• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42761/PP/M.XVI/15/2013. : Pajak Penghasilan Badan. Tahun Pajak : 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42761/PP/M.XVI/15/2013. : Pajak Penghasilan Badan. Tahun Pajak : 2007"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42761/PP/M.XVI/15/2013

Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak : 2007

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah, pos Penghasilan Luar Usaha - PPh atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam rangka pemekaran usaha dari divisi R.S. Pelni menjadi PT R.S. Pelni sebesar Rp229.135.279.000,00.

Menurut Terbanding : bahwa setelah membaca Surat Banding, mempelajari berkas surat menyurat yang berlangsung selama proses penyelesaian keberatan, Laporan Penelitian Keberatan, Surat Keberatan Pemohon Banding, dengan ini disampaikan analisa pokok sengketa atas Surat Banding dari Pemohon Banding adalah terhadap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terkait spin off R.S. Pelni yang menurut Pemeriksa merupakan obyek PPh dengan tarif PPh Pasal 17, sedangkan menurut Pemohon Banding sesuai Surat Keberatan adalah terutang PPh Final 5% tetapi dalam Surat Banding ternyata menurut Pemohon Banding belum terutang PPh.

Menurut Pemohon : bahwa dari pasal dan penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa saat terutangnya PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pemohon Banding atas tanah dan/atau bangunan adalah “sebelum akta, keputusan, perjaniian, kesepakatan, litandatangani oleh pejabat yang berwenang”, Majelis Hakim yang terhormat, perlu kiranya Majelis Hakim ketahui bahwasannya sampai saat ini, akta pengalihan hak sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) beserta jelasannya tersebut belum sama sekali dibuat apalagi ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, oleh karena itu, seharusnya dengan mengacu pada ketentuan yang sama, maka atas transaksi tersebut belum terutang PPh.

Menurut Majelis : bahwa berdasarkan data/bukti yang tersedia dan penjelasan para pihak selama persidangan, dapat dikemukakan hal-hal berikut:

- bahwa yang menjadi sengketa antara Pemohon Banding dengan Terbanding adalah menyangkut ma salah juridis yaitu sehubungan dengan adanya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terkait spin off

R.S.Pelni yang menurut Terbanding merupakan obyek PPh dengan tarif PPh Pasal 17, sedangkan menurut Pemohon Banding sesuai Surat Keberatan adalah terutang PPh Final 5% tetapi dalam Surat Banding ternyata menurut Pemohon Banding belum terutang PPh pengali han hak atas tanah dan/atau bangunan terkait spin off R.S. Pelni,

- bahwa berdasarkan Akta Nomor 7 tanggal 9 Nopember 2007 yang dibuat oleh Yulkhaizar Panuh SH Notaris/PPAT di Jakarta diketahui bahwa dalam tahun 2007 Pemohon Banding melakukan tindakan pemisahan/pemekaran usaha (spin off) yaitu dari Divisi Rumah Sakit yang merupakan usaha sampingan dalam kegiatan usaha pokok Pemohon Banding dibentuk menjadi badan usaha terpisah dengan nama PT.R.S.Pelni, sehingga karenanya masing-masing mempunyai wewenang untuk berbuat dalam hukum secara sendiri-sendiri,

- bahwa di dalam Akta Nomor 7 tanggal 9 Nopember 2007 yang dibuat oleh Yulkhaizar Panuh SH Notaris/PPAT di Jakarta yaitu pada Pasal 33 diketahui bahwa dari modal dasar telah ditempatkan dan disetor dengan sejumlah 59.480 lembar saham atau seluruhmya dengan nilai nominal Rp1.000.000,00 yaitu oleh pendiri:

(2)

a. Perusahaan Perseroan (Persero) PT XXX sebanyak 59.455 lembar saham atau sebesar Rp59.455.000.000,00,

b. Yayasan Kesehatan Pensiunan Perseroan Terbatas Pelayaran Nasional Indonesia sebanyak 25 lembar atau sebesar Rp25.000.000,00.

- bahwa penyetoran modal saham oleh PT XXX (Persero) dilakukan dengan memasukkan (inbreng) berupa asset dari Rumah Sakit Pelni “Petamburan”

dalam bentuk:

Kas dan setara kas senilai Rp 4.562.317.879,00

Aktiva Lancar lainnya Rp 47.585.414.464,00

Aktiva Tetap Rp 41.521.354.071,00

Aktiva lain-lain Rp 1.340.777.812,00

Hutang Jangka Pendek (Rp 31.501.974.129,00)

Hutang Jangka Panjang (Rp 4.052.890.097,00)

Jumlah Rp 59.455.000.000,00

- bahwa yang dialihkan dalam rangka spin off dari divisi R.S.Pelni (Pemohon Banding) kepada PT Pelni adalah aktiva berupa hak atas tanah, bangunan, sarana pelengkap, Kendaraan, Peralatan Kesehatan dan Kantor, bahwa dari spin off yang dilakukan tersebut terdapat Capital Gain sebesar Rp234.245.875.774,00, namun dari jumlah tersebut yang diajukan Banding oleh Pemohon Banding adalah sebesar Rp229.135. 279,00 yaitu Capital Gain atas pengalihan tanah dan bangunan sedangkan atas aktiva lainnya Pemohon Banding setuju untuk dikoreksi.

- bahwa atas keuntungan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebesar Rp234.245.875.774,00 belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 oleh Pemohon Banding sehingga dikoreksi oleh Terbanding,

- bahwa alasan Terbanding melakukan koreksi adalah:

a. bahwa Pemohon Banding melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam rangka pemekaran usaha dengan mendirikan PT R.S. Pelni, aktiva unit Rumah Sakit Pemohon Banding (termasuk di dalamnya tanah dan bangunan) dialihkan kepada PT R.S. Pelni, pengalihan tanah dan bangunan kepada PT Rumah Sakit Pelni secara nyata terjadi pada tahun 2007 (sebelum tanggal 1 Januari 2009/sebelum tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008), namun secara formal belum dibuatkan Akta Pengalihan,

bahwa pengalihan tanah dan bangunan bukan merupakan usaha pokok Pemohon Banding, penghasilan atas pengalihan tanah dan bangunan belum dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan Pemohon Banding Tahun Pajak 2007 dan PPh atas Penghasilan dari pengalihan tanah dan bangunan tersebut belum dibayar oleh Pemohon Banding.

b. bahwa karena pengalihan terjadi pada tahun 2007, maka ketentuan peraturan Pajak Penghasilan yang berlaku pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:

- Undang-Undang PPh yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000,

- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009 belum ada,

(3)

- Peraturan Pemerintah yang mengatur PPh atas Pengalihan Tanah dan Bangunan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009 belum ada.

c. bahwa PPh atas Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh Pemohon Banding yang terjadi pada Tahun Pajak 2007 tidak bersifat final, karena yang bersifat final adalah PPh atas Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, Yayasan atau Organisasi yang sejenis, yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,

d. bahwa karena tidak bersifat final, maka pengalihan aktiva Unit Rumah Sakit Pemohon Banding oleh Pemohon Banding kepada PT Rumah Sakit Pelni harus dihitung Capital Gain-nya,

e. bahwa ketentuan butir 1 Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 hanya menegaskan terhadap Wajib Pajak Badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1 Januari 2009 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang dan penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan PPh atas penghasilan tersebut telah dilunasi, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah 48/1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah 79/1999,

bahwa adapun pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan yang bukan merupakan usaha pokoknya yang belum dibuatkan akta pengalihan hak yang mana penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak yang bersangkutan dan pengenaan PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut tidak ditegaskan, karena tidak ada penegasan, maka ketentuan yang berlaku adalah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999.

bahwa atas koreksi tersebut, Pemohon Banding mengajukan Banding dengan alasan:

- bahwa koreksi Terbanding seharusnya batal menurut hukum karena menerapkan ketentuan yang berlaku umum yaitu Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 3 Undang-Undang PPh (Undang-Undang Perubahan Ketiga Undang-Undang PPh tahun 1984) atas keuntungan karena pengalihan aktiva berupa tanah dan bangunan yang diinbrengkan Pemohon Banding, karena pemajakannya diatur secara khusus yaitu Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh (Undang-Undang-Undang-Undang Perubahan Ketiga Undang-Undang-Undang-Undang PPh tahun 1984) dengan aturan pelaksanaan diatur dalam PP nomor 48 tahun 1994 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 71 tahun 2008 tentang Tatacara Pembayaran PPh atas Objek Pajak tersebut dan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku merupakan ketentuan yang berlaku khusus (lex spesialis),

- bahwa tidak ada penghasilan karena keuntungan atas pengalihan harta sebagaimana dimaksud Terbanding, karena atas pemisahan usaha (spin off) yang dilakukan secara hukum belum terjadi atas tanah dan bangunan

(4)

dimaksud mengalami pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan secara ketentuan perpajakan sebagaimana diatur dalam PP 71 tahun 2008 tentang Tatacara Pembayaran PPh atas Penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan belum ada objek PPh karena belum terdapat akta pengalihan yang ditandatangani sehingga belum merupakan objek pajak dimaksud sesuai ketentuan yang berlaku (Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008),

- bahwa saat terutangnya PPh atas penghasilan karena keuntungan atas pengalihan harta sebagaimana dimaksud Terbanding adalah di Tahun 2010 sehingga ketentuan yang secara formal berlaku atas transaksi ini adalah PP Nomor 71 Tahun 2008 dimana atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan bangunan,

- bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf n Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang BPHTB merupakan ketentuan dasar yang berlaku yang mengatur mengenai saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan untuk pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta,

- bahwa berdasarkan surat permohonan penegasan perlakukan perpajakan sebagaimana yang telah Pemohon Banding sampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II, dijawab dengan surat Nomor: S-463/PJ.032/2010 tanggal 8 April 2010 yang isinya sebagai berikut:

“Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a (atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT Pelni dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada PT RS Pelni Petamburan) adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan bersifat final...”

- bahwa pada tanggal 21 Mei 2010, Direktur Peraturan Perpajakan II menerbitkan Surat Ralat Jawaban dengan Nomor: S-687/PJ.032/2010 yang secara garis besar menegaskan:

“Pengenaan PPh atas pengalihan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bagi WP Badan, selain WP Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yayasan dan organisasi sejenis berlaku ketentuan :

Sebelum 1 Januari 2009 :

a. Sebelum ditandatanganinya akta pengalihan dibayar PPh sebesar 5% dari nilai pengalihan yang dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh, b. pada akhir tahun atas capital gain dari pengalihan tersebut dikenai tarif

Pasal 17 UU PPh dalam penghitungan PPh terutang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh”.

- bahwa Terbanding selaku pemegang otoritas perpajakan di Indonesia memberikan jawaban yang tidak konsisten kepada Pemohon Banding, di mana pada awalnya Terbanding menyatakan bahwa atas transaksi yang dilakukan Pemohon Banding adalah mengacu pada ketentuan PP Nomor 79 tahun 1999, namun 1 bulan kemudian Terbanding meralat jawaban tersebut,

- bahwa dalam hal Terbanding mengeluarkan suatu ruling/aturan, maka

ruling/aturan tersebut seharusnya melahirkan suatu kepercayaan hukum yang sah bagi Pemohon Banding sehingga pada akhirnya dapat menjadi dasar acuan yang dapat dipercaya dan apabila otoritas perpajakan salah menerapkan peraturan yang berlaku dalam pembuatan ruling dan kemudian melakukan pembetulan atas ruling/aturan yang dikeluarkannya

(5)

semula dan menimbulkan dampak yang merugikan bagi Wajib Pajak, maka pembetulan ruling/aturan tersebut tidak dapat dipertahankan, - bahwa Penghasilan Kena Pajak Tahun 2007 Pemohon Banding adalah

Rp253.689.036.247,00 yang merupakan penjumlahan dari Penghasilan Neto dalam negeri (Rp69.092.881.018,00), Penghasilan Neto dalam negeri lainnya Rp234.245.875.774,00 dan Penyesuaian Fiskal positif Rp89.041.301.486,00,

- bahwa Pajak Penghasilan terutang tahun 2007 Pemohon Banding berjumlah Rp76.089.210.800,00 berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan dengan aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999,

- bahwa dalam Laporan Keuangan PT Rumah Sakit Pelni 31 Desember 2008 dan 2007 yang disusun oleh Auditor Independen Soeyatna, Mulyana & Rekan, asset yang di-inbreng-kan tersebut sudah masuk menjadi bagian usaha PT Rumah Sakit Pelni di tahun 2007 dan atas aktiva tetap yang di-inbreng-kan tersebut telah disusutkan, sehingga terdapat penghasilan yang seharusnya merupakan objek pajak yang terutang atas Pemohon Banding yang jumlahnya tergantung dari selisih harga pasar dengan nilai sisa buku atas aktiva tersebut.

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat:

- bahwa pasal-pasal dalam Undang-Undang PPh yang terkait dengan sengketa Banding ini adalah sebagai berikut:

Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 Undang-Undang PPh:

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 Undang-Undang PPh:

Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.

Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.

Pasal 11 ayat (8) Undang-Undang PPh:

Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai peng hasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.

(6)

Penjelasan Pasal 11 ayat (8) Undang-Undang PPh:

Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh:

Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh yang intinya adalah

Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, merupakan Objek Pajak yang dalam pengenaan pajaknya diberikan perlakuan tersendiri antara lain kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.

- bahwa aturan pelaksanaan Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 dan ayat (2) Undang-Undang PPh diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran PPh atas Penghasilan Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (1):

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 4 ayat (1):

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah danlatau bangunan;

Pasal 8:

Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bagi orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak badan merupakan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan;

- bahwa perubahan karena pemisahan usaha ini mengakibatkan terjadi perubahan hak kepemilikan dari kepemilikan aktiva tetap menjadi kepemilikan saham (inbreng) yang terlebih dahulu dinilai atas aktiva tetap dimaksud untuk menentukan penyertaan saham yang disepakati antara Pemohon Ban ding dengan PT R.S. Pelni,

(7)

- bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan a quo, jelas bahwa pengalihan aktiva berupa Tanah, Bangunan, Sarana Pelengkap, Kendaraan dan Peralatan kesehatan dan kantor dilakukan Pemohon Banding yang merupakan bagian dari tindakan pemisahan usaha (spin off) yang di lakukan dalam tahun 2007 berdasarkan Akta Notaris Yulkhaizar Panuh SH Nomor 7 tanggal 9 November 2007 merupakan penghasilan Pemohon Banding sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 Undang PPh dan sesuai dengan Pasal 11 ayat (8) Undang-Undang PPh penghasilan dari pengalihan aktiva yang bersangkutan dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut dan dengan demikian harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2007,

- bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 merupakan aturan pelaksanaan Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 dan ayat (2) Undang-Undang PPh sesuai dengan hal Menimbang butir a dan c Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994,

- bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 diatur bahwa tarif PPh nya adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan bagi Wajib Pajak Badan merupakan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan,

- bahwa Majelis tidak sependapat dengan dalil Pemohon Banding yang menyatakan ketentuan yang harus dipergunakan dalam pemajakan atas keuntungan karena pengalihan aktiva berupa tanah dan bangunan yang di-inbreng tersebut diatur secara khusus dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh 1984 dengan aturan pelaksanaan dalam PP Nomor 48 tahun 1994 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 71 tahun 2008 tentang tata cara pembayaran PPh atas objek Pajak Penghasilan yang berlaku tahun 2008, karena pengalihan terjadi tahun 2007 sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 berlaku efektif sejak terbit tahun 2008, karena Majelis berpendapat ketentuan tentang pemajakan atas penghasilan karena keuntungan dimaksud telah berlaku sejak Undang-Undang PPh diundangkan pada tahun 1984 menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 telah dengan jelas disebutkan objek pajak adalah keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk keuntungan karena pemecahan (spin off) usaha, sedangkan atas penghasilan tertentu berupa penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh adalah penghasilan “selain” dengan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 dimaksud,

- bahwa peristiwa hukum yang terjadi atas pemecahan usaha (spin off) PT Pelni dengan divisi RS Pelni menjadi dua Perseroan Terbatas yaitu PT Pelni dan PT R.S. Pelni adalah peristiwa yang memenuhi semua unsur-unsur sebagaimana dimaksud dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 dimaksud, yaitu unsur pengalihan harta sebagai pengganti saham, keuntungan dari harta yang dialihkan berupa selisih dengan nilai bukunya adalah merupakan penghasilan dari PT Pelni (Pemohon Banding),

- bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf n Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Undang-Undang BPHTB) mengatur “Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:

(8)

n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta”.

bahwa Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang BPHTB mengatur “Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:

1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak”;

2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;

bahwa Majelis tidak sependapat dengan dalil Pemohon Banding yang menyatakan belum terjadi pengalihan hak atas kepemilikan aktiva tetap dimaksud karena belum dibuatkan akta karena dikaitkan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf n Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang BPHTB dimana saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan untuk pemekaran usaha adalah sejak tertandatangani akta, Majelis berpendapat ketentuan tersebut tidak relevan dengan sengketa karena Undang-Undang BPHTB mengatur tentang Bea perolehan atas Pengalihan Hak atas tanah dan Bangunan yaitu merupakan pemajakan kepada yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan atas pengalihan hak dan bukan atas keuntungan karena terjadi pengalihan harta tersebut.

bahwa Majelis berpendapat di dalam BPHTB yang menjadi subjek pajak-nya adalah PT Rumah Sakit PELNI (yang memperoleh hak karena perolehan hak akibat pemisahan) dan objek pajaknya tidak tergantung kepada adanya keuntungan melainkan tergantung atas bukti adanya perolehan hak tersebut, sedangkan Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 pemajakan kepada penerima penghasilan (subjek pajaknya PT PELNI) hanya atas keuntungan (Capital Gain) saja dan secara nyata dinikmati oleh yang menerima keuntungan. bahwa Majelis berpendapat oleh karena secara fiskal dalam Laporan Keuangan harta tersebut telah dipisahkan dari PT PELNI (Pemohon Banding) ke PT R.S. PELNI sehingga mengakibatkan adanya pengalihan hak, maka Pemohon Banding terbukti telah mendapatkan keuntungan sehingga Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding telah benar karena telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

- bahwa Majelis berpendapat pada prinsipnya ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d tidak memberikan delegasi atau wewenang kepada Pemerintah ataupun Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut namun demikian jika ada hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang diatur lebih lanjut dengan PP terdapat dalam ketentuan penutup Pasal 35 Undang-Undang PPh, dengan demikian penerapan ketentuan ini sangat tepat dikenakan terhadap penghasilan karena keuntungan atau pengalihan harta akibat pemisahan usaha,

- bahwa pada prinsipnya ketentuan Pasal 4 ayat (2) adalah dimaksudkan penghasilan tertentu yang bersifat khusus sehingga dikenakan pajak dengan tarif final dan didalamnya terdapat norma yang memberi delegasi kepada Pemerintah untuk pengaturan pelaksanaannya lebih lanjut berupa Peraturan Pemerintah,

- bahwa cara pembayaran PPh yang dikenakan Pasal 4 ayat (1) d butir 3 bersifat tidak final sehingga dikenakan dengan tarif umum dan penghasilan dimaksud digabungkan dengan unsur penghasilan lainnya dalam satu tahun pajak, sedangkan jiwa dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) jo Peraturan Pemerintah 71 tahun 2008 adalah ditujukan bagi Badan Usaha

(9)

yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan atau dalam rangka mendukung program Pemerintah Pengadaan Rumah Susun, Rumah Sederhana dan dikenakan pajak dengan tarif rendah 5% atau 1% yang bersifat final (tidak digabung dengan unsur penghasilan lainnya); bahwa menurut Majelis, Pemohon Banding dalam melakukan pemecahan (spin off) adalah bukan dalam rangka menjalankan program pemerintah, atau juga bukan badan usaha yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 4 ayat (2) jo Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2008, oleh karena itu tidak tepat kalau atas transaksi pengalihan harta dalam rangka Pemecahan Usaha (spin off) dikenakan PPh Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh,

- bahwa dengan telah diambil dan disetornya modal saham PT R.S. Pelni oleh Pemohon Banding ( PT Pelni dengan cara memasukkan (inbreng) asset Pemohon Banding ke PT R.S. Pelni sebagaimana di jelaskan dalam Pasal 33 Akte Nomor 7 tanggal 9 Nopember 2007 maka hal ini telah membuktikan bahwa asset tersebut telah beralih dan diganti dengan saham,

- bahwa dengan telah disusutkannya aktiva tetap (yang dialihkan oleh Pemohon Banding kepada PT R.S. Pelni) oleh PT R.S. Pelni, hal ini membuktikan bahwa aktiva tetap tersebut telah dimiliki oleh PT R.S. Pelni, karena sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan:

Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian pendirian, penambahan, perbaikan atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

- bahwa mengenai pendapat Pemohon Banding tentang inkonsistensi Terbanding selaku pemegang otoritas perpajakan di Indonesia dalam memberikan jawaban karena melakukan pembetulan, bahwa

aturan/ruling tersebut seharusnya melahirkan suatu kepercayaan hukum yang sah bagi Pemohon Banding dan dapat menjadi dasar acuan yang dapat dipercaya dan apabila otoritas perpajakan salah menerapkan peraturan yang berlaku dalam pembuatan aturan/ruling dan kemudian melakukan pembetulan atas aturan/ruling yang dikeluarkannya semula dan menimbulkan dampak yang merugikan bagi Wajib Pajak, maka pembetulan aturan/ruling tersebut tidak dapat dipertahankan, Majelis berpendapat sebagai berikut:

bahwa salah satu asas hukum adalah lex superior derogat legi inferiori

(hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) yaitu asas yang berlaku apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis berbeda,

bahwa dalam sengketa banding ini Pemohon Banding menghadapkan suatu aturan/ruling yang berbentuk Surat (S) dengan suatu peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah (PP),

(10)

bahwa Pasal 7 ayat (1) jo ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan tegas mengatur bahwa apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berbeda maka peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah harus disisihkan,

bahwa dengan demikian pembetulan yang dilakukan Terbanding merupakan tindakan yang benar dan sesuai dengan asas hukum tersebut di atas karena sekiranya tidak dilakukan pembetulan maka

aturan/ruling termaksud tetap tidak berlaku.

bahwa dengan demikian, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding telah benar dan telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, tidak terdapat bukti/data, dasar hukum dan alasan yang dapat meyakinkinkan Majelis untuk dapat mempertimbangkan Permohonan Banding Pemohon Banding sehingga koreksi Terbanding atas Penghasilan dari Luar Usaha sebesar Rp229.135.279.000,00 Tetap Dipertahankan.

bahwa perbandingan perhitungan PPh Badan Tahun Pajak 2008:

Uraian

Pemohon

SKPKB Menurut Put. Banding

(Rp)

Banding Kep. Keberatan

(Rp) (Rp) (Rp)

Penghasilan Neto ( 66.046.651.092 ) 253.689.036.247 253.689.036.247 253.689.036.247

Kompensasi Kerugian 0 0 0 0

Penghasilan Kena Pajak ( 66.046.651.092 ) 253.689.036.247 253.689.036.247 253.689.036.247

PPh Terutang 0 76.089.210.800 76.089.210.800 76.089.210.800

Kredit Pajak 0 0 0 0

PPh yang tidak/kurang bayar 0 76.089.210.800 76.089.210.800 76.089.210.800

Sanksi Administrasi 36.522.821.184 36.522.821.184 36.522.821.184

Jumlah PPh yang masih harus dibayar

0

112.612.031.984 112.612.031.984 112.612.031.984

Memperhatikan : Surat Banding, Surat Uraian Banding, Surat Bantahan, bukti-bukti dan hasil pemeriksaan dalam persidangan.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

2.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007.

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008.

4. Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang yang bersangkutan.

Memutuskan : Menyatakan Menolak permohonanbanding Pemohon Banding atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-362/WPJ.19/BD.05/2010 tanggal 16 Juli 2010 tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Nomor: 00012/206/07/051/10 tanggal 8 Februari 2010 Tahun Pajak 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian Permohonan banding Pemohon

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, hasil uji bukti dan dokumen pendukung yang ada Majelis berpendapat bahwa sesuai ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a

2 Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.39906/ PP/M.XI/25/2012 tanggal 30 Agustus 2012,

bahwa berdasarkan bukti-bukti di atas Majelis berpendapat Pemohon Banding melakukan kesalahan memasukkan biaya penyusutan 2 (dua) kali dalam dalam pengisian Surat Pemberitahuan

bahwa bukti-bukti yang disampaikan oleh Pemohon Banding tersebut telah memberikan keyakinan kepada Majelis, royalty tersebut memang ada, telah digunakan oleh Pemohon Banding dan

Menurut Majelis : bahwa menurut Terbanding sehubungan dengan pendapatan bunga yang diperoleh Pemohon Banding, Terbanding melakukan pengujian yang sama dengan

bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas Majelis berpendapat dan menilai sesuai dengan pembuktian yang diperlihatkan dalam persidangan oleh Pemohon Banding

bahwa dari hasil pemeriksaan Majelis atas data yang ada di dalam berkas banding diperoleh petunjuk bahwa penetapan nilai pabean yang dilakukan oleh Pejabat Pemeriksa Dokumen pada