• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi otomatis galur mencit dan tikus menggunakan sequence DNA dengan pendekatan dynamic programming - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Identifikasi otomatis galur mencit dan tikus menggunakan sequence DNA dengan pendekatan dynamic programming - USD Repository"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI OTOMATIS GALUR MENCIT DAN TIKUS MENGGUNAKAN

SEQUENCE DNA DENGAN PENDEKATAN DYNAMIC PROGRAMMING

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Komputer

Jurusan Teknik Informatika

Oleh :

Tulus Wardoyo

NIM : 065314073

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

AUTOMATIC IDENTIFICATION OF STRAINS OF MICE AND RATS BY DNA SEQUENCES USING DYNAMIC PROGRAMMING APPROACH

A THESIS

Presented as Partial Fulfillment of the Requirements

To Obtain the Sarjana Komputer Degree

In Department of Informatics Engineering

By :

Tulus Wardoyo

NIM : 065314073

INFORMATICS ENGINEERING STUDY PROGRAM

INFORMATICS ENGINEERING DEPARTMENT

FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

“Hidup bukanlah perjuangan menghadapi badai, tapi bagaimana tetap menari di tengah hujan.”

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat

karya orang lain kecuali telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka,

sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 9 April 2012,

Penulis

(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Tulus Wardoyo

NIM : 065314073

Demi pengembangan ilmu pengetahuan,saya memberikan kepada perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

IDENTIFIKASI OTOMATIS GALUR MENCIT DAN TIKUS MENGGUNAKAN SEQUENCE DNA DENGAN PENDEKATAN

DYNAMIC PROGRAMMING

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan

data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempublikasikannya di internet

atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya

maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 9 April 2012,

Penulis,

(8)

ABSTRAK

Dalam pengembangan bahan obat diperlukan uji praklinik yang

membutuhkan hewan percobaan bergalur murni. Penelitian ini membangun suatu

sistem indentifikasi secara otomatis tikus dan mencit bergalur murni

menggunakan pendekatan Dynamic Programming. Penelitian ini menggunakan

data sequence DNA 3 mencit dengan berbeda galur, tikus, dan tikus Lemur,

dengan jumlah total 300 sequence DNA mencit dan tikus. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan dengan kombinasi dari 3 metode multiple sequence

alignment dan 2 metode consensus, diperoleh akurasi bervariasi dari yang

terendah yaitu 38,000 % sampai dengan yang tertinggi 81,667 % .

Kata kunci : sequence DNA, Bioinformatika, galur mencit, Dynamic

Programming, sequence alignment, sequence consensus, multiple sequence

(9)

ABSTRACT

In the development of pharmaceuticals needed preclinic trials that require

animal experiments fluted pure. This research builds a system to automatically

identify rats and mice using fluted pure Dynamic Programming approach. This

research uses DNA sequence of data with three different strains of mice, rats, and

Lemurs, with a total of 300 sequence the DNA of mice and rats. Based on the

results of the research conducted with combination of three multiple sequence

alignment method and two method sequence consensus, obtained accuracy varies

from the lowest i.e. 38,000% up to the highest 81,667%.

Keywords : DNA sequence, Bioinformatics, a strain of mice, Dynamic

Programming, sequence alignment, sequence consensus, multiple sequence

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Identifikasi

Otomatis Galur Mencit dan Tikus Menggunakan Sequence DNA dengan Pendekatan Dynamic Programming”. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yangs ebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut

memberikan dukungan, semangat dan bantuan hingga selesainya skripsi ini:

1. Romo Dr. Cyprianus Kuntoro Adi, S.J., M.A., M.Sc. selaku dosen

pembimbing, terimakasih atas segala bimbingan dan kesabaran dalam

mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir

ini.

2. Ibu P.H. Prima Rosa, S.Si., M.Sc selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Ibu Ridowati Gunawan, S.Kom., M.T. selaku kaprodi Teknik Informatika.

4. Bapak J. Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D. dan Bapak Puspaningtyas Sanjoyo

Adi, S.T., M.T. selaku dosen penguji.

5. Seluruh staff pengajar Prodi Teknik Informatika Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Sanata Dharma.

6. Kedua orang tua saya yang tercinta, yang telah memberi dukungan kepada

(11)

7. Eka Permatasari, Siwi Febrianti, Widiyo Sutoto, dan Ferdinandus Andaru

Prima Yudha yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan

skripsi ini, atas dukungan, semangat, dan bantuan.

8. Teman-teman prodi Teknik Informatika angkatan 2006, atas

kebersamaanya selama penulis menjalani masa studi.

9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini jauh dari sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca dan pihak lain yang membutuhkannya.

Yogyakarta, 23 April 2012,

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL (INGGRIS) ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xix

Glosarium ... xx

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah. ... 2

1.3. Tujuan Penelitian. ... 3

1.4. Batasan Masalah. ... 3

1.5. Metodologi Penelitian. ... 3

(13)

BAB II : LANDASAN TEORI ... 6

2.1. Pengenalan Pola Dalam Bioinformatika. ... 6

2.2. Pengertian DNA. ... 7

2.3. Format Fasta dan Format Stockholm. ... 10

2.4. Sequence Alignment.... 13

2.5. Multiple Sequence Alignment. ... 14

2.6. Sequence Consensus. ... 37

2.7. Substitution Matrix. ... 49

2.8. Dynamic Programming. ... 49

2.9. Komplesitas Waktu. ... 59

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 61

3.1. Data Mencit Dan Tikus. ... 61

3.2. 5 Fold Cross-Validation. ... 62

3.3. Proses Training. ... 64

3.4. Proses Testing. ... 65

3.5. Perancangan Sistem. ... 67

3.6. Spesifikasi Hardware. ... 71

BAB IV : IMPLEMENTASI DAN ANALISA HASIL ... 72

4.1. Hasil dan Analisis. ... 72

(14)

4.3. Kompleksitas Waktu Asimptotik. ... 89

BAB V : PENUTUP ... 97

5.1. Kesimpulan ... 97

5.2. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN ... 103

A. Lampiran Proses Preprosesing. ... 104

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur dari nucleotide yang membentuk DNA dalam ikatan kimia

(Sung, 2010). ... 8

Gambar 2.2. Struktur dari 5 basa nitrogen (Sung, 2010). ... 8

Gambar 2.3. Contoh untaian DNA yang dibentuk oleh 5 nucleotide yang saling berikatan, dan itu terdiri dari sebuah backbone phosphate-sugar dan 5 basa (Sung, 2010). ... 9

Gambar 2.4. Sequence DNA dalam Format FASTA. ... 10

Gambar 2.5. Contoh Format Stockholm yang paling sederhana (Eddy, 2005). .. 11

Gambar 2.6. Contoh dari format Stockholm dengan beberapa mark – up. ... 13

Gambar 2.7. Sequence DNA untuk global alignment ... 14

Gambar 2.8. Sequence DNA untuk Local alignment. ... 14

Gambar 2.9. Contoh perhitungan jarak dari P – Distance... 15

Gambar 2.10. Contoh penentuan letak root dari sebuah tree unrooted (Stewart, 2004). ... 17

Gambar 2.11. Tree dari hasil proses neighbor – join dan midpoint (Singh, 2000). ... 18

Gambar 2.12. Sebuah sequence alignment dengan gap. ... 19

Gambar 2.13. Konversi sequence DNA ke sequence profile ... 20

Gambar 2.14. Gambaran proses Multidimensional dynamic programming. ... 21

Gambar 2.15. Gambaran Algoritma Muscle (Edgar, 2004b). ... 22

Gambar 2.16. Gambaran dari subsequencek -mer dengan k = 6. ... 23

(16)

Gambar 2.18. Bagian A menunjukan proses progressive alignment. Sedangkan

bagian B menunjukan proses iterative refinement (Katoh, 2008)... 28

Gambar 2.19. Konversi sequence DNA ke urutan vector 4 dimensi. ... 30

Gambar 2.20. Sebuah contoh dari optimasi segment sequence homolog dengan DP (Katoh, 2002). ... 32

Gambar 2.21. Perhitungan dari Position Weight Matrix (Sung, 2010). ... 37

Gambar 2.22. Markov chains untuk DNA (Attaluri, 2007). ... 38

Gambar 2.23. Model HMM dari kedua koin (Attaluri, 2007). ... 40

Gambar 2.24. Struktur model PHMM (Attaluri, 2007). ... 42

Gambar 2.25. MSA dari alignment DNA (Attaluri, 2007). ... 43

Gambar 2.26. Hasil akhir model PHMM untuk MSA pada gambar 2.25 (Attaluri, 2007). ... 45

Gambar 2.27. Peta rute perjalanan (Wahyujati, 2005). ... 50

Gambar 2.28. Tahapan pencarian rute terpendek (Wahyujati, 2005). ... 51

Gambar 2.29. Solusi terakhir yang merupakan jalur terpendek ... 53

Gambar 2.30. Contoh alignment dari global alignment. ... 54

Gambar 2.31. Contoh alignment dari local alignment... 54

Gambar 2.32. Pengisian gap pinalti dalam matrik. ... 55

Gambar 2.33. Matrik nilai yang sudah terisi. ... 57

Gambar 2.34. Pointer nilai optimal. ... 58

Gambar 2.35. Sequencealignment optimal. ... 59

(17)

Gambar 3.2. Pembagian data 5 fold cross-validation. ... 62

Gambar 3.3. Pembagian data training dan testing pada setiap modelnya. ... 63

Gambar 3.4. Proses Training untuk setiap model. ... 64

Gambar 3.5. Contoh proses pembentukan model/ consensus. ... 65

Gambar 3.6. Proses testing /proses Pengenalan dalam setiap model. ... 66

Gambar 3.7. Contoh proses pengenalan dengan setiap model. ... 66

Gambar 3.8. Halaman Depan /Halaman Menu Utama. ... 67

Gambar 3.9. Halaman Proses Multiple Sequence Alignment. ... 68

Gambar 3.10. Halaman pembentukan sequence consensus. ... 68

Gambar 3.11. Halaman konversi file fasta ke Stockholm... 69

Gambar 3.12. Halaman Pengenalan Tunggal galur mencit dan Tikus. ... 69

Gambar 3.13. Halaman Bantuan Program. ... 70

Gambar 4.1. Grafik akurasi ke – 6 skenario yang sudah dilakukan. ... 76

Gambar 4.2. Implementasi Halaman Depan. ... 79

Gambar 4.3. Implementasi Halaman MSA. ... 80

Gambar 4.4. Implementasi Halaman Consensus. ... 81

Gambar 4.5. Implementasi Halaman Fasta to Stockholm. ... 82

Gambar 4.6. Implementasi Halaman Pengenalan Tikus dan Mencit. ... 83

Gambar 4.7. Implementasi Halaman Bantuan Program. ... 83

Gambar 4.8. Implementasi Halaman open file. ... 84

Gambar 4.9. Implementasi Halaman Save File. ... 84

Gambar 4.10. Eror – Handling Save 1. ... 85

(18)

Gambar 4.12. Eror – Handling Save 3. ... 86

Gambar 4.13. Eror Handling Peringatan pada MSA. ... 86

Gambar 4.14. Eror Handling pada Halaman Consensus 1... 87

Gambar 4.15. Eror – Handling pada Halaman Consensus 2... 87

Gambar 4.16. Progress Bar Perhitungan Jarak. ... 88

Gambar 4.17. Progress Bar Progressive Alignment. ... 88

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kompleksitas Waktu MSA Phylogenetic. ... 21

Tabel 2.2. Kompleksitas Waktu MSA Muscle. ... 27

Tabel 2.3. Probabilitas emission dari profile HMM pada gambar 2.25. ... 44

Tabel 2.4. Probabilitas transisi dari PHMM pada gambar 2.24. ... 45

Tabel 2.5. Jarak tiap node. ... 51

Tabel 2.6. Gambaran pemecahan pada stage 1 ... 52

Tabel 2.7. Gamabaran pemecahan solusi stage 2. ... 52

Tabel 2.8. Perhitungan pencarian solusi stage 3. ... 53

Tabel 2.9. Perbandingan pertumbuhan T(n) dengan n2 ... 60

Tabel 3.1. Confusion Matrix. ... 63

Tabel 3.2. Enam skenario pemodelan /pembentukan consensus. ... 65

Tabel 4.1. Enam skenario kombinasi metode preprosessing. ... 72

Tabel 4.2. Tabel hasil akurasi dari ke 6 skanario. ... 73

Tabel 4.3. Confusion matrix MAFFT – HMMER. ... 77

(20)

Glosarium

Efikasi = Kemampuan obat untuk menghasilkan efek

terapeutik yang diinginkan.

Farmakokinetik = Kerja obat dalam tubuh selama periode waktu,

termasuk proses penyerapan distribusi, lokalisasi,

dalam jariangan biotransformasi dan ekskresi.

Homolog = Gen yang sama dalam struktur dan asal usul

evolusi dengan gen spesies lain.

Isolasi = Extraksi kimia pada subtansi yang tidak diketahui

dalam bentuk dari jaringan.

Kultur = Perkembang biakan mikroorganisme atau jaringan

sel hidup pada media yuang menyebabkan

pertumbuhanya.

Kultur sel = Pertumbuhan sel,

Reseptor = Molekul dipermukaan atau didalam sitoplasma sel

yang mengenal dan mengikat molekul spesifik,

menghasilkan efek khusus dalam sel.

Sintesis = terbentuknya senyawa dengan penyatuan elemen

penyusunnya, dilakukan secara buatan atau

sebagaian hasil proses alami.

Toksis = bersifat racun.

Toksisitas = kualitas bersifat racun, khususnya derajat virulensi mikroba toksis atau racun.

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Pengembangan suatu obat berawal dari sintesis atau isolasi berbagai bahan

untuk memunculkan calon obat. Sebelum calon obat resmi menjadi obat,

diperlukan uji yang sering memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak

sedikit (Sukandar, 2004). Uji yang harus ditempuh oleh calon obat ada dua uji

prakinik dan uji klinik.

1. Uji Praklinik

Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini

diperoleh informasi tentang efikasi ( efek farmakologi), profil farmakokinetik dan

toksisitas calon obat (Sukandar, 2004). Pada uji ini diperlukan hewan yang

bergalur murni /hewan utuh seperti mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster,

anjing atau beberapa uji menggunakan primata.

2. Uji Klinik

Uji klinik merupakan kelajutan dari uji praklinik, setelah calon obat

dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan. Uji klinik

pada manusia perlu melewati proses yang dilakukan oleh komite etik mengikuti

Deklarasi Helsinki. (Sukandar, 2004).

Uji praklinik memerlukan hewan percobaan salah satunya tikus atau mencit.

Melalui tikus bergalur murni dapat diketahui apakah obat tersebut aman, ataukah

(22)

obat dapat dievaluasi. Hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat

diteruskan dengan uji pada manusia. Oleh karena itu sangat penting untuk

mengetahui tikus yang dipakai bergalur murni.

Genom atau cetak biru informasi genetik menentukan sifat setiap makhluk

hidup yang disandi dalam bentuk pita molekul DNA. Melalui perhitungan

sequence alignment informasi makhluk hidup bisa ditentukan. Oleh karena itu

DNA dapat digunakan untuk membedakan galur seekor tikus. Namun analisis

molekul DNA yang dilakukan secara manual seringkali memerlukan waktu yang

lama karena panjangnya sequence DNA. Sebagai contoh DNA mikro organisme

mempunyai panjang sequence DNA 106 karakter (Lesk, 2005). Maka dari itu,

perlu dikembangkan sebuah sistem yang mampu mengidentifikasi sequence DNA

tikus secara otomatis. Penelitian ini akan membangun sistem pengenalan otomatis

berdasar pendekatan dynamic programming. Berdasarkan penelitian yang ada,

metode ini mampu memberikan hasil optimal dalam analisis sequence DNA

(Lesk, 2005).

1.2. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang diatas, masalah dapat dirumuskan berikut :

1. Bagaimana cara merancang sistem yang dapat mengenali sequence

DNA tikus dengan cepat ?

2. Bagaimana cara mengukur kemiripan sequence DNA mencit galur

murni ?

(23)

1.3. Tujuan Penelitian.

Tujuan dari penelitian adalah membangun suatu sistem yang secara otomatis

mampu mengidentifikasi sequence DNA dari 2 jenis tikus dan 3 jenis mencit galur

murni.

1.4. Batasan Masalah.

Sistem yang akan dikerjakan, mempunyai beberapa batasan sebagai berikut :

1. Data yang dibandingkan hanya berupa sequence DNA tikus, dan

mempunyai format data dengan extensi *.fasta atau*. fa.

2. Inputan data dari sistem ini hanya DNA yang telah mengalami proses

sequencing atau sequence DNA.

3. Sistem ini hanya dapat mengidentifikasi atau mengukur kemiripan

sequence DNA tikus saja.

1.5. Metodologi Penelitian.

Metodologi penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Melakukan studi literature, dengan tujuan sebagai berikut :

a. Mempelajari teori sequence DNA analisis.

b. Memahami algoritma – algoritma sequence DNA.

2. Perancangan Sistem.

Setelah memulai tahap literature, selanjutnya dilakukan perancangan

(24)

3. Implementasi.

Tahap ini adalah penerapan disain kedalam bentuk program dengan

memanfaatkan bahasa pemrograman yang ada berdasarkan perancangan

sistem.

4. Pengujian dan Evaluasi.

Menganalisa hasil dari proses indetifikasi atau mengukur kemiripan dari

sistem yang telah dibuat sebelum menentukan kesimpulan.

1.6. Sistematika Penulisan.

Untuk memudahkan dalam penyusunan dan pemahaman isi dari skripsi ini,

maka digunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN.

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan

masalah, tujuan, metode penulisan dan keterangan mengenai sistematika

penulisan.

BAB II : LADASAN TEORI.

Bab ini berisikan berisikan tentang landasan teori yang digunakan dalam

analisis, perancangan dan implementasi program serta penulisan isi dari

pembahasan dan evaluasi hasil penelitian.

BAB III : METODOLOGI.

Bab ini berisi tentang data tikus dan mencit, alur proses training dan

(25)

BAB IV : IMPLEMENTASI DAN ANALISA HASIL.

Bab ini berisi implementasi antarmuka sistem dan analisa hasil pengujian

sistem.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang dapat dipertimbangkan

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada landasan teori ini akan dijelaskan akan dijelaskan secara singkat hal –

hal yang berkaitan dengan identifikasi sequence DNA, metode – metode pre –

prosesing dan metode pengenalan kemiripan sequence DNA dengan algoritma

Needlemen Wunsch.

2.1. Pengenalan Pola Dalam Bioinformatika.

Pengenalan pola adalah disiplin ilmu yang mengklasifikasikan object

berdasar image, berat atau parameter-parameter yang telah ditentukan ke dalam

sejumlah kategori atau kelas (Priatama, 2010). Pengenalan pola meliputi berbagai

aplikasi dan implementasi dalam kasus-kasus di dunia nyata. Salah satu contoh

penerapan dari pengenalan pola yaitu bioinformatika.

Bioinformatika adalah penggunaan matematika, statistik dan metode

komputer untuk menganalisis biologi, biokimia, dan data biofisik (Priatama,

2010). Ilmu ini mengajarkan aplikasi, analisis, dan mengorganisir miliaran bit

informasi genetik dalam sel mahluk hidup. Studi bioinformatika merupakan

perpaduan oleh studi genomik, biologi komputasi, dan teknologi komputer.

Genomik adalah studi yang berhubungan dengan pemetaan, sekuen, dan analisis

genom. Walaupun belum jelas, secara umum Genomik bisa diartikan sebagai

penggunaan informasi genom secara sistematis, dengan data eksperimental baru

(27)

 Bioinformatika dapat membantu menjawab pertanyaan seperti apakah gen

baru dianalisis adalah serupa dengan gen apapun sebelumnya dikenal, apakah

urutan protein yang dapat menunjukkan bagaimana fungsi protein, dan apakah gen

diaktifkan pada sel kanker berbeda dari yang diaktifkan dalam yang sehat sel.

2.2. Pengertian DNA.

Asam deoksiribonukleat (deoxyribonucleic acid), atau biasa disebut DNA,

adalah biomolekul yang berupa asam nucleotide (terdapat dalam inti sel atau

nucleus), yang berfungsi untuk menyimpan informasi genetik suatu organisme

(Putra, 2009). DNA dapat memberi informasi tentang sifat – sifat fisik suatu

organism. Pada manusia DNA mampu memberi informasi mengenai tinggi badan,

warna kulit, golongan darah, ataupun bentuk wajah. DNA tidak hanya

menentukan oleh sifat-sifat fisik saja, ia juga mengendalikan ribuan operasi dan

sistem lainnya yang berjalan di dalam sel dan tubuh. Tinggi rendah atau tekanan

darah yang normal seseorang misalnya tergantung pada informasi yang tersimpan

di dalam DNA ( Yahya,2005). DNA terdiri dari dua untaian yang terjalin bersama,

dan membentuk helix ganda. Dalam setiap untaian terdiri dari molekul kecil yang

dinamakan nucleotide (Sung, 2010).

a. Nucleotide.

Nucleotide adalah komponen yang membangun semua molekul asam

nukleat (Sung, 2010). Struktur nucleotide digambarkan pada gambar 2.1. Setiap

(28)

Gambar 2.1. Struktur dari nucleotide yang membentuk DNA dalam ikatan kimia (Sung, 2010).

 

1. Sebuah pentose Sugar Deoxyribose.

2. fospat yang terkait pada karbon ke – 5.

3. Basa/ basa nitrogen yang terkait pada karbon ke – 1.

Jenis dari nucleotide tergantung pada bentuk struktur basa nitrogen. Basa

nitrogen mempunyai 5 jenis yang berbeda yaitu adenine (A), guanine (G),

cytosine (C), Thymine (T), dan Uracil (U). Gambar 2.2 merupakan struktur kelima basa nitrogen.

Gambar 2.2. Struktur dari 5 basa nitrogen (Sung, 2010).

Walaupun ke – 5 basa berbeda, tetapi masih kelihatan sama. A dan G

disebut purine mempunyai 2 cincin dalam strukturnya, sedangkan C, T, dan U

disebut pyrimidine dan mempunyai satu cincin dalam strukturnya. Dalam DNA

(29)

Nucleotide dihubungkan dengan ikatan glukosa fosfat, sambungan fosfat

terdapat pada sebuah nucleotide yang terikat karbon 5’ ke ikatan karbon 3’ pada

nucleotide lainnya. Hubungan antar nucleotide dinamakan polynucleotide atau

sering disebut sequence DNA. Gambar 2.3 menunjukan sebuah contoh sequence

rantai DNA yang terdiri dari 5 nucleotide ACGTA.

Gambar 2.3. Contoh untaian DNA yang dibentuk oleh 5 nucleotide yang saling berikatan, dan itu terdiri dari sebuah backbone phosphate-sugar dan 5 basa (Sung,

2010).

 

b. Struktur DNA.

Bentuk struktur DNA diawali dari dua penelitian yaitu sebagai berikut :

1. E. Chargaff mengemukakan bahwa konsentrasi dari thymine selalu

sama dengan konsentrasi adenine dan konsentrasi cytosine selalu sama

dengan konsentrasi guanine. Penelitaian ini mendukung kuat untuk

menetapkan bahwa A selalu berpasangan dengan T dan C selalu

berpasangan dengan G (Sung, 2010).

2. X – Ray Diffraction pattern oleh R. Franklin, M. H. F. Wilkins, dan

co - workers. Dari data menunjukan bahwa DNA sangat teratur,

dengan struktur beruntai ganda dengan pengulangan untuk setiap

(30)

Dari dua penelitian tersebut, Watson dan Crick mengemukakan bahwa

struktur DNA berbentuk helix ganda yang didalamnya terdapat rantai

polynucleotide yang terdiri dari sebuah sequence dari nucleotide – nucleotide

yang diikat oleh ikatan sugar-phosphate. Untuk setiap pasangan basa mempunyai

ketetapan bahwa A selalu berpasangan dengan T dan C selalu berpasangan dengan

G (Sung, 2010).

2.3. Format Fasta dan Format Stockholm.

Dalam Bioinformatika terdapat berbagai format data penyimpanan untuk

sequence DNA, RNA, dan Protein. Dalam penelitian ini penulis hanya

menggunakan dua format data sequence yaitu format FASTA dan Stockholm.

1. Format Fasta.

Format FASTA merupakan format yang sangat umum untuk data sequence

dalam bioinformatika. Format ini berasal dari ketetapan dari FASTA, sebuah

program dari algoritma FAST oleh W. R. Pearson (Lesk, 2005). Penulisan

sequence dari format FASTA terdapat dua bagian. Di awali dengan baris diskripsi,

penulisan dalam baris ini harus diawali dengan tanda lebih dari (>). Untuk

penulisan baris diskripsi ini bebas, tetapi harus informatif dengan data

sequencenya dan baris berikutnya berisi sequence DNA. Gambar 2.4 merupakan sebuah contoh dari sequence DNA yang disimpan dalam format FASTA.

(31)

2. Format Stockholm.

Format Stockholm merupakan salah satu format file untuk multiple sequence

alignment. Format ini dipakai oleh HMMER sebagai format standar untuk

multiple sequence aligment. Format Stockholm memiliki dokumentasi secara

detail tentang data yang disimpan didalamnya (Eddy, 2005). Contoh penulisan

format Stockholm ditunjukan pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Contoh Format Stockholm yang paling sederhana (Eddy, 2005).

Terdapat dua bagian utama dalam file Stockholm yang pertama bagian

header yang harus berisi nama format file dan versinya, dan sekarang format

Stockholm baru sampai versi Stockholm 1.0. Bagian kedua dinamakan bagian

sequence alignment. Bagian ini berisi nama sequence, lalu diikuti dengan data

sequence yang telah mengalami proses multiple sequence alignment. Pada baris

terbawah terdapat tanda “ // ” merupakan akhir dari sequencealignment.

Dalam Stockholm yang lengkap terdapat mark – up untuk keterangan

tambahan mengenai sequence alignment. Ada empat macam tipe mark – up dari

(32)

a. #=GF merupakan tanda keterangan untuk tiap file, dalam GF terdapat

beberapa tag untuk memperjelas keterangan yang akan ditulis. Berikut ini

tag dari #=GF :

1 #=GF ID

Merupakan tag identitas alignment yang disimpan. Dalam penulisannya harus satu kata dan unik.

2 #=GF AC

Merupakan tag tambahan dukumentasi yang berupa

angka, sebagai kode dari alignment.

3 #=GF DE

Merupakan tag diskripsi tentang alignment yang disimpan.

4 #=GF AU Merupakan tag untuk menunjukan pembuat alignment.

5 #=GF SQ

Merupakan tag untuk menunjukkan berapa jumlah

sequence yang dsimpan dalam satu file.

b. #=GC merupakan tanda catatan untuk tiap kolom, dan dibawah ini tag dari

#=GC :

1 #=GC RF

Merupakan tag untuk acuan untuk menunjukan consensus dari tiap kolom.

c. #=GS merupakan tanda keterangan untuk tiap sequence. Dalam #=GS

terdapat beberapa tag yaitu sebagai berikut :

1 #=GS AC Merupakan tag accession untuk setiap sequencenya

yang berisi dengan kode angka.

2 #=GS DE Merupakan tag diskripsi, berisi keterangan untuk

menjelaskan untuk setiap sequence.

d. #=GR merupakan tanda keterangan untuk tiap residu atau karakternya. Tag

(33)

untuk menunjukan label consensus dari suatu sequence. Gambar 2.6 merupakan contoh dari format Stockholm dengan beberapa mark – up.

Contoh :

Gambar 2.6. Contoh dari format Stockholm dengan beberapa mark – up.  

2.4. Sequence Alignment.

Sequence Alignment adalah prosedur untuk menjajarkan dua sequence dari

DNA dengan tujuan mencari kesamaan di antara barisan-barisan tersebut atau

untuk membuktikan bahwa kedua sequence yang dibandingkan berasal dari

sequence yang sama (Putra, 2009). Pengukuran kemiripan antar sequence

umumnya menggunakan levenshtein distance/edit distance. Levenshtein distance

adalah menghitung dua string dengan panjang yang berbeda, dan untuk

menemukan kemiripan yang optimal dilakukan “edit operations” (Lesk, 2005).

(34)

karakter dalam kedua sequence. Ada dua macam metode sequence aligment,

yaitu :

1. Global alignment

Global alignment adalah penjajaran dua sequence untuk mencari kemiripan

yang optimal antar sequence pada seluruh sequence (Lesk ,2005).

Contoh :

Gambar 2.7. Sequence DNA untuk global alignment 

2. Local alignment

Local alignment adalah pencarian alignment terbaik dari beberapa

subsequence dengan subsequence yang lain dari sequence yang berbeda.

(Lesk, 2005).

Contoh :

Gambar 2.8. Sequence DNA untuk Local alignment. 2.5. Multiple Sequence Alignment.

Multiple Sequence Alignment (MSA) adalah kumpulan 3 atau lebih

sequence yang disejajarkan sehingga membentuk matrik persegi panjang

(Edgar,2006) .MSA berfungsi untuk membantu menemukan struktur dan

(35)

karakteristik dari protein atau DNA, selain itu juga berfungsi untuk menemukan

sequence leluhur dan itu sering disebut sequence consensus (Sung, 2010). Dalam

pembentukan multiple sequence alignment terdapat beberapa metode. Dalam

penelitian ini, mengunakan 3 metode pembentukan multiple sequence alignment

yaitu MSA Phylogenetic, MSA Muscle, dan MSA MAFFT.

1. MSA Phylogenetic.

MSA Plylogenetic merupakan metode MSA yang digunakan didalam fungsi

di MATLAB. Berikut ini merupakan langkah – langkah algoritma MSA

phylogenetic :

a. Menghitung Jarak antar sequence dengan algoritma p – distance. P –

distance adalah perhitungan ketidaksamaan antara dua sequence yang sudah

mengalami proses pesejajaran dengan algoritma Needleman-wunsch(2.6.3),

dibagi jumlah panjang alignmentnya dengan menghilangkan alignment yang

mempunyai pasangan gap (Lavrov,2011). Berikut merupakan rumus dari p

– distance.

(2 – 1)

Contoh :

(36)

Hasil dari perhitungan dari gambar 2.9 dimisalkan D. Karena sequence

yang berpasangan dengan gap tidak diperhitungkan maka sequence yang

tidak cocok sebanyak 2 sedangkan sequence totalnya sebanyak 5. Sehingga

nilai D adalah 2/5 yaitu 0.4.

b. Membentuk guide tree dengan mencari jarak terdekat antar sequence

dengan algoritma neighbor – join ( NJ ) merupakan algortima pencarian

jarak terdekat dengan mencari nilai minimum dalam distance matrix untuk

membentuk sebuah tree biner tanpa root (Studier, 1988). Algoritma ini

memiliki tahap perhitungan yang pertama mencari jarak terdekat dengan

rumus dibawah ini :

(2 – 2)

Dimana D adalah matrik yang menyimpan jarak antar sequence yang

dihitung dengan p – distance. N adalah banyaknya sequence yang dalam

MSA. S adalah sebuah matrik perhitungan untuk mencari jarak terpendek

dari matrik D. Ri dan Rj adalah jumlah jarak antar sequence dalam satu

kolom i dan j. Berikut ini merupakan rumus untuk mencari nilai R.

( 2 – 3 )

D merupakan matrik dari hasil p – distance, i adalah kolom dari D dan k

adalah banyaknya baris dari matrik D. Membuat node baru u dari dua

sequence yang mempunyai jarak paling pendek, dan setelah itu menghitung

jarak dari node u ke – kedua sequence tersebut. Berikut rumus untuk

(37)

( 2 – 4a )

Dan

( 2 – 4b )

Dui dan Duj merupakan jarak sequence i dan sequence j dengan node u.

seqeuence i dan sequence j merupakan sequence dengan jarak paling dekat.

Dan untuk jarak sequence yang lain dengan node u dirumuskan sebagai

berikut.

(2 – 5 )

Dku merupakan jarak sequence i ke node u, Dik adalah jarak sequence i

dengan sequence k dan Djk adalah jarak sequence j dengan sequence k.

Setelah itu diulang ke persamaan ke (2 – 2) sampai dengan tidak ada node

yang akan digabungkan lagi. Setelah tree terbentuk langkah berikutnya

menentukan root dengan metode midpoint. Midpoint merupakan metode

pencarian root dengan mencari nilai tengah dari kedua cabang yang

jaraknya paling jauh(Stewart, 2004). Gambar 2.10 merupakan gambaran

metode midpoint untuk menentukan root.

Gambar 2.10. Contoh penentuan letak root dari sebuah tree unrooted (Stewart, 2004).

(38)

c. Langkah terakhir membentuk sequence dengan algoritma progressive

alignment. Dalam progressive alignment mempunyai 2 tahap yaitu :

c.1. Sequence weight

Sequence weight merupakan pembobotan untuk setiap sequence. Berat

dihitung dari jarak sequence dengan root, dan bila terdapat dua atau lebih

sequence yang berbagi cabang, maka panjang cabang dibagi sebanyak

jumlah sequence yang didalam cabang. Setelah itu dilakukan normalisasi

berat sehingga maksimum berat adalah 1 (Singh, 2000). Gambar 2.11

merupakan contoh perhitungan dari sequence weight.

Gambar 2.11. Tree dari hasil proses neighbor – join dan midpoint (Singh, 2000).

Untuk menghitung berat sequence yang memiliki sebagai berikut :

Missal hitung berat Hbb_human :

0.81+(0.226/2)+(0.016/4)+(0.015/5)+(0.062/6) = 0.9403

c.2. Multidimensional dynamic Programming.

Multidimensional dynamic programming merupakan proses pencarian

(39)

dynamic programming ini menggunakan algoritma Needleman

Wunsch(2.6.3) yang dimodifikasi dengan affine gap. Dengan catatan untuk

sequence DNA diubah menjadi sequence profile. Pengisian matrik

kemiripan memakai sequence profile dilakukan dengan cara mengalikan

kedua sequence profile dengan substitution matrix(2.5), dimana salah satu

sequence profile harus di transpose lebih dulu. Sebelum proses dynamic

programming sequence profile dikalikan dengan berat/weight masing –

masing sequence (Thompson,1994). Affine gap adalah penentuan nilai gap

pada perhitungan pencarian sequence alignment optimal (Roshan, 2007).

Affine gap dapat dirumuskan sebagai berikut :

1  (2 – 6) 

y merupakan gap pinalti, d merupakan gap pinalti dari pembukaan gap (gap

open), e adalah gap pinalti untuk gap yang ditemukan setelah gap pertama

(extend gap), dan n merupakan panjang dari sequence (Roshan, 2007).

Gambar 2.12 merupakan gambaran dari affine gap.

Gambar 2.12. Sebuah sequence alignment dengan gap.

Sequence profile adalah model matetatis yang mewakili dari satu sequence

DNA atau lebih (Kuznetsov,2010). Gambar 2.13 merupakan contoh dari

(40)

Gambar 2.13. Konversi sequence DNA ke sequence profile

Proses progressive alignment secara keseluruhan dapat dijelas sebagai

berikut:

a. Mencari berat setiap sequence dari tree dengan metode sequence

weight.

b. Mengubah sequence data menjadi sequence profile, lalu dikalikan

dengan berat setiap sequence.

c. Membentuk sequence alignment dengan algoritma Needleman

Wunsch(2.6.3) dari sequence profile yang telah dikalikan.

Hasil dari algoritma Needleman Wunsch(2.6.3) membentuk sequence

profile baru. Setelah itu sequence profile baru akan dihitung lagi dengan

sequence profile yang lain dan begitu seterusnya sampai semua sequence

dihitung. Urutan perhitungan dimulai dari sequence terdekat berdasarkan

(41)

Gambar 2.14. Gambaran proses Multidimensional dynamic programming.

Kompleksitas waktu untuk algoritma multiple alignment ini

ditunjukan pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Kompleksitas Waktu MSA Phylogenetic.

Step O(Time)

Distance Matrix N2L2

Neighbor Join N4

Progressive alignment(satu

iterasi) NLp+Lp

2 = N2+L2

Progressive alignment (total) N3+NL

TOTAL N4+L2

Dimana L adalah panjang sequence dan N merupakan jumlah

(42)
(43)

Gambar 2.16. Gambaran dari subsequencek -mer dengan k = 6.

Sedangkan k – mer distance adalah jarak antar sequence dengan

perhitungan k – mer. Untuk memperjelas k – mer distance ditunjukan

dalam persamaan berikut :

, ∑ min , ⁄min , 1  (2-7)

 

F(X,Y) adalah Jarak antara sequenceX dan sequenceY, τ merupakan k – mer,

misalkan pada gambar 2.16 τ = GAGAAG, nX(τ) dan nY(τ) adalah jumlah

kejadian dari τ dalam sequence X dan sequence Y. Lalu LX dan LY adalah

panjang sequence X dan sequenceY sedangkan k merupakan nilai k dari k

mer.

b. Matrix D1 merupakan klastering dari UPGMA, menghasilkan biner tree

Tree1. UPGMA atau Unweighted Pair Group Method with Arithmetic

means merupakan algoritma clastering untuk pembentuk tree untuk muscle

(Lavrov, 2011). Berikut ini merupakan langkah dari algoritma tersebut.

b.1. Menentukan nilai ni dan nj, dimana untuk menampung jumlah

sequence dalam sebuah node. Untuk awal nilai ni dan nj sama yaitu 1.

b.2. Mencari nilai minimum dari matrik jarak D1, misal jarak minimum

D(i,j) .

(44)

b.4. Menganti i dan j menjadi u,mengupdate jarak matrik yang sudah

disatukan. Persamaan update jarak sebagai berikut :

, , , (2 - 8) 

Dimana ki,j

b.5. Set nu = ni +njuntuk nilai n baru.

b.6. Mengulangi langkah b.1 sampai tidak ada sequence yang digabungkan

lagi.

c. Progressive alignment dibangun dari urutan percabangan Tree1 seperti

progressive alingment di MSA phylogenetic (2.4.1.c).

2.2. Improved Progressive.

Pada tahap draft progressive tree yang dibentuk masih belum optimal. Oleh

karena itu Muscle mnggunakan kimura distance untuk menghitung jarak antar

sequence dan langkah ini dimungkinkan terjadi iterasi. Berikut langkah –

langkahnya.

a. Menghitung jarak sequence dengan kimura distance dari MSA1, yang akan

menghasilkan matrix D2. Kimura distance merupakan perhitungan jarak

antar sequence DNA dengan mempertimbangkan mutasi transition dan

transversion (Mount,2001). Transition lebih jarang terjadi dari pada

transversion. Untuk transition mempunyai 4 cara untuk mutasi yaitu : A

ÅÆ G dan C ÅÆ T, sedangkan transvertion menpunyai 8 cari mutasi

yaitu AÅÆC, AÅÆT, GÅÆT, dan GÅÆC. untuk lebih jelasnya

(45)

Gambar 2.17. Mutasi DNA menurut kimura.

Dalam gambar 2.17 transition = α, dan transvertion = β. Jika Dtransition =

banyaknya frekuensi mutasi transition antara sequence A dan sequence B,

dan Dtransversion = banyaknya frekuensi mutasi transversion antara sequence

A dan sequence B. Maka α dan β mempunyai persamaan sebagai berikut:

1/ 1 2  (2 – 9a)

dan

1 1 2⁄  (2 -9b) 

Lalu untuk mengukur jarak dari kimura sebagai berikut:

, log log  (2 – 9c) 

b. Matrix D2 diklasifikasikan dengan UPGMA, menghasilkan tree biner yang

bernama Tree2.

c. Membandingkan Tree1 dengan Tree2, bila node dalam urutan berbeda maka

akan mengulangi langkah a.

d. Langkah ini sama dengan langkah c pada draft progressive, yang akan

(46)

2.3. Refinement.

Langkah – langkah refinement sebagai berikut :

a. Memisahkan Tree2 menjadi 2 tree dengan cara mencari panjang cabang

yang terdekat dengan root.

b. Menghitung profile untuk setiap sub multiple alignment, dan membuang

kolom yang tidak beri isi karakter DNA.

c. Membentuk multiplealignment baru dari hasil dua sub multiple alignment.

Menggunakan profileprofile alignment. Profileprofile alignment di

muscle menggunakan profile sum-of-pairs (PSP) merupakan penjumalahan

sequence weight dengan substitution matrix skor untuk setiap pasangan

karakter DNA untuk setiap kolomnya (Edgar, 2004). Berikut ini persamaan

untuk menghitung PSP.

∑ ∑ (2 – 10a) 

Dimana

log  (2 – 10b) 

i dan j adalah karakter dari DNA, dan merupakan frekuensi dari i dan

j untuk colom x untuk profile 1 dan y untuk profile 2. Sij merupakan

substitutionmatrix score, dimana pijadalah probabilitas gabungan dari i dan

j yang disejajarkan. Sedangkan pi dan pj adalah probabilitas dasar dari i dan

j. Dalam Persamaan diatas belum menyertakan gap untuk perhitungannya.

(47)

1 1 log ∑ ∑ ⁄   (2 - 11) 

Dimana dan merupakan frekuensi gap dari kolom x untuk profile 1

dan y untuk profile 2.

d. Jika nilai Sum Pair Score meningkat, alignment baru akan disimpan, selain

itu akan dibuang.

Langkah a – d diulangi sampai konvergensi atau sampai semua cabang dari

tree tidak mengalami perubahan lagi. Dan untuk kompleksitas waktu dari Muscle

ditunjukan pada tabel dibawah ini, dimana L adalah panjang sequence dan N

merupakan jumlah sequence.

Tabel 2.2. Kompleksitas Waktu MSA Muscle.

Step O(time)

k – mer Distance Matrix N2L

UPGMA N2

Progressive (satu iterasi) N2 + L2

Progressive (root) N2 log N + NL log N

Progressive (N iterasi + root ) N3 + NL2

Refinement (satu edge) N3 + L2

Refinement (N edge) N4 + NL2

(48)

3. MAFFT

MAFFT merupakan kepanjangan dari Multiple Alignment Fast Fourier

Transform. Pendekatan Fast Fourier Transform digunakan saat proses

progressive alignment berlangsung (Katoh, 2002). Berikut ini langkah – langkah

proses MAFFT terlihat pada gambar 2.18 :

Gambar 2.18. Bagian A menunjukan proses progressive alignment. Sedangkan bagian B menunjukan proses iterative refinement (Katoh, 2008).

Berikut ini merupakan penjelasan langkah diatas :

3.1. Menghitung jarak kemiripan antara dua sequence dengan perhitungan

berdasar jumlah dari pembagian 6 – tuples antara kedua sequence. Untuk

persamaan perhitungan jarak kemiripan antara dua sequence sebagai berikut

:

(49)

Dimana Dij adalah jarak kemiripan antar sequence i dsn sequence j. Tij

adalah jumlah 6 tuples antara sequence i dan j. Tii adalah jumlah 6 tuples

pada sequence i, sedangkan Tjj adalah jumlah 6 tuples pada sequence j

(Katoh, 2002).

3.2. Pembentukan guide tree mengunakan algoritma UPGMA yang

dimodifikasi untuk perhitungan pada pengupdate jarak antar sequence pada

persamaan (2 - 8), diganti dengan persamaan berikut :

, 0,5 , , 1 , ,  (2 -13)

Dimana x =0,1 nilai tersebut berkerja baik untuk menangani perhitungan

sequence yang terpisah (Katoh,2002).

3.3. Progressive Alignment 1

Dalam proses ini mengunakan pendekatan untuk menghitung group to

group alignment dengan pendekatan fast fourier transform (FFT)

correlation untuk pencarian segment sequence homolog (Katoh, 2002).

Berikut ini merupakan langkah perhitungan groupto groupalignment untuk

DNA:

a. Menemukan segment sequence homolog dengan FFT correlation .

Pertama, mengubah sequence DNA menjadi urutan vector 4 dimensi

dari frekuensi A, C, G, dan T dengan setiap nucleotide yang muncul

(50)

Gambar 2.19. Konversi sequence DNA ke urutan vector 4 dimensi.

Setelah itu menghitung correlation untuk setiap nucleotide. Berikut

perhitungan correlation tiap nucleotide.

∑ (2 – 14)

Dimana CA(k) merupakan correlation dari nucleotide A, persamaan

diatas juga berlaku untuk nucleotide lainya. x merupakan sequence x

dengan panjang nx dan y merupakan sequence y dengan panjang ny.

Sedangkan n = (nx + ny) -1, dan k= 0,.., n. Dan x × y merupakan

perhitungan dari Discrete Fourirer Transfroms (DFT) dengan

persamaan sebagai berikut :

(2 – 15)

Persaman diatas merupakan sebuah perkalian discrete fourier

transform dari x dengan inverse discrete fourier transform (Wu,

2007). Berikut ini merupakan persamaan DFT dengan jumlah

sequence sebanyak ak dan panjang sequence dimisalkan n.

, 0

1

(2 – 16a)

(51)

, 0

1

 

(2 – 16b)

Persamaan diatas merupakan perhitungan inverse DFT dari hasil DFT

dengan sequence sebanyak Ak dan mempunyai panjang n. Dan berikut

ini persamaan keseluruhan correlation antara dua sequence DNA:

 (2 - 17)

C(k) adalah correlation antara dua sequence DNA, sedangkan CA(k),

CC(k), CG(k), dan CT(k) merupakan correlation dari nucleotide A,C,G,

dan T.

b. Membagi menjadi sebuah Homology Matrix. Untuk menghasilkan

alignment yang mempunyai segment homolog yang konsisten dari

antara kedua sequence. Sebuah matrik Sij(1 ≤i, j n), n adalah jumlah

dari segment homolog yang telah terbentuk. Jika segment homolog ke

i pada sequence 1, sama dengan segment homolog ke – j dari

sequence 2, maka matrik Sij diisi dengan nilai dari perhitungan

pencarian segmentsequence homolog, dan sebaliknya jika tidak sama

akan diisi dengan nilai 0. Dan dengan Dynamic programming

digunakan untuk membentuk sequence homolog yang optimal dari

segment – segment homolog. Gambar 2.20 merupakan gambaran

pencarian sequence homolog yang optimal dari 5 segment sequence

(52)

Gambar 2.20. Sebuah contoh dari optimasi segment sequence homolog dengan DP (Katoh, 2002).

Dimana anak panah yang tebal menunjukan optimal dari kelima

segment sequence yang homolog.

3.4. Mengukur jarak kemiripan antar sequence dengan kimura distance dengan

rasio transition/transversion 2.0. Untuk menaikan efesiensi dari alignment.

Nilai similarity matrix (kimura distance) dan gap pinalti mengalami

modifikasi sebagai berikut:

(2 -18a)

Dimana

1 ∑    (2 – 18b)

2 ∑ ,  (2 – 18c)

Dimana adalah similarity matrix dari nucleotide yang sudah

dimodifikasi dan a, b adalah karakter nucleotide. Mab adalah similarity

matrix dari kimura distance. Untuk fa dan fb merupakan frekuensi kejadian

(53)

sequence random. Untuk DNA fa dan fb bernilai sama di set dengan nilai

0.25, sedangkan untuk Sa = 0.06.

3.5. Pembentukan guide tree dengan algoritma UPGMA yang telah

dimodifikasi.

3.6. Progressivealignment 2

Dalam progressive yang kedua ini untuk menghitung group to group

dengan homolog matrik, dengan persamaan sebagai berikut :

, ∑ , , , , (2 – 19)

Dimana i dan j merupakan posisi dari sequence n dan sequence m. wn dan

wm merupakan berat sequence ke – n dari group1 dan berat sequence ke – m

dari group2. A(n,i) adalah posisi ke – i dari sequence ke – n dalam group1

dan B(m,j) adalah posisi ke – j dari sequence ke – m dalam group2.

Sedangkan adalah normalisasi dari distance matrik kimura 2 paramater

yang terdapat pada persamaan (2 – 18). Untuk alignment optimal dalam

kedua group dihitung sebagai berikut :

, , , 1 1,, 11 1

1, , 1 1

  

(2 – 20a)

Dimana P(i,j) merupakan nilai akumulasi dari bagian optimal (1,1) ke (i,j),

sedangkan G1(i,x), dan G2(j,y) merupakan gap pinalti yang didefinisikan

dibawah ini :

(54)

Dimana Sop adalah gap open pinalti, (x) adalah jumlah gap yang

dimulai dari posisi ke – x, dan adalah jumlah gap yang berakhir

pada posisi ke – i. Dan Berikut persamaan perhitungannya :

∑ 1 (2 – 20b)

Dan,

∑ 1 (2 – 20c)

Dimana zm(i) = 1 dan am(i)=0, jika posisi ke – i dalam sequence m adalah

gap, jika tidak maka zm(i)= 0 dan am(i)=1, sedangkan wm merupakan berat

sequencem. G2(j,y) dihitung dengan cara yang sama.

3.7. Iterative refinement dengan WSP ( Weight Sum of Pair ).

Pada langkah ini bertujuan untuk menaikan akurasi jarak hubungan antar

sequence dari multiple alignment dengan cara mengevaluasi efek dari jumlah

homolog yang dimasukan dalam alignment (Katoh, 2004). Berikut ini merupakan

langkah – langkah iterativerefinement :

Untuk setiap pasangan alignment di bagi menjadi gap – free segment, dan

banyaknya n untuk menentukan setiap bagian. Informasi dari setiap bagian

disimpan dalam sebuah array, skor S(s,t,n) yang mewakili skor alignment dari

gap – free segment ke – n antara sequence s dan t, L(s,t,n) merupakan panjang

dari segment alignment (s,t,n). P(s,t,n) adalah posisi dalam setiap sequence s dan

t, dan E(s,t,n) adalah importance value yang dihitung seperti persamaan (2 – 21b),

(55)

segment. Misalkan (s,t,p,q) Є P(s,t,n), jika posisi ke – p dari sequence s, disejajarkan posisi ke – q dari sequence t dalam segment alignment (s,t,n).

Nilai frekuensi f(s, p) yang mewakili frekuensi posisi ke – p dalam sequence

s yang terdapat dalam gap – free segment, dihitung sebagai berikut :

, ∑ , ,, , , , , (2 – 21a)

Dimana wt adalah berat dari sequence t. Untuk importance valueE(s, t, n) untuk

segment alignment dihitung sebagai berikut :

, , ∑,, , , , , , , , , , , (2 – 21b)

Lalu menetapkan matrik importanceI(s, t, p, q) antara posisi ke – p dari sequence

s dan posisi ke – q dari sequence t, seperti berikut :

, , , ∑ 0, , (2 – 21c)

Dengan catatan jika (s, t, p, q) ЄP(s,t.n) atau sebaliknya.

Sebuah alignment dari beberapa sequence yang dihasilkan selama prosedur

progressive dan iterative refinement ditunjukan sebagai ‘group’. Untuk align

(56)

normalisasi. wst merupakan berat sequence antara sequence s dan t, dengan

perhitungan sebagai berikut :

, . . ,  (2 - 22) 

Dimana wp = wjk = wst untuk jarak yang tidak langsung berhubungan w(j,x)

adalah jumlah berat sequence j dan x, dimana sequence j dan x langsung

berhubungan. we adalah jumlah berat antara sequence, yang menghubungkan

sequence x dan y. w(y,k) adalah jumlah berat sequence y dan k, dimana sequence y

dan k langsung berhubungan. Sedangkan WI adalah faktor berat yang di set

dengan nilai 2.7.

Untuk mendapatkan align yang optimal, kedua group dihitung dengan

Needleman Wunsch untuk matrik H(…) pada setiap langkah progressive alignment.

Setelah itu alignment yang terbentuk dicari nilai optimalnya, dengan menghitung

Weight Sum of Pairs (WSP) dengan persamaan sebagai berikut :

∑ ∑ , , (2 – 23)

Dimana WSP(A) adalalah berat dari alignment A, N adalah panjang

alignment A. j dan k adalah sequence dalam alignment A. wj,k adalah berat dari

sequence j dan k, sedangkan Sj,k adalah skor dari perhitungan dynamic

programming Needleman Wunsch antara sequence j dan k. Proses iterative

refinement akan diulangi sampai nilai WSP tidak berubah atau konvergen. Untuk

kompleksitas waktu dari MAFFT secara keseluruhan adalah O(NL)+O(N3) =

O(NL+N3). Dimana L adalah panjang sequence dan N merupakan jumlah

(57)

2.6. Sequence Consensus.

Sequenceconsensus atau juga sering disebut dengan sequence Motif adalah

fitur dari efisiensi pengabungan dari sebuah posisi karakter dari beberapa

sequence dengan panjang yang sama. Sequenceconsensus digunakan sebagai pola

yang mewakili dari beberapa sequence (Sung, 2010). Dalam penelitian ini untuk

pembentukan sequence consensus mengunakan dua metode yaitu Positional

Weight Matrix (PWM) dan Profile Hidden Markov Model.

1. Position Weight Matrix (PWM).

Position Weight Matrix merupakan pembentukan sequence consensus

dengan cara menghitung frekuensi dalam setiap posisi dari 4 basa DNA atau

protein yang sudah disejajarkan.Umumnya PWM berukuran matrik 4 × l atau 5 ×

l, dimana l adalah panjang dari sequence alignment. nilai 4 adalah basa DNA

yang terdiri dari A, C, G, T dan berdimensi 5 × l adalah untuk gap bila ada .

Dalam setiap kolom dihitung frekuensi dari A, C, G, T dengan total jumlah setiap

kolom sama dengan 1 (Sung, 2010). Untuk memperjelas proses perhitungan PWM

ditunjukan pada gambar 2.21.

(58)

Kompleksitas waktu dari algoritma PWM adalah O(NL) dimana N adalah

jumlah dari sequence dalam MSA dan L adalah panjang dari sequence MSA.

2. Profile Hidden markov model.

a. Markov chains.

Markov chains adalah serangkain state dengan probabilitas yang

berhubungan untuk setiap taransisi antara state. Probabilitas transisi

dihitung dari arus state yang terdapat pada state sebelumnya. Markov chains

pada sequence DNA ditunjukan pada gambar 2.22, dengan 4 basa DNA

yaitu adenine (A), cytosine (C), guanine (G), dan thymine (T).

Gambar 2.22. Markov chains untuk DNA (Attaluri, 2007). 

Setiap anak panah dalam gambar 2.22 mewakili dari probalitas

transisi dari keempat basa nucleotide. Probabilitas transisi dihitung setelah

mengamati beberapa sequence DNA. DNA markov model adalah first order

markov model saat setiap kejadian tergantung pada kejadian sebelumnya.

Probabilitas transisi ast ( probabilitas transisi dari state sebelumnya dengan

simbol s, dan untuk state sekarang dengan simbol t ) dihitung sebagai

berikut :

(59)

Penjumlahan dari probabilitas transisi untuk setiap statenya sama

dengan 1. Karena terdapat pengabungan probabilitas dalam setiap langkah,

model ini disebut sebagai probabilistic Markov model. Bila sebuah

sequence diketahui probabilitasnya maka untuk sebuah model dihitung

sebagai berikut :

P(x1) adalah probabilitas dari permulaan state dengan simbol x1. P(x1) dapat

dihitung dengan menambahkan begin state dan end state untuk menampung

simbol pertama dan akhir dari urutan.

b. Hidden markov model.

Hidden markov models adalah sebuah model statistik dengan Markov

model yang state – state (transisi state) tidak dapat diamati secara langsung

atau dengan kata lain parameter – parameter tersebut tersembunyi (hidden).

Notasi umum dalam HMM sebagai berikut :

OSequence observasi.

T – Jumlah total simbol dari sequence obsevasi.

N – Jumlah total sate.

α – Alphabet dari model.

M – Jumlah total dari simbol alphabet.

(60)

A – Matrik probabilitas taransisi state.

aij– Probabilitas transisi dari statei ke j.

B – Simbol matrik probabilitas distribusi.

bi(k) – Probabilitas distribusi dari k dalam statei.

λ– Model HMM.

Untuk lebih memahami lebih HMM akan ditunjukan dalam sebuah

kasus dua koin yang terdiri dari satu koin normal dan satu koin bias. Kedua

koin dilempar secara begantian sehingga membentuk sequence observasi O

= {HTHTHH} dimana H mengantikan kepala (head), dan T mengantikan

ekor (tail). Untuk nilai T = 6, N = 2 terdiri dari koin normal dan bias, α =

{HT}, M=2 yang terdiri dari H dan T. Gambar 2.23 menunjukan model

HMM dari kasus ini.

Gambar 2.23. Model HMM dari kedua koin (Attaluri, 2007).

Matrik probabilitas transisi koin normal sebagai state 1 dan bias sebagai

state 2 sebagai berikut :

0.95 0.05

(61)

Dengan kata lain a12 = 0.05 mewakili probabilitas transisi dari state 1

ke state 2. Untuk matrik probabilitas distribusi (B) dari H dan T dari kedua

koin adalah sebagai berikut :

0.5 0.5 0.7 0.3  

Pada baris pertama dalam matrik merupakan probabilitas distribusi

dari (H,T) dalam koin normal, dan baris kedua merupakn probabilitas

ditribusi koin bias. Untuk b1(H) melambangkan probabilitas distribusi dari

H dalam kasus koin normal. Dalam kasus pengambilan secara random

inisialisasi distribusi koin ditentukan sebagai berikut :

0.5 0.5   

c. ProfileHidden markov model.

Pendekatan untuk modeling consensus sequence akan membentuk

sebuah probabilitas model, sehingga dalam pengembangaannya tipe hidden

markov model sangat cocok untuk modeling multiple alignment. Profile

HMM merupakan alipkasi HMM yang terkenal dalam biologi molekuler

saat ini (Eddy, 1996). Profile hidden markov model mempunyai sturktur

(62)

Gambar 2.24. Struktur model PHMM (Attaluri, 2007).

Pada gambar 2.24 struktur model PHMM mempunyai 3 macam state

yaitu match state dilambangkan dengan persegi, insertstate dilambangkan

dalam bentuk diamond dan delete state berbentuk lingkaran. delete State

digunakan untuk null transisi, insert state digunakan untuk gap dari

alignment, dan match state digunakan untuk perhitungan kemiripan dari

state. Match dan insert state merupakan emission state dari PHMM.

Probabilitas emission dihitung tergantung pada frekuensi simbol yang

dipancarkan. Delete state boleh dilewati oleh gap yang ditemukan dalam

MSA dan diberikan pada emissionstate lainnya. Anak panah dalam gambar

menunjukan transisi yang mungkin pada state sekarang ke state selanjutnya.

Dan itu kemudian disebut dengan probabilitas transisi yang menentukan

likelihood dari state berikutnya yang diambil. Berikut ini persamaan

perhitungan probabilitas emission dan probabilitas transisi :

∑   (2 -25a)  dan ∑   (2 – 25b) 

akl merupakan probabilitas transisi dari state k ke state l, Akl adalah jumlah

transisi dari state k ke state l. dan ∑ adalah jumlah total transisi dari state k ke semua state. ek(a) merupakan probabilitas emission dari state k

untuk simbol a. Ek(a) = jumlah kejadian simbol a dalam state k, dan

∑ = jumlah total semua simbol dalam state k. Untuk lebih

(63)

Gambar 2.25. MSA dari alignment DNA (Attaluri, 2007).

Sebuah MSA yang terdiri dari 5 sequence DNA, langkah pertama

yaitu membangun model PHMM dengan menentukan match state dan

insertstate. Pada gambar 2.25 matchstate terdapat pada kolom 1,2 dan 6,

sedangkan insert state terdapat pada kolom 3, 4, dan 5, untuk insert state

ditentukan bila jumlah gap lebih banyak dari pada karakter dalam tiap

kolomya. Probabilitas emission pada kolom pertama sebagai berikut :

(A) = 4/4, C) = 0/4, G) = 0/4, (T) = 0/4

Dalam perhitungan probabilitas emission diatas terdapat banyak nilai

nol. Untuk menggabungkan semua kemungkinan yang muncul perhitungan

harus ditambah probabilitas kecil, sehingga dalam perhitungan tidak

ditemukan nilai nol. Penambahan probabilitas itu disebut “add-one rule

dimana pembilang untuk probabilitas emission ditambah dengan nilai 1 dan

untuk penyebut ditambah dengan jumlah karakter DNA yaitu 4 (Attaluri,

2007). Sebagai contoh (A) = (4+1)/(4+4)=5/8. Dan untuk keseluruhan

perhitungan probabilitas emission dari kasus diatas ditunjukan pada tabel

(64)

Tabel 2.3.Probabilitas emission dari profile HMM pada gambar 2.25.

Lalu untuk pehitungan probabilitas transisi mengunakan perhitungan

pada persamaan (2 – 25a), pada begin state ke matchstate pertama dihitung

seperti dibawah ini.

BM BM ⁄ BM BI BD = 4/(4+0+1) = 4/5

Untuk seluruh kemungkinan dari perhitungan probabilitas transisi juga

mengunakan “add-one rule”. Dalam probabilitas transisi pembilang

ditambah dengan 1, dan penyebut ditambah dengan 3, karena dalam PHMM

terdapat 3 jenis state yang melakukan transisi yaitu matchstate, insertstate,

dan delete state. Sebagai contoh untuk nilai BM 5/8. Dan hasil

perhitungan probabilitas transisi ditunjukan pada tabel 2.2.

(65)

Tabel 2.4.Probabilitas transisi dari PHMM padagambar 2.24.

Akhir dari model MSA pada gambar 2.24 akan seperti burikut ini.

Gambar 2.26. Hasil akhir model PHMM untuk MSA pada gambar 2.25 (Attaluri, 2007).

Model PHMM akhir terdiri dari E (matrik probabilitas emission)

dengan probabilitas emission match dan insert state yang ditunjukan pada

tabel 2.1, dan A (matrik probabilitas transisi) yang berisi transisi dari setiap match, insert, dan delete state yang ditunjukan pada tabel 2.2. Serta jumlah

state dari begin state sampai ke end state (N) adalah 4.

Dalam HMM terdapat 3 masalah yang dibicarakan yaitu :

Gambar

Gambar 4.14. Eror Handling pada Halaman Consensus 1.................................. 87
Gambar 2.1. Struktur dari nucleotide yang membentuk DNA dalam ikatan kimia
Gambar 2.3. Contoh untaian DNA yang dibentuk oleh 5 nucleotide yang saling
Gambar 2.5.  Contoh Format Stockholm yang paling sederhana (Eddy, 2005).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk lain dari mikrofilaria dapat berada terus dalam aliran darah perifer manusia dalam konsentrasi tinggi pada siang hari (diunal sub-periodicity) Penyakit.. ini endemis

Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab

Menindaklanjuti dari hasil penilaian e-seleksi kualifikasi terhadap persyaratan administrasi dan persyaratan teknis kualifikasi untuk Pekerjaan Jasa Konsultansi Kajian

Menjadi Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular berkelas internasional yang mandiri dan bermartabat, untuk mengembangkan keilmuan penyakit jantung dan

( 1 ) teori media dan metodologi dalam konteks Ilmu Sosial berfungsi untuk pengembangan kemampuan intelektual dalam melakukan observasi dan analisis secara sistematis sebagai

terhadap kinerja karyawan PT. Sriwijaya Perkasa Malang. 3) Berdasarkan hasil perbandingan koefisien regresi menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan situasional dalam hal

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru di

(3) The space between the ends of precast units and the vertical faces of supports, or between the ends of solid or hollow core slab units does not exceed 0.25 percent of the length