1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar BelakangIndonesia saat ini tengah menghadapi krisis ketahanan pangan. Selama tiga tahun terakhir, setiap tahunnya Indonesia mengimpor kacang tanah, jagung, hingga buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada Februari 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor pangan Indonesia mencapai 10,16 milyar dolar AS atau setara dengan Rp. 132 triliun. Dimana impor golongan barang konsumsi meningkat hingga 34,38 persen. Angka tersebut akan terus membesar dari tahun ke tahun apabila Indonesia tidak mampu meningkatkan produksi pangannya. BPS pada tahun 2015 menyatakan bahwa produksi padi tahun 2014 menurun sebesar 0,63 persen yang disebabkan oleh penurunan luas panen sebesar 41,61 ribu hektar dan penurunan produktivitas sebesar 0,17 kuintal per hektar.
Kendala untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian terletak pada buruknya sifat kimia dan fisika tanah yang mendominasi lahan pertanian di Indonesia. Lahan tersebut umumnya memiliki tanah dengan pH asam serta minim akan kadar C organik, kapasitas tukar ion dan juga unsur hara (Sastiono, 1994). Akibatnya, tanah menjadi tidak responsif lagi terhadap pemupukan dan produksi pertanian semakin sulit ditingkatkan. Tanah pada kondisi ini disebut sebagai tanah leveling off. Pupuk yang diberikan pada tanah yang mengalami
leveling off akan hilang sebesar 40—70 % N (nitrogen), 80—90 % P (fosfor) dan 50—70 % K (kalium) melalui penguapan, imobilisasi mikrobia dan fiksasi mineral tanah (Land dan Liu, 2008). Salah satu faktor utama yang menyebabkan tanah mengalami leveling off adalah rendahnya kandungan bahan organik tanah (BOT) akibat eksplorasi lahan yang sangat intensif serta penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan terus menerus yang kerap dilakukan oleh para petani Indonesia. Secara global kandungan BOT saat ini kurang dari 2,5%, sedangkan tanah ideal untuk pertanian setidaknya mengandung minimal 5% BOT dengan
kadar C organik minimal 2,5% dan kadar humin sebesar 50% dari total BOT (Song dkk., 2008).
Salah satu upaya untuk mengatasi leveling off adalah dengan meningkatkan kandungan BOT. Secara alami BOT terbentuk melalui proses humifikasi (pembentukan humus) mikrobiologi, namun proses tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, kurang efisien dan tidak ramah lingkungan karena biomassa yang hilang melalui emisi CO2, air dan nitrogen
oksida relatif tinggi (Kuncaka, 2013; Ziechmann dkk., 2000). Tingginya kebutuhan akan BOT dan sulitnya mendapatkan pasokan BOT dalam waktu singkat, menyebabkan perlu dikembangkannya metode humifikasi yang lebih efisien. Dimana humifikasi tersebut dapat menghasilkan humus dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan humifikasi mikrobiologi.
Menurut teori klasik, humus merupakan rangkaian molekul yang terdiri dari substansi humat yang merupakan senyawa makromolekul dengan berat molekul relatif tinggi sekitar 20.000 - 50.000 Da dan substansi non humat yang terdiri dari senyawa makromolekul seperti karbohidrat, protein dan lipid bebas dalam tanah (Stevenson, 1994; Suttoon dkk., 2005). Namun seiring dengan perkembangan teknologi dalam analisis elusidasi struktur molekul, teori humus klasik yang dinyatakan oleh Stevenson tersebut mulai terbantahkan dengan fakta-fakta yang berbeda dari teori makromolekul. Hayes dkk. (2008) melalui penelitiannya mampu membuktikan bahwa humat bukanlah suatu makromolekul melainkan suatu asosiasi molekul yang penyusunnya adalah molekul biologi seperti karbohidrat, protein dan lipid. Kuncaka (2014) melalui konsep New Road of Synthetic Humification (No. Pendaftaran Paten P00201401530) menggabungkan konsep tanah Terra Preta dan humus Hayes untuk menciptakan suatu humus yang stabil. Tanah Terra Preta di Lembah Amazon merupakan contoh konsep pengaplikasian arang yang berasal dari hasil pembakaran biomassa untuk lahan pertanian (Mann, 2005; Sombroek dkk.,
2003). Tanah Terra Preta Amazon merupakan salah satu contoh yang signifikan mengenai daya tahan (durability) dari efek biochar (arang) bila ada di dalam tanah, dapat meningkatkan potensi kesuburan tanah sehingga disebut the real humus . Di samping itu, humus sintetis juga mengadopsi konsep humus Hayes yang menyatakan bahwa humus memiliki struktur supramolekul yang merupakan agregat dari senyawa – senyawa makromolekul sederhana seperti karbohidrat, protein, dan lipid yang terikat pada suatu inang (Hayes dkk., 2010), sehingga dengan menggabungkan kedua konsep ini diperoleh humus sintetis dengan stabilitas tinggi yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Humus sintetis dirancang sama seperti humus alami, dengan kemampuan sebagai agen pelepas lambat makronutrien dan mikronutrien, pengendali transfer elektron, pengendali kadar air, rumah berkembang biaknya mikroorganisme tanah dan peningkat kadar organik tanah (Kuncaka, 2013).
Di sisi lain industri Monosodium Glutamat menghasilkan limbah GM-1 yang merupakan bahan organik cair hasil samping dari proses fermentasi molase dengan bakteri Micrococcus Glutamicus dalam proses pembentukan kristal asam glutamat. Limbah GM-1 mengandung setidaknya 8,1–12,7 % bahan organik dengan kadar asam glutamat berkisar 2 %, nitrogen 35 %, phosphat 0,5 % dan kalium 2,2 %. Selain itu limbah GM-1 juga mengandung unsur – unsur ikutan lainnya seperti Ca, Mg, S, Cl dan Fe serta beberapa unsur mikro lain dengan kadar yang bervariasi sehingga limbah GM-1 biasanya diolah menjadi bahan dasar pupuk organik cair oleh industri yang bersangkutan (Sofyan dkk., 1997; Triastuti, 2006). Penggunaan pupuk organik cair berbahan dasar limbah GM-1 (pupuk sipramin) pada tanaman pangan dan perkebunan di masyarakat masih menimbulkan pendapat yang berbeda terhadap sifat kimia tanah. Belakangan diketahui pemberian pupuk sipramin secara terus menerus ternyata dapat menurunkan pH tanah dan juga mengakibatkan penurunan bobot tanaman (Sofyan dkk., 2001; Premono dkk., 2001).
Ketidakmampuan pupuk sipramin dalam mengendalikan makro-mikronutrien yang sangat berlimpah di dalamnya, diduga menjadi penyebab dampak negatif tersebut. Ion klorida (Cl-) merupakan salah satu mikronutrien yang kadarnya tinggi di dalam limbah GM-1, tingginya kadar Ion klorida berasal dari penambahan HCl pada proses netralisasi MSG (Anwar dan Suganda, 2002). Sebagai sumber mikronutrien esensial bagi tanaman tingkat tinggi, Ion klorida berperan dalam sistem pembagian air pada tempat oxidasi fotosistem II, aktivasi enzim, pengaturan osmotik, pembatasan ion untuk transport kation, dan pengaturan pembukaan stomata. Namun berlimpahnya Ion klorida dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ion sehingga aktivitas metabolisme dalam tubuh tumbuhan menjadi terganggu (Djukri, 2009). Konsentrasi ion klorida yang tinggi pada jaringan dapat bersifat racun bagi tanaman serta dapat menghambat pertumbuhan tanaman di daerah salin (Xu dkk., 2000). Pelepasan ion klorida yang tidak dikendalikan oleh pupuk sipramin menyebabkan seluruhnya masuk ke dalam jaringan tanaman dan menyebabkannya terakumulasi, mengganggu metabolisme, hingga menurunkan produktivitas tanaman sehingga perlu adanya sistem lepas lambat yang dapat mengendalikan agar mikronutrien seperti ion klorida dapat diserap secara efisien oleh tanaman.
Berdasarkan permasalahan tersebut pada penelitian ini akan diterapkan konsep New Road of Synthetic Humification oleh Kuncaka (2014) untuk membentuk humus sintetis, diharapkan biomolekul beserta makro-mikronutrien yang terkandung dalam limbah GM-1 dapat membentuk agregat supramolekul humus sintetis sesuai konsep humus Hayes dengan memanfaatkan hydrochar
yang juga diperoleh dari biomassa limbah GM-1 melalui proses Hidrothermal Carbonization (HTC) (Kuncaka, 2016) sebagai host. Humus sintetis diharapkan mampu memainkan konsep host-guest chemistry dalam tanah, dimana humin sintetis sebagai fraksi stabil dapat berperan sebagai host dari guest berupa kation, makro-mikronutrien, senyawa-senyawa biologi, asam humat, dan asam fulvat yang berasal dari lingkungan melalui ikatan hidrogen, interaksi van der
Waals, dan interaksi molekul lainnya (Wahyunintyas, 2015). Pembentukan humus sintetis pada penelitian ini juga diharapkan dapat memisahkan ion klorida dalam limbah GM-1. Oleh karena itu, dilakukan analisis kandungan ion klorida dalam humus sintetis yang terbentuk untuk mengetahui kemampuan humus sintetis dalam menjerat ion klorida. Selain itu juga perlu dilakukan karakterisasi terhadap gugus fungsional humus sintetis yang terbentuk, identifikasi partikel superparamagnetik, serta analisis total nitrogen yang terkandung di dalamnya.
I.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Membuat humus sintetis dengan bahan dasar limbah GM-1 dan mengkarakterisasi humus sintetis tersebut menggunakan FT-IR dan XRD. 2. Memisahkan ion klorida limbah GM-1 melalui pembentukan humus
sintetis dan menentukan kadar Ion klorida
3. Menentukan total nitrogen dalam humus sintetis.
I.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mampu membuktikan bahwa limbah GM-1 mampu dimanfaatkan sebagai bahan baku humus sintetis dan ion klorida sebagai mikronutrien dapat dipisahkan dari limbah GM-1.
2. Memberikan sumbangan pemikiran solusi bagi permasalahan lingkungan dan pertanian melalui humus sintetis sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian di Indonesia.