• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN PERILAKU CYBERSEX DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN PERILAKU CYBERSEX DITINJAU DARI JENIS KELAMIN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PERILAKU

CYBERSEX

DITINJAU DARI

JENIS KELAMIN

OLEH

ELISABET NATALIA GRATIA 80 2009 070

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Salah satu bentuk dari kecanggihan teknologi komputer di bidang komunikasi adalah internet. Tidak hanya situs–situs yang menampilkan informasi yang penting saja, banyak juga bisnis gelap yaitu bisnis seks, salah satunya adalah situs–situs yang berisi pornografi/cybersex. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 di Kota Solo yang berjumlah 80 orang, diantaranya 40 mahasiswa laki-laki dan 40 mahasiswa perempuan yang pernah mengakses muatan pornografi/seksual di internet (cybersex) dan pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian dengan cara menyebar skala. Skala Perilaku Cybersex dari Delmonico & Miller (2003) digunakan yang berisi bentuk-bentuk perilaku cybersex, yaitu online sexual compulsivity, online

sexual behaviour-social, online sexual behaviour-isolated, online sexual spending dan interest in

online sexual behaviour. Analisis data yang digunakan untuk melihat perbedaan perilaku

cybersex pada jenis kelamin tersebut adalah Independent Sample Test. Hasil yang diperoleh dari

perhitungan tersebut adalah nilai t-test sebesar -0,450 (p>0,05). Rata-rata perilaku cybersex

mahasiswa perempuan (5,025) dibandingkan mahasiswa laki-laki (4,65). Kesimpulannya bahwa tidak ada perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin.

(8)

Abstract

One form of sophistication of computer technology in the field of communication is the internet. Not only the sites that display important information, many dark businesses like sex businesses, one is the sites that contain pornographic/cybersex. This study aimed to determine the differences in cybersex behaviour in terms of the sex. The subjects of this study are scholar students from Solo city. Amounting to 80 people, contain 40 male students and 40 female students who has been accessed pornographic/sexuality material from the internet (cybersex) and sampling was done using snowball sampling technique. The sampling technique in this study was done with spreading scale. There is one scale wich used, cybersex behaviour scale from Delmonico & Miller (2003) about the forms of cybersex behaviour, that is online sexual compulsivity, online sexual behaviour-social, online sexual behaviour-isolated, online sexual spending and interest in online sexual behaviour. The analysis of the data that used to see the difference cybersex behaviour to the sex is Independent Sample Test. The result from the calculation is t-test value -0,450 (p>0,05). The average of cybersex behaviour from female students (5,025) compare to male students (4,65). The conclusion is there no difference of cybersex behaviourin terms of the sex.

(9)

1

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini semakin memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari, terutama yang dibatasi oleh jarak, ruang, dan waktu. Salah satu bentuk dari kecanggihan teknologi komputer di bidang komunikasi adalah internet (dalam Pribadi & Putri, 2009). Menurut Surono (dalam Andini, 2009), fasilitas internet ini sangat diminati oleh sebagian besar kalangan pria dan wanita dewasa muda. Mereka memanfaatkan berbagai layanan internet mulai dari menjelajah informasi ilmu pengetahuan, layanan info sekolah ke luar negeri, surat elektronik dan chatting. Sekarang ini chatting dengan banyak orang dari berbagai negara menjadi salah satu kegemaran para dewasa awal. Berkomunikasi di dunia maya juga memberikan keleluasaan karena identitas mereka umumnya dapat dirahasiakan (hanya menggunakan inisial), sehingga mereka dapat bebas mengungkapkan apa saja yang mereka inginkan.

Internet digunakan sebagai media bagi semua orang dari berbagai belahan dunia untuk mengakses informasi apapun sacara mudah dan cepat, serta memudahkan bagi penggunanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa internet mengubah tatanan kehidupan sosial budaya, bahkan lebih ekstrim lagi mampu mengubah pola perilaku seksual para penggunanya karena adanya situs-situs yang berisi pornografi (dalam Pribadi & Putri, 2009). Tidak Sebagaimana yang dinyatakan oleh Barrett dan Rasch (1997) bahwa internet mempunyai sisi gelap, sebagai sarana yang mendukung kejahatan, sebab 80% gambar di internet adalah gambar porno. Berdasarkan data yang dituliskan oleh Papu (2008) bahwa sekitar 1,8 juta warga Indonesia yang sudah mengenal dan mengakses

(10)

2

internet, 50% di antaranya ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka situs porno.

Menurut Cooper (dalam Erawati, Kristiyawati, & Solechan, 2011), cybersex

didefinisikan sebagai penggunaan internet untuk terlibat dalam aktivitas kesenangan seksual, seperti melihat gambar-gambar erotis, chatting tentang seks, saling tukar-menukar gambar atau email tentang seks, dan lain sebagainya yang terkadang diikuti oleh masturbasi. Cooper & Griffin-Shelley (dalam Sari & Purba, 2012), adapun tujuan mereka melakukan hal tersebut adalah untuk kesenangan seksual dan tak jarang dari mereka dapat merasakan orgasme, baik itu hanya dengan berfantasi melalui alam pikiran atau bisa juga diimbangi dengan melakukan onani atau masturbasi. Selain itu Goldberg (2004) mengatakan bahwa banyaknya orang yang menggunakan internet untuk cybersex yang telah meningkat secara dramatis 10 tahun terakhir ini, akan berdampak serius pada dorongan seksual pengguna, bahkan seringkali pengguna tidak mampu menahan dorongan seksualnya karena sajian seks di internet tersebut.

Menurut Suler (dalam Shvoong, 2011), seseorang mengakses situs yang berhubungan dengan seks di internet dengan alasan, yaitu: untuk memuaskan kebutuhan biologisnya dan untuk memenuhi kebutuhan psikis dan sosialnya. Kebutuhan biologis yang dimaksud adalah seks itu sendiri, sedangkan kebutuhan psikis dan sosial adalah kebutuhan untuk berkomunikasi secara mendalam dengan orang lain tentang hal-hal yang berhubungan dengan seks.

Wawancara dengan 2 orang mahasiswa (1 laki-laki dan 1 perempuan), pada bulan Agustus 2013, yang menyatakan bahwa mahasiswa tersebut melakukan perilaku

cybersex pertama kali didorong oleh rasa keingintahuannya. Kemudian dari rasa

(11)

3

selain itu juga karena kesepian, stress. Kemudian menikmati kesenangan yang terlibat dalam aktivitas seksual online dan secara bertahap menghabiskan banyak waktu untuk melakukan cybersex.

Perilaku seseorang dalam mengakses cybersex berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Menurut Delmonico & Miller (2003), terdapat 5 bentuk perilaku cybersex, yaitu: Online sexual compulsivity (perilaku cybersex yang kompulsif/mengenai masalah seksual online), Online sexual behaviour-social (perilaku

cybersex yang terjadi dalam konteks hubungan sosial atau melibatkan interaksi

interpersonal dengan orang lain ketika online, seperti chat room dan email), Online

sexual behaviour-isolated (perilaku cybersex yang terjadi tanpa ada hubungan sosial di

dalamnya, seperti melihat pornografi), Online sexual spending (banyaknya uang yang dikeluarkan individu untuk aktivitas cybersex, seperti bergabung dengan semacam grup seks/website di internet), dan Interest in online sexual behaviour (kecenderungan untuk menggunakan komputer untuk tujuan seksual, seperti bookmarked/menandai situs seksual).

Menurut Cooper & Sportolari (dalam Cooper, Delmonico, Shelley, & Mathy, 2004), ada 3 karakteristik yang menyebabkan individu melakukan aktivitas cybersex

disingkat dengan triple A engine yaitu: accessibility (mengacu pada kenyataan bahwa internet menyediakan jutaan situs porno dan menyediakan ruang chatting yang akan memberikan kesempatan untuk melakukan cybersex), affordability (mengacu pada mengakses situs porno yang disediakan internet dan tidak perlu mengeluarkan biaya mahal), dan anonymity (mengacu pada individu tidak perlu takut dikenali oleh orang lain).

(12)

4

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cybersex menurut Young (dalam Haryanthi, 2001) yaitu faktor yang berasal dari kondisi personal individu (faktor internal), dan faktor yang berasal dari luar diri individu (faktor eksternal). Faktor internal, terdiri dari: faktor kepribadian yaitu tipe kepribadian dan kontrol diri. Faktor ini merupakan faktor internal yang membedakan antara satu individu dengan individu yang lain (Young, 1997). Faktor situasional, yang merupakan faktor yang merujuk pada riwayat kesehatan dan kehidupan seks, faktor ini didukung dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa depresi dapat meningkatkan potensi peningkatan kecanduan internet sebagai salah satu tempat untuk melarikan diri dari kenyataan (Young & Robert, 1998). Jenis kelamin yang termasuk faktor internal yaitu suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari sudut anatomi atau biologis. Sedangkan faktor eksternal, terdiri dari: faktor interaksional yang berasal dari aspek interaksi aplikasi dua arah yang ada didalam internet yang bersifat adiktif, karena memungkinkan adanya interaksi yang dapat membangun suasana kondusif bagi pengguna untuk mencari persahabatan, kesenangan seksual dan perubahan identitas (Young, 1997), dan faktor lingkungan yang berupa faktor pendidikan seks secara formal maupun informal dan juga lingkungan itu sendiri, seperti adanya kontrol sosial sebelum menikah yang berupa agama, keluarga, teman dan masyarakat (Surono, 2000).

Menurut Cooper dan Scherer (dalam Andini, 2009), dalam hal ini yang memiliki jenis kelamin laki-laki sangat menentukan pemilihan media yang digunakan di dalam internet. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan secara biologis dan psikologis antara pria dan wanita. Bila dilihat dari faktor biologis perubahan hormonal pada pria yakni dengan meningkatnya hormon testosteron dapat membangkitkan minat yang tinggi terhadap hal yang berkaitan dengan seksual. Lebih lanjut dijelaskan oleh Dagun (dalam

(13)

5

Andini, 2009) selain itu secara psikis pria umumnya lebih agresif, sangat aktif, sangat berterus terang dan tidak malu untuk membicarakan masalah seks. Berbeda halnya dengan wanita yakni tidak agresif, pasif, merasa tidak bebas untuk membicarakan masalah seks. Berdasarkan hasil penelitian Elmer-Dewit (dalam Rahmawati, dkk., 2002) bahwa 98,9% orang yang melakukan cybersex adalah laki-laki dan 1,1% perempuan.

Hasil penelitian Taufik & Anganthi (2005) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku seks bebas diantaranya penggunaan media pornografi. Hal ini terlihat dari banyaknya subjek yang pernah menggunakan media pornografi. Subjek (laki-laki) yang mengaku telah melakukan hubungan seksual semuanya pernah menggunakan media pornografi. Ditemukan 76% subjek perempuan yang telah melakukan hubungan seksual mengaku pernah menggunakan media pornografi.

Velea (dalam Andini, 2009) menjelaskan mengapa pria menyukai seks maya. Alasannya adalah pria berusaha mencari perlindungan dengan membebaskan diri dari kenyataan. Pada intinya persoalan komunikasi biasanya menjadi penyebab seseorang lari ke dalam dunia seks maya dan umumnya menyerang pria. Dalam hal ini pria memang memiliki kekurangan dalam komunikasi verbal untuk mengemukakan perasaan mereka. Perbedaan mencolok lainnya pria lebih terangsang oleh stimulus visual atau pengamatan, sedangkan wanita lebih kepada stimulus pendengaran. Di internet lebih sering ditemui gambar erotis atau porno dari pada tulisan yang tidak pantas.

Hasil penelitian Jufri (dalam Pribadi & Putri, 2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan permisivitas perilaku seksual antara remaja laki-laki dengan remaja perempuan, laki-laki lebih permisif dibandingkan perempuan. Menurut hasil survey

(14)

6

terbaru yang dilakukan oleh Goodson bersama rekan-rekannya di Texas A & M University terhadap 506 siswa perguruan tinggi pengguna internet, dan hasilnya telah diterbitkan pada jurnal Archieves of Sexual Behavior yang menunjukkan bahwa sebanyak 43,5% siswa mengatakan telah memasuki materi seksual dengan jelas melalui internet. Laki-laki lebih cenderung mencari materi seksual secara terhubung dibandingkan perempuan. Sekitar 56,5% laki-laki betul-betul melakukannya dibanding 35,2% perempuan. Hanya 2,9% dari jumlah siswa secara keseluruhan yang masuk ke materi seksual ini secara teratur dan lebih banyak laki-laki melakukan masturbasi pada saat online (15%). Namun demikian diperoleh data yang cukup mengejutkan yaitu 5,3% perempuan melaporkan telah melakukan hubungan seks dunia maya dengan pasangan

online-nya dibandingkan laki-laki yang hanya 3,1%.

Hasil penelitian Jufri dan sebagian hasil survey Goodson (dalam Pribadi dan Putri, 2009) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap di antara mahasiswa dan mahasiswi perguruan tinggi terhadap seks dunia maya, yaitu ada mahasiswa laki-laki yang bersikap lebih positif (bagaimana mereka menerima cybersex) terhadap fenomena seks dunia maya, namun demikian hasil survey Goodson menunjukkan ada pula mahasiswa perempuan yang bersikap positif terhadap seks dunia maya. Sedangkan survey yang dilakukan oleh Self pada tahun 2000 (dalam Surono, 2001) pada 1100 responden dalam rentang usia 18 – 50 tahun menemukan bahwa 60% dari responden wanita mengaku bahwa mereka pernah menikmati beberapa akses internet yang berkaitan dengan aktivitas seksual, mulai dari situs dewasa, chatting dan mengirim foto erotis. Kondisi ini dilakukan karena melalui internet lebih “private” dibandingkan

dengan meminjam video porno secara langsung. Selain itu, melalui internet, wanita juga tidak takut dianggap murahan oleh pria maupun teman sesama wanita.

(15)

7

Maka berdasarkan uraian fenomena perilaku cybersex, peneliti merasa tertarik untuk meneliti mengenai perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin. Manfaatnya bagi pengguna cybersex, agar dapat memberikan informasi tentang manfaat situs cybersex dan penggunaannya dan memberikan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pornografi.

METODE Desain Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin, menggunakan penelitian kuantitatif komparasi yang menunjukkan ada tidaknya perbedaan berupa angka pada hasil penelitian.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 di Kota Solo, yang pernah mengakses muatan pornografi/seksual di internet. Teknik pengambilan sampel menggunakan snowball sampling, yaitu teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih temannya yang pernah mengakses muatan pornografi/seksual di internet (cybersex) untuk dijadikan sampel, begitu seterusnya. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 80 mahasiswa, di antaranya 40 mahasiswa laki-laki dan 40 mahasiswa perempuan.

Alat Ukur Penelitian

Peneliti menggunakan satu skala, yaitu skala perilaku cybersex. Skala ini menggunakan skala ISST (The Internet Sex Screening Test). ISST disusun oleh Delmonico & Miller (2003). Metode skoring yang digunakan dalam penelitian ini adalah, setiap respon “ya” mendapat skor 1 dan setiap respon “tidak” mendapat skor 0.

(16)

8

Berdasarkan pengujian yang dilakukan sebanyak tiga kali, didapati koefisien korelasi item total yaitu bergerak antara 0,323 sampai dengan 0,688. Dalam penelitian ini ada 7 item yang tidak memiliki daya diskriminasi baik, dan tersisa 16 item yang memiliki daya diskriminasi baik.

Dari hasil uji reliabilitas setelah 7 item yang gugur dihilangkan, diperoleh α = 0,847 maka dapat disimpulkan bahwa skala perilaku cybersex yang digunakan dalam penelitian ini reliabel.

HASIL PENELITIAN A.Uji Asumsi

a. Hasil Uji Normalitas

Sebelum menggunakan uji Independent Samples Test adalah melakukan Uji asumsi, yaitu uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada masing-masing variabel. Data dari variabel penelitian diuji normalitasnya menggunakan metode

Kolmogorov-Smirnov Test. Data dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05.

Tabel 1 Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

PRIA WANITA

N 40 40

Normal Parametersa,,b Mean 4.6500 5.0250

Std. Deviation 3.74542 3.71061 Most Extreme Differences Absolute .145 .146 Positive .145 .146 Negative -.107 -.089 Kolmogorov-Smirnov Z .918 .926 Asymp. Sig. (2-tailed) .368 .358 a. Test distribution is Normal.

(17)

9

Hasil uji normalitas pada Tabel 1 menunjukan bahwa variabel perilaku

cybersex memiliki koefisien Kolmogorov-Smirnov Test pada pria sebesar 0,918,

dan wanita sebesar 0,926 dengan probabilitas (p) atau signifikansi pada pria sebesar 0,368, dan wanita sebesar 0,358 dengan demikian variabel perilaku

cybersex memiliki distribusi normal karena p>0,05.

b. Hasil Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel-sampel dalam penelitian berasal dari populasi yang sama. Data dapat dikatakan homogen apabila nilai probabilitas p > 0,05.

Tabel 2 Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances

Perilaku cybersex

Levene Statistic df1 df2 Sig. .004 1 78 .950

Dari hasil uji homogenitas menunjukan bahwa nilai koefisien Levene Test

sebesar 0,004 dengan signifikansi sebesar 0,950 oleh karena nilai signifikansi lebih dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut homogen.

B.Analisis Deskriptif

Hasil analisis perbedaan kategori perilaku cybersex antara mahasiswa laki-laki dan perempuan, sebagai berikut:

(18)

10

Tabel 3

Kategori Skor Perilaku Cybersex Keseluruhan

No. Interval Kategori Frekuensi % Mean St.

Dev 1. 12 < x 16 Sangat Tinggi 4 5 4,84 3,71 2. 8 < x 12 Tinggi 11 13,75 3. 4 < x 8 Rendah 22 27,5 4. 0 < x 4 Sangat Rendah 43 53,75

Dari Tabel 3 diperoleh data dengan keterangan persentase mahasiswa yang berada pada kategori perilaku cybersex sangat tinggi sebesar 5%, tinggi 13,75%, rendah 27,5%, sangat rendah 53,75%, mean 4,84, dan standar deviasi 3,71. Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam kategori sangat rendah.

Hasil analisis perbedaan kategori perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4:

Tabel 4

Kategori Perbedaan Perilaku Cybersex Antara Mahasiswa Laki-Laki dan Mahasiswa Perempuan

No. Interval Kategori Frekuensi Laki-Laki % Mean Frekuensi Perempuan % Mean 1. 12 < x 16 Sangat Tinggi 2 5 4,65 2 5 5,025 2. 8 < x 12 Tinggi 5 12,5 6 15 3. 4 < x 8 Rendah 10 25 12 30 4. 0 < x 4 Sangat Rendah 23 57,5 20 50

Dari Tabel 4 menunjukkan bahwa 23 mahasiswa laki-laki berada pada kategori perilaku cybersex sangat rendah (57,5%), 10 mahasiswa laki-laki berada pada kategori perilaku cybersex rendah (25%), 5 mahasiswa laki-laki berada pada kategori

(19)

11

perilaku cybersex tinggi (12,5%), 2 mahasiswa laki-laki berada pada kategori perilaku cybersex sangat tinggi (5%). Sedangkan pada mahasiswa perempuan, 20 mahasiswa memiliki perilaku cybersex dengan kategori sangat rendah (50%), 12 mahasiswa memiliki perilaku cybersex dengan kategori rendah (30%), 6 mahasiswa memiliki perilaku cybersex dengan kategori tinggi (15%), 2 mahasiswa memiliki perilaku cybersex dengan kategori sangat tinggi (5%).

Hasil analisis deskriptif pada tiap bentuk perilaku cybersex adalah sebagai berikut:

1) Online sexual compulsivity

Tabel 5.1

Kategori Skor Perilaku Cybersex Online Sexual Compulsivity Secara Keseluruhan

No. Interval Kategori Frekuensi % Mean St.

Dev 1. 1,5 < x 2 Sangat Tinggi 10 12,5 0,57 0,71 2. 1< x 1,5 Tinggi 0 0 3. 0,5< x 1 Rendah 26 32,5 4. 0 < x 0,5 Sangat Rendah 44 55

Dari Tabel 5.1 diperoleh data dengan keterangan persentase mahasiswa yang berada pada kategori perilaku cybersex sangat tinggi sebesar 12,5%, tinggi 0%, rendah 32,5%, sangat rendah 55%, mean 0,57, dan standar deviasi 0,71. Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam kategori sangat rendah.

(20)

12

2) Online sexual behaviour-social

Tabel 5.2

Kategori Skor Perilaku Cybersex Online Sexual Behaviour-Social Secara Keseluruhan

No. Interval Kategori Frekuensi % Mean St.

Dev 1. 2,25 < x 3 Sangat Tinggi 4 5 0,71 0,83 2. 1,5< x 2,25 Tinggi 7 8,75 3. 0,75< x 1,5 Rendah 31 38,75 4. 0 < x 0,75 Sangat Rendah 38 47,5

Dari Tabel 5.2 diperoleh data dengan keterangan persentase mahasiswa yang berada pada kategori perilaku cybersex sangat tinggi sebesar 5%, tinggi 8,75%, rendah 38,75%, sangat rendah 47,5%, mean 0,71, dan standar deviasi 0,83. Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam kategori sangat rendah.

3) Online sexual behaviour-isolated

Tabel 5.3

Kategori Skor Perilaku Cybersex Online Sexual Behaviour-isolated Secara Keseluruhan

No. Interval Kategori Frekuensi % Mean St.

Dev 1. 2,25 < x 3 Sangat Tinggi 14 17,5 1,36 1,02 2. 1,5< x 2,25 Tinggi 19 23,75 3. 0,75< x 1,5 Rendah 29 36,25 4. 0 < x 0,75 Sangat Rendah 18 22,5

Dari Tabel 5.3 data dengan keterangan persentase mahasiswa yang berada pada kategori perilaku cybersex sangat tinggi sebesar 17,5%, tinggi 23,75%, rendah 36,25%, sangat rendah 22,5%, mean 1,36, dan standar deviasi 1,02. Data tersebut juga

(21)

13

menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam kategori rendah.

4) Online sexual spending

Tabel 5.4

Kategori Skor Perilaku Cybersex Online Sexual Spending Secara Keseluruhan

No. Interval Kategori Frekuensi % Mean St.

Dev 1. 3 < x 4 Sangat Tinggi 5 6,25 0,93 0,87 2. 2< x 3 Tinggi 9 11,25 3. 1< x 2 Rendah 40 50 4. 0 < x 1 Sangat Rendah 26 32,5

Dari Tabel 5.4 data dengan keterangan persentase mahasiswa yang berada pada kategori perilaku cybersex sangat tinggi sebesar 6,25%, tinggi 11,25%, rendah 50%, sangat rendah 32,5%, mean 0,93, dan standar deviasi 0,87. Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam kategori rendah.

5) Interest in online sexual behaviour

Tabel 5.5

Kategori Skor Perilaku Cybersex Interest In Online Sexual Behaviour Secara Keseluruhan

No. Interval Kategori Frekuensi % Mean St.

Dev 1. 3 < x 4 Sangat Tinggi 17 21,25 1,26 1,21 2. 2< x 3 Tinggi 14 17,5 3. 1< x 2 Rendah 20 25 4. 0 < x 1 Sangat Rendah 29 36,25

(22)

14

Dari Tabel 5.5 data dengan keterangan persentase mahasiswa yang berada pada kategori perilaku cybersex sangat tinggi sebesar 21,25%, tinggi 17,5%, rendah 25%, sangat rendah 36,25%, mean 1,26, dan standar deviasi 1,21. Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam kategori sangat rendah.

C.Hasil Uji Beda

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji Independent Samples Test

untuk melihat apakah rata-rata satu sampel berbeda dengan sampel lainnya. Tabel 6

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference F Sig. T df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error

Difference Lower Upper Perilaku cyberse x Equal variances assumed .004 .950 -.450 78 .654 -.37500 .83362 -2.03461 1.28461 Equal variances not assumed -.450 77.993 .654 -.37500 .83362 -2.03461 1.28461

Hasil perhitungan uji t-test pada Tabel 6 menunjukkan nilai t sebesar -0,450 dengan signifikansi 0,654 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan perilaku

cybersex ditinjau dari jenis kelamin.

Hasil pengujian uji t untuk tiap bentuk perilaku cybersex:

1. Online sexual compulsivity

Tabel 7.1

Kategori Online Sexual Compulsivity

T Sig. (2-tailed)

(23)

15

Hasil perhitungan uji t-test dari Tabel 7.1 menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan online sexual compulsivity dalam perilaku cybersex

antara mahasiswa laki-laki dan perempuan memiliki nilai t sebesar -0,314 dengan signifikansi 0,754 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin.

2. Online sexual behaviour-social

Tabel 7.2

Kategori Online Sexual Behaviour-Social

T Sig. (2-tailed)

Online sexual behaviour-social -0,134 0,894

Hasil perhitungan uji t-test dari Tabel 7.2 menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan online sexual behaviour-social dalam perilaku

cybersex antara mahasiswa laki-laki dan perempuan memiliki nilai t sebesar

-0,134 dengan signifikansi 0,894 dengan p>0,05 yang berarti tidak terdapat perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin.

3. Online sexual behaviour-isolated

Tabel 7.3

Kategori Online Sexual Behaviour-Isolated

T Sig. (2-tailed)

Online sexual

behaviour-isolated

-0,764 0,447

Hasil perhitungan uji t-test dari Tabel 7.3 menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan online sexual behaviour-isolated dalam perilaku

(24)

-16

0,764 dengan signifikansi 0,447 dengan p>0,05 yang berarti tidak terdapat perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin.

4. Online sexual spending

Tabel 7.4

Kategori Online Sexual Spending

T Sig. (2-tailed)

Online sexual spending -0,513 0,610

Hasil perhitungan uji t-test dari Tabel 7.4 menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan online sexual spending dalam perilaku cybersex

antara mahasiswa laki-laki dan perempuan memiliki nilai t sebesar -0,513 dengan signifikansi 0,610 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin.

5. Interest in online sexual behaviour

Tabel 7.5

Kategori Interest In Online Sexual Behaviour

T Sig. (2-tailed)

Interest in online sexual behaviour

-0,092 0,927

Hasil perhitungan uji t-test dari Tabel 7.5 menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan interest in online sexual behaviour dalam perilaku

cybersex antara mahasiswa laki-laki dan perempuan memiliki nilai t sebesar

-0,092 dengan signifikansi 0,927 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin.

(25)

17

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin diperoleh nilai t hitung adalah sebesar -0,450 (p<0,05), maka dengan demikian hipotesis penelitian ditolak, yang artinya tidak ada perbedaan perilaku

cybersex ditinjau dari jenis kelamin. Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya bentuk

perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin adalah tidak berbeda secara signifikan. Penelitian Delmonico & Miller (2003) menemukan bahwa perilaku cybersex antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan, karena beberapa faktor seperti yang pertama penggunaan internet yaitu antara laki-laki dan perempuan rata-rata pada umumnya menggunakan internet 20 jam per minggu. Selain itu, online compulsive

behaviour antara laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki nilai yang tinggi untuk

variabel tersebut. Selanjutnya berkaitan dengan ketertarikan laki-laki dan perempuan terhadap media seksual online, mereka menemukan bahwa keduanya memiliki ketertarikan pada media seksual online.

Tidak adanya perbedaan perilaku cybersex pada mahasiswa laki-laki dan perempuan bisa disebabkan karena ada faktor lain yang memengaruhi perilaku

cybersex. Young (1997) menjelaskan bahwa kepribadian (tipe kepribadian, dan kontrol

diri, membedakan antara satu individu dengan individu yang lain) dan interaksional (memungkinkan adanya interaksi yang dapat membangun suasana kondusif bagi pengguna untuk mencari persahabatan, kesenangan seksual dan perubahan identitas) juga dapat memengaruhi perilaku cybersex. Surono (2000) juga menambahkan bahwa lingkungan (adanya kontrol sosial sebelum menikah yang berupa agama, keluarga, teman dan masyarakat) juga dapat memengaruhi perilaku cybersex.

(26)

18

Temuan empiris dalam penelitian ini menunjukkan perilaku cybersex secara keseluruhan yaitu laki-laki dan perempuan berada pada kategori sangat rendah yaitu sebesar 53,75% dengan mean 4,84. Untuk perilaku cybersex pada laki-laki berada pada kategori sangat rendah dengan presentase 57,5%, sedangkan untuk perempuan berada pada kategori sangat rendah dengan presentase 50%. Selain itu untuk tiap-tiap bentuk perilakunya, online sexual compulsivity tergolong sangat rendah dengan persentase 55% dan mean 0,57, online sexual behaviour-social tergolong sangat rendah dengan persentase 47,5% dan mean 0,71, online sexual behaviour-isolated tergolong rendah dengan persentase 36,25% dan mean 1,36, online sexual spending tergolong rendah dengan persentase 50% dan mean 0,93, dan interest in online sexual behaviour

tergolong sangat rendah dengan persentase 36,25% dan mean 1,26. Hasilnya tergolong rendah karena bagi sebagian besar remaja, fenomena cybersex dianggap masih sangat tabu dan merupakan perilaku seksual yang tidak lazim untuk diperbincangkan (dalam Sari & Purba, 2012). Akibat adanya pengaruh adat yang sangat melekat di dalam norma kehidupan warga negara Indonesia, berangkat dari pendapat/pengaruh budaya itu tidak mungkin hal-hal yang berkaitan dengan cybersex di bicarakan di muka umum.

Kemungkinan penyebab lain terkait dengan tidak ada perbedaan perilaku cybersex

adalah karena teknik pengambilan sampling yang digunakan oleh peneliti adalah teknik

snowball sampling. Dengan demikian peneliti tidak mengetahui frekuensi subjek dalam

mengakses content cybersex, sehingga karakteristik subjek menjadi bervariasi. Kelemahan penelitian disini mengenai alat ukur perilaku cybersex yang dipakai adalah batasan perilaku cybersex yang digunakan masih belum jelas, misalnya mengenai definisi online sexual compulsivity yang gejala atau karakteristiknya belum jelas.

(27)

19

Kesimpulan dan saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku cybersex

ditinjau dari jenis kelamin.

Saran

Mengingat masih adanya keterbatasan dalam penelitian ini, maka berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, penulis akan memberikan saran-saran yang diharapkan dapat berguna untuk penelitian selanjutnya, sebagai berikut:

1. Bagi Para Mahasiswa

Para mahasiswa diharapkan dapat mengurangi kecenderungan untuk menonton/mengakses situs porno serta dapat menggunakan waktu yang lebih produktif/bermanfaat. Misalnya mengerjakan tugas yang diberikan oleh para dosen, belajar kelompok, serta mengikuti kegiatan-kegiatan di kampus seperti mengikuti seminar, ikut serta dalam kepanitiaan yang diadakan di kampus/universitas.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti lain yang tertarik ingin meneliti dengan topik yang sama, diharapkan lebih memperkaya penelitian ini dengan melihat faktor-faktor yang lain yang mempengaruhi perilaku cybersex, seperti: faktor kepribadian, faktor interaksional, dan faktor lingkungan juga dapat memengaruhi perilaku cybersex.

Populasi maupun tempat penelitian juga dapat diperluas, tidak hanya dalam satu wilayah saja, tapi juga beberapa wilayah lain sebagai pembanding. Dengan demikian, akan dapat diketahui, apakah kondisi, baik lingkungan maupun kebudayaan, di wilayah tertentu akan memengaruhi tinggi dan rendahnya perilaku

(28)

20

cybersex pada mahasiswa, bahkan memungkinkan juga akan terdapat perbedaan

perilaku cybersex antara mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan.

Sebaiknya dalam penelitian selanjutnya di samping melakukan penelitian secara kuantitatif, perlu juga dilakukan penelitian secara kualitatif untuk lebih mengetahui perilaku cybersex yang dilakukan oleh mahasiswa secara mendalam. Serta mencari batasan teori perilaku cybersex yang jelas, sehingga dapat digunakan untuk penelitian berikutnya.

(29)

21

Daftar Pustaka

Andini, I.A.P.S. (2009). Sikap terhadap perilaku seks maya berdasarkan jenis kelamin pada dewasa awal. Diakses tanggal 04 September 2013. (http://ejournal.gunadarma.ac.id/files/journals/7/articles/267/public/267-794-1-PB.pdf)

Barrett, N. (1997). Digital crime, policing the cybernation. London, Kogan Page Ltd. Diakses tanggal 30 Januari 2013.

Carners, P.J., Delmonico, D.L., & Griffin, E.J. (2001). In the shadows of the net. Center

City: Hazelden Foundation.

Cooper, A., Delmonico, D.L., Shelley, E.G., & Mathy, R.M. (2004). Online sexual activity: an examination of potentially problematic behaviors. Sexual Addiction

& Compulsivity. 11. 129-143. Diakses tanggal 7 September 2013

(http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=d48d8faf-b9bc-419e-9385-d84a26dd26ed%40sessionmgr4004&vid=1&hid=4114).

Delmonico, D.L., & Miller, J.A. (2003). The internet sex screening test: a comparison of sexual compulsives versus non-sexual compulsives. Sexual and Relationship

Therapy. 18 (3), 261-276. Diunduh tanggal 19 February 2014

(http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=62671d16-147e-458d-bf494e04c7b4923%40sessionmgr4005&vid=1&hid=4107)

Erawati, G.P., Kristiyawati, S.P., & Solechan, A. (2011). Hubungan antara cybersex dengan perilaku masturbasi pada remaja di sma kesatrian 1 semarang. Diakses

tanggal 24 September 2013.

(http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/article/.../55)

Goldberg, P.D. (2004). An exploratory study about the impacts that seks maya (the use of the internet for several purposes) is having on families and the practices of

marriage and family therapist. (Master’s thesis, Master of Science In Human

Development, Falls Church, Virginia). Diakses tanggal 2 Oktober 2013. (http://Scholar.lib.ut.edu/theses/available/eyd-04262004142455/unrestricte). Haryanthi, L.P.S. (2001). Kecenderungan kecanduan cybersex ditinjau dari tipe

kepribadian. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Papu, J. (2008). Cyber sex, sarana ekspresi. Diakses tanggal 9 September 2013.

(http://lifestyle.okezone.com/read/2008/10/11/24/152914/cyber-sex-sarana-ekspresi)

Pribadi, S.A & Putri, D.E. (2009). Perbedaan sikap terhadap cybersex pada mahasiswa ditinjau dari jenis kelamin. Skripsi (tidak dipublikasikan), Universitas Gunadarma, Fakultas Psikologi, Jakarta, Indonesia. Diakses tanggal 22

September 2013

(30)

22

Rahmawati, D.V., Hadjam, N.R & Aflatin, T. (2002). Hubungan antara kecenderungan perilaku mengakses situs porno dan religiusitas pada remaja. Jurnal psikologi, (1), 1-3.

Sari, N.N. & Purba, R.M. (2012). Gambaran perilaku cybersex pada remaja pelaku cybersex di Kota Medan. Psikologia-online. Diakses tanggal 24 September 2013. (http://jurnal.usu.ac.id/index.php/psikologia/article/.../726).

Surono, A. (2000). Cybersexdi kalangan remaja. Jurnal psikologi, 3.

Taufik & Anganthi, N.R.N. (2005). Seksualitas remaja: perbedaan seksualitas antara remaja yang tidak melakukan hubungan seksual dan remaja yang melakukan hubungan seksual. Diakses tanggal 22 Januari 2014. (http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/455).

Young, K.S. (1997). What makes the internet addictive: potential explanations for pathological internet use. Advance online publication, Paper presented at the

105th Annual Meeting of the American Psychological Association. Chicago.

(http://www.healtyplace.com/Communities/Addictions/netaddiction/articles/habi tforming.htm).

Young, K.S & Robert, C.R (1998). The relationship between depression and internet addiction. advance online publication. Cyber Psychology and Behavior. 1, 25– 28.

(http://www.healtyplace.com/Communities/Addictions/netaddiction/articles/cyb erpsychology.htm).

Shvoong. (2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual. Diakses pada tanggal 30 Januari 2013. ( http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2205685-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kecanduan/).

Gambar

Tabel 1  Uji Normalitas
Tabel 2  Uji Homogenitas

Referensi

Dokumen terkait

Fokus pengembangan aplikasi query fuzzy database ini adalah pada sisi pengukuran tingkat ketepatan suatu query yang diberikan oleh user dapat memetakan dengan tepat

menghidupkan perekomiannya. Perlu dibangun titik-titik suar karena titik koordinat yang baru. Untuk dimaklumi bahwa kondisi eksisting 3 pulau terluar yang ada di Riau,

Bogor Tengah Kota Bogor Keluaran : Bertambahnya Sarana dan Prasarana SKPD. Belanja Pegawai

Penelitian ini dilakukan dengan mengukur daya kirim pada ODP (Optical Distribution Point), daya terima pada ONT (Optical Network Termination) yang ada di

Sedangkan pengertian kemandirian yang penulis maksud disini adalah sesuatu sikap yang menunjukkan bahwa santri tidak lagi bergantung kepada orang lain, ia berusaha dimana

Demikjan daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat digunakan sebagai bu}ti pemenuhan persyaratan bakal calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD

Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam memberikan kepada pemohon perpanjangan HGB yang dimohon- kan perpanjangannya dengan ketentuan dan persya- ratannya, yaitu segala akibat, biaya

Menurut Lestari dan Sugiharto ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari penggunaan aktiva. Dengan kata lain, semakin tinggi