CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Hendra Sigalingging 044114028
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Orang yang tidak pernah membuat kekeliruan adalah orang yang tidak pernah
melakukan apapun
(Theodre Roosevelt)
Saya bukanlah manusia gagal, saya hanya menemukan sepuluh ribu cara yang tidak
efektif
(Benjamin Franklin)
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Sang Maha Kasih, Yesus Kristus
Amang dohot Inang yang telah membuat aku ada
Rika dan Riko yang mengasihiku
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam
menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:
1. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing I, terima kasih
atas segala bimbingan dan masukan kepada saya untuk meyelesaikan
skripsi ini.
2. SE Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing II, terima kasih
telah meluangkan banyak waktu untuk memberi masukan dan
membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.
4. Amang dohot Inang yang telah memberi dukungan secara materiil dan
spirituil kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai.
5. Rika dan Riko, terima kasih atas dukungan dan celotehannya “Cepat
6. Bawoxku, terima kasih atas segala kesabaran dan dukungannya untuk
tetap memberiku semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman Bengkel Sastra yang telah membantu penulis
mewujudkan penulisan skripsi ini.
8. Menyun dan Doler, terima kasih atas sharingnya pada penulis.
9. Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2004, terima kasih atas
kebersamaannya selama di bangku perkuliahan.
10.Semua karyawan di Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas
pelayanannya selama ini.
11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun
telah banyak memberikan dukungan dan perhatian sampai selesainya
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala
saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala kerendahan
hati dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga berharap
skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 15 April 2009
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Hendra Sigalingging Nomor Mahasiswa : 044114028
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 20 April 2009
Yang menyatakan
ABSTRAK
Sigalingging, Hendra. 2009. “Citra Pemeluk Agama Hindu-Buddha dan Agama Islam dalam Novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer : Analisis Strukturalisme Genetik.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji tentang citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan analisis struktural yang difokuskan pada analisis alur, mendeskripsikan situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan Majapahit, dan menganalisis serta mendeskripsikan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucian Goldmann. Diawali dengan analisis struktur teks yang difokuskan pada analisis alur, lalu dilanjutkan pada analisis struktur historis, yaitu situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan Majapahit sebagai kelas-kelas sosial dan bandingan untuk menemukan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam sebagai struktur sosial yang ada dalam teks sastra.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi. Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi teks sastra. Dalam penelitian ini, metode analisis isi digunakan untuk mengkaji isi teks sastra tanpa melihat isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari teks sastra tersebut.
masyarakat. Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha juga terangkum dalam sembilan poin, yaitu (i) pemeluk agama Hindu-Buddha lebih menghargai alam, (ii) pemeluk Hindu-Buddha tidak rakus akan ambisi pribadi, (iii) Pemeluk Hindu-Buddha tetap menjaga kebudayaannya, (iv) Pemeluk Hindu-Buddha sangat menghargai dewanya, (v) pemeluk Hindu-Buddha taat menjalankan ritual keagamaannya, (vi) pemeluk Hindu-Buddha tidak memaksakan kehendak, (vii) sikap mental yang mandiri dari pemeluk Hindu-Buddha, (viii) pemeluk Hindu-Buddha menghargai manusia lainnya, dan (ix) pemeluk Hindu-Buddha memiliki cinta kasih. Agama Hindu-Buddha tidak memiliki citra negatif.
Ada tiga poin citra positif Islam yang dibentuk oleh sikap pemeluknya meliputi (a) pemeluk agama Islam adalah individu yang ulet, (b) pemeluk Islam juga mengkritisi kelemahan ajaran Hindu-Buddha, dan (c) pemeluk agama Islam taat menjalankan ajaran agamanya. Citra Islam sendiri dominan bersifat negatif dalam novel Arus Balik. Citra negatif ajaran agama Islam adalah memaksakan aturan-aturannya sendiri.
Citra negatif pemeluk agama Islam terangkum dalam lima poin, yaitu (i) pemeluk agama Islam gemar melakukan penghinaan dan pelecehan, (ii) pemeluk agama Islam juga gemar menghina antarsesama Islam, (iii) pemeluk agama Islam menggunakan agamanya sebagai pembenaran, (iv) pemeluk agama Islam kurang memiliki iman yang kuat, dan (v) pemeluk agama Islam suka melakukan kekerasan.
Pandangan dunia Pramoedya yang tergambar dalam Arus Balik mengatakan jika citra “Islamnya Pram” adalah Islam yang identik dengan anarkisme dan fanatisme. Agama Hindu-Buddha sendiri berdiri sebagai agama yang sesuai dengan budaya Nusantara, khususnya Jawa dan berakulturasi hingga menciptakan kedamaian bagi manusia di Nusantara secara umum.
ABSTRACT
Sigalingging, Hendra. “Image Of Hindu-Buddha Followers and Islam Followers from Arus Balik Novels’s written by Pramoedya Ananta Toer: An Analysis Of Genetic Structuralism.” Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Department Of Indonesian letter, Faculty Of Letter, Sanata Dharma University. 2009.
This research examines the image of Hindu-Buddha religions and Islam from Arus Balik novel written by Pramoedya Ananta Toer. The aims of this research are to analyze and describe novel’s structure that focus to plot, describe the situation of religion’s livelihood on Majapahit collapse period, and analyze along with describing the image of Hindu-Buddha religions and Islam from Arus Balik novel
This research uses genetic structuralism which was expanded by Lucian Goldmann. It’s starting with text structure analysis that focus to plot analysis, then continue with historical structure analysis about the situation of religions livelihood on Majapahit collapse period as social classes and comparison to find the image of Hindu-Buddha religions and Islam as social structure that was written in letter’s text.
The method which is used to analyze the data in this research is content analysis method. Content analysis method is used to analyze the content of letter’s text. In this, research, content analysis method is used to examine only for the content of letter’s text, without the communication content analysis (the commands which are received by the reader) from letter’s text.
Hindu-Buddha followers appreciated the other human, (ix) Hindu-Buddha followers have love. Hindu-Buddha have not many negative images.
There are three points the positive image of Islam wihich were sign by their followers attitude include (a) Islam followers were perseverance persons, (b) Islam followers were also criticize the weakness of Hindu-Buddha, and (c) Islam followers kept their devotion. The image of Islam were dominant negative in Arus Balik. The negative image of Islam is force their rules.
The negative image of Islam followers described in five points include (i) Islam followers enjoy to did some humiliation, (ii) Islam followers were also enjoy to did humiliation fellow Islam followers, (iii) Islam followers used their religion as justification, (iv) Islam followers had not solid faith, and (v) Islam followers enjoy to did some violence.
Pramoedya’s world view which was describe in Arus Balik tell if the image of Pram’s Islam was close with anarchism and fanatism. Hindu-Buddha exist as the religion that was better for Nusantara culture, especially Java and mixed until make peace for the people in Nusantara in general.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv
KATA PENGANTAR……… v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. vii
ABSTRAK... viii
ABSTRACT... x
DAFTAR ISI... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Manfaat Penelitian ... 10
1.5 Tinjauan Pustaka……….. 11
1.6 Landasan Teori... 12
1.6.1 Teori Struktural dan Teori Alur ... 12
1.6.2 Strukturalisme Genetik... 15
1.6.3 Citra... 18
1.6.5 Agama Hindu-Buddha ... 20
1.6.6 Agama Islam ... 23
1.6.7 Citra Pemeluk Agama………. 24
1.7 Metode Penelitian ... 25
1.7.1 Pendekatan ... 25
1.7.2 Metode Penelitian ... 25
1.8 Teknik Pengumpulan Data……….. 27
1.9 Sumber Data………. 28
1.10 Sistematika Penyajian………... 28
BAB II ANALISIS ALUR NOVEL ARUS BALIK... 30
2.1 Tahap Penyituasian……….. 30
2.2 Tahap Pemunculan Konflik………. 33
2.3 Tahap Peningkatan Konflik………. 74
2.4 Tahap Klimaks……… 135
2.5 Tahap Penyelesaian……….. 139
2.6 Rangkuman……….. 143
BAB III SITUASI KEHIDUPAN KEAGAMAAN DALAM MASA KERUNTUHAN MAJAPAHIT ... 145
3.1 Kehidupan Agama pada Masa Majapahit……… ... 149
BAB IV CITRA AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM
NOVEL ARUS BALIK………. . 168
4.1 Citra Agama Hindu-Buddha……… 170
4.1.1 Citra Positif Agama Hindu-Buddha………... 171
4.1.2 Citra Negatif Agama Hindu-Buddha……….. 200
4.2 Citra Agama Islam………... 200
4.2.1 Citra Positif Agama Islam……….. 201
4.2.2 Citra Negatif Agama Islam………. 205
BAB V PENUTUP... 252
5.1 Kesimpulan ... 252
5.2 Saran... 255
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dunia sastra merupakan sebuah wadah seni yang dapat memberi kepuasan
ataupun pengetahuan yang diterima oleh pembaca melalui refleksinya terhadap karya
sastra, realitas, dan imajinasi. Hanya saja, yang membedakannya dengan seni yang
lain adalah sastra memiliki aspek bahasa (Semi, 1984:39).
Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif
pengarang. Dalam proses ini dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang.
Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi
pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Sumardjo
(1979:65) yang mengatakan karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan
terhadap kehidupan sekitarnya. Novel sebagai salah satu genre sastra juga merupakan
produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi,
dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan kembali fenomena kehidupan
(Sardjono, 1992:10).
Selain berhubungan dengan masyarakat, karya sastra juga dapat bersumber
dari peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah juga merupakan motivasi seorang pengarang
untuk menciptakan karya sastra. Menurut Kuntowijoyo (2006: 171), objek karya
sastra adalah realitas, apa pun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang.
mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa yang imajiner dengan maksud
untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua,
karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran,
perasaan, serta tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga
karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa
sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Seorang pengarang novel sejarah dapat menggunakan masa lampau yang luas
untuk menolak atau mendukung suatu interpretasi atau gambaran sejarah yang sudah
mapan. Hal ini juga dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disingkat
Pram) dalam novelnya berjudul Arus Balik. Arus Balik adalah sebuah novel sejarah
yang mengangkat Nusantara dalam segala kejayaannya sebagai kesatuan maritim.
Peristiwa sejarah yang diangkat Pram adalah masa pascaruntuhnya Majapahit sampai
pendudukan Portugis di Nusantara.
Arus Balik bercerita tentang seorang anak desa, Galeng, yang terlibat dalam
arus kekuasaan dan intrik politik yang mengatasnamakan agama di kerajaan
Nusantara. Galeng hidup di desa Awis Krambil, salah satu desa di bandar Tuban yang
merupakan pecahan dari runtuhan kejayaan Majapahit. Galeng yang menjadi juara
gulat dan diangkat menjadi Syahbandar muda Tuban, memiliki seorang istri, Idayu,
penari cantik yang juga menjuarai kompetisi tari di Tuban. Pasangan ini menjadi
pujaan dalam masyarakat Tuban sehingga mereka dianggap sebagai turunnya Dewa
Kamajaya dan Dewi Kamaratih di atas bumi Tuban. Galeng dan Idayu menjadi ikon
dianggap telah merosot pamornya karena tidak berjuang mengembalikan kejayaan
Majapahit, tetapi mengubah bandar Tuban menjadi bandar perdagangan.
Galeng dan Idayu terseret dalam dunia kekuasaan dan politik sejak Galeng
dipilih menjadi Syahbandar Muda Tuban. Padahal, cita-cita pasangan ini hanyalah
menjadi petani biasa di desanya. Sebagai Syahbandar Muda Tuban, Galeng
diwajibkan untuk ikut mengurus segala sesuatu mengenai Tuban termasuk keamanan
Tuban dari serangan saudara sendiri ataupun serangan dari bangsa luar.
Ketika Nusantara bergelut dengan kenyamanan perdagangan, arus zaman pun
berbalik. Arus yang selama ini bergerak dari selatan (kejayaan Nusantara) ke utara
(dunia luar), berganti haluan menjadi arus dari utara (bangsa /dunia luar) ke selatan
(Nusantara). Bangsa-bangsa asing mulai melakukan pelayaran dan memonopoli
bandar-bandar perdagangan di Nusantara. Bangsa-bangsa yang datang dari utara ini
telah menaklukkan Malaka yang merupakan bandar terpenting di Nusantara. Hal ini
mengancam keberlangsungan perdagangan di Nusantara. Arus pemikiran yang
mengatakan bahwa kekuatan Majapahit merupakan kekuatan yang paling kuat di
bumi ini menjadi terbalik ketika melihat keperkasaan bangsa yang datang dari utara
(Portugis) bersama meriamnya yang mengalahkan cetbang Majapahit.
Secara perlahan, arus kekuasaan yang berpusat di selatan (Jawa), mulai
digeser oleh kekuasaan utara (Portugis). Malaka dan Pasai pun telah dikuasai oleh
Portugis. Hal ini seharusnya mendapat perlawanan dari Tuban yang merupakan sisa
armada terkuat pasukan Majapahit. Akan tetapi, Adipati Tuban tidak memerangi
perdagangan. Otak Adipati yang penuh dengan perdagangan ini tidak mendapat
respon dari masyarakat Tuban yang telah antipati kepada Adipati.
Perlawanan pertama terhadap Portugis malah dilakukan oleh kerajaan Demak
di bawah panji Adipati Unus. Demak dengan bantuan dari kerajaan-kerajaan kecil di
Jawa pun mulai menyerang Portugis di Malaka. Salah satu pasukan bantuan tersebut
adalah pasukan Tuban dengan Galeng di dalamnya yang akan menyusul dari
belakang pasca-pemberangkatan pasukan Demak. Demak terdesak oleh taktik
Portugis. Adipati Unus menunggu kedatangan pasukan Tuban yang dijanjikan akan
menyusul akan tetapi sia-sia karena pasukan Tuban sengaja diperlambat
keberangkatannya oleh Adipati Tuban. Imbasnya, pasukan Demak
diporak-porandakan oleh Portugis. Serangan Demak gagal total akibat perilaku Adipati
Tuban. Galeng pun bingung akan sikap Adipatinya yang tidak ksatria.
Dimulai dari peristiwa itulah, Galeng menginjakkan kakinya dalam
hiruk-pikuk politik dan kekuasan. Galeng memiliki harapan, yaitu kembalinya kejayaan
Majapahit di Nusantara. Intrik politik yang terjadi pascapenyerangan Adipati Unus ke
Malaka membuat Galeng sadar kalau kekuatan yang ada sekarang adalah kekuatan
agama Hindu-Buddha, agama Islam, dan Portugis. Pergulatan juga terjadi dalam
keluarganya. Idayu, sang isteri yang cantik jelita menjadi objek sasaran dari Adipati
Tuban dan Syahbandar Tuban, yang menyukai Idayu. Klimaksnya adalah
pemerkosaan yang dilakukan oleh Syahbandar Tuban, Sayid Habibullah setelah
terlebih dahulu membius Idayu. Idayu pun melahirkan anak hasil perbuatan
Di lain sisi, Rangga Iskak mantan Syahbandar Tuban yang dipecat secara
sepihak oleh Adipati Tuban, melakukan pergolakan di daerah pedalaman Tuban.
Pengaruhnya pun mulai meluas hingga ia dapat menghimpun kekuatan dari berbagai
desa di bawah nama Islam, seperti dalam kutipan berikut.
“ Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan, dan penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana kehendaknya. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada tanganku, kalian harus tujukan meriam itu kepada kafir Jawa, kafir Peranggi, dan kafir apa saja” (Pramoedya, 1995: 307).
Dalam kutipan di atas, terlihat bagaimana Rangga Iskak membawa agama
sebagai pembenaran tindakannya untuk melakukan pergolakan. Selanjutnya, Rangga
Iskak menamakan dirinya Sunan Rajeg dan berniat membalas dendam kepada Adipati
Tuban. Perang saudara pun terjadi. Patih Tuban yang ditugaskan oleh Adipati untuk
mengatasi pemberontakan Sunan Rajeg, tidak juga melakukan pergerakan. Hal ini
dikarenakan kekecewaan Patih atas sikap Adipati yang tidak mengambil tindakan
tegas dari dulu sehingga pergolakan Sunan Rajeg tidak akan terjadi. Melihat Patihnya
yang hanya ceramah tentang Adipati dan tidak melakukan pergerakan, Galeng yang
pada saat itu telah berposisi sebagai kepala pasukan laut pun membunuh Sang Patih
dan mengangkat dirinya sebagai Senapati sekaligus Patih Tuban. Galeng memimpin
pasukan Tuban memerangi pasukan Sunan Rajeg. Galeng pun meraih kemenangan.
Galeng meraih kejayaannya bersama sorakan masyarakat Tuban yang semakin
memberi hormat kepadanya. Tuban bersorak.
Di lain pihak, Demak di bawah komando Fatahillah mulai menyerang
Trenggono sebagai pengganti Adipati Unus untuk mengusir Portugis di Malaka
belum juga terbukti. Hal ini membuat ibunya, Ratu Aisah membentuk armada
gabungan untuk melakukan penyerangan ke Malaka karena lawan sesungguhnya
adalah Portugis bukan kerajaan tetangga. Armada gabungan ini terbentuk antara
armada Jepara, Aceh, Bugis, Lao Sam, dan Tuban. Pemimpin pasukan gabungan ini
adalah Galeng yang telah memenangi perang saudara di Tuban.
Mengingat kesempatan untuk mengusir Portugis datang, Galeng yang telah
memutuskan untuk menjadi petani, kembali tergerak untuk meneruskan cita-cita
Adipati Unus yang pernah dikhianati oleh Adipatinya. Akan tetapi, kejadian ini hanya
trik rencana dari Demak agar Tuban sebagai pusat sisa kejayaan Majapahit di Jawa
kosong dan dapat ditaklukkan. Penyerangan Galeng ke Malaka dengan armada apa
adanya dan tanpa persenjataan yang lengkap gagal total. Demak pun menyerang
Tuban, akan tetapi masih dapat ditahan oleh pasukan Tuban di bawah komando Patih
baru, Kala Cuwil. Dalam peristiwa ini, Adipati Tuban tewas.
Di tengah kesibukan Tuban mencegah penjajahan yang akan dilakukan
Demak, Portugis kembali menyerang Tuban. Tuban jatuh ke tangan Portugis. Galeng
pun pulang ke Tuban. Karena karismanya, Galeng masih dianggap sebagai Senapati
Tuban oleh pasukan dan masyarakat Tuban. Ia pun menyiapkan peperangan untuk
merebut kembali Tuban. Dengan taktiknya, Galeng dapat merepotkan Portugis dalam
serangan mendadaknya. Portugis kalah, Tuban pun mendapatkan kembali
Masyarakat Tuban melihat kembali sosok Gajah Mada dalam diri Galeng.
Dengan perjuangannya yang heroik dan dapat memberi perlindungan pada seluruh
masyarakat Tuban, ia diminta untuk menjadi pemimpin Tuban yang dianggap dapat
mengembalikan arus yang telah terbalik sehingga mencapai kejayaan yang dulu
pernah dilakukan oleh Gajah Mada. Akan tetapi, Galeng menolak anggapan dan
harapan tersebut karena dia beranggapan kalau dari awal dia hanyalah seorang anak
desa yang selamanya akan menjadi anak desa. Galeng menyerahkan Tuban kepada
seluruh kepala pasukan Tuban dengan memberi nasihat-nasihat hidup seperti yang
dilakukan oleh Rama Cluring, Pendeta panutan Galeng dan Idayu.
Intrik politik dan kekuasaan yang ada dalam novel Arus Balik ini juga dihiasi
dengan idealis agama. Agama dijadikan suatu pembenaran dari perbuatan manusia
penganutnya. Hal ini sangat tergambar dalam novel Arus Balik. Sebagai contoh,
kejadian pergolakan yang terjadi di pedalaman Tuban yang dilakukan oleh Rangga
Iskak. Rangga Iskak selalu mendoktrin massanya melalui ceramah-ceramah kepada
pengikut-pengikutnya di pedalaman desa. Ia menjelekkan agama selain Islam dan
orang-orang yang menganutnya serta mengharuskan agar hanya ada Islam di
Nusantara, seperti dalam kutipan berikut.
Hal ini membentuk suatu gambaran Islam melalui perilaku dan sikap dari
penganutnya maupun ajarannya. Islam digunakan sebagai pembenaran dalam merebut
atau menguasai suatu daerah.
Dalam novel Arus Balik, Pram juga membuat suatu benturan yang terjadi
antara agama Hindu-Buddha dan agama Islam sebagai citraan agama Hindu-Buddha
dan agama Islam. Ini dipaparkan melalui alur dan dialog-dialog antartokoh yang
menjurus pada bentrokkan idealis agamanya masing-masing. Di sini, terlihat
bagaimana superiornya Islam dan bagaimana Islam sebagai ajaran yang paling mulia
mengizinkan umatnya menumpas umat agama lain, serta bagaimana keegoisan Islam
untuk mengislamkan Nusantara.
Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengangkat novel Arus
Balik dengan gambaran agama yang ada di dalamnya sebagai objek kajian. Penulis
akan mengkaji bagaimana tindak laku para penganut agama serta benturan antara
agama Hindu-Buddha dan agama Islam yang secara tidak langsung memberi
gambaran atau citra mengenai agama Hindu-Buddha dan agama Islam.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan strukturalisme genetik
yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Lucian Goldmann. Ratna menjelaskan
bahwa strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis
strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Dibanding
strukturalisme murni, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh dari karya, yaitu
ke struktur sosial (Ratna, 2004: 121) Jadi, strukturalisme genetik meneliti struktur
analisis lebih pada struktur kemaknaan dari persesuaian karya tersebut dengan
struktur sosial yang ada di dalamnya.
Dalam hal ini, analisis struktur yang akan dikaji oleh penulis adalah alur
cerita Arus Balik. Hal ini dikarenakan alur ceritalah yang sangat potensial
menggambarkan benturan agama yang secara tidak langsung juga membentuk citra
agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Penulis juga akan memberi gambaran
keadaan atau kehidupan keagamaan di Nusantara, khususnya di Jawa pascaruntuhnya
Majapahit sebagai struktur sejarah dan kelas-kelas sosial dalam konsep strukturalisme
genetik. Sedangkan, struktur sosial yang akan dianalisis dari novel Arus Balik adalah
agama melalui citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam yang ada dalam novel
Arus Balik. Citra ini digambarkan melalui benturan yang terjadi antara agama
Hindu-Buddha dan agama Islam serta perilaku atau sikap dari masing-masing penganut
agamanya dalam novel Arus Balik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah unsur alur yang ada dalam novel Arus Balik?
1.2.2 Bagaimanakah situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan
Majapahit?
1.2.3 Bagaimana citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut .
1.3.1 Menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana alur dari novel Arus
Balik.
1.3.2 Mendeskripsikan bagaimana situasi kehidupan keagamaan dalam
masa runtuhnya Majapahit.
1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana citra agama
Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Dalam dunia sastra, khususnya sastra Indonesia, penelitian ini dapat
menambah khazanah kritik sastra, khususnya kritik sastra
strukturalisme genetik.
1.4.2 Dari segi praktis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan
apresiasi kesusastraan Indonesia khususnya novel sejarah Arus
Balik.
1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pembaca sastra untuk
meninjau kembali fenomena sejarah dalam novel-novel sejarah yang
1.4.4 Penelitian ini juga dapat menjadi referensi studi sejarah, khususnya
sejarah perkembangan agama Hindu-Buddha dan agama Islam di
Indonesia pascaruntuhnya Majapahit.
1.5 Tinjauan Pustaka
Novel ini pernah diresensi oleh Christanty (2003) dengan judul Arus Balik
dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer. Dalam tulisannya, Christanty berusaha
melihat kelemahan-kelemahan yang ada dalam novel Arus Balik, di antaranya adalah
novel ini bertolak dari kota pelabuhan Tuban, yang tak sebanding dengan kebesaran
Majapahit apalagi Sriwijaya. Novel ini seolah mengatakan seluruh perubahan iklim
modal dan politik Nusantara bertumpu pada sebuah kota kadipaten. Di samping itu,
Pram selaku penulis hanya melebih-lebihkan kejayaan Majapahit sebagai kerajaan
laut terbesar di Nusantara dengan menyampingkan kejayaan kerajaan Sriwijaya yang
lebih berjaya di atas laut dari pada Majapahit. (www.forums.apakabar.com).
Di samping itu, ada sebuah penulisan skripsi yang mengkaji novel Arus Balik
sebagai bahan penelitiannya. Krisnanto (2005) dengan judul skripsi Aspek-Aspek
Sejarah dalam Novel Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer, Suatu Tinjauan
Historis memfokuskan penelitiannya dengan menganalisis struktur novel dan mencari
keterkaitan antara sejarah yang terjadi pada novel dengan fakta sejarah yang terjadi di
Nusantara pada abad XV-XVI Masehi (www.digilib.upi.com).
Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang menganalisis novel Arus Balik
secara tidak langsung membentuk citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam
novel ini sebagai objek kajiannya. Hal inilah yang membuat penulis menganalisis
citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik.
1.6 Landasan Teori
Dalam hal pengambilan teori untuk penelitian ini, penulis hanya
menggunakan teori sebagai kerangka berpikir, bukan sebagai dasar dalam
memecahkan rumusan masalah. Teori tersebut, yaitu teori struktural dan teori alur,
teori strukturalisme genetik, konsep citra, agama, agama Hindu-Buddha, agama
Hindu, agama Buddha, agama Islam, dan citra agama.
1.6.1 Teori Struktural dan Teori Alur
Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan kajian strukturalisme
genetik, maka penulis harus terlebih dahulu melakukan analisis struktural. Analisis
struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya
sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984 :
135).
Pradopo juga menambahkan bahwa, novel merupakan sebuah struktur.
Struktur di sini dalam arti bahwa novel itu merupakan susunan unsur-unsur yang
bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling
kumpulan atau tumpukan hal-hal yang berdiri sendiri melainkan hal yang saling
terkait, saling berkaitan dan saling bergantung (Pradopo, 1987 : 18).
Pendapat itu telah diperkuat oleh pendapat Sudjiman yang mengatakan bahwa
antara tokoh, alur dan latar dan tema itu saling kait-mengait. Unsur-unsur itu tidak
bisa berdiri sendiri. Ada interaksi antara unsur-unsur itu (Sudjiman, 1988 : 40).
Dalam analisis struktur dari novel Arus Balik, penulis memfokuskan
penelitiannya hanya pada analisis alur yang ada dalam novel Arus Balik. Hal ini
dikarenakan alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan peristiwa benturan
antara agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Lalu, penulis akan menganalisis
struktur sosial teksnya yang berupa citra agama lama (Hindu-Buddha) dan agama
Islam yang ada dalam novel Arus Balik.
1.6.1.2 Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita (Aminuddin,
1991 : 83).
Sudjiman (1988: 30) menambahkan jika alur merupakan peristiwa-peristiwa
yang diurutkan untuk membangun tulang punggung cerita. Peristiwa-peristiwa tidak
hanya meliputi yang bersifat fisik seperti cakapan/ lakuan, tetapi juga termasuk
Semua peristiwa yang terjadi dalam sebuah teks sastra tidak selalu
dimasukkan dalam tahapan alur, hanya peristiwa-peristiwa yang potensial yang dapat
menjalankan sebuah alur cerita saja. Peristiwa-peristiwa ini juga disebut dengan
peristiwa penting. Peristiwa penting adalah kejadian-kejadian yang mempengaruhi
gerak sebuah alur cerita. Dalam sebuah teks sastra, peristiwa penting ini berkembang
dengan sifat yang saling terkait sehingga menciptakan sebuah alur cerita. Untuk
menganalisis sebuah alur cerita, maka yang harus dirurut dan dianalisis hanya
kejadian-kejadian yang termasuk dalam peristiwa penting saja.
Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu,
baik dikemukakan secara eksplisit maupun emplisit. Jadi, alur memiliki
tahapan-tahapan yang berisi peristiwa-peristiwa penting yang terurut menurut unsur waktu
yang ada dalam cerita tersebut.
Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima
tahapan, yaitu (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating
circumstances atau tahap pemunculan topik, (3) tahap rising action atau tahap
peningkatan konflik, (4) tahap climax atau tahap klimaks, dan (5) tahap denouement
atau tahap penyelesaian.
Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan
situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian
informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang
Tahap pemunculan konflik adalah tahapan munculnya konflik. Konflik itu
sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap
berikutnya. Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan ketika konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar
intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin
mencengkam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149).
Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai titik
intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu
klimaks. Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak
penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang
lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya
diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150).
1.6.2 Strukturalisme Genetik
Menurut Ratna (2004: 121), strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar
penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur
intrinsik. Dibanding strukturalisme murni, strukturalisme genetik melangkah lebih
jauh dari karya, yaitu ke struktur sosialnya. Faruk (1994: 19) menambahkan bahwa
strukturalisme genetik menganggap struktur karya sastra merupakan struktur
kemaknaan, artinya karya sastra berkaitan dengan usaha manusia memecahkan
Strukturalisme genetik dikembangkan oleh sosiolog Perancis, Lucian
Goldmann atas dasar ilmu sastra seorang Marxis lain yang terkenal, Georg Lukacs.
Secara definitif, strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan
perhatian terhadap asal-usul karya. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah
teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang beberapa konsep yang tidak
dimiliki oleh teori sosial yang lain, misalnya ; Simetri atau Homologi, kelas-kelas
sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia (Ratna, 2004 : 123).
Konsep homologi dipinjam melalui kekayaan biologi, dengan asumsi
persamaan struktur sebab diturunkan melalui organisme primitif yang sama. Dalam
strukturalisme genetik, homologi memiliki implikasi dengan hubungan bermakna
antara struktur literer dengan struktur sosial. Untuk memahami konsep kelas-kelas
sosial, strukturalisme genetik menganggap kelas sebagai salah satu indikator untuk
membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh pengarang, sehingga peneliti
memfokuskan perhatiannya semata-mata terhadap kelompok yang dimaksudkan.
Sejajar dengan konsep kelas-kelas sosial, Goldmann juga mengintroduksi
konsep transindividual. Transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi
dengan struktur mental kelompok. Konsep pandangan dunia juga dijelaskan oleh
Goldmann. Menurutnya, pandangan dunialah yang memicu subjek untuk mengarang.
Identifikasi pada dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya.
Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti
mengetahui kecendrungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku
Teeuw menambahkan strukturalisme genetik berasumsi bahwa karya sastra
dapat diterangkan melalui strukturnya dengan varian dari homologi atau
persesuaiannya dengan struktur sosial (Teeuw, 1984: 153). Dengan konsep
pandangan dunia yang ada dalam strukturalisme genetik, peneliti dapat
membandingkan pandangan dunia yang ada dengan data-data dan keadaan sosial
masyarakat yang ada dalam karya tersebut. Karya sastra dapat dipahami asal
terjadinya (genetic) dari latar belakang sosial tertentu. varian strukturalisme
Goldmann disebut strukturalisme genetik yang menerangkan karya sastra dari
homologi atau persesuaiannya dengan struktur sosial (Teeuw, 1984: 153).
Struktur sosial dalam teks Arus Balik yang akan dianalisis adalah citra agama
Hindu-Buddha dan agama Islam. Dalam hal ini, citra agama dapat dikatakan sebagai
sumber kegenetikan dari teks Arus Balik. Struktur sosial ini yang menjadi struktur
kemaknaan dari teks Arus Balik, yaitu bagaimana usaha manusia dalam teks tersebut
untuk memecahkan atau menjalani persoalan-persoalan sosial yang ada, salah satunya
agama. Dalam hal ini, kehidupan agama dalam teks tersebut dapat menjadi
gambaran-gambaran persoalan sosial yang dialami sebuah masyarakat. Gambaran kehidupan
agama ini terlihat dalam citra agama Hindu-Buddha dan Islam dalam teks Arus Balik.
Setelah mengetahui citra agama sebagai struktur sosial dalam teks, baru dapat
disimpulkan hal mengenai pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia pengarang
dalam konsep strukturalisme genetik adalah yang memicu subjek untuk mengarang.
Identifikasi pada dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya.
menginterpretasikan sebuah dunia ke dalam karyanya sesuai kadar kemampuan
pengarang tersebut. Dengan kata lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok
tertentu berarti mengetahui kecendrungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang
mendasari perilaku sosial sehari-hari (Ratna, 2004: 126).
Jadi, setelah mengetahui citra agama Hindu-Buddha dan Islam sebagai
struktur sosial dari teks, dapat diketahui pandangan dunia dari pengarang tersebut.
Dalam hal ini, dapat digambarkan bagaimana Pram memandang sebuah sejarah dalam
teks Arus Balik khususnya bidang agama. Pandangan dunia yang terambil dari
analisis citra agama ini juga difungsikan sebagai kegenetikan dari teks Arus Balik.
1.6.3 Citra
Citra adalah gambar atau rupa (Poerwadarminta, 1976: 207). Citra juga
merupakan rupa, gambar atau gambaran. Dalam dunia kesusastraan, citra dapat
berarti kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase,
atau kalimat, dan juga merupakan unsur dasar yang yang khas dalam karya prosa dan
puisi (Kridalaksana, 1995:192). Dalam dunia sastra, citra merupakan kesan mental
atau bayangan visual yang dihadirkan pengarang dalam sebuah karya sastra meliputi
individu (tokoh) maupun kelompok sosial. Gambaran inilah yang akan membentuk
sebuah image mengenai kesan mental atau suatu bayangan visual yang dideskripsikan
pengarang melalui karyanya. Kesan mental atau bayangan visual ini dapat dilihat dari
sikap fisik, batiniah, maupun pemikiran dari individu (tokoh cerita) maupun sebuah
1.6.4 Agama
Agama adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dan sebagainya)
serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan
kepercayaan tersebut (Poerwadarminta, 1976: 18). Agama lahir, berkembang dan ada
berdasarkan iman kepada Tuhan. Dalam artian tertentu, agama berasal dari Tuhan dan
merupakan anugerah bagi umat manusia. Dalam arti tertentu pula, agama juga
merupakan usaha manusia. Oleh karena itu, agama sejauh dihayati tidak dapat
dilepaskan dari manusia yang menghayatinya.
Dalam hal ini, manusia memiliki segi-segi positif dan negatif, segi terang dan
gelap, kecenderungan baik dan jahat. Dalam menghayati agamanya, manusia juga
dapat menghayatinya secara otentik dan tidak otentik, baik dan buruk, benar dan tidak
benar. Pada tingkat masyarakat, agama dapat merupakan faktor harmoni dan
disharmoni, pemersatu dan pemecah belah, serta perkembangan dan pemandegan
(Hardjana, 2006: 5).
Agama tidak hanya dapat didekati lewat ajaran-ajaran atau lembaga-lembaga
nya, tetapi juga dapat didekati sebagai suatu sistem sosial. Sudarmanto menambahkan
bahwa agama dapat menjadi ideologi bila ritus yang merupakan simbol religius
digunakan sebagai pembenaran sejarah khususnya pembenaran kekuasaan
(Sudarmanto,1987: 44). Jadi, agama dapat juga dijadikan landasan pembenaran dalam
1.6.5 Agama Hindu-Buddha
Di dalam bagian ini akan dibicarakan mengenai Hindu-Buddha. Penggunaan
Hindu-Buddha dikarenakan kedua agama ini memang berjalan bersama-sama di
Indonesia. Karena perkembangan kedua agama ini sedemikian rupa, hingga secara
teori tak ada lagi perbedaan antara Siwa dan Buddha (Hadiwijono,1971: 99).
Masa Majapahit secara khusus menjadi masa ketika puncak sinkretisme
agama. Ada tiga aliran agama hidup secara rukun dan damai, yaitu Siwa, Wisnu, dan
Buddha Mahayana. Ketiganya itu dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam
dari kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sebagai sama nilainya. Mereka
digambarkan sebagai patung Harihara, yaitu patung setengah Siwa dan setengah
Wisnu. Siwa dan Buddha juga mengalami hal yang sama. Tak ada perbedaan antara
konsep dharma dan kenyataan terakhir menurut Siwa dan Buddha. Di dalam buku
“Kunjara Karna”, bahkan disebutkan tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun
Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan apa yang sebenarnya satu,
yaitu Siwa-Buddha. Demikianlah keyakinan bahwa Siwa-Buddha adalah satu Tuhan
adalah tuntutan pertama bagi kelepasan (Hadiwijono, 1971: 111-112).
Peleburan antara Hindu-Buddha, khususnya Siwa-Buddha juga terlihat dalam
kitab Sutasoma yang menggambarkan sebuah cukilan peristiwa. Peristiwa tersebut
bercerita mengenai kemarahan Kalarudra yang hendak membunuh Sutasoma, titisan
Buddha. Para dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkannya
perihal Buddha dan Siwa tidak dapat dibeda-bedakan. Keduanya, sekalipun disebut
adalah sama dengan Siwatattwa (hakikat Siwa). Tidak akan ada dua dharma. Kedua
dewata itu adalah sama. Selanjutnya dianjurkan pada orang-orang untuk
merenungkan Siwa-Buddha-tattwa, sebagai hakikat Siwa-Buddha (Hadiwijono, 1971:
112).
Uraian menurut Hadiwijono memperlihatkan jika pada masa Majapahit terjadi
puncak sinkritisme agama. Peleburan terjadi antara Hindu dan Buddha. Bukti
nyatanya adalah dengan adanya konsep Siwa-Buddha karena dianggap satu dharma.
Peleburan inilah yang menjadi patokan jika Hindu-Buddha mengalami peleburan dan
hal ini berkembang hingga ke masyarakatnya.
Dalam penelitian novel Arus Balik ini, agama Hindu-Buddha menjadi sebuah
kesatuan yang diyakini oleh masyarakat dan berakulturasi secara dinamis dengan
budaya Nusantara. Hindu-Buddha menjadi pusat ajaran dalam berperilaku bagi
masyarakat Nusantara sebelum masuknya agama baru, yaitu Islam. Agama Siwa,
Brahma, dan Wisnu yang terus berkembang merupakan salah satu gambaran jika
Hinduisme menjadi agama mayoritas pada masa Majapahit (Mulyana, 1979: 199).
Penulis juga menggunakan istilah Hindu-Buddha dikarenakan Pram sebagai
pengarang Arus Balik tidak memberi batasan pasti apakah referen yang digunakannya
adalah Hindu atau Buddha untuk menyampaikan pemikiran para tokoh-tokoh
ceritanya. Hindu-Buddha digunakan sebagai peleburan agama yang terkadang disebut
Pram dengan istilah agama lama sebagai oposisi agama baru, Islam. Jadi,
melebur karena kesamaan diantaranya. Agama Hindu-Buddha juga menjadi agama
yang dipercaya masyarakat Nusantara pada zamannya sebelum masuknya Islam.
1.6.5.1 Agama Hindu
Agama Hindu adalah agama yang berlandaskan pada kitab Weda sebagai inti
ajaran-ajarannya. Agama Hindu mengandung adat-istiadat, budi pekerti, dan
gambaran kehidupan orang-orang Hindu. Agama ini juga disebut dengan agama
Brahma yang wujudnya berupa suatu kekuatan besar yang mempunyai daya pengaruh
tersembunyi yang memerlukan amalan-amalan, ibadat seperti membaca doa-doa,
menyanyikan lagu-lagu, pemujaan, dan pemberian korban-korban (Shalaby,
2001:18).
Shalaby (2001:19) juga menjelaskan bahwa agama Hindu lebih merupakan
suatu cara hidup dari pada merupakan kumpulan kepercayaan. Sejarahnya
menerangkan mengenai isi kandungannya yang meliputi berbagai kepercayaan
mengenai hal-hal yang boleh dilakukan dan yang harus dilakukan.
1.6.5.2 Agama Buddha
Agama Buddha adalah agama yang berpusat pada ajaran sang Buddha,
Sidharta Gautama. Agama Buddha lahir dari pemikiran Sidharta atas kehidupan dan
penolakannya terhadap sistem perkastaan yang ada dalam agama Hindu.
Buddha dalam bahasa Sanskerta artinya pengetahuan yang sempurna. Jadi,
Buddha bukanlah nama yang khusus tetapi gelar bagi tiap-tiap orang yang telah
Buddha menekankan agar manusia berusaha untuk tidak menyakiti dan
sebanyak mungkin memberi pertolongan kepada orang lain. Esensi ajaran Buddha
tercakup dalam tiga kaidah dari jalan ; pelepasan yang pasti, hati yang mengabdi, dan
kebijaksanaan dalam menyadari kekosongan (sunyata) (Chodron, 1990: 2).
Sang Buddha menyebarkan ajarannya dengan banyak cara karena makhluk
hidup (semua makhluk yang memiliki pikiran tetapi belum menjadi Buddha,
termasuk juga di alam-alam kehidupan yang lain) mempunyai watak, kebiasaan, dan
minat yang berbeda-beda. Buddha tidak pernah mengharapkan setiap manusia cocok
dengan satu bentuk, sehingga ajarannya pun diberikan dalam banyak cara dan dalam
beragam cara melatih diri (Chodron, 1990: 3-4). Jadi, Buddha sangat menyesuaikan
pengajaran agamanya dengan budaya dan watak masyarakat sekitar yang ada.
1.6.6 Agama Islam
Agama Islam adalah agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad
(Poerwadarminta, 1976: 388). Almirzanah mengatakan bahwa agama Islam
merupakan agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
Nabi Muhammad sebagai rasulnya (Almirzanah, 1997: 6)
Konsep bahwa nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul cukup
sentral dalam sistem kepercayaan Islam (Madjid, 2007: 16). Kaum Muslim, apa pun
madzhabnya dan firqahnya, bersepakat dalam keyakinan bahwa rasul-rasul Allah
yang dikirim kepada umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad. Dalam surat
agamamu, lengkaplah untukmu nikmatKu dan Aku (Allah) rida bagimu Islam
sebagai agama” (Via Madjid, 2007: 35).
Dasar Islam adalah mengatur perhubungan manusia dengan Tuhan dan
mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Jadi, nyatalah Islam tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat karena mengatur hubungan antarmanusia dan tidak
dapat dipisahkan dari negara karena negara juga mengatur hubungan manusia dengan
sesama manusia (Lubis, 1982: 31).
1.6. 7 Citra Pemeluk Agama
Citra pemeluk agama adalah gambaran atau sketsa mengenai pemeluk suatu
agama. Agama menjadi objek dalam pembentukan sebuah citra, subjeknya adalah
pemeluk agama dan ajaran-ajaran agama itu sendiri. Citra agama dapat dibentuk oleh
ajaran agama itu sendiri dan bagaimana para pemeluk agama tersebut
mengimplementasikan ajaran-ajaran agamanya. Perilaku seorang umat dapat
memberikan atau membentuk sebuah citra pada agama itu sendiri, terlepas apakah
citra tersebut positif atau negatif.
Penulis memfokuskan citra agama dalam dua kategori, yaitu citra positif dan
citra negatif. Citra positif adalah gambaran suatu agama ketika agama tersebut dinilai
baik atau memberi dan membawa kebaikan pada individu, masyarakat, dan
komunitas agama yang lainnya. Citra positif dapat dibentuk oleh perilaku atau cara
bersikap para pemeluk agamanya sendiri. Pembentukan citra agama yang positif
mengimplementasikan ajaran-ajaran agama tersebut pada kehidupan realitas maupun
religiusitas.
Kebalikan dari citra positif, citra negatif adalah gambaran suatu agama jika
agama tersebut dinilai jelek atau tidak membawa kebaikan bagi individu, masyarakat,
dan komunitas agama yang lainnya. Citra negatif dapat terbentuk karena image atau
gambaran dari ajaran agama tersebut. Citra negatif juga dapat terbentuk bila para
pemeluk agama tersebut hanya membawa “kejelekan”, “kericuhan” atau bahkan
“kekerasan” bagi individu, masyarakat atau komunitas agama yang lainnya.
1.7 Metode Penelitian
Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.
1.7.1 Pendekatan
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik mengkaji analisis struktur sebuah
karya sastra dengan persesuaian struktur sosial yang ada di dalamnya. Secara
definitif, strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu
sendiri dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek
transindividual, dan pandangan dunia (Ratna, 2004: 127).
1.7.2 Metode Penelitian
Metode berasal dari kata Yunani meta, berarti ‘dari’ atau ‘sesudah’, dan
atau mengejar suatu tujuan (Basuki, 2006: 92). Metode dapat didefinisikan sebagai
cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud atau juga cara kerja
sistematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan (Basuki, 2006:93).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis isi. Metode
analisis isi adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi
tersebut yang menjadi objek prioritas yang akan dianalisis. Misalnya, karya sastra,
maka yang akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang
ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.
Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi
komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah,
sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi
yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan
isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan
konsumen (Ratna, 2004: 48). Analisis isi laten akan menghadirkan arti, sedangkan
analisis isi komunikasi akan melahirkan makna.
Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Dasar penafsiran
dalam analisis isi adalah menitikberatkannya pada isi dan pesan. Oleh karena itu,
metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode analisis isi yang
menganalisis isi laten dari sebuah naskah. Dalam upaya ini, penulis akan
isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari naskah tersebut. Data-data
yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tujuan untuk memaparkan secara tepat
bagaimana alur cerita dan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam teks
Arus Balik.
Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah,
pertama menganalisis struktur novel Arus Balik yang berupa analisis alur ceritanya.
Kedua, memberi gambaran mengenai keadaan atau kehidupan keagamaan di
Nusantara, khususnya Jawa pasca runtuhnya Majapahit. Hal ini dilakukan sebagai
bahan bandingan atau referensi untuk memudahkan pemahaman dalam menganalisis
citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Ini juga berguna sebagai pembahasan
kelas-kelas sosial yang ada dalam Arus Balik. Ketiga, menganalisis struktur sosial
yang ada dalam Novel Arus Balik berupa citra agama Hindu-Buddha dan agama
Islam. Pada bagian akhir, penulis akan membahas pandangan dunia pengarang
mengenai citra agama dalam Arus Balik. Ketiga langkah tersebut, dapat memberi
gambaran penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu penelitian yang
berorientasi penuh pada isi novel Arus Balik (isi laten novel Arus Balik).
1.8 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data didapat melalui studi pustaka. Teknik tersebut
dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel berjudul Arus Balik,
buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek
Dalam teknik ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak
digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian.
Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung
penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut
dari teknik simak (Sudaryanto, 1993: 133-135).
1.9 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Judul Buku : Arus Balik
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Tahun Terbit : 1995
Penerbit : Hasta Mitra
Halaman : 751 halaman
1.10 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini,
dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini
dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar
balakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, pendekatan, metode penelitian, teknik pengumpulan data,
sumber data dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan analisis struktur alur
mengenai keadaaan atau kehidupan keagamaan di Nusantara pasca runtuhnya
Majapahit. Bab empat merupakan analisis tentang citra agama Hindu-Buddha dan
agama Islam dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Bab lima
BAB II
ANALISIS ALUR NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan kajian strukturalisme
genetik, maka penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis
unsur intrinsik. Penulis memfokuskan analisis strukturnya hanya pada analisis alur
yang ada dalam novel Arus Balik. Hal ini dikarenakan alur ceritalah yang sangat
potensial menggambarkan peristiwa benturan dan citra agama Hindu-Buddha dan
agama Islam.
Penulis menganalisis alur dengan menitikberatkan pada peristiwa-peristiwa
penting dalam urutan waktu yang membentuk alur Arus Balik. Tahapan alur yang
digunakan penulis adalah lima tahapan alur menurut Nurgiyantoro. Nurgiyantoro
membagi tahapan tersebut menjadi tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik,
tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian (Nurgiyantoro,
2007: 149). Analisis alur novel Arus Balik ini akan diuraikan sebagai berikut.
2.1Tahap Situation/ Penyituasian
Tahap penyituasian adalah tahap awal dalam novel Arus Balik. Tahap
penyituasian dalam novel Arus Balik berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan
cerita yang melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap
penyituasian dalam novel Arus Balik adalah sebagai berikut.
Dalam sub judul Di Bawah Bulan Malam Ini, alur dimulai pada abad ke enam
belas Masehi. Deskripsi mengenai situasi laut Jawa dan desa Awis Krambil menjadi
pembuka alur. Situasi laut Jawa yang digulung ombak-ombak besar, memanjang
terputus, mengejajari pesisir pulau Jawa. Di atas lautan Jawa ini, tampak sebuah
perahu peronda yang sedang berlayar. Perahu tersebut memiliki bendera berwarna
merah putih, bendera Tuban (hlm. 1-2).
Pengenalan latar juga beranjak pada deskripsi suasana di desa Awis Krambil,
salah satu desa di kadipaten Tuban. Suasana latar desa Awis Krambil digambarkan
dengan hutannya yang senyap dan berubah jadi hiruk. Sunyi-senyap hanya terjadi di
sebuah ruang balai desa. Semua yang ada hanya memanjangkan leher mendengarkan
lolongan ratusan anjing. Ratusan sumbu damar sewu yang menyala di sepanjang dan
seputar rumah umum itu bergoyang-goyang terkena angin silir (hlm.3)
Di tengah suasana desa Awis Krambil di seputar rumah umum, terjadi dialog
antara rama guru dan pendengarnya yang sebagian besar penduduk desa Awis
Krambil. Ini dipaparkan dalam kutipan berikut.
(1) “Apakah yang akan terjadi, Rama?” kepala desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya.
“Bulan purnama begini, semua indah. Hanya anjing-anjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi mereka. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam”
“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit. Dulu, desa ini dinamai Sumber Raja..” Tiba-tiba suaranya terangkat naik, melengking.
“ Kalian biarkan desa ini dihina oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama Awis Krambil” Ia tertawa sengit (hlm. 3).
Pengenalan tokoh pertama adalah pengenalan terhadap rama guru, Rama
Cluring. Rama Cluring adalah seorang penceramah yang mendatangi desa-desa.
Rama Cluring memiliki postur yang pendek-kecil, berkain dan berkalung kain batik
pula, berdestar putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala Anoman dalam
Ramayana (hlm. 4).
Masyarakat desa Awis Krambil sangat mengenal Rama Cluring. Rama
Cluring merupakan pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi,
berlidah pedang dan berludah api itu. Orang-orang di desa tersebut pun menaruh rasa
hormat pada Rama Cluring (hlm. 4).
Rama Cluring merupakan sosok penceramah yang memiliki karisma dalam
berceramah. Ceramahnya mencakup berbagai hal, tergantung pada respon dari
pendengarnya. Ceramah yang dilakukannya berkisar tentang kemerosotan zaman,
hakikat ajaran Buddha, suasana negeri Atas Angin, kejayaan Majapahit, dan kritikan
mengenai pemerintahan masa sekarang, khususnya Adipati Tuban.
Pengenalan tokoh berlanjut pada pendengar ceramah yang meyakini
ceramahnya, yaitu Idayu dan Galeng. Galeng dan Idayu merupakan salah seorang dari
pendengar ceramah Rama Cluring. Pengenalan pertama dipaparkan ketika salah
seorang pendengar bertanya mengenai pengayoman. Idayu dan Galeng adalah
Pengenalan tokoh Adipati Tuban juga dipaparkan via ceramah Rama Cluring.
Pengenalan awal terhadap tokoh Adipati Tuban dapat dilihat dari sikap Rama Cluring
yang mengkritisi sosok Adipati Tuban yang menjadi seorang pembesar Majapahit
sewaktu muda dan di tangannya juga Majapahit mengalami keruntuhan (hlm. 6).
Ceramah juga mengarah pada ramalan Rama Cluring mengenai akan
terjadinya perang. Perang akan menimpa desa yang sekarang mendengarkan
ceramahnya. Rama Cluring meramalkan jika perang terjadi, itu karena munculnya
budaya baru, dewa-dewa baru, dan bangsa-bangsa dengan warna kulit yang berbeda.
Ini juga diyakini oleh masyarakat Awis Krambil yang telah mendengar ramalan
tersebut dari kakek-kakek mereka (hlm. 10).
Penyituasian yang tampak adalah kegiatan di desa Awis Krambil yang biasa
mendengarkan ceramah dari seorang Rama Guru. Situasi dalam lingkungan ceramah
inilah yang akan memunculkan konflik pertama dalam tahapan alur selanjutnya.
Dalam novel Arus Balik, pengenalan tokoh dan setting cerita tidak dijelaskan
mendetail secara langsung di awal. Hal ini karena novel Arus Balik terbagi dalam
sub-sub judul lagi. Jadi, pengenalan tokoh dan setting cerita akan terus terjadi dalam
tiap sub judul cerita.
2.2 Tahap Generating Circustances/Tahap Pemunculan Konflik
Tahap ini merupakan tahap ketika konflik awal mulai dimunculkan.
dimunculkan. Konflik akan berkembang menjadi konflik pada tahap yang berikutnya
(Nurgiyantoro, 2007: 149).
Konflik dalam alur Arus Balik dimulai dari ceramah Rama Cluring yang
dianggap para pendengarnya yang sebagian besar adalah penduduk desa Awis
Krambil merupakan sebuah pemberontakan. Rama Cluring berceramah kalau para
pendengarnya adalah budak dari Adipati, bukan kawula. Jika mereka adalah kawula
Adipati, maka Adipati akan membantu jika mereka mengalami kesulitan. Fakta yang
terjadi ternyata berbeda. Bagi Rama Cluring, para pendengarnya hanyalah budak dari
Sang Adipati Tuban. Hal ini adalah pemberontakan bagi para pendengarnya karena
menghujat Sang Adipati. Kecaman pun berdatangan, khususnya dari kepala desa
(hlm. 6-12).
Penduduk desa Awis Krambil mejadi ketakutan mendengar hujatan dari Rama
Cluring. Mereka mengetahui jika kuasa Adipati adalah mutlak. Pemberontakan
terhadapnya akan berimbas pada maut. Ini membuat kepala desa mengambil sikap
aman dan meracuni Rama Cluring karena dianggap telah melakukan provokasi
dengan hujatannya pada Sang Adipati (hlm. 15).
Dalam sejarah, belum ada seorang guru pembicara yang diracuni karena
ceramahnya. Ini merupakan suatu kesalahan. Galeng dan Idayu yang meyakini
ceramah Rama Cluring segera mengambil sikap menolong. Rama Cluring dirawat
oleh Galeng dan Idayu. Galeng mengecam orang yang meracuni Rama guru. Galeng
Rama Cluring akhirnya tewas (hlm. 16-17). Konflik inilah yang akan membawa
Galeng dan Idayu menjalani tiap kejadian yang akan membentuk alur Arus Balik.
Konflik tambahan juga muncul di bandar Tuban. Salah satu daerah
kekuasaannya diduduki oleh Demak tanpa ada pernyataan perang terlebih dahulu.
Konflik ini memiliki imbas tersendiri yang juga mengiringi konflik yang dimulai dari
usaha Galeng dan Idayu dalam menyelamatkan Rama Cluring. Pendudukan Demak
atas Jepara dapat dilihat dalam laporan seorang Patragading kepada Patihnya (hlm. 19
dan 25).
Dalam sub judul Tuban, konflik yang lain mulai muncul. Isu kemunculan
bangsa asing di Tuban menjadi fenomena tersendiri. Ini dapat terjadi karena
kapal-kapal asing tersebut memiliki ukuran yang besar dan dengan perlengkapan meriam,
serta datangnya dari jalur selatan Wulungga, jalur keramat. Kapal-kapal asing inilah
yang bisa mengancam perdagangan dari negeri Atas Angin. Ini akan berdampak pada
jalur perdagangan di Tuban. Deskripsi mengenai kapal-kapal asing dan senjata
ampuhnya, meriam, tampak pada laporan Patih kepada Adipatinya. Sang Patih
melaporkan bentuk kapal-kapal asing yang ukurannya jauh lebih besar dan memiliki
kecepatan yang laju, ditambah lagi dengan senjata yang bisa mengeluarkan biji besi
sebagai pelurunya, meriam (hlm. 27-28).
Adipati Tuban terkesan meremehkan kedatangan Peranggi dan Ispanya. Sikap
ini muncul karena Adipati ahli dalam perniagaan. Selama yang dicari oleh Peranggi
adalah rempah-rempah, maka Peranggi dapat diredam secara dagang dan damai.
memikirkan tentang pergerakan Demak, Semarang, Lao Sam, dan Jepara di barat
Tuban (hlm. 37).
Alur cerita berlanjut pada pagelaran seni dan olahraga di Tuban. Acara
tahunan ini merupakan sebuah acara agung yang paling ditunggu-tunggu oleh
masyarakat Tuban. Alur ini dipaparkan melalui sub judul Menjelang Pesta Lomba
Seni dan Olahraga. Pesta ini merupakan ajang perlombaan dalam ketangkasan tubuh
(pria) dan tari (wanita). Desa Awis Krambil pun mengambil bagian dalam acara ini.
Peserta dari desa Awis Krambil adalah Idayu dan Galeng. Mereka merupakan
pemenang dari pagelaran lomba di tahun sebelumnya. Idayu merupakan sosok yang
paling dipuja karena ia telah menjuarai bidang tari pada pagelaran sebelumnya.
Galeng dan Idayu harus mengurungkan niatnya untuk menikah karena diharuskan
untuk mengikuti perlombaan. Galeng dan Idayu akhirnya mengikuti perlombaan
karena ancaman kepala desa atas perbuatan mereka yang mencoba menyelamatkan
Rama Cluring, Sang pemberontak. Inilah imbas dari perbuatan Galeng dan Idayu,
yaitu hukuman dari kepala desa. Bagi kepala desa Awis Krambil, perbuatan
Galeng-Idayu atas usaha untuk menyelamatkan Rama Cluring adalah sebuah pencemaran
(hlm. 39-42).
Pesta lomba seni dan olahraga akan segera digelar. Rombongan desa Awis
Krambil pun telah sampai ke kadipatenan. Di dalamnya, terdapat asrama bagi para
peserta yang akan mengikuti lomba. Dalam asrama, para peserta pria dipisahkan
dengan peserta wanita. Galeng yang berposisi sebagai kekasih Idayu, juga dipisahkan
surat via tokoh Pada yang menjadi perantara hubungan dua kekasih ini. Pada
merupakan seorang bocah yang mengurus keperluan para peserta dan juga merupakan
pengurus di keputrian Sang Adipati. Pada lah yang menjadi perantara pengiriman
lontar antara Galeng dan Idayu (hlm. 46-47).
Desas-desus mengenai Idayu yang akan diperselir Adipati menjadi pokok
pembicaraan di kadipatenan. Kekuasaan Adipati juga yang membentengi Galeng
untuk dapat melarang atau menghambat hasrat Adipati untuk memperselir Idayu,
kekasihnya. Hal inilah yang menjadi gunjang-ganjing di asrama putera dan asrama
puteri, tempat para peserta. Banyak yang memberi iba atas nasib percintaan
Galeng-Idayu yang dibentengi oleh kekuasaan mutlak Sang Adipati. Adipati pun menemui
Idayu dalam sebuah kesempatan. Ini memberi petunjuk kepada massa jika Adipati
serius dalam niatnya untuk memperselir Idayu (hlm. 54-55).
Di tengah pergunjingan tersebut, terdapat peristiwa yang mengejutkan.
Seorang saudagar Arab datang ke Tuban untuk melakukan persembahan pada Adipati
Tuban. Dengan persembahan yang berasal dari empat Raja Islam di Atas Angin,
saudagar itu menawarkan agar Tuban mau ikut serta dalam memerangi Peranggi yang
mulai menguasai daerah-daerah Islam di Atas Angin. Ini juga berguna bagi Tuban,
kerena dapat mencegah datangnya Peranggi ke Nusantara, khususnya Tuban. Empat
Raja Islam di Atas Angin meminta pertolongan Tuban karena Tuban merupakan
Ketakutan para penguasa Negeri Atas Angin (Islam) terhadap Peranggi tidak
terlalu dipikirkan oleh Adipati Tuban. Ia hanya khawatir dengan pergerakan Demak.
Adipati meremehkan Peranggi selama yang dicari Peranggi sebatas rempah-rempah.
Pemikiran Adipati mengenai fenomena Peranggi mengharuskannya untuk
mengambil sebuah kebijakan. Menurut pemikirannya, kebijakan itu harus dapat
meredam keganasan Peranggi sehingga Tuban pun terhindar dari perang. Kebijakan
yang diambilnya adalah mengganti Syahbandar Tuban yang sekarang, Ishak Indrajit.
Ini tampak pada kutipan berikut.
(2) Peranggi dan Ispanya pasti akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai berbahasa Peranggi dan Ispanya. Ia harus diganti. Bangsa dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga Iskak (hlm. 56).
Dari Tuban, alur berpindah ke Malaka. Dalam sub judul Sayid Habibullah
Al-Masawa, dipaparkan peristiwa datangnya Peranggi (Portugis) di Malaka. Malaka
mendapat serangan dari Peranggi. Penyerangan Peranggi ini berhasil, sehingga
Peranggi dapat menduduki Malaka.
(3) Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh dari dermaga. Lubang-lubang bulat pada lambung kapal Portugis mulai terbuka. Moncong-moncong meriam mulai bermunculan dari sebaliknya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut udara dengan besi-besi sebagai matanya. Semua menuju ke bandar Malaka (hlm. 62).
(4) Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati tombak dan pedang dan sorak-sorai. Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso Dalbi- menyerbu dan menduduki Malaka (hlm. 63).