• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Histologi dan Histomorfometri Granulosit Pada Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur Histologi dan Histomorfometri Granulosit Pada Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR HISTOLOGI DAN HISTOMORFOMETRI SEL GRANULOSIT SAPI BALI PASCA PEMBERIAN MINERAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Ni Luh Sri Sundari Rahayu NIM. 1109005009

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

STRUKTUR HISTOLOGI DAN HISTOMORFOMETRI SEL GRANULOSIT SAPI BALI PASCA PEMBERIAN MINERAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Ni Luh Sri Sundari Rahayu NIM. 1109005009

.

Menyetujui/Mengesahkan :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. drh Ni Ketut Suwiti, M.Kes drh. Putu Suastika, M.Kes

NIP. 19630716 198903 2 001 NIP. 19570818 198703 1 003

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh kami berpendapat bahwa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.

Ditetapkan di Denpasar, tanggal ...

Panitia Penguji :

Prof. Dr. drh Ni Ketut Suwiti, M.Kes Ketua

drh. Putu Suastika, M.Kes Dr. drh. Ni Luh Eka Setiasih, M.Si

Sekretaris Anggota

Prof. Dr. drh. Ida Bagus Komang Ardana, M.Kes Dr. Ir. I Putu Sampurna, MS

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur histologi dan histomorfometri sel granulosit sapi bali pasca pemberian mineral. Sampel yang digunakan darah sapi bali jantan berjumlah 24 ekor yang dibagi dalam tiga kelompok perlakuan yakni kontrol, bentuk tambahan mineral mix dan mineral cetak. Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis. Pembuatan apusan darah menggunakan metode slide dilakukan di tempat pengambilan sampel dilanjutkan dengan fiksasi dan pewarnaan Hematoxilin Eosin. Pengukuran sel granulosit dilakukan dengan mikroskop menggunakan pembesaran lensa obyektif 100x. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dari hasil pengukuran (histomorfometri) sel granulosit yakni sel neutrofil, eosinofil, dan basofil dianalisis dengan analisis varian, sedangkan gambaran histologi dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Hasil menunjukkan ukuran (histomorfometri) sel granulosit antara kontrol, pemberian mineral bentuk mix, dan cetak tidak berbeda (P>0,05) terhadap sel neutrofil, eosinofil, dan basofil sapi bali pasca pemberian mineral. Sedangkan struktur histologi dari sel granulosit sapi bali pasca pemberian mineral bentuk mix dan cetak menunjukkan beberapa variasi.

(6)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Struktur Histologi dan Histomorfometri Sel Granulosit Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Kemendiknas c.q Hibah Penelitian Kompetitif Nasional MP3EI Tahap III dan pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Bapak Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana beserta para Pembantu Dekan. 2. Ibu Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes dan bapak drh. Putu Suastika,

M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Dr. drh. Ni Luh Eka Setiasih, M.Si., bapak Prof. Dr. drh. Ida Bagus

Komang Ardana, M.Kes, dan bapak Dr. Ir. I Putu Sampurna, MS yang telah menguji dan memberikan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini.

4. Bapak drh. A.A. Gde Oka Dharmayudha, MP selaku Pembimbing Akademik yang telah dengan sabar memberikan motivasi, nasihat serta membimbing penulis selama menjadi mahasiswa.

5. Bapak/Ibu dosen beserta pegawai di lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

6. Peternak sapi bali di Desa Catur Kecamatan Kintamani, Bangli yang telah bersedia sapinya dijadikan sampel penelitian.

(7)

Komang Sugiartha, I Gde Agus Darmika Jaya. Terimakasih atas dukungan moral, materi dan doanya.

8. Keluarga ibu Agung Mirah, bapak Agung Jagra, Gung Pram, Gung Mitha, Gung Dibia. Terimakasih atas dukungan dan doanya.

9. Rekan angkatan seperjuangan : Gung Pram, Rama Glantiga, Clara Dewinda, Bulan Sasmita, Widya Nareswari, Yessa Alvionita, Elti Febilani, Zuraidatul Asna, Ferbian serta semua teman angkatan 2011 khususnya 2011A. Terimakasih atas saran dan bantuan yang telah diberikan.

10. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Ilmu Kedokteran Hewan.

Denpasar, Pebruari 2015

(8)

DAFTAR ISI

RIWAYAT HIDUP ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali ... 3

2.2 Mineral ... 5

2.2.1 Makro mineral ... 6

2.2.2 Mikro mineral ... 8

` 2.3 Struktur Histologi Sel Granulosit ... 11

2.3.1 Leukosit granulosit ... 12

2.4 Kerangka Konsep ... 14

2.5 Hipotesis ... 15

BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Materi Penelitian ... 16

3.1.1 Sampel ... 16

3.1.2 Bahan ... 16

3.1.3 Alat ... 16

3.2 Rancangan Penelitian ... 17

(9)

3.4 Metode Penelitian ... 17

3.4.1 Perlakuan sampel ... 17

3.4.2 Uji palatabilitas ... 18

3.4.3 Pengambilan sampel darah ... 18

3.4.4 Pembuatan sampel apusan darah ... 18

3.4.5 Pewarnaan HE ... 19

3.4.6 Pengukuran sel granulosit ... 19

3.5 Analisis Data ... 20

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 21

4.2 Pembahasan ... 25

4.2.1 Struktur histologi sel granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil) sapi bali ... 25

4.2.2 Histomorfometri sel granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil) sapi bali ... 28

4.3 Pengujian Hipotesis ... 29

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Rerata dan analisis sidik ragam ukuran sel neutrofil antar

kelompok perlakuan ... 24 4.2 Rerata dan analisis sidik ragam ukuran sel eosinofil antar

kelompok perlakuan ... 24 4.3 Rerata dan analisis sidik ragam ukuran sel basofil antar

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Gambar neutrofil ... 12 2.2 Gambar eosinofil... 13 2.3 Gambar basofil ... 14 4.1 Variasi struktur histologi sel neutrofil sapi bali kontrol,

bentuk mix, dan cetak ... 21 4.2 Variasi struktur histologi sel eosinofil sapi bali kontrol,

bentuk mix, dan cetak ... 22 4.3 Variasi struktur histologi sel basofil sapi bali kontrol,

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Analisis data ukuran sel neutrofil, eosinofil, dan basofil

sapi bali pasca pemberian mineral ... 35 2. Analisis deskriptif histomorfometri sel granulosit sapi bali

pasca pemberian mineral menggunakan SPSS 17 ... 38 3. Pengukuran histomorfometri sel neutrofil, eosinofil, dan basofil

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi bali merupakan plasma nutfah yang perlu dipertahankan keberadaannya

dan dilestarikan sebab memiliki beberapa keunggulan spesifik ; diantaranya

memiliki sifat reproduksi dan kualitas karkas sangat baik, tahan pada kondisi

lingkungan tropis dan pakan yang buruk, serta mempunyai fertilitas yang tinggi

(Supriyantono et al., 2008). Sapi bali (Bos sondaicus) adalah salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia. Sapi bali tidak hanya terdapat di Bali melainkan

sudah banyak tersebar di beberapa daerah di Indonesia yakni NTB, NTT,

Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa Timur.

Bagi masyarakat peternak sapi bali di Provinsi Bali, sapi bali merupakan

hewan ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat petani Bali

dan memiliki empat fungsi penting bagi masyarakat petani di Bali, yaitu : sebagai

tenaga kerja pertanian, sebagai sumber pendapatan, sebagai sarana upacara

keagamaan, sebagai hiburan, dan objek pariwisata (Batan, 2006). Sapi bali

banyak dipelihara oleh masyarakat sebagai tabungan bukan sebagai bisnis yang

menjanjikan, sehingga peternak sapi bali terkadang tidak memperhatikan

kebutuhan pakan sapi tersebut dan hanya memberikan pakan hijauan yang didapat

dari lingkungan sekitarnya tanpa ada pakan tambahan.

Pemberian hijauan saja tidak akan mencukupi kebutuhan nutrisi mineral,

karena tidak semua unsur mineral yang dibutuhkan sapi bali terdapat pada pakan

yang tumbuh di suatu lahan. Dalam hal ini ketersediaan mineral dipengaruhi oleh

lahan atau tanah. Mineral dalam darah berperan untuk proses fisiologis tubuh,

proses enzimatis dan hormon, perbaikan sel, sebagai katalis dan regulator,

reproduksi serta untuk kekebalan tubuh yang diperankan oleh sel darah putih

(McDonald, 2010).

Sapi bali di Bali mengalami penyakit defisiensi mineral makro (P, K dan Cl)

serta defisiensi mineral mikro (Zn, Mn, Se dan Cu) (Suwiti et al., 2012). Mikro

(14)

dalam pembentukan sel darah merah, terutama dalam pembentukan hemoglobin.

Sedangkan Zn, Mn, Se dan Cu sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk sistem

kekebalan tubuh, baik secara humoral ataupun seluler (Arthington, 2006; Ahola et

al., 2010). Kebutuhan mineral sangatlah penting dalam sistem pertahanan, terutama proses hematopoiesis. Mineral dapat diberikan dalam berbagai bentuk,

seperti mencampurnya dalam pakan. Bentuk pemberian mineral dapat diberikan

berupa : bentuk mix dan cetak.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah pemberian mineral dalam bentuk mix dan cetak dalam pakan

dapat berpengaruh terhadap struktur histologi sel granulosit sapi bali?

2. Apakah pemberian mineral dalam bentuk mix dan cetak dalam pakan

dapat berpengaruh terhadap histomorfometri sel granulosit sapi bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian

mineral dalam bentuk mix dan cetak terhadap struktur histologi dan

histomorfometri sel granulosit sapi bali.

1.4 Manfaat Penelitian

(15)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Sapi bali adalah salah satu sapi unggul Indonesia, diketahui bahwa sapi bali

memiliki kemampuan untuk beradaptasi tinggi terhadap lingkungan setempat

yakni dapat beradaptasi dengan kondisi daerah yang tropis dan panas, ataupun

basah dan tahan terhadap beberapa jenis ektoparasit. Sapi bali merupakan sapi

asli Indonesia yang merupakan domestikasi dari banteng liar (Bibos banteng).

Sapi bali (Bos sondaicus) telah mengalami domestikasi sebelum 3.500 SM di wilayah pulau Jawa, Bali, dan Lombok (Bandini, 2004). Sapi bali mempunyai

beberapa sinonim diantaranya; Bos javanicus, Bos banteng, dan Bos sondaicus (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Banteng merupakan nenek moyang sapi bali

yang hidup bebas saat ini yang hanya dapat ditemukan di hutan lindung Baluran,

Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).

Keunikan fisik sapi bali yakni memiliki ukuran tubuh yang sedang, dadanya

dalam, tidak berpunuk, kaki yang ramping, memiliki cermin hidung, kuku, rambut

ujung ekor berwarna hitam, kaki dibawah persendian karpal dan tarsal berwarna

putih, kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantat dan pada paha

bagian dalam warna putih tersebut tampak berbentuk oval, serta pada daerah

punggung selalu ditemukan rambut hitam yang membentuk garis (garis belut)

yang memanjang dari gumbah hingga pangkal ekor (Batan, 2006). Sapi betina

berwarna merah bata dan sapi jantan berwarna hitam ketika dewasa. Keunikan

lain dari sapi bali yakni perubahan warna yang terjadi pada sapi jantan yang

dikebiri dari warna hitam kembali pada warna semula yakni coklat muda

keemasan (Darmadja, 1980). Selain keunikan-keunikan di atas sapi bali juga

memiliki keunikan seperti bentuk tanduk pada sapi jantan yang paling ideal

disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalan tumbuhnya tanduk mula-mula dari dasar yang sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya

agak membengkok keluar. Sedangkan bentuk tanduk pada sapi betina yang ideal

disebut manggul gangsa dimana jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan

dahi ke arah belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya agak

mengarah ke bawah dan ke dalam (Hardjosubroto, 1994). Sapi bali tidak hanya

(16)

2

bali juga memiliki beberapa kelemahan seperti pertumbuhannya yang lambat,

rentan terhadap penyakit Jembrana (JD), ingusan atau Malignant Catarrhal Fever

(MCF), dan Bali Ziekta (Pane, 1990).

Williamson and Payne (1993) mengklasifikasikan taksonomi sapi bali

sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Sub phylum :Vertebrata

Class : Mamalia

Ordo : Artiodactyla

Sub ordo : Ruminantia

Family : Bovidae

Genus : Bos

Spesies : Bos Sondaicus

Sapi bali di Bali memiliki beberapa fungsi yakni sebagai tenaga kerja

pertanian, sumber pendapatan, sarana upacara keagamaan dan sebagai sarana

hiburan atau obyek pariwisata (Batan, 2006). Sistem pemeliharaan sapi bali di

Bali masih sangat tradisional hal ini disebabkan masyarakat menganggap

pekerjaan beternak sapi hanya sebagai pekerjaan sampingan saja. Sehingga hal

tersebut dapat berpengaruh terhadap pemberian pakan yang cenderung seadanya

saja. Padahal pemberian konsentrat (pakan tambahan) sangat penting untuk sapi

bali baik untuk peningkatan bobot badan dan sistem kekebalan tubuh.

Pakan sapi bali di Bali umumnya terdiri dari pakan hijauan, konsentrat

(penguat) dan pakan tambahan, karena pemberian pakan tambahan ataupun

konsentrat pada sapi bali mampu meningkatkan kualitas dari sapi tersebut baik

dari bobot badan ataupun dari segi kualitas daging yang dihasilkan.

Selain kebutuhan pakan hijauan dan pakan campuran konsentrat, sapi bali

juga membutuhkan pakan tambahan seperti halnya kebutuhan akan mineral yang

terkandung di dalam pakan sapi bali. Sistem pemberian pakan yang tradisional

bahkan terkesan seadanya menyebabkan sapi bali akan mengalami kekurangan

mineral. Pemberian mineral pada sapi terbukti efektif dapat meningkatkan bobot

(17)

3

2.2 Mineral

Mineral merupakan senyawa alami yang terbentuk melalui proses geologis,

dan mineral adalah unsur anorganik yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses

metabolisme selain karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Mineral yang

terdapat dalam tubuh hewan atau tumbuhan tidak lebih dari 50 mg/kg dalam

bentuk kompartemen (McDonald et al., 2010).

Mineral memiliki fungsi yang penting bagi tubuh makhluk hidup. Pada

ruminansia mineral berfungsi sebagai katalitik dalam sel, baik makro maupun

mikro mineral. Mineral seperti halnya Fe, Cu, Zn, Mn, Mo dan Se terikat pada

protein suatu enzim dan memiliki fungsi tertentu pada enzim tersebut. Selain itu

beberapa mineral dapat berbentuk chelate, yaitu senyawa yang dibentuk oleh unsur organik dan ion logam. Ada beberapa jenis contoh chelate yakni hemoglobin dan vitamin B12 (McDonald et al., 2010). Unsur besi (Fe) memiliki

peranan sebagai pembentuk hemoglobin dan mioglobulin, sedangkan tembaga

(Cu) sangat penting dalam proses metabolisme energi dalam sel dan sangat

berperan pada sistem saraf, kardiovaskuler serta imun (Darmono, 2007). Sistem

kekebalan tubuh memerlukan mineral untuk menjalankan fungsinya, baik

imunitas spesifik maupun nonspesifik. Mineral yang berfungsi dalam sistem

imun adalah Cu, Se dan Zn (Arthington, 2006; Ahola et al., 2010).

Defisiensi mineral merupakan suatu keadaan dimana ternak mengalami

kekurangan asupan mineral sehingga dapat menyebabkan berbagai gangguan

kesehatan baik yang dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas. Defisiensi

mineral merupakan hal yang harus dihindari agar tidak menyebabkan penyakit

(Suwiti et al., 2012). Penyakit yang disebabkan karena defisiensi mineral dapat menyebabkan penurunan bobot badan, kekurusan, penurunan daya tahan tubuh,

daya produksi dan reproduksi (Darmono, 2007). Beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya defisiensi mineral pada ternak, yakni : (1) kondisi tanah

dan jenis tanaman, pada tanah yang berpasir sangat miskin unsur mineral, kondisi

tanah yang tidak dipupuk, dan kondisi tanah yang ditanami terus-menerus akan

mempengaruhi kandungan mineral pada tanaman yang tumbuh di tanah tersebut.

(2) tingkat keasaman (pH) tanah, pada tanah alkalis yaitu dengan pH 8 akan

(18)

4

Beberapa penyakit dapat terjadi akibat dari defisiensi mineral pada ternak, seperti

: rapuh tulang, kelumpuhan, dan grass tetani (Ahmed, 2002).

Berdasarkan kebutuhan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, mineral dapat

dibagi menjadi dua bagian yaitu mineral esensial dan nonesensial. Mineral

esensial merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan kerja

enzim dan perbaikan organ. Mineral esensial dapat dibagi menjadi dua bagian

berdasarkan atas jumlah mineral yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu mineral makro

dan mineral mikro. Makro mineral merupakan mineral yang dibutuhkan oleh

tubuh dalam jumlah yang besar dan merupakan unsur yang sangat penting yang

dibutuhkan untuk proses fisiologis. Kalsium (Ca), fosfor (P), natrium (Na),

kalium (K), klorin (Cl), sulfur (S), dan magnesium (Mg) merupakan unsur mineral

makro yang sangat dibutuhkan untuk menyusun struktur tubuh seperti tulang dan

gigi, sebagai penyusun organik, seperti lipid dan protein yang ditemukan dalam

jaringan sel, otot, dan organ tubuh. Sedangkan mikro mineral di dalam tubuh

dijumpai dalam jumlah yang sedikit, karena diperlukan dalam jumlah yang sedikit

pula, yang berfungsi untuk membantu kerja enzim tertentu, mencegah kerusakan

oksidatif pada sel, berfungsi sebagai katalis dan regulator, serta berperan dalam

reproduksi dan kekebalan tubuh. Unsur mikro mineral yaitu : besi (Fe), seng

(Zn), tembaga (Cu), molibdenum (Mo), selenium (Se), iodin (I), mangan (Mn)

dan kobalt (Co) (McDonald et al., 2010; Darmono, 2007).

2.2.1 Makro mineral

Unsur makro mineral memiliki berbagai fungsi fisiologis dan apabila

terjadi kekurangan unsur tersebut akan dapat mengakibatkan suatu penyakit.

Unsur makro mineral adalah Ca (kalsium), P (fosfor), Na (natrium), K (kalium),

Cl (klorin), S (sulfur) dan Mg (magnesium). Fungsi dari mineral natrium (Na),

kalium (K) dan klorin (Cl) yakni sebagai pemelihara keseimbangan asam dan

basa, permeabilitas membran sel dan sebagai kontrol osmotik air. Unsur mineral

yang berfungsi sebagai unsur pembentuk struktur tubuh yakni unsur mineral

kalsium dan fosfor. Unsur sulfur memilki peranan dalam sintesis struktur protein.

Sedangkan magnesium memiliki fungsi sebagai katalis dan elektrokimia.

Kalsium (Ca) merupakan unsur mineral yang melimpah dalam tubuh

ternak, dimana unsur ini banyak ditemukan pada tulang dan gigi. Hal ini karena

(19)

5

tulang terdiri dari 360 g/kg kalsium, 170 g/kg fosfor dan 10 g/kg magnesium.

Sumber kalsium dapat diperoleh secara alami yaitu dapat diperoleh dari susu,

tanaman berdaun hijau, kacang-kacangan dan leguminosa (McDonald et al., 2010). Defisiensi kalsium dapat menyebabkan penyakit milk fever pada sapi yang

baru saja melahirkan (Arifin, 2008). Penyakit lain yang dapat terjadi akibat dari

defisiensi kalsium yaitu penyakit rachitis yang terjadi akibat fetus tidak

memperoleh kalsium yang tercukupi dari induknya. Sedangkan pada sapi usia tua

dapat terserang penyakit osteomalacia akibat defisiensi kalsium. Ada beberapa

gejala defisiensi kalsium yang dapat dilihat yaitu berupa kecacatan tulang,

kepincangan, pembesaran sendi, kelumpuhan dan kerapuhan pada tulang.

Fosfor (P) terdapat pada setiap sel yang berperan dalam proses metabolisme

dan sebagai buffer cairan tubuh, sedangkan fungsi dari fosfor (P) adalah sebagai

komponen tulang, gigi, adenosine triphosphate (ATP) dan asam nukleat. Sebanyak 80-85% fosfor di dalam tubuh terdapat pada tulang. Penyerapan fosfor

di dalam tubuh dibantu oleh adanya peranan dari vitamin D (Soetan et al., 2010).

Pada ternak ruminansia fosfor digunakan sebagai komponen yang terdapat di

dalam air liur yang digunakan untuk membantu proses regurgitasi. Defisiensi

fosfor dapat menyebabkan penyakit rachitis dan osteomalacia merupakan penyakit

yang sama yang terjadi pada defisiensi kalsium. Pada sistem reproduksi,

defisiensi fosfor dapat menyebabkan fertilitas yang buruk, ketidakteraturan estrus,

ovarium mengalami penyumbatan dan penurunan produksi susu bagi ternak yang

sedang menyusui.

Kalium (K) merupakan mineral yang berperan dalam pengatur osmotik

cairan dalam tubuh dan keseimbangan asam basa. Kalium memiliki peranan yang

penting pada saraf, otot, terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan kofaktor

pada sintesis protein. Kalium jarang menimbulkan penyakit walaupun kandungan

kalium yang diberikan tidak banyak. Hal ini terjadi karena kalium banyak

terdapat pada rumput hijau yang banyak mengandung mineral. Apabila terjadi

defisiensi dari kalium gejala yang dapat dilihat pada sapi biasanya berupa

kelumpuhan yang parah (McDonald et al., 2010 ; Soetan et al., 2010).

Natrium (Na) banyak terdapat pada jaringan lunak dan cairan tubuh.

Natrium memiliki fungsi yang sama dengan kalium yaitu berperan sebagai

(20)

6

berfungsi sebagai kation plasma darah, berperan pada transmisi impuls saraf dan

berperan dalam penyerapan asam amino (McDonald et al., 2010 ; Soetan et al., 2010). Kekurangan natrium gejala yang ditimbulkan dapat berupa penurunan

tekanan osmotik sehingga terjadi dehidrasi dan menurunnya daya cerna asam

amino yang menyebabkan pertumbuhan sapi menjadi buruk dan terganggu.

Klorin (Cl) adalah anion utama dalam cairan ekstraseluler. Klorin memiliki

peranan dalam regulasi osmotik, keseimbangan cairan dan berperan dalam

keseimbangan asam basa. Selain fungsi tersebut klorin (Cl) juga memiliki fungsi

penting lainnya yaitu berfungsi di dalam sekresi lambung. Kelebihan kandungan

klorin di dalam tubuh akan dikeluarkan melalui urin dan keringat. Gejala yang

terjadi akibat adanya defisiensi klorin adalah alkalosis (peningkatan alkali darah)

karena kekurangan klorin akan dikompensasi dengan bikarbonat sehingga suasana

dalam darah menjadi alkali (McDonald et al., 2010). Gejala-gejala lain yang timbul akibat dari defisiensi klorin (Cl) yaitu muntah, deuritik, dan penyakit ginjal

(Soetan et al., 2010).

Sulfur (S) dalam tubuh sebagian besar merupakan bagian dari asam amino

seperti cystine, cysteine dan methionine. Kondroitin sulfur berfungsi sebagai pembentukan tulang rawan, tulang, tendon dan dinding pembuluh darah.

Defisiensi sulfur dapat mengakibatkan kekurangan protein. Dalam air liur juga

mengandung sulfur berupa senyawa cyanate (SCN) (Soetan et al., 2010).

Magnesium (Mg) banyak ditemukan di dalam tubuh dan merupakan

komponen tulang dan gigi. Magnesium berkaitan erat dengan kalsium dan fosfor

karena memiliki fungsi yang sama sebagai komponen pembentuk tulang. Selain

itu magnesium juga memiliki fungsi sebagai aktivator enzim misalnya enzim

fosfat transferase, piruvat karboksilase dan piruvat oksidase. Defisiensi

magnesium dapat menyebabkan penyakit grass tetani yang ditandai dengan adanya penurunan magnesium yang sangat cepat. Hilangnya kadar magnesium

dari dalam tubuh dapat disebabkan karena muntah yang berlebihan dan diare

(McDonald et al., 2010; Soetan et al., 2010)

2.2.2 Mikro mineral

Mikro mineral merupakan unsur mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dalam

jumlah yang sedikit. Unsur mikro mineral hanya dibutuhkan sedikit di dalam

(21)

7

diberikan dalam jumlah yang berlebih maka akan dapat mengakibatkan

keracunan. Mineral sangat penting untuk berbagai fungsi tubuh, dan sebagian

besar mineral dapat diperoleh pada pakan hijauan sapi bali, namun beberapa

mineral kandungannya rendah dalam tanah hal ini disebabkan karena faktor

geologis dan jenis tanahnya. Makanan yang mengandung Zn, Mn dan Cu mampu

meningkatkan kinerja sapi perah melalui peningkatan kesuburan dan kejadian

penyakit. Peningkatan ini terjadi karena tercukupinya kebutuhan untuk

metabolismenya (Gentile, 2008).

Penyimpanan zat besi di dalam tubuh disimpan di dalam hati, limpa dan

sumsum tulang. Anemia, kelemahan, nafsu makan menurun dan diare adalah

penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh defisiensi zat besi (Arifin, 2008) ;

McDonald et al., 2010). Anemia yang terjadi akibat adanya defisiensi zat besi tidak umum terjadi pada sapi. Kebanyakan anemia ini terjadi pada anak babi.

Pencegahan dapat dilakukan dengan penyuntikan Fe dari luar (Darmono, 2007).

Tembaga (Cu) diperlukan dalam sintesis zat besi untuk membantu

pembentukan hemoglobin. Defisiensi tembaga dapat menyebabkan gejala

penyakit seperti anemia, pertumbuhan yang buruk, gangguan tulang, infertilitas,

depigmentasi rambut, gangguan pencernaan, lesi pada otak dan pada spinal cord

(McDonald et al., 2010). Selenium bermanfaat bagi ternak dan terbukti dapat mencegah terjadinya nekrosis hati dan distrofi otot pada babi. Selenium berkaitan

erat dengan vitamin E yang berfungsi untuk melindungi membran dari proses

degenerasi. Defisiensi selenium pada ruminansia dapat menyebabkan penyakit

otot putih yang merupakan degenerasi otot lurik. Gejala dari penyakit yang

ditimbulkan akibat defisiensi selenium yakni kelemahan, kekakuan dan kerusakan

otot yang mengakibatkan hewan sulit berdiri. Dalam sistem reproduksi,

kekurangan selenium dapat menyebabkan retensi plasenta (Peterson and Engle,

2005). Fungsi neutrofil akan meningkat karena tercukupinya kebutuhan selenium

dan vitamin E di dalam tubuh (Arthington, 2006). Selain fungsi-fungsi di atas

selenium juga berperan dalam pembentukan antibodi, proliferasi limfosit B dan T

dalam respon terhadap mitogen dan penghancuran sel oleh sel limfosit dan sel

natural killer.

Seng (Zn) merupakan mineral yang berfungsi dalam sintesis hormon insulin

(22)

8

serta metabolisme vitamin A. Defisiensi Zn terjadi karena tanah yang alkalis

dengan pH 8. Zn juga berperan pada sistem kekebalan tubuh sebagai mediator

potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Peran utama Zn dalam sel ialah pada

proses replikasi sel, ekspresi gen, metabolisme asam nukleat dan asam amino

(Soetan et al., 2010). Efek defisiensi terhadap sistem imun dapat mengurangi respon imun dan ketahanan terhadap penyakit (Gentile, 2008). Dampak negatif

kekurangan Zn pada ruminansia dapat menyebabkan gejala seperti : penurunan

proliferasi limfosit dan neutrofil, atrofi jaringan limfoid misalnya timus dan

penurunan kemampuan fagositosis. Gejala yang ditimbulkan oleh defisiensi Zn

yang terjadi pada ruminansia berupa pertumbuhan abnormal, nafsu makan

tertekan, konversi makanan buruk, parakeratosis dan pada sapi perah banyak

ditemukan sel somatik pada sekresi susunya.

Mangan (Mn) berfungsi dalam sistem enzim, sebagai kofaktor dari enzim

hidrolase, dekarboksilase, phosphohydrolase, phosphotransferase dan transferase

(Soetan et al., 2010). Organ yang memiliki kandungan mangan yang banyak ialah tulang, hati, ginjal, pankreas dan glandula pitutuary. Defisiensi mangan

yang terjadi pada ruminansia dapat menyebabkan kelainan bentuk tulang,

pertumbuhan terhambat, ataksia pada anak baru lahir dan kegagalan reproduksi.

Gangguan pada sistem reproduksi dapat menyebabkan gangguan berupa

penekanan estrus, penurunan conception rates, peningkatan kejadian aborsi dan berat lahir yang rendah (Gentile, 2008).

Pembentukan hormon tiroksin pada kelenjar tiroid diperankan oleh mineral

iodine (I). Penyerapan iodin dilakukan di usus halus kemudian diedarkan ke

kelenjar tiroid, hanya sebagian kecil saja yang berada di darah (Arifin, 2008).

Penyakit defisiensi iodin dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar tiroid

(gondok) dan gangguan sistem reproduksi (McDonald et al, 2010). Anak yang dilahirkan dengan kekurangan iodin akan lemah, perkembangan otak terganggu

dan dapat menyebabkan kematian di usia muda. Selain itu siklus estrus akan

terganggu dan menyebabkan penurunan kesuburan pejantan.

Kobalt (Co) berfungsi sebagai bagian dari vitamin B12. Ruminansia akan

mengkonversi kobalt yang diperankan oleh bakteri di dalam rumen yang menjadi

vitamin B12. Vitamin yang dihasilkan kemudian akan diedarkan ke seluruh

(23)

9

sintesis DNA, serta mengatur pembelahan sel dan pertumbuhan di perankan oleh

vitamin B12. Defisiensi kobalt pada ruminansia memiliki gejala seperti :

anoreksia, gangguan otot, hati berlemak, haemosiderosis limpa dan anemia

(Soetan et al., 2010).

Molybdenum (Mo) merupakan komponen dari beberapa metaloenzim seperti xantin oksidase, aldehida oksidase, nitrat reduktase dan hydrogenase.

Ensim ini berperan dalam pengikatan mineral besi (Fe) yang berfungsi untuk

metabolisme sel dalam transport elektron. Pada sapi dan domba, asupan Mo yang

tinggi dapat menghambat penyerapan mineral tembaga (Cu). Namun defisiensi

Mo pada hewan dapat menyebabkan gout dan merupakan predisposisi terjadinya

batu ginjal xanthine (Soetan et al., 2010).

2.3 Struktur Histologi Sel Granulosit

Darah merupakan cairan yang di dalamnya tersuspensi benda darah antara

lain eritrosit, leukosit, trombosit, protein-protein, vitamin-vitamin,

hormone-hormone, dan mineral (Frandson, 1980). Sel-sel darah dapat dibagi menjadi

eritrosit, leukosit, dan trombosit (Subroto, 1980). Sel darah putih (leukosit)

berasal dari bahasa Yunani dari kata leuco yang berarti putih dan cyte yang berarti

sel. Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih.

Leukosit memiliki bentuk khas pada keadaan tertentu, inti, sitoplasma, dan

organelnya mampu bergerak keluar dari pembuluh darah untuk menjalankan

fungsinya. Leukosit bening, bentuknya lebih besar dari sel darah merah tetapi

jumlahnya lebih sedikit (Pearce, 1979). Pembuluh darah merupakan tempat

transportasi bagi leukosit. Jumlah leukosit pada setiap spesies bervariasi dan

dipengaruhi oleh keadaan tubuh individu tersebut (Gartner and Hiatt, 2014;

Dharmawan, 2002).

Jumlah leukosit normal pada sapi berkisar 8000/µL. Neutrofil dan limfosit

merupakan leukosit dominan yang terdapat pada hewan dalam keadaan normal.

Sedangkan jumlah monosit, eosinofil dan basofil yang rendah merupakan hal

normal pada mamalia.

Pengukuran histomorfometri telah dilakukan pada tikus baik untuk mengukur

sel epididimis, testis, dan sebagai penanganan pada fraktur. Pada sel darah putih

(24)

10

berdiameter 10-15 µm dan basofil memiliki ukuran yang hampir sama dengan

neutrofil yaitu dengan diameter 10-12 µm (Dharmawan, 2002).

Berdasarkan intinya sel darah putih diklasifikasikan menjadi inti bersegmen

(polimorfonuklear) dan tidak bersegmen (mononuklear). Sedangkan dilihat dari

sitoplasmanya, leukosit diklasifikasikan menjadi granulosit (neutrofil, eosinofil

dan basofil) dan agranulosit (limfosit dan monosit) (Harvey, 2012).

2.3.1 Leukosit granulosit

Granulosit adalah sel darah putih yang mengandung granula di dalam

sitoplasmanya yakni neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit juga digolongkan

menjadi tiga tipe sel berdasarkan sifatnya terhadap zat warna tertentu. Basofil

granulnya bersifat basofil (ungu), eosinofil granulnya bersifat asidofil, sedangkan

neutrofil granulnya tidak bersifat asidofil ataupun basofil.

Gambar 2.1. Neutrofil (Harvey, 2012)

Neutrofi merupakan sel darah putih yang terdapat paling banyak dalam

kebanyakan hewan. Neutrofil dalam peredaran darah memiliki waktu hanya 5-10

jam dan pada jaringan hanya beberapa hari kemudian akan diapoptosis oleh

makrofag dalam limpa dan hati (Harvey, 2012). Neutrofil memiliki granul halus

dalam sitoplasma dan intinya bergelambir. Inti kromatinya terlihat pekat dan

bergerombol. Inti neutrofil tidak berbentuk bulat melainkan berlobus yang

berjumlah 2-5 lobus bahkan dapat lebih. Pada ruminansia neutrofil memiliki

benang kromatin antar gelambir. Neutrofil tua memiliki gelambir lebih banyak

dan lebih jelas dari pada neutrofil muda. Bentuk dari neutrofil muda (band cell)

berbentuk seperti huruf U, V atau S (Dharmawan, 2002).

Permukaan sel neutrofil memiliki pseudopodia kecil yang hanya dapat

(25)

11

luas permukaan neutrofil dalam rangka proses fagositosis (Weiss and Wardrop,

2010). Terdapat tiga jenis granul (butir) yang dimiliki oleh neutrofil serta

memiliki fungsi tertentu, yaitu granul spesifik, granul azurofilik dan granul tersier

(Gartner and Hiatt, 2014), Weiss and Wardrop, 2010). Granul spesifik

mengandung agen fagositosis. Granul azurofilik merupakan lisosom. Granul

tersier mengandung glikoprotein yang dimasukkan ke membran sel.

Gambar 2.2. Eosinofil (Harvey, 2012)

Eosinofil merupakan sel darah besar yang mengandung granula dalam

sitoplasmanya, serta dapat dicat dalam pewarnaan yang bersifat asam dan intinya

bergelambir dua polymorph dikelilingi oleh granul asidofil yang cukup besar

berukuran 0,5-1,0 µm. Eosinofil dapat hidup hanya 3 sampai 5 hari (Dharmawan,

2002). Ukuran bentuk dan jumlah granul eosinofil berbeda tiap spesiesnya. Pada

sapi dan babi eosinofil ukurannya sangat kecil. Inti eosinofil mirip dengan inti

neutrofil namun hanya memiliki dua lobus. Lobus tersebut biasanya tertutup oleh

granul (Harvey, 2012). Ada tiga jenis granul yang dimiliki oleh eosinofil yaitu

granul spesifik, granul primer dan granul padat kecil (dense). Granul spesifik

mengandung protein sitotoksik kuat yang merupakan granul mayoritas. Granul

(26)

12

Gambar 2.3. Basofil (Harvey, 2012)

Basofil merupakan sel darah putih yang jumlahnya paling sedikit di dalam

darah hanya berkisar 0,5-1,5%. Inti basofil terdiri atas dua gelambir dengan

bentuk tidak beraturan. Granul yang terdapat pada sitoplasma dapat di cat dengan

pewarnaan yang bersifat alkalis sehingga akan berwarna biru tua atau ungu agak

cerah dan menutupi inti. Granul pada basofil bersifat asam sehingga memiliki

ketertarikan terhadap warna biru pada pewarnaan darah rutin. Terkadang inti dari

basofil bersegmen-segmen atau bahkan tidak teratur. Inti satu, besar berbentuk

irregular umumnya seperti huruf S, sitoplasma basofil berisi granul yang lebih

besar, yang seringkali menutupi inti, sehingga tidak mudah untuk mengamati

intinya. Granul pada basofil tidak sebanyak granul yang terdapat pada eosinofil,

namun ukurannya bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau

coklat (Dharmawan, 2002).

2.4 Kerangka Konsep

Produktivitas ternak, terutama untuk pertumbuhan dan kemampuan

produksinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan 30% lainnya

dipengaruhi oleh faktor genetik. Diantara faktor lingkungan tersebut, faktor

pakan, kandungan nutriennya, dan teknologi memformulasi ransum berpengaruh

paling besar, yakni 60%. Besarnya pengaruh faktor lingkungan, terutama faktor

nutrisi menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi. Namun,

produksi yang tinggi tidak akan mampu dicapai tanpa pemberian ransum yang

memenuhi persyaratan, terutama mampu memenuhi kebutuhan ternak akan

nutrient.

Manfaat pemberian konsentrat pada sapi bali berpengaruh terhadap respon

(27)

13

pakannya dalam waktu yang lama akan mengakibatkan terjadinya peningkatan

respon kekebalan seluler.

Demikian juga dengan mineral dalam tubuh hewan khususnya sapi bali

sangatlah diperlukan, karena keberadaan mineral pada sapi bali sangat

berpengaruh terhadap respon imun. Kurangnya kadar mineral pada darah sapi

bali dapat menyebabkan gangguan seperti penurunan produksi sel leukosit,

penurunan fungsi sel, penurunan sekresi sel leukosit (seperti antibodi dan sitokin).

Dua faktor yang dapat berpengaruh terhadap keberadaan leukosit darah yaitu

: faktor internal dan eksternal. Faktor internal yakni umur hewan, bangsa, spesies,

kebuntingan, estrus dan digesti, sedangkan faktor eksternal meliputi infeksi,

pendarahan, keracunan, tumor, leukemia, trauma, agen fisik, agen kimiawi,

gangguan hemopoietik, shock anafilaksis, stress, gangguan sumsum tulang

(degenerasi, depresi, deplesi dan detruksi) dan kaheksia karena defisiensi nutrisi.

Sehingga penurunan fungsi sel dapat menyebabkan perubahan bentuk (histologi)

atau perubahan ukuran (histomorfometri) sel-sel leukosit tersebut.

Kebutuhan mineral sangatlah penting dalam sistem pertahanan, terutama

proses hematopoiesis. Mineral dapat diberikan dalam berbagai bentuk, seperti

mencampurnya dalam pakan. Bentuk pakan dapat diberikan berupa : bentuk mix

dan cetak.

2.5 Hipotesis

Hipotesis yang dapat ditarik adalah sebagai berikut :

a. Bentuk pemberian mineral mix berpengaruh terhadap histomorfometri

sel granulosit sapi bali.

b. Bentuk pemberian mineral cetak berpengaruh terhadap histomorfometri

Gambar

Gambar 2.1. Neutrofil (Harvey, 2012)
Gambar 2.2. Eosinofil (Harvey, 2012)
Gambar 2.3. Basofil (Harvey, 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pengaruh penambahan mineral mikro organik dalam ransum tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kecernaan lemak dan TDN ransum pada

Penggunaan mineral harus dalam bentuk mineral organik. Pemberian mineral organik dapat meningkatkan ketersediaan mineral dalam tubuh. Melihat kedua bahan tersebut dilakukanlah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)pengaruh penambahan mineral mikro organik dalam ransum tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik

Rumput memiliki kandungan nutrisi dan mineral yang dipengaruhi oleh kondisi tanah atau unsur hara yang terkandung dalam tanah, sehingga kandungan mineral dalam pakan

(2012) mengemukakan bahwa pemberian pakan tambahan berupa suplementasi ampas tahu dan mineral Cu-organik dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan sapi Bali yang diberikan

Manfaat pemberian formulasi pakan dapat meningkatkan bobot badan sapi bali (Adhani et al., 2012). Selain pakan yang bersumber dari tanaman, sapi bali juga memerlukan tambahan

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan penulis melaksanakan penelitian mengenai “Pengaruh Pemberian Mineral Terhadap Jumlah Bakteri Non Coliform dan Total Plate

Rumput memiliki kandungan nutrisi dan mineral yang dipengaruhi oleh kondisi tanah atau unsur hara yang terkandung dalam tanah, sehingga kandungan mineral dalam pakan baik