Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Susana Pebriartati NIM: 039114063
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
Matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi kegelapan. Jika seluruh tubuhmu terang
dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya
(Lukas 11 :34-36)
Dipersembahkan untuk :
kedua orang tua ku tercinta
alm. Bapak Petrus Suwardi
dan
Ibu Y. F. Sutinah
Yogyakarta 2007
Kesenian reyog merupakan salah satu bentuk budaya Jawa yang tumbuh dan berkembang di kota Ponorogo Jawa Timur. Dalam kesenian reyog ada tokoh sentral yang disebut warok, yang dianggap sebagai pemimpin dan dijadikan panutan masyarakat. Namun warok juga menjadi kontroversi di dalam masyarakat terutama dengan maraknya isu tentang ama. Reyog seperti berdiri dalam dua
ondasi kokoh yaitu antara dukungan dan pertentangan dari masyarakat. Praktek mistis membuat reyog memiliki citra buruk tapi reyog adalah kesenian asli daerah yang patut untuk dikembangkan.
Penelitian kualitatif ini bertujuan u emahami religiusitas pada warok
reyog Ponorogo. Penelit arena citra warok yang
cenderung buruk deng kesenian reyog sulit
untuk dikembangkan. dilihat melalui lima
dimensi religiusitas da ler.
Subjek penelitian yang teridentifikasi
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik pengambilan
subjek melalui snowball sa ukan selama dua minggu
dengan teknik wawancara dan observasi.
Hasil penelitian menggambarkan warok memiliki keyakinan yang sangat tebal kepada Tuhan melalui kepercayaan mereka masing-masing. Pengalaman religius diperoleh melalui makna hidup mereka yang menyatakan hidup sebagai jalan menuju pada Tuhan. Praktek religius yang dijalankan warok sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing dan sesuai dengan cara hidup dalam budaya Jawa yang mereka percayai. Pengetahuan warok pada agama Islam masih terbatas apabila dibandingkan dengan pengetahuan tentang kepercayaan dalam budaya Jawa. Warok memiliki sikap hidup yang baik dan diteladani oleh masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian, warok KG berada pada tahap keempat, warok AT dan warok HM berada dalam tahap ketiga dalam teori perkembangan kepercayaan eksistensial Fowler.
Perlu kajian ulang mengenai agama Islam dalam budaya Jawa mengingat bahwa saat ini banyak masyarakat meninggalkan budayanya dengan alasan agama. Dengan kajian ulang diharapkan kesenian reyog dan budaya Jawa tetap terjaga kelestariannya.
Kata kunci : warok, religiusitas, keyakinan religius, pengalaman religius, praktek
religius, pengetahuan religius dan konsekuensi religius. ag
p
ntuk m
ian ini sangat penting dilakukan k an praktek mistis mereka membuat Religiusitas warok secara utuh akan n teori perkembangan kepercayaan Fow
adalah tiga orang warok Ponorogo
mpling. Penelitian dilak
important because warok image make reyog diff
es the warok reli
ticed have done according to their faith and
, religious faith, religious experience, religious kno
Yogyakarta 2007
Reyog dance is a kind of Javanese culture from Ponorogo, East-Java. There is a central figure that called warok who became a leader and followed by people around them. But warok also became a controversial figure in Ponorogo especially about their faith. Reyog stand from two strong foundations between support and contradiction in Ponorogo. The magical practiced make warok have a bad image but reyog is an original culture from Java that we have to develop.
This qualitative study aimed to understand about the religiousness on warok reyog Ponorogo. This study is
icult to develop. We can study the religiousness of warok from five dimension religiousness and the faith development theory by Fowler.
Three subjects in this study that identified as a warok. Three identified warok has fulfilled with the snowball sampling. The data collecting done for two weeks using the interview and observation technique that involv
giousness component.
There results of this study describe warok have a strong belief to the God with their faith. Their religious experience got from their life meaning that their belief as their way to God. Their religious prac
according to their life style in Javanese culture. Warok knowledge to the Moslem is limit compare with their knowledge about the faith in Javanese culture. Warok had a good attitude in their life and followed by people around them. Based from the results of this study, warok KG stay in the fourth, warok AT and warok stay in the third of the faith development theory by Fowler.
The finding of the study must be follow up such as the Moslem and Javanese culture because there are many people forget about their culture. This study suggests that people became forget about their culture because their religion therefore hoped reyog dance and Javanese culture still protected the continuous.
Key words : warok, religiousness
wledge, religious practice, religious consequence.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat dukungan
dar
1.
2.
3.
5.
berbagai hal melalui cara hidup dan keteladan melalui mbah sekalian.
lis pada banyak hal dalam
hidup. Terimakasih atas “pecut” yang selalu dirindukan jika penulis nakal dan
telah menjadi inspirasi bagi penulis.
i berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus
kepada orang-orang yang telah menginspirasi penulis selama kuliah dan
melakukan penelitian ini :
Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Bapak Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis.
Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pembimbing dan
rekan diskusi penulis.
4. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mbak
Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah membantu penulis selama studi.
Mbah Wo sekeluarga, mbah Tobron sekeluarga dan mbah Moloq sekeluarga,
terimakasih atas dukungannya pada penelitian ini. Penulis mempelajari
6. Bapakku alm. Petrus Suwardi, yang mengajari penu
. Mb
tapi memacu adikmu ini untuk cepat lulus.
u karna penulis.
penulis. “Sekarang ana jauh lebih kuat mbak”.
i bukan
14.
16. an seluruh keluarga besar di Ponorogo,
terimakasih sudah mau direpotin dan membantu dalam penelitian ini.
8 ak Yayuk “mak endut 1” dan mas Catur, terimakasih atas semua nasihat
dan teladan yang kalian berikan.
9. Mbak Titin “mak endut 2” dan mas Drajat, terimakasih atas pertanyaannya
yang udah bikin stres, te
10.Mbak Ika “mbak pempeng” dan mas Gigih, terimakasih atas segala dukungan
dan doanya yang dengan sabar dimarahi ib
11.Mbak Rini dan mas Loren, terimakasih atas segala hal yang sudah diberi dan
semangatnya.
12.Mbak Danik dan bang Lingga, terimakasih atas kesabarannya karna udah
menjadi “tong sampah”
13.Uchie adikku terimakasih atas bantuannya yang telah menjadi pembantu
selama 2 bulan terakhir ini. ”kamu adalah pembantu termahal tap
yang terbaik yang pernah kumiliki”.
Semua ponakanku yang keren-keren, Fany, Icha, Tito, Sasha, Bagas, Dimas....
makasih senyumannya yang membuat penulis semangat.
15.Om Bambang, Bulek Titik, Ika, Dito dan seluruh keluarga besar di Solo,
terimakasih atas perhatian dan kasih sayang yang kalian berikan.
Mas Tondo, Mbak Harini, Tiyok d
g sangat menyenangkan dan semangat yang
19. udah mau
ngan sabar mendengarkan setiap keluh kesahku. “Maaf suster
21. a dan
22. perantauanku, terimakasih atas segala
18.Otics, Poke, Mia, Melati, Andri dan semua teman-teman relawan Bantul,
terimakasih atas kebersamaan yan
kalian berikan.
Mas Indri, Nanang, Wiwit, Galih, Beny dan aa’ Atok.... makasih s
menemaniku, menjadi sasaran empuk kemarahanku dan teman curhatku yang
sangat baik. ”miss u all”.
20.Suster Hedwig, terimakasih atas dukungan surat, doa dan tempat curhatnya,
yang sudah de
kalo sering nyusahin hehehe”.
Teman-teman kosku yang datang dan pergi, mbak Ana, Mbak Lia, Sisk
Sania... makasih udah mau dengerin ana kalo lagi teriak-teriak dan segala
bantuannya selama di yogya ini.
Agnes dan Edick teman-teman satu
semangat yang kalian berikan. “Nes makasih udah membantu ana selama di
yogya ini yach”.
23.Teman-teman angkatan 2003 yang selalu berjuang meraih cita-citanya. “Ayo
semangat prenz”.
24.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih buat
semuanya. Tuhan memberkati.
Penulis memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta,
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 7 Desember 2007
Penulis,
Susana Pebriartati
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PUBLIKASI iv HALA v vi ABSTRAK... viii
ABSTRACT... viii
ATA ENGA TAR... ... ... ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... xiii
DAFTAR ISI... xiv
DAFTAR TABEL... xviii
DAFTAR GAMBAR... xix
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penelitian... 7
D. Manfaat Penelitian... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 8
A. Sejarah Reyog Ponorogo... 8
B. Warok... 13 MAN MOTTO...
HALAMAN PERSEMBAHAN...
K P N ... .... ...
F. Pertanyaan Penelitian... 36
BAB III. METODE PENELITIAN... 37
A. Jenis Penelitian... 37
B. Fokus Penelitian... 38
C. Subjek Penelitian... 39
D. Metode Pengumpulan Data... 40
1. Wawancara... 40
2. Observasi... 41
E. Analisis Data... 42
F.Pemeriksaan Keabsahan Data... 45
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Tahap Pengumpulan Data... 49
B. Identitas dan Deskripsi Subjek Penelitian... 50
1. Identitas Subjek Penelitian... 50
2. Deskripsi Subjek Penelitian... 50
a. Subjek 1... 50
b.Subjek 2... 53
c. Subjek 3... 54
C. Hasil Penelitian... 55
1. Warok Reyog Ponorogo... 55
c. Praktek Religius... 62
d. Pengetahuan Religius... 63
e. Konsekuensi Religius... 66
f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial... 67
3. Subjek 2... 69
a. Keyakinan Religius... 70
b. Pengalaman Religius... 71
c. Praktek Religius... 77
d. Pengetahuan Religius ... 78
e. Konsekuensi Religius... 78
f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial... 79
4. Subjek 3... 80
a. Keyakinan Religius... 81
b. Pengalaman Religius... 82
c. Praktek Religius... 85
d. Pengetahuan Religius... 86
e. Konsekuensi Religius... 87
f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial... 88
D. Pembahasan Hasil Penelitian Religiusitas Warok Ponorogo... 89
1. Keyakinan Religius... 90
5. Konsekuensi Religius... 97
BAB V : A. Kesi B. Sara DAF LAMPIRAN... 112
PENUTUP... 106
mpulan... 106
n... 107
TAR PUSTAKA... 109
Tabel I Panduan Wawancara...41
Tabel II Daftar Kode Dalam Analisis...44
Tabel III Jadwal Pengambilan Data...50
Tabel IV Identitas Subjek Penelitian...50
ar 1: D
r 2: D
Gamb enah Rumah KG...52
Gamba enah Rumah HM...55
Ponorogo adalah salah satu kota di Propinsi Jawa Timur yang memiliki
jumlah penduduk sebesar 783.356 jiwa yang tersebar dalam 20 kecamatan.
Mayoritas penduduk Ponorogo beragama Islam dengan jumlah 777.517 jiwa, umat
beragama Katolik sebesar 2642 jiwa, umat Kristen sebesar 1920 jiwa, umat Hindu
sebesar 266 jiwa, dan umat Budha sebesar 463 jiwa (Biro Pusat Statistik Indonesia,
1981). Kehidupan masyarakat di Ponorogo ditunjang oleh sektor pertanian,
perdagangan dan pertambangan. Sektor penunjang lainnya adalah bidang budaya –
pariwisata (“Ponorogo”, 2006). Pariwisata di Ponorogo amat ditunjang oleh salah
satu bentuk seni budaya yang sangat tekenal, yaitu Reyog Ponorogo.
Reyog Ponorogo adalah salah satu bentuk kesenian yang tercipta pada
jaman Kerajaan Wengker (1037 Masehi). Bentuk kesenian ini berupa tarian, alunan
musik gamelan dan pertunjukan akrobat yang ditunjukkan para pemainnya. Setelah
raja Wengker wafat, kesenian reyog dikembangkan oleh Prabu Klana Sewandana.
Selanjutnya kesenian reyog berkembang dan digunakan oleh Batoro Katong untuk
menyebarkan agama Islam di Ponorogo.
Pemain reyog memiliki beberapa nama sesuai dengan perannya dalam
memainkan pertunjukan, yaitu Warok, Klono Sewandana, Pujangganong, jathilan,
pembarong, dan pengrawit. Warok adalah orang yang memimpin dan dihormati
dalam kelompok, dan biasanya mengawasi jalannya pertunjukan di tepi lapangan
(lihat lampiran 1 Gambar 1). Klono Sewandana adalah orang yang memerankan
sosok Pandji Klono Sewandana, tokoh historis dan yang dipercaya meneruskan dan
mengembangkan kesenian Reog di Kerajaan Wengker (lihat lampiran 1 Gambar 2).
Pujangganong adalah orang yang memerankan sosok patih Bujangganong sebagai
orang yang menciptakan kesenian reyog (lihat lampiran 1 Gambar 3). Jathilan
adalah penari yang menggunakan kuda lumping (lihat lampiran Gambar 4). Sosok
penari jathilan dahulu dimainkan oleh laki-laki namun saat ini penari laki-laki
digantikan oleh penari wanita. Pembarong adalah orang yang memainkan dadhak
merak (lihat lampiran 1 Gambar 5) yang merupakan peralatan tari paling dominan
dan terdiri dari kepala harimau dan kerangka bambu yang ditutupi oleh bulu merak.
Yang terakhir adalah pengrawit yaitu orang yang memainkan peralatan gamelan
yang terdiri dari terompet, kendang, ketipung, kethuk dan kenong, kempul, dan
angklung (lihat lampiran 1 Gambar 6). Jadi kesenian reog biasanya dimainkan oleh
sekitar 20 sampai 30 orang.
Tokoh sentral dalam kesenian reog adalah Warok. Konon seorang warok
adalah seorang yang sakti dan sebagai pemimpin kelompok. Ada pepatah Jawa bagi
warok yaitu ora tedas tapak paluning pande, sisaning gurenda atau tidak mempan
terhadap semua senjata. Menurut salah seorang sesepuh warok Mbah Wo Kucing,
untuk menuju pada kesaktian, seseorang harus menguasai apa yang disebut Reh
Kamusankan Sejati atau jalan kemanusiaan yang sejati. Hal inilah yang dipelajari
para warok muda untuk mendapat gelar dan menjadi seorang warok sejati.
Istilah warok dahulu sangat berkembang di lingkungan Kerajaan Wengker
(1037 Masehi). Raja Wengker, yaitu Prabu Jaka Bagus, konon adalah seorang
warok. Selanjutnya istilah warok berkembang di luar lingkungan kerajaan karena
masyarakat biasa ingin menjadi manusia yang sakti sama seperti rajanya.
menciptakan kesenian Reyog pertama kali adalah warok. Maka istilah warok
sangat identik dengan kesenian Reyog Ponorogo.
Secara umum ternyata ada dua istilah jenis warok yang berkembang di
masyarakat Ponorogo, yaitu warok sejati dan warokan. Kedua jenis warok tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya (Ian Douglas Wilson, 1999).
Menurut Ayu Sutarto (2005), seorang warok sejati merupakan sosok orang yang
baik, bisa memberikan nasihat spiritual, dan bisa melindungi masyarakat awam.
Sedangkan istilah warokan diberikan pada orang yang menggunakan ilmu untuk
kepentingan diri sendiri dan cenderung bertindak kriminal. Pada masa ini sedikit
sekali warok yang menyandang predikat warok sejati di Ponorogo.
Sosok warok kontroversial di masyarakat Ponorogo. Di satu sisi, warok
dipandang baik karena warok memiliki ilmu kanuragan dan kebijaksanaan yang
tinggi sehingga mereka sering dimintai nasihat dan petuah oleh masyarakat awam
termasuk oleh pejabat daerah. Seorang warok sejati memiliki tekad suci dan mau
menolong sesama tanpa pamrih dengan cara melindungi sesama dari kejahatan.
Oleh karena itu, menurut Dr. Ayu Sutarto warok merupakan sosok yang baik,
produktif dan protektif (“Warok dan Identitas Ponorogo”, 2006).
Di sisi lain warok memiliki citra buruk di masyarakat. Gemblak adalah
salah satu citra buruk yang melekat pada sosok warok. Gemblak adalah seorang
anak laki-laki yang digunakan warok sebagai pengganti wanita dalam berhubungan
seksual. Warok memiliki pantangan untuk berhubungan seksual dengan lawan
jenisnya agar kekuatan spiritual yang mereka miliki tidak hilang (Ian Douglas
Wilson, 1999).
Fauzannafi (2005), para warok ini adalah penganut kejawen atau paling tidak
adalah orang-orang abangan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Kesenian reyog yang identik dengan minuman keras dan tradisi sesajen
bertentangan dengan ajaran agama, terutama ajaran agama Islam yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk Ponorogo. Maka kemudian reyog menjadi identik dengan
pertentangan antara “Islam” dan “Kejawen”. Secara tidak langsung ada pemisahan
antara pemain reyog dengan golongan agama, dengan sebutan tyang ho’e untuk
para pemain reyog dan tyang mesjid untuk remaja santri.
Kepercayaan kejawen yang dianut oleh para warok, menurut Negara adalah
salah satu aliran kebatinan di Indonesia, dan bukanlah suatu agama. Namun salah
satu kewajiban yang ditentukan bagi segenap penduduk Negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah keharusan untuk menganut salah satu agama dunia
(“Fenomena Agama Asli”, 2006). Maka seluruh penduduk Indonesia tak terkecuali
warok juga harus menganut salah satu agama yang diakui di Indonesia. Warok
menganut agama mayoritas yang ada di daerah Ponorogo yaitu agama Islam.
Secara hukum Negara, warok adalah penganut agama Islam. Seseorang
yang telah menganut salah satu agama tentunya juga harus menaati dan
menjalankan aturan dan kewajiban yang ada di dalam agamanya. Warok yang telah
menganut agama Islam juga diikat dengan adanya aturan dan kewajiban yang ada
di dalam agama Islam. Namun penggunaan ilmu kanuragan yang digunakan oleh
warok, ternyata sudah melanggar salah satu aqidah Islam. Dalam Surat Luqman
[31] :13 tertulis bahwa “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah.
Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu benar-benar merupakan kedzaliman
Pada kesenian reyog Ponorogo kesan mistis sangat terlihat apabila warok
menyalakan kemeyan dan menyediakan sesaji di depan barongan sebagai alat
utama. Hal ini ternyata juga telah melanggar aqidah Islam yang lainnya yaitu
seperti yang tertulis dalam Surat Yusuf [12] : 106 ; “Dan sebagian besar dari
mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain)” (dalam Zainu, 2004).
Penggunaan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan yang telah dipelajari para
warok ternyata telah melanggar beberapa aqidah dari agama yang dianut warok.
Dalam agama Islam maka warok bukanlah sosok orang yang mempunyai sikap
religius pada agamanya. Oleh karena itu penggolongan antara remaja santri yang
taat beragama dengan para warok muda yang kurang taat menjadi tampak jelas di
Ponorogo.
Kesenian reyog Ponorogo dapat dikatakan berdiri pada dua pondasi yang
kokoh dalam masyarakat. Di satu sisi reyog dikatakan sebagai kesenian asli yang
patut untuk dikembangkan. Di sisi lain tradisi reyog sangat melekat dengan praktik
ritual yang bersifat mistis. Para pemain reyog berdiri di antara pertentangan dan
dukungan dari masyarakatnya. Citra warok yang berkembang di masyarakat baik
itu yang positif maupun negatif tentunya dapat mempengaruhi kehidupan para
warok di tengah masyarakat.
Banyak peneliti yang merasa tertarik dengan fenomena warok dan reyog,
seperti Ian Douglas Wilson (1999) dan Muhammad Zamzam Fauzannafi (2005).
Ian Douglas Wilson (1999) menemukan bahwa dalam kesenian reyog Ponorogo
terdapat praktek seksual yang berhubungan dengan kepercayaan spiritual untuk
bahwa seorang warok melakukan praktek homoseksual dengan alasan bahwa
praktek itu digunakan untuk mempertahankan kekuatan supranatural yang mereka
miliki. Sedangkan Muhammad Zamzam Fauzannafi (2005) melihat kesenian reyog
Ponorogo dari sisi sosial-politik. Fauzannafi melihat bahwa kesenian reyog saat ini
dipengaruhi oleh unsur-unsur politik pemerintahan yang akhirnya sedikit mengubah
kesenian asli reyog yang terbentuk pertama kali di Ponorogo. Fauzannafi meneliti
bahwa kekuatan pemerintah Orde Baru yang saat itu dikuasai oleh partai Golkar
ternyata ikut mempengaruhi reyog, misalnya saja pengubahan nama REYOG
menjadi REOG.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana religiusitas
seorang warok Ponorogo. Religiusitas yang dimiliki warok tentunya berhubungan
dengan kepercayaan yang mereka anut yaitu kejawen dan agama yang mereka anut
yaitu Islam. Menurut mayoritas penduduk Ponorogo yang menganut agama Islam,
praktek ritual mistis yang dilakukan para warok bertentangan dengan ajaran agama
yang mereka anut. Sepintas terlihat bahwa warok adalah sosok golongan
masyarakat yang banyak melanggar ajaran agama, namun bagaimanakah
sebenarnya religiusitas yang dimiliki oleh para warok ? Maka sosok warok yang
identik dengan Reyog dan ilmu kanuragan membuat peneliti merasa tertarik
mengadakan penelitian mengenai religiusitas yang dimiliki warok.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah religiusitas
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara objektif
mengenai religiusitas Warok Reyog Ponorogo.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
a) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penelitian ilmu
sosial lainnya yang ingin memahami konsep tentang Reyog Ponorogo, dan
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian yang sejenis dimasa yang
akan datang.
b) Bagi peneliti, sebagai tambahan ilmu dimana peneliti dapat melihat
kemampuan mengkombinasikan teori dan praktek di lapangan.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi masyarakat luas, diharapkan penelitian ini dapat memberi
pemahaman yang benar tentang Reyog Ponorogo sehingga tidak ada lagi
stereotype negatif yang selama ini ada di kalangan masyarakat non Ponorogo.
b) Bagi para generasi muda Ponorogo, diharapkan mereka mampu untuk
memahami kesenian Reog dengan baik, sehingga kesenian yang menjadi ciri
Bab ini akan membahas mengenai tinjauan pustaka yang mendasari
penelitian “Religiusitas Warok Reyog Ponorogo”.
A. Sejarah Reyog Ponorogo
Reyog Ponorogo adalah salah satu bentuk kesenian rakyat yang berasal
dari Ponorogo. Ada banyak versi cerita tentang legenda asal mula terbentuknya
kesenian Reyog. Hal ini dapat dipahami karena pada jaman dahulu belum terdapat
penulisan tentang sejarah masa lalu dan masih bersifat budaya lisan. Jadi sejarah
terbentuknya kesenian Reyog berasal dari cerita-cerita rakyat yang
memungkinkan adanya banyak versi cerita.
Penelitian ini tidak ingin membahas mengenai sejarah yang paling benar,
tetapi ingin mencoba mendeskripsikan kehidupan warok Reyog Ponorogo,
sehingga versi cerita yang ditampilkan adalah versi sejarah yang dianggap benar
oleh sebagian masyarakat Ponorogo. Versi cerita ini peneliti ambil dari buku
“Ungkapan Sejarah Kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo” yang disusun oleh
Moelyadi, yang telah disahkan sebagai suatu legenda yang benar oleh bupati
Ponorogo saat itu yaitu Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo pada tanggal 22
September 1986.
Sejarah Reyog tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kota Ponorogo.
Sejarah keduanya tidak lepas dari kisah tentang kerajaan Wengker. Konon daerah
kekuasaan Kerajaan Wengker menjadi kota Ponorogo saat ini. Sejarah kesenian
Reyog berhubungan dengan kerajaan Wengker, kerajaan Lodaya, dan kerajaan
Panjalu.
Dahulu kala kerajaan Wengker diperintah oleh Prabu Jaka Bagus, yang
memiliki patih bernama Bajang Anung (dalam kesenian Reyog disebut
Bujangganong). Keduanya adalah orang yang sakti. Prabu Jaka Bagus tidak ingin
kesaktiannya luntur, karena itu ia tidak mau berhubungan dengan perempuan.
Maka ia berhubungan dengan sesama jenis, yang disebut dengan “gemblakan”.
Namun atas desakan patihnya, yaitu agar kerajaan memiliki keturunan, maka
Prabu bersedia untuk menikah. Maka sebagai calon permaisurinya adalah Dewi
Sanggramawijaya yang merupakan penasihat raja dari Kerajaan Panjalu. Putri
tersebut terkenal memiliki paras yang elok dan bijaksana. Selain itu Prabu Jaka
Bagus sebenarnya punya hubungan darah dengan Putri Sanggramawijaya, yaitu
keturunan raja Airlangga. Maka saat itu patihnya mengajukan lamaran ke kerajaan
Panjalu.
Sementara itu kerajaan Lodaya dipimpin oleh Prabu Singobarong. Prabu
Singobarong ternyata juga memiliki perasaan kasmaran dengan Putri
Sanggramawijaya. Selain itu juga, sebelumnya ada wabah akibat dari tenung
janda Calon Arang. Menurut ilham yang diterima Prabu, wabah tersebut akan
berhenti jika ia menikah dengan Dewi Sanggramawijaya. Maka ia juga
mengajukan lamaran pada kerajaan Panjalu.
Ternyata kedua lamaran, yaitu dari kerajaan Wengker yang diwakili oleh
Pu Bajang Anung dan dari kerajaan Lodaya oleh raja Singobarong sendiri, datang
membuat suatu sayembara. Isi sayembara tersebut adalah:
1. Sang Dewi bersedia menikah bila salah satu dari kedua calon dapat membuat
jalan dari daerah calon suami sampai menembus ke daerah Panjalu di bawah
tanah.
2. Sebagai sarana perkawinan, minta diciptakan suatu pertunjukan yang belum
pernah ada di dunia.
Setelah mendengar sayembara tersebut, Pu Bajang Anung dan raja
Singobarong mengundurkan diri. Saat di tengah perjalanan pulang kembali ke
kerajaan Wengker ternyata raja Singobarong menyerang Pu Bajang Anung dan
pasukannya. Akhirnya Pasukan kerajaan Wengker kalah, namun Pu Bajang
Anung selamat.
Pu Bajang Anung melaporkan pada raja perihal sayembara dan serangan
dari kerajaan Lodaya. Mendengar laporan dari patih Pu Bajang Anung, Prabu Jaka
Bagus sangat marah, dan ia langsung menyerang kerajaan Lodaya. Sementara itu
Pu Bajang Anung yang resah mencari tempat sunyi untuk mengheningkan cipta di
bawah gunung Bhayangkaki. Ia bersemedi, dan akhirnya mendapat topeng seperti
raksasa dan sebatang buluh kuning sebagai pusaka untuk mengalahkan musuh.
Prabu Jaka Bagus saat itu masih mengadakan peperangan dengan raja
Singobarong. Tidak lama setelah peperangan berjalan, Pu Bajang Anung datang
untuk membantu Prabu Jaka Bagus yang sedang mengalami kekalahan. Dengan
senjata yang dimilikinya, yaitu Buluh Gading dan Topeng, ia dapat mengalahkan
kerajaan Lodaya. Akhirnya raja Singobarong kalah dan menjadi tawanan Pu
Pu Bajang Anung lalu memberikan perintah pada Raja Singobarong dan
prajuritnya untuk membuat jalan di bawah tanah untuk memenuhi permintaan
Dewi Sanggramawijaya. Setelah jalan tersebut selesai, maka Pu Bajang Anung
menyampaikan hal itu pada raja Panjalu. Dewi Sanggramawijaya dan raja Panjalu
akhirnya melihat hasil pekerjaan yang telah dilaporkan patih kerajaan Wengker
itu. Pada waktu rombongan kerajaan Panjalu akan kembali pulang, raja
Singobarong melihat Dewi Sanggramawijaya. Maka timbullah perasaan marah
dan dendam yang menyala-nyala. Selanjutnya ia berubah lagi menjadi macan
jadi-jadian yang besar dan buas. Dengan tidak membuang waktu lagi, Pu Bajang
Anung menarik goloknya dan memenggal leher macan tersebut. Kepala
Singobarong putus, dan matilah ia.
Pu Bajang Anung merasa menyesal telah membunuh raja Singobarong
sehingga ia mengasingkan diri di dalam hutan. Namun Pu Bajang Anung masih
memiliki tugas yaitu membuat kesenian yang tidak pernah ada di dunia. Maka
dalam pengasingannya, Pu Bajang Anung berpikir dan berusaha membuat
kesenian yang tidak pernah ada di dunia. Topeng dan buluh yang didapat Pu
Bajang Anung saat semedi pertama kali digunakan sebagai bahan untuk membuat
alat-alat kesenian. Topeng menggambarkan perwujudan diri Pu Bajang Anung
sendiri, sedangkan buluh dipotong-potong untuk membuat terompet, angklung
dan cemeti (pecut). Potongan buluh yang lebih halus dianyam menjadi bentuk
kuda tiruan, yang disebut dengan Kuda Kepang. Tambahan alat musik lainnya
yaitu dua buah canang perang nada slendro dan genderang besar dan kecil beserta
yang menyusun iringan gamelan dan Jatil yang menaiki kuda kepang. Kemudian
ia menciptakan perwujudan raja Singobarong melalui topeng kepala macan. Ia
juga mulai menghias kepala macan dengan memberikan mahkota bulu-bulu
merak. Nantinya kepala macan itu dipakai oleh salah seorang warok untuk
menggambarkan perwujudan Singobarong. Terakhir Pu Bajang Anung memegang
Pecut Samandiman. Arti Pecut Samandiman adalah pecut pemimpin. Pu Bajang
Anung menciptakan tarian yang menggambarkan riwayat hidup perjuangannya.
Untuk menunjukkan darma baktinya pada kerajaan Wengker, Pu Bajang
Anung menyerahkan kesenian yang telah dibuatnya kepada Prabu Jaka Bagus
sebagai syarat sayembara Dewi Sanggramawijaya. Prabu Jaka Bagus menamakan
kesenian ltu Leyog. Ternyata bunyi Leyok…Leyok dari kejauhan terdengar
seperti Reyog. Maka selanjutnya nama kesenian baru itu disebut Reyog.
Pada saat kesenian Reyog ini akan dibawa menuju kerajaan Panjalu
ternyata iring-iringan pengantin dari kerajaan Wengker terkena bencana. Pada saat
itu terjadi gempa yang sangat besar. Iring-iringan pengantin tadi terkubur di jalan
bawah tanah yang telah mereka buat. Akibat kejadian itu, Dewi Sanggramawijaya
menjadi seorang pertapa dan memilih tempat bertapa di dekat Candi Belahan di
Kepucang lereng gunung Penanggungan dan dengan menyebut dirinya
KILISUCI. Kerajaan Wengker dikuasai oleh Panji Kelana Sewandana, yang
merupakan utusan kerajaan Panjalu yang berasal dari Jenggala. Panji Kelana
Sewandana inilah yang kemudian meneruskan kesenian Reyog. Selanjutnya
kerajaan Wengker dikuasai oleh Raden Katong yang merupakan utusan dari
kembali membangun bekas kerajaan Wengker. Dengan demikian bekas Kerajaan
Wengker menjadi kota Ponorogo sekitar tahun 1408 Syaka atau 1486 Masehi.
Pada tahun 1995, Bupati Ponorogo yang bernama Drs. Markoen
Singodimedjo, M.M. menggantikan semboyan Ponorogo menjadi Reog yang
memiliki kepanjangan “Resik (bersih), Endah (indah), Omber(lapang),
Girang-gumirang (menyenangkan)”. Jadi kesenian yang semula bernama Reyog diganti
menjadi Reog. Dengan demikian kesenian yang baru tadi sekarang lebih dikenal
dengan nama Reog Ponorogo.
B. Warok
Warok berasal dari kata Arok yang artinya berbudi bowo leksono yaitu
orang yang sifatnya baik dan sosial. Selanjutnya warok dapat diartikan sebagai
orang yang setia dan taat pada kepercayaannya. Pada awalnya istilah warok ini
hanya berkembang di lingkungan kerajaan Wengker, karena Prabu Jaka Bagus
adalah warok pertama, namun lama-kelamaan menjadi istilah umum bagi
masyarakat. Banyak warga masyarakat yang ingin sama seperti rajanya, yaitu
menjadi sakti dan dikenal sebagai warok.
Menurut salah satu sesepuh Reyog Mbah Wo Kucing, warok berasal dari
kata wewarah yang berarti petunjuk. Jadi, warok artinya adalah seseorang yang
mampu memberi petunjuk dan pengajaran tentang hidup yang baik. Warok
adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan
perlindungan tanpa pamrih. Mbah Wo Kucing kemudian menambahkan bahwa
pengendapan batin. Seorang warok mengarahkan hidupnya pada arah yang benar
dan baik.
Seseorang akan mendapat gelar menjadi seorang warok harus memenuhi
beberapa syarat tertentu. Dahulu kala untuk mendapatkan sebutan warok harus
memiliki kekuatan dan kesaktian berupa antara lain tebalnya kulit dan kerasnya
tulang, yang kelak menjadi suatu cabang ilmu aji Jaya Sakti (Moelyono, 1986).
Seorang warok menggunakan ilmu kanuragan dalam memainkan dan
mengembangkan kesenian Reyog Ponorogo. Hal ini diungkapkan oleh Mbah Wo
bahwa syarat untuk menjadi seorang warok yaitu harus menempuh berbagai ilmu
kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah menempuh kedua ilmu tersebut, biasanya
calon warok dikukuhkan menjadi warok dengan diberi senjata kolor wasiat berupa
tali bewarna putih. Senjata itulah yang menjadi andalan para warok.
Syarat utama menjadi seorang warok adalah memiliki tubuh yang bersih,
tidak bersentuhan dengan perempuan, bisa menahan nafsu, serta bisa menahan
lapar dan haus. Hal ini diperlukan karena tubuh seorang warok akan ”diisi” oleh
ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Maka untuk menjadi seorang warok,
seseorang perlu belajar dan menuntut ilmu kanuragan yang bersifat mistis.
Secara garis besar, warok bukanlah suatu profesi atau jabatan. Warok
adalah suatu julukan bagi orang yang memiliki kekuatan supranatural dan telah
melewati beberapa pelajaran tentang ilmu kebatinan di daerah Ponorogo. Warok
sendiri identik dengan tubuh yang besar, berjenggot, memakai ikat kepala hitam,
berpakaian serba hitam dan memakai tali bewarna putih yang disebut dengan
kesehariannya, orang yang disebut warok memiliki kehidupan yang sama dengan
masyarakat lainnya dan hampir tidak bisa dibedakan dengan masyarakat di
lingkungannya.
Berdasarkan sejarah dan definisi Reyog dan warok, maka dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya istilah warok dan Reyog adalah dua istilah yang
berbeda. Hal yang menghubungkan kedua istilah tersebut adalah bahwa Reyog
dimainkan oleh warok. Reyog merupakan hiburan bagi para Warok. Maka
sebenarnya seorang warok bisa saja tidak berada dalam kelompok Reyog. Namun
seiring dengan berjalannya waktu, orang yang menjadi warok hampir seluruhnya
bermain Reyog sehingga warok identik dengan kesenian Reyog.
Banyak orang menduga bahwa reyog Ponorogo dipengaruhi oleh budaya
spritual animisme karena penampilannya yang selalu berbau mistis dan magis
(”Budaya Mistis Reog Ponorogo, 2002). Kepercayaan yang bersifat animisme
adalah kepercayaan bahwa dibalik semua realita ada roh-roh yang bekerja
(”Renungan”, 1999). Kepercayaan ini dapat dilihat ketika tokoh warok
menyalakan dupa dan kemenyan di depan topeng barong sebelum pertunjukkan
reyog dimulai. Ini merupakan salah satu bukti bahwa warok memiliki kekuatan
ilmu mistis dan ilmu kebatinan.
Dari sejumlah persyaratan untuk menjadi seorang warok yang sakti, maka
muncullah istilah gemblakan yang menjadi citra buruk dari warok. Salah satu
syarat menjadi warok adalah memiliki kesaktian, namun kesaktian itu bisa
diperoleh jika warok bisa menahan untuk tidak berhubungan seksual dengan
kepercayaan, bahwa berhubungan dengan perempuan akan menyebabkan
berkurangnya kekuatan (Ian Douglas wilson, 1999). Maka untuk menggantikan
peranan perempuan, warok memilih anak laki-laki muda yang kira-kira berumur 8
sampai 16 tahun. Anak laki-laki ini disebut dengan gemblak, dan biasanya dalam
kesenian reyog, gemblak berada dalam posisi penari jathil.
Dahulu istilah gemblak sangat popoler di masyarakat Ponorogo. Namun
setelah tahun 1980, istilah gemblak mulai redup karena penari jathil yang semula
adalah seorang anak laki-laki, digantikan dengan anak perempuan (Fauzannafi,
2005). Hal ini terjadi karena pada tahun 1977, INTI (Insan Taqwa Allah) berusaha
untuk membersihkan nama reyog terutama yang berhubungan dengan praktek
homoseksual yang dijalankan oleh warok (Ian Douglas Wilson, 1999). Maka
semenjak itu penari jathilan digantikan dengan penari perempuan agar reyog
sesuai dengan tradisi bangsa yang sesuai dengan budaya bangsa.
Ternyata ada dua istilah warok yang berkembang di masyarakat Ponorogo,
yaitu warok sejati dan warokan. Warok sejati memiliki jiwa ksatria dan bertindak
tanpa pamrih, sementara itu warokan menggunakan kekuatan mereka untuk
keuntungan pribadi. Perbedaan lainnya yaitu warokan kurang bisa mengontrol
nafsu mereka pada adanya gemblak, sedangkan seorang warok sejati harus bisa
menahan nafsu mereka (Ian Douglas Wilson, 1999).
Menurut Fauzannafi (2005), warok adalah penganut ajaran Kejawen.
Kejawen adalah salah satu agama asli penduduk Indonesia (”Fenomena Agama
Asli”, 2006). Pembentukan ajaran kejawen menurut Mulyana (2006) merupakan
asimilasi antara kepercayaan Jawa asli, Hindu-Budha, dan Islam (Mulyana, 2006).
Lebih lanjut Mulyana menjelaskan bahwa kejawen adalah keseluruhan tata hidup
orang Jawa yang diyakini, dijalani, dan dikembangkan sebagai sikap dan
pandangan hidup orang Jawa. Ajaran kejawen dekat dengan praktek mistis dan
ilmu kebatinan.
Penganut ajaran kejawen tersebar di propinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Penganut kejawen menjalankan kepercayaan yang mereka miliki melalui
tradisi atau laku keagamaan. Orang Jawa melakukan kepercayaan mereka dengan
berusaha untuk berperilaku baik, kepada alam dan kepada sesama manusia.
Menjalani kehidupan sehari dengan baik, menurut orang Jawa hal itu sudah
merupakan kehidupan beragama yang disebut juga dengan religiusitas. Maka
religiusitas orang Jawa terlihat dari perilakunya sehari-hari dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pemerintah sampai saat ini belum menetapkan ajaran kejawen sebagai
sebuah agama di Indonesia. Pemerintah hanya mengakui 5 agama besar yaitu
Islam, Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Hindu ditambah dengan agama yang
baru diresmikan yaitu Konghuchu (Hutagalung, 2006). Tidak diakuinya kejawen
sebagai sebuah agama resmi di Indonesia disebabkan karena ajaran Kejawen tidak
memiliki Kitab Suci dan Nabi seperti yang terdapat dalam agama-agama besar
(Susanto, 2005). Maka ajaran kejawen merubah dirinya dengan istilah ajaran
kebatinan seperti agama-agama asli lainnya di Indonesia (”Fenomena Agama
Asli”, 2006). Ajaran kebatinan ini oleh pemerintah disebut dengan aliran
Dengan tidak resminya ajaran kejawen menjadi suatu agama, maka para
penganutnya secara tidak langsung mengharuskan dirinya menjadi pemeluk salah
satu agama resmi di Indonesia. Hal ini dilakukan agar mereka bisa mendapatkan
kemudahan apabila berhubungan dengan pemerintahan, misalnya saja untuk
mengurus pernikahan. Identitas keagamaan ini biasanya terdapat di Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang mencantumkan agama tertentu. Namun bagi para penganut
kejawen, hal tersebut hanya sebagai tulisan saja dan mereka tidak secara
sungguh-sungguh menjalani kegiatan keagamaan yang tercantum dalam KTP. Orang Jawa
yang seperti ini disebut dengan istilah abangan.
Abangan ini istilah yang dipakai oleh umat yang beragama resmi di
Indonesia, terutama umat yang beragama Islam kepada penganutnya yang tidak
secara sungguh-sungguh menjalankan perintah agamanya. Abangan ini berarti
merah. Apabila dikuyah, sirih akan menjadi merah. Dan sirih adalah suatu hal
yang penting bagi agama asli seperti kejawen. Dengan demikian penganut ajaran
Kejawen disebut dengan kaum merah (”Fenomena Agama Asli”, 2006). Ada
juga yang menjabarkan kata abangan dengan bahasa Arab yaitu ”aba” yang
berarti tidak peduli (Subagya, 1981).
Menurut agama resmi yang ada di Indonesia, agama asli misalnya kejawen
disebut sebagai ajaran animisme atau penyembah berhala (Hutagalung, 2006).
Bagi sebagian umat Muslim, istilah kejawen dirasakan sangat dekat dan penuh
dengan hal-hal yang berbau syirik (menyekutukan Tuhan). Sebuah perilaku yang
berbahaya bagi umat Islam karena bisa merusak akidah dan keyakinan (Mulyana,
mencampurbaurkan Islam dengan ajaran agama asli (kejawen). Sedangkan
menurut Takeshi (2000), ajaran aliran kebatinan cenderung dilihat sebagai Islam
yang sesat. Maka menurut ajaran Islam fondamentalis ajaran kebatinan dianggap
menyimpang dan harus ditinggalkan (Susanto, 2005).
Istilah abangan yang berkembang di masyarakat Jawa ditujukan bagi
orang-orang yang menganut salah satu agama namun tidak melaksanakan ajaran
agama yang mereka anut. Jadi tampak sekilas bahwa orang-orang abangan
bukanlah seorang yang religius karena mereka tidak melaksanakan ajaran agama
yang tertulis pada KTP mereka.
Salah satu kelompok yang termasuk kaum abangan adalah warok.
Seorang individu untuk mendapatkan gelar warok harus menempuh ilmu
kanuragan dan belajar imu kebatinan. Hal ini tentunya sangat bertentangan
dengan ajaran agama Islam yang berkembang di Ponorogo. Pada umumnya warok
yang dikenal di masyarakat berstatus sebagai pemeluk agama Islam pada kartu
penduduknya. Namun tampaknya hal itu hanya secara formal saja karena para
warok sering menjalankan laku kejawen misalnya dengan puasa pada hari
kelahiran atau menyalakan sesaji di depan barongan, yang jelas-jelas hal itu
dilarang oleh agama Islam.
Warok dikenal sebagai seseorang yang bertingkah laku baik dan mau
membantu sesamanya. Warok juga menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya
karena mereka memiliki kebijaksanaan yang tinggi sehingga mereka sering
dijadikan penasihat bagi masyarakat di sekitarnya. Kedekatan warok dengan dunia
Ilmu kanuragan dan kebatinan yang dianut para warok ternyata juga
membawa masalah bagi masyarakat di sekitarnya, terutama golongan Muslim
yang taat. Golongan priyayi sebenarnya tidak setuju dengan adanya penggunaan
mistis dalam kesenian Reyog, namun Reyog adalah kesenian asli masyarakat
Ponorogo. Maka masalah ajaran keagamaan hanya menjadi masalah diantara
masyarakat Ponorogo sendiri dan tidak menjadi suatu hal yang sangat penting
untuk diperdebatkan.
C. Agama dan Religiusitas
Pengertian religius tidak dapat dipisahkan dari kata dasarnya yaitu religi
(agama). Menurut Almirzanah (2001) agama berasal dari kara “religare” yang
artinya mengikat manusia dengan Tuhan. Selanjutnya Driyarkara (1978)
menambahkan bahwa makna “mengikat” yaitu agama dengan aturan-aturan dan
kewajiban-kewajiban yang dimilikinya harus dilaksanakan, di mana aturan-aturan
dan kewajiban-kewajiban itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri
seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama
serta alam semesta.
Menurut Sumarah (2002), agama khususnya agama timur bukanlah
terutama suatu sistem dogma melainkan suatu cara hidup agar manusia bisa hidup
secara harmonis dengan alam dan sesamanya dengan jalan mengamalkan sikap
kasih dan tanggap satu terhadap yang lain. Maka agama adalah suatu keyakinan
akan adanya kekuatan di luar kuasa manusia yang mempengaruhi, menentukan
Jadi, agama merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia yang
mengatur dan mempengaruhi tingkah lakunya melalui aturan-aturan dan
kewajiban-kewajiban dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan, baik
dengan sesama maupun dengan alam semesta.
Mangunwijaya (1982) membedakan istilah agama (religi) dan religiusitas.
Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan
kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek religi yang
telah dihayati oleh individu di dalam hati.
Menurut Jalaluddin (dalam Bukhori, 2006), religiusitas adalah suatu
keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku
sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Religiusitas tidak hanya
menunjukan seorang individu itu tahu mengenai ajaran agamanya tetapi juga
melaksanakan dan mengamalkan ajaran agamanya.
Jadi, religiusitas adalah suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang
mendorongnya untuk bertingkah laku dengan cara melaksanakan dan
mengamalkan ajaran agamanya.
Religiusitas memiliki lima dimensi seperti yang dikemukakan Glock &
Stark (dalam Bukhori, 2006; Ancok & Suroso, 2000), yaitu :
1. Dimensi Ideologis
Disebut juga dengan dimensi keyakinan, yaitu tingkat keyakinan seseorang
terhadap kebenaran ajaran agamanya terutama terhadap ajaran-ajaran yang
fundamental atau bersifat dogmatis.
Disebut juga dengan dimensi praktik yaitu tingkat kepatuhan seseorang dalam
mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana diperintahkan atau dianjurkan
oleh agama yang dianutnya.
3. Dimensi Eksperiensial
Disebut juga dengan dimensi pengalaman, yaitu seberapa tingkat seseorang
dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman
religiusnya.
4. Dimensi Intelektual
Disebut juga dengan dimensi pengetahuan, yaitu tingkat pengetahuan dan
pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran
pokok agamanya sebagaimana termuat dalam kitab sucinya.
5. Dimensi Pengalaman
Disebut juga dengan dimensi konsekuensi, yaitu tingkat seseorang dalam
berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya. Perilaku yang dimaksud
adalah perilaku duniawi yakni bagaimana individu berhubungan dengan dunia.
Menurut Fowler (1995), agama adalah salah satu bentuk penyaluran dan
pengungkapan kepercayaan eksistensial seseorang. Maka kepercayaan eksistensial
yang berupa kepercayaan religius seseorang tidak selalu bisa dimasukan dalam
sebuah lembaga keagamaan. Berdasarkan pernyataan ini religiusitas seseorang
tidak selalu atau tidak mutlak harus pada sebuah agama tertentu. Berhubungan
dengan kepercayaan seseorang kepada Allah yang bersifat transendens, Fowler
(1995) mengungkapkan gagasannya tentang kepercayaan eksistensial..
diri, harapan, serta rasa kebergantungan pada yang lain.
Fowler melihat bahwa kepercayaan eksistensial sebagai rasa percaya
dibedakan dalam tiga aspek, yaitu :
1. “Kepercayaan” sebagai cara seorang pribadi (atau kelompok) melihat
hubungannya dengan orang lain, dengan siapa ia merasa diri bersatu berdasarkan
latar belakang sejumlah tujuan dan pengartian yang dimiliki bersama.
2. “Kepercayaan sebagai cara tertentu, dengan mana pribadi menafsirkan dan
menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam segala
lapangan daya kehidupannya yang majemuk dan kompleks.
3. “Kepercayaan” sebagai cara pribadi melihat seluruh nilai dan kekuatan yang
merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesamanya.
Menurut Fowler (1995) ada beberapa tahap perkembangan dalam
hubungannya dengan kepercayaan yang dianut oleh seorang individu. Fowler
mengemukakan bahwa ada tujuh tahap proses dan perkembangan kepercayaan
eksistensial. Ada enam tahap yang penting, dan akan dikemukakan untuk
selanjutnya. Satu tahap pertama, yang merupakan tahap awal 0 – 3 tahun sering
disebut pratahap dan belum diselidiki secara memadai. Tidak ada patokan yang
kaku mengenai umur pada masing-masing tahap (Fowler, 1995).
Tahap 1 : Kepercayaan Intuitif – Proyektif
Tahap ini berlangsung antara umur 3 sampai 7 tahun. Pada tahap ini anak
belum memiliki kemampuan operasional logis yang baik. Anak belum mampu
membedakan antara perspektif dirinya dengan perspektif orang lain. Dunia
namun cenderung berubah-ubah. Anak menangkap kesan-kesan di lingkungannya
dengan menggunakan imajinasi dan gambaran, yang dirangsang lewat cerita,
gerak, isyarat, upacara, simbol-simbol, dan kata-kata. Kemampuan dan minat
anak pada misteri dan Yang Suci dibina dan diarahkan oleh pandangan orang
dewasa. Dunia imajinasi dan gambaran, mewarnai seluruh kehidupan afektif dan
kognitif yang mendasari pola kepercayaan anak.
Tahap 2 : Kepercayaan Mitis – Harfiah
Tahap ini berlangsung pada umur 7 sampai 12 tahun. Pada tahap ini anak
belajar melepaskan diri dari sikap egosentrisnya, dan mulai membedakan
perspektif orang lain dengan perspektif dirinya. Anak masih berpikir konkret
namun sudah bisa menggunakan kategori sebab akibat. Maka anak sudah mampu
memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolok ukur
logisnya sendiri. Pada tingkat moral, anak belum mampu untuk menyusun seluruh
perasaan, sikap dan proses batiniah yang dimilikinya sendiri. Maka anak
bersandar pada struktur-struktur orang dewasa. Sarana utama yang digunakan
untuk pengenalan pada anak adalah melalui cerita dengan tujuan untuk
mengumpulkan berbagai arti dan untuk membentuk pendapatnya.
Tahap 3 : Kepercayaan Sintetis – Konvensional
Tahap ini berlangsung pada umur 12 sampai sekitar umur 20 tahun. Tugas
paling pokok pada tahap ini adalah menciptakan sintesis identitas. Kemampuan
kognitif yang muncul adalah operasional formal. Remaja sanggup merefleksikan
secara kritis riwayat hidupnya dan menggali arti sejarah hidup bagi dirinya
sendiri atau atas dasar orang lain. Remaja sangat tertarik dengan ideologi dan
agama. Remaja dapat menemukan makna eksistensial dalam menemukan orang
dalam relasinya dengan lingkungan. Remaja menciptakan sintesis dari berbagai
keyakinan dan nilai religus, yang mendukung pencarian identitas diri. Namun
sintetis pribadi ini sebagian besar kurang reflektif dan masih terikat pada
pandangan religius yang umum. Cukup banyak orang dewasa yang tetap tinggal
dalam tahap kepercayaan ini.
Tahap 4 : Kepercayaan Induviduatif - Reflektif
Tahap ini berlangsung pada umur 20 tahun ke atas hingga masa awal
dewasa. Individu sudah sadar bahwa dirinya dan orang lain adalah bagian dari
masyarakat, dan ia juga memiliki tanggung jawab atas apa yang sudah menjadi
pilihannya. Peralihan ke tahap ini dimulai ketika individu sadar bahwa seluruh
nilai-nilai kepercayaannya harus ditinjau kembali agar dapat menjadi sebuah
pemikiran yang lebih eksplisit.
Pada tahap ini individu tidak lagi mendasari hidupnya atas nilai-nilai yang
dianut oleh orang lain, tetapi menjadi pribadi yang autentik. Pribadi itu yakin
bahwa manusia adalah subjek yang bebas dan kritis, yang bertanggung jawab atas
pilihan hidupnya. Ciri khas pada tahap ini adalah sistem dan pengontrolan.
Individu harus mampu memakai sistem yang rasional dan berada di bawah kontrol
rasio sadar, dan yang menjadi sasarannya adalah pengontrolan.
Tahap 5 : Kepercayaan Eksistensial – Konjungtif
Tahap ini berlangsung sekitar umur 35 tahun ke atas. Pada tahap ini semua
adalah upaya untuk membuat hidupnya menjadi lebih utuh dengan cara
menggabungkan kembali daya rasio dengan aspek ketidaksadarannya. Individu
menyadari bahwa hidup merupakan anugrah pemberian yang diperjuangkan
dengan pengalaman pahit dan manis selama hidupnya. Individu menghindarkan
untuk menyembah berhala. Individu mulai memperbaiki segala ilmu yang
diperolehnya pada masa anak-anak dan mulai menghargai orang lain yang
memiliki perbedaan nilai dengannya.
Tahap 6 : Kepercayaan Eksistensial yang mengacu pada Universalitas Tahap ini dapat berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Individu
memiliki gaya hidup langsung berakar pada Yang Ultim, yaitu pusat nilai,
kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Individu sudah bisa berhasil
melepaskan diri dari ego dan dari pandangannya yang sempit. Penilaian dan
tindakan individu berubah menjadi perspektif universal terhadap seluruh
kehidupan yang ada di dunia. Ia memiliki visi dan tujuan yang universal untuk
membantu orang lain yang mengalami konflik dan mendapatkan ketidakadilan.
Tahapan perkembangan kepercayaan yang diungkapkan Fowler di atas
berusaha untuk mengetahui cara pemberian arti seluruh pengenalan dan penilaian
pandangan hidup seseorang terhadap diri, Yang Transendens (Allah) dan
lingkungannya.
D. Agama Islam
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
2001). Seluruh kaum muslimin percaya bahwa Islam adalah agama terakhir yang
diturunkan Allah bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir sebagai
penutup garis kenabian.
Agama menurut Islam mencakup seluruh kehidupan individu. Seluruh
aktivitas, usaha dan pemikiran seorang manusia harus menurut aturannya. Jadi apa
yang menjadi pikiran dan tindakan manusia harus berkaitan dengan
prinsip-prinsip ketuhanan, yang merupakan sumber segala sesuatu (Almirzanah, 2001).
Fungsi agama menurut Islam yaitu untuk mengingatkan manusia pada realitas
dunia dan memberikan bimbingan manusia sehingga mereka dapat hidup sesuai
dengan kehendak-Nya.
Agama Islam memiliki dua sumber agama yaitu al-Quran dan al-Hadist
sebagai sumber primer dan Ijtihad sebagai sumber sekunder. Al-quran adalah
wahyu yang berbentuk firman Allah (Kalamullah) yang disampaikan oleh
malaikan Jibril dalam bahasa Arab dan menjadi mu’jizat bagi kenabian
Muhammad. Al-hadist mengandung sunnah (tradisi) Nabi Muhammad yang dapat
berbentuk ucapan, perbuatan atau persetujuan Nabi terhadap suatu perbuatan.
Hadist memiliki kedudukan sebagai penjelas dan pelengkap bagi pokok ajaran
yang tersebut dalam al-Quran. Sumber sekunder Ijtihad adalah prinsip gerak
dalam Islam yang menggunakan segala kemampuan secara penuh tanggungjawab
untuk menggali, memahami dan merumuskan pokok-pokok ajaran yang tersurat
maupun yang tersirat dalam al-Quran dan al-Hadist (Almirzanah, 2001).
Konsep ketuhanan menurut Islam yaitu monoteisme (Smith, 2001).
kekuasaan Tuhan yang Esa. Hal ini sesuai dengan dua kalimat syahadat yang
harus diucapkan seseorang apabila ingin menjadi salah satu umat Muslim.
Kalimat itu berbunyi : “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah
dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah” (Almirzanah,
2001).
Ada enam pokok keimanan yang menjadi dasar ajaran Islam yaitu :
(Almirzanah, 2001)
1. Iman kepada Allah
Yaitu meyakini di dalam hati bahwa Allah itu Esa DzatNya dan Af’alNya.
Menurut Abu Zahrah, keesaan Tuhan mempunyai tiga segi yaitu Esa dalam Dzat
dan sifatNya, bahwa Allah tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya. Yang
kedua yaitu esa dalam ciptaan, bahwa Allah pencipta segala sesuatu, Dialah Yang
Maha Pencipta dan Maha Pengatur langit dan bumi. Dan yang ketiga yaitu esa
dalam ibadah, bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.
2. Iman kepada Rasul-rasul
Iman kepada nabi dan rasul adalah pokok keimanan yang diperintahkan
dalam al-Quran. Nabi adalah manusia yang dipilih untuk menerima wahyu dari
Dzat Yang Maha Kuasa, untuk menuntun manusia.
3. Iman kepada Kitab-kitab Allah
Yaitu mengimani bahwa kitab-kitab Allah adalah kalam Allah yang azazli
lagi qadim dari segala-galanya, tiada aksara, tiada suara. Kitab-kitab itu adalah :
Taurat (kitab yang diturunkan kepada nabi Musa AS), Zabur (kitab yang
AS), dan al-Quran (kitab yang diturunkankepada nabi Muhammad SAW).
4. Iman kepada Malaikat
Orang Islam wajib beriman kepada adanya malaikat, yaitu roh atau jiwa
yang suci dan disucikan yang tidak pernah bermaksiat kepada Allah dan selalu
siaga dalam melaksanakan apa yang diperintahkan, melakukan berbagai
kewajiban dari mencabut nyawa hingga memikul Arsy Allah.
5. Iman kepada hari akhirat
Yaitu percaya bahwa hari kiamat itu pasti datang dan mempercayai juga
akan adanya peristiwa-peristiwa dan hal-hal yang terjadi yang erat hukumnya
dengan hari kiamat, seperti pembangkitan dari kubur, hisab amal, pembalasan,
adanya surga dan neraka dan lainnya yang diterangkan dalam Quran dan
al-Hadist.
6. Iman kepada Qadla dan Qadar
Qadar adalah jangka yang telah tertentu dan Qadla adalah ketentuan. Maka
iman kepada Qadla dan Qadar yaitu meyakini bahwa Allah telah menentukan
sesuatu di dalam qidamNya dan Dia sudah lebih dahulu mengetahui bahwa
sesuatu itu akan terjadi pada waktu tertentu dan semuanya akan berjalan menurut
perhitungan yang telah ditetapkan pula.
Seluruh umat Muslim memiliki kewajiban untuk menaati rukun Islam.
Rukun Islam adalah asas-asas yang mengatur secara menyeluruh kehidupan
pribadi kaum Muslimin dalam hubungannya secara langsung dengan Allah
(Smith, 2001). Rukun Islam ada lima, yaitu :
Syahadat berarti persaksian atau pengakuan. Mengucap kalimat syahadat
adalah suatu perbuatan yang merupakan proses dari keimanan yang kemudian
dibuktikan dengan amal ibadah dan maumalah.
2. Mengerjakan Shalat
Shalat adalah perbuatan yang diajarkan syara’ dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam. Umat Islam mengerjakan shalat lima kali sehari yaitu
sewaktu bangun, tengah hari, di waktu sore, setelah matahari tenggelam dan
sebelum istirahat tidur.
3. Membayar Zakat
Zakat adalah pemberian yang wajib diberikan dengan harta tertentu
menurut sifat-sifat dan ukuran-ukuran tertentu kepada golongan tertentu.
4. Berpuasa Ramadhan
Puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkannya, seperti
makan, minum, bersetubuh dan searti dengan itu sejak pagi hingga matahari
terbenam yang dilaksanakan untuk mendapat ridha Allah. Bulan Ramadhan
adalah bulan di mana al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi, pada waktu
malam hari yang disebut dengan lailat al-Qadar.
5. Menunaikan Ibadah haji
Haji berarti pergi ke suatu Baitullah atau Ka’bah untuk melaksanakan
ibadah yang telah ditetapkan Allah. Ibadah haji hanya dilaksanakan pada bulan
Zulhijjah dan diwajibkan hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan atau
kesanggupan.
melaksanakan segala aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam
agama Islam. Individu yang taat dan mampu menghayati ajaran agamanya dapat
dikatakan seorang yang memiliki religiusitas. Berdasarkan penelitian Kementerian
Negara dan Kependudukan Lingkungan Hidup tahun 1987, ternyata ada lima
dimensi religiusitas dalam ajaran agama Islam yang memiliki kesamaan dengan
dimensi religiusitas dari Glock dan Stark (Bukhori, 2006), yaitu :
1. Dimensi Iman
Mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi dan
sebagainya.
2. Dimensi Islam
Menyangkut tingkat frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah
ditetapkan, misalnya sholat, puasa, zakat dan haji.
3. Dimensi Ikhsan
Menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam
kehidupan, ketenangan hidup, takut melanggar perintah Tuhan, keyakinan
menerima balasan, perasaan dekat dengan Tuhan dan dorongan untuk
melaksanakan perintah agama.
4. Dimensi Ilmu
Menyangkut pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang ajaran
agamanya, misalnya pengetahuan tentang Figh, Tauhid dan sebagainya.
5. Dimensi Amal
Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan manusia lainnya dan
dalam kehidupannya sehari-hari.
E. Religiusitas Warok Reog Ponorogo
Menurut Bruner (1986), pengalaman merupakan cara bagaimana
seseorang memandang atau menginternalisasikan kenyataan di lingkungan yang
menghampiri kesadaran manusia. Pengalaman seseorang bersifat subjektif
sehingga setiap individu memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap berbagai
realitas di lingkungannya.
Jadi, Pengalaman religius adalah suatu hubungan pribadi antara manusia
dan Tuhan. Pengalaman religius merupakan inti dari sebuah agama karena dengan
menginternalisasi kenyataan yang ada di lingkungannya, seorang individu akan
dapat melaksanakan dan mengamalkan ajaran agama yang telah dipelajarinya
dengan baik.
Fenomena warok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah asing.
Namun bagi masyarakat di Ponorogo - Jawa Timur, warok adalah istilah yang
tidak asing lagi. Istilah warok identik dengan Reyog Ponorogo, sehingga
kehidupan warok juga tidak jauh dari kesenian Reyog. Bagi banyak orang
kesenian Reyog dikenal sebagai kesenian yang dekat dengan dunia mistis,
sehingga mereka sering menganggap bahwa pelaku kesenian Reyog yaitu warok
memiliki ilmu kanuragan.
Sosok warok di masyarakat Ponorogo di kenal sebagai orang yang
bijaksana dan baik namun di sisi lain, warok juga dikenal buruk karena praktek
mistis yang mereka jalankan. Adanya dua hal yang bertolak belakang ini
manusia biasa mungkin sama dengan masyarakat lainnya, namun sebagai orang
yang mendapat julukan warok tentunya mereka memiliki sisi kehidupan yang
berbeda dengan masyarakat lainnya. Sisi kehidupan yang berbeda ini berkaitan
erat dengan religiusitas yang dimiliki oleh warok.
Seorang warok yang menggunakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan
tentunya juga memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap peristiwa di
lingkungannya. Pengalaman warok pada ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan
berhubungan erat dengan pengalaman religiusnya karena ilmu kebatinan
merupakan suatu cara untuk mendekatkan diri dan menyatu dengan pencipta alam
semesta (Susanto, 2005). Sikap dan tingkah laku yang ditunjukkan para warok
dalam kehidupan sehari-hari dapat menunjukan religiusitas pada kepercayaan
yang mereka anut yaitu ajaran Kejawen
Warok memiliki kepercayaan sendiri mengenai keberadaan pencipta alam
semesta. Warok merupakan penganut ajaran kejawen atau paling tidak adalah
Islam abangan atau Islam KTP (Fauzannafi, 2005). Kepercayaan atau ilmu yang
dianut para warok ini mempengaruhi dan membentuk tingkah laku mereka,
terutama terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Maka dengan adanya praktek
mistis dan ilmu kanuragan yang mereka miliki, kepercayaan warok pada pencipta
alam tampak berbeda dengan lingkungan di sekitarnya yang mayoritas memeluk
agama Islam.
Warok secara hukum negara adalah penganut agama Islam. Agama Islam
memiliki beberapa aqidah agama yang wajib untuk dijalankan oleh seluruh
telah memilih Islam sebagai agamanya. Orang tersebut harus mengakui enam
pokok keimanan dalam Islam dan wajib menjalankan lima rukun Islam. Maka
warok yang telah mengakui Islam sebagai agamanya wajib melakukan ajaran
agama Islam.
Secara hukum warok beragama Islam, namun praktek mistis dan
kepercayaan Kejawen yang dianut oleh para warok menjadikan kehidupan religius
mereka ambigu. Seperti berada dalam satu posisi yang saling bertentangan. Islam
menentang keras praktek mistis yang disebut dengan mempersekutukan Tuhan,
namun pada ajaran kebatinan, mistis adalah hal yang biasa digunakan.
Islam memiliki pandangan sendiri mengenai religiusitas yang dimiliki
warok berdasarkan ajaran agamanya. Namun ternyata kehidupan religiusitas
warok yang berhubungan dengan kepercayaan mereka pada ajaran kejawen tidak
selalu bisa dipandang dalam suatu agama tertentu. Fowler (1995) mencoba
menerangkan bahwa hubungan seseorang dengan Allah bersifat subjektif dan
berbeda pada tiap individunya. Dalam hal ini, religiusitas pada satu agama tidak
bisa menentukan apakah seseorang itu bisa dikatakan religius atau tidak, terutama
apabila seseorang mampu mengatasi masalah yang ada dihidupnya dengan
sesuatu yang lebih berarti. Seperti yang terjadi pada para warok.
Maka untuk menjelaskan religiusitas para warok, sebaiknya digunakan
religiusitas yang bersifat umum dan lebih general, yang tidak berhubungan
dengan satu agama saja. Religiusitas warok dapat dilihat dari perkembangan
kepercayaan eksistensial yang dikemukakan oleh Fowler. Seperti yang
pengungkapan kepercayaan seseorang. Dapat diterangkan bisa saja seorang warok
yang memeluk agama Islam tetap melakukan ajaran Kejawen yang dipercayainya
karena ia percaya pada budaya nenek moyang yang sudah dari lahir didengarnya.
Jadi kepercayaan bukan hanya menyangkut agama apa yang dipeluk oleh
seseorang melainkan lebih pada upaya mental seseorang untuk menciptakan,
memelihara dan mentransformasikan arti yang ada di lingkungannya. Hal inilah
yang mungkin berkembang pada diri para warok. Warok menerima dengan baik
ajaran tentang agama Islam, terlepas dari aturan dan kewajiban yang ada di dalam
Islam, warok kemudian mencoba memisahkan mana hal-hal yang bisa diterima
dan dijalankannya dengan baik dengan hal-hal yang kurang sesuai dengan
penilainannya terhadap lingkungan. Dalam hal ini budaya sangat berpengaruh
terhadap perkembangan kepercayaan agama seseorang. Ajaran agama yang
kurang sesuai dengan budaya tempat tinggal warok kemudian kurang ditaati. Oleh
karena itu terkesan bahwa warok bukanlan seorang penganut Islam yang taat.
Kepercayaan eksistensial yang dikemukakan Fowler memiliki tujuh
tahapan perkembangan. Melalui tujuh tahapan perkembangan ini, akan tampak
warok berada di tahapan yang mana. Hal ini berhubungan dengan religiusitas
yang dimiliki warok. Kepercayaan eksistensial atau iman terhadap ajaran Kejawen
dan agama Islam yang dianut warok menimbulkan sikap religius tersendiri bagi
para warok terhadap ajaran yang mereka imani.
Jadi religiusitas para warok dilihat melalui tujuh tahapan perkembangan
yang dikemukakan Fowler dan dimensi yang terdapat pada religiusitas yang
semesta tampaknya berada di tahap paling akhir. Warok bisa melepaskan segala
ego dan pandangan yang sempit mengenai berbagai ajaran agama. Oleh karena
itu, kepercayaan kejawen dan ilmu kebatinan warok tidak tergoyahkan oleh
desakan-desakan golongan priyayi yang tidak menyukai praktek mistis mereka.
Sebaliknya, warok berusaha untuk saling tenggang rasa dan menerima segala
perbedaan di lingkungannya yang mayoritas beragama Islam. Warok terkenal
sebagai sosok yang mau membantu sesamanya dari golongan agama apa saja. Hal
ini membuktikan bahwa warok memiliki pengalaman religius yang berbeda
dengan masyarakat di sekelilingnya.
F. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian terdiri dari dua jenis yaitu pertanyaan pokok dan
pertanyaan lain-lain. Pertanyaan pokok penelitian ini adalah : bagaimanakah
religiusitas yang dimiliki warok?
Pertanyaan khusus untuk membantu menjawab pertanyaan pokok pada
penelitian ini adalah :
1. Apakah makna pengalaman religius yang dimiliki warok?
2. Bagaimanakah warok menjalankan praktek kepercayaan mereka?
3. Keyakinan apa yang dimiliki warok terhadap kepercayaan mereka?
4. Pengetahuan apa yang warok miliki tentang kepercayaan yang mereka anut?
5. Bagaimana warok menjalankan amal (hubungan dengan orang di sekitar) yang
ada dikepercayaan mereka?