangan Galeng ke Malaka dengan armada apa

adanya dan tanpa persenjataan yang lengkap gagal total. Demak pun menyerang

Tuban, akan tetapi masih dapat ditahan oleh pasukan Tuban di bawah komando Patih

baru, Kala Cuwil. Dalam peristiwa ini, Adipati Tuban tewas.

Di tengah kesibukan Tuban mencegah penjajahan yang akan dilakukan

Demak, Portugis kembali menyerang Tuban. Tuban jatuh ke tangan Portugis. Galeng

pun pulang ke Tuban. Karena karismanya, Galeng masih dianggap sebagai Senapati

Tuban oleh pasukan dan masyarakat Tuban. Ia pun menyiapkan peperangan untuk

merebut kembali Tuban. Dengan taktiknya, Galeng dapat merepotkan Portugis dalam

serangan mendadaknya. Portugis kalah, Tuban pun mendapatkan kembali

(22)

Masyarakat Tuban melihat kembali sosok Gajah Mada dalam diri Galeng.

Dengan perjuangannya yang heroik dan dapat memberi perlindungan pada seluruh

masyarakat Tuban, ia diminta untuk menjadi pemimpin Tuban yang dianggap dapat

mengembalikan arus yang telah terbalik sehingga mencapai kejayaan yang dulu

pernah dilakukan oleh Gajah Mada. Akan tetapi, Galeng menolak anggapan dan

harapan tersebut karena dia beranggapan kalau dari awal dia hanyalah seorang anak

desa yang selamanya akan menjadi anak desa. Galeng menyerahkan Tuban kepada

seluruh kepala pasukan Tuban dengan memberi nasihat-nasihat hidup seperti yang

dilakukan oleh Rama Cluring, Pendeta panutan Galeng dan Idayu.

Intrik politik dan kekuasaan yang ada dalam novel Arus Balik ini juga dihiasi

dengan idealis agama. Agama dijadikan suatu pembenaran dari perbuatan manusia

penganutnya. Hal ini sangat tergambar dalam novel Arus Balik. Sebagai contoh,

kejadian pergolakan yang terjadi di pedalaman Tuban yang dilakukan oleh Rangga

Iskak. Rangga Iskak selalu mendoktrin massanya melalui ceramah-ceramah kepada

pengikut-pengikutnya di pedalaman desa. Ia menjelekkan agama selain Islam dan

orang-orang yang menganutnya serta mengharuskan agar hanya ada Islam di

Nusantara, seperti dalam kutipan berikut.

(23)

Hal ini membentuk suatu gambaran Islam melalui perilaku dan sikap dari

penganutnya maupun ajarannya. Islam digunakan sebagai pembenaran dalam merebut

atau menguasai suatu daerah.

Dalam novel Arus Balik, Pram juga membuat suatu benturan yang terjadi

antara agama Hindu-Buddha dan agama Islam sebagai citraan agama Hindu-Buddha

dan agama Islam. Ini dipaparkan melalui alur dan dialog-dialog antartokoh yang

menjurus pada bentrokkan idealis agamanya masing-masing. Di sini, terlihat

bagaimana superiornya Islam dan bagaimana Islam sebagai ajaran yang paling mulia

mengizinkan umatnya menumpas umat agama lain, serta bagaimana keegoisan Islam

untuk mengislamkan Nusantara.

Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengangkat novel Arus

Balik dengan gambaran agama yang ada di dalamnya sebagai objek kajian. Penulis

akan mengkaji bagaimana tindak laku para penganut agama serta benturan antara

agama Hindu-Buddha dan agama Islam yang secara tidak langsung memberi

gambaran atau citra mengenai agama Hindu-Buddha dan agama Islam.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan strukturalisme genetik

yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Lucian Goldmann. Ratna menjelaskan

bahwa strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis

strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Dibanding

strukturalisme murni, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh dari karya, yaitu

ke struktur sosial (Ratna, 2004: 121) Jadi, strukturalisme genetik meneliti struktur

(24)

analisis lebih pada struktur kemaknaan dari persesuaian karya tersebut dengan

struktur sosial yang ada di dalamnya.

Dalam hal ini, analisis struktur yang akan dikaji oleh penulis adalah alur

cerita Arus Balik. Hal ini dikarenakan alur ceritalah yang sangat potensial

menggambarkan benturan agama yang secara tidak langsung juga membentuk citra

agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Penulis juga akan memberi gambaran

keadaan atau kehidupan keagamaan di Nusantara, khususnya di Jawa pascaruntuhnya

Majapahit sebagai struktur sejarah dan kelas-kelas sosial dalam konsep strukturalisme

genetik. Sedangkan, struktur sosial yang akan dianalisis dari novel Arus Balik adalah

agama melalui citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam yang ada dalam novel

Arus Balik. Citra ini digambarkan melalui benturan yang terjadi antara agama

Hindu-Buddha dan agama Islam serta perilaku atau sikap dari masing-masing penganut

agamanya dalam novel Arus Balik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah unsur alur yang ada dalam novel Arus Balik?

1.2.2 Bagaimanakah situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan

Majapahit?

1.2.3 Bagaimana citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam

(25)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut .

1.3.1 Menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana alur dari novel Arus

Balik.

1.3.2 Mendeskripsikan bagaimana situasi kehidupan keagamaan dalam

masa runtuhnya Majapahit.

1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana citra agama

Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Dalam dunia sastra, khususnya sastra Indonesia, penelitian ini dapat

menambah khazanah kritik sastra, khususnya kritik sastra

strukturalisme genetik.

1.4.2 Dari segi praktis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan

apresiasi kesusastraan Indonesia khususnya novel sejarah Arus

Balik.

1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pembaca sastra untuk

meninjau kembali fenomena sejarah dalam novel-novel sejarah yang

(26)

1.4.4 Penelitian ini juga dapat menjadi referensi studi sejarah, khususnya

sejarah perkembangan agama Hindu-Buddha dan agama Islam di

Indonesia pascaruntuhnya Majapahit.

1.5 Tinjauan Pustaka

Novel ini pernah diresensi oleh Christanty (2003) dengan judul Arus Balik

dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer. Dalam tulisannya, Christanty berusaha

melihat kelemahan-kelemahan yang ada dalam novel Arus Balik, di antaranya adalah

novel ini bertolak dari kota pelabuhan Tuban, yang tak sebanding dengan kebesaran

Majapahit apalagi Sriwijaya. Novel ini seolah mengatakan seluruh perubahan iklim

modal dan politik Nusantara bertumpu pada sebuah kota kadipaten. Di samping itu,

Pram selaku penulis hanya melebih-lebihkan kejayaan Majapahit sebagai kerajaan

laut terbesar di Nusantara dengan menyampingkan kejayaan kerajaan Sriwijaya yang

lebih berjaya di atas laut dari pada Majapahit. (www.forums.apakabar.com).

Di samping itu, ada sebuah penulisan skripsi yang mengkaji novel Arus Balik

sebagai bahan penelitiannya. Krisnanto (2005) dengan judul skripsi Aspek-Aspek

Sejarah dalam Novel Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer, Suatu Tinjauan

Historis memfokuskan penelitiannya dengan menganalisis struktur novel dan mencari

keterkaitan antara sejarah yang terjadi pada novel dengan fakta sejarah yang terjadi di

Nusantara pada abad XV-XVI Masehi (www.digilib.upi.com).

Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang menganalisis novel Arus Balik

(27)

secara tidak langsung membentuk citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam

novel ini sebagai objek kajiannya. Hal inilah yang membuat penulis menganalisis

citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik.

1.6 Landasan Teori

Dalam hal pengambilan teori untuk penelitian ini, penulis hanya

menggunakan teori sebagai kerangka berpikir, bukan sebagai dasar dalam

memecahkan rumusan masalah. Teori tersebut, yaitu teori struktural dan teori alur,

teori strukturalisme genetik, konsep citra, agama, agama Hindu-Buddha, agama

Hindu, agama Buddha, agama Islam, dan citra agama.

1.6.1 Teori Struktural dan Teori Alur

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan kajian strukturalisme

genetik, maka penulis harus terlebih dahulu melakukan analisis struktural. Analisis

struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,

semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya

sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984 :

135).

Pradopo juga menambahkan bahwa, novel merupakan sebuah struktur.

Struktur di sini dalam arti bahwa novel itu merupakan susunan unsur-unsur yang

bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling

(28)

kumpulan atau tumpukan hal-hal yang berdiri sendiri melainkan hal yang saling

terkait, saling berkaitan dan saling bergantung (Pradopo, 1987 : 18).

Pendapat itu telah diperkuat oleh pendapat Sudjiman yang mengatakan bahwa

antara tokoh, alur dan latar dan tema itu saling kait-mengait. Unsur-unsur itu tidak

bisa berdiri sendiri. Ada interaksi antara unsur-unsur itu (Sudjiman, 1988 : 40).

Dalam analisis struktur dari novel Arus Balik, penulis memfokuskan

penelitiannya hanya pada analisis alur yang ada dalam novel Arus Balik. Hal ini

dikarenakan alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan peristiwa benturan

antara agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Lalu, penulis akan menganalisis

struktur sosial teksnya yang berupa citra agama lama (Hindu-Buddha) dan agama

Islam yang ada dalam novel Arus Balik.

1.6.1.2 Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa

sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita (Aminuddin,

1991 : 83).

Sudjiman (1988: 30) menambahkan jika alur merupakan peristiwa-peristiwa

yang diurutkan untuk membangun tulang punggung cerita. Peristiwa-peristiwa tidak

hanya meliputi yang bersifat fisik seperti cakapan/ lakuan, tetapi juga termasuk

(29)

Semua peristiwa yang terjadi dalam sebuah teks sastra tidak selalu

dimasukkan dalam tahapan alur, hanya peristiwa-peristiwa yang potensial yang dapat

menjalankan sebuah alur cerita saja. Peristiwa-peristiwa ini juga disebut dengan

peristiwa penting. Peristiwa penting adalah kejadian-kejadian yang mempengaruhi

gerak sebuah alur cerita. Dalam sebuah teks sastra, peristiwa penting ini berkembang

dengan sifat yang saling terkait sehingga menciptakan sebuah alur cerita. Untuk

menganalisis sebuah alur cerita, maka yang harus dirurut dan dianalisis hanya

kejadian-kejadian yang termasuk dalam peristiwa penting saja.

Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu,

baik dikemukakan secara eksplisit maupun emplisit. Jadi, alur memiliki

tahapan-tahapan yang berisi peristiwa-peristiwa penting yang terurut menurut unsur waktu

yang ada dalam cerita tersebut.

Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima

tahapan, yaitu (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating

circumstances atau tahap pemunculan topik, (3) tahap rising action atau tahap

peningkatan konflik, (4) tahap climax atau tahap klimaks, dan (5) tahap denouement

atau tahap penyelesaian.

Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan

situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian

informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang

(30)

Tahap pemunculan konflik adalah tahapan munculnya konflik. Konflik itu

sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap

berikutnya. Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan ketika konflik yang telah

dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar

intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin

mencengkam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai titik

intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu

klimaks. Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak

penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang

lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya

diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150).

1.6.2 Strukturalisme Genetik

Menurut Ratna (2004: 121), strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar

penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur

intrinsik. Dibanding strukturalisme murni, strukturalisme genetik melangkah lebih

jauh dari karya, yaitu ke struktur sosialnya. Faruk (1994: 19) menambahkan bahwa

strukturalisme genetik menganggap struktur karya sastra merupakan struktur

kemaknaan, artinya karya sastra berkaitan dengan usaha manusia memecahkan

(31)

Strukturalisme genetik dikembangkan oleh sosiolog Perancis, Lucian

Goldmann atas dasar ilmu sastra seorang Marxis lain yang terkenal, Georg Lukacs.

Secara definitif, strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan

perhatian terhadap asal-usul karya. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah

teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang beberapa konsep yang tidak

dimiliki oleh teori sosial yang lain, misalnya ; Simetri atau Homologi, kelas-kelas

sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia (Ratna, 2004 : 123).

Konsep homologi dipinjam melalui kekayaan biologi, dengan asumsi

persamaan struktur sebab diturunkan melalui organisme primitif yang sama. Dalam

strukturalisme genetik, homologi memiliki implikasi dengan hubungan bermakna

antara struktur literer dengan struktur sosial. Untuk memahami konsep kelas-kelas

sosial, strukturalisme genetik menganggap kelas sebagai salah satu indikator untuk

membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh pengarang, sehingga peneliti

memfokuskan perhatiannya semata-mata terhadap kelompok yang dimaksudkan.

Sejajar dengan konsep kelas-kelas sosial, Goldmann juga mengintroduksi

konsep transindividual. Transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi

dengan struktur mental kelompok. Konsep pandangan dunia juga dijelaskan oleh

Goldmann. Menurutnya, pandangan dunialah yang memicu subjek untuk mengarang.

Identifikasi pada dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya.

Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti

mengetahui kecendrungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku

(32)

Teeuw menambahkan strukturalisme genetik berasumsi bahwa karya sastra

dapat diterangkan melalui strukturnya dengan varian dari homologi atau

persesuaiannya dengan struktur sosial (Teeuw, 1984: 153). Dengan konsep

pandangan dunia yang ada dalam strukturalisme genetik, peneliti dapat

membandingkan pandangan dunia yang ada dengan data-data dan keadaan sosial

masyarakat yang ada dalam karya tersebut. Karya sastra dapat dipahami asal

terjadinya (genetic) dari latar belakang sosial tertentu. varian strukturalisme

Goldmann disebut strukturalisme genetik yang menerangkan karya sastra dari

homologi atau persesuaiannya dengan struktur sosial (Teeuw, 1984: 153).

Struktur sosial dalam teks Arus Balik yang akan dianalisis adalah citra agama

Hindu-Buddha dan agama Islam. Dalam hal ini, citra agama dapat dikatakan sebagai

sumber kegenetikan dari teks Arus Balik. Struktur sosial ini yang menjadi struktur

kemaknaan dari teks Arus Balik, yaitu bagaimana usaha manusia dalam teks tersebut

untuk memecahkan atau menjalani persoalan-persoalan sosial yang ada, salah satunya

agama. Dalam hal ini, kehidupan agama dalam teks tersebut dapat menjadi

gambaran-gambaran persoalan sosial yang dialami sebuah masyarakat. Gambaran kehidupan

agama ini terlihat dalam citra agama Hindu-Buddha dan Islam dalam teks Arus Balik.

Setelah mengetahui citra agama sebagai struktur sosial dalam teks, baru dapat

disimpulkan hal mengenai pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia pengarang

dalam konsep strukturalisme genetik adalah yang memicu subjek untuk mengarang.

Identifikasi pada dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya.

(33)

menginterpretasikan sebuah dunia ke dalam karyanya sesuai kadar kemampuan

pengarang tersebut. Dengan kata lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok

tertentu berarti mengetahui kecendrungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang

mendasari perilaku sosial sehari-hari (Ratna, 2004: 126).

Jadi, setelah mengetahui citra agama Hindu-Buddha dan Islam sebagai

struktur sosial dari teks, dapat diketahui pandangan dunia dari pengarang tersebut.

Dalam hal ini, dapat digambarkan bagaimana Pram memandang sebuah sejarah dalam

teks Arus Balik khususnya bidang agama. Pandangan dunia yang terambil dari

analisis citra agama ini juga difungsikan sebagai kegenetikan dari teks Arus Balik.

1.6.3 Citra

Citra adalah gambar atau rupa (Poerwadarminta, 1976: 207). Citra juga

merupakan rupa, gambar atau gambaran. Dalam dunia kesusastraan, citra dapat

berarti kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase,

atau kalimat, dan juga merupakan unsur dasar yang yang khas dalam karya prosa dan

puisi (Kridalaksana, 1995:192). Dalam dunia sastra, citra merupakan kesan mental

atau bayangan visual yang dihadirkan pengarang dalam sebuah karya sastra meliputi

individu (tokoh) maupun kelompok sosial. Gambaran inilah yang akan membentuk

sebuah image mengenai kesan mental atau suatu bayangan visual yang dideskripsikan

pengarang melalui karyanya. Kesan mental atau bayangan visual ini dapat dilihat dari

sikap fisik, batiniah, maupun pemikiran dari individu (tokoh cerita) maupun sebuah

(34)

1.6.4 Agama

Agama adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dan sebagainya)

serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan

kepercayaan tersebut (Poerwadarminta, 1976: 18). Agama lahir, berkembang dan ada

berdasarkan iman kepada Tuhan. Dalam artian tertentu, agama berasal dari Tuhan dan

merupakan anugerah bagi umat manusia. Dalam arti tertentu pula, agama juga

merupakan usaha manusia. Oleh karena itu, agama sejauh dihayati tidak dapat

dilepaskan dari manusia yang menghayatinya.

Dalam hal ini, manusia memiliki segi-segi positif dan negatif, segi terang dan

gelap, kecenderungan baik dan jahat. Dalam menghayati agamanya, manusia juga

dapat menghayatinya secara otentik dan tidak otentik, baik dan buruk, benar dan tidak

benar. Pada tingkat masyarakat, agama dapat merupakan faktor harmoni dan

disharmoni, pemersatu dan pemecah belah, serta perkembangan dan pemandegan

(Hardjana, 2006: 5).

Agama tidak hanya dapat didekati lewat ajaran-ajaran atau lembaga-lembaga

nya, tetapi juga dapat didekati sebagai suatu sistem sosial. Sudarmanto menambahkan

bahwa agama dapat menjadi ideologi bila ritus yang merupakan simbol religius

digunakan sebagai pembenaran sejarah khususnya pembenaran kekuasaan

(Sudarmanto,1987: 44). Jadi, agama dapat juga dijadikan landasan pembenaran dalam

(35)

1.6.5 Agama Hindu-Buddha

Di dalam bagian ini akan dibicarakan mengenai Hindu-Buddha. Penggunaan

Hindu-Buddha dikarenakan kedua agama ini memang berjalan bersama-sama di

Indonesia. Karena perkembangan kedua agama ini sedemikian rupa, hingga secara

teori tak ada lagi perbedaan antara Siwa dan Buddha (Hadiwijono,1971: 99).

Masa Majapahit secara khusus menjadi masa ketika puncak sinkretisme

agama. Ada tiga aliran agama hidup secara rukun dan damai, yaitu Siwa, Wisnu, dan

Buddha Mahayana. Ketiganya itu dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam

dari kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sebagai sama nilainya. Mereka

digambarkan sebagai patung Harihara, yaitu patung setengah Siwa dan setengah

Wisnu. Siwa dan Buddha juga mengalami hal yang sama. Tak ada perbedaan antara

konsep dharma dan kenyataan terakhir menurut Siwa dan Buddha. Di dalam buku

“Kunjara Karna”, bahkan disebutkan tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun

Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan apa yang sebenarnya satu,

yaitu Siwa-Buddha. Demikianlah keyakinan bahwa Siwa-Buddha adalah satu Tuhan

adalah tuntutan pertama bagi kelepasan (Hadiwijono, 1971: 111-112).

Peleburan antara Hindu-Buddha, khususnya Siwa-Buddha juga terlihat dalam

kitab Sutasoma yang menggambarkan sebuah cukilan peristiwa. Peristiwa tersebut

bercerita mengenai kemarahan Kalarudra yang hendak membunuh Sutasoma, titisan

Buddha. Para dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkannya

perihal Buddha dan Siwa tidak dapat dibeda-bedakan. Keduanya, sekalipun disebut

(36)

adalah sama dengan Siwatattwa (hakikat Siwa). Tidak akan ada dua dharma. Kedua

dewata itu adalah sama. Selanjutnya dianjurkan pada orang-orang untuk

merenungkan Siwa-Buddha-tattwa, sebagai hakikat Siwa-Buddha (Hadiwijono, 1971:

112).

Uraian menurut Hadiwijono memperlihatkan jika pada masa Majapahit terjadi

puncak sinkritisme agama. Peleburan terjadi antara Hindu dan Buddha. Bukti

nyatanya adalah dengan adanya konsep Siwa-Buddha karena dianggap satu dharma.

Peleburan inilah yang menjadi patokan jika Hindu-Buddha mengalami peleburan dan

hal ini berkembang hingga ke masyarakatnya.

Dalam penelitian novel Arus Balik ini, agama Hindu-Buddha menjadi sebuah

kesatuan yang diyakini oleh masyarakat dan berakulturasi secara dinamis dengan

budaya Nusantara. Hindu-Buddha menjadi pusat ajaran dalam berperilaku bagi

masyarakat Nusantara sebelum masuknya agama baru, yaitu Islam. Agama Siwa,

Brahma, dan Wisnu yang terus berkembang merupakan salah satu gambaran jika

Hinduisme menjadi agama mayoritas pada masa Majapahit (Mulyana, 1979: 199).

Penulis juga menggunakan istilah Hindu-Buddha dikarenakan Pram sebagai

pengarang Arus Balik tidak memberi batasan pasti apakah referen yang digunakannya

adalah Hindu atau Buddha untuk menyampaikan pemikiran para tokoh-tokoh

ceritanya. Hindu-Buddha digunakan sebagai peleburan agama yang terkadang disebut

Pram dengan istilah agama lama sebagai oposisi agama baru, Islam. Jadi,

(37)

melebur karena kesamaan diantaranya. Agama Hindu-Buddha juga menjadi agama

yang dipercaya masyarakat Nusantara pada zamannya sebelum masuknya Islam.

1.6.5.1 Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang berlandaskan pada kitab Weda sebagai inti

ajaran-ajarannya. Agama Hindu mengandung adat-istiadat, budi pekerti, dan

gambaran kehidupan orang-orang Hindu. Agama ini juga disebut dengan agama

Brahma yang wujudnya berupa suatu kekuatan besar yang mempunyai daya pengaruh

tersembunyi yang memerlukan amalan-amalan, ibadat seperti membaca doa-doa,

menyanyikan lagu-lagu, pemujaan, dan pemberian korban-korban (Shalaby,

2001:18).

Shalaby (2001:19) juga menjelaskan bahwa agama Hindu lebih merupakan

suatu cara hidup dari pada merupakan kumpulan kepercayaan. Sejarahnya

menerangkan mengenai isi kandungannya yang meliputi berbagai kepercayaan

mengenai hal-hal yang boleh dilakukan dan yang harus dilakukan.

1.6.5.2 Agama Buddha

Agama Buddha adalah agama yang berpusat pada ajaran sang Buddha,

Sidharta Gautama. Agama Buddha lahir dari pemikiran Sidharta atas kehidupan dan

penolakannya terhadap sistem perkastaan yang ada dalam agama Hindu.

Buddha dalam bahasa Sanskerta artinya pengetahuan yang sempurna. Jadi,

Buddha bukanlah nama yang khusus tetapi gelar bagi tiap-tiap orang yang telah

(38)

Buddha menekankan agar manusia berusaha untuk tidak menyakiti dan

sebanyak mungkin memberi pertolongan kepada orang lain. Esensi ajaran Buddha

tercakup dalam tiga kaidah dari jalan ; pelepasan yang pasti, hati yang mengabdi, dan

kebijaksanaan dalam menyadari kekosongan (sunyata) (Chodron, 1990: 2).

Sang Buddha menyebarkan ajarannya dengan banyak cara karena makhluk

hidup (semua makhluk yang memiliki pikiran tetapi belum menjadi Buddha,

termasuk juga di alam-alam kehidupan yang lain) mempunyai watak, kebiasaan, dan

minat yang berbeda-beda. Buddha tidak pernah mengharapkan setiap manusia cocok

dengan satu bentuk, sehingga ajarannya pun diberikan dalam banyak cara dan dalam

beragam cara melatih diri (Chodron, 1990: 3-4). Jadi, Buddha sangat menyesuaikan

pengajaran agamanya dengan budaya dan watak masyarakat sekitar yang ada.

1.6.6 Agama Islam

Agama Islam adalah agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad

(Poerwadarminta, 1976: 388). Almirzanah mengatakan bahwa agama Islam

merupakan agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui

Nabi Muhammad sebagai rasulnya (Almirzanah, 1997: 6)

Konsep bahwa nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul cukup

sentral dalam sistem kepercayaan Islam (Madjid, 2007: 16). Kaum Muslim, apa pun

madzhabnya dan firqahnya, bersepakat dalam keyakinan bahwa rasul-rasul Allah

yang dikirim kepada umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad. Dalam surat

(39)

agamamu, lengkaplah untukmu nikmatKu dan Aku (Allah) rida bagimu Islam

sebagai agama” (Via Madjid, 2007: 35).

Dasar Islam adalah mengatur perhubungan manusia dengan Tuhan dan

mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Jadi, nyatalah Islam tidak

dapat dipisahkan dari masyarakat karena mengatur hubungan antarmanusia dan tidak

dapat dipisahkan dari negara karena negara juga mengatur hubungan manusia dengan

sesama manusia (Lubis, 1982: 31).

1.6. 7 Citra Pemeluk Agama

Citra pemeluk agama adalah gambaran atau sketsa mengenai pemeluk suatu

agama. Agama menjadi objek dalam pembentukan sebuah citra, subjeknya adalah

pemeluk agama dan ajaran-ajaran agama itu sendiri. Citra agama dapat dibentuk oleh

ajaran agama itu sendiri dan bagaimana para pemeluk agama tersebut

mengimplementasikan ajaran-ajaran agamanya. Perilaku seorang umat dapat

memberikan atau membentuk sebuah citra pada agama itu sendiri, terlepas apakah

citra tersebut positif atau negatif.

Penulis memfokuskan citra agama dalam dua kategori, yaitu citra positif dan

citra negatif. Citra positif adalah gambaran suatu agama ketika agama tersebut dinilai

baik atau memberi dan membawa kebaikan pada individu, masyarakat, dan

komunitas agama yang lainnya. Citra positif dapat dibentuk oleh perilaku atau cara

bersikap para pemeluk agamanya sendiri. Pembentukan citra agama yang positif

(40)

mengimplementasikan ajaran-ajaran agama tersebut pada kehidupan realitas maupun

religiusitas.

Kebalikan dari citra positif, citra negatif adalah gambaran suatu agama jika

agama tersebut dinilai jelek atau tidak membawa kebaikan bagi individu, masyarakat,

dan komunitas agama yang lainnya. Citra negatif dapat terbentuk karena image atau

gambaran dari ajaran agama tersebut. Citra negatif juga dapat terbentuk bila para

pemeluk agama tersebut hanya membawa “kejelekan”, “kericuhan” atau bahkan

“kekerasan” bagi individu, masyarakat atau komunitas agama yang lainnya.

1.7 Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

1.7.1 Pendekatan

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik mengkaji analisis struktur sebuah

karya sastra dengan persesuaian struktur sosial yang ada di dalamnya. Secara

definitif, strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu

sendiri dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek

transindividual, dan pandangan dunia (Ratna, 2004: 127).

1.7.2 Metode Penelitian

Metode berasal dari kata Yunani meta, berarti ‘dari’ atau ‘sesudah’, dan

(41)

atau mengejar suatu tujuan (Basuki, 2006: 92). Metode dapat didefinisikan sebagai

cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud atau juga cara kerja

sistematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan guna mencapai tujuan

yang ditentukan (Basuki, 2006:93).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis isi. Metode

analisis isi adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi

tersebut yang menjadi objek prioritas yang akan dianalisis. Misalnya, karya sastra,

maka yang akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang

ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.

Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi

komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah,

sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi

yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan

isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan

konsumen (Ratna, 2004: 48). Analisis isi laten akan menghadirkan arti, sedangkan

analisis isi komunikasi akan melahirkan makna.

Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Dasar penafsiran

dalam analisis isi adalah menitikberatkannya pada isi dan pesan. Oleh karena itu,

metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode analisis isi yang

menganalisis isi laten dari sebuah naskah. Dalam upaya ini, penulis akan

(42)

isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari naskah tersebut. Data-data

yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tujuan untuk memaparkan secara tepat

bagaimana alur cerita dan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam teks

Arus Balik.

Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah,

pertama menganalisis struktur novel Arus Balik yang berupa analisis alur ceritanya.

Kedua, memberi gambaran mengenai keadaan atau kehidupan keagamaan di

Nusantara, khususnya Jawa pasca runtuhnya Majapahit. Hal ini dilakukan sebagai

bahan bandingan atau referensi untuk memudahkan pemahaman dalam menganalisis

citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Ini juga berguna sebagai pembahasan

kelas-kelas sosial yang ada dalam Arus Balik. Ketiga, menganalisis struktur sosial

yang ada dalam Novel Arus Balik berupa citra agama Hindu-Buddha dan agama

Islam. Pada bagian akhir, penulis akan membahas pandangan dunia pengarang

mengenai citra agama dalam Arus Balik. Ketiga langkah tersebut, dapat memberi

gambaran penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu penelitian yang

berorientasi penuh pada isi novel Arus Balik (isi laten novel Arus Balik).

1.8 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data didapat melalui studi pustaka. Teknik tersebut

dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel berjudul Arus Balik,

buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek

(43)

Dalam teknik ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak

digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian.

Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung

penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut

dari teknik simak (Sudaryanto, 1993: 133-135).

1.9 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Judul Buku : Arus Balik

Pengarang : Pramoedya Ananta Toer

Tahun Terbit : 1995

Penerbit : Hasta Mitra

Halaman : 751 halaman

1.10 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini,

dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini

dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar

balakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, pendekatan, metode penelitian, teknik pengumpulan data,

sumber data dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan analisis struktur alur

(44)

mengenai keadaaan atau kehidupan keagamaan di Nusantara pasca runtuhnya

Majapahit. Bab empat merupakan analisis tentang citra agama Hindu-Buddha dan

agama Islam dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Bab lima

(45)

BAB II

ANALISIS ALUR NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan kajian strukturalisme

genetik, maka penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis

unsur intrinsik. Penulis memfokuskan analisis strukturnya hanya pada analisis alur

yang ada dalam novel Arus Balik. Hal ini dikarenakan alur ceritalah yang sangat

potensial menggambarkan peristiwa benturan dan citra agama Hindu-Buddha dan

agama Islam.

Penulis menganalisis alur dengan menitikberatkan pada peristiwa-peristiwa

penting dalam urutan waktu yang membentuk alur Arus Balik. Tahapan alur yang

digunakan penulis adalah lima tahapan alur menurut Nurgiyantoro. Nurgiyantoro

membagi tahapan tersebut menjadi tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik,

tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian (Nurgiyantoro,

2007: 149). Analisis alur novel Arus Balik ini akan diuraikan sebagai berikut.

2.1Tahap Situation/ Penyituasian

Tahap penyituasian adalah tahap awal dalam novel Arus Balik. Tahap

penyituasian dalam novel Arus Balik berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan

(46)

cerita yang melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap

penyituasian dalam novel Arus Balik adalah sebagai berikut.

Dalam sub judul Di Bawah Bulan Malam Ini, alur dimulai pada abad ke enam

belas Masehi. Deskripsi mengenai situasi laut Jawa dan desa Awis Krambil menjadi

pembuka alur. Situasi laut Jawa yang digulung ombak-ombak besar, memanjang

terputus, mengejajari pesisir pulau Jawa. Di atas lautan Jawa ini, tampak sebuah

perahu peronda yang sedang berlayar. Perahu tersebut memiliki bendera berwarna

merah putih, bendera Tuban (hlm. 1-2).

Pengenalan latar juga beranjak pada deskripsi suasana di desa Awis Krambil,

salah satu desa di kadipaten Tuban. Suasana latar desa Awis Krambil digambarkan

dengan hutannya yang senyap dan berubah jadi hiruk. Sunyi-senyap hanya terjadi di

sebuah ruang balai desa. Semua yang ada hanya memanjangkan leher mendengarkan

lolongan ratusan anjing. Ratusan sumbu damar sewu yang menyala di sepanjang dan

seputar rumah umum itu bergoyang-goyang terkena angin silir (hlm.3)

Di tengah suasana desa Awis Krambil di seputar rumah umum, terjadi dialog

antara rama guru dan pendengarnya yang sebagian besar penduduk desa Awis

Krambil. Ini dipaparkan dalam kutipan berikut.

(1) “Apakah yang akan terjadi, Rama?” kepala desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya.

“Bulan purnama begini, semua indah. Hanya anjing-anjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi mereka. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam”

(47)

“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit. Dulu, desa ini dinamai Sumber Raja..” Tiba-tiba suaranya terangkat naik, melengking.

“ Kalian biarkan desa ini dihina oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama Awis Krambil” Ia tertawa sengit (hlm. 3).

Pengenalan tokoh pertama adalah pengenalan terhadap rama guru, Rama

Cluring. Rama Cluring adalah seorang penceramah yang mendatangi desa-desa.

Rama Cluring memiliki postur yang pendek-kecil, berkain dan berkalung kain batik

pula, berdestar putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala Anoman dalam

Ramayana (hlm. 4).

Masyarakat desa Awis Krambil sangat mengenal Rama Cluring. Rama

Cluring merupakan pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi,

berlidah pedang dan berludah api itu. Orang-orang di desa tersebut pun menaruh rasa

hormat pada Rama Cluring (hlm. 4).

Rama Cluring merupakan sosok penceramah yang memiliki karisma dalam

berceramah. Ceramahnya mencakup berbagai hal, tergantung pada respon dari

pendengarnya. Ceramah yang dilakukannya berkisar tentang kemerosotan zaman,

hakikat ajaran Buddha, suasana negeri Atas Angin, kejayaan Majapahit, dan kritikan

mengenai pemerintahan masa sekarang, khususnya Adipati Tuban.

Pengenalan tokoh berlanjut pada pendengar ceramah yang meyakini

ceramahnya, yaitu Idayu dan Galeng. Galeng dan Idayu merupakan salah seorang dari

pendengar ceramah Rama Cluring. Pengenalan pertama dipaparkan ketika salah

seorang pendengar bertanya mengenai pengayoman. Idayu dan Galeng adalah

(48)

Pengenalan tokoh Adipati Tuban juga dipaparkan via ceramah Rama Cluring.

Pengenalan awal terhadap tokoh Adipati Tuban dapat dilihat dari sikap Rama Cluring

yang mengkritisi sosok Adipati Tuban yang menjadi seorang pembesar Majapahit

sewaktu muda dan di tangannya juga Majapahit mengalami keruntuhan (hlm. 6).

Ceramah juga mengarah pada ramalan Rama Cluring mengenai akan

terjadinya perang. Perang akan menimpa desa yang sekarang mendengarkan

ceramahnya. Rama Cluring meramalkan jika perang terjadi, itu karena munculnya

budaya baru, dewa-dewa baru, dan bangsa-bangsa dengan warna kulit yang berbeda.

Ini juga diyakini oleh masyarakat Awis Krambil yang telah mendengar ramalan

tersebut dari kakek-kakek mereka (hlm. 10).

Penyituasian yang tampak adalah kegiatan di desa Awis Krambil yang biasa

mendengarkan ceramah dari seorang Rama Guru. Situasi dalam lingkungan ceramah

inilah yang akan memunculkan konflik pertama dalam tahapan alur selanjutnya.

Dalam novel Arus Balik, pengenalan tokoh dan setting cerita tidak dijelaskan

mendetail secara langsung di awal. Hal ini karena novel Arus Balik terbagi dalam

sub-sub judul lagi. Jadi, pengenalan tokoh dan setting cerita akan terus terjadi dalam

tiap sub judul cerita.

2.2 Tahap Generating Circustances/Tahap Pemunculan Konflik

Tahap ini merupakan tahap ketika konflik awal mulai dimunculkan.

(49)

dimunculkan. Konflik akan berkembang menjadi konflik pada tahap yang berikutnya

(Nurgiyantoro, 2007: 149).

Konflik dalam alur Arus Balik dimulai dari ceramah Rama Cluring yang

dianggap para pendengarnya yang sebagian besar adalah penduduk desa Awis

Krambil merupakan sebuah pemberontakan. Rama Cluring berceramah kalau para

pendengarnya adalah budak dari Adipati, bukan kawula. Jika mereka adalah kawula

Adipati, maka Adipati akan membantu jika mereka mengalami kesulitan. Fakta yang

terjadi ternyata berbeda. Bagi Rama Cluring, para pendengarnya hanyalah budak dari

Sang Adipati Tuban. Hal ini adalah pemberontakan bagi para pendengarnya karena

menghujat Sang Adipati. Kecaman pun berdatangan, khususnya dari kepala desa

(hlm. 6-12).

Penduduk desa Awis Krambil mejadi ketakutan mendengar hujatan dari Rama

Cluring. Mereka mengetahui jika kuasa Adipati adalah mutlak. Pemberontakan

terhadapnya akan berimbas pada maut. Ini membuat kepala desa mengambil sikap

aman dan meracuni Rama Cluring karena dianggap telah melakukan provokasi

dengan hujatannya pada Sang Adipati (hlm. 15).

Dalam sejarah, belum ada seorang guru pembicara yang diracuni karena

ceramahnya. Ini merupakan suatu kesalahan. Galeng dan Idayu yang meyakini

ceramah Rama Cluring segera mengambil sikap menolong. Rama Cluring dirawat

oleh Galeng dan Idayu. Galeng mengecam orang yang meracuni Rama guru. Galeng

(50)

Rama Cluring akhirnya tewas (hlm. 16-17). Konflik inilah yang akan membawa

Galeng dan Idayu menjalani tiap kejadian yang akan membentuk alur Arus Balik.

Konflik tambahan juga muncul di bandar Tuban. Salah satu daerah

kekuasaannya diduduki oleh Demak tanpa ada pernyataan perang terlebih dahulu.

Konflik ini memiliki imbas tersendiri yang juga mengiringi konflik yang dimulai dari

usaha Galeng dan Idayu dalam menyelamatkan Rama Cluring. Pendudukan Demak

atas Jepara dapat dilihat dalam laporan seorang Patragading kepada Patihnya (hlm. 19

dan 25).

Dalam sub judul Tuban, konflik yang lain mulai muncul. Isu kemunculan

bangsa asing di Tuban menjadi fenomena tersendiri. Ini dapat terjadi karena

kapal-kapal asing tersebut memiliki ukuran yang besar dan dengan perlengkapan meriam,

serta datangnya dari jalur selatan Wulungga, jalur keramat. Kapal-kapal asing inilah

yang bisa mengancam perdagangan dari negeri Atas Angin. Ini akan berdampak pada

jalur perdagangan di Tuban. Deskripsi mengenai kapal-kapal asing dan senjata

ampuhnya, meriam, tampak pada laporan Patih kepada Adipatinya. Sang Patih

melaporkan bentuk kapal-kapal asing yang ukurannya jauh lebih besar dan memiliki

kecepatan yang laju, ditambah lagi dengan senjata yang bisa mengeluarkan biji besi

sebagai pelurunya, meriam (hlm. 27-28).

Adipati Tuban terkesan meremehkan kedatangan Peranggi dan Ispanya. Sikap

ini muncul karena Adipati ahli dalam perniagaan. Selama yang dicari oleh Peranggi

adalah rempah-rempah, maka Peranggi dapat diredam secara dagang dan damai.

(51)

memikirkan tentang pergerakan Demak, Semarang, Lao Sam, dan Jepara di barat

Tuban (hlm. 37).

Alur cerita berlanjut pada pagelaran seni dan olahraga di Tuban. Acara

tahunan ini merupakan sebuah acara agung yang paling ditunggu-tunggu oleh

masyarakat Tuban. Alur ini dipaparkan melalui sub judul Menjelang Pesta Lomba

Seni dan Olahraga. Pesta ini merupakan ajang perlombaan dalam ketangkasan tubuh

(pria) dan tari (wanita). Desa Awis Krambil pun mengambil bagian dalam acara ini.

Peserta dari desa Awis Krambil adalah Idayu dan Galeng. Mereka merupakan

pemenang dari pagelaran lomba di tahun sebelumnya. Idayu merupakan sosok yang

paling dipuja karena ia telah menjuarai bidang tari pada pagelaran sebelumnya.

Galeng dan Idayu harus mengurungkan niatnya untuk menikah karena diharuskan

untuk mengikuti perlombaan. Galeng dan Idayu akhirnya mengikuti perlombaan

karena ancaman kepala desa atas perbuatan mereka yang mencoba menyelamatkan

Rama Cluring, Sang pemberontak. Inilah imbas dari perbuatan Galeng dan Idayu,

yaitu hukuman dari kepala desa. Bagi kepala desa Awis Krambil, perbuatan

Galeng-Idayu atas usaha untuk menyelamatkan Rama Cluring adalah sebuah pencemaran

(hlm. 39-42).

Pesta lomba seni dan olahraga akan segera digelar. Rombongan desa Awis

Krambil pun telah sampai ke kadipatenan. Di dalamnya, terdapat asrama bagi para

peserta yang akan mengikuti lomba. Dalam asrama, para peserta pria dipisahkan

dengan peserta wanita. Galeng yang berposisi sebagai kekasih Idayu, juga dipisahkan

(52)

surat via tokoh Pada yang menjadi perantara hubungan dua kekasih ini. Pada

merupakan seorang bocah yang mengurus keperluan para peserta dan juga merupakan

pengurus di keputrian Sang Adipati. Pada lah yang menjadi perantara pengiriman

lontar antara Galeng dan Idayu (hlm. 46-47).

Desas-desus mengenai Idayu yang akan diperselir Adipati menjadi pokok

pembicaraan di kadipatenan. Kekuasaan Adipati juga yang membentengi Galeng

untuk dapat melarang atau menghambat hasrat Adipati untuk memperselir Idayu,

kekasihnya. Hal inilah yang menjadi gunjang-ganjing di asrama putera dan asrama

puteri, tempat para peserta. Banyak yang memberi iba atas nasib percintaan

Galeng-Idayu yang dibentengi oleh kekuasaan mutlak Sang Adipati. Adipati pun menemui

Idayu dalam sebuah kesempatan. Ini memberi petunjuk kepada massa jika Adipati

serius dalam niatnya untuk memperselir Idayu (hlm. 54-55).

Di tengah pergunjingan tersebut, terdapat peristiwa yang mengejutkan.

Seorang saudagar Arab datang ke Tuban untuk melakukan persembahan pada Adipati

Tuban. Dengan persembahan yang berasal dari empat Raja Islam di Atas Angin,

saudagar itu menawarkan agar Tuban mau ikut serta dalam memerangi Peranggi yang

mulai menguasai daerah-daerah Islam di Atas Angin. Ini juga berguna bagi Tuban,

kerena dapat mencegah datangnya Peranggi ke Nusantara, khususnya Tuban. Empat

Raja Islam di Atas Angin meminta pertolongan Tuban karena Tuban merupakan

(53)

Ketakutan para penguasa Negeri Atas Angin (Islam) terhadap Peranggi tidak

terlalu dipikirkan oleh Adipati Tuban. Ia hanya khawatir dengan pergerakan Demak.

Adipati meremehkan Peranggi selama yang dicari Peranggi sebatas rempah-rempah.

Pemikiran Adipati mengenai fenomena Peranggi mengharuskannya untuk

mengambil sebuah kebijakan. Menurut pemikirannya, kebijakan itu harus dapat

meredam keganasan Peranggi sehingga Tuban pun terhindar dari perang. Kebijakan

yang diambilnya adalah mengganti Syahbandar Tuban yang sekarang, Ishak Indrajit.

Ini tampak pada kutipan berikut.

(2) Peranggi dan Ispanya pasti akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai berbahasa Peranggi dan Ispanya. Ia harus diganti. Bangsa dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga Iskak (hlm. 56).

Dari Tuban, alur berpindah ke Malaka. Dalam sub judul Sayid Habibullah

Al-Masawa, dipaparkan peristiwa datangnya Peranggi (Portugis) di Malaka. Malaka

mendapat serangan dari Peranggi. Penyerangan Peranggi ini berhasil, sehingga

Peranggi dapat menduduki Malaka.

(3) Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh dari dermaga. Lubang-lubang bulat pada lambung kapal Portugis mulai terbuka. Moncong-moncong meriam mulai bermunculan dari sebaliknya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut udara dengan besi-besi sebagai matanya. Semua menuju ke bandar Malaka (hlm. 62).

(4) Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati tombak dan pedang dan sorak-sorai. Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso Dalbi- menyerbu dan menduduki Malaka (hlm. 63).

Referensi

Dokumen terkait

mengungkapkan / operasi pasar yang dilakukan disesuaikan dengan hari pasaran / sehingga masyarakat dapat langsung membeli beras dari bulog tersebut // Dari data bulog menurut Murino

Hubungan yang baik antara penyanyi dalam sebuah paduan suara akan menciptakan suasana yang menyenangkan ketika menyanyikan sebuah lagu, karena komunikasi

PERAN PEMERINTAH DESA DALAM PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN (Studi Penelitian Tentang Konflik Keagamaan Antara Nahdhlatul Ulama Dengan Majelis Tafsir Al- qur’an Di Desa

Turunlah atas kita, kasih dan rahmat Tuhan Yesus Kristus, yang telah dimeteraikan dengan Roh Kudus bersama- sama Sang Bapa, memenuhi saudara sekalian.. Umat DAN

Fresmon Pacifik Prima periode 31 Desember 2009 sampai dengan 31 Desember 2012 Dengan data perbandingan berdasarkan hasil pengamatan sementara menggunakan konsep

6. Kolom 6 diisi dengan jumlah pendapatan yang disetorkan.. penyetoran dilakukan pada saat bendahara penerimaan pembantu menyetorkan pendapatan yang diterimanya ke rekening

Yang bertanda tangan dibawah ini Kelompok Kerja (Pokja) Pemagaran Gedung Kantor Pengadilan Agama Tanjung Selor, pada hari ini RABU , tanggal TIGA bulan JUNI¸ tahun DUA

Penilaian pada dasarnya adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh guru untuk dapat menentukan capaian hasil belajar yang telah dilalui oleh peserta didik selama mengikuti