• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alvianty Dwi Puspita dan Wahyu Andrianto. Faculty of Law, University Indonesia, Depok 16424, Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Alvianty Dwi Puspita dan Wahyu Andrianto. Faculty of Law, University Indonesia, Depok 16424, Indonesia."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Yuridis terhadap Wanprestasi yang Dilakukan oleh Debitur dalam

Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan (Studi Kasus

Perjanjian Kredit di PT. BPR Utama Kita Mandiri)

Alvianty Dwi Puspita dan Wahyu Andrianto

Faculty of Law, University Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Email: alviantydwipuspita@hotmail.com

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai implementasi hukum perjanjian pada perjanjian kredit antara BPR Utama Kita Mandiri dengan Debitur X beserta wanprestasi yang dilakukan oleh Debitur X. Upaya penanganan kredit bermasalah turut dibahas apakah sudah sesuai prosedur dan dilakukan dengan cara-cara yang baik dan benar. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjanjian kredit yang dilakukan antara BPR Utama Kita Mandiri dengan Debitur X sudah sah dan Debitur X terbukti telah melakukan wanprestasi. Pihak BPR telah melakukan upaya-upaya penanganan kredit bermasalah sesuai prosedur baik menurut Peraturan Bank Indonesia dan Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR Utama Kita Mandiri.

Kata Kunci: Bank; Perjanjian Kredit; Wanprestasi

Juridical Analysis on Breach of Contract Perfomed by Debtor Under the Credit Agreement with a Mortgage Guarantee (Case Study Credit Agreement in PT. BPR

Utama Kita Mandiri) Abstract

This article discusses about the implementation of contract law on credit agreement between BPR Utama Kita Mandiri and Debtor X with the breach of contract performed by Debtor X. This thesis also discusses about the efforts on handling the non-performing loans were based on good and right procedures and ways. The method used in this research was qualitative with descriptive interpretive. The results of this research revealed that credit agreement between BPR Utama Kita Mandiri and Debtor X was valid and debtor has been proven in doing breach of contract. The bank has made efforts to handle non-performing loans in accordance with procedures of Regulations of Bank Indonesia and Credit Policy Guidelines of BPR Utama Kita Mandiri.

Keywords: Bank; Credit Agreement; Breach of Contract

Pendahuluan

Perjanjian kredit tidak selamanya dapat berjalan dengan mulus. Dalam perjalanannya, salah satu pihak atau kedua pihak bisa tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati. Berbagai faktor, baik yang disengaja maupun tidak, dapat menyebabkan hal tersebut, misalnya salah satu pihak yang beritikad buruk, usaha debitur yang sedang menurun, dan

(2)

lainnya. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang mayoritas usahanya memberikan kredit, tidak luput dari masalah ini.

Bank merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai financial intermediary, yaitu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan kemudian menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1 Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan ada dua jenis bank yaitu bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Disebutkan pula bahwa BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.2

BPR didirikan dalam rangka membantu pengusaha mikro, kecil, dan menengah mengembangkan usahanya dengan menyalurkan kredit. Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Maka pada umumnya BPR berlokasi dekat dengan masyarakat yang membutuhkan.

Seperti yang dikatakan oleh Munir Fuady bahwa seseorang atau semua badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan itu dapat berupa barang, uang atau jasa.3 Kepercayaan tersebut dituangkan ke dalam analisis kredit dengan menggunakan prinsip kredit 5C yang dikenal di dunia perbankan. Prinsip 5C terdiri dari character (watak),

capacity (kemampuan), capital (modal), collateral (jaminan), dan condition of economy

(kondisi ekonomi).

BPR yang berfokuskan pada layanan pemberian pinjaman atau kredit menjadi salah satu pilihan terbaik untuk melakukan pinjaman. BPR dapat memberikan Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi, maupun Kredit Konsumsi. Pihak yang meminjam sejumlah dana disebut debitur, sedangkan pihak yang memberikan pinjaman (dalam hal ini BPR) disebut kreditur. Hubungan antara debitur dan kreditur diikat dengan perjanjian yang disebut perjanjian kredit. Dalam perjanjian kredit, debitur diwajibkan memberikan jaminan baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang nilainya sama atau lebih dari jumlah kredit yang dipinjam. Jaminan berguna ketika debitur tidak dapat melunasi pinjamannya, sehingga kreditur dapat                                                                                                                          

1Indonesia (1), Undang-undang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790, pasal 1 angka 2.

2Ibid., pasal 1 angka 4.  

(3)

menjual jaminan tersebut. Terhadap  benda bergerak, pengikatan jaminannya berupa gadai atau fidusia. Sedangkan bagi benda tidak bergerak, pengikatan jaminannya berupa hak tanggungan.

Untuk menjamin pengembalian kredit yang diberikan, maka atas jaminan-jaminan yang diserahkan oleh debitur diadakan pengikatan oleh pihak kreditur atau bank. Sifat perjanjian pengikatan jaminan dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accesoir, yaitu perjanjian yang dikaitkan dengan suatu perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit.4 Supaya kreditur atau bank dapat melaksanakan hak dan kekuasaan atas barang jaminan/agunan pinjaman yang diserahkan oleh debitur, maka perlu terlebih dahulu dilakukan pengikatan secara yuridis formil atas barang-barang jaminan tersebut menurut hukum yang berlaku untuk itu. Pengikatan jaminan tentunya harus dilakukan secara tertulis untuk memudahkan dalam pembuktian adanya hak atau pinjaman yang dimaksud. Dapat dilakukan dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan.5

Perlindungan hukum bagi debitur dan kreditur sama-sama penting dan perlu diatur secara jelas dan terperinci supaya jika terjadi masalah di kemudian hari, tidak ada pihak yang dirugikan, berat sebelah. Penanganan akan suatu kasus pun harus ada pedoman dan peraturannya secara khusus. Penanganan tersebut dapat didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang ada maupun dari BPR masing-masing. Debitur maupun kreditur dapat melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi), tetapi dalam praktik sehari-hari cenderung lebih banyak debitur yang melakukannya. Debitur yang melakukan ingkar janji (wanprestasi) sudah sering terjadi, baik yang disengaja maupun tidak.

Seperti kasus yang penulis temui di PT BPR Utama Kita Mandiri yaitu mengenai seorang debitur X yang mengajukan Kredit Modal Kerja untuk menambah modal usaha mebelnya. Namun pada akhirnya ia tidak mampu lagi melunasi pembayaran kredit sesuai yang diperjanjikan dikarenakan usaha mebelnya yang telah menurun hampir bangkrut. Kemudian debitur meminta permohonan keringanan dalam pelunasan pinjaman. Pihak bank telah memberikan beberapa kali peringatan kepada debitur yang dituangkan dalam surat peringatan, namun debitur tidak mengindahkan dan pembayaran tetap belum dilunasi. Sehingga pihak bank kemudian mengajukan permohonan ke pengadilan negeri untuk dapat melakukan eksekusi lelang obyek jaminan. Berdasarkan hal tersebut, penulis berkeinginan untuk menganalisis aspek hukum perjanjian dari perjanjian kredit tersebut. Penulis juga ingin                                                                                                                          

4 Rasjim Wiraatmadja, Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan, (Jakarta: PT. Bank NISP, 1984), hal. 9.

(4)

mengetahui perlindungan hukum terhadap kedua belah pihak setelah terjadinya wanprestasi beserta penyelesaiannya.

Tinjauan Teoritis

Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak, maka harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat sah yang umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPer yang terdiri dari: (1) adanya kata sepakat; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; dan (4) suatu sebab yang halal.6 Lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Adanya Kata Sepakat

Subekti memberikan pengertian sepakat atau juga dinamakan perizinan yaitu kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.7 Sedangkan Satrio menyatakan, “Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.”8

Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte) dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).9 Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian.

2. Kecakapan Untuk Membuat Perikatan

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.10 Pasal 1329 KUHPer menyatakan, “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak                                                                                                                          

6 Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 76. 7 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 17.

8 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 164.

9 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 24. 10 Subekti, loc.cit.

(5)

cakap.”11 Kemudian Pasal 1330 KUHPer menyatakan, “Ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: (1) Orang yang belum dewasa; (2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan (3) Perempuan yang sudah menikah.”12

Sedangkan Buku III KUHPer tidak menentukan tolok ukur kedewasaan tersebut. Ketentuan tentang batasan ditemukan dalam Buku I KUHPer tentang Orang. Berdasarkan Buku I Pasal 330 KUHPer, “Seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah.”13 Kemudian mengenai mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, pasal 433 KUHPer menyatakan, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.”14 Sedangkan, ketentuan mengenai perempuan

yang sudah menikah, tentang tidak cakapnya seorang istri yang telah bersuami untuk melakukan perbuatan hukum sendiri (pasal 108 KUHPer), sudah tidak berlaku lagi. Hal tersebut dikarenakan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 yang mencabutnya. SEMA tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Agung menganggap bahwa seorang istri yang bersuami berhak untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya.

3. Suatu Hal Tertentu

Menurut Gautama, syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya (determinable). Pasal 1333 KUHPer menentukan: Suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki obyek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).15

                                                                                                                         

11Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1329.

12Ibid., pasal 1330.

13Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 330.

14Ibid., pasal 433.

(6)

Secara umum, suatu hal tertentu dalam perjanjian dapat berupa hak, jasa, benda atau sesuatu, baik yang sudah ada ataupun belum ada, asalkan dapat ditentukan jenisnya (determinable). Perjanjian untuk menjual sebuah lukisan yang belum dilukis adalah sah. Lebih lanjut Gautama menyatakan bahwa suatu perjanjian dapat menjadi batal ketika batas waktu suatu perjanjian telah habis dan kontrak tersebut belum terpenuhi.16

Satrio menyimpulkan, “Apa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah obyek prestasi (performance). Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).”17

KUHPer menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.18 Sebagai contohnya perjanjian untuk

‘panen buah mangga dari pohon yang akan berbuah dan matang pada musim panen berikutnya’ adalah sah.

4. Suatu Sebab Yang Halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya suatu sebab yang halal. Sebab yang dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian.19 Jika obyek dalam perjanjian itu ilegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai obyek tujuan yang ilegal, maka perjanjian ini tidak sah.20 Menurut Pasal 1335 jo. 1337 KUHPer menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.21

Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian                                                                                                                          

16Ibid., hal. 80.

17 J. Satrio, op.cit,. hal. 41.

18Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1333.

19 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 19. 20 Sudargo Gautama, op.cit., hal. 80.

(7)

orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.22

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani “Credere” yang berarti kepercayaan, oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Seseorang atau semua badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan itu dapat berupa barang, uang atau jasa.23 Kredit yang diberikan oleh bank dapat didefinisikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.24

Berdasarkan undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah sebagai berikut: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”25 Muljono mendefinisikan, “Kredit adalah kemampuan untuk

melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada suatu jangka waktu yang disepakati”.26

Perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam-meminjam uang menurut pasal 1754 KUHPer yang berbunyi: Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.27

Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian pengikatan jaminan, maka perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok dan perjanjian pengikatan jaminan sebagai                                                                                                                          

22 J. Satrio, op.cit., hal. 109.

23 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung :PT. Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 6. 24Taswan. Akuntansi Perbankan Transaksi dalam Valuta Rupiah, (Semarang: UPP AMP YKPN, 2003), hal. 163.

25 Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, edisi kedua, (Jakarta: Salemba Empat, 2006), hal. 114.

26 Teguh Pudjo Muljono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, edisi 4, (Yogyakarta: BPFE, 2007), hal. 58.

(8)

perjanjian ikutan. Hapusnya perjanjian kredit mengakibatkan hapusnya perjanjian ikutan. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok mempunyai fungsi sebagai alat bukti bagi debitur dan kreditur yang membuktikan adanya hutang debitur serta pengaturan hak-hak dan kewajiban para pihak.

Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit merupakan pemberian kepercayaan. Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Suyatno, dkk, maka unsur-unsur kredit adalah sebagai berikut:

1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

2. Waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai argo dari uang yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi dari nilai uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.

3. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari.

4. Prestasi, yaitu obyek kredit yang tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa.28

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Menurut kamus Hukum, “Wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.”29 Menurut Pramono, “Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.”30 Secara

singkat, Abdulhay menyatakan, “Wanprestasi adalah apabila pihak-pihak yang seharusnya berprestasi tidak memenuhi prestasinya.”31

Dengan demikian wanprestasi adalah suatu keadaan tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.

                                                                                                                         

28  Thomas Suyatno, dkk., Dasar-dasar Perkreditan,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 14.  

29  Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hal. 578.

30  Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), hal. 2.  

(9)

Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti, sebagai berikut: a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.32

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan disebutkan pengertian hak tanggungan adalah sebagai berikut: Hak Tanggungan yaitu hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.33

Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-undang ini pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun kenyataanya seringkali terdapat adanya benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya, yang secara tetap merupakan kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut.

Dari pengertian Hak Tanggungan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan selalu disertai dengan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lainnya yang menerbitkan kewajiban pembayaran utang tertentu. Dengan tujuan untuk menjamin pelunasan utang-piutang inilah, maka penjaminan dengan Hak Tanggungan ini diberikan. Kewajiban dari keberadaan suatu utang-piutang yang menyertai suatu pemberian Hak Tanggungan merupakan suatu hal mutlak yang harus ada pada saat eksekusi Hak Tanggungan dimohonkan.34 Ini secara tegas disyaratkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT: Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan.35

                                                                                                                          32 Subekti, op.cit., hal 45.

33 Indonesia (3), Undang-undang Hak Tanggungan, UU No.4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632, pasal 1.

34 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 114.

(10)

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, yaitu merupakan penelitian yang meneliti hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan. Penelitian yuridis-normatif dilakukan lewat studi kepustakaan dimana bahan untuk penelitian diambil dari bahan bacaan yang memberikan gambaran umum serta pengetahuan tentang topik yang dibahas. Pada metode penelitian yuridis-normatif, penelitian berfokus pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini adalah ketentuan KUH Perdata, undang-undang mengenai perbankan, dan peraturan Bank Indonesia mengenai BPR, untuk mencari jawaban atas pokok permasalahan.

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan masalah, keadaan, gejala tertentu sesuai apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera atau fakta yang terjadi untuk kemudian dianalisis sesuai dengan konsep dan teori yang ada dalam ketentuan perundang-undangan. Dalam penelitian ini, yang dijabarkan adalah mengenai perjanjian kredit di BPR serta penyelesaian atas kredit bermasalah.

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang diperoleh penulis dari bahan-bahan kepustakaan seperti buku, artikel ilmiah, bahan-bahan yang diperoleh dari internet, teori atau pendapat para sarjana, majalah, dan surat kabar. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data yang telah tersedia dalam bentuk tertulis terkait dengan masalah yang diteliti.

Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang digunakan oleh peneliti adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terkait dengan isi maupun implementasinya. Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh peneliti adalah buku, artikel ilmiah, teori para sarjana, surat kabar, dan bahan yang diperoleh dari internet. Sedangkan bahan hukum tersier, merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, dimana dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan oleh peneliti adalah kamus.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan studi dokumen yang didukung dengan wawancara kepada informan dan/atau narasumber. Studi dokumen dilakukan menggunakan buku atau literatur dan undang-undang yang berhubungan dengan hukum perjanjian, perjanjian kredit, dan sebagainya. Sedangkan wawancara dilakukan terhadap narasumber atau informan dalam kasus tersebut yaitu direksi BPR Utama Kita Mandiri.

(11)

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Karena hasil pengolahan data yang akan dianalisis oleh peneliti adalah data yang berbentuk tulisan, bukan hasil data yang berbentuk gambar, angka atau diagram.

Pembahasan

Secara umum perjanjian kredit antara BPR Utama Kita Mandiri dan Debitur X telah memenuhi 4 (empat) syarat sah perjanjian pada pasal 1320 KUHPer sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu:

1. Adanya kata sepakat

Sepakat yaitu kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.36

Perjanjian kredit antara Debitur X dengan BPR Utama Kita Mandiri yang diwakilkan oleh Iwan Darmawan selaku Direktur Utama telah dibuat dan ditandatangani secara bersama-sama dalam keadaan sadar serta tanpa paksaan dari pihak manapun. Pihak kreditur sepakat untuk memberikan pinjaman dengan klausul-klausul yang telah diberitahukan kepada debitur dan pihak debitur sepakat untuk membayar angsuran atas pinjamannya dengan disertakan jaminan.

2. Kecakapan untuk membuat perikatan

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.37 Pada perjanjian kredit ini, Debitur X telah memenuhi syarat kecakapan dimana saat dibuatnya perjanjian, ia telah berusia 55 tahun, tidak termasuk di bawah pengampuan, serta dalam kondisi sehat akal dan jasmani. Debitur X merupakan pemilik usaha mebel yang membutuhkan fasilitas kredit untuk pembiayaan modal kerjanya.

3. Suatu hal tertentu

Secara umum, suatu hal tertentu dalam perjanjian dapat berupa hak, jasa, benda atau sesuatu, baik yang sudah ada ataupun belum ada, asalkan dapat ditentukan jenisnya (determinable). 38 Hal tertentu dalam perjanjian kredit tersebut yakni uang sejumlah Rp 85.000.000 sebagai pinjaman yang diberikan kepada Debitur X dengan jangka                                                                                                                          

36 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 17. 37 Subekti, loc.cit.

(12)

waktu pinjaman selama 60 bulan (16 April 2007 s/d 16 April 2012). Selain melunasi pinjaman tersebut, Debitur X juga diwajibkan membayar bunga sebesar Rp 76.500.000.

4. Suatu sebab yang halal

Sebab yang dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian.39 Suatu perjanjan tidak dapat diadakan tanpa suatu sebab. Jika obyek dalam perjanjian itu ilegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal.40 Perjanjian kredit tersebut juga memenuhi syarat ini dimana BPR Utama Kita Mandiri yang salah satu kegiatannya memberikan fasilitas kredit modal kerja, investasi, pembelian kendaraan bermotor, atau konsumtif, telah memberikan pinjaman sejumlah uang kepada Debitur X. Pinjaman tersebut akan digunakan oleh Debitur X sebagai tambahan pembiayaan modal kerja usaha mebelnya. Usaha mebel yang dijalani Debitur X tidak termasuk bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Jadi, uang pinjaman tersebut berasal dari sumber yang jelas dan halal serta akan dipergunakan untuk tujuan yang jelas pula, tidak ada tujuan untuk menipu atau merugikan pihak lainnya.

Selain terpenuhinya keempat syarat sah perjanjian sebagaimana telah dijelaskan di atas, perjanjian kredit ini pun memenuhi unsur-unsur kredit. Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit merupakan pemberian kepercayaan. Berikut merupakan unsur-unsur kredit:

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. 41 Unsur kepercayaan tentu terlihat dalam perjanjian yang dilakukan BPR Utama Kita Mandiri dengan Debitur X dimana BPR telah berani meminjamkan sejumlah dana atas keyakinan, dalam jangka waktu yang sudah ditentukan debitur akan melunasinya. Tentunya kepercayaan ini didukung dengan analisa yang telah dilakukan pihak BPR sebelum menyetujui permohonan kredit debitur serta adanya jaminan untuk menguatkan kepercayaan bahwa kredit akan lunas. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama BPR yang ditujukan terutama untuk membantu pengusaha mikro, kecil, menengah, dan masyarakat, sehingga kepercayaan sudah terbangun sejak didirikannya BPR.

                                                                                                                         

39 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 19. 40 Sudargo Gautama, op.cit, hal. 80.

(13)

b. Waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai argo dari uang yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi dari nilai uang yang akan diterima pada masa yang akan datang. 42 Unsur waktu merupakan salah satu ciri utama dalam kredit. Jangka waktu perjanjian kredit berbeda-beda setiap debitur. Dalam perjanjian kredit ini, jangka waktu pinjaman diberikan selama 60 bulan sejak ditandatangani perjanjian tersebut yaitu 16 April 2007 sampai 16 April 2012. Namun jika debitur dapat melunasi pinjaman sebelum jangka waktu 60 bulan, dikenakan penalty sebesar 3% dari sisa jumlah hutang pokok.

c. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. 43 Resiko dari pemberian kredit kepada

debitur yaitu tidak dilunasinya kredit tersebut yang akan menyebabkan kerugian bagi pihak BPR. Maka setiap pemberian kredit disertai dengan adanya jaminan dari debitur. Jaminan dapat berupa SHM/SHGB, BPKB, atau Surat Kuasa Pemotongan Gaji. Dalam perjanjian ini, Debitur X menjaminkan Sertipikat Hak Milik (SHM) miliknya yang terdiri atas tanah dan bangunan yang ada di atasnya. SHM tersebut beralamat di Jalan Parakan Saat No. 232 RT 31/10, Kelurahan Cipamolokan, Kecamatan Rancasari, Kotamadya Bandung, Provinsi Jawa Barat.

d. Prestasi/bunga

Atas kredit yang diajukan oleh Debitur X sebesar Rp 85.000.000, dikenakan bunga sebesar Rp 76.500.000 dengan perhitungan bunga 1,5% per bulan.

Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yakni, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Berdasarkan pasal tersebut, perjanjian yang dibuat antara BPR Utama Kita Mandiri dengan Debitur X telah mengikat kedua belah pihak, maka harus saling menjalankan kewajiban masing-masing serta mengetahui haknya. Saat membuat perjanjian tersebut, kedua belah pihak dalam keadaan sadar, sehat, dan mengetahui konsekuensinya. Dalam hukum perjanjian, berlaku asas konsensualisme yakni perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan

                                                                                                                         

42  Ibid.   43  Ibid.  

(14)

sejak detik tercapainya kesepakatan.44 Tercapainya kesepakatan dalam perjanjian kredit antara BPR Utama Kita Mandiri dengan Debitur X terlihat dari sudah ditandatanganinya perjanjian tersebut.

Bentuk wanprestasi yang termasuk dilakukan oleh Debitur X dalam perjanjian kredit ini, yakni melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya. Pasal 1238 KUHPer dan pasal 1243 KUHPer berbicara mengenai wanprestasi serta kewajiban debitur membayar gati rugi. Pasal 1238 KUHPer yang berbunyi, “Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat peerintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”45 Sesuai dengan kasus BPR Utama Kita Mandiri

dengan Debitur X, debitur X telah tidak mematuhi atau tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana tertuang di dalam perjanjian kredit di awal. Maka dari itu, pihak BPR mengambil langkah selanjutnya yaitu memberikan surat pemberitahuan dan surat peringatan kepada debitur X berkali-kali. Kemudian pasal 1243 KUHPer mengenai kewajiban debitur membayar ganti rugi setelah adanya pernyataan lalai yang disampaikan dari kreditur ke debitur. Sesuai dengan pasal tersebut, berarti pihak BPR berhak mengajukan denda sesuai perhitungan yang sudah dilakukan kepada Debitur X dengan adanya surat pemberitahuan dan surat peringatan yang telah diberikan.

Debitur X pada awal masa pinjaman masih membayar angsuran tepat waktu, namun pada bulan-bulan berikutnya debitur mulai tidak melaksanakan kewajibannya. Pada tanggal 15 Juni 2007, pihak BPR telah memberikan surat peringatan pertama dengan batas waktu penyelesaian tunggakan 18 Juni 2007, namun belum ada pembayaran lebih lanjut oleh Debitur X. Kemudian pihak BPR kembali memberikan surat peringatan kedua pada tanggal 20 Juni 2007 yang tetap tidak diindahkan. Akhirnya pada tanggal 11 Februari 2008 pihak BPR memberikan surat pemberitahuan akan memproses penjualan jaminan sebagai penyelesaian, jika sampai tanggal 13 Februari 2008 debitur tidak menyelesaikan pinjaman dan tidak ada jawaban.

Pada akhirnya Debitur X mendatangi pihak bank untuk mengajukan permohonan restruktur fasilitas modal kerja berdasarkan surat tanggal 14 Desember 2009. Setelah pihak bank menganalisa permohonan tersebut, permohonan disetujui dengan pertimbangan penjualan jaminan belum berhasil dan memakan waktu yang lama serta debitur berkeinginan untuk mengangsur kembali dengan catatan penjualan jaminan rumah masih tetap dilakukan                                                                                                                          

44 Subekti, op.cit., hal 15. 45 KUH Perdata, pasal 1238.

(15)

(jaminan rumah diprediksi dapat dijual dalam kurun waktu 6 bulan). Debitur X mengatakan bahwa ia mempunyai pendapatan lain dari pensiun dan dari salah satu anaknya yang akan membantu pembayaran. Maka, dengan adanya restruktur kredit, plafon pinjaman menjadi Rp 100.000.000 (pinjaman awal Rp 85.000.000) dengan jangka waktu 6 bulan dan angsuran per bulan Rp 1.000.000 (bunga Rp 500.000 dan pokok minimal Rp 500.000).

Sayangnya, setelah pihak bank memberikan kesempatan direstruktur kembali fasilitas pinjamannya dengan memberi keringanan angsuran dengan harapan waktu yang diberikan selama 6 bulan bisa dimanfaatkan untuk segera menyelesaikan pinjaman dengan cara menjual rumah oleh Debitur X sendiri, belum juga terlihat adanya penyelesaian. Sehingga pihak bank kembali memberikan surat peringatan pada tanggal 28 Juli 2010 yang berbunyi jika sampai tanggal 29 Juli 2010 belum juga diselesaikan, maka pihak bank akan melakukan penyelesaian dengan proses penjualan jaminan. Setelah memberikan surat peringatan ketiga, pada tanggal 29 September 2010 pihak bank memberikan surat pemberitahuan kepada Debitur X bahwa pihak bank akan melakukan penjualan rumah melalui pemberitaan di surat kabar. Jika melalui surat kabar masih belum berhasil, pihak bank akan melimpahkan permasalahan ini ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung, sesuai Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) kepada BPR UKM yang telah dibuat dihadapan notaris.

Kemudian pada tanggal 24 Oktober 2011, pihak bank mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadlian Negeri Bandung untuk pelaksanaan eksekusi hak tanggungan atas jaminan milik Debitur X. Pada tanggal 23 Februari 2012, dilaksanakan pelelangan namun tidak ada penawar atau peminat. Sehingga pelelangan akan dilaksanakan kembali pada tanggal 18 Juli 2012. Pengadilan Negeri Bandung telah mengumumkan perihal tersebut dalam surat kabar pada tanggal 19 Juni 2012.

Jaminan yang diserahkan oleh Debitur X berupa satu Setifikat Hak Milik (SHM) No. 00816/Cipamolokan, berikut bangunan yang berdiri serta segala sesuatu yang berada di atasnya, di jalan Parakan Saat No. 232 RT 31/10, Kelurahan Cipamolokan, Kecamatan Rancasari, Kotamadya Bandung, Provinsi Jawa Barat, dengan luas 132 m2, termasuk ke dalam Hak Tanggungan karena merupakan benda tidak bergerak. Hal tersebut sesuai dengan pengaturan di Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pasal 1 UUHT menyebutkan bahwa jaminan tersebut untuk pelunasan suatu utang.

Menurut Iwan Darmawan selaku Direktur Utama BPR Utama Kita Mandiri, pihak keluarga Debitur X seperti menghalang-halangi pelaksanaan ekseskusi jaminan sebelum pihak bank mengajukan permohonan ke Pengadilan. Pihak keluarga seperti tidak rela tanah dan bangunan yang dijadikan jaminan disita dan/atau dijual guna menyelesaikan pinjaman.

(16)

Padahal sedari awal perjanjian, debitur telah menyerahkannya sebagai jaminan dengan kesadaran jika tidak dapat melunasi pembayaran kredit, maka jaminan pun akan dijual. Menyikapi perlawanan-perlawanan dari keluarga debitur tersebut, maka pihak bank mengajukan permohonan ke Pengadilan supaya mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat dan mendapat bantuan aparat hukum yang berwenang.

Kualitas kredit dari Debitur X termasuk kategori macet karena telah memenuhi penilaian kualitas berdasarkan Peraturan Bank Indonesia dan Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank Perkreditan Rakyat Utama Kita Mandiri.

Penanganan kredit bermasalah yang telah dilakukan oleh BPR Utama Kita Mandiri terhadap Debitur X yaitu Agunan yang Diambil Alih (AYDA) dan restrukturisasi kredit. Berikut penjelasannya:

Agunan yang Diambil Alih (AYDA) adalah aset yang diperoleh BPR dalam rangka penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan, atau diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Debitur telah dinyatakan Macet, dengan kewajiban untuk segera dicairkan kembali.46 Dikarenakan kualitas kredit atas fasilitas kredit yang diberikan kepada Debitur X telah termasuk kategori Macet, BPR Utama Kita Mandiri berhak menyelesaikan kredit dengan menjual jaminan Debitur X. Pihak BPR telah melaksanakan lelang atas jaminan walaupun sudah dilakukan berkali-kali belum ada peminat yang membeli jaminan tersebut. Sebelum melaksanakan lelang, pihak BPR telah memberikan surat peringatan kepada debitur serta surat pemberitahuan. Jadi, BPR Utama Kita Mandiri sebenarnya masih memberikan kesempatan supaya debitur membayar tunggakan atau melunasi pinjaman, sebelum diadakan lelang.

Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan BPR dalam kegiatan perkreditan terhadap Debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. BPR dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap Debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 47

a) Debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga Kredit.

Hal ini terlihat dengan tunggakan angsuran yang belum dibayar oleh debitur, sehingga pihak BPR telah memberikan surat pemberitahuan dan surat peringatan.

                                                                                                                         

46 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, pasal 1 angka 10.

(17)

b) Debitur memiliki prospek usaha yang baik dan diperkirakan mampu memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi.

Walaupun usaha mebel debitur X mengalami penurunan, debitur X bersedia membayar dengan uang pensiun dan uang dari salah satu anak debitur.

Pihak BPR membuat memo analisis restrukturisasi kredit terlebih dahulu untuk menilai apakah fasilitas kredit debitur dapat direstrukturisasi atau tidak. Memo analisis dibuat pada tanggal 21 Desember 2009 setalah ada permohonan dari debitur X pada tanggal 14 Desember 2009. BPR Utama Kita Mandiri akhirnya menyetujui restruktur dengan pertimbangan belum berhasilnya penjualan jaminan dan debitur bersedia mengangsur kembali walau dengan penurunan kesanggupan pembayaran. Namun penjualan jaminan akan tetap berlangsung. Restruktur pinjaman debitur X diberikan jangka waktu selama 6 bulan dengan angsuran per bulan Rp 1.000.000 (bunga Rp 500.000 dan pokok minimal Rp 500.000). Nilai jaminan atas restruktur tersebut pun di atas nilai pinjaman, apabila terjadi hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai wanprestasi yang dilakukan oleh Debitur X atas perjanjian kredit antara Debitur X dengan BPR Utama Kita Mandiri, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perjanjian kredit antara Debitur X dengan BPR Utama Kita Mandiri telah memenuhi syarat sah sebuah perjanjian yang diatur di dalam pasal 1320 KUH Perdata. Keempat syarat sah sebuah perjanjian tersebut telah sesuai diimplementasikan. Kemudian pasal 1338 KUH Perdata mengenai berlaku dan mengikatnya suatu perjanjian seperti undang-undang kepada pihak-pihak yang membuatnya, sesuai dengan perjanjian kredit antara BPR Utama Kita Mandiri dengan Debitur X. Setelah tercapainya kesepakatan dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, para pihak saling mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Di saat debitur tidak memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran, pihak BPR berhak untuk menagih apa yang menjadi haknya. Langkah yang diambil pihak BPR sesuai perjanjian dan hukum yang berlaku. Pasal 1238 jo. 1243 KUH Perdata mengenai kewajiban debitur membayar ganti rugi setelah adanya pernyataan lalai yang disampaikan oleh kreditur kepada debitur, sudah dilakukan pihak BPR dengan diberikannya surat pemberitahuan dan surat peringatan kepada Debitur X. Maka, pihak BPR berhak mengenakan denda atas pembayaran angsuran yang tidak dilakukan

(18)

Debitur X. Perjanjian kredit tersebut juga telah memenuhi unsur-unsur kredit dalam perbankan.

Perihal wanprestasi yang dilakukan oleh Debitur X terlihat dari pembayaran angsuran yang mandek atau macet setelah hanya melaksanakan kewajiban pembayaran di awal-awal. Walau pihak bank sudah beritikad baik untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan cara kekeluargaan, memberi toleransi berkali-kali, bahkan sudah dilakukan restruktur kredit, pihak debitur tidak kunjung menyelesaikan kreditnya. Pihak bank sudah melakukan penanganan kredit bermasalah sesuai prosedur menurut Peraturan Bank Indonesia dan Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank Perkreditan Rakyat (BPR Utama Kita Mandiri). Perihal jaminan yang diserahkan oleh Debitur X kepada pihak BPR berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah dan bangunan yang ada di atasnya, termasuk ke dalam Hak Tanggungan karena berupa barang tidak bergerak. Pengaturan mengenai Hak Tanggungan terdapat di Undang-Undang No. 4 Tahun 1996. Pengikatan jaminan oleh pihak bank sudah sempurna dan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga secara yuridis bank mempunyai bukti hukum yang kuat. Hal tersebut terlihat pula pada proses pelelangan melalui Pengadilan Negeri Bandung dan Balai Lelang Negara tidak ada masalah. Dikarenakan dari pihak Debitur seperti tidak ada keseriusan untuk memenuhi kewajibannya, BPR mengambil langkah tegas yaitu mengajukan permohonan eksekusi lelang ke Pengadilan Negeri Bandung. Pihak BPR mengajukan permohonan ke Pengadilan, karena eksekusi lelang yang dilakukan sebelumnya mendapat halangan dari pihak keluarga debitur.

Saran

Debitur sebagai peminjam sejumlah dana untuk kepentingan apapun seharusnya sudah memiliki keyakinan mampu untuk membayar kembali. Kemudian perihal jaminan, sudah sepatutnya sedari awal debitur menyadari dan mengetahui bahwa jika tidak sanggup melunasi pembayaran pinjaman, maka jaminan yang telah dijaminkan di awal perjanjian akan dijadikan sebagai pelunasan oleh pihak bank. Tidak seperti tindakan yang dilakukan oleh Debitur X dan keluarganya mengahalangi proses eksekusi jaminan yang dilakukan BPR Utama Kita Mandiri sebagai kreditur. Setiap Debitur pun seharusnya selalu memperhatikan aturan yang berlaku mengenai hak dan kewajiban serta tidak menganggap remeh setiap perjanjian yang telah dibuat.

Bagi pihak BPR dimana pemberian kredit merupakan kegiatan utamanya, sebaiknya lebih berhati-hati lagi sebelum menyetujui pemberian fasilitas kredit untuk tujuan apapun. Pihak BPR (dalam hal ini tim marketing) seharusnya melakukan penelitian dan survei untuk

(19)

analisis kredit yang lebih mendalam dan terperinci lagi akan calon debitur. Perjanjian yang dibuat tentu harus mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Pengawasan internal dari BPR sebaiknya dimaksimalkan lagi supaya bisa mencegah atau meminimalisir terjadinya kasus kredit bermasalah yang tentu akan merugikan pihak bank. BPR sebaiknya lebih bertindak tegas lagi supaya permasalahan lebih cepat selesai. Jangan sampai BPR mengalami kerugian akibat penanganan kredit bermasalah yang tidak terselesaikan.

Daftar Referensi Buku

Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.

Fuady, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Hay, Marhainis Abdul. Hukum Perdata Materiil. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Muljono, Teguh Pudjo. Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil. Edisi 4. Yogyakarta : BPFE, 2007.

Pramono, Nindyo. Hukum Komersil. Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003.

Satrio, J. Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2002. Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007.

Suyatno, Thomas dkk. Dasar-dasar Perkreditan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998. Taswan. Akuntansi Perbankan Transaksi Dalam Valuta Rupiah. Edisi Revisi. Semarang: UPP

AMP YKPN, 2003.

Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi 2. Jakarta : Salemba Empat, 2006.

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Wiraatmadja, Rasjim. Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan. Jakarta: PT. Bank NISP, 1984.

Peraturan Perundang-undangan

Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Pengkreditan Rakyat. PBI No. 13/26/PBI/2011.

(20)

Indonesia. Undang-undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. UU No. 4 tahun 1996. LN No. 42 Tahun 1996. TLN No. 3632.

Indoesia. Undang-undang Jaminan Fidusia. UU No. 42 tahun 1999. LN No. 168 Tahun 1999. TLN No. 3889.

Indonesia. Undang-undang Perbankan. UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998. TLN No. 3790.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Subekti. Cet. ke 40. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.

Lain-Lain

Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR Utama Kita Mandiri Profil Perusahaan PT. BPR Utama Kita Mandiri

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu dalam pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh pihak keluarga atau

beberapa indikasi interaksi antara jumlah sarang biawak Komodo dan sarang burung Gosong-kaki-merah, sebagaimana diketahui bahwa Loh Lawi merupakan lembah dengan jumlah sarang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek pendekatan pembelajaran terapan berbasis keterampilan proses sains sebagai cara mentransfer materi IPA pada siswa sekolah

Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا, namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh

Kubu Tambahan, Kabupaten Buleleng yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya secara sekala dan niskala dapat berpotensi meningkatkan produktivitas ternak sapi Bali

Tugas Akhir ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Teknik Sipil di Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Prabowo Setiawan MT, Ph.D.,

Membandingkan penambahan 3,4-dimetoksibenzaldehida dengan dibandingkan benzaldehida terhadap persentase hasil sintesis turunan salisilhidrazida yang dilakukan pada kondisi dan

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Sang Pemilik Segala Ilmu dan Alam Semesta beserta isisnya, maka dengan segala nikmat, rahmat dan hidayah serta kesempatan