• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENGGUNAKAN FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI. SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENGGUNAKAN FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

SELEKSI

IN VITRO

UNTUK RESISTENSI ABAKA

TERHADAP

F. oxysporum

f.sp.

cubense

MENGGUNAKAN

FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI

ABSTRAK

Abaka (Musa textilis Nee) merupakan salah satu tanaman industri penting, namun pengembangannya di Indonesia masih mengalami kendala karena adanya penyakit layu Fusarium (penyakit Panama) yang disebabkan oleh infeksi cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi daya hambat filtrat kultur (FK) dari tiga isolat Foc terhadap pertumbuhan tunas abaka, (2) menentukan konsentrasi sub- letal FK Foc, yaitu konsentrasi FK yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan tunas abaka minimal 90%, (3) meregenerasikan sel/jaringan varian abaka yang insensitif terhadap FK Foc menjadi plantlet, dan (4) mengevaluasi respon plantlet yang didapat dari hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga isolat Foc yang dievaluasi memiliki daya hambat yang berbeda terhadap pertumbuhan tunas abaka. Isolat yang paling kuat daya hambatnya adalah isolat Banyuwangi. Konsentrasi sub- letal FK Foc isolat Banyuwangi adalah 40%. Dari seleksi in vitro kalus embriogen pada media yang berisi 40% FK Foc isolat Banyuwangi diperoleh sebanyak 326 tunas abaka klon Tangongon dan 176 tunas abaka klon Sangihe-1 yang insensitif terhadap FK Foc. Setelah diaklimatisasi dan diinokulasi dengan konidia Foc diperoleh plantlet imun sebanyak 4 klon, resisten 2 klon dan agak tahan 2 klon dari 45 klon/varian klon Tangongon yang dievaluasi. Sedangkan dari 10 varian abaka klon Sangihe-1 yang diuji didapatkan 2 klon resisten dan 1 klon agak tahan.

(2)

IN VITRO SELECTION OF ABACA FOR RESISTANCE AGAINST F. oxysporum f.sp. cubense USING FUNGAL CULTURE FILTRATES

AS SELECTIVE AGENTS

ABSTRACT

Abaca (Musa textilis Nee) is an important industrial crop; however, its cultivation in Indonesia is hampered by Fusarium wilt (Panama disease) due to infection of Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). The objectives of this study were (1) to evaluate inhibitory effects of culture filtrates (CF) of three isolates of

Foc on abaca shoot growth, (2) to determine sub- lethal concentration of Foc CF, the concentration causing death of at least 90% of abaca shoots, (3) to isolate variant cells/tissues insensitive to Foc CF regenerate plantlets, and (4) to evaluate response of plantlets against Foc infection. Results of the experiment showed culture filtrates (CF) of three tested Foc isolates inhibited abaca shoots growth and CF of Banyuwangi isolate inhibited the most. Sub- lethal concentration of CF was 40% for Banyuwangi isolate. From abaca clone Tangongon, 326 shoots were regenerated while from clone Sangihe-1, 176 shoots were regenerated from CF insensitive embriogenic calli. Following acclimatization and Foc inoculation, 4 immune, 2 resistant, and 2 moderately resistant plantlets against Foc were identified out of 45 tested variants of abaca clone Tangongon. On the other hand, 2 resistant and 1 moderately resistant plantlets were identified out of 10 tested variants of abaca clone Sangihe-1.

Keywords: Fusarium wilt, in vitro selection, culture filtrate, EMS, Musa textilis

PENDAHULUAN

Penapisan respon plasma nutfah abaka terhadap infeksi dan evaluasi metode inokulasi Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans (Foc) yang efektif pada tanaman abaka (Musa textilis Nee) telah dilakukan sebagai usaha untuk mendapatkan klon yang resisten terhadap infeksi Foc. Dari sepuluh klon abaka yang diuji, sembilan klon tergolong sangat rentan dan satu klon tergolong rentan terhadap infeksi Foc.

Keberadaan Foc di berbagai daerah di Indonesia menjadi kendala pengembangan abaka mengingat klon yang resisten terhadap Foc belum tersedia (Damayanti 2004). Pengembangan klon abaka yang resisten terhadap Foc penting untuk dilakukan di Indonesia.

(3)

sehingga peningkatan keragaman genetikanya dapat dilakukan melalui induksi variasi somaklonal (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Seleksi in vitro dapat digunakan untuk menapis sifat unggul tertentu diantara varian somaklonal (Yusnita et al. 2005). Seleksi in vitro dan induksi variasi somaklonal telah digunakan untuk menghasilkan klon tanaman yang resisten terhadap penyakit (Ahmed et al. 1996; Jin et al. 1996; Hidalgo et al. 1999; Yunus et al. 2000; Borras

et al. 2001; Thakur et al. 2002; Inayati 2003).

Keberhasilan seleksi in vitro ditentukan antara lain oleh tersedianya (1) metode kultur jaringan yang efektif yaitu mampu menghasilkan plantlet dalam jumlah besar dan sekaligus mampu menginduksi terjadinya variasi somaklonal pada plantlet dan (2) media selektif yang mampu menghambat pertumbuhan sel/jaringan normal dan memproliferasikan sel/jaringan varian dengan sifat tertentu menjadi plantlet (Yusnita et al. 2005). Metode baku regenerasi plantlet

abaka dalam jumlah besar secara in vitro telah tersedia (Mariska & Sukmadjaja 2003). Sedangkan untuk mendapatkan ketahanan terhadap infeksi Fusarium, penggunaan filtrat kultur (FK) Fusarium terbukti dapat digunakan sebagai agens penyeleksi (Thakur et al. 2002; Inayati 2003; Damayanti 2004). Dengan demikian, dua persayaratan yang menunjang keberhasilan seleksi in vitro untuk mendapatkan klon abaka yang resisten terhadap Foc telah tersedia.

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas metoda seleksi in vitro menggunakan FK dan mengisolasi plantlet varian yang toleran. Penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan khusus: (1) mengevaluasi daya hambat FK (FK) dari tiga isolat Foc terhadap pertumbuhan tunas abaka, (2) menentukan konsentrasi sub- letal FK isolat Foc terpilih, yaitu konsentrasi FK yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan tunas abaka minimal 90%, (3) meregenerasikan sel/jaringan varian abaka yang insensitif terhadap FK Foc

menjadi plantlet, dan (4) mengevaluasi respon plantlet yang didapat dari hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc.

BAHAN DAN METODE Penyiapan FK Foc.

(4)

digunakan telah dilaporkan sebelumnya (pada Bab III). Setelah diperbanyak dalam media potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasikan selama 7 hari, hifa cendawan ditumbuhkan dalam media potato dextrose broth (PDB) dan digo yang dengan mesin penggoyang pada kecepatan 60 rpm selama 14 hari untuk memproduksi filtrat kultur (FK). Kultur disterilisasi menggunakan autoklaf (suhu 121oC selama 20 menit ), FK disaring untuk menghilangkan miselia dan digunakan sebagai agens penyeleksi.

Daya hambat FK tiga isolat Foc.

Daya hambat FK dari tiga isolat Foc dievaluasi dengan menambahkan FK 10%, 20%, 30%, 40%, 50% atau 60% (v/v) ke dalam media induksi tunas (MT) abaka, yaitu media MS (Murashige & Skoog 1962) dengan BAP 0.5 mg/l dan asam askorbat 100 mg/l. Media MT tanpa FK (0%) digunakan sebagai standar.

Tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 hasil kultur jaringan (tinggi 2-3 cm) ditanam dalam media selektif. Tunas disubkultur dua kali dalam periode tiga bulan ke media selektif yang sama, diinkubasikan dalam ruang kultur bersuhu 25+2oC dan diberi penyinaran 1 000 lux selama 16 jam. Satuan percobaan terdiri atas satu tunas yang ditanam dalam satu botol kultur dan setiap perlakuan diulang 20 kali.

Pengamatan terhadap persentase kematian dan tingkat kerusakan tunas dilakukan setelah 3 bulan. Skoring tingkat kerusakan tunas ditentukan sebagaimana dilakukan Epp (1987), yaitu: skor 0 – tunas sehat dan hijau, serta tidak mengalami gejala penguningan daun; skor 1 – daun bagian bawah menguning tetapi tunas tumbuh normal atau tunas tetap hijau tetapi pertumbuhannya terhambat; skor 2 – pangkal batang mulai membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, daun yang menguning semakin meluas, dan daun yang baru membuka berwarna kuning pucat; skor 3 – pangkal batang membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, seluruh daun telah menguning; skor 4 – tunas membusuk dan mati (Gambar 10).

Seleksi in vitro dengan FK Foc.

(5)

dilakukan untuk meningkatkan frekuensi induksi mutan/varian. Masing- masing 100 kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 (ukuran 3x3x3 mm3) direndam dengan EMS 0.6% (w/v) dan digoyang selama 2 jam dengan mesin penggoyang kecepatan 100 rpm.

Kalus embriogen ditanam dalam media induksi kalus (MK) yaitu media MS dengan penambahan BAP 5 mg/l, thidiazuron [TDZ] 0.4 mg/l, dan asam askorbat 100 mg/l (Mariska & Sukmadjaya 2003), diperbanyak selama 6 bulan sehingga diperoleh minimal 150 potong kalus embriogen (3x3x3 cm3) dan digunakan sebagai eksplan pada tahapan seleksi in vitro dalam media MT dengan FK Foc

isolat Banyuwangi 40% (v/v). Selama periode 6 bulan, eksplan disub-kultur 3 kali ke dalam media selektif yang masih segar. Pengamatan dilakukan terhadap persentase eksplan yang hidup, eksplan bertunas, dan rataan jumlah tunas per eksplan setelah 6 bulan dalam media seleksi.

Regenerasi dan Evaluasi Tunas Varian Hasil Seleksi in vitro.

Tunas insensitif terhadap FK Foc hasil seleksi in vitro (R0) ditumbuhkan dalam media MT hingga mencapai ukuran >2 cm dan diakarkan dalam media pengakaran (MP) yaitu media MS dengan penambahan arang aktif 1 g/l. Plantlet

(tunas yang telah berakar) diaklimatisasi dan bibit yang diperoleh ditumbuhkan di rumah kaca. Respon bibit terhadap infeksi Foc dievaluasi secara tidak langsung dengan metode detached leaf dual culture test (Pratt 1996). Tujuh potongan daun bibit abaka dengan ukuran 1x1 cm2 diinokulasi dengan hifa cendawan Foc dan diinkubasikan dalam media agar (agar-agar 8 g/1) selama 12 hari. Potongan daun abaka dari lapang yang diinokulasi dengan Foc digunakan sebagai standar.

Persentase potongan daun bergejala dan skor gejala kerusakan (SGK) yang terjadi digunakan untuk menghitung intensitas penyakit. Kriteria skor gejala kerusakan daun adalah: skor 0 – tidak ada nekrosis, skor 1 – nekrosis daun kurang dari 35%, skor 2 – nekrosis antara 35 – 70%, skor 3 – nekrosis > 75% dan mulai muncul gejala pembusukan daun, dan skor 4 – daun telah membusuk total. Intensitas penyakit (IP) dihitung dengan rumus IP=[Σ(nixsi)/(NxS)]x100%; ni: jumlah potongan daun dengan skor kerusakan ke- i, si – skor gejala kerusakan ke- i; N – jumlah potongan daun yang diamati, dan S – skor kerusakan tertinggi

(6)

(Cacchinero et al. 2002). Respon bibit abaka terhadap infeksi Foc disimpulkan dari hasil perhitungan IP, yaitu sebagai imun (I) – jika IP=0%; tahan (T) – jika IP antara 0-5%; agak tahan (AT) – jika IP antara 5-10%; agak rentan (AR) – jika IP antara 10-25%; rentan (R) – jika IP antara 25-50%; dan sangat rentan (SR) – jika IP>50% (Yusnita & Sudarsono 2004).

HASIL

Daya hambat FK tiga isolat Foc.

Tunas abaka klon Tangongon atau klon Sangihe-1 tidak ada yang mati dalam media tanpa FK Foc. Untuk klon Tangongon dan Sangihe-1, rataan skor kerusakan tunas (SKT) pada media tanpa FK masing- masing 0.1 dan 0.

Tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan FK Foc isolat Banyuwangi sebagian telah mati pada perlakuan konsentrasi 10%. Pada konsentrasi FK 10 - 30%, persentase kematian tunas berkisar dari 8% hingga 40% (Klon Tangongon) dan 21% hingga 62% (Klon Sangihe-1). Sedangkan pada konsentrasi FK 40 - 60%, tingkat kematian tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 berkisar dari 90 - 100% (Tabel 11). Filtrat kultur Foc isolat Malang dan Banyuwangi mempunyai daya hambat lebih rendah dibanding isolat Banyuwangi. Kematian tunas abaka klon Tangongon baru terjadi pada perlakuan FK Foc dengan konsentrasi 40% (isolat Malang) atau 50% (isolat Bojonegoro) sedangkan untuk klon Sangihe-1, pada perlakuan FK 30% (isolat Malang dan Bojonegoro) (Tabel 11). Data SKT abaka yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan FK tiga isolat Foc juga menunjukkan pola respon yang sama (Tabel 11).

Berdasarkan SKT yang diamati, abaka klon Sangihe-1 lebih sensitif terhadap FK Foc dan daya hambat FK Foc isolat Banyuwangi lebih tinggi dibandingkan dengan isolat Malang atau isolat Bojonegoro. Konsentrasi FK Foc

isolat Banyuwangi 40% dan 50% menyebabkan terjadinya kematian tunas sebesar 90% dan 94% (klon Tangongon) atau 90% dan 100% (klon Sangihe-1), sehingga konsentrasi 40% dipilih sebagai konsentrasi sub- letal dan digunakan dalam percobaan berikut. Contoh penghambatan pertumbuhan tunas abaka akibat

(7)

berbagai konsentrasi FK Foc dapat dilihat pada Gambar 11.

Seleksi in vitro dengan FK Foc.

Kalus embriogen abaka diberi perlakuan EMS 0.6% untuk menginduksi terjadinya mutasi pada sel/jaringan kalus embriogen. Meskipun perlakuan EMS menghambat proliferasi tunas tetapi dari kalus embriogen yang direndam EMS 0.6% dapat diregenerasikan rata-rata 20 tunas (klon Tangongon) dan 18 tunas (klon Sangihe-1) per eksplan kalus embriogen (Tabel 11).

Kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS dan diseleksi dalam media selektif dengan penambahan FK Foc 40% (konsentrasi sub- letal) sebagian besar membusuk dan hanya sedikit yang mampu menghasilkan kalus embriogen, tunas ruset, atau tunas normal abaka yang insensitif terhadap FK Foc diantara jaringan yang membusuk. Contoh perkembangan kalus embriogen yang diseleksi dalam media selektif dengan penambahan FK Foc 40% dapat dilihat pada Gambar 12 a-e.

Tabel 11. Daya hambat filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense

(Foc isolat Banyuwangi [Bw], Malang [Ml], atau Bojonegoro [Bn]) terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah penanaman tunas abaka dalam media selektif.

KT* dalam FK Foc isolat: SKT* dalam FK Foc isolat: Klon abaka dan

konsentrasi FK (%) Bw Ml Bn Bw Ml Bn Abaka klon Tangongon:

0 0 0 0 0 aE** 0.1 aD 0 aF 10 8 0 0 1.7 aD 0.3 bD 0 cF 20 15 0 0 2.0 aC 0.8 bC 0.4 cE 30 40 0 0 3.2 aB 1.0 bC 1.2 bD 40 90 37 0 3.9 aA 3.2 bB 1.7 cC 50 94 75 40 3.9 aA 3.8 aA 3.2 bB 60 100 83 87 4.0 aA 3.9 aA 3.9 aA Abaka klon Sangihe-1:

0 0 0 0 0 aE 0 aE 0.1 aF 10 21 0 0 2.1 aD 1.0 bD 0.4 cE 20 33 0 0 2.7 aC 1.4 bC 1.1 cD 30 62 32 4 3.6 aB 2.8 bB 1.9 cC 40 90 80 11 3.9 aAB 3.9 aA 2.1 bBC 50 100 100 8 4.0 aA 4.0 aA 2.3 bB 60 100 100 50 4.0 aA 4.0 aA 3.4 bA Keterangan: *KT: kematian tunas (%); SKT: skor kerusakan tunas. **Angka pada baris yang

diikuti dengan huruf kecil atau pada kolom dengan huruf kapital yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=5%.

(8)

Tabel 12. Hasil seleksi in vitro kalus embriogen abaka yang telah diberi perlakuan EMS dalam filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp.

cubense isolat Banyuwangi dengan konsentrasi 40% v/v (sub- letal). Pengamatan dilakukan 6 bulan setelah tanam.

Abaka klon Tangongon Abaka klon Sangihe-1 Peubah yang diamati

tanpa FK dengan FK tanpa FK Dengan FK Eksplan yang hidup: 88 137 88 126

oBertunas (%) 99 11 99 19

oDorman (%) 1 21 1 13 Rataan jumlah tunas/eksplan 20.0 21.7 18.0 7.4 Jumlah tunas:

o<2 cm 1454 231 1430 113

o> 2 cm* 286 95 136 63

oTotal 1740 326 1566 176

Penurunan (%) jumlah tunas

diban-dingkan tanpa FK 88** 92** Catatan: *Tunas >2 cm merupakan tunas yang siap disub-kultur ke media perakaran. **Persentase

penurunan jumlah tunas (%) dihitung dengan rumus [(xo*yo - x1*yo)/(xo*yo)] x 100%. xo dan yo berturut-turut adalah % eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan untuk perlakuan tanpa FK, sedangkan x1 dan y1 berturut-turut adalah % eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan untuk perlakuan dengan FK.

Tingkat keberhasilan seleksi in vitro menggunakan FK Foc 40% terhadap kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 disajikan dalam Tabel 12. Seleksi in vitro dalam media MT dengan penambahan FK Foc 40% menghasilkan total 326 tunas abaka klon Tangongon dan 176 tunas abaka klon Sangihe-1 yang insensitif terhadap FK (Tabel 12). Selanjutnya, tunas abaka yang insensitif FK hasil seleksi in vitro, diaklimatisasi dan ditumbuhkan di rumah kaca.

Evaluasi Tunas Varian Hasil Seleksi In vitro.

Dalam detached leaf dual culture test, tanaman awal abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dikelompokkan sebagai sangat rentan (Tabel 13). Tunas abaka insensitif FK Foc hasil seleksi in vitro yang berhasil melewati tahapan aklimatisasi, dievaluasi responnya terhadap infeksi Foc menggunakan metode yang sama dan hasil evaluasinya dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil evaluasi menunjukkan dari 45 tunas abaka klon Tangongon hasil seleksi in vitro yang diuji, berhasil diidentifikasi 4 klon varian/ mutan yang imun dan tidak mengalami kerusakan daun akibat inokulasi dengan Foc, 2 klon yang tahan, dan 2 klon agak tahan terhadap infeksi Foc. Sedangkan untuk tunas abaka klon Sangihe-1, dari 10 tunas hasil seleksi in vitro yang diuji, berhasil diidentifikasi 2 klon varian yang tahan dan 1 klon agak tahan terhadap infeksi Foc.

(9)

Tabel 13. Persentase daun bergejala (DB), rataan skor gejala kerusakan (SGK), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan klon varian abaka klon Tangongon (Tg) dan Sangihe-1 (Sh) hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan filtrat kultur Fusarium oxysporum f. sp. cubense

(Foc) isolat Banyuwangi, yang ditentukan berdasarkan hasil uji inokulasi daun dengan Foc isolat Banyuwangi menggunakan teknik

detached leaf dual cultures.

Klon abaka awal dan varian DB (%) Rataan SGK IP (%) Ketahanan

Daun tanaman awal:

Tg dari lapang 86 2.29 57 SR

Sh dari lapang 86 2.14 54 SR

Daun bibit hasil seleksi: Klon Tangongon

Tg 3.2.1.1-Foc3 0 0 0 I Tg 3.2.1.2-Foc3 0 0 0 I Tg 70.2.3-Foc5 0 0 0 I Tg 70.2.3-Foc7 0 0 0 I Tg 3.2.1.1-Foc2 14 0.14 4 T Tg 3.2.1.1-Foc4 14 0.14 4 T Tg 3.2.1.2-Foc4 29 0.29 7 AT Tg 70.2.3-Foc1 29 0.43 9 AT

Daun bibit hasil seleksi: Klon Tangongon

Sh 1.1.3-Foc4 14 0.14 4 T Sh 1.1.3-Foc8 14 0.14 4 T Sh 17.2.1-Foc7 14 0.29 7 AT Sh 1.1.3-Foc7 29 0.43 11 AR Sh 1.1.3-Foc10 29 0.43 11 AR Sh 4.1.1-Foc1 43 0.29 11 AR Sh 10.1.1-Foc2 43 0.57 14 AR Sh 17.2.1-Foc4 43 0.43 11 AR Sh 17.2.1-Foc3 100 3 75 SR Sh 20.2.2-Foc2 100 2.71 68 SR

*Keterangan: I – imun, T– tahan, AT – agak tahan, AR – agak rentan, dan SR – sangat rentan.

PEMBAHASAN

Mutagenesis pada kultur in vitro dengan atau tanpa seleksi in vitro telah digunakan untuk mempercepat didapatkannya plasma nutfah dengan sifat unggul tertentu untuk mendukung program pemuliaan tanaman, khususnya tanaman yang dikembangbiakkan secara vegetatif (Roux et al. 1999, Maluszynski et al. 1995, Joseph et al. 2004).

Peningkatan keragaman genetika tanaman merupakan langkah awal untuk mengembangkan klon yang resisten terhadap infeksi penyakit. Hal ini dapat dilakukan melalui perlakuan mutagen pada eksplan dan diikuti dengan pengkulturan eksplan secara in vitro sehingga didapatkan proliferasi sel/jaringan

(10)

varian. Selanjutnya, sel/jaringan varian dapat diseleksi dalam media selektif dengan penambahan agens penyeleksi tertentu untuk mengidentifikasi sel/jaringan varian yang insensitif. Regenerasi plantlet dari sel/jaringan varian dapat menghasilkan tanaman yang resisten terhadap infeksi penyakit yang diinginkan. Pada penelitian ini digunakan EMS (ethyl methanesulphonate) untuk menginduksi keragaman genetika abaka dan dilanjutkan dengan seleksi in vitro menggunakan FK Foc untuk mengidentifikasi varian yang resisten terhadap Foc.

Dari hasil penelitian, FK Foc isolat Banyuwangi, Bojonegoro, dan Malang mempunyai daya hambat yang berbeda. Filtrat kultur tiga isolat Foc yang digunakan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Tetapi FK Foc isolat Banyuwangi menunjukkan daya hambat lebih tinggi dibandingkan isolat Bojonegoro dan Malang. Perbedaan tersebut berhubungan dengan produksi toksin oleh masing- masing isolat, karena isolat yang memproduksi toksin lebih tinggi dapat menimbulkan penghambatan lebih kuat (Cachinero et al. 2002).

Fusarium oxysporum f.sp. cubense merupakan patogen yang menyerang abaka dan dalam proses infeksi mensekresikan non-host-specific toxin yang dapat membantu proses infeksi. Penggunaan FK Foc untuk seleksi in vitro telah dilakukan untuk mendapatkan klon tomat, gandum, kedelai, nenas, tebu dan anyelir yang resisten terhadap infeksi Fusarium sp. (Toyoda et al. 1984a; Fadel & Wenzel 1993; Ahmed et al. 1996; Jin et al. 1996; Hidalgo et al. 1999; Yunus 2000; Borras et al. 2001; Thakur et al. 2002; Inayati 2003).

Selain mensekresikan toksin, Foc diketahui juga mensekresikan zat pengatur tumbuh tanaman (ZPT) seperti auksin atau giberelin atau berbagai alkaloid, protein, steroid, serta terpenoid (Goodman et al. 1986; Rademacher 1994; Thrane 2001) sehingga dapat berpengaruh positif terhadap proliferasi jaringan yang insensitif terhadap toksin. Data hasil penelitian menunjukkan tunas abaka yang insensitif terhadap FK Foc yang ditanam dalam media dengan penambahan FK

Foc mempunyai rataan jumlah tunas lebih banyak dibanding perlakuan standar, diduga sebagai akibat pengaruh ZPT atau senyawa lain yang disekresikan oleh

Foc.

(11)

ini sejalan dengan percobaan pada tanaman anyelir (Thakur et al. 2002) dan nanas (Hidalgo et al. 1999). Dalam berbagai percobaan sebelumnya juga telah ditunjukkan peningkatan konsentrasi FK Foc dalam media meningkatkan persentase kematian eksplan yang diseleksi (Thakur et al. 2002; Li et al. 1999; Borras et al. 2001). Respon yang berbeda antara abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 juga diamati dalam percobaan yang dilakukan.

Meskipun dari kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dengan perlakuan EMS 0.6% dapat dihasilkan tunas abaka yang insensitif FK

Foc, tidak semua bibit yang diregenerasikan dari tunas hasil seleksi in vitro

bersifat resisten terhadap infeksi Foc (sebagian rentan terhadap infeksi Foc). Hal ini diduga antara lain akibat terbentuknya tunas kimera atau terjadinya escaped

dalam proses seleksi in vitro. Tunas kimera yang tersusun dari jaringan varian (resisten) dan jaringan normal (rentan) dapat bertahan dalam media selektif yang mengandung FK Foc sehingga terjadi salah identifikasi hasil seleksi in vitro. Sel/jaringan kimera yang escaped dari seleksi tidak 100% terdiri atas sel/jaringan varian yang insensitif terhadap FK Foc tetapi juga terdapat sel/jaringan normal. Pada tahapan proliferasi, sel/jaringan yang escaped dari seleksi juga akan menghasilkan bibit yang rentan terhadap infeksi Foc. Pada tahapan proliferasi dalam media tanpa penambahan FK Foc, tunas baru dapat berkembang dari sel/jaringan normal sehingga menghasilkan bibit dengan fenotipe rentan terhadap infeksi Foc (bibit escaped).

SIMPULAN

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan filtrat kultur dari tiga isolat Foc

mampu menghambat pertumbuhan kalus embriogen abaka tetapi daya hambat FK

Foc isolat Banyuwangi lebih tinggi dibanding kedua isolat yang lain. Konsentrasi sub- letal dari FK Foc isolat Banyuwangi adalah 40%. Dari kalus embriogen abaka yang insensitif FK Foc hasil seleksi in vitro telah diperoleh 326 tunas abaka varian dari klon Tangongon dan 176 tunas dari klon Sangihe-1. Setelah tahapan aklimatisasi, pembibitan, dan evaluasi respon terhadap inokulasi Foc berhasil diperoleh empat bibit varian yang diduga imun, empat – resisten, dan tiga – agak resisten.

(12)

Gambar 10. Representasi tunas abaka dengan skoring gejala kerusakan tunas 0 hingga 4 (berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh Epp 1987) setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan filtrat kultur Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi.

Gambar 11. Daya hambat filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense

(Foc) isolat Banyuwangi terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas abaka klon Tangongon. Perkembangan tunas dalam media tanpa FK (FK 0%) atau dalam media selektif dengan FK Foc 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, atau 60%. FK: 0% 10% FK: 0% 60% FK: 0% 40% FK: 0% 30% FK: 0% 50% FK: 0% 20%

Skor 3

Skor 0

Skor 1

Skor 2

(13)

Gambar 12. Seleksi in vitro kalus embriogen abaka dalam media yang mengandung filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense

(Foc) isolat Banyuwangi. Kalus embriogen abaka klon Tangongon (a) mengalami proliferasi tunas dalam media tanpa FK, (b) sebagian besar membusuk dan dorman (tidak bertunas), atau membusuk dan memproliferasikan (c) tunas, (d) tunas roset, serta (e) kalus embriogen - yang insensitif FK dalam media selektif dengan penambahan FK Foc isolat Banyuwangi dengan konsentrasi 40 %. jm: jaringan eksplan yang membusuk, ke: kalus embriogen, ti: tunas insensitif FK, tm: tunas majemuk (multiple bud clump).

DAFTAR PUSTAKA

Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutation - A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118:167-173.

Ahmed KZ, Masterhazy A, Bartok T, Sagi F. 1996. In vitro techniques for selecting wheat (Triticum aesticum L.) for Fusarium-resistance II. Culture filtrate technique and inheritance of Fusarium-resistance in the somaclones.

Euphytica 91:341-349.

e

b

a

c

ti

jm

ke

jm

jm

tm

d

b

a

(14)

Borras O, Santos R, Matos AP, Cabral RS, Arzola M. 2001. A first attemp to use a Fusarium subglutinans culture filtrate for the selection of pineapple cultivars resistant to fusariose disease. Plant Breeding 120:435-438.

Cachinero JM, Hervas A, Jimenez-Diaz RM, Tena M. 2002. Plant defence reactions against Fusarium wilt in chickpea induced by incopatible race 0 of

Fusarium oxysporum f.sp. ciceris and non- host isolates of F. oxysporum.

Plant Pathol 51:765-776.

Damayanti F. 2004. Seleksi in vitro tanaman abaka (Musa textilis Nee) dengan filtrat Fusarium oxysporum untuk ketahanan terhadap penyakit layu

Fusarium. Bioscientiae 1:11-22.

Epp D. 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA, editor. Banana and Plantain Breeding Strategies. Canbera: ACIAR Publ., hlm140-150.

Fadel F, Wenzel G. 1993. In vitro selection for tolerance to Fusarium in F1 microspore population of wheat. Plant Breeding 110:89-95.

Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The biochemistry and physiology of plant disease. Missouri: The University of Missouri Pr. 433 hlm.

Hidalgo OB, Santos R, Tussel RT, deMatos AP, Cabral RS, Arzola M, Perez MC. 1999. Phytotoxicity of Fusarium subglutinans culture filtrates on in vitro plantlets and calli of resistant and susceptible pineapple (Ananas comosus).

Plant Pathol 48:756-758.

Inayati A. 2003. Seleksi ketahana n in vitro plantlet vanili terhadap Fusarium oxysporum f.sp. vanilae menggunakan teknik double layer, kultur filtrat dan asam fusarat [Tesis]. Yogyakarta: Pascasarjana, UGM.

Jin H, Hartman GL, Huang YH, Nickell CD, Widholm JM. 1996. Regeneration of soybean plants from embryogenic suspension cultures treated with toxic culture filtrate of Fusarium solani and screening of regenerants for resistance. Phytopathology 86:714-718.

Joseph R, Yeoh H-H, Loh C-S. 2004. Induced mutations in cassava using somatic embryos and the identification of mutant plants with altered starch yield and composition. Plant Cell Rep 23:91-98.

Li S, Hartman GL, Widholm JM. 1999. Viability staining of soybean suspension-cultured cells and a seedling stem cutting assay to evaluate phytotoxicity of

Fusarium solani f.sp. glycines culture filtrates. Plant Cell Rep 18:375-380. Maluszynski M, Ahloowalia BS, Sigurbjörnsson B. 1995. Application of in vivo

and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85:303-315.

(15)

Mariska I, Sukmadjaja D. 2003. Perbanyakan Bibit Abaka Melalui Kultur Jaringan. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik. Murashige I, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays

with tobacco tissue culture. Physiol. Plant 159: 473-497

Pratt RG. 1996. Screening for resistance to Sclerotinia trifoliarum in alfalfa by inoculation of excised leaf tissue. Phytopathology 86:923-928.

Rademacher W. 1994. Gibberellin formation in microorganism. Plant Growth Reg

15:303-314.

Roux N, Tolo za A, Dolezel J, Swennen R, Lepoivre P, Zapata-Arias FJ. 1999. Usefulness of embriogenic cell suspension for the induction and selection of mutants in Musa spp. Promusa 4:18-19.

Thakur M, Sharma DR, Sharma SK. 2002. In vitroselection and regeneration of carnation (Dianthus caryophyllus L.) plants resistant to culture filtrate of

Fusarium oxysporum f.sp. dianthi. Plant Cell Rep 20:825-828.

Thrane U. 2001. Development in the taxonomy of Fusarium species based on secondary metabolites. Di dalam: Sumerell BA, Leslie JF, Backhouse D, Bryden WL, Burgess LW, editor. Fusarium. Minnesota: APS Press. hlm. 29-49.

Toyoda H, Tanaka N, Hirai T. 1984a. Effects of the culture filtrate of Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici on tomato callus growth and the selection of resistant callus cells to the filtrate. Ann Phytopathol Soc Japan 50:53-62. Yunus A. 2000. Pengaruh ekstrak Fusarium moniliforme terhadap pertumbuhan

dan resistensi tanaman tebu terhadap penyakit pokahbung. Agrosains 2:1-9. Yusnita, Sudarsono. 2004. Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe

kacang tanah terhadap penyakit busuk batang Sclerotium. Hayati 11:53-58. Yusnita, Widodo, Sudarsono. 2005. In vitroselection of peanut somatic embryos

on medium containing culture filtrate of Sclerotium rolfsii and plantlet regeneration. Hayati 12: 50-56.

Gambar

Tabel 11.  Daya hambat filtrat kultur (FK)  Fusarium oxysporum  f.sp. cubense  (Foc  isolat Banyuwangi [Bw], Malang [Ml], atau Bojonegoro [Bn])  terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1
Tabel 13.  Persentase daun bergejala (DB), rataan skor gejala kerusakan (SGK),  intensitas penyakit (IP), dan ketahanan  klon varian abaka klon  Tangongon (Tg) dan Sangihe-1 (Sh) hasil seleksi  in vitro dalam media  dengan penambahan filtrat kultur  Fusari
Gambar 11. Daya hambat filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum  f.sp. cubense  (Foc) isolat Banyuwangi terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas  abaka klon Tangongon
Gambar 12. Seleksi  in vitro  kalus embriogen abaka dalam media yang  mengandung filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp

Referensi

Dokumen terkait

Selain daripada itu, Kim (dipetik dalam Williams, 2005)merangkumkan ke dalam satu hipotesis bahawa kecekapan komunikasi antara budaya merupakan hasil daripada kemampuan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara hubungan tingkat depresi dengan tingkat kemandirian dalam aktivitas

Berdasarkan pra survay yang dilakukan di Desa Pulau Komang Sentajo terlihat masih kurang berjalannya koordinasi atau hubungan kerja antara Kepala Desa Pulau

Aktiva produktif terhadap penjualan air PDAM Kota Samarinda tahun 2011 sampai tahun 2012 menunjukkan kinerja pada rasio ini tahun 2012 tidak lebih tinggi dari tahun

Penelitian yang dilakukan oleh Ardhini dan Handayani (2011) menyebutkan bahwa efektivitas keuangan daerah tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi klinik untuk menyediakan media edukasi seperti leaflet, atau lembar balik yang ada kaitannya dengan

Analisis Regresi Linier Berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh yang diberikan oleh variabel bebas terhadap variabel terikat Data yang terkumpul akan dianalisis dengan

a) Melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Tingkat Pusat. b) Mempertanggungjawabkan manajemen penyelenggaraan Jamkesmas dan BOK