vii
REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa hingga saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP) merupakan warisan peninggalan penjajah Belanda masih berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah berdaulat dan merdeka sejak 17 Agustus 1945.
KUHP (Wetboek van Strafrecht untuk selanjutnya disingkat W.v.S) masih berlaku di Indonesia berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun 1958. KUHP (W.v.S) berasal dari dari keluarga/sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau disebut oleh Rene David sebagai “the Romano Germanic Family” atau “Civil Law System” yang menonjolkan paham “individualism, liberalism and individual rights”.
Sedangkan konsepsi negara hukum Indonesia memiliki ciri dan karakteristik yang didasarkan pada semangat dan jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia, yakni Pancasila. Meskipun identitas dan perumusan ciri negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah dirumuskan, namun konsepsi negara hukum Pancasila belum diimplementasikan dan dilembagakan dengan baik. Oleh karena itu perlu ada upaya sistematis, terstruktur, dan massive untuk melakukan internalisasi konsep negara hukum Pancasila ke dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya dalam pembaharuan hukum nasional.
Adian Husaini menuturkan arti pentingnya Pancasila sebagai worldview dan pijakan nilai bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila, yakni nilai ketuhanan (religius), kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan merupakan nilai-nilai filosofi bangsa dalam membangun hukum
viii
multidimensional. Harus diakui, Pancasila mempunyai nilai historis yang kuat yang dapat meningkatkan spirit kebangsaan, di sisi lain Pancasila mempunyai nilai spiritual-ideologis yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk meneropong persoalan kekinian dan kemasadepanan.
Dalam konteks inilah, nilai-nilai Pancasila menjadi sangat relevan dalam rangka membangun jati diri hukum yang bercorak Indonesia. Bangunan hukum yang mencerminkan nilai-nilai, norma, falsafah bangsa Indonesia. Demikian pula dalam ranah hukum pidana yang masih memberlakukan Kitab Undang-Undang
Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie untuk selanjutnya disingkat W.v.S.N.I. atau W.v.S. (KUHP)) yang berasal dari Belanda. W.v.S. Belanda ini berasal dari Code Penal Perancis buatan Tahun 1791 Masehi. KUHP (W.v.S) yang masih dipakai di Indonesia ini sudah berusia sekitar 3 abad lamanya. Apabila dilihat dari rentang waktu yang demikian panjang dengan kultur masyarakat yang berbeda antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Eropa (Perancis dan Belanda), maka terdapat perbedaan latar belakang sejarah yang diiringi dengan perbedaan nilai diantara kedua budaya (kultur) bangsa ini.
Dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka KUHP (W.v.S.) sebagai produk hukum kolonial bukanlah harga mati yang harus dipertahankan di negeri kita. Terlebih ketika di negeri asalnya, W.v.S. sudah berkali-kali mengalami rekonstruksi. Masih patutkah KUHP dipertahankan seiring dengan dinamika masyakarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat? Demikian pula aturan yang mengatur tentang hukum pelaksanaan pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP (W.v.S.) dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang saat ini dinilai masih terfragmentaris.
ix
kaidah tertib negara hukum Indonesia yang berjiwa Pancasila dengan judul penelitian disertasi,“Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka
penulis membatasi permasalahan sebagaimana point-point di bawah ini:
1. Bagaimana kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum
pidana positif saat ini?
2. Bagaimana kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati dalam
hukum pidana positif saat ini?
3. Bagaimana rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati
berbasis nilai-nilai Pancasila?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan hukum pelaksanaan pidana
mati dalam hukum pidana positif saat ini.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis kelemahan-kelemahan hukum
pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif saat ini.
3. Untuk menganalisis dan merekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan
pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila.
D. Kegunaan Penelitian
x
1. Kegunaan Teoretis
Menemukan teori baru kebijakan hukum pelaksanaan pidana dalam upaya pembangunan hukum pidana yang bercelup Indonesia, sesuai dengan jati diri, falsafah, dan ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila.
2. Kegunaan Praktis
Memberi masukan bagi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi dan masyarakat guna mempertimbangkan seberapa efektif kebijakan hukum pelaksanaan pidana saat ini yang masih mempertahankan produk hukum
kolonial.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Hakikat penelitian ini adalah menganalisis kebijakan legislatif/formulatif dalam menetapkan dan merumuskan sistem hukum pidana/sistem pemidanaan yang meliputi hukum pelaksanaan pidana. Oleh karena itu pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif digunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute appproach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dilakukan dalam menyusun disertasi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dalam penelitian hukum normatif, perbandingan hukum merupakan suatu metode. Dengan metode perbandingan hukum dapat dilakukan penelitian terhadap pelbagai sub-sistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat tertentu atau
secara lintas sektoral terhadap sistem-sistem hukum pelbagai masyarakat yang berbeda-beda.
xi
Jenis dan data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang bahan-bahannya diambil dari pustaka/bahan-bahan pustaka. Data sekunder yang diteliti dalam disertasi yang disusun ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri: 1. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pancasila yang terdapat
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
2. Peraturan Dasar; Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/PJP
(Pembangunan Jangka Panjang).
3. Peraturan Perundang-undangan yang di dalamnya mencantumkan ketentuan hukum pelaksanaan pidana, serta Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah.
4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat dan hukum agama.
5. Yurisprudensi.
6. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana /KUHP/W.v.S.(Wetboek van Strafrecht).
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang (yang diteliti meliputi; RUU KUHP Tahun 2015 dan Konsep KUHAP Baru Tahun 2009), Kitab Undang-Undang Hukum Pelaksanaan Pidana Negara Lain, hasil-hasil penelitian dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum (pidana).
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya, kamus, ensiklopedia.
4. Metode Pengumpulan Data
xii
telah ditetapkan, kemudian diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.
5. Metode Analisis Data
Seluruh data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Penggunaan metode analisis deskriptif kualitatif ini sangat berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam disertasi, seperti yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah. Analisis kualitatif normatif terhadap data yang
disajikan secara kuantitatif, berpijak pada analisis deskriptif dan prediktif.
F. Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Pidana Positif Saat Ini
Hukum Pelaksanaan Pidana berupa pidana mati di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Penetapan Presiden yang dimaksud adalah Penpres No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Ketentuan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati ini merubah ketentuan dalam Pasal 11 KUHP yang berbunyi, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.” Pelaksanaan pidana mati oleh algojo di tiang gantungan ini dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kemajuan. Oleh karena itu perlu diadakan penyesuaian sebagaimana diatur dalam Penpres No. 2 Tahun 1964.
Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
xiii
G. Kelemahan-Kelemahan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Pidana Positif Saat Ini
Dalam konteks Indonesia, berkaitan dengan membatasi penerapan pidana mati dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting:
a) Pidana mati bukan merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan alternatif.
b) Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.
c) Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. d) Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit
jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Kontroversi seputar pidana mati mengemuka antara aliran abolitionist yang kontra dengan pidana mati dengan penganut yang menyatakan masih perlunya pidana mati sebagai salah satu jenis pidana (retentionist).
Ada dua golongan tentang pidana mati ini: Golongan yang tidak setuju, alasannya:
a. Sifatnya mutlak, tidak dapat ditarik kembali b. Kesesatan hakim
c. Bertentangan dengan perikemanusiaan, moral dan etika
d. Berhubungan dengan tujuan pemidanaan: Tujuan perbaikan tidak tercapai dan Pelaksanaannya tidak di muka umum, sehingga rasa takut (generale preventie)
tidak tercapai.
e. Adanya rasa belas kasihan kepada si terpidana Golongan yang setuju, alasannya:
xiv
b. Alat keamanan kurang
c. Heterogenitas penduduk Indonesia, terjadi bentrokan
d. Perlu untuk tindak pidana tertentu, yaitu misalnya untuk pembunuhan berencana, tindak pidana korupsi, tindak pidana HAM, tindak pidana bagi pengedar narkotika.
Terlepas dari kontroversi pendapat yang pro maupun yang kontra terhadap pidana mati, namun secara yuridis formal pidana mati masih diterapkan di Indonesia.
Oleh karena itu, belum diterimanya penghapusan pidana mati di Indonesia harus dipahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum dapat menerima penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral. Kalaupun pidana mati melanggar hak hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidana tertentu. Namun, kesadaran sejarah tersebut tentu akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat Indonesia dan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang mendasari upaya penghapusan pidana mati. Pada saat telah terjadi perubahan kesadaran sejarah masyarakat tentu pidana mati dapat dihapuskan, yang dapat terjadi melalui pembentuk undang-undang maupun hakim karena keduanya dipengaruhi bahkan merupakan refleksi dari kesadaran sejarah masyarakatnya.
H. Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati Berbasis Nilai-Nilai Pancasila
Melakukan kebijakan hukum pidana termasuk didalamnya kebijakan hukum pelaksanaan pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional,
xv
Terlebih bagi negara Indonesia yang memiliki Pancasila yang sarat akan nilai-nilai dan garis kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Pendekatan humanistis menjadi hal yang penting diperhatikan bukan hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.
Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.
Selain itu, langkah pembaharuan juga perlu memperhatikan landasan sosio-filosofis dan sosiokultural sistem hukum nasional yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/penggantian KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman kolonial Belanda. Jadi berkaitan erat dengan ide “penal reform”(pembaharuan hukum pidana). Termasuk dalam pembaharuan ini adalah pembaharuan hukum acara pidana (criminal procedur law) dan hukum pelaksanaan pidana (criminal law implementation).
Bertolak dari pemikiran di atas, maka ide pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan Sistem Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar (basic ideas) Pancasila yang
mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma: (a) moral religius (ketuhanan); (b) kemanusiaan (humanistis); (c) kebangsaan; (d) demokrasi; (e) keadilan sosial.
xvi
bahkan dapat dikatakan merupakan “tuntutan zaman”. Khususnya bagi bangsa Indonesia, hal itu jelas merupakan “beban nasional” dan bahkan merupakan “kewajiban dan tantangan nasional” karena telah diamanatkan dan direkomendasikan dalam berbagai perundang-undangan dan seminar-seminar nasional selama ini. Masalahnya adalah bagaimana menggali, mentransformasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai hukum tradisional (hukum adat) dan nilai-nilai hukum agama sehingga dapat diterima menjadi norma-norma yang terintegrasi dalam sistem hukum nasional.
Oleh karena itu disertasi ini menjadikan RUU KUHP2015 sebagai dasar rujukan mengingat adanya pembaharuan orientasi nilai yang dicita-citakan yang bermuatan nilai-nilai sosiofilosofis, sosiopolitik, dan sosiokultural bangsa Indonesia yang berbasis nilai-nilai Pancasila didalamnya.
Pasal 10 KUHP menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok. Pidana mati merupakan pidana paling berat dalam susunan jenis pidana (straf soort). Pelaksanaan pidana mati saat ini dilakukan oleh regu tembak dengan cara ditembak sampai mati dan dilakukan secara tertutup. Tata cara pelaksanaan pidana mati ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militerjo Peraturan Kapolri (Kapolri) No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Ide (gagasan) keseimbangan terdapat dalam prinsip-prinsip dalam hukum
(pidana) Islam secara substansial sudah banyak diadopsi dalam hukum nasional
yang secara historis merupakan peninggalan hukum Barat, namun masih ada yang
kurang mendapat tempat sewajarnya dalam hukum pidana positif Indonesia,
diantaranya:1
1 Lihat, Mahmutarom HR, 2016, Rekonstruksi Konsep Keadilan (Studi tentang
xvii
a. Perlu adanya transparansi dalam proses peradilan pidana sebagai bentuk
peradilan yang jujur, tidak memihak dengan mengedepankan keadilan dan
kebenaran (Rule of Justice atau Rule of Morality) dan bukan sekedar menegakkan undang-undang (Rule of Law). Terlebih peradilan yang
mengancam pidana mati terhadap terdakwa. Peradilan yang ketat dalam hal
pembuktian, transparan, mengedepankan keadilan, kebenaran, kejujuran dan
bermartabat sangat dibutuhkan dalam menentukan ‘nasib’ seorang terdakwa.
b. Eksekusi hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik. Pelaksanaan
eksekusi pidana mati yang saat ini diterapkan di Indonesia dengan cara
ditembak sampai mati dalam beberapa kasus tidak langsung menyebabkan
kematian terhadap terpidana mati. Hal ini tentu saja menyebabkan rasa sakit
yang luar biasa dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila
kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu perlu
dipertimbangan untuk eksekusi yang langsung menyebabkan kematian
dengan meminimalisir rasa sakit yang memutus “kabel” (spinal cord) antara
dua titik sentral kehidupan manusia yakni jantung dan otak.
c. Hakim hendaknya memiliki keberanian, progresif dan bersifat aktif dalam
mencari dan menemukan kebenaran sebagai salah satu bentuk menegakkan
kebenaran sebagai salah satu bentuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
d. Perlu ditingkatkan perlindungan terhadap masyarakat terutama korban dan
wali korban melalui peran sertanya dalam proses peradilan pidana di bawah
koordinasi hakim. Termasuk perlindungan terhadap bayi (anak) bagi
xviii
minimal selama 2 tahun agar terpidana (Ibu) dapat memberikan ASI (Air
Susu Ibu) untuk anaknya. Demikia pula untuk terpidana mati yang sakit jiwa
dan sakit keras ditunda eksekusinya hingga terpidana sembuh dari sakitnya.
Pemeriksaan terhadap kondisi terpidana mati dilakukan oleh tim medis
(dokter) terkait.
e. Dibukanya peluang untuk melakukan rekonsiliasi melalui permintaan maaf
dari pelaku kepada korban/keluarga korban melalui hakim dalam sidang yang
dinyatakan terbuka untuk umum.
f. Dimungkinkannya pemberian ganti kerugian sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab pelaku akan kelangsungan hidup korban atau keluarga
korban (dalam kasus tindak pidana (kejahatan) terhadap nyawa) dalam jumlah
yang disepakati sesuai dengan kondisi korban dan kemampuan pelaku
berdasar kebijaksanaan hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
g. Adanya pemberian maaf dan/atau pemberian santunan atau ganti rugi bukan
merupakan akhir dari perkara, hakim sebagai wakil dari negara dengan
kearifan dan kebijaksanaannya dapat memberikan sanksi tambahan atas dasar
pertimbangan kepentingan masyarakat dalam arti luas.
h. Pelaksanaan hukum tidak hanya sekedar untuk mewujudkan
kemaslahatan/kepentingan umum, tetapi juga harus mampu menghindari
datangnya kemungkinan kerusakan atau kemaksiatan. Dalam hal terjadi
benturan kepentingan, maka menghindari kerusakan harus lebih diutamakan
xix
i. Penerapan hukum hendaknya memperhatikan ide-ide, nilai-nilai, konsep serta
tujuan hukum yang dibalik ketentuan undang-undang, karena undang-undang
haruslah tunduk kepada ide-ide, nilai-nilai serta tujuan hukum tersebut. Di
samping itu juga harus memperhatikan kondisi-kondisi riil yang ada dalam
masyarakat yang meliputi nilai-nilai keadilan, kebiasaan masyarakat yang
meliputi nilai-nilai keadilan, kebiasaan serta norma-norma sosial yang ada,
sehingga tidak harus serba seragam.
j. Penerapan hukum pelaksanaan pidana mati hendaknya juga memperhatikan
pendapat maupun instrumen internasional terutama penolakan pidana mati
dari aliran abolitionist dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dengan tidak memasukkan pidana mati sebagai pidana pokok akan
tetapi sebagai pidana khusus yang diatur secara alternatif. Disertai dengan
ketatnya dalam hal pembuktian dan proses persidangan yang menegakkan
keadilan, kebenaran dan kejujuran. Pidana mati hanya diterapkan untuk
tindak pidana yang masuk dalam kategori the most seroius crimes, seperti: tindak pidana terhadap nyawa manusia (seperti: pembunuhan, terorisme,
genoside), korupsi, pengedar narkotika dan psikotropika, dan tindak pidana
lainnya yang perlu dirumuskan secara nasional dalam rangka terciptanya
masyarakat yang adil, makmur, aman,nbahagia dan sejahtera.
Berdasarkan uraian di atas, maka rekonstruksi nilai kebijakan hukum
pelaksanaan pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan
perlindungan hukum bagi pelaku dan korban secara seimbang. Asas-asas hukum
xx
pelaksanaan pidana mati yang berkaitan dengan perlindungan pelaku dan dan
korban secara seimbang diantaranya dijabarkan sebagai berikut:
1. Asas Ketuhanan dapat diwujudkan dalam bentuk sanksi pidana menjalankan
kewajiban agama2 (hukum yang hidup) seperti kewajiban untuk berpuasa 2
bulan berturut-turut bagi pelaku pembunuhan, korupsi, pengedar narkotika,
psikotropika, dan terorisme yang tidak dipidana mati, membebaskan budak
(untuk saat ini dapat digantikan dengan kewajiban memberi makan orang
miskin dalam jumlah tertentu atau kewajiban-kewajiban lain) berdasarkan
ajaran agama yang dianutnya sebagai upaya membebaskan rasa berdosa pada
si pelaku yang menjadi salah satu tujuan pemidanaan.
2. Asas Kemanusiaan, yang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian ganti
rugi kerugian sebagai jaminan kelanjutan hidup yang relatif layak tanpa harus
membedakan siapa pelaku dan siapa korbannya, kewajiban untuk membiayai
perawatan, pemakaman maupun biaya selamatan dan tidak
mempermasalahkan dari mana sumber keuangannya (bagi terpidana tindak
pidana terhadap nyawa). Pemberian ganti kerugian terhadap korban
pengedaran narkotika dan psikotropika baik itu berupa pembiayaan
rehabilitasi (bagi terpidana pengedar narkotika dan psikotropika).
Pengembalian uang korupsi kepada negara (bagi terpidana korupsi).
3. Asas Persatuan yang dapat diwujudkan dengan menciptakan rekonsiliasi dan
pemulihan hubungan baik yang telah rusak sebagai akibat tindak pidana
tersebut. Dengan rekonsiliasi sekaligus mengakhiri konflik dengan prinsip
2 Kewajiban agama dalam hal ini diartikan dalam jargon politik untuk kesatuan pandangan,
xxi
musyawarah yang berkeseimbangan dan berkeadilan. Rekonsiliasi ini
hendaknya dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum untuk
menghindari tekanan-tekanan yang tidak diharapkan dan dapat merusak
keseimbangan dan keadilan. Sekaligus juga memberi ruang gerak bagi negara
melalui hakim untuk melakukan kontrol agar kepentingan negara dan
masyarakat dalam arti luas dapat terlindungi.
4. Asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah dalam Permusyawaratan /
Perwakilan diwujudkan dalam bentuk penegakan asas legalitas namun lentur
dalam pelaksanaannya dengan mengedepankan kepentingan rakyat
(masyarakat) luas, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, keadilan dan
kemanfaatan. Baik dalam upaya menciptakan kemaslahatan maupun dalam
upaya menghindari kemadlaratan maupun dalam upaya menghindari
kemadlaratan melalui peran aktif hakim. Penyelesaian dapat dilakukan
dengan menggunakan lembaga formal maupun non formal melalui
musyawarah yang memadukan unsur ketuhanan, religius (hikmah) dan unsur
kebijaksanaan (hati nurani), yang semuanya tetap dikemas dalam putusan
hakim. Di samping itu, korban juga diberi kesempatan untuk mengakses atau
paling tidak ada hak untuk memonitor atau diberi tahu akhir dari perkara yang
menimpa dirinya sebagai bentuk akuntabilitas lembaga penegak hukum.
Transparansi dan kejujuran kinerja lembaga penegak hukum diperlukan
dalam rangka membangun kepercayaan publik terhadap intitusi penegak
xxii
5. Asas Keadilan Sosial yang dapat diwujudkan dengan menciptakan
keseimbangan dalam pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Tidak hanya
kepada korban, tetapi juga kepada masyarakat dan negara maupun kepada
ALLAH melalui kewajiban menjalankan ketentuan agama. Dengan
keseimbangan ini diharapkan tercipta kemaslahatan umat dengan tetap lebih
mengutamakan menghindari kemadlaratan yang dapat merugikan masyarakat
dan negara. Sehingga terwujud masyarakat yang adil, makmur, bahagia dan
sejahtera. Rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis
nilai-nilai Pancasila diawali dengan gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
menjiwai seluruh proses pembangunan dan pembaharuan ilmu hukum pidana
nasional. Bukan saja karena letaknya yang berada di urutan pertama dalam
tata urutan sila Pancasila, namun begitu kuatnya jiwa Ketuhanan Yang Maha
Esa yang menjiwai keseluruhan pembangunan dan pembaharuan sistem
hukum nasional.
Kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati di beberapa negara asing
mengambil contoh 3 negara asing sebagai studi perbandingan (comparative
approach) yaitu Negara Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Jepang. Negara Arab Saudi dengan eksekusi qishash dengan cara dipancung. Negara Jepang dengan
cara digantung. Sementara di Negara Amerika Serikat dengan cara disetrum
dengan kursi listrik, disuntik mati, atau ditembak. Namun studi perbandingan itu
menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana dengan cara dipancung dinilai lebih
manusiawi dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana. Untuk itu Penulis
xxiii
berkeadilan dan beradab karena tidak menimbulkan rasa sakit pada diri terpidana
mati disebabkan putusnya urat atau “kabel” yang memutus hubungan antara
jantung dan otak (spinal cord) secara langsung dan berbarengan. Akan tetapi
yang harus diperhatikan adalah proses pembuktian yang ketat dimana proses
persidangan yang mengedepankan kejujuran dan keadilan. Dengan demikian
rekonstruksi Penulis adalah amandemen terhadap UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 1 UU No. 2/Pnps/1964 yang mengatur tentang pelaksanaan pidana dengan cara
ditembak sampai mati dan amandemen Pasal 15 huruf x Peraturan Kapolri No. 12
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang menyebut
penembakan pengakhir dilakukan dengan menempelkan ujung laras
senjatagenggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga.
Amandemen juga perlu dilakukan terhadap UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal
7 UU No. 2/Pnps/1964 yang berbunyi, “Apabila terpidana hamil, maka
pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah
anaknya dilahirkan” direkonstruksi menjadi, “Penjatuhan pidana mati bagi
terpidana yang sedang hamil sampai terpidana melahirkan anaknya dan menyusui
anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI) selama 2 tahun danpenjatuhan pidana mati
bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana sembuh dari
xxvi
I. Simpulan
Berdasarkan analisis kualitatif dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif, serta paradigma kontruktivisme, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif
saat ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 2/Pnps/1962jo Peraturan Kapolisian (Perkap) No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati.
2. Kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati saat ini, antara
lain tidak ada bukti ilmiah yang cukup kuat mengenai efektivitas pidana
mati terkait dengan efek penjeraan (deterrence) sebagai salah satu tujuan
pidana, akurasi dan keadilan terhadap putusan pidana mati ini,
kekhawatiran mengeksekusi orang yang salah, dan dinilai tidak
manusiawi.
3. Rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati berbasis
nilai-nilai Pancasila adalah mewujudkan kebijakan perlindungan hukum bagi
pelaku dan korban secara seimbang. Sedangkan rekonstruksi hukumnya
mengamandemen beberapa ketentuan yang mengatur tentang pidana mati.
Pasal-pasal tersebut antara lain: Mengamandemen ketentuan UU No. 5
Tahun 1969 jo Pasal 1 UU No. 2/Pnps/1964 danUU No. 5 Tahun 1969 jo
Pasal 15 Huruf x Perkap No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati dimana pelaksanaan pidana mati dengan cara
xxvii
eksekusi tersebut merupakan eksekusi yang terbaik (ihsan al-qatlu), cepat,
dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana dengan cara memutus
urat atau “kabel”yang menghubungkan jantung dan otak (spinal cord).
Mengamandemen ketentuan UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 7 UU No. 2/Pnps/1964 tentang pelaksanaan pidana mati bagi terpidana hamil
pelaksanaan pidana baru dapat dilaksanakan setelah terpidana melahirkan
anaknya dan menyusui anaknya (ASI) selama 2 tahun. Penjatuhan pidana
mati bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana
sembuh dari sakitnya. Penilaian atas kondisi terpidana sakit jiwa dan atau
sakit keras ditentukan oleh tim medis (dokter) terkait.
J. Implikasi Kajian Disertasi
Berdasarkan temuan yang telah dikemukakan di atas, maka dihasilkan
implikasi teoritis dan implikasi praktis:
(1) Implikasi Teoritis
Terjadi pergeseran kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati yang
melindungi pelaku tindak pidana menjadi kebijakan hukum pelaksanaan
pidana yang melindungi masyarakat, pelaku dan korban secara seimbang.
(2) Implikasi Praktis
a. Menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana yang berbasis
nilai-nilai Pancasila, yakni nilai-nilai: Ketuhanan (religius), kemanusiaan yang adil
xxviii
b. Menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai
Pancasila ini bersinergi dengan kebijakan hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil.
c. Respon akademisi terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana
berbasis nilai-nilai Pancasila terutama dalam hal penguatan (penegasan)
terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai
Pancasila.
d. Respon aparat penegak hukum dalam menerapkan kebijakan hukum
pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai Pancasila sehingga terbangun
sistem yang kondusif, manusiawi, terstruktur, masif dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan evaluasi secara terus menerus.
e. Penerapan kebijakan hukum pelaksanaan pidana ini membutuhkan
pemahaman yang menyeluruh dari semua pemangku kepentingan
(stakeholders) baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk Polri,
jaksa, hakim, pengacara dan petugas di Lembaga Pemasyarakatan, serta
pemahaman masyarakat Indonesia secara luas agar bersinergi dalam
upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanah
UUD NRI Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berfalsafah Pancasila.
K. Saran-saran
1. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengamandemen
xxix
1969 jo Pasal 7 UU No. 2/Pnps/1964, dan UU No. 5 Tahun 1964 jo Perkap No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
2. Berdasarkan fakta yang ada, meski negara Indonesia sudah merdeka sejak
17 Agustus 1945, namun beberapa produk hukumnya masih menggunakan
warisan penjajah Belanda. Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Wetboek van Strafrecht). Untuk itu, sebagai negara yang berdaulat sudah
saatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga berdaulat secara
hukum. Terlebih dari sisi hukum pidananya. Dimana produk hukum
pidana merupakan cermin peradaban masyarakatnya. Baik itu produk
hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan
pidana. Diharapkan Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pelaksanaan Pidana (KUHPP) yang
berbasis nilai-nilai Pancasila, yang dibuat oleh bangsa Indonesia yang
mengambil sari pati nilai dari masyarakat Indonesia, yakni nilai Ketuhanan
(religius), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan/perwakilan, serta
keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
3. Diharapkan ada penelitian lanjutan kebijakan hukum pelaksanaan pidana
pada pidana pokok lain (seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana
xxx
SUMMARY OF DISERTATION
RECONSTRUCTION OF THE LAW POLICY OF
DEADIMPLEMENTATION BASED ON PANCASILA VALUES
A. Background
As it is known that until now the Criminal Code (hereinafter abbreviated as the Criminal Code) is a legacy of the Dutch colonial heritage still prevails in the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI) that has been sovereign and independent since August 17, 1945. Criminal Code (Wetboek van Strafrecht for the next abbreviated as WvS) is still valid in Indonesia based on Law no. 1 of 1946 jo Law no. 73 of 1958. The Criminal Code (WvS) comes from a Civil Law System or called by Rene David as "the Romano Germanic Family" or "Civil Law System" which accentuates the notion of "individualism, liberalism and individual
rights" .
While the conception of Indonesian legal state has characteristics and characteristics based on the spirit and spirit of the nation (volkgeist) Indonesia, namely Pancasila. Although the identity and formulation of Indonesian state characteristics based on Pancasila has been formulated, the conception of the Pancasila legal state has not been well implemented and institutionalized. Therefore, there is a need for systematic, structured, and massive efforts to internalize the concept of Pancasila law state into aspects of national and state life, particularly in the renewal of national law.
xxxi
Along with the dynamics of life of nation and state, Pancasila has become the primary source in solving multidimensional nation problem. Admittedly, Pancasila has a strong historical value that can improve the spirit of nationality, on the other hand Pancasila has a spiritual-ideological value that can be used as a power to examine the problems of present and kemadya.
In this context, the values of Pancasila become very relevant in order to build an Indonesian legal identity. Building law that reflects the values, norms, philosophy of the Indonesian nation. Similarly, in the realm of criminal law that still apply the Criminal Code (Wetboek van StrafrechtvoorNederlands Indie hereinafter abbreviated as W.v.S.N.I. or W.v.S. (KUHP)) originating from the Netherlands. W.v.S. The Netherlands is derived from the French Penal Code made in 1791 AD. KUHP (W.v.S) which is still used in Indonesia is already around 3 centuries old. When viewed from such a long span of time with different cultures of society between Indonesian society and European society (French and Dutch), there is a difference of historical background which is accompanied by different values between the two cultures (culture) of this nation.
In order to replace the legislation of the colonial legacy and refine the existing legislation that is no longer in accordance with the times, the Criminal Code (W.v.S.) as a product of colonial law is not a fixed price to be maintained in our country. Especially when in his native country, W.v.S. has reconstructed many times. Is it still appropriate to keep the Criminal Code in line with the dynamics of an independent and sovereign Indonesian society? Similarly, the rules governing the criminal law contained in Article 10 of the Criminal Code (W.v.S.) and some related legislation that is currently assessed are still fragmented.
xxxii
B. Problem Formulation
The formulation of the problem based on the description of the background above, then the authors limit the problems as the points below:
1. What is the legal policy for the execution of capital punishment in the current positive criminal law?
2. How are the weaknesses of the law of execution of capital punishment in the current positive criminal law?
3. How to reconstruct the legal policy of the execution of capital punishment based on Pancasila values?
C. Research Objectives
1. To review and analyze the legal policies of the execution of capital punishment in the current positive criminal law.
2. To examine and analyze the legal weaknesses of the execution of capital punishment in the current positive criminal law.
3. To analyze and reconstruct the legal policy of execution of capital punishment based on Pancasila values.
D. Research Purpose
This dissertation research is expected to provide benefits / usefulness both theoretically and practically;
1. Theoretical Uses
Finding a new theory of criminal law enforcement policy in the development of criminal law dyed Indonesian, in accordance with the identity, philosophy, and ideology of the Indonesian nation that is Pancasila.
2. Practical Usefulness
xxxiii
E. Research Methods
1. Research Approach
The essence of this research is to analyze the legislative / formulative policy in establishing and formulating the criminal law system / penal system which includes criminal law. Therefore the approach in this research is normative law research. In normative legal research, several approaches are used, namely statute appproach, conceptual approach and comparative approach. 2. Research Specification
The specifications of the research undertaken in preparing this dissertation are normative legal research or literature legal research. In the study of normative law, comparative law is a method. By comparative method of law can be done research on various sub-system of law that applies in a certain society or cross-sectoral to legal system of various society different.
3. Types and Data Sources
Type and data in this research is secondary data. Data that the material is taken from library / library materials. The secondary data examined in this dissertation consist of:
a. The primary legal materials, namely binding legal materials consist of: (1) Norms (basic) or basic rules, namely Pancasila contained in the
Preamble of the 1945 Constitution.
(2) Basic Regulations; Body of the Constitution of 1945, Decisions of the People's Consultative Assembly / PJP (Long-Term Development). (3) Laws and Regulations in which the legal provisions of criminal
implementation, and the Executing Regulation are Government Regulations.
(4) Uncoded legal substances, such as customary law and religious law. (5) Jurisprudence.
(6) Legal material from the colonial era which until now is still valid, such as: Book of Criminal Law / KUHP / W.v.S.(Wetboek van Strafrecht). b. Secondary law materials, which provide explanations of primary legal
xxxiv
of the Year 2015 and the Concept of the 2009 New Criminal Procedure Code), the Criminal Code of Criminal Procedure of Other Countries, the results of research and results scientific work of the law (criminal).
c. Tertiary legal matter, ie materials that provide guidance or explanation of primary and secondary legal materials; for example, dictionary, encyclopedia
4. Data Collection Method
Based on research conducted by focusing on secondary data through literature study, primary and secondary legal materials are collected based on the formulation of predetermined problems, then classified according to source and hierarchy for comprehensive review.
5. Data Analysis Method
All data and information obtained in this research are analyzed by using descriptive qualitative analysis method. The use of descriptive qualitative analysis method is closely related to the issues discussed in the dissertation, as has been put forward in the formulation of the problem. Qualitative analysis of normative to the data presented quantitatively, based on descriptive and predictive analysis.
F. Legal Policies on the Implementation of Criminal Offenses in Positive
Criminal Law at the Moment
The Law of Criminal Implementation in the form of capital punishment in Indonesia is currently regulated in Law no. 5 of 1969 on the Statement of Various Stipulation of President and Presidential Regulation as Law. Determination of the President in question is Presidential Decree no. 2 of 1964 on the Procedures of the Criminal Implementation Done by the Courts in the General and Military Courts.
xxxv
neck and then dropping the board where the convict is standing." die by the executioner on the gallows is considered incompatible with the progress of progress. Therefore it is necessary to make adjustments as regulated inPresidential Decree no. 2 Year 1964.
Based on the Chief of Police Regulation no. 12 Year 2010 on the Procedures of the Implementation of Criminal and Presidential Decree No. 2 / PNPS / 1964 on the Procedures of Criminal Implementation Dropped by the Courts in the General Courts and Military Courts, not all weapons filled with live ammunition. Only three long-barreled rifles filled with live ammunition, while nine other rifles filled with empty bullets.
G. The Weaknesses of the Law of Imprisonment of Criminal Justice in
Positive Criminal Law Today
In the context of Indonesia, relating to limiting the application of capital punishment is confirmed in the Constitutional Court Decision (MK) no. 2-3 / PUU-V / 2007 stating that in the future, the formulation, implementation, or execution of capital punishment should pay attention to four important matters:
a) Capital punishment is not a principal punishment, but as a special and alternative criminal act.
b) The death penalty may be imposed with a probationary period of 10 (ten) years that if the prisoner is admitted commendable can be changed with life imprisonment or for 20 years.
c) Capital punishment can not be imposed on immature children.
d) The execution of capital punishment on pregnant women and a person who is mentally ill is suspended until the pregnant woman gives birth and the mentally ill prisoner is healed.
xxxvi
The disagreeable group, the reason: a. Absolute, irrevocable
b. Misguidance of the judge
c. Contrary to humanity, morals and ethics
d. Related to the purpose of punishment: The purpose of improvement is not achieved and Implementation is not public, so the fear (generalepreventie) is not achieved.
There is a sense of mercy to the convicted person The agreed group, the reason:
a. The perpetrator has committed acts that violate human rights and the principles of Pancasila
b. Less security tool
c. Heterogeneity of Indonesian population, clash
d. Need for certain crimes, for example for premeditated murder, corruption, human rights, criminal acts for narcotics dealers.
xxxvii
H. Reconstruction of Legal Policies of Criminal Implementation Based on
Pancasila Values
Conducting a criminal law policy including criminal law enforcement policy requires a more pragmatic and rational policy oriented approach, as well as a value judgment approach. So it should be between a policy approach and a value approach not viewed dichotomously. Where in the policy approach it should take into account the value factors.
Especially for the Indonesian state that has Pancasila which is full of values and policy lines of national development that aims to form a complete Indonesian man. If the criminal will be used as a means for that purpose, the humanistic approach must also be taken into account. The humanistic approach is important not only because the crime is essentially a humanitarian issue, but also because the criminal itself contains elements of suffering that can strike the most valuable interests or values for human life.
The humanistic approach to the use of criminal sanctions means not only that the penalty imposed on the offender must be in accordance with human values, but also to raise awareness of the offender of human values and social values.
In addition, the renewal step also needs to consider the socio-philosophical and sociocultural basis of the national legal system based on national needs and demands to reform and at the same time the change / replacement of the Old Dutch Criminal Code (Wetboek van Strafrecht). So it is closely related to the idea of "penal reform" (renewal of the criminal law). Included in this update is the renewal of the criminal procedural law and the criminal law implementation.
xxxviii
paradigms: (a) religious morals (divinity); (b) humanity (humanistic); (c) nationality; (d) democracy; (e) social justice.
With the above points to be emphasized, that the excavation of religious law and traditional law is a natural thing and can even be said to be "the demands of the times". Especially for the Indonesian people, it is clearly a "national burden" and even a "national obligation and challenge" because it has been mandated and recommended in various national laws and seminars so far. The problem is how to explore, transform and actualize the values of traditional law (customary law) and religious law values so that it can be accepted into norms that are integrated in the national legal system.
Therefore this dissertation makes the Criminal Code Act 2015 as the reference base considering the renewed orientation of values that aspired to the values of sociofilosofis, sociopolitical, and sociocultural of the Indonesian nation based on the values of Pancasila in it.
Article 10 of the Criminal Code places capital punishment as one of the principal penalties. The death penalty is the most severe punishment in the composition of the criminal type (strafsoort). The execution of capital punishment is currently done by firing squads by being shot to death and done in private. The procedure of execution of capital punishment is regulated in Law no. 5 of 1969 jo Law no. 2 / Pnps / 1964 on Procedures for the Criminal Implementation Done by Courts in the General and Military Courts joKepololri (No. 12 Year 2010 on the Procedures of Criminal Implementation.
The idea of equilibrium is contained in the principles of Islamic law has been substantially adopted in national law which is historically a legacy of Western law, but there are still less reasonable places in Indonesian positive criminal law, such as:
xxxix
Law). Especially the judiciary that threatened capital punishment against the defendant. Strict justice in the case of proof, transparent, put forward justice, truth, honesty and dignity is needed in determining the 'fate' of a defendant.
b) Execution should be done in the best way possible. The execution of capital punishment which is currently applied in Indonesia by being shot to death in some cases does not directly cause death to death row convicts. This of course causes tremendous pain and is incompatible with the values of Pancasila especially the second precepts, Just and Civilized Humanity. It is therefore necessary to consider for the immediate execution of death by minimizing the pain that breaks the "cable" (spinal cord) between the two central points of human life ie the heart and brain.
c) Judges should have courage, progressiveness and be active in seeking and finding the truth as one form of upholding the truth as one form of upholding justice and truth.
d) There should be increased protection to the community, especially victims and guardians through their participation in the criminal justice process under the coordination of judges. Including protection of infant (child) for death row inmates who are pregnant, should be suspended execution for at least 2 years for the convict (Mother) can give milk (Milk Mother) to her child. Demikia also for death row inmates who are mentally ill and severely delayed his execution until the convict healed from his illness. The examination of the conditions of death sentence is done by the relevant medical team (doctor).
e) Opening the opportunity for reconciliation through an apology from the perpetrator to the victim / victim's family through a judge in a hearing declared open to the public.
xl
victim's condition and the abilities of the perpetrator based on the judge's discretion in a public hearing.
g) The existence of forgiveness and / or compensation or compensation is not the end of the case, the judge as a representative of the state with its wisdom and wisdom may impose additional sanctions on the basis of considerations of public interest in a broad sense.
h) Implementation of law is not only to realize the public benefit, but also must be able to avoid the coming of the possibility of damage or disobedience. In the event of a conflict of interest, avoiding damage should be preferred even if on the other hand it can bring benefits. i) The application of the law should pay attention to the ideas, values,
concepts and objectives of law that are behind the provisions of the law, because the law must be subject to the ideas, values and objectives of the law. In addition, it should also take into account the real conditions that exist in society that include values of justice, customs of society that includes values of justice, customs and social norms that exist, so it does not have to be all uniform
j) The application of the law on the implementation of capital punishment should also pay attention to the opinion as well as international instruments, especially the rejection of capital punishment from abolitionist flows while upholding human rights values by not including capital punishment as the principal punishment but as a specially arranged alternative criminal.
xli
Based on the above description, the reconstruction of the legal value of the implementation of capital punishment based on the values of Pancasila to realize the legal protection for the perpetrators and victims in a balanced manner. The legal principles that can be used as the foundation within the framework of the reconstruction of the legal policies on the execution of capital punishment related to the protection of perpetrators and victims are equally described as follows:
1. The Godhead may be manifested in the form of criminal sanction in performing religious obligations (living law) such as the obligation to fast 2 consecutive months for perpetrators of murder, corruption, narcotics, psychotropic, and terrorism who are not subject to death, freeing slaves this may be substituted by the obligation to feed a certain number of poor or other obligations) on the basis of his religious teachings in an attempt to free the guilt of the perpetrator who became one of the objectives of the crime.
2. The principle of humanity, which can be realized in the form of compensation of losses as a relatively viable survival guarantee without having to distinguish who the perpetrator and the victim, the obligation to finance the care, funeral and the cost of salvation and do not question from where the financial resources (for convicted criminals criminal to life). Provision of compensation for victims of narcotics and psychotropic drugs either in the form of financing of rehabilitation (for convicted drug dealer and psychotropic). Refund of corruption to the state (for convicted corruption)
xlii
through judges to exercise control so that the interests of the state and society in the broad sense can be protected
4. People's Principle Led by Wisdom in Deliberation / Representation is manifested in the form of enforcement of the principle of legality but is flexible in its implementation by promoting the interests of the people (society) broadly, upholding the values of deliberation, justice and expediency. Both in the effort to create the benefit and in the effort to avoid kemadlaratan or in an effort to avoid kemadlaratan through the active role of judges. The settlement can be done by using formal and non-formal institutions through deliberations that combine elements of divinity, religious (wisdom) and the elements of wisdom (conscience), all of which remain packed in a judge's decision. In addition, victims are also given the opportunity to access or at least have the right to monitor or be informed of the end of the case affecting him as a form of law enforcement agency accountability. The transparency and honesty of the performance of law enforcement agencies is needed in order to build public confidence in law enforcement institutions.
The principle of Social Justice that can be realized by creating a balance in the accountability of the perpetrators of crime. Not only to the victims, but also to the people and the state and to GOD through the obligation to observe the religious provisions. With this balance is expected to create the benefit of the people with a fixed priority to avoid a kemadlaratan that can harm the community and the state. So as to realize a just society, prosperous, happy and prosperous. The reconstruction of the criminal justice policy based on Pancasila values begins with the idea of the Supreme Godhead that animates the entire process of development and renewal of national criminal law. Not only because it is located in the first sequence in the order of the precepts of Pancasila, but so strong the soul of God Almighty God who animates the overall development and renewal of the national legal system.
xliii
namely Saudi Arabia, USA, and Japan. Saudi Arabia state with qishash execution by beheaded. Japan by hanging. While in the United States by electric shock, electric shock, or shot. But the comparative study shows that criminal execution by beheading is considered more humane and painless to the convicted person. The writer therefore finds that the execution of capital punishment is more religious, humane, just and civilized because it does not cause pain to the convict of death because of the breaking of the veins or "wires" which cut off the connection between heart and brain (spinal cord) directly and simultaneously. However, what must be considered is a rigorous proof process where the trial process that puts honesty and justice forward. Thus the author's reconstruction is an amendment to Law no. 5 of 1969 jo Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964 which regulates the implementation of the crime by being shot to death and the amendment of Article 15 letter x of the Kepololri Regulation no. 12 of 2010 on the Implementation of Deadly Criminal Procedure which mentions the ending shoot is done by attaching the end of the barrel of a hand-held weapon to the convict's temple just above the ear.
Amendments also need to be made to Law no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law no. 2 / Pnps / 1964 which reads, "If the convict is pregnant, then the execution of capital punishment can only be done forty days after the child is born" reconstructed into, "the imposition of capital punishment for the convicted prisoner until the convict gave birth to his child and breastfeed his / (ASI) for 2 years and the imposition of capital punishment for the defendant who is mentally ill and severely ill until the convict is cured of his illness. Assessment of conditions of death sentence by medical team (doctor)."
I. Conclusion
Based on the qualitative analysis using normative juridical approach, and the paradigm of kontruktivisme, it can be concluded that:
xliv
Pnps / 1962jo Covenant Regulation (Perkap) no. 12 Year 2010 on the Procedures of Criminal Implementation
2. The current legal weaknesses in the execution of capital punishment, among others, there is no sufficiently strong scientific evidence of the effectiveness of capital punishment related to deterrence as one of the criminal purposes, accuracy and fairness of the sentence, the execution of persons which is wrong, and considered inhumane.
3. The reconstruction of the legal policy of the implementation of capital punishment based on the values of Pancasila is to realize the legal protection policy for the perpetrators and victims in a balanced manner. While the legal reconstruction amends several provisions regulating the death penalty. The articles include: Amending the provisions of Law no. 5 of 1969 jo Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964 and Law no. 5 of 1969 jo Article 15 Letter x Perkap no. 12 Year 2010 on the Implementation of Criminal Procedures where the execution of capital punishment by shot to death amended by dipancung, given the execution is the best execution (ihsan al-qatlu), fast, and painless to the convicted by breaking the vein or "wires" connecting the heart and brain (spinal cord). To amend the provisions of Law no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law no. 2 / Pnps / 1964 on the implementation of capital punishment for pregnant prisoners new criminal implementation can be executed after the convict gave birth to his child and breastfeed his child (ASI) for 2 years. The imposition of capital punishment for the convicted person who is mentally ill and severely ill until the convict is healed from his illness. Assessment of the condition of convicted psychiatric and / or severe illness is determined by the relevant medical team (doctor)
.
J. Implications of the Dissertation Review
Based on the findings presented above, theoretical implications and practical implications are generated:
xlv
There is a shift in the legal policy of the execution of capital punishment which protects the perpetrators of criminal acts into a criminal law enforcement policy that protects the community, perpetrators and victims equally.
(2) Practical Implications
a. Implementing a criminal justice policy based on Pancasila values, namely: (religious), fair and civilized humanity, Indonesian unity, democracy and justice.
b. Applying the criminal law policy based on Pancasila values is in synergy with the policy of material criminal law and formal criminal law.
c. The academic response to the criminal justice policy based on Pancasila values, especially in the case of strengthening (affirmation) on the criminal law of crime-based implementation of Pancasila values.
d. The response of law enforcement officers in applying the criminal law policy based on Pancasila values so as to build a conducive, humane, structured, massive and accountable system with continuous evaluation.
xlvi
K. Suggestions
1. The Government and the House of Representatives (DPR) need to amend Law no. 5 of 1969 jo Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964, Law no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law no. 2 / Pnps / 1964, and Law no. 5 Year 1964 joPerkap No. 12 Year 2010 on the Procedures of Criminal Implementation.
2. Based on the facts that exist, although the state of Indonesia has been independent since August 17, 1945, but some legal products still use the Dutch colonial heritage. Such as the Criminal Code (Wetboek van Strafrecht). For that reason, as a sovereign country it is time the Unitary State of the Republic of Indonesia is also sovereign by law. Especially from the side of the penal law. Where the product of criminal law is a mirror of civilization society. Whether it is a product of material criminal law, formal criminal law and criminal law. Indonesia is expected to have the Criminal Code (Criminal Code), the Criminal Procedure Code (KUHAP), and the Criminal Code of Criminal Justice (KUHPP) based on the values of Pancasila, made by the Indonesian people who take the essence starch values of the Indonesian people, namely the value of the Godhead (religious), the just and civilized humanity, the unity of Indonesia, the populace led by the wisdom of deliberation / representation, and social justice for the people of Indonesia.
xlvii
KATA PENGANTAR
ِِمي ِح َّرلٱِن َٰ م ۡحَّرلٱِهَّللٱِمۡسِب
Alhamdulillah Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”dapat selesaitepat pada waktunya guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat doktor pada Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
Shalawat serta salam tercurah pada Rosulullah Muhammad SAW teladan umat sepanjang masa yang kelak dinantikan syafaatnya di hari akhir.
Disertasi ini membahas tentang upaya rekonstruksi terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis pada nilai-nilai Pancasila.
Dalam kesempatan ini, penulis juga bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan terutama kepada:
1. H. Hasan Toha Putra, M.B.A. selaku Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (YBWSA).
2. H. Anis Malik Toha, Lc, M.A., Ph.D selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang beserta seluruh jajaran Wakil Rektor Unissula.
3. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E.Akt., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Unissula sekaligus Co-Promotor yang sangat besar sumbangsih
pemikiran, perhatian, nasehat, semangat, dukungan dan motivasi yang berharga dalam penyelesaian disertasi dan studi S3 ini.
4. Dr. Hj. Anis Masdurohatun, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang dan Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.H. selaku sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Unissula.
xlviii
meluangkan waktu serta perhatiannya untuk memberikan bimbingan, semangat, dan perhatian yang sangat berharga dalam penulisan disertasi ini.
6. Prof. Dr.H. Mahmutarom HR, S.H., M.H. selaku penguji eksternal. Masukan dan bimbingan ilmu yang sangat aspiratif.
7. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Fakultas Hukum (S1) Unissula. 8. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Program Doktor Ilmu Hukum
(PDIH) Fakultas Hukum Unissula.
9. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Program Magister Ilmu Hukum (S2) Fakultas Hukum Unissula.
10.Segenap pimpinan dan manajemen Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Unissula.
11.Suami tersayang Dr. Nuridin, S. Ag., M. Pd., belahan jiwa dan motivator hidupku.
12.Bapak dan Ibuku, Drs. Ichtimam, C.A. dan Sarwiyati (Alm.) tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya kepada penulis. Do’a ibu dan bapaklah yang juga turut memberikan semangat kepada penulis untuk terus menuntut ilmu. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat dan menempatkan di tempat terbaik-Mu. Semoga Allah mempersatukan kami dalam surga-Nya. Aamiin.
13.Mertua Bapak H. Syamsudin (Alm.) dan Ibu Hj. Khafsah (Alm.) semoga Allah mempersatukan kami dalam surga-Nya. Aamiin
14.Anak-anak kami: Muhammad Pasha Nabih Nurdin, Edelia Balqis Nurdin dan Muhammad Fawwaz Hilal Nurdin (Alm.) dan adiknya (Alm.) semoga tetap istiqomah di jalan Allah. Aamiin.
15.Prof. Dr. Ichtijanto, S.A., S.H. (Alm.), salah satu inspirator penulis dalam