• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh:

Susana Pebriartati NIM: 039114063

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(2)
(3)
(4)
(5)

Matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi kegelapan. Jika seluruh tubuhmu terang

dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya

(Lukas 11 :34-36)

(6)

Dipersembahkan untuk :

kedua orang tua ku tercinta

alm. Bapak Petrus Suwardi

dan

Ibu Y. F. Sutinah

(7)

Yogyakarta 2007

Kesenian reyog merupakan salah satu bentuk budaya Jawa yang tumbuh dan berkembang di kota Ponorogo Jawa Timur. Dalam kesenian reyog ada tokoh sentral yang disebut warok, yang dianggap sebagai pemimpin dan dijadikan panutan masyarakat. Namun warok juga menjadi kontroversi di dalam masyarakat terutama dengan maraknya isu tentang ama. Reyog seperti berdiri dalam dua

ondasi kokoh yaitu antara dukungan dan pertentangan dari masyarakat. Praktek mistis membuat reyog memiliki citra buruk tapi reyog adalah kesenian asli daerah yang patut untuk dikembangkan.

Penelitian kualitatif ini bertujuan u emahami religiusitas pada warok

reyog Ponorogo. Penelit arena citra warok yang

cenderung buruk deng kesenian reyog sulit

untuk dikembangkan. dilihat melalui lima

dimensi religiusitas da ler.

Subjek penelitian yang teridentifikasi

sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik pengambilan

subjek melalui snowball sa ukan selama dua minggu

dengan teknik wawancara dan observasi.

Hasil penelitian menggambarkan warok memiliki keyakinan yang sangat tebal kepada Tuhan melalui kepercayaan mereka masing-masing. Pengalaman religius diperoleh melalui makna hidup mereka yang menyatakan hidup sebagai jalan menuju pada Tuhan. Praktek religius yang dijalankan warok sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing dan sesuai dengan cara hidup dalam budaya Jawa yang mereka percayai. Pengetahuan warok pada agama Islam masih terbatas apabila dibandingkan dengan pengetahuan tentang kepercayaan dalam budaya Jawa. Warok memiliki sikap hidup yang baik dan diteladani oleh masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian, warok KG berada pada tahap keempat, warok AT dan warok HM berada dalam tahap ketiga dalam teori perkembangan kepercayaan eksistensial Fowler.

Perlu kajian ulang mengenai agama Islam dalam budaya Jawa mengingat bahwa saat ini banyak masyarakat meninggalkan budayanya dengan alasan agama. Dengan kajian ulang diharapkan kesenian reyog dan budaya Jawa tetap terjaga kelestariannya.

Kata kunci : warok, religiusitas, keyakinan religius, pengalaman religius, praktek

religius, pengetahuan religius dan konsekuensi religius. ag

p

ntuk m

ian ini sangat penting dilakukan k an praktek mistis mereka membuat Religiusitas warok secara utuh akan n teori perkembangan kepercayaan Fow

adalah tiga orang warok Ponorogo

mpling. Penelitian dilak

(8)

important because warok image make reyog diff

es the warok reli

ticed have done according to their faith and

, religious faith, religious experience, religious kno

Yogyakarta 2007

Reyog dance is a kind of Javanese culture from Ponorogo, East-Java. There is a central figure that called warok who became a leader and followed by people around them. But warok also became a controversial figure in Ponorogo especially about their faith. Reyog stand from two strong foundations between support and contradiction in Ponorogo. The magical practiced make warok have a bad image but reyog is an original culture from Java that we have to develop.

This qualitative study aimed to understand about the religiousness on warok reyog Ponorogo. This study is

icult to develop. We can study the religiousness of warok from five dimension religiousness and the faith development theory by Fowler.

Three subjects in this study that identified as a warok. Three identified warok has fulfilled with the snowball sampling. The data collecting done for two weeks using the interview and observation technique that involv

giousness component.

There results of this study describe warok have a strong belief to the God with their faith. Their religious experience got from their life meaning that their belief as their way to God. Their religious prac

according to their life style in Javanese culture. Warok knowledge to the Moslem is limit compare with their knowledge about the faith in Javanese culture. Warok had a good attitude in their life and followed by people around them. Based from the results of this study, warok KG stay in the fourth, warok AT and warok stay in the third of the faith development theory by Fowler.

The finding of the study must be follow up such as the Moslem and Javanese culture because there are many people forget about their culture. This study suggests that people became forget about their culture because their religion therefore hoped reyog dance and Javanese culture still protected the continuous.

Key words : warok, religiousness

wledge, religious practice, religious consequence.

(9)

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat dukungan

dar

1.

2.

3.

5.

berbagai hal melalui cara hidup dan keteladan melalui mbah sekalian.

lis pada banyak hal dalam

hidup. Terimakasih atas “pecut” yang selalu dirindukan jika penulis nakal dan

telah menjadi inspirasi bagi penulis.

i berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus

kepada orang-orang yang telah menginspirasi penulis selama kuliah dan

melakukan penelitian ini :

Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Bapak Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis.

Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pembimbing dan

rekan diskusi penulis.

4. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mbak

Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah membantu penulis selama studi.

Mbah Wo sekeluarga, mbah Tobron sekeluarga dan mbah Moloq sekeluarga,

terimakasih atas dukungannya pada penelitian ini. Penulis mempelajari

6. Bapakku alm. Petrus Suwardi, yang mengajari penu

(10)

. Mb

tapi memacu adikmu ini untuk cepat lulus.

u karna penulis.

penulis. “Sekarang ana jauh lebih kuat mbak”.

i bukan

14.

16. an seluruh keluarga besar di Ponorogo,

terimakasih sudah mau direpotin dan membantu dalam penelitian ini.

8 ak Yayuk “mak endut 1” dan mas Catur, terimakasih atas semua nasihat

dan teladan yang kalian berikan.

9. Mbak Titin “mak endut 2” dan mas Drajat, terimakasih atas pertanyaannya

yang udah bikin stres, te

10.Mbak Ika “mbak pempeng” dan mas Gigih, terimakasih atas segala dukungan

dan doanya yang dengan sabar dimarahi ib

11.Mbak Rini dan mas Loren, terimakasih atas segala hal yang sudah diberi dan

semangatnya.

12.Mbak Danik dan bang Lingga, terimakasih atas kesabarannya karna udah

menjadi “tong sampah”

13.Uchie adikku terimakasih atas bantuannya yang telah menjadi pembantu

selama 2 bulan terakhir ini. ”kamu adalah pembantu termahal tap

yang terbaik yang pernah kumiliki”.

Semua ponakanku yang keren-keren, Fany, Icha, Tito, Sasha, Bagas, Dimas....

makasih senyumannya yang membuat penulis semangat.

15.Om Bambang, Bulek Titik, Ika, Dito dan seluruh keluarga besar di Solo,

terimakasih atas perhatian dan kasih sayang yang kalian berikan.

Mas Tondo, Mbak Harini, Tiyok d

(11)

g sangat menyenangkan dan semangat yang

19. udah mau

ngan sabar mendengarkan setiap keluh kesahku. “Maaf suster

21. a dan

22. perantauanku, terimakasih atas segala

18.Otics, Poke, Mia, Melati, Andri dan semua teman-teman relawan Bantul,

terimakasih atas kebersamaan yan

kalian berikan.

Mas Indri, Nanang, Wiwit, Galih, Beny dan aa’ Atok.... makasih s

menemaniku, menjadi sasaran empuk kemarahanku dan teman curhatku yang

sangat baik. ”miss u all”.

20.Suster Hedwig, terimakasih atas dukungan surat, doa dan tempat curhatnya,

yang sudah de

kalo sering nyusahin hehehe”.

Teman-teman kosku yang datang dan pergi, mbak Ana, Mbak Lia, Sisk

Sania... makasih udah mau dengerin ana kalo lagi teriak-teriak dan segala

bantuannya selama di yogya ini.

Agnes dan Edick teman-teman satu

semangat yang kalian berikan. “Nes makasih udah membantu ana selama di

yogya ini yach”.

23.Teman-teman angkatan 2003 yang selalu berjuang meraih cita-citanya. “Ayo

semangat prenz”.

24.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih buat

semuanya. Tuhan memberkati.

(12)

Penulis memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta,

(13)

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 7 Desember 2007

Penulis,

Susana Pebriartati

(14)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PUBLIKASI iv HALA v vi ABSTRAK... viii

ABSTRACT... viii

ATA ENGA TAR... ... ... ix

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... xiii

DAFTAR ISI... xiv

DAFTAR TABEL... xviii

DAFTAR GAMBAR... xix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 8

A. Sejarah Reyog Ponorogo... 8

B. Warok... 13 MAN MOTTO...

HALAMAN PERSEMBAHAN...

K P N ... .... ...

(15)

F. Pertanyaan Penelitian... 36

BAB III. METODE PENELITIAN... 37

A. Jenis Penelitian... 37

B. Fokus Penelitian... 38

C. Subjek Penelitian... 39

D. Metode Pengumpulan Data... 40

1. Wawancara... 40

2. Observasi... 41

E. Analisis Data... 42

F.Pemeriksaan Keabsahan Data... 45

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Tahap Pengumpulan Data... 49

B. Identitas dan Deskripsi Subjek Penelitian... 50

1. Identitas Subjek Penelitian... 50

2. Deskripsi Subjek Penelitian... 50

a. Subjek 1... 50

b.Subjek 2... 53

c. Subjek 3... 54

C. Hasil Penelitian... 55

1. Warok Reyog Ponorogo... 55

(16)

c. Praktek Religius... 62

d. Pengetahuan Religius... 63

e. Konsekuensi Religius... 66

f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial... 67

3. Subjek 2... 69

a. Keyakinan Religius... 70

b. Pengalaman Religius... 71

c. Praktek Religius... 77

d. Pengetahuan Religius ... 78

e. Konsekuensi Religius... 78

f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial... 79

4. Subjek 3... 80

a. Keyakinan Religius... 81

b. Pengalaman Religius... 82

c. Praktek Religius... 85

d. Pengetahuan Religius... 86

e. Konsekuensi Religius... 87

f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial... 88

D. Pembahasan Hasil Penelitian Religiusitas Warok Ponorogo... 89

1. Keyakinan Religius... 90

(17)

5. Konsekuensi Religius... 97

BAB V : A. Kesi B. Sara DAF LAMPIRAN... 112

PENUTUP... 106

mpulan... 106

n... 107

TAR PUSTAKA... 109

(18)

Tabel I Panduan Wawancara...41

Tabel II Daftar Kode Dalam Analisis...44

Tabel III Jadwal Pengambilan Data...50

Tabel IV Identitas Subjek Penelitian...50

(19)

ar 1: D

r 2: D

Gamb enah Rumah KG...52

Gamba enah Rumah HM...55

(20)

Ponorogo adalah salah satu kota di Propinsi Jawa Timur yang memiliki

jumlah penduduk sebesar 783.356 jiwa yang tersebar dalam 20 kecamatan.

Mayoritas penduduk Ponorogo beragama Islam dengan jumlah 777.517 jiwa, umat

beragama Katolik sebesar 2642 jiwa, umat Kristen sebesar 1920 jiwa, umat Hindu

sebesar 266 jiwa, dan umat Budha sebesar 463 jiwa (Biro Pusat Statistik Indonesia,

1981). Kehidupan masyarakat di Ponorogo ditunjang oleh sektor pertanian,

perdagangan dan pertambangan. Sektor penunjang lainnya adalah bidang budaya –

pariwisata (“Ponorogo”, 2006). Pariwisata di Ponorogo amat ditunjang oleh salah

satu bentuk seni budaya yang sangat tekenal, yaitu Reyog Ponorogo.

Reyog Ponorogo adalah salah satu bentuk kesenian yang tercipta pada

jaman Kerajaan Wengker (1037 Masehi). Bentuk kesenian ini berupa tarian, alunan

musik gamelan dan pertunjukan akrobat yang ditunjukkan para pemainnya. Setelah

raja Wengker wafat, kesenian reyog dikembangkan oleh Prabu Klana Sewandana.

Selanjutnya kesenian reyog berkembang dan digunakan oleh Batoro Katong untuk

menyebarkan agama Islam di Ponorogo.

Pemain reyog memiliki beberapa nama sesuai dengan perannya dalam

memainkan pertunjukan, yaitu Warok, Klono Sewandana, Pujangganong, jathilan,

pembarong, dan pengrawit. Warok adalah orang yang memimpin dan dihormati

dalam kelompok, dan biasanya mengawasi jalannya pertunjukan di tepi lapangan

(lihat lampiran 1 Gambar 1). Klono Sewandana adalah orang yang memerankan

sosok Pandji Klono Sewandana, tokoh historis dan yang dipercaya meneruskan dan

(21)

mengembangkan kesenian Reog di Kerajaan Wengker (lihat lampiran 1 Gambar 2).

Pujangganong adalah orang yang memerankan sosok patih Bujangganong sebagai

orang yang menciptakan kesenian reyog (lihat lampiran 1 Gambar 3). Jathilan

adalah penari yang menggunakan kuda lumping (lihat lampiran Gambar 4). Sosok

penari jathilan dahulu dimainkan oleh laki-laki namun saat ini penari laki-laki

digantikan oleh penari wanita. Pembarong adalah orang yang memainkan dadhak

merak (lihat lampiran 1 Gambar 5) yang merupakan peralatan tari paling dominan

dan terdiri dari kepala harimau dan kerangka bambu yang ditutupi oleh bulu merak.

Yang terakhir adalah pengrawit yaitu orang yang memainkan peralatan gamelan

yang terdiri dari terompet, kendang, ketipung, kethuk dan kenong, kempul, dan

angklung (lihat lampiran 1 Gambar 6). Jadi kesenian reog biasanya dimainkan oleh

sekitar 20 sampai 30 orang.

Tokoh sentral dalam kesenian reog adalah Warok. Konon seorang warok

adalah seorang yang sakti dan sebagai pemimpin kelompok. Ada pepatah Jawa bagi

warok yaitu ora tedas tapak paluning pande, sisaning gurenda atau tidak mempan

terhadap semua senjata. Menurut salah seorang sesepuh warok Mbah Wo Kucing,

untuk menuju pada kesaktian, seseorang harus menguasai apa yang disebut Reh

Kamusankan Sejati atau jalan kemanusiaan yang sejati. Hal inilah yang dipelajari

para warok muda untuk mendapat gelar dan menjadi seorang warok sejati.

Istilah warok dahulu sangat berkembang di lingkungan Kerajaan Wengker

(1037 Masehi). Raja Wengker, yaitu Prabu Jaka Bagus, konon adalah seorang

warok. Selanjutnya istilah warok berkembang di luar lingkungan kerajaan karena

masyarakat biasa ingin menjadi manusia yang sakti sama seperti rajanya.

(22)

menciptakan kesenian Reyog pertama kali adalah warok. Maka istilah warok

sangat identik dengan kesenian Reyog Ponorogo.

Secara umum ternyata ada dua istilah jenis warok yang berkembang di

masyarakat Ponorogo, yaitu warok sejati dan warokan. Kedua jenis warok tersebut

memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya (Ian Douglas Wilson, 1999).

Menurut Ayu Sutarto (2005), seorang warok sejati merupakan sosok orang yang

baik, bisa memberikan nasihat spiritual, dan bisa melindungi masyarakat awam.

Sedangkan istilah warokan diberikan pada orang yang menggunakan ilmu untuk

kepentingan diri sendiri dan cenderung bertindak kriminal. Pada masa ini sedikit

sekali warok yang menyandang predikat warok sejati di Ponorogo.

Sosok warok kontroversial di masyarakat Ponorogo. Di satu sisi, warok

dipandang baik karena warok memiliki ilmu kanuragan dan kebijaksanaan yang

tinggi sehingga mereka sering dimintai nasihat dan petuah oleh masyarakat awam

termasuk oleh pejabat daerah. Seorang warok sejati memiliki tekad suci dan mau

menolong sesama tanpa pamrih dengan cara melindungi sesama dari kejahatan.

Oleh karena itu, menurut Dr. Ayu Sutarto warok merupakan sosok yang baik,

produktif dan protektif (“Warok dan Identitas Ponorogo, 2006).

Di sisi lain warok memiliki citra buruk di masyarakat. Gemblak adalah

salah satu citra buruk yang melekat pada sosok warok. Gemblak adalah seorang

anak laki-laki yang digunakan warok sebagai pengganti wanita dalam berhubungan

seksual. Warok memiliki pantangan untuk berhubungan seksual dengan lawan

jenisnya agar kekuatan spiritual yang mereka miliki tidak hilang (Ian Douglas

Wilson, 1999).

(23)

Fauzannafi (2005), para warok ini adalah penganut kejawen atau paling tidak

adalah orang-orang abangan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Kesenian reyog yang identik dengan minuman keras dan tradisi sesajen

bertentangan dengan ajaran agama, terutama ajaran agama Islam yang dipeluk oleh

mayoritas penduduk Ponorogo. Maka kemudian reyog menjadi identik dengan

pertentangan antara “Islam” dan “Kejawen”. Secara tidak langsung ada pemisahan

antara pemain reyog dengan golongan agama, dengan sebutan tyang ho’e untuk

para pemain reyog dan tyang mesjid untuk remaja santri.

Kepercayaan kejawen yang dianut oleh para warok, menurut Negara adalah

salah satu aliran kebatinan di Indonesia, dan bukanlah suatu agama. Namun salah

satu kewajiban yang ditentukan bagi segenap penduduk Negara kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) adalah keharusan untuk menganut salah satu agama dunia

(“Fenomena Agama Asli”, 2006). Maka seluruh penduduk Indonesia tak terkecuali

warok juga harus menganut salah satu agama yang diakui di Indonesia. Warok

menganut agama mayoritas yang ada di daerah Ponorogo yaitu agama Islam.

Secara hukum Negara, warok adalah penganut agama Islam. Seseorang

yang telah menganut salah satu agama tentunya juga harus menaati dan

menjalankan aturan dan kewajiban yang ada di dalam agamanya. Warok yang telah

menganut agama Islam juga diikat dengan adanya aturan dan kewajiban yang ada

di dalam agama Islam. Namun penggunaan ilmu kanuragan yang digunakan oleh

warok, ternyata sudah melanggar salah satu aqidah Islam. Dalam Surat Luqman

[31] :13 tertulis bahwa “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah.

Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu benar-benar merupakan kedzaliman

(24)

Pada kesenian reyog Ponorogo kesan mistis sangat terlihat apabila warok

menyalakan kemeyan dan menyediakan sesaji di depan barongan sebagai alat

utama. Hal ini ternyata juga telah melanggar aqidah Islam yang lainnya yaitu

seperti yang tertulis dalam Surat Yusuf [12] : 106 ; “Dan sebagian besar dari

mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan

Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain)” (dalam Zainu, 2004).

Penggunaan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan yang telah dipelajari para

warok ternyata telah melanggar beberapa aqidah dari agama yang dianut warok.

Dalam agama Islam maka warok bukanlah sosok orang yang mempunyai sikap

religius pada agamanya. Oleh karena itu penggolongan antara remaja santri yang

taat beragama dengan para warok muda yang kurang taat menjadi tampak jelas di

Ponorogo.

Kesenian reyog Ponorogo dapat dikatakan berdiri pada dua pondasi yang

kokoh dalam masyarakat. Di satu sisi reyog dikatakan sebagai kesenian asli yang

patut untuk dikembangkan. Di sisi lain tradisi reyog sangat melekat dengan praktik

ritual yang bersifat mistis. Para pemain reyog berdiri di antara pertentangan dan

dukungan dari masyarakatnya. Citra warok yang berkembang di masyarakat baik

itu yang positif maupun negatif tentunya dapat mempengaruhi kehidupan para

warok di tengah masyarakat.

Banyak peneliti yang merasa tertarik dengan fenomena warok dan reyog,

seperti Ian Douglas Wilson (1999) dan Muhammad Zamzam Fauzannafi (2005).

Ian Douglas Wilson (1999) menemukan bahwa dalam kesenian reyog Ponorogo

terdapat praktek seksual yang berhubungan dengan kepercayaan spiritual untuk

(25)

bahwa seorang warok melakukan praktek homoseksual dengan alasan bahwa

praktek itu digunakan untuk mempertahankan kekuatan supranatural yang mereka

miliki. Sedangkan Muhammad Zamzam Fauzannafi (2005) melihat kesenian reyog

Ponorogo dari sisi sosial-politik. Fauzannafi melihat bahwa kesenian reyog saat ini

dipengaruhi oleh unsur-unsur politik pemerintahan yang akhirnya sedikit mengubah

kesenian asli reyog yang terbentuk pertama kali di Ponorogo. Fauzannafi meneliti

bahwa kekuatan pemerintah Orde Baru yang saat itu dikuasai oleh partai Golkar

ternyata ikut mempengaruhi reyog, misalnya saja pengubahan nama REYOG

menjadi REOG.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana religiusitas

seorang warok Ponorogo. Religiusitas yang dimiliki warok tentunya berhubungan

dengan kepercayaan yang mereka anut yaitu kejawen dan agama yang mereka anut

yaitu Islam. Menurut mayoritas penduduk Ponorogo yang menganut agama Islam,

praktek ritual mistis yang dilakukan para warok bertentangan dengan ajaran agama

yang mereka anut. Sepintas terlihat bahwa warok adalah sosok golongan

masyarakat yang banyak melanggar ajaran agama, namun bagaimanakah

sebenarnya religiusitas yang dimiliki oleh para warok ? Maka sosok warok yang

identik dengan Reyog dan ilmu kanuragan membuat peneliti merasa tertarik

mengadakan penelitian mengenai religiusitas yang dimiliki warok.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah religiusitas

(26)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara objektif

mengenai religiusitas Warok Reyog Ponorogo.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

a) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penelitian ilmu

sosial lainnya yang ingin memahami konsep tentang Reyog Ponorogo, dan

dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian yang sejenis dimasa yang

akan datang.

b) Bagi peneliti, sebagai tambahan ilmu dimana peneliti dapat melihat

kemampuan mengkombinasikan teori dan praktek di lapangan.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi masyarakat luas, diharapkan penelitian ini dapat memberi

pemahaman yang benar tentang Reyog Ponorogo sehingga tidak ada lagi

stereotype negatif yang selama ini ada di kalangan masyarakat non Ponorogo.

b) Bagi para generasi muda Ponorogo, diharapkan mereka mampu untuk

memahami kesenian Reog dengan baik, sehingga kesenian yang menjadi ciri

(27)

Bab ini akan membahas mengenai tinjauan pustaka yang mendasari

penelitian “Religiusitas Warok Reyog Ponorogo”.

A. Sejarah Reyog Ponorogo

Reyog Ponorogo adalah salah satu bentuk kesenian rakyat yang berasal

dari Ponorogo. Ada banyak versi cerita tentang legenda asal mula terbentuknya

kesenian Reyog. Hal ini dapat dipahami karena pada jaman dahulu belum terdapat

penulisan tentang sejarah masa lalu dan masih bersifat budaya lisan. Jadi sejarah

terbentuknya kesenian Reyog berasal dari cerita-cerita rakyat yang

memungkinkan adanya banyak versi cerita.

Penelitian ini tidak ingin membahas mengenai sejarah yang paling benar,

tetapi ingin mencoba mendeskripsikan kehidupan warok Reyog Ponorogo,

sehingga versi cerita yang ditampilkan adalah versi sejarah yang dianggap benar

oleh sebagian masyarakat Ponorogo. Versi cerita ini peneliti ambil dari buku

“Ungkapan Sejarah Kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo” yang disusun oleh

Moelyadi, yang telah disahkan sebagai suatu legenda yang benar oleh bupati

Ponorogo saat itu yaitu Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo pada tanggal 22

September 1986.

Sejarah Reyog tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kota Ponorogo.

Sejarah keduanya tidak lepas dari kisah tentang kerajaan Wengker. Konon daerah

kekuasaan Kerajaan Wengker menjadi kota Ponorogo saat ini. Sejarah kesenian

(28)

Reyog berhubungan dengan kerajaan Wengker, kerajaan Lodaya, dan kerajaan

Panjalu.

Dahulu kala kerajaan Wengker diperintah oleh Prabu Jaka Bagus, yang

memiliki patih bernama Bajang Anung (dalam kesenian Reyog disebut

Bujangganong). Keduanya adalah orang yang sakti. Prabu Jaka Bagus tidak ingin

kesaktiannya luntur, karena itu ia tidak mau berhubungan dengan perempuan.

Maka ia berhubungan dengan sesama jenis, yang disebut dengan “gemblakan”.

Namun atas desakan patihnya, yaitu agar kerajaan memiliki keturunan, maka

Prabu bersedia untuk menikah. Maka sebagai calon permaisurinya adalah Dewi

Sanggramawijaya yang merupakan penasihat raja dari Kerajaan Panjalu. Putri

tersebut terkenal memiliki paras yang elok dan bijaksana. Selain itu Prabu Jaka

Bagus sebenarnya punya hubungan darah dengan Putri Sanggramawijaya, yaitu

keturunan raja Airlangga. Maka saat itu patihnya mengajukan lamaran ke kerajaan

Panjalu.

Sementara itu kerajaan Lodaya dipimpin oleh Prabu Singobarong. Prabu

Singobarong ternyata juga memiliki perasaan kasmaran dengan Putri

Sanggramawijaya. Selain itu juga, sebelumnya ada wabah akibat dari tenung

janda Calon Arang. Menurut ilham yang diterima Prabu, wabah tersebut akan

berhenti jika ia menikah dengan Dewi Sanggramawijaya. Maka ia juga

mengajukan lamaran pada kerajaan Panjalu.

Ternyata kedua lamaran, yaitu dari kerajaan Wengker yang diwakili oleh

Pu Bajang Anung dan dari kerajaan Lodaya oleh raja Singobarong sendiri, datang

(29)

membuat suatu sayembara. Isi sayembara tersebut adalah:

1. Sang Dewi bersedia menikah bila salah satu dari kedua calon dapat membuat

jalan dari daerah calon suami sampai menembus ke daerah Panjalu di bawah

tanah.

2. Sebagai sarana perkawinan, minta diciptakan suatu pertunjukan yang belum

pernah ada di dunia.

Setelah mendengar sayembara tersebut, Pu Bajang Anung dan raja

Singobarong mengundurkan diri. Saat di tengah perjalanan pulang kembali ke

kerajaan Wengker ternyata raja Singobarong menyerang Pu Bajang Anung dan

pasukannya. Akhirnya Pasukan kerajaan Wengker kalah, namun Pu Bajang

Anung selamat.

Pu Bajang Anung melaporkan pada raja perihal sayembara dan serangan

dari kerajaan Lodaya. Mendengar laporan dari patih Pu Bajang Anung, Prabu Jaka

Bagus sangat marah, dan ia langsung menyerang kerajaan Lodaya. Sementara itu

Pu Bajang Anung yang resah mencari tempat sunyi untuk mengheningkan cipta di

bawah gunung Bhayangkaki. Ia bersemedi, dan akhirnya mendapat topeng seperti

raksasa dan sebatang buluh kuning sebagai pusaka untuk mengalahkan musuh.

Prabu Jaka Bagus saat itu masih mengadakan peperangan dengan raja

Singobarong. Tidak lama setelah peperangan berjalan, Pu Bajang Anung datang

untuk membantu Prabu Jaka Bagus yang sedang mengalami kekalahan. Dengan

senjata yang dimilikinya, yaitu Buluh Gading dan Topeng, ia dapat mengalahkan

kerajaan Lodaya. Akhirnya raja Singobarong kalah dan menjadi tawanan Pu

(30)

Pu Bajang Anung lalu memberikan perintah pada Raja Singobarong dan

prajuritnya untuk membuat jalan di bawah tanah untuk memenuhi permintaan

Dewi Sanggramawijaya. Setelah jalan tersebut selesai, maka Pu Bajang Anung

menyampaikan hal itu pada raja Panjalu. Dewi Sanggramawijaya dan raja Panjalu

akhirnya melihat hasil pekerjaan yang telah dilaporkan patih kerajaan Wengker

itu. Pada waktu rombongan kerajaan Panjalu akan kembali pulang, raja

Singobarong melihat Dewi Sanggramawijaya. Maka timbullah perasaan marah

dan dendam yang menyala-nyala. Selanjutnya ia berubah lagi menjadi macan

jadi-jadian yang besar dan buas. Dengan tidak membuang waktu lagi, Pu Bajang

Anung menarik goloknya dan memenggal leher macan tersebut. Kepala

Singobarong putus, dan matilah ia.

Pu Bajang Anung merasa menyesal telah membunuh raja Singobarong

sehingga ia mengasingkan diri di dalam hutan. Namun Pu Bajang Anung masih

memiliki tugas yaitu membuat kesenian yang tidak pernah ada di dunia. Maka

dalam pengasingannya, Pu Bajang Anung berpikir dan berusaha membuat

kesenian yang tidak pernah ada di dunia. Topeng dan buluh yang didapat Pu

Bajang Anung saat semedi pertama kali digunakan sebagai bahan untuk membuat

alat-alat kesenian. Topeng menggambarkan perwujudan diri Pu Bajang Anung

sendiri, sedangkan buluh dipotong-potong untuk membuat terompet, angklung

dan cemeti (pecut). Potongan buluh yang lebih halus dianyam menjadi bentuk

kuda tiruan, yang disebut dengan Kuda Kepang. Tambahan alat musik lainnya

yaitu dua buah canang perang nada slendro dan genderang besar dan kecil beserta

(31)

yang menyusun iringan gamelan dan Jatil yang menaiki kuda kepang. Kemudian

ia menciptakan perwujudan raja Singobarong melalui topeng kepala macan. Ia

juga mulai menghias kepala macan dengan memberikan mahkota bulu-bulu

merak. Nantinya kepala macan itu dipakai oleh salah seorang warok untuk

menggambarkan perwujudan Singobarong. Terakhir Pu Bajang Anung memegang

Pecut Samandiman. Arti Pecut Samandiman adalah pecut pemimpin. Pu Bajang

Anung menciptakan tarian yang menggambarkan riwayat hidup perjuangannya.

Untuk menunjukkan darma baktinya pada kerajaan Wengker, Pu Bajang

Anung menyerahkan kesenian yang telah dibuatnya kepada Prabu Jaka Bagus

sebagai syarat sayembara Dewi Sanggramawijaya. Prabu Jaka Bagus menamakan

kesenian ltu Leyog. Ternyata bunyi Leyok…Leyok dari kejauhan terdengar

seperti Reyog. Maka selanjutnya nama kesenian baru itu disebut Reyog.

Pada saat kesenian Reyog ini akan dibawa menuju kerajaan Panjalu

ternyata iring-iringan pengantin dari kerajaan Wengker terkena bencana. Pada saat

itu terjadi gempa yang sangat besar. Iring-iringan pengantin tadi terkubur di jalan

bawah tanah yang telah mereka buat. Akibat kejadian itu, Dewi Sanggramawijaya

menjadi seorang pertapa dan memilih tempat bertapa di dekat Candi Belahan di

Kepucang lereng gunung Penanggungan dan dengan menyebut dirinya

KILISUCI. Kerajaan Wengker dikuasai oleh Panji Kelana Sewandana, yang

merupakan utusan kerajaan Panjalu yang berasal dari Jenggala. Panji Kelana

Sewandana inilah yang kemudian meneruskan kesenian Reyog. Selanjutnya

kerajaan Wengker dikuasai oleh Raden Katong yang merupakan utusan dari

(32)

kembali membangun bekas kerajaan Wengker. Dengan demikian bekas Kerajaan

Wengker menjadi kota Ponorogo sekitar tahun 1408 Syaka atau 1486 Masehi.

Pada tahun 1995, Bupati Ponorogo yang bernama Drs. Markoen

Singodimedjo, M.M. menggantikan semboyan Ponorogo menjadi Reog yang

memiliki kepanjangan “Resik (bersih), Endah (indah), Omber(lapang),

Girang-gumirang (menyenangkan)”. Jadi kesenian yang semula bernama Reyog diganti

menjadi Reog. Dengan demikian kesenian yang baru tadi sekarang lebih dikenal

dengan nama Reog Ponorogo.

B. Warok

Warok berasal dari kata Arok yang artinya berbudi bowo leksono yaitu

orang yang sifatnya baik dan sosial. Selanjutnya warok dapat diartikan sebagai

orang yang setia dan taat pada kepercayaannya. Pada awalnya istilah warok ini

hanya berkembang di lingkungan kerajaan Wengker, karena Prabu Jaka Bagus

adalah warok pertama, namun lama-kelamaan menjadi istilah umum bagi

masyarakat. Banyak warga masyarakat yang ingin sama seperti rajanya, yaitu

menjadi sakti dan dikenal sebagai warok.

Menurut salah satu sesepuh Reyog Mbah Wo Kucing, warok berasal dari

kata wewarah yang berarti petunjuk. Jadi, warok artinya adalah seseorang yang

mampu memberi petunjuk dan pengajaran tentang hidup yang baik. Warok

adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan

perlindungan tanpa pamrih. Mbah Wo Kucing kemudian menambahkan bahwa

(33)

pengendapan batin. Seorang warok mengarahkan hidupnya pada arah yang benar

dan baik.

Seseorang akan mendapat gelar menjadi seorang warok harus memenuhi

beberapa syarat tertentu. Dahulu kala untuk mendapatkan sebutan warok harus

memiliki kekuatan dan kesaktian berupa antara lain tebalnya kulit dan kerasnya

tulang, yang kelak menjadi suatu cabang ilmu aji Jaya Sakti (Moelyono, 1986).

Seorang warok menggunakan ilmu kanuragan dalam memainkan dan

mengembangkan kesenian Reyog Ponorogo. Hal ini diungkapkan oleh Mbah Wo

bahwa syarat untuk menjadi seorang warok yaitu harus menempuh berbagai ilmu

kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah menempuh kedua ilmu tersebut, biasanya

calon warok dikukuhkan menjadi warok dengan diberi senjata kolor wasiat berupa

tali bewarna putih. Senjata itulah yang menjadi andalan para warok.

Syarat utama menjadi seorang warok adalah memiliki tubuh yang bersih,

tidak bersentuhan dengan perempuan, bisa menahan nafsu, serta bisa menahan

lapar dan haus. Hal ini diperlukan karena tubuh seorang warok akan ”diisi” oleh

ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Maka untuk menjadi seorang warok,

seseorang perlu belajar dan menuntut ilmu kanuragan yang bersifat mistis.

Secara garis besar, warok bukanlah suatu profesi atau jabatan. Warok

adalah suatu julukan bagi orang yang memiliki kekuatan supranatural dan telah

melewati beberapa pelajaran tentang ilmu kebatinan di daerah Ponorogo. Warok

sendiri identik dengan tubuh yang besar, berjenggot, memakai ikat kepala hitam,

berpakaian serba hitam dan memakai tali bewarna putih yang disebut dengan

(34)

kesehariannya, orang yang disebut warok memiliki kehidupan yang sama dengan

masyarakat lainnya dan hampir tidak bisa dibedakan dengan masyarakat di

lingkungannya.

Berdasarkan sejarah dan definisi Reyog dan warok, maka dapat

disimpulkan bahwa sebenarnya istilah warok dan Reyog adalah dua istilah yang

berbeda. Hal yang menghubungkan kedua istilah tersebut adalah bahwa Reyog

dimainkan oleh warok. Reyog merupakan hiburan bagi para Warok. Maka

sebenarnya seorang warok bisa saja tidak berada dalam kelompok Reyog. Namun

seiring dengan berjalannya waktu, orang yang menjadi warok hampir seluruhnya

bermain Reyog sehingga warok identik dengan kesenian Reyog.

Banyak orang menduga bahwa reyog Ponorogo dipengaruhi oleh budaya

spritual animisme karena penampilannya yang selalu berbau mistis dan magis

(”Budaya Mistis Reog Ponorogo, 2002). Kepercayaan yang bersifat animisme

adalah kepercayaan bahwa dibalik semua realita ada roh-roh yang bekerja

(”Renungan”, 1999). Kepercayaan ini dapat dilihat ketika tokoh warok

menyalakan dupa dan kemenyan di depan topeng barong sebelum pertunjukkan

reyog dimulai. Ini merupakan salah satu bukti bahwa warok memiliki kekuatan

ilmu mistis dan ilmu kebatinan.

Dari sejumlah persyaratan untuk menjadi seorang warok yang sakti, maka

muncullah istilah gemblakan yang menjadi citra buruk dari warok. Salah satu

syarat menjadi warok adalah memiliki kesaktian, namun kesaktian itu bisa

diperoleh jika warok bisa menahan untuk tidak berhubungan seksual dengan

(35)

kepercayaan, bahwa berhubungan dengan perempuan akan menyebabkan

berkurangnya kekuatan (Ian Douglas wilson, 1999). Maka untuk menggantikan

peranan perempuan, warok memilih anak laki-laki muda yang kira-kira berumur 8

sampai 16 tahun. Anak laki-laki ini disebut dengan gemblak, dan biasanya dalam

kesenian reyog, gemblak berada dalam posisi penari jathil.

Dahulu istilah gemblak sangat popoler di masyarakat Ponorogo. Namun

setelah tahun 1980, istilah gemblak mulai redup karena penari jathil yang semula

adalah seorang anak laki-laki, digantikan dengan anak perempuan (Fauzannafi,

2005). Hal ini terjadi karena pada tahun 1977, INTI (Insan Taqwa Allah) berusaha

untuk membersihkan nama reyog terutama yang berhubungan dengan praktek

homoseksual yang dijalankan oleh warok (Ian Douglas Wilson, 1999). Maka

semenjak itu penari jathilan digantikan dengan penari perempuan agar reyog

sesuai dengan tradisi bangsa yang sesuai dengan budaya bangsa.

Ternyata ada dua istilah warok yang berkembang di masyarakat Ponorogo,

yaitu warok sejati dan warokan. Warok sejati memiliki jiwa ksatria dan bertindak

tanpa pamrih, sementara itu warokan menggunakan kekuatan mereka untuk

keuntungan pribadi. Perbedaan lainnya yaitu warokan kurang bisa mengontrol

nafsu mereka pada adanya gemblak, sedangkan seorang warok sejati harus bisa

menahan nafsu mereka (Ian Douglas Wilson, 1999).

Menurut Fauzannafi (2005), warok adalah penganut ajaran Kejawen.

Kejawen adalah salah satu agama asli penduduk Indonesia (”Fenomena Agama

Asli”, 2006). Pembentukan ajaran kejawen menurut Mulyana (2006) merupakan

(36)

asimilasi antara kepercayaan Jawa asli, Hindu-Budha, dan Islam (Mulyana, 2006).

Lebih lanjut Mulyana menjelaskan bahwa kejawen adalah keseluruhan tata hidup

orang Jawa yang diyakini, dijalani, dan dikembangkan sebagai sikap dan

pandangan hidup orang Jawa. Ajaran kejawen dekat dengan praktek mistis dan

ilmu kebatinan.

Penganut ajaran kejawen tersebar di propinsi Jawa Tengah dan Jawa

Timur. Penganut kejawen menjalankan kepercayaan yang mereka miliki melalui

tradisi atau laku keagamaan. Orang Jawa melakukan kepercayaan mereka dengan

berusaha untuk berperilaku baik, kepada alam dan kepada sesama manusia.

Menjalani kehidupan sehari dengan baik, menurut orang Jawa hal itu sudah

merupakan kehidupan beragama yang disebut juga dengan religiusitas. Maka

religiusitas orang Jawa terlihat dari perilakunya sehari-hari dalam kehidupan

bermasyarakat.

Pemerintah sampai saat ini belum menetapkan ajaran kejawen sebagai

sebuah agama di Indonesia. Pemerintah hanya mengakui 5 agama besar yaitu

Islam, Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Hindu ditambah dengan agama yang

baru diresmikan yaitu Konghuchu (Hutagalung, 2006). Tidak diakuinya kejawen

sebagai sebuah agama resmi di Indonesia disebabkan karena ajaran Kejawen tidak

memiliki Kitab Suci dan Nabi seperti yang terdapat dalam agama-agama besar

(Susanto, 2005). Maka ajaran kejawen merubah dirinya dengan istilah ajaran

kebatinan seperti agama-agama asli lainnya di Indonesia (”Fenomena Agama

Asli”, 2006). Ajaran kebatinan ini oleh pemerintah disebut dengan aliran

(37)

Dengan tidak resminya ajaran kejawen menjadi suatu agama, maka para

penganutnya secara tidak langsung mengharuskan dirinya menjadi pemeluk salah

satu agama resmi di Indonesia. Hal ini dilakukan agar mereka bisa mendapatkan

kemudahan apabila berhubungan dengan pemerintahan, misalnya saja untuk

mengurus pernikahan. Identitas keagamaan ini biasanya terdapat di Kartu Tanda

Penduduk (KTP) yang mencantumkan agama tertentu. Namun bagi para penganut

kejawen, hal tersebut hanya sebagai tulisan saja dan mereka tidak secara

sungguh-sungguh menjalani kegiatan keagamaan yang tercantum dalam KTP. Orang Jawa

yang seperti ini disebut dengan istilah abangan.

Abangan ini istilah yang dipakai oleh umat yang beragama resmi di

Indonesia, terutama umat yang beragama Islam kepada penganutnya yang tidak

secara sungguh-sungguh menjalankan perintah agamanya. Abangan ini berarti

merah. Apabila dikuyah, sirih akan menjadi merah. Dan sirih adalah suatu hal

yang penting bagi agama asli seperti kejawen. Dengan demikian penganut ajaran

Kejawen disebut dengan kaum merah (”Fenomena Agama Asli”, 2006). Ada

juga yang menjabarkan kata abangan dengan bahasa Arab yaitu ”aba” yang

berarti tidak peduli (Subagya, 1981).

Menurut agama resmi yang ada di Indonesia, agama asli misalnya kejawen

disebut sebagai ajaran animisme atau penyembah berhala (Hutagalung, 2006).

Bagi sebagian umat Muslim, istilah kejawen dirasakan sangat dekat dan penuh

dengan hal-hal yang berbau syirik (menyekutukan Tuhan). Sebuah perilaku yang

berbahaya bagi umat Islam karena bisa merusak akidah dan keyakinan (Mulyana,

(38)

mencampurbaurkan Islam dengan ajaran agama asli (kejawen). Sedangkan

menurut Takeshi (2000), ajaran aliran kebatinan cenderung dilihat sebagai Islam

yang sesat. Maka menurut ajaran Islam fondamentalis ajaran kebatinan dianggap

menyimpang dan harus ditinggalkan (Susanto, 2005).

Istilah abangan yang berkembang di masyarakat Jawa ditujukan bagi

orang-orang yang menganut salah satu agama namun tidak melaksanakan ajaran

agama yang mereka anut. Jadi tampak sekilas bahwa orang-orang abangan

bukanlah seorang yang religius karena mereka tidak melaksanakan ajaran agama

yang tertulis pada KTP mereka.

Salah satu kelompok yang termasuk kaum abangan adalah warok.

Seorang individu untuk mendapatkan gelar warok harus menempuh ilmu

kanuragan dan belajar imu kebatinan. Hal ini tentunya sangat bertentangan

dengan ajaran agama Islam yang berkembang di Ponorogo. Pada umumnya warok

yang dikenal di masyarakat berstatus sebagai pemeluk agama Islam pada kartu

penduduknya. Namun tampaknya hal itu hanya secara formal saja karena para

warok sering menjalankan laku kejawen misalnya dengan puasa pada hari

kelahiran atau menyalakan sesaji di depan barongan, yang jelas-jelas hal itu

dilarang oleh agama Islam.

Warok dikenal sebagai seseorang yang bertingkah laku baik dan mau

membantu sesamanya. Warok juga menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya

karena mereka memiliki kebijaksanaan yang tinggi sehingga mereka sering

dijadikan penasihat bagi masyarakat di sekitarnya. Kedekatan warok dengan dunia

(39)

Ilmu kanuragan dan kebatinan yang dianut para warok ternyata juga

membawa masalah bagi masyarakat di sekitarnya, terutama golongan Muslim

yang taat. Golongan priyayi sebenarnya tidak setuju dengan adanya penggunaan

mistis dalam kesenian Reyog, namun Reyog adalah kesenian asli masyarakat

Ponorogo. Maka masalah ajaran keagamaan hanya menjadi masalah diantara

masyarakat Ponorogo sendiri dan tidak menjadi suatu hal yang sangat penting

untuk diperdebatkan.

C. Agama dan Religiusitas

Pengertian religius tidak dapat dipisahkan dari kata dasarnya yaitu religi

(agama). Menurut Almirzanah (2001) agama berasal dari kara “religare” yang

artinya mengikat manusia dengan Tuhan. Selanjutnya Driyarkara (1978)

menambahkan bahwa makna “mengikat” yaitu agama dengan aturan-aturan dan

kewajiban-kewajiban yang dimilikinya harus dilaksanakan, di mana aturan-aturan

dan kewajiban-kewajiban itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri

seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama

serta alam semesta.

Menurut Sumarah (2002), agama khususnya agama timur bukanlah

terutama suatu sistem dogma melainkan suatu cara hidup agar manusia bisa hidup

secara harmonis dengan alam dan sesamanya dengan jalan mengamalkan sikap

kasih dan tanggap satu terhadap yang lain. Maka agama adalah suatu keyakinan

akan adanya kekuatan di luar kuasa manusia yang mempengaruhi, menentukan

(40)

Jadi, agama merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia yang

mengatur dan mempengaruhi tingkah lakunya melalui aturan-aturan dan

kewajiban-kewajiban dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan, baik

dengan sesama maupun dengan alam semesta.

Mangunwijaya (1982) membedakan istilah agama (religi) dan religiusitas.

Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan

kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek religi yang

telah dihayati oleh individu di dalam hati.

Menurut Jalaluddin (dalam Bukhori, 2006), religiusitas adalah suatu

keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku

sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Religiusitas tidak hanya

menunjukan seorang individu itu tahu mengenai ajaran agamanya tetapi juga

melaksanakan dan mengamalkan ajaran agamanya.

Jadi, religiusitas adalah suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang

mendorongnya untuk bertingkah laku dengan cara melaksanakan dan

mengamalkan ajaran agamanya.

Religiusitas memiliki lima dimensi seperti yang dikemukakan Glock &

Stark (dalam Bukhori, 2006; Ancok & Suroso, 2000), yaitu :

1. Dimensi Ideologis

Disebut juga dengan dimensi keyakinan, yaitu tingkat keyakinan seseorang

terhadap kebenaran ajaran agamanya terutama terhadap ajaran-ajaran yang

fundamental atau bersifat dogmatis.

(41)

Disebut juga dengan dimensi praktik yaitu tingkat kepatuhan seseorang dalam

mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana diperintahkan atau dianjurkan

oleh agama yang dianutnya.

3. Dimensi Eksperiensial

Disebut juga dengan dimensi pengalaman, yaitu seberapa tingkat seseorang

dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman

religiusnya.

4. Dimensi Intelektual

Disebut juga dengan dimensi pengetahuan, yaitu tingkat pengetahuan dan

pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran

pokok agamanya sebagaimana termuat dalam kitab sucinya.

5. Dimensi Pengalaman

Disebut juga dengan dimensi konsekuensi, yaitu tingkat seseorang dalam

berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya. Perilaku yang dimaksud

adalah perilaku duniawi yakni bagaimana individu berhubungan dengan dunia.

Menurut Fowler (1995), agama adalah salah satu bentuk penyaluran dan

pengungkapan kepercayaan eksistensial seseorang. Maka kepercayaan eksistensial

yang berupa kepercayaan religius seseorang tidak selalu bisa dimasukan dalam

sebuah lembaga keagamaan. Berdasarkan pernyataan ini religiusitas seseorang

tidak selalu atau tidak mutlak harus pada sebuah agama tertentu. Berhubungan

dengan kepercayaan seseorang kepada Allah yang bersifat transendens, Fowler

(1995) mengungkapkan gagasannya tentang kepercayaan eksistensial..

(42)

diri, harapan, serta rasa kebergantungan pada yang lain.

Fowler melihat bahwa kepercayaan eksistensial sebagai rasa percaya

dibedakan dalam tiga aspek, yaitu :

1. “Kepercayaan” sebagai cara seorang pribadi (atau kelompok) melihat

hubungannya dengan orang lain, dengan siapa ia merasa diri bersatu berdasarkan

latar belakang sejumlah tujuan dan pengartian yang dimiliki bersama.

2. “Kepercayaan sebagai cara tertentu, dengan mana pribadi menafsirkan dan

menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam segala

lapangan daya kehidupannya yang majemuk dan kompleks.

3. “Kepercayaan” sebagai cara pribadi melihat seluruh nilai dan kekuatan yang

merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesamanya.

Menurut Fowler (1995) ada beberapa tahap perkembangan dalam

hubungannya dengan kepercayaan yang dianut oleh seorang individu. Fowler

mengemukakan bahwa ada tujuh tahap proses dan perkembangan kepercayaan

eksistensial. Ada enam tahap yang penting, dan akan dikemukakan untuk

selanjutnya. Satu tahap pertama, yang merupakan tahap awal 0 – 3 tahun sering

disebut pratahap dan belum diselidiki secara memadai. Tidak ada patokan yang

kaku mengenai umur pada masing-masing tahap (Fowler, 1995).

Tahap 1 : Kepercayaan Intuitif – Proyektif

Tahap ini berlangsung antara umur 3 sampai 7 tahun. Pada tahap ini anak

belum memiliki kemampuan operasional logis yang baik. Anak belum mampu

membedakan antara perspektif dirinya dengan perspektif orang lain. Dunia

(43)

namun cenderung berubah-ubah. Anak menangkap kesan-kesan di lingkungannya

dengan menggunakan imajinasi dan gambaran, yang dirangsang lewat cerita,

gerak, isyarat, upacara, simbol-simbol, dan kata-kata. Kemampuan dan minat

anak pada misteri dan Yang Suci dibina dan diarahkan oleh pandangan orang

dewasa. Dunia imajinasi dan gambaran, mewarnai seluruh kehidupan afektif dan

kognitif yang mendasari pola kepercayaan anak.

Tahap 2 : Kepercayaan Mitis – Harfiah

Tahap ini berlangsung pada umur 7 sampai 12 tahun. Pada tahap ini anak

belajar melepaskan diri dari sikap egosentrisnya, dan mulai membedakan

perspektif orang lain dengan perspektif dirinya. Anak masih berpikir konkret

namun sudah bisa menggunakan kategori sebab akibat. Maka anak sudah mampu

memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolok ukur

logisnya sendiri. Pada tingkat moral, anak belum mampu untuk menyusun seluruh

perasaan, sikap dan proses batiniah yang dimilikinya sendiri. Maka anak

bersandar pada struktur-struktur orang dewasa. Sarana utama yang digunakan

untuk pengenalan pada anak adalah melalui cerita dengan tujuan untuk

mengumpulkan berbagai arti dan untuk membentuk pendapatnya.

Tahap 3 : Kepercayaan Sintetis – Konvensional

Tahap ini berlangsung pada umur 12 sampai sekitar umur 20 tahun. Tugas

paling pokok pada tahap ini adalah menciptakan sintesis identitas. Kemampuan

kognitif yang muncul adalah operasional formal. Remaja sanggup merefleksikan

secara kritis riwayat hidupnya dan menggali arti sejarah hidup bagi dirinya

(44)

sendiri atau atas dasar orang lain. Remaja sangat tertarik dengan ideologi dan

agama. Remaja dapat menemukan makna eksistensial dalam menemukan orang

dalam relasinya dengan lingkungan. Remaja menciptakan sintesis dari berbagai

keyakinan dan nilai religus, yang mendukung pencarian identitas diri. Namun

sintetis pribadi ini sebagian besar kurang reflektif dan masih terikat pada

pandangan religius yang umum. Cukup banyak orang dewasa yang tetap tinggal

dalam tahap kepercayaan ini.

Tahap 4 : Kepercayaan Induviduatif - Reflektif

Tahap ini berlangsung pada umur 20 tahun ke atas hingga masa awal

dewasa. Individu sudah sadar bahwa dirinya dan orang lain adalah bagian dari

masyarakat, dan ia juga memiliki tanggung jawab atas apa yang sudah menjadi

pilihannya. Peralihan ke tahap ini dimulai ketika individu sadar bahwa seluruh

nilai-nilai kepercayaannya harus ditinjau kembali agar dapat menjadi sebuah

pemikiran yang lebih eksplisit.

Pada tahap ini individu tidak lagi mendasari hidupnya atas nilai-nilai yang

dianut oleh orang lain, tetapi menjadi pribadi yang autentik. Pribadi itu yakin

bahwa manusia adalah subjek yang bebas dan kritis, yang bertanggung jawab atas

pilihan hidupnya. Ciri khas pada tahap ini adalah sistem dan pengontrolan.

Individu harus mampu memakai sistem yang rasional dan berada di bawah kontrol

rasio sadar, dan yang menjadi sasarannya adalah pengontrolan.

Tahap 5 : Kepercayaan Eksistensial – Konjungtif

Tahap ini berlangsung sekitar umur 35 tahun ke atas. Pada tahap ini semua

(45)

adalah upaya untuk membuat hidupnya menjadi lebih utuh dengan cara

menggabungkan kembali daya rasio dengan aspek ketidaksadarannya. Individu

menyadari bahwa hidup merupakan anugrah pemberian yang diperjuangkan

dengan pengalaman pahit dan manis selama hidupnya. Individu menghindarkan

untuk menyembah berhala. Individu mulai memperbaiki segala ilmu yang

diperolehnya pada masa anak-anak dan mulai menghargai orang lain yang

memiliki perbedaan nilai dengannya.

Tahap 6 : Kepercayaan Eksistensial yang mengacu pada Universalitas Tahap ini dapat berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Individu

memiliki gaya hidup langsung berakar pada Yang Ultim, yaitu pusat nilai,

kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Individu sudah bisa berhasil

melepaskan diri dari ego dan dari pandangannya yang sempit. Penilaian dan

tindakan individu berubah menjadi perspektif universal terhadap seluruh

kehidupan yang ada di dunia. Ia memiliki visi dan tujuan yang universal untuk

membantu orang lain yang mengalami konflik dan mendapatkan ketidakadilan.

Tahapan perkembangan kepercayaan yang diungkapkan Fowler di atas

berusaha untuk mengetahui cara pemberian arti seluruh pengenalan dan penilaian

pandangan hidup seseorang terhadap diri, Yang Transendens (Allah) dan

lingkungannya.

D. Agama Islam

Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada

(46)

2001). Seluruh kaum muslimin percaya bahwa Islam adalah agama terakhir yang

diturunkan Allah bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir sebagai

penutup garis kenabian.

Agama menurut Islam mencakup seluruh kehidupan individu. Seluruh

aktivitas, usaha dan pemikiran seorang manusia harus menurut aturannya. Jadi apa

yang menjadi pikiran dan tindakan manusia harus berkaitan dengan

prinsip-prinsip ketuhanan, yang merupakan sumber segala sesuatu (Almirzanah, 2001).

Fungsi agama menurut Islam yaitu untuk mengingatkan manusia pada realitas

dunia dan memberikan bimbingan manusia sehingga mereka dapat hidup sesuai

dengan kehendak-Nya.

Agama Islam memiliki dua sumber agama yaitu al-Quran dan al-Hadist

sebagai sumber primer dan Ijtihad sebagai sumber sekunder. Al-quran adalah

wahyu yang berbentuk firman Allah (Kalamullah) yang disampaikan oleh

malaikan Jibril dalam bahasa Arab dan menjadi mu’jizat bagi kenabian

Muhammad. Al-hadist mengandung sunnah (tradisi) Nabi Muhammad yang dapat

berbentuk ucapan, perbuatan atau persetujuan Nabi terhadap suatu perbuatan.

Hadist memiliki kedudukan sebagai penjelas dan pelengkap bagi pokok ajaran

yang tersebut dalam al-Quran. Sumber sekunder Ijtihad adalah prinsip gerak

dalam Islam yang menggunakan segala kemampuan secara penuh tanggungjawab

untuk menggali, memahami dan merumuskan pokok-pokok ajaran yang tersurat

maupun yang tersirat dalam al-Quran dan al-Hadist (Almirzanah, 2001).

Konsep ketuhanan menurut Islam yaitu monoteisme (Smith, 2001).

(47)

kekuasaan Tuhan yang Esa. Hal ini sesuai dengan dua kalimat syahadat yang

harus diucapkan seseorang apabila ingin menjadi salah satu umat Muslim.

Kalimat itu berbunyi : “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah

dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah” (Almirzanah,

2001).

Ada enam pokok keimanan yang menjadi dasar ajaran Islam yaitu :

(Almirzanah, 2001)

1. Iman kepada Allah

Yaitu meyakini di dalam hati bahwa Allah itu Esa DzatNya dan Af’alNya.

Menurut Abu Zahrah, keesaan Tuhan mempunyai tiga segi yaitu Esa dalam Dzat

dan sifatNya, bahwa Allah tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya. Yang

kedua yaitu esa dalam ciptaan, bahwa Allah pencipta segala sesuatu, Dialah Yang

Maha Pencipta dan Maha Pengatur langit dan bumi. Dan yang ketiga yaitu esa

dalam ibadah, bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.

2. Iman kepada Rasul-rasul

Iman kepada nabi dan rasul adalah pokok keimanan yang diperintahkan

dalam al-Quran. Nabi adalah manusia yang dipilih untuk menerima wahyu dari

Dzat Yang Maha Kuasa, untuk menuntun manusia.

3. Iman kepada Kitab-kitab Allah

Yaitu mengimani bahwa kitab-kitab Allah adalah kalam Allah yang azazli

lagi qadim dari segala-galanya, tiada aksara, tiada suara. Kitab-kitab itu adalah :

Taurat (kitab yang diturunkan kepada nabi Musa AS), Zabur (kitab yang

(48)

AS), dan al-Quran (kitab yang diturunkankepada nabi Muhammad SAW).

4. Iman kepada Malaikat

Orang Islam wajib beriman kepada adanya malaikat, yaitu roh atau jiwa

yang suci dan disucikan yang tidak pernah bermaksiat kepada Allah dan selalu

siaga dalam melaksanakan apa yang diperintahkan, melakukan berbagai

kewajiban dari mencabut nyawa hingga memikul Arsy Allah.

5. Iman kepada hari akhirat

Yaitu percaya bahwa hari kiamat itu pasti datang dan mempercayai juga

akan adanya peristiwa-peristiwa dan hal-hal yang terjadi yang erat hukumnya

dengan hari kiamat, seperti pembangkitan dari kubur, hisab amal, pembalasan,

adanya surga dan neraka dan lainnya yang diterangkan dalam Quran dan

al-Hadist.

6. Iman kepada Qadla dan Qadar

Qadar adalah jangka yang telah tertentu dan Qadla adalah ketentuan. Maka

iman kepada Qadla dan Qadar yaitu meyakini bahwa Allah telah menentukan

sesuatu di dalam qidamNya dan Dia sudah lebih dahulu mengetahui bahwa

sesuatu itu akan terjadi pada waktu tertentu dan semuanya akan berjalan menurut

perhitungan yang telah ditetapkan pula.

Seluruh umat Muslim memiliki kewajiban untuk menaati rukun Islam.

Rukun Islam adalah asas-asas yang mengatur secara menyeluruh kehidupan

pribadi kaum Muslimin dalam hubungannya secara langsung dengan Allah

(Smith, 2001). Rukun Islam ada lima, yaitu :

(49)

Syahadat berarti persaksian atau pengakuan. Mengucap kalimat syahadat

adalah suatu perbuatan yang merupakan proses dari keimanan yang kemudian

dibuktikan dengan amal ibadah dan maumalah.

2. Mengerjakan Shalat

Shalat adalah perbuatan yang diajarkan syara’ dimulai dengan takbir dan

diakhiri dengan salam. Umat Islam mengerjakan shalat lima kali sehari yaitu

sewaktu bangun, tengah hari, di waktu sore, setelah matahari tenggelam dan

sebelum istirahat tidur.

3. Membayar Zakat

Zakat adalah pemberian yang wajib diberikan dengan harta tertentu

menurut sifat-sifat dan ukuran-ukuran tertentu kepada golongan tertentu.

4. Berpuasa Ramadhan

Puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkannya, seperti

makan, minum, bersetubuh dan searti dengan itu sejak pagi hingga matahari

terbenam yang dilaksanakan untuk mendapat ridha Allah. Bulan Ramadhan

adalah bulan di mana al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi, pada waktu

malam hari yang disebut dengan lailat al-Qadar.

5. Menunaikan Ibadah haji

Haji berarti pergi ke suatu Baitullah atau Ka’bah untuk melaksanakan

ibadah yang telah ditetapkan Allah. Ibadah haji hanya dilaksanakan pada bulan

Zulhijjah dan diwajibkan hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan atau

kesanggupan.

(50)

melaksanakan segala aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam

agama Islam. Individu yang taat dan mampu menghayati ajaran agamanya dapat

dikatakan seorang yang memiliki religiusitas. Berdasarkan penelitian Kementerian

Negara dan Kependudukan Lingkungan Hidup tahun 1987, ternyata ada lima

dimensi religiusitas dalam ajaran agama Islam yang memiliki kesamaan dengan

dimensi religiusitas dari Glock dan Stark (Bukhori, 2006), yaitu :

1. Dimensi Iman

Mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi dan

sebagainya.

2. Dimensi Islam

Menyangkut tingkat frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah

ditetapkan, misalnya sholat, puasa, zakat dan haji.

3. Dimensi Ikhsan

Menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam

kehidupan, ketenangan hidup, takut melanggar perintah Tuhan, keyakinan

menerima balasan, perasaan dekat dengan Tuhan dan dorongan untuk

melaksanakan perintah agama.

4. Dimensi Ilmu

Menyangkut pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang ajaran

agamanya, misalnya pengetahuan tentang Figh, Tauhid dan sebagainya.

5. Dimensi Amal

Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan manusia lainnya dan

(51)

dalam kehidupannya sehari-hari.

E. Religiusitas Warok Reog Ponorogo

Menurut Bruner (1986), pengalaman merupakan cara bagaimana

seseorang memandang atau menginternalisasikan kenyataan di lingkungan yang

menghampiri kesadaran manusia. Pengalaman seseorang bersifat subjektif

sehingga setiap individu memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap berbagai

realitas di lingkungannya.

Jadi, Pengalaman religius adalah suatu hubungan pribadi antara manusia

dan Tuhan. Pengalaman religius merupakan inti dari sebuah agama karena dengan

menginternalisasi kenyataan yang ada di lingkungannya, seorang individu akan

dapat melaksanakan dan mengamalkan ajaran agama yang telah dipelajarinya

dengan baik.

Fenomena warok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah asing.

Namun bagi masyarakat di Ponorogo - Jawa Timur, warok adalah istilah yang

tidak asing lagi. Istilah warok identik dengan Reyog Ponorogo, sehingga

kehidupan warok juga tidak jauh dari kesenian Reyog. Bagi banyak orang

kesenian Reyog dikenal sebagai kesenian yang dekat dengan dunia mistis,

sehingga mereka sering menganggap bahwa pelaku kesenian Reyog yaitu warok

memiliki ilmu kanuragan.

Sosok warok di masyarakat Ponorogo di kenal sebagai orang yang

bijaksana dan baik namun di sisi lain, warok juga dikenal buruk karena praktek

mistis yang mereka jalankan. Adanya dua hal yang bertolak belakang ini

(52)

manusia biasa mungkin sama dengan masyarakat lainnya, namun sebagai orang

yang mendapat julukan warok tentunya mereka memiliki sisi kehidupan yang

berbeda dengan masyarakat lainnya. Sisi kehidupan yang berbeda ini berkaitan

erat dengan religiusitas yang dimiliki oleh warok.

Seorang warok yang menggunakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan

tentunya juga memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap peristiwa di

lingkungannya. Pengalaman warok pada ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan

berhubungan erat dengan pengalaman religiusnya karena ilmu kebatinan

merupakan suatu cara untuk mendekatkan diri dan menyatu dengan pencipta alam

semesta (Susanto, 2005). Sikap dan tingkah laku yang ditunjukkan para warok

dalam kehidupan sehari-hari dapat menunjukan religiusitas pada kepercayaan

yang mereka anut yaitu ajaran Kejawen

Warok memiliki kepercayaan sendiri mengenai keberadaan pencipta alam

semesta. Warok merupakan penganut ajaran kejawen atau paling tidak adalah

Islam abangan atau Islam KTP (Fauzannafi, 2005). Kepercayaan atau ilmu yang

dianut para warok ini mempengaruhi dan membentuk tingkah laku mereka,

terutama terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Maka dengan adanya praktek

mistis dan ilmu kanuragan yang mereka miliki, kepercayaan warok pada pencipta

alam tampak berbeda dengan lingkungan di sekitarnya yang mayoritas memeluk

agama Islam.

Warok secara hukum negara adalah penganut agama Islam. Agama Islam

memiliki beberapa aqidah agama yang wajib untuk dijalankan oleh seluruh

(53)

telah memilih Islam sebagai agamanya. Orang tersebut harus mengakui enam

pokok keimanan dalam Islam dan wajib menjalankan lima rukun Islam. Maka

warok yang telah mengakui Islam sebagai agamanya wajib melakukan ajaran

agama Islam.

Secara hukum warok beragama Islam, namun praktek mistis dan

kepercayaan Kejawen yang dianut oleh para warok menjadikan kehidupan religius

mereka ambigu. Seperti berada dalam satu posisi yang saling bertentangan. Islam

menentang keras praktek mistis yang disebut dengan mempersekutukan Tuhan,

namun pada ajaran kebatinan, mistis adalah hal yang biasa digunakan.

Islam memiliki pandangan sendiri mengenai religiusitas yang dimiliki

warok berdasarkan ajaran agamanya. Namun ternyata kehidupan religiusitas

warok yang berhubungan dengan kepercayaan mereka pada ajaran kejawen tidak

selalu bisa dipandang dalam suatu agama tertentu. Fowler (1995) mencoba

menerangkan bahwa hubungan seseorang dengan Allah bersifat subjektif dan

berbeda pada tiap individunya. Dalam hal ini, religiusitas pada satu agama tidak

bisa menentukan apakah seseorang itu bisa dikatakan religius atau tidak, terutama

apabila seseorang mampu mengatasi masalah yang ada dihidupnya dengan

sesuatu yang lebih berarti. Seperti yang terjadi pada para warok.

Maka untuk menjelaskan religiusitas para warok, sebaiknya digunakan

religiusitas yang bersifat umum dan lebih general, yang tidak berhubungan

dengan satu agama saja. Religiusitas warok dapat dilihat dari perkembangan

kepercayaan eksistensial yang dikemukakan oleh Fowler. Seperti yang

(54)

pengungkapan kepercayaan seseorang. Dapat diterangkan bisa saja seorang warok

yang memeluk agama Islam tetap melakukan ajaran Kejawen yang dipercayainya

karena ia percaya pada budaya nenek moyang yang sudah dari lahir didengarnya.

Jadi kepercayaan bukan hanya menyangkut agama apa yang dipeluk oleh

seseorang melainkan lebih pada upaya mental seseorang untuk menciptakan,

memelihara dan mentransformasikan arti yang ada di lingkungannya. Hal inilah

yang mungkin berkembang pada diri para warok. Warok menerima dengan baik

ajaran tentang agama Islam, terlepas dari aturan dan kewajiban yang ada di dalam

Islam, warok kemudian mencoba memisahkan mana hal-hal yang bisa diterima

dan dijalankannya dengan baik dengan hal-hal yang kurang sesuai dengan

penilainannya terhadap lingkungan. Dalam hal ini budaya sangat berpengaruh

terhadap perkembangan kepercayaan agama seseorang. Ajaran agama yang

kurang sesuai dengan budaya tempat tinggal warok kemudian kurang ditaati. Oleh

karena itu terkesan bahwa warok bukanlan seorang penganut Islam yang taat.

Kepercayaan eksistensial yang dikemukakan Fowler memiliki tujuh

tahapan perkembangan. Melalui tujuh tahapan perkembangan ini, akan tampak

warok berada di tahapan yang mana. Hal ini berhubungan dengan religiusitas

yang dimiliki warok. Kepercayaan eksistensial atau iman terhadap ajaran Kejawen

dan agama Islam yang dianut warok menimbulkan sikap religius tersendiri bagi

para warok terhadap ajaran yang mereka imani.

Jadi religiusitas para warok dilihat melalui tujuh tahapan perkembangan

yang dikemukakan Fowler dan dimensi yang terdapat pada religiusitas yang

(55)

semesta tampaknya berada di tahap paling akhir. Warok bisa melepaskan segala

ego dan pandangan yang sempit mengenai berbagai ajaran agama. Oleh karena

itu, kepercayaan kejawen dan ilmu kebatinan warok tidak tergoyahkan oleh

desakan-desakan golongan priyayi yang tidak menyukai praktek mistis mereka.

Sebaliknya, warok berusaha untuk saling tenggang rasa dan menerima segala

perbedaan di lingkungannya yang mayoritas beragama Islam. Warok terkenal

sebagai sosok yang mau membantu sesamanya dari golongan agama apa saja. Hal

ini membuktikan bahwa warok memiliki pengalaman religius yang berbeda

dengan masyarakat di sekelilingnya.

F. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian terdiri dari dua jenis yaitu pertanyaan pokok dan

pertanyaan lain-lain. Pertanyaan pokok penelitian ini adalah : bagaimanakah

religiusitas yang dimiliki warok?

Pertanyaan khusus untuk membantu menjawab pertanyaan pokok pada

penelitian ini adalah :

1. Apakah makna pengalaman religius yang dimiliki warok?

2. Bagaimanakah warok menjalankan praktek kepercayaan mereka?

3. Keyakinan apa yang dimiliki warok terhadap kepercayaan mereka?

4. Pengetahuan apa yang warok miliki tentang kepercayaan yang mereka anut?

5. Bagaimana warok menjalankan amal (hubungan dengan orang di sekitar) yang

ada dikepercayaan mereka?

Gambar

GAMBAR REYOG PONOROGO

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Data flow diagram adalah representasi grafis dari suatu sistem yang menggambarkan komponen-komponen sebuah sistem, aliran data diantara komponen-komponen tersebut

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Penelitian ini dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian yang menganalisis reaksi pasar terhadap pengumuman penerbitan.. obligasi

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil