• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infeksi Coccidia Dan Strongyloides Pada Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Infeksi Coccidia Dan Strongyloides Pada Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

INFEKSI COCCIDIA DAN STRONGYLOIDES PADA SAPI BALI PASCA PEMBERIAN MINERAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi

Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Komang Yogie Suryana Putra NIM. 1109005111

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

(2)
(3)
(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Negara pada tanggal 17 Desember 1993. Penulis

adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Ir. Komang Kasmana. S dan Ibu Sri Suryanti, S.Pd. Penulis menyelesaikan TK di TK Tunas Harapan Karangasem (1999), tamat Sekolah Dasar dari SDN 1 Karangasem (2005), kemudian tamat Sekolah Menengah Pertama dari SMP Negeri 2 Karangasem (2008), dan tamat Sekolah Menengah Atas dari SMA Negeri 1 Karangasem (2011). Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur PMDK. Selama kuliah di FKH penulis juga aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, salah satunya menjadi staf ahli inventaris BEM FKH (2012-2013).

Penulis melakukan penelitian di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana tentang “Infeksi Coccidia dan Strongyloides Pada Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral”sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.KH) di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Denpasar, Pebruari 2015

(5)

ii

RINGKASAN

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui infeksi coccidia dan strongyloides pada sapi bali pasca pemberian berbagai jumlah

mineral. Sampel yang digunakan yaitu feses sapi bali yang berasal dari 24 ekor sapi yang dibagi menjadi 4 perlakuan yaitu, tanpa pemberian mineral (kontrol), pemberian mineral mix 2,5 gram/ekor/hari, 5,0 gram/ekor/hari dan 7,5 gram/ekor/hari. Setelah 3 bulan pemberian mineral dilakukan pemeriksaan terhadap infeksi coccidia dan strongyloides dengan menggunakan metode konsentrasi sedimentasi dan pengapungan dengan zat pengapung garam jenuh. Data yang diperoleh berupa data nominal selanjutnya dianalisis menggunakan uji chisquare.

Hasil penelitian didapatkan, sapi bali yang tidak diberikan perlakuan mineral (kontrol) pada pemeriksaan feses ditemukan ookista coccidia dan larva strongyloides. Jumlah pemberian mineral (2,5, 5,0, 7,5 gr) tidak berpengaruh

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kerta Wara NugrahaNya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini pada waktunya. Skripsi dengan judul:

“Infeksi Coccidia dan Strongyloides Pada Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral” diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, bimbingan, perhatian dan

bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan c.q dana Hibah Kompetitif Nasional MP3EI tahun 2014, dan kepada :

1. Dr.drh. Nyoman Adi Suratma, MP, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

2. Ibu Dr.drh. Ida Ayu Pasti Apsari, MP, selaku Pembimbing I dan Ibu Prof.Dr.drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes, selaku Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drh. I Made Dwinata, M.Kes, Bapak Dr.drh. I Putu Sampurna, MS dan bapak Drh Ida Bagus Made Oka, M.Kes selaku penguji atas semua bimbingan, saran, dan kritik dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Drh I Ketut Suada, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan dukungan moril dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak/Ibu pegawai Tata Usaha dalam membantu pengurusan administrasi sebagai kelengkapan syarat untuk penyusunan skripsi ini.

(7)

iv

memberikan doa dan semangat tiada henti, nasehat serta materi demi terselesaikannya skripsi ini.

7. Ni Nyoman Citra Susilawati, S.KH, I Wayan Ary Suwardana, A.Md, I Made Budi Sudarsana, SE, MM dan kedua orang tuanya I Ketut Alit dan ibu Ni Ketut Purniasih yang memberikan doa dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Teman-teman seangkatan (FKH 11) yang tidak dapat disebutkan satu persatu, serta teman-teman KKN PPM UNUD Periode IX Desa Bugbug Karangasem yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi

ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan, maka dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya penulis tetap berharap semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, Pebruari 2015

(8)

DAFTAR ISI

RIWAYAT HIDUP………... i

RINGKASAN………... ii

UCAPAN TERIMA KASIH………... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTARTABEL………vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN………... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Rumusan Masalah………. 3

1.3 Tujuan Penelitian………... 3

1.4 Manfaat Penelitian………. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali... 4

2.2 Coccidia... 6

2.3 Strongyloides... 8

2.4 Mineral………... 10

2.4.1 Mineral Makro……….. 10

2.4.2 Mineral Mikro………... 12

2.5 Kerangka Konsep……… 14

2.6 Hipotesis……….. 14

BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian……….. 15

3.1.1 Sampel Penelitian... 15

3.2 Bahan Penelitian... 15

3.3 Peralatan Penelitian... 15

3.4 Rancangan Penelitian... 15

3.5 Variabel Penelitian... 15

3.6 Cara Pengumpulan Data... 16

(9)

vi

3.6.2 Pengambilan Sampel... 16

3.7 Prosedur Penelitian... 17

3.8 Analisis Data... 18

3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian... 18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian………. 19

4.1.1 Infeksi Coccidia……… 19

4.1.2 Infeksi Strongyloides……… 20

4.2Pembahasan……… 21

4.3 Pengujian Hipotesis………. 24

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……….. 25

5.2 Saran………. 25

DAFTAR PUSTAKA ………... 26

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Komposisi Mineral……… 16

(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Ookista Coccidia Pada Feses Sapi Bali……….……….. 19

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Dokumentasi Penelitian di Lapangan……….. 31

Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian di Laboratorium………. 32

Lampiran 3 Formulasi Ransum Standar……… 33

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi pengembangan sapi lokal di Indonesia sangat besar, sehingga perlu usaha pemberdayaan dan peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Diantara beberapa sapi lokal yang ada di Indonesia, sapi bali memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) yang memegang peranan penting dalam penyediaan kebutuhan daging (Hardjosubroto, 1994). Sapi

bali merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Bali yang menjadi primadona sapi potong di Indonesia, karena mempunyai persentase karkas yang tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990). Oleh karena itu sapi bali harus terus dikembangkan dan ditingkatkan produktivitasnya, dengan cara perbaikan manajemen pemeliharaan, pencegahan dan pemberantasan terhadap penyakit, sehingga terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh parasit, virus dan bakteri. Disamping itu kemampuan reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang (Moran, 1990; Putu dkk., 1998).

(14)

2

Beberapa penyakit parasit yang dapat menyerang sapi bali seperticoccidia dan cacing strongyloides. Coccidia merupakan protista dari sub-filum epithelioapicomplexa yang uniseluler, berbentuk oval, membentuk spora parasit pada hewan, penyakitnya disebut Coccidiosis. Coccidiosis disebabkan oleh Eimeria.sp yang umumnya menginfeksi sel epitel saluran pencernaan (Fitriastuti dkk., 2011). Sedangkanstrongyloides merupakan cacing yang tergolong kedalam ordorhabditida, familistrongyloididaedan genusstrongyloides.Strongyloides. sp umumnya menginfeksi saluran pencernaan hewan ternak, sehingga terjadinya infeksi dapat mengurangi kemampuan mukosa usus dalam transport glukosa dan metabolit lainnya (Levine, 1995).

Infeksi parasit pada ternak dalam hal ini sapi bali sangat tergantung pada kekebalan tubuh ternak untuk bertahan, salah satunya yang mempengaruhi kekebalan tubuh ternak adalah pakan ternak. Pada umumnya sapi bali mengkonsumsi pakan dalam bentuk hijauan yang terdiri atas berbagai jenis rumput dan daun-daunan. Namun sumber hijauan yang tersedia umumnya memiliki unsur mineral dalam jumlah kecil, sehingga ternak yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan menunjukkan gejala defisiensi mineral yang dapat menimbulkan gangguan pada sistem kekebalan tubuh ternak tersebut (Suwiti dkk., 2012), yang nantinya akan memudahkan terjadinya infeksi parasit seperti : coccidia dan strongyloides. Mineral merupakan zat makanan esensial yang tidak dapat disentesa didalam tubuh ternak sehingga mineral harus tersedia didalam ransum atau suplemen yang diberikan (Suwiti dkk., 2013).

(15)

3

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini yakni apakah ada perbedaan infeksi coccidiadan strongyloides pada sapi bali setelah diberikan tambahan dengan berbagai jumlah mineral dalam pakannya.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui infeksi coccidia dan strongyloidespada sapi bali pasca pemberian berbagai jumlah mineral.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai infeksi coccidia dan strongyloides pada sapi bali setelah diberikan tambahan mineral

(16)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Bali

Sapi bali (Bos sondaicus) adalah jenis sapi asli Indonesia yang berasal dari keturunan banteng yang sudah didomestikasi dan merupakan plasma nutfah ternak asli Indonesia (Wibisono, 2010). Sapi bali dengan mudah dapat beradaptasi di lingkungan yang buruk dan tidak selektif terhadap makanan. Selain itu, sapi bali cepat mempunyai anak, jinak dan mudah dikendalikan, serta memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang baik (Batan, 2006). Melihat perkembangannya, sapi

bali akan menjadi sapi potong utama di Indonesia. (Hardjosubroto dan Astuti, 1993) mengatakan bahwa, saat ini banteng liar di Indonesia hanya ditemukan di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Dari galur yang lebih kecil, banteng juga ditemukan di perbatasan hutan Kalimantan Timur, Laos, Vietnam dan di Semenanjung Coubourgh di Australia Utara (Scherf, 1995).

Ditinjau dari segi sistematika ternak, sapi bali digolongkan ke dalam famili bovidae, genus bos dan subgenus bovine. Sapi yang termasuk dalam subgenus tersebut adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994), sedangkan Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa sapi bali (Bos-bibos Banteng) yang spesies liarnya adalah banteng digolongkan ke dalam famili bovidae, genusbosdan subgenusbibos.

(17)

5

(perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Satu ciri yang lain dari sapi bali, yaitu pada sapi jantan yang dikebiri terjadi perubahan warna dari warna hitam kembali pada warna semula yakni merah bata yang diduga karena kurang tersedianya hormon testosteron sebagai hasil produk testes (Darmadja, 1980).

Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi bali murni, yaitu bentuk tanduk. Bentuk tanduk sapi jantan yang paling ideal disebut silak congklok, dimana jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit

keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit

keluar. Pada sapi betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa, dimana jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi yang mengarah ke belakang dan sedikit melengkung ke bawah serta pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam (Hardjosubroto, 1994).

Sapi bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan yang ditandai dengan meningkatnya laju pertambahan bobot badan. Rataan laju pertambahan bobot badan (PBB) sapi bali yang diberi rumput lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah 175,75 g/ekor/hari, namun PBB harian meningkat jika diberi pakan tambahan konsentrat 1,8% hingga mencapai 313,88 g/ekor/hari (Amril dkk., 1990). Soemarmi dkk., (1985) melaporkan laju pertambahan bobot badan sapi bali yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu serta diberi tambahan konsentrat 1% mencapai 690 dan 820 g/ekor/hari. Sapi bali yang diberikan tambahan 7,5 gr mineral, mampu membuktikan pertambahan bobot badan mencapai 0,8 kg/ekor/hari (Suwiti dkk., 2013).

Sapi bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi yang tinggi, mudah digemukan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis (Hardjosubroto, 1994). Dari karakteristik karkas, sapi bali digolongkan sapi pedaging ideal ditinjau dari bentuk badan yang kompak dan serasi, bahkan nilainya lebih unggul dibandingkan sapi pedaging Eropa seperti hereford, shortorn (Murtidjo, 1990). Persentase karkas sapi bali cukup tinggi yang

(18)

6

dikemukakan Moran (1979) berturut-turut sebesar 51,9 dan 52,5%. Hasil penelitian Arka (1984) menunjukkan bahwa kandungan lemak daging sapi Bali cukup rendah dan tanpa marbling, yang merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki daging sapi bali.

Selain itu pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi bali memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik. Sapi bali juga memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik (Masudana, 1990), seperti dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah (Sastradipradja, 1990), mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik (Oka dan Darmadja, 1996), dan tahan terhadap parasit internal dan eksternal

(National Research Council, 1983). 2.2 Coccidia

Coccidia merupakan protista dari sub-filum epithelioapicomplexa yang uniseluler, berbentuk oval, membentuk spora parasit pada hewan, yang penyakitnya disebut Coccidiosis. Tiga belas spesies eimeria pada sapi yaitu: E. alabamensis, E. auburnensis, E. bovis, E. brasiliensis, E. bukidnonensis, E.

canadensis, E. cylindrica, E. ellipsoidalis, E. illinoisensis, E. pellita, E.

supspherica, E. wyomingensis, E. zuernii. Spesies yang dianggap paling patogen

pada sapi adalah eimeria zuernii, sedangkan spesies eimeria bovis lebih sering ditemukan pada sapi (Fitriastuti dkk., 2011).

Coccidiosis terjadi pada hewan yang digembalakan di padang rumput terutama di musim kemarau ketika hewan mencari makan di sekitar daerah yang terkontaminasi air dan tanahnya (Behrendt, 2004). Ookista eimeria bersporulasi mulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung pada kelembaban, temperatur, spesies, dan faktor lingkungan lainnya. Ookista sangat tahan dan bisa bertahan di bawah kondisi yang menguntungkan pada suhu minus 40o C untuk waktu yang lama yang dapat bertahan sepanjang musim dingin (Fitriastuti dkk., 2011).

Coccidia mempunyai dua fase dalam siklus hidupnya yaitu fase endogen dan eksogen. Fase endogen terjadi di dalam tubuh induk semang sedangkan fase

(19)

7

endogen terdiri dari tahap aseksual (schizogony), dan tahap seksual (gametogony). Reproduksi aseksual (schizogony) terjadi beberapa kali dan menyerang lapisan usus, diikuti oleh fase seksual di mana merozoit terlepas dalam bentuk gamet (gametogony). Microgamet dan macrogamet melebur dan berkembang menjadi ookista yang akan keluar bersama feses. Di luar tubuh inang, ookista bersporulasi menjadi bentuk infektif ookista (Fitriastuti dkk., 2011).

Menurut Christensen (1984) dalam Gaafar, 1985, ookista dari eimeria zuernii berukuran lebar 12-15 µm, panjang 13-18 µm, berbentuk ovoid. Dinding ookista sangat halus, homogen, transparan, dan tidak berwarna sampai berwarna kuning muda. Setiap ookista dari jenis eimeria mempunyai 4 sporokista dimana

masing-masing sporokista berisi 2 sporozoit.Eimeria bovisberukuran lebar 17-23 µm, panjang 23-34 µm, berbentuk ovoid dan tidak simetris, berwarna coklat/kuning, mempunyai 2 dinding sel, tidak punya microphyl, oosit tidak polar, terdapat 2 gumpalan sporozoit, dan panjang x lebar sekitar 5-8 x 13-18 (Fitriastuti dkk., 2011).

Eimeria zuernii merupakan coccidia yang paling patogen pada sapi dan paling umum menyebabkan coccidiosis musim dingin. Coccidiosis yang disebabkan oleh eimeria zuernii menyerang saluran pencernaan khususnya usus halus, sekum, dan usus besar pada sapi. Coccidiosis pada sapi menyebabkan mortalitas yang nyata dan kerugian pada pedet yang berumur kurang dari satu tahun. Secara umum infeksi terjadi pada pedet yang berumur 3 minggu sampai 6 bulan (Levine, 1995). Kerugian yang harus diperhatikan adalah ternak sapi yang dilepas dan terkadang kejadian penyakit yang parah dapat terjadi pada ternak yang dikandangkan. Kejadian ini yang sering disebut dengan coccidiosis musim dingin dan kejadian tersebut dikarenakan alas kandang yang menyediakan kehangatan dan kelembaban yang cukup untuk sporulasi ookista walau dalam keadaan suhu dibawah nol (Foster, 1949dalamSoulsby, 1982).

Infeksi akut dari eimeria zuernii akan menyebakan diare berdarah pada anak sapi. Tinja akan terlihat bercak-bercak darah, kemudian diare menjadi lebih parah. Anemia, kelemahan, dan kekurusan mengikuti gejala disentri dan infeksi

(20)

8

selama 3-4 hari (Levine, 1995). Pada kasus kronis gejala yang ditimbulkan berupa diare yang tidak disertai adanya darah, ternak menjadi kurus, mengalami dehidrasi dengan telinga jatuh dan mata sedikit cekung (Todd dan Ernst, 1977).

Eimeria bovisadalahcoccidia yang cukup patogen pada ternak yang dapat menyebabkan enteritis hemoragik berat. Sporozoit yang dilepaskan dalam usus inang akan menyerang sel-sel endotel kapiler limfe bagian vili dari ileum, dimana mereka meniru, membentuk macroschizon multinuklear, yang berisi ratusan ribu merozoit generasi pertama. Generasi kedua schizonts dan gamonts kemudian berkembang dengan cepat pada sel epitel dari usus besar. Ketika ookista bersporulasi ke saluran pencernaan maka akan melepaskan 4 sporokista dan

karena tercerna oleh enzim pencernaan maka sporozoit aktif dan menyerang sel-sel usus (Fitriastuti dkk., 2011).

Diagnosis yang akurat pada kelompok ruminansia tertentu sangat penting. Diagnosis coccidiosis didasarkan pada sejarah hewan yang terkena (usia, manajemen, perkandangan), pengamatan tanda-tanda klinis (dehidrasi, lemah dan diare, terutama jika kotoran bercampur darah), dan pada pengujian laboratorium menemukan ookista dalam kotoran (Susilo dkk., 2014).

Coccidiosis merupakan masalah yang terjadi pada kelompok ternak sapi, sehingga harus dilakukan usaha untuk melakukan pencegahan dan pengendalian secara dini. Pencegahan coccidiosis pada sapi antara lain dengan menjaga sanitasi selalu baik. Alas kandang dan tanah dapat di desinfeksi dengan menggunakan sodium hypochlorid, kresol, fenol atau difumigasi dengan formaldehid (Soulsby, 1982). Pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan seperti dari kelompok sulfonamide. Senyawa lain yang dapat digunakan dalam pengobatan atau pengendalian diantaranya sulfaquinoxaline, amprolium, decoquinate, lasalocid dan monensin (Susilo dkk., 2014).

2.3 Strongyloides

Strongyloidiasis adalah infeksi parasit yang dapat menyerang ternak sapi, kuda, babi, dan anjing (Tanaka, 1966). Strongyloides papillosus merupakan spesies yang terdapat pada mukosa usus halus ruminansia dan kelinci (Schnieder,

(21)

9

dewasa dapat bersifat parasitik maupun bebas. Bentuk parasitik hanya ditemukan cacing betina yang bersifat partenogenetik dengan panjang 3,5 – 6,0 mm dan

berdiameter 50 – 65 mikron (Soulsby, 1982), dan menghasilkan telur berbentuk

elips, berdinding tipis dan berembrio berukuran 40-64 X 20-42 mikron. Betina juga mempunyai esophagus yang sangat panjang dan berbentuk hampir silindris, vulva pada bagian pertengahan tubuh posterior, ekor pendek berbentuk kerucut, uterus amfidelf (dengan cabang ke depan maupun ke belakang) (Viney dan Lok, 2007).

Bentuk bebas dapat ditemukan adanya cacing jantan dan betina. Mereka sangat kecil dan relatif kuat, dengan esophagus rabditiform. Ekor cacing jantan

pendek dan berbentuk kerucut. Cacing jantan hidup bebas panjangnya 700-825 mikron, dengan spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33 mikron dan gubernakulum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron. Cacing betina hidup bebas panjangnya 640-1200 mikron (Tanaka, 1966), dengan telur berkulit tipis, telah berembrio, 42-48 x 23-30 mikron. Masa prepatan 7-9 hari (Levine, 1994).

(22)

10

makan dan kemudian menyilih menjadi cacing jantan dan betina dewasa yang hidup bebas (Levine, 1994).

Infeksi dari strongyloides papillosus sering tidak menunjukkan gejala klinis (Lentze dkk., 1999). Namun demikian, infeksi secara perkutan yang diikuti dengan jumlah larva infektif yang tinggi dapat menyebabkan kematian mendadak

(Nakamura dkk., 1994). Gejala klinis sering terlihat pada hewan muda yang ditandai dengan gejala seperti anorexia, kelelahan, penurunan berat badan, anemia, kusam, diare dan dyspnea (Stephen dan Hutchinson, 2003). Menurut Campos dkk., (2009), ternak yang berumur diatas 12 bulan yang terinfeksi oleh strongyloides papillosus dapat menyebabkan diare, kehilangan nafsu makan, terhambatnya pertumbuhan dan kematian mendadak. Pada waktu cacing menetap di intestinum, akan terjadi penebalan yang luas dari dinding usus.

Infeksi strongyloides dapat didiagnosis dengan deteksi karakteristik telur dalam tinja (Soulsby, 1982). Sampel feses dapat diambil langsung dari rektum atau segera setelah buang air besar dan harus diperiksa dalam waktu 6 jam setelah dikumpulkan. Disamping pemeriksaan dengan metode sedimentasi dan pengapungan, pemeriksaan dengan metode Baermann harus digunakan, karena L1 larvastrongyloides dapat menetas dari telur dalam beberapa waktu setelah keluar

dari rektum ternak (Kvac dan Vitovec, 2007).

Untuk pengobatan diberikan ivermectine 0,2 mg/kg bb, thiabendazole

100-150 mg/kgbb selama 3 hari, dan obat benzimidazole, febanthel dan levamisol yang sangat efektif. Program pengobatan pada induk sebelum melahirkan merupakan langkah efektif untuk menekan terjadinya penularan dari induk ke anak (Viney dan Lok, 2007).

2.4 Mineral

2.4.1 Mineral Makro A. Kalsium (Ca)

(23)

11

kehilangan berat badan, penurunan nafsu makan, kelemahan, peningkatan hipersensitivitas dan bila defisiensi cukup berat maka akan terjadi perubahan pada tulang yang ditandai dengan penurunan mineralisasi, gangguan pertumbuhan, perubahan bentuk dan fraktur seperti yang terjadi pada rakhitis, osteomalasia dan osteoporosis (McDonald dkk., 2010).

B. Fosfor (P)

Fosfor (P) merupakan makromineral yang sangat esensial bagi tubuh baik pada manusia maupun ternak. Kurang lebih 85% P dalam tubuh berada dalam tulang dan selebihnya berada di jaringan lunak dan cairan tubuh. Mineral tersebut berperan penting dalam berbagai fungsi seperti permeabilitas sel, proses

enzimatik, penyusun dinding sel, sistem penyangga cairan tubuh, transmisi genetik, sumber energi tubuh dan regulasi metabolisme lemak, protein dan karbohidrat (McDonald dkk., 2010).

Defisiensi P sering terjadi pada hewan yang digembalakan karena rumput padang gembala umumnya memiliki kandungan P yang rendah dan adanya nutrien lain yang tertelan bersama P , seperti Al dan F, yang menyebabkan P sulit diabsorpsi (McDowell, 1992) atau pada hewan yang mengalami gangguan absorpsi seperti pada infestasi parasit gastrointestinal (Wilson dan Field, 1983).

C. Kalium (K)

Di dalam sel, mineral kalium berfungsi sebagai katalisator dalam reaksi biologik, terutama dalam proses metabolisme energi dan sintesis glikogen (Darmono dan Bahri, 1989). Kekurangan kalium jarang terjadi selama ternak diberikan hijauan yang cukup. Defisiensi kalium pada ruminansia tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik, tetapi ditandai dengan penurunan nafsu makan yang merupakan gejala awal dari defisiensi kalium (Besung, 2013).

D. Natrium (Na)

Natrium merupakan salah satu mineral yang penting dalam tubuh dan berperan dalam menjaga keseimbangan tubuh. Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraselular. Defisiensi natrium (Na), dapat menyebabkan gejala seperti, nafsu makan menurun, pertumbuhan menjadi lambat, efisiensi

(24)

12

ginjal, fertilitas menurun pada pejantan serta keterlambatan dewasa kelamin pada betina (Besung, 2013).

E. Magnesium (Mg)

Mineral magnesium sangat diperlukan tubuh hewan untuk proses metabolisme energi, penggunaan glukosa, sintesis protein, pemecahan asam lemak, kontraksi otot, dan menjaga keseimbangan ionik seluler. Selain itu magnesium berperan dalam mobilisasi kalsium, dengan reseptor pada tulang dan sel-sel ginjal. Defisiensi magnesium yang serius dapat menyebabkan tetani hypomagnesaemic yaitu rendahnya kandungan magnesium dalam darah (hypomagnesimia) (McDonald dkk., 2010).

2.4.2 Mineral Mikro A. Besi (Fe)

Besi merupakan mineral yang dibutuhkan dalam pembentukan haemoglobin, myoglobin, dan sel-sel lainnya. Unsur besi merupakan komponen utama dari hemoglobin (Hb), sehingga kekurangan besi dalam pakan akan mempengaruhi pembentukan Hb. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan terjadinya anemia. Kekurangan besi disebabkan karena terjadinya gangguan penyerapan besi dalam saluran pencernaan (Arifin, 2008).

B. Tembaga (Cu)

Tembaga (Cu) merupakan unsur mineral mikro yang keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit namun diperlukan dalam proses fisiologis. Tembaga memiliki fungsi dalam proses metabolisme energi dalam sel, sistem metabolisme tubuh, sistem transmisi infuls saraf, kardiovaskular, dan sistem kekebalan tubuh (Darmono, 2007). Kekurangan Cu dalam darah dapat menyebabkan anemia yang merupakan gejala umum, pertumbuhan tubuh hewan terhambat, terjadi gangguan dan kerusakan tulang, depigmentasi pada rambut dan bulu, pertumbuhan bulu abnormal, dan gangguan gastrointestinal (Davis dan Mertz, 1987).

C. Seng (Zn)

Seng (Zn) ditemukan hampir dalam seluruh jaringan hewan. Defisiensi seng pada anak sapi ditandai dengan peradangan pada hidung dan mulut,

(25)

13

penghancuran mikroba dan fagositosis, disamping itu dapat juga menghambat proses penyembuhan luka. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kejadian infestasi parasit cacing nematoda (Sandstead dkk., 1998). Jika cepat diobati dengan pemberian seng, ternak akan kembali normal dalam waktu 2−3 hari

(Darmono, 1995).

D. Iodin (I)

Iodin (I) diperlukan tubuh untuk membentuk tiroksin, yaitu suatu hormon dalam kelenjar tiroid. Pada hewan yang kekurangan iodin, produksi tiroksin pada kelenjar tiroid menurun, yang dicirikan oleh pembesaran kelenjar tiroidea yang disebut goiter endemis. Karena kelenjar tiroidea terdapat pada leher maka pada

hewan yang menderita defisiensi iodin akan terjadi pembengkakan pada leher (Arifin, 2008).

E. Kobalt (Co)

Kobalt (Co) merupakan unsur mineral esensial untuk pertumbuhan hewan, dan merupakan bagian dari molekul vitamin B12. Di dalam tubuh mineral Co paling banyak ditemukan dalan ginjal, kelenjar adrenal, limpa, pankreas dan pada tanaman kandungan Co bervariasi antara 1 dengan yang lainnya, namum pada umumnya leguminosa memiliki kandungan Co lebih tinggi dari pada rumput (Aminuddin, 1999). Defisiensi kobalt sehingga nafsu makan berkurang, bobot badan menurun, anemia, dan akhirnya mati (Stangl dkk., 2000).

F. Mangan (Mn)

Mangan adalah mikro mineral yang berfungsi membantu tubuh kita agar dapat memanfaatkan vitamin B1 (Thiamin) dan membuat vitamin E secara optimal untuk seluruh bagian tubuh. Defisiensi dari mangan adalah kelainan tulang dan penurunan nafsu makan (Arifin, 2008).

G. Molibdenum (Mo)

Molibdenum merupakan komponen esensial dari beberapa enzim. Mineral ini memiliki fungsi untuk membantu proses membuat dan mengaktifkan beberapa enzim yang telibat dalam perbaikan dan pembuatan materi genetik. Defisiensi dari molibdenum (Mo) hampir sama dengan tembaga (Cu) yaitu menganggu

(26)

14

2.5 Kerangka Konsep

Sapi bali mengkonsumsi pakan dalam bentuk hijauan yang terdiri atas berbagai jenis rumput dan daun-daunan. Mengingat ketersediaan pakan dalam bentuk hijauan miskin akan unsur mineral, maka terhadap ternak tersebut perlu ditambahkan mineral dalam pakannya. Mineral merupakan zat makanan esensial yang tidak dapat disintesa di dalam tubuh ternak sehingga mineral harus tersedia di dalam ransum atau suplemen yang diberikan. Mineral esensial makro antara lain Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Natrium (Na), Kalium (K), dan Fosfor (P) yang diperlukan oleh tubuh untuk menyusun struktur tubuh seperti tulang dan gigi dalam jumlah yang besar, dan mikro mineral antara lain Besi (Fe), Tembaga (Cu),

Seng (Zn), I (Iodin), Co ( Cobalt ), Mangan (Mn), Seleneum (Se), dan Molibdenum ( Mo ) berfungsi untuk aktivasi system enzim dan hormon dalam tubuh (Arifin, 2008 ; Darmono, 2007). Beberapa hal yang dapat berpengaruh terhadap kadar mineral pada sapi, yakni : jumlah mineral yang dikonsumsi, banyaknya mineral yang dapat di metabolisme tubuh dan ketersediaan mineral di lingkungan (Besung, 2013).

Kekurangan makro dan mikro mineral tersebut dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan penurunan sistem kekebalan tubuh pada sapi (Suwiti dkk., 2012). Penurunan sistem kekebalan tubuh pada sapi berpengaruh terhadap kejadian suatu penyakit. Dimana ternak yang mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh lebih rentan terhadap penyakit bila dibandingkan dengan ternak yang sistem kekebalan tubuhnya baik. Penurunan sistem kekebalan tubuh dari sapi akan memudahkan terjadinya infeksi penyakit parasit seperti coccidia dan strongyloides.

2.6 Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut :

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan mineral harus dalam bentuk mineral organik. Pemberian mineral organik dapat meningkatkan ketersediaan mineral dalam tubuh. Melihat kedua bahan tersebut dilakukanlah

Toksoplasmosis umumnya tidak menimbulkan gejala, namun penelitian terkini menunjukkan bahwa toksoplasmosis laten dapat menyebabkan perubahan perilaku pada hewan

Interaksi padang penggembalaan yang digunakan secara bersama-sama antara sapi Bali dengan ternak kambing atau ternak ruminansia liar lainnya memberikan peluang yang lebih

Jumlah unsur Manggan dalam tubuh sangat kecil, tetapi memepunyai beberapa fungsi esensial, terutama dalam proses nutrisi faali ternak, yaitu sebagai activator enzim fosfat

Manfaat pemberian formulasi pakan dapat meningkatkan bobot badan sapi bali (Adhani et al., 2012). Selain pakan yang bersumber dari tanaman, sapi bali juga memerlukan tambahan

Hasil penelitian pengaruh pemberian mineral terhadap jumlah bakteri coliform pada saluran pencernaan sapi bali di dataran tinggi didapat jumlah tertinggi pada kontrol (320 ±

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan penulis melaksanakan penelitian mengenai “Pengaruh Pemberian Mineral Terhadap Jumlah Bakteri Non Coliform dan Total Plate

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa komposisi botani didominansi oleh hijauan pohon sebagai sumber protein dan dengan jumlah pemberian pakan