TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2
PROGRAM STUDI
MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
Diajukan oleh :
MOH. SUBIYANTO NPM. 0864020029
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL” VETERAN “ JAWA TIMUR
Yang dipersiapkan dan disusun oleh :
MOH. SUBIYANTO NPM. 0864020029
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 16 Juni 2010 dan telah
memenuhi syarat untuk diterima
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji
Dr.Ir.H.Sudiyarto,MM Dr.Ir. Eko Nurhadi, MS
Pembimbing Pendamping Ir. Sri Tjondro Winarno, MM
Ir. Sri Widayanti, MP Ir. Setyo Parsudi, MP
Surabaya, 16 Juni 2010 UPN “Veteran”JawaTimur
ProgramPascasarjana Direktur
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul ”SITUASI KONSUMSI DAN PELUANG PASAR PANGAN DENGAN PENDEKATAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KABUPATEN NGAWI”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Sudiyarto, MM, selaku Pembimbing Utama dan Ir. Sri Widayanti, MP, selaku Pembimbing Pendamping. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi sebagian persyaratan tugas akhir guna mencapai derajat sarjana S-2 pada Program Studi ”Magister Manajemen Agribisnis” Program Pascasarjana UPN ”Veteran ” Jawa Timur.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran ” Jawa Timur. 2. Direktur beserta staf dan seluruh Dosen Program Pascasarjana
Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran ” Jawa Timur.
3. Bupati Ngawi yang telah memberikan ijin penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Program Pascasarjana Universitas Pembangunan ”Veteran” Jawa Timur.
5. Secara khusus isteri dan anak-anakku yang senantiasa memberi dukungan dan doa.
6. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini yang tak dapat kami sebutkan satu per satu.
Karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, Tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian penulis berharap semoga dapat memberikan manfaat dalam keilmuan, masyarakat, bangsa dan negara.
Surabaya, Juli 2010.
Penulis
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL... v
DAFTAR GAMBAR... vi
DAFTAR LAMPIRAN... vii
RINGKASAN... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH... 4
1.3. Perumusan Masalah... 5
1.4.Tujuan Penelitian... 10
1.5. KegunaanPenelitian... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Penelitian Terdahulu ... 13
2.2.Landasan Teori... 16
III. KERANGKA PEMIKIRAN... 36
3.1.Kerangka Pemikiran... 36
IV. METODE PENELITIAN... 36
4.1. Tempat dan Waktu... 48
4.2. Penentuan Populasi dan Pengambilan Sampel... 48
4.3. Metode Pengumpulan Data... 49
4.4. Proses Pengumpulan Data... 51
5.1. Gambaran umum wilayah penelitian... 72
5.2. Kondisi Sosio Demografi Responden………. 81
5.3. Situasi Konsumsi Pangan………. 83
5.4. Proyeksi Konsumsi, Penyediaan Pangan Dan PPH Sasaran………... 107
5.5. Peluang Pasar………. 112
VI. KESIMPULAN DAN SARAN………. 116
6.1. Kesimpulan……….. 116
6.2. Saran………. 118
DAFTAR PUSTAKA………... 119
1. Contoh Susunan PPH Nasional (Data Susenas 2004)... 60
2. Jumlah Penduduk Kabupaten Ngawi Tahun 2005-2009... 73
3. Jumlah Kelahiran Dan Kematian Tahun 2005-2008... 74
4. Jumlah Penduduk Menurut Agama Tahun 2005-2008... 75
5. Jumlah Siswa Di Tingkat Pendidikan 2005-2008... 75
6. Jumlah Sarana Kesehatan Tahun 2005-2008... 76
7. Jumlah Kelahiran Menurut Penolong Kelahiran 2005-2008... 76
8. Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Alat Kontrasepsi... 77
9. Produksi Pangan Kabupaten Ngawi Tahun 2005-2009... 78
10. Konsumsi Dan Kecukupan Energi Penduduk... 85
11. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Padi-padian... 87
12. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Umbi-umbian... 90
13. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Hewani... 92
14. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Minyak Dan Lemak... 94
15. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Buah/Biji Berminyak.... 96
16. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Kacang-kacangan... 97
17. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Gula... 98
18. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Sayur Dan Buah... 98
19. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Lain-lain... 100
20. Konsumsi Energi Menurut Karakteristik Wilayah... 101
21. Konsumsi Protein Dan Kecukupan Protein... 104
22. Skor Pola Pangan Harapan... 107
23. Proyeksi Konsumsi Pangan 2010-2020... 109
24. Target Penyediaan Pangan 2010-2020... 110
25. Sasaran Skor PPH Tahun 2020... 111
1. Bagan Dan Alur Pemikiran ... 46
2. Prinsip Dasar Untuk Menghitung Bobot PPH... 64
3. Tingkat Pendidikan Responden KK... 81
4. Kondisi Umur Responden KK... 82
1. Blanko Kuesioner Responden... 123
2. Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang Dan Angka Kecukupan Gizi Nasional... 124
3. Daftar Komposisi Bahan Makanan Terpilih (DKBM)... 125
4. Daftar Konversi Ukuran Rumah Tangga (DKURT)... 126
5. Analisis Pola Konsumsi Pangan Dan Tingkat Kecukupan Gizi... 133
6. Analisis Proyeksi Konsumsi Pangan Penduduk Per Hari... 134
7. Analisis Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Menurut Wilayah Ekonomi... 138
8. Analisis Skor Pola Pangan Harapan Aktual... 140
9. Analisis Proyeksi Konsumsi Pangan Penduduk Per Tahun... 144
10. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Hari... 148
11. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Bulan... 152
12. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Tahun... 156
13. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Hari... 160
14. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Minggu... 164
15. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Bulan... 168
Expectation ( PPH) [In] Sub-Province of Ngawi; Especial Counsellor [of] Dr. Ir. Sudiyarto, MM, and Second Counsellor Of Ir. Sri Widayanti, MP
Food represent a[n requirement of fundamental / elementary to human being which must fulfill by society and government by together. Government as society and fasilitator carry out production process and is ready, commerce, distribution and also personate rightful claimant consumer obtain;get food which enough in number, quality of is, peaceful, nutritious, immeasurable, flatten and reached by their purchasing power. *****Fufilled* requirement of the food can be seen from its availability. Availibility of food which enough not yet guaranteed protected of resident from problem of and food of gizi. Besides its availability also require to be paid attention from pattern aspect consume contribution balance or household among consumed food type, so that can fulfill standard of gizi suggested
This research aim to to : 1). To analysing situation consume resident food base on expectation food pattern ( PPH); 2). Analysing situation consume resident food [in] economic region go forward, middle and left behind; 3). Analysing projection consume and ready goals [of] resident food with approach of expectation food pattern ( PPH).
This Research [is] [done/conducted] [by] Sub-Province region of Ngawi, [at] 9 district, every district 3 countryside and each countryside 10 household sampel, so that the amount of responder 270 household, taking place from April up to May 2010. Technique determination of region of sampel use regional characteristic [of] economics ( go forward, middlely, left behind). Data analysed to use Sofware Application Computer " Analysis SituationConsume Regional Food [of] Sub-Province" which [in] program by Heryatno ( 2005) and developed by Martianto, Baliwati, Heryatno and of Herawati ( 2009).
able to live healthyly, productive and active.
Consumption of Energi [at] economic region go forward ( 2365,6 kkal/kap/hr) lower compared to with middle economic region ( 2390,9 kkal/kap/hr) and economic region [of] left behind ( 2758,9 kkal/kap/hr), but still higher with AKE ( 2007,6 kkal/kap/hr), but consume energi [at] economic region go forward more coming near with number recommend national ( 2000 kkal/kap/hr). This matter show economic consumption pattern go forward better compared to with middle economics and left behind.
Mean consume protein ( 85,9 gram/kap/hr)/160,5%, exceeding number sufficiency of protein ( 52,9 gram/kap/hr) also above AKP fomentation of WKPNG 2004 ( 52 gram/kap/hr), height consume protein caused [by] participation height consume legume food group ( soybean cake / tempe). Excess of protein consumption of AKP will have no use for body as source of constructor Iihat vitamin, but will be thrown to replace as source of power ( energi) which less than consume other food materials.
With growth of resident of Sub-Province of Ngawi equal to 0,78 / year, hence ready goals analysis [of] requirement of year food 2010 (453.906 ton / year) and can be targeted ready 100 % year 2020 totally food 334.605 ton / year. In this ready goals [is] each food group there [is] which go down there [is] also which must be boosted up, so that will be created [by] opportunity of food market
Keyword: Analysis Situation Consume Food, Pattern Food of
Expectation (PPH), Opportunity Of Market Food Based on PPH.
(PPH) Di Kabupaten Ngawi; Pembimbing Utama Dr. Ir. Sudiyarto, MM Dan Pembimbing Pendamping Ir. Sri Widayanti, MP.
Pangan merupakan suatu kebutuhan pokok/dasar bagi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli mereka. Terpenuhinya kebutuhan pangan tersebut dapat dilihat dari ketersediaannya. Ketersediaan pangan yang cukup belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi. Selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan dari aspek pola konsumsi rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang dianjurkan.
Penelitian ini bertujuan untuk : 1). Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk berbasis pola pangan harapan (PPH); 2). Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di wilayah ekonomi maju, menengah dan tertinggal; 3). Menganalisis proyeksi konsumsi dan target penyediaan pangan penduduk dengan pendekatan pola pangan harapan (PPH).
Penelitian ini dilakukan diwilayah Kabupaten Ngawi, pada 9 kecamatan, tiap kecamatan 3 desa dan masing-masing desa 10 sampel rumah tangga, sehingga jumlah responden 270 rumah tangga, berlangsung dari bulan April sampai dengan Mei 2010. Teknik penentuan wilayah sampel menggunakan karakteristik wilayah ekonomi (maju, menengah, tertinggal). Data dianalisis menggunakan Sofware Aplikasi Komputer “Analisis Situasi Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten” yang di program oleh Heryatno (2005) dan dikembangkan oleh Martianto, Baliwati, Heryatno dan Herawati (2009).
produktif.
Konsumsi energi pada wilayah ekonomi maju (2365,6 kkal/kap/hr) lebih rendah dibanding dengan wilayah ekonomi menengah (2390,9 kkal/kap/hr) dan wilayah ekonomi tertinggal (2758,9 kkal/kap/hr), tetapi masih lebih tinggi dengan AKE (2007,6 kkal/kap/hr), namun konsumsi energi pada wilayah ekonomi maju lebih mendekati dengan angka rekomendasi nasional (2000 kkal/kap/hr). Hal ini menunjukkan pola konsumsi ekonomi maju lebih baik dibanding dengan ekonomi menengah dan tertinggal.
Rata-rata konsumsi protein (85,9 gram/kap/hr)/160,5%, melebihi angka kecukupan protein (52,9 gram/kap/hr) juga diatas AKP anjuran WKPNG 2004 (52 gram/kap/hr), tingginya konsumsi protein disebabkan tingginya partisipasi konsumsi kelompok pangan kacang-kacangan (tahu/tempe). Kelebihan konsumsi protein dari AKP akan tidak bermanfaat bagi tubuh sebagai sumber zat pembangun, tetapi akan dibuang untuk menggantikan sebagai sumber tenaga (energi) yang kurang dari konsumsi bahan pangan lain.
Dengan pertumbuhan penduduk Kabupaten Ngawi sebesar 0,78/tahun, maka analisa target penyediaan kebutuhan pangan tahun 2010 (453.906 ton/tahun) dan dapat ditargetkan penyediaan 100 % dan menjadi sehat, aktif dan produktif tahun 2020 dengan total pangan 334.605 ton/tahun. Dalam target penyediaan ini masing-masing kelompok pangan ada yang turun ada pula yang harus dinaikkan, sehingga akan tercipta peluang pasar pangan.
Kata kunci:Analisis Situasi Konsumsi Pangan, Pola Pangan Harapan (PPH), Peluang Pasar Pangan Berdasar PPH.
Pangan merupakan suatu hal yang sangat penting dan strategis, mengingat pangan adalah merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dalam Undang-Undang tersebut diamanatkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli mereka.
cadangan pangan, pencegahan dan penenggulangan masalah pangan juga riset dan teknologi pangan. Beberapa alasan substansial perlunya perencanaan pangan untuk pembangunan ketahanan pangan adalah ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem yang saling berinteraksi dan harmoni yaitu subsistem kretersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Berkaitan dengan itu sebagai dasar untuk perencanaan dan untuk mengukur sejauhmana keberhasilan berbagai upaya dibidang produksi, penyediaan dan konsumsi pangan penduduk baik nasional maupun lokal, diperlukan suatu parameter yang memadai. Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini juga menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal; pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumah tangga.
daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli (Hardinsyah, 1996).
1.2. Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH.
Pola Konsumsi Pangan dapat diterapkan baik untuk tingkat Nasional, Regional (propinsi dan kabupaten), dan keluarga tergantung keperluannya, sedangkan penilaiannya dapat dilakukan melalui sisi kualitas dan sisi kuantitas.
Peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan yang ideal (skor PPH 100) memerlukan upaya yang harus benar-benar diperhitungkan oleh semua sektor. Upaya tersebut tidak cukup pada sisi penyediaan saja, tetapi juga peningkatan pendapatan dan peningkatan pengetahuan tentang perbaikan gizi yang mempengaruhi perbaikan mutu gizi masyarakat. Status gizi merupakan muara dari sistem ketahanan pangan. Dengan kata lain status gizi merupakan salah satu indikator yang mencerminkan baik-buruknya ketahanan pangan suatu daerah.
Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKPNG VIII 2004).
1.3. Perumusan Masalah.
Beberapa kebijakan-kebijakan di atas ternyata belum memberikan hasil optimal dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan. Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi masalah kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan oleh skor pola pangan harapan (PPH) dan rapuhnya ketahanan pangan. Berdasarkan data susenas tahun 2005 skor PPH baru mencapai 78,2 yang mana skor idealnya adalah 100. Sedangkan indikator lemahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga diindikasikan oleh (a). Jumlah penduduk rawan pangan (konsumsinya < 90% dari AKG) yang masih cukup besar yaitu 52,33 juta jiwa pada tahun 2002. Dari jumlah tersebut 15,48 juta jiwa diantaranya merupakan penduduk sangat rawan (konsumsinya <70% AKG); (b). Balita kurang gizi masih cukup besar yaitu 5,02 juta pada tahun 2002 dan 5,12 juta pada tahun 2003 (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).
pada kehilangan 5-10 IQ poin (UNICEFF, 1997). Diperkirakan Indonesia kehilangan 330 juta IQ point akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan antara 20-30% (Depkes RI., 2005). Kondisi di atas juga berdampak pada rendahnya pencapaian indeks pembangunan manusia (human development index = HDI) di Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia. Hasil penelitian UNDP (2004) menempatkan HDI Indonesia pada urutan ke 111 dari 174 negara yang dinilai.
Fakta di atas mengindikasikan bahwa keanekaragaman konsumsi pangan penduduk sebagai upaya meningkatkan status gizi harus terus diupayakan. Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah harus didasarkan pada faktor-faktor yang dapat mempengauhi pola konsumsi makan.
Faktor prestise dari pangan kadang kala menjadi sangat menonjol sebagai faktor penentu daya terima pangan (Martianto dan Ariani, 2004).
Dilihat dari perjalanan program diversifikasi selama ini, belum optimalnya pencapaian diversifikasi konsumsi pangan diduga karena (a) minimnya implementasi di lapangan dalam memasarkan dan mempromosikan pentingnya diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini tidak seperti pemasaran sosial tentang KB yang bisa merubah pola pikir masyarakat yaitu keluarga sejahtera cukup dengan dua anak, dan (b) Penerimaan konsumen atas produk yang relatif rendah. Kondisi ini menyangkut tentang citra, nilai sosial ekonomi, dan mutu gizi pangan sumber karbohidrat non beras yang selama ini dianggap inferior. Hak atas pangan bagi rakyat seharusnya menjadi perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia.
Sejalan dengan sistem otonomi, pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan dan atau pemerintah desa sesuai dengan kewenangannya menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator atas penyelenggaraan ketahanan pangan diwilayahnya masing-masing. Selanjutnya penyelenggaraan di daerah mengacu pada arah kebijakan, strategi dan sasaran ketahanan pangan nasional serta pedoman, norma, standart dan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah.
Memperhatikan uraian di atas maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kajian tentang situasi konsumsi pangan yang dicerminkan oleh perubahan kuantitas dan keanekaragaman konsumsi pangan di masyarakat akibat faktor sosial ekonomi yang berbeda. Keberhasilan dalam kajian tersebut diharapkan dapat mempercepat pengembangan penganekaragaman di daerah dengan tetap memperhati-kan kekhasan daerah dan dapat memberikan kontribusi terhadap pem-bangunan ketahanan pangan regional maupun nasional.
yang banyak berkembang diantaranya adalah: ayam ras dan buras, sapi kambing, ikan: gurami, tawes, nila, mujahir, lele.
Konsep PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep triguna pangan. Keseimbangan jumlah antara kelompok pangan merupakan syarat terwujudnya keseimbangan gizi. Konsep gizi seimbang juga tergantung pada keseimbangan antara asupan (konsumsi) zat gizi dan kebutuhannya maupun jumlahnya antara waktu makan. Selain PPH, konsep gizi seimbang terdapat dalam slogan “Empat Sehat Lima Sempurna” maupun slogan “Panganku Beragam Bergizi, Berimbang dan Aman” (3B). Dengan adanya perkembangam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) diperlukan pesan-pesan gizi agar masyarakat tetap dapat mewujudkan derajat kesehatan dengan optimal.
Penerapan konsep PPH sebagai pendekatan perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan sejalan dengan kebijakan dan tujuan ketahanan pangan dan penganekaragaman pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan Kabupaten Ngawi salah satunya adalah melakukan perencanaan kebutuhan konsumsi maupun ketersediaan pangan dengan menggunakan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) sehingga pembangunan ketahanan pangan yang berbasis sumber daya lokal dapat terwujud.
mengenai pangan yang dikonsumsi, frekwensi konsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi suatu penduduk secara tidak langsung dapat menggambarkan status gizi penduduk. Sejarah mencatat pengumpulan data konsumsi pangan telah digunakan sejak pertengahan abad ke-18 untuk mempelajari hubungan antara konsumsi bahan pangan tertentu dengan kejadian suatu penyakit. Dari uraian diatas permasalahan-permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah konsumsi pangan penduduk sudah memenuhi anjuran untuk hidup sehat dan produktif?.
2. Apakah ada perbedaan pola konsumsi pangan menurut karakteristik wilayah ekonomi?.
3. Berapakah jumlah penyediaan bahan pangan pada 10 tahun yang akan datang?.
1.4. Tujuan Penelitian.
Bertitik tolak dari latar belakang dan permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk berbasis pola pangan harapan (PPH)..
3. Menganalisis proyeksi konsumsi dan target penyediaan pangan penduduk dengan pendekatan pola pangan harapan (PPH).
1.5. Kegunaan Penelitian.
A. Pemerintah.
Pola Pangan Harapan (PPH) berguna sebagai instrumen sederhana untuk menilai situasi konsumsi pangan penduduk yang berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregat. Disamping itu juga sebagai basis perhitungan skor PPH yang digunakan untuk indikator mutu gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan.
Membantu pejabat/aparat dinas/instansi dalam menganalisis situasi, proyeksi konsumsi, kebutuhan pangan penduduk dan target penyediaan pangan wilayah dalam rangka merumuskan kebijakan, strategi, program pangan dan gizi wilayah.
B. Akademisi
Peningkatan kerja sama dan kemitraan antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi, maka pengembangan ketahanan pangan dengan alokasi anggaran negara yang memadai untuk penelitian akan menciptakan inovasi-inovasi baru dalam rangka pemantapan ketahanan pangan.
C. Masyarakat.
Dengan pendekatan PPH, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat memenuhi tidak hanya kecukupan gizi (nutitional adequancy), akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestability), daya terima masyarakat (acceptability), kuantitas dan kemampuan daya beli (affortability). Suharjo (1992) menyatakan bahwa dengan adanya PPH, maka perencanaan produksi dan penyediaan pangan dapat didasarkan pada patokan imbangan komoditas seperti yang telah dirumuskan dalam PPH untuk mencapai sasaran kecukupan pangan dan gizi penduduk. PPH yang disajikan dalam bentuk kelompok pangan memberi keleluasaan untuk menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan potensi setempat.
Rata-rata konsumsi energi penduduk Jawa Timur tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hari atau mencapai 95% dari angka kecukupan energi (AKE) yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG VIII 2004) sebesar 2000 kkal/kap/hari, protein sebesar 62,30 gram/kap/hari atau mencapai 119,81% dari angka kecukupan protein (AKP) sebesar 52 gram/kap/hari, skor pola pangan harapan (PPH) sebesar 78 dari nilai skor maksimal 100 yang diharapkan tercapai pada tahun 2020. Pola konsumsi pangan penduduk Jawa Timur tahun 2005 masih belum memenuhi Pola Pangan Harapan Ideal, hal ini tercermin dari data Susenas 2005 yang mengisyaratkan masih tingginya konsumsi kelompok padi-padian dominan beras, masih rendahnya konsumsi kelompok pangan umbi-umbian (53,40%), kelompok pangan hewani (47,20%) serta kelompok pangan sayur dan buah (82,12%). (BKP. Jatim, 2006).
total keluarga. Sebaliknya proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi
non pangan berbanding lurus dengan pendapatan total keluarga,
(2) Kelompok jenis pekerjaan sebagai buruh yang umumnya tidak
memerlukan pendidikan formal yang tinggi namun membutuhkan proporsi
alokasi konsumsi pangan relatif lebih besar daripada jenis pekerjaan yang
tidak banyak membutuhkan kekuatan otot, (3) Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka proporsi alokasi konsumsipangan akan semakin
berkurang atau dengan kata lain proporsi konsumsi pangan berbanding
terbalik dengan tingkat pendidikan.
Kajian dari Tri Bastuti dan Mewa Ariani (2007), yang mengkaji pola
pengeluaran dan konsumsi pangan rumah tangga petani padi. Data yang
digunakan PATANAS 2007 dengan jumlah contoh sekitar 350 petani padi
di 5 provinsi (Jawa dan Luar Jawa). Analisis dilakukan secara diskriptif
kualitatif dengan tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa : 1).
Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani di Provinsi Jawa Barat dan
Jawa Tengah lebih baik dibandingkan di Provinsi yang lainnya; 2).
Pengeluaran rumah tangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok,
kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani;
3). Beras adalah pangan pokok petani padi dan bersifat tunggal, yang
bersumber dari hasil sendiri, berkisar 38-63 persen di Jawa dan 53-94
persen di luar Jawa; 4). Tingkat konsumsi energi dan protein bervariasi
antar desa, namun pada umumnya masih dibawah angka kecukupan. Dan
A. Ayiek Sih Sayekti (2002), dalam penelitiannya tentang konsumsi
pangan rumah tangga pada wilayah yang berbeda historis makanan
pokok (beras dan non beras) di Provinsi Sumatra Barat, Kalimantan Timur
dan Papua. Data yang digunakan SUSENAS 1999 dan 2002, dianalisis
dengan tabel dan grafik terhadap 11 kelompok pangan untuk Indonesia,
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). Terdapat perbedaan pola
konsumsi pangan pada wilayah historis konsumsi beras dan non beras
daerah pedesaan dan perkotaan pada berbagai strata pendapatan; 2).
Konsumsi sumber karbohidrat padi-padian pada wilayah historis beras
lebih tinggi daripada konsumsi pada wilayah historis konsumsi non beras;
3). Konsumsi sumber karbohidrat padi-padian (beras) pada wilayah
historis makanan pokok beras di daerah perkotaan lebih rendah daripada
di perdesaan dan di wilayah historis non beras lebih tinggi di perkotaan;
4). Konsumsi karbohidrat umbi-umbian pada wilayah historis makanan
pokok non beras lebih tinggi daripada konsumsi pada wilayah historis
konsumsi beras; 5). Konsumsi sumber karbohidrat umbi-umbian untuk
sebagian besar jenis umbi pada wilayah historis makanan pokok beras
dan non beras, di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan; 6).
Konsumsi sumber protein nabati yaitu kacang-kacangan dan sumber
protein hewani yaitu daging, telur dan susu lebih tinggi di wilayah historis
konsumsi makanan pokok non beras dibandingkan di wilayah historis
beras, sedangkan kelompok lainnya bervariasi; 7). Pada seluruh wilayah,
karbohidrat padi-padian dan semakin tinggi konsumsi sumber protein
hewani daging, telur dan susu serta makanan dan ninuman jadi,
sedangkan untuk kelompok pangan lain bervariasi.
Rahayu Relawati (2003), dalam penelitannya yang berjudul
“Perilaku konsumsi dan tingkat kecukupan gizi masyarakat desa dan
kota”. Jumlah sampel masing-masing 50 rumah tangga (total 100 rumah
tangga), analisis menggunakan cara deskriptif dan inferensia (uji t). Hasil
penelitian menunjukkan sebagai berikut : Perilaku konsumsi masyarakat
desa dan kota masih memprioritaskan karbohidrat, meskipun jika
dibandingkan antara masyarakat desa dan kota konsumsi protein dan
lemak lebih baik pada masyarakat kota. Kecukupan gizi pada masyarakat
kota juga relatif baik pada masyarakat kota, terutama untuk masyarakat
desa standar kalori dan lemak masih belum memenuhi standar Pola
Pangan Harapan (PPH) nasional. Jika dibandingkan antara kelompok
pendapatan rendah dan tinggi, hampir semua sumber gizi (kalori, protein
dan lemak) berbeda secara signifikan baik di desa maupun di kota. Untuk
masyarakat desa hanya lemak yang tidak berbeda, sedangkan untuk
masyarakat kota hanya kalori yang tidak berbeda.
2.2 Landasan Teori. A. Ketahanan Pangan.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Di dalam undang-undang
tersebut dirumuskan secara khusus tentang konsep ketahanan pangan
dan upaya mewujudkannya. Sejalan dengan evolusi pemikiran tentang
pangan dan ketahanan pangan, definisi ketahanan pangan juga
dirumuskan secara beragam dan berkembang sesuai dengan sudut
pandang dan kepentingan masing-masing, baik pada tataran global
maupun nasional (Suryana 2003b; Wiganda 2003; Arifin 2004). Hal ini
disebabkan ketahanan pangan (food security) mencakup banyak aspek,
mulai dari penyediaan, distribusi hingga konsumsi (Dewan Ketahanan
Pangan 2006).
Para ahli ekonomi pembangunan telah membahas adanya keterkaitan yang erat antara kemiskinan (poverty) dan ketidaktahanan
pangan (food insecurity). Deklarasi World Food Summit, five years later
menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan yang
berkelanjutan agar kelaparan dan kemiskinan di dunia dapat dihapuskan
(FAO 2002). Hal ini didasari kenyataan bahwa 70% penduduk miskin
tinggal di pedesaan dengan sumber utama pendapatan dari sektor
pertanian. Sejalan dengan deklarasi ini, International Food Policy
Research Institute (IFPRI 2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang tinggi merupakan prasyarat bagi pencapaian ketahanan
pangan di masing-masing negara. Namun demikian, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tersebut harus disertai dengan kemampuan
bagi orang miskin, atau disebut pro-poor growth. Untuk itu, pertumbuhan
ekonomi yang disertai pemberdayaan masyarakat dan penyediaan
pelayanan publik yang efektif merupakan fondasi bagi upaya
pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari aspek ketahanan pangan secara makro di dalam suatu
wilayah. Hasil dari sektor pertanian akan secara langsung berdampak
pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan primer masyarakat agar sehat
dan bergizi baik. Ketahanan pangan secara nasional memiliki makna
sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya
memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman,
dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis
pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk
mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan
pangan nasional terhadap impor (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2005).
Ketahanan pangan dapat diartikan bahwa (1) pangan yang cukup
yang ditunjukkan oleh ketersediaan pangan yang bukan hanya beras
melainkan pangan yang berasal dari pangan nabati dan hewani untuk
memenuhi kebutuhan gizi yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan
manusia; (2) pangan yang tersedia aman untuk dikonsumsi berarti bebas
dari bahan kimia, mikroba, dan zat-zat lainnya yang merugikan kesehatan
yang merata dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan
merata di seluruh tanah air; dan (4) pangan dengan kondisi terjangkau
diartikan pangan mudah diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan
harga terjangkau (Suryana, 2003). Selanjutnya, Suryana (2003)
menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi
pangan yang terintegrasi dan terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem
utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi
pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan
interaksi antar ketiga subsistem tersebut yang merupakan satu kesatuan
yang didukung oleh adanya berbagai input yaitu sumberdaya alam,
kelembagaan, budaya dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan
pangan akan berjalan efisien dengan partisipasi masyarakat dan fasilitasi
pemerintah.
Subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi
dalam negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Jumlah penduduk
yang cukup besar, membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup besar
yang tentunya memerlukan upaya dan sumberdaya yang besar untuk
memenuhinya. Subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk
menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap
pangan antar wilayah, waktu, dan individu serta stabilitas harga.
Subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah
pangan dalam jumlah, mutu, keamanan, dan keragaman sesuai dengan
kebutuhan dan pilihannya (Suryana, 2003). Pengembangan ketahanan
pangan sampai di tingkat rumah tangga, mempunyai perspektif
pembangunan yang sangat mendasar karena (1). akses pangan dan gizi
seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia; (2). proses
pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi
oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; dan (3). ketahanan
pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan
ketahanan nasional (Badan Urusan Ketahanan Pangan (BUKP, 2000)).
Selain itu ketahanan pangan dapat ditinjau dari sistem kelembagaan
pangan. Dalam hal ini, terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh
bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem rumah
tangga yang mencakup pengaturan pola konsumsi, pola pengadaan dan
pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat mencakup pengaturan
produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem pemerintah mencakup
kebijakan, fasilitas dan pengamanan (Suryana, 2003).
Pencapaian sasaran tersebut didukung oleh adanya pergeseran
manajemen pembangunan dari pola sentralistis menjadi desentralistis.
Undang-undang No 32 Tahun 2004 pasal 14 mengamanatkan bahwa
“urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota,
meliputi antara lain : a) penanganan bidang kesehatan; b)
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pasal 22
mengamanatkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah
antara lain mempunyai kewajiban meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat. Situasi ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan pembangunan
ketahanan pangan bersama dengan masyarakat sesuai dengan
sumberdaya, budaya dan kebiasaannya.
Sub sistem distribusi pangan berfungsi untuk mewujudkan sistem
distribusi yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar
seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan baik jumlah maupun
kualitas sepanjang waktu. Akses pangan secara ekonomi menyangkut
keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga
dan daya beli. Akses pangan menunjukkan bahwa setiap rumah tangga
dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Stabilitas pasokan dan
harga merupakan indikator penting yang menunjukkan kinerja sub sistem
distribusi. Harga (terutama pangan pokok) yang terlalu berfluktuasi dapat
merugikan petani produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen yang
berpotensi menimbulkan keresahan sosial.
Perencanaan penyediaan pangan yang semula sentralistik dan
lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi desentralistik dengan
pertimbangan yang lebih komprehensif sehingga tujuan-tujuan
terakomodasi. Dalam konteks ini penyediaaan data pola pangan harapan
(PPH) di masing-masing daerah menjadi semakin penting.
Sub sistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola
pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman, keseimbangan
gizi, keamanan dan halal. Sub sistem ini menyangkut upaya peningkatan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman
atas pangan, gizi dan kesehatan yang naik sehingga dapat mengatur
menu beragam, bergizi, berimbang dan aman secara optimal.
Kinerja ketiga subsistem dalam system ketahanan pangan tersebut
akan baik apabila tersedia input yang memadai, berupa sumber daya
alam (lahan, air, perairan), kelembagaan, budaya, dan teknologi.
Ketersediaan input saja tidak cukup untuk menggerakkan proses dalam
suatu sistem apabila tidak ditunjang oleh pengaturan pemerintah dan
partisipasi masyarakat. Fasilitasi pemerintah dapat berupa kebijakan
ekonomi makro, kebijakan perdagangan dalam negeri dan internasional,
pelayanan/ fasilitasi fisik dan nonfisik, intervensi dan pengelolaan pasar
terkendali, serta pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, peran
masyarakat terutama berkaitan dengan kegiatan produksi, industri
pengolahan, perdagangan, dan jasa pelayanan pangan; peningkatan
kesadaran gizi masyarakat; dan pengembangan solidaritas sosial.
Sinergi yang baik antara input, proses, peran pemerintah dan
masyarakat akan menghasilkan output sistem ketahanan pangan, berupa:
c). ketahanan pangan, dan d). ketahanan nasional berupa stabilitas
ekonomi dan politik.
Dalam sistem ketahanan pangan nasional, ketahanan pangan
dimulai pada tingkat rumah tangga, wilayah, dan terakhir nasional. Ada
tiga komponen utama pembentukan ketahanan pangan rumah tangga,
yaitu produksi sendiri (production), cadangan pangan (stock), dan
pendapatan (income). Apabila pendapatan rumah tangga cukup besar
sehingga seluruh kebutuhan pangannya dapat secara leluasa dipenuhi
dari pasar, maka rumah tangga tersebut termasuk ke dalam rumah tangga
tahan pangan, walaupun mereka tidak memproduksi pangan.
B. Pola Konsumsi Pangan.
Konsumsi pangan merupakan subsistem ketahanan pangan yang komprehensip berfungsi dalam pemanfaatan pangan yang memenuhi
kecukupan gizi, keamanan dan halal dalam upaya untuk menjaga
kesehatan dan produktifitas. Subsistem ini memperhatikan baik aspek
informasi kandungan gizi bahan makanan (kecukupan energi dan protein)
dan kuantitas bahan pangan yang dikonsumsi.
Walaupun upaya-upaya sudah dirintis sejak dasa warsa 60an, namun sampai saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Pola pangan lokal seperti ditinggalkan, berubah ke pola beras
dan pola mie. Kualitas pangan juga masih rendah, kurang beragam, masih
Konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sangat tergantung pada
beras dengan tingkat partisipasi rata-rata hampir mencapai 100% kecuali
untuk Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan ekologi sagu
berkisar 80% (Ariani dan Ashari, 2003). Data Susenas menunjukkan
bahwa pada tahun 2005 konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi yakni
105,2 kg/kapita/tahun.
Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga sangat erat
hubungannya dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial, ekonomi serta
potensi sumberdaya alam setempat. Akibat perbedaan tersebut ditambah
dengan kendala dalam distribusi pangan antar daerah, menyebabkan pola
konsumsi pangan antar daerah akan bervariasi dari suatu daerah ke
daerah lain. Seperti diketahui bahwa Indonesia terbagi kedalam
wilayah-wilayah yang secara historis mengkonsumsi beras sebagai makanan
pokok, dan wilayah yang mengkonsumsi biji-bijian lain atau umbi-umbian
sebagai makanan pokok. Dalam hal ini selain faktor-faktor tersebut
diatas, maka faktor kebiasaan (habit) yang berkaitan dengan unsur sosial
budaya, lingkungan ekonomi dan kebutuhan biologis yang mempengaruhi
seseorang melakukan pemilihan jenis makanan yang mereka konsumsi.
Pentingnya kebiasaan makan dapat dilihat dari kondisi dimana makin
beragam jenis makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga, maka makin
baiklah kondisi ini mendukung kebijakan diversifikasi pangan yang
merupakan faktor penting dalam pemecahan masalah beras yang
Terdapat dugaan bahwa pola konsumsi sangat berkaitan erat
dengan pola produksi setempat, maka menyebabkan munculnya
penelitian-penelitian yang membandingkan tingkat partisipasi konsumsi
pangan dengan misalnya tipe agroekosistem daerah (Sudaryanto dan
Sayuti, 1999), karena variasi daerah menurut tipe agroekosistem
menunjukkan perbedaan sistem usahataninya. Ali (2002), membedakan
wilayah historis konsumsi makanan pokok beras dan non beras untuk
menganalisa pola konsumsi beras di Indonesia. Dengan perbedaan
wilayah-wilayah tersebut ingin diketahui apakah juga ada perbedaan
dalam pola konsumsi pangannya. Hasil penelitian menunjukkan adanya
perbedaan pola konsumsi pangan pada wilayah dan strata pendapatan
yang berbeda untuk beberapa kelompok pangan.
C. Perilaku Konsumen.
Perkembangan menarik perilaku konsumen dalam mengkonsumsi
pangan pokok adalah ada kecenderungan berubahnya pola konsumsi
pangan pokok di pedesaan maupun perkotaan yang mengarah kepada
bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah
maupun mie instan. Pada masa sekarang peranan mie instan sangat
dominan disetiap rumah tangga mengkonsumsi makanan ini.
Kecenderungan yang demikian karena kuatnya peranan
pemerintah di masa lalu yang memberi subsidi besar pada industri
masyarakat dari belum kenal mie sampai menyenangi makanan tersebut.
Selain itu juga gencarnya media massa dalam mempromosikan makanan
tersebut dan hingga digemari oleh semua kalangan maupun semua
golongan umur. Konsumsi pangan dengan bahan baku terigu justru
mengalami peningkatan yang sangat tajam yakni sebesar 19,2%, untuk
makanan mie dan makanan lain berbahan baku terigu 7,9% pada periode
1999-2004 (BKP Provinsi Jawa Timur, 2006).
Produk olahan ini mudah didapat, mudah dimasak dan terjangkau
oleh sebagian besar konsumen. Apabila dikaitkan dengan salah satu
tujuan program diversifikasi pangan yaitu mengurangi konsumsi
ketergantungan pada beras, fenomena ini menciptakan ketergantungan
impor gandum. Ketergantungan impor gandum yang semakin besar yaitu
3,5 juta ton pada tahun 2001 dan 3,8 juta ton pada tahun 2002 merupakan
hal yang berlawanan dengan tujuan pembangunan pertanian dan
konsumsi berkelanjutan (BKP Deptan, 2005).
Diperlukan strategi nasional untuk mengembalikan konsumen pada
produk-produk pangan lain seperti ketela pohon, ubi jalar, jagung, sagu
dan garut yang merupakan pangan lokal dan diproduksi dari sistem
pertanian berkelanjutan. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara
ke dua setelah China sebagai produsen terbesar dunia ubi jalar. Bahkan
bersama Brasil dan Malaysia memiliki keanekaragaman talas terbesar di
D. Penawaran dan permintaan
Pasar pangan sudah masuk dalam tataran ketahanan pangan wilayah. Pasar pangan dibentuk dari produksi pangan wilayah, impor, dan
instrumen perdagangan. Pasar pangan, bersama produksi nasional,
cadangan pangan masyarakat, dan bantuan pangan mendukung
ketahanan pangan wilayah. Uraian di atas melukiskan: (1) ada perbedaan
dalam hal susunan variabel dan keterkaitannya dalam membangun
ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan tingkat agregasi di
atasnya (wilayah, nasional), dan (2) yang menghubungkan antara sistem
ketahanan pangan rumah tangga dengan sistem ketahanan pangan
wilayah dan nasional adalah pasar. Berkaitan dengan hal itu, pengelolaan
pasar pangan terkendali menjadi salah satu faktor kunci dalam
pencapaian ketahanan pangan nasional. Sementara itu, pemberdayaan
masyarakat agar mampu memasuki pasar tenaga kerja produktif
(pertanian maupun non pertanian) sehingga individu dan rumah tangga
memperolehpendapatan yang cukup, merupakan salah satu faktor
penentu dalam menciptakan ketahanan pangan rumah tangga.
Bersamaan dengan itu, penciptaan lapangan kerja produktif menjadi
prasyarat bagi tercapainya ketahanan pangan, baik di tingkat rumah
tangga maupun nasional. Pembangunan ketahanan pangan perlu adanya
dukungan kebijakan pemerintah yang berkelanjutan dan terus menerus,
agar dapat memberikan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan
sumberdaya alam sangat berperan untuk peningkatan produksi, maka
perlu inovasi-inovasi teknologi guna mendapatkan efek yang luas. Dan
pandangan ini melihat dari sisi suplai (supply side).
Bila dilihat dari potensi sumberdaya dalam upaya untuk
menyediakan bahan pangan dan hasil pertanian pada umumnya bagi
konsumen maka potensi dapat dilihat dari sisi demand (demand side).
Dari sisi demand maka potensi sektor pertanian perlu adanya pasar,
sarana prasarana transportasi dan juga komunikasi. Dengan terpadunya
elemen ini maka potensi akan memiliki spektrum luas dalam
pembangunan wilayah.
Garis besarnya adalah dalam aspek ketersediaan, potensi yang
ada merupakan kekuatan untuk melakukan pembangunan yang lebih
terarah. Kekuatan ini masih muncul karena keunggulan komparatif yang
dimliki Jawa Timur, sehingga diperlukan upaya-upaya dalam peningkatan
mentransformasi keunggulan komparatif (comparative advantage) menuju
pada keunggulan kompetitif (competittive advantage) yang lebih baik
dengan wilayah maupun negara lain.
Potensi sumberdaya alam yang merupakan keunggulan komparatif
memerlukan manajemen lebih mendalam sehingga pemanfaatan
sumberdaya melalui perencanaan yang layak dengan memperhatikan
aspek keberlanjutan, kesejahteraan dan pemerataan. Pelaksanaan
pengelolaan sumberdaya juga harus mengacu pada prinsip-prinsip
Evaluasi dilakukan terus menerus untuk menjaga agar penyimpangan
atas perencanaan dapat ditangani untuk mendapatkan output yang telah
ditetapkan.
Disisi lain tingginya produktivitas selain dipengaruhi oleh perbaikan
teknik budidaya berkenaan dengan kemampuan mengalokasikan input
secara optimal juga ada faktor manajemen produksi yang berpengaruh
baik itu menekan kehilangan hasil pasca panen, handling produk
(misalnya penyimpanan) maupun dalam aspek pengaturan tata guna air.
E. Pola Pangan Harapan
Sejak diperkenalkannya konsep Pola Pangan Harapan (PPH) dan
skor PPH pada awal dekade 90an di Indonesia, PPH telah digunakan
sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada
tingkat makro. Skor PPH juga telah dijadikan dalam kebijakan
pembangunan pangan sebagai salah satu indikator output pembangunan
pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan, konsumsi pangan dan
diversifikasi pangan.
Penilaian keragaman dan mutu pangan dengan PPH atau skor
PPH dapat dilakukan pada tingkat ketersediaan pangan dan tingkat
konsumsi pangan. Pada prinsipnya tatacara perhitungan untuk penilaian
keragaman dan mutu pangan pada kedua tingkat tersebut adalah sama,
Untuk penilaian keragaman ketersediaan dengan instrumen PPH
digunakan data ketersediaan pangan yang disajikan dalam Neraca Bahan
Makanan (NBM) dan menggunakan Angka Kecukupan Energi (AKE) pada
tingkat penyediaan 2200 kkal/kapita/hari (nasional). Sedangkan untuk
penilaian keragaman dan mutu konsumsi pangan dengan instrumen PPH
digunakan data konsumsi pangan dan menggunakan Angka Kecukupan
Energi (AKE) pada tingkat konsumsi 2000kkal/kapita /hari. Oleh karena itu
keberadaan data konsumsi pangan atau ketersediaan pangan menjadi
syarat mutlak untuk menggunakan PPH dan menghitung skor PPH.
Sebaiknya diupayakan untuk menggunakan data konsumsi pangan yang
paling mutakhir bila dimaksudkan untuk menilai situasi terkini dari
keragaman dan mutu gizi konsumsi pangan. (PSKPG, IPB dan BBKP,
Deptan, 2002, 2005).
FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai “komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi
kebutuhan energi dan zat gizi lainnya”. Dengan demikian PPH merupakan
susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan
energi dan berbagai kelompok pangan untuk memenuhi gizi baik dalam
jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima,
ketersediaan pangan, ekonomi, budaya, dan agama.
Dengan pendekatan PPH ini mutu konsumsi pangan penduduk
dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor
dan seimbang. Pangan yang dikonsumsi secara beragam dan jumlah
cukup dan seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi.
Keanekaragaman pangan tersebut mencakup kelompok: 1). padi-padian;
2). umbi-umbian; 3). pangan hewani; 4). minyak dan lemak; 5). buah/biji
berminyak; 6). kacang-kacangan; 7). gula; 8). sayur dan buah; 9). lain-lain.
Kinerja subsistem konsumsi pangan antara lain tercermin dalam pola
konsumsi masyarakat dan rumahtangga.
Secara garis besar pola pikir perencanaan pangan daerah dengan
menggunakan pendekatan PPH perlu memperhatikan beberapa aspek
yaitu sebagai berikut :
1. Kondisi atau situasi pangan saat ini. Kondisi pangan saat ini
didasarkan pada situasi produksi, penyediaan dan konsumsi pangan
saat ini serta pada tren produksi, tren ketersediaan dan tren
konsumsi pangan dan gizi.
2. Kondisi yang diharapkan. Perumusan perencanaan pangan
dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan menjamin
ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, gizi
dan keragaman konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi.
3. Kondisi dan potensi sosial ekonomi serta agroekologi juga turut
menentukan. Kondisi tersebut meliputi pendapatan keluarga, potensi
agroekologi untuk produksi pangan, potensi agroindustri pangan dan
potensi ekspor serta laju pertumbuhan penduduk.
maupun lokal, turut menentukan.
F. Pengaruh Perlakuan Pangan Terhadap Gizi
1. Masalah gizi di masyarakat saling berhubungan di seluruh siklus hidup
dan atau antargenerasi, mulai dari dalam kandungan, bayi, anak balita,
anak sekolah, remaja, orang dewasa, dan seterusnya. Masalah gizi ini
akan terus memburuk kalau tidak ada intervensi untuk memutus siklus
masalah tersebut.
2. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi situasi pangan dan gizi
masyarakat. Berbagai faktor tersebut saling terkait dan biasanya
sangat kompleks. Faktor-faktor tersebut adalah kemampuan produksi,
penyediaan pangan, kelancaran distribusi, struktur dan jumlah
penduduk, laju pertumbuhan penduduk, daya beli rumah tangga,
pendidikan, pola asuh dalam keluarga, kesadaran gizi, dan keadaan
kesehatan. Faktor-faktor tersebut biasanya selalu berkembang seiring
dengan perkembangan keadaan sosial, ekonomi, dan politik yang
terjadi di masyarakat.
3. Secara nasional ketersediaan energi dan protein selama lima tahun
terakhir sudah mencukupi meskipun masih diperlukan peningkatan
produksi pangan mengingat pertumbuhan penduduk yang masih tinggi.
Sedangkan konsumsi energi masih di bawah angka kecukupan gizi
provinsi terdapat rumah tangga yang tergolong rawan pangan, yaitu
sekitar 23 persen rumah tangga mengalami rawan pangan.
4. Pola pangan harapan (PPH) merupakan susunan berbagai bahan
makanan atau kelompok bahan makanan yang didasarkan pada
sumbangan energinya, baik secara absolut maupun relatif terhadap
total energi yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan
penduduk, baik kuantitas maupun keragamannya, dengan
mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama,
dan cita rasa.
5. Masyarakat Indonesia di semua siklus hidup masih menghadapi
masalah gizi. Masalah gizi paling berat dihadapi oleh anak balita dan
ibu hamil.
6. Secara teoritis ada berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi masalah gizi adalah: a). peningkatan ketersediaan
pangan; b). perbaikan ekonomi; c). perbaikan pendidikan; d).
perbaikan konsumsi pangan; e). perbaikan keadaan kesehatan.
G. Prinsip-prinsip Kecukupan Gizi
Ada pergeseran konsep standar gizi yang digunakan pada masa
lalu dan masa kini. Pada masa lalu hanya dibuat satu standar gizi, yaitu
RDA) untuk keperluan berbagai tujuan. Pada masa kini standar gizi dibuat
tidak tunggal lagi, tergantung tujuan penggunaannya, yaitu kebutuhan
rata-rata (estimated average requirement, EAR), asupan gizi yang cukup
(Adequate Intake, AI), kecukupan gizi (recommended dietary allowances,
RDA), dan batas atas asupan (Tolerable Upper Intake Level, UL). Untuk
keperluan di Indonesia hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII
tahun 2004 menetapkan tiga standar gizi, yaitu angka kecukupan gizi
(AKG), batas atas asupan (UL), dan acuan label gizi (ALG). Angka
kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang
diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk
menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti
kehamilan dan menyusui. Konsep kecukupan energi kelompok penduduk
adalah nilai rata-rata kebutuhan, sedangkan pada kecukupan protein dan
zat gizi lain adalah nilai rata-rata kebutuhan ditambah dengan 2 kali
simpangan baku (2 SD). Kegunaan angka kecukupan gizi yang dianjurkan
adalah sebagai berikut: 1). untuk menilai kecukupan gizi yang telah
dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat
tertentu yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan; 2). untuk
merencanakan pemberian makanan tambahan balita maupun untuk
perencanaan institusi; 3). untuk merencanakan penyediaan pangan
tingkat regional maupun nasional; 4). untuk patokan label gizi makanan
yang dikemas apabila perbandingan dengan angka kecukupan gizi
Di samping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai
beberapa keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu sebagai berikut: 1). tahap pertumbuhan dan perkembangan tubuh;
2). ukuran dan komposisi tubuh; 3). jenis kelamin; 4). keadaan kesehatan
tubuh; 5). keadaan fisiologis tubuh; 6). kegiatan fisik; 7). lingkungan; 8).
mutu makanan; 9). gaya hidup.
Angka kecukupan gizi yang sudah ditetapkan untuk orang Indonesia
meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin
C, tiamin, riboflavin, niacin, piridoksin, vitamin B12, asam folat, kalsium,
fosfor, magnesium, besi, seng, iodium, mangan, selenium, dan fluor.
Angka kecukupan energi tingkat nasional yang pada taraf konsumsi 2000
kkal dan taraf persediaan 2200 kkal. Sedangkan angka kecukupan protein
tingkat nasional pada taraf konsumsi 52 gram dan taraf persediaan 57
gram. Kecukupan gizi untuk pelabelan produk makanan yang dikemas
disebut dengan acuan label gizi (ALG). Hasil diskusi kelompok kerja II
pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 menetapkan
bahwa acuan label gizi (ALG) dibuat untuk berikut ini: 1).
Makanan/pangan yang dikonsumsi untuk umum; 2). Makanan untuk bayi
usia 0-6 bulan; 3). Makanan untuk anak usia 7-23 bulan; 4). Makanan
untuk anak usia 2-5 tahun dan 5). Makanan untuk ibu hamil dan
Perencanaan pembangunan produksi dan penyediaan pangan
selama ini lebih menekankan pada sisi suplai atau mengejar target
ketersediaan. Faktor teknis, ekonomis dan seringkali politis dijadikan
landasan utama dalam perencanaan penyediaan pangan bagi
masyarakat. Yang dimaksud dengan pangan dalam Undang-Undang No.
7 Tahun 1996, adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman.
Rumusan kebijakan umum ketahanan pangan nasional 2006-2009
tertuang dalam dokumen yang diterbitkan Dewan Ketahanan Pangan
(2006). Dalam dokumen tersebut dinyatakan secara jelas bahwa
ketahanan pangan akan terwujud bila terpenuhinya dua aspek sekaligus,
yaitu: (1) pangan tersedia secara cukup dan merata untuk seluruh
penduduk, dan (2) setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi
atas pangan untuk hidup sehat dan produktif.
Persoalan mendasar yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan
pangan terfokus pada dua hal pokok. Pertama, adanya pertumbuhan
pangan domestik. Kedua, besarnya proporsi kelompok masyarakat yang
hidup di bawah garis kemiskinan (Suryana 2000).
Arah pembangunan ketahanan pangan yaitu: (1) mewujudkan
kemandirian pangan guna menjamin ketersediaan pangan di tingkat
nasional, daerah hingga rumah tangga yang cukup, aman, bermutu, dan
bergizi seimbang; dan (2) perwujudan ketahanan pangan tersebut
merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat,
termasuk swasta. Pada dasarnya, pembangunan ketahanan pangan
bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat mikro (rumah
tangga serta individu) dan di tingkat makro (nasional).
Urutan pencapaian tujuan ini mempunyai makna strategis, karena secara
eksplisit pendekatan ini menetapkan pembangunan ketahanan pangan
yang ingin dicapai adalah pada tingkat mikro/rumah tangga.
Salah satu dari 13 pesan dari Pedoman Umum Gizi Seimbang,
”Makanlah Aneka Ragam Makanan”. Tidak ada satu pun jenis makanan
yang mengandung semua zat gizi, yang mampu membuat seseorang
untuk hidup sehat, tumbuh kembang dan produktif. Oleh karena itu, setiap
orang perlu mengkonsumsi anekaragam makanan; kecuali bayi umur 0-6
bulan yang cukup mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI) saja. Bagi bayi 0-6
bulan, ASI adalah satu-satunya makanan tunggal yang penting dalam
proses tumbuh kembang dirinya secara wajar dan sehat.
Hal ini membawa konskuensi bahwa setiap rumah tangga dan
sehingga mampu menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari
ke hari. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang menjadi
syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan,
yang selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia
maupun kemampuan fisiknya. Generasi yang tangguh secara fisik
maupun intelegensia akan menjadi tulang punggung bagi tumbuh
kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun
politik
Ketahanan pangan secara nasional memiliki makna sebagai
kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya
memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman,
dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis
pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk
mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan
pangan nasional terhadap impor (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2005). Berkaitan dengan hal tersebut Departemen Pertanian
menetapkan beberapa langkah strategis untuk mencapai sasaran
ketahanan pangan di atas antara lain dengan cara : 1). Mengidentifikasi
potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas padi, jagung,
kedelai, tebu dan sapi potong; 2). Merenovasi dan memperluas
infrastruktur fisik dengan merehabilitasi jaringan irigasi lama dan
membangun jaringan irigasi baru untuk pengembangan lahan sawah di
luar Jawa; 3). Menahan laju konversi lahan sawah di Jawa melalui
penetapan ”lahan abadi” untuk usaha pertanian; 4). Mempercepat
penemuan teknologi benih/bibit unggul untuk peningkatan produktivitas,
teknologi panen untuk mengurangi kehilangan hasil, dan teknologi pasca
panen serta pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah; 5).
Mempercepat pembentukan teknologi spesifik lokasi kelima komoditas
tersebut untuk meningkatkan daya saingnya; 6). Membangun sistem
perbenihan/pembibitan untuk kelima komoditas tersebut; 7). Memberikan
subsidi sarana produksi untuk usaha primer sekaligus memberikan
proteksi kepada kelima komoditas tersebut; 8). Merevitalisasi sistem
penyuluhan dan kelembagan petani untuk mempercepat difusi adopsi
teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani; 9).
Mengembangkan sistem pemasaran hasil pertanian yang mampu
mendistribusikan produk dan return/keuntungan secara efisien dan adil;
10). Mengembangkan sistem pembiayaan pertanian, termasuk keuangan
mikro pedesaan untuk meningkatkan aksesibilitas petani atas sumber
permodalan/pembiayaan pertanian; 11). Memberikan insentif berinvestasi
di sektor pertanian, khususnya di luar Jawa, termasuk menyederhanakan
proses perizinan investasi di sektor pertanian; 12). Memperjuangkan
komoditas padi, jagung, kedelai dan tebu sebagai komoditas strategis
(SP) dalam perundingan W.T.O.
Dalam realitasnya untuk mewujudkan program ketahanan pangan
dengan aspek sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang saat ini belum
menggembirakan. Sebagai gambaran misalnya program ketahanan
pangan di Kabupaten Ngawi masih dihadapkan pada beberapa masalah
yang mendasar, beberapa permasalahan yang kerap kali muncul antara
lain dikarenakan : 1). Tingginya penduduk miskin di Ngawi yang
berpotensi besar terjadi rawan pangan dan gizi; 2). Belum tergalinya
potensi pangan lokal yang dapat mensubstitusi beras dan terigu; 3).
Belum optimalnya pencapaian produktivitas dan kualitas produk produk
pertanian; 4). Distribusi pangan di tingkat masyarakat belum merata,
padahal produksi pertanian cukup tinggi; 5). Fluktuasi harga gabah di
tingkat petani pada saat panen raya; 6). Belum adanya kelembagaan
ketahanan pangan yang bersifat struktural dan operasional di tingkat
kabupaten serta peran dan fungsi dewan ketahanan pangan yang belum
optimal; 7). Penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil
produksi pertanian yang belum optimal; 8). Masih banyak ditemukan
pangan yang tidak memenuhi standar kesehatan untuk dikonsumsi baik
pada proses budidaya maupun pada saat pengolahan; 9). Terbatasnya
sarana dan prasarana, permodalan, akses pergudangan/penyimpanan
pengolahan dan jaringan pemasaran; 10). Masih tingginya hama penyakit
dan bencana alam yang mengganggu terhadap produksi serta kenaikan
harga bbm yang berdampak besar pada daya beli masyarakat dan
Dari gambaran tersebut, efektifitas kinerja program ketahanan
pangan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan sektor
pertanian, baik primer maupun sekunder (produk olahan). Oleh karenanya
revitalisasi pertanian di berbagai daerah akan banyak membantu
keberhasilan program ketahanan pangan ini. Tidak ada satu bangsapun
yang dapat membangun perekonomiannya tanpa menyelesaikan masalah
pangan terlebih dahulu, oleh karena itu ketahanan pangan merupakan
salah satu pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Ketidaktahanan
pangan sangat berpotensi memicu kerawanan sosial, politik maupun
keamanan sehingga tidak kondusif untuk melaksanakan pembangunan.
Atas dasar itulah maka tujuan utama pembangunan nasional adalah
meningkatkan kualitas SDM, yang tercermin dalam Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Dengan demikian terpenuhinya pangan yang cukup, baik
dalam jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh
rumah tangga dan individu menjadi sasaran utama pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada setiap level pemerintahan baik
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini dapat diwujudkan melalui
pembangunan ketahanan pangan.
Secara operasional, perencanaan kebutuhan pangan dapat
didasarkan pada pendekatan pemenuhan gizi seimbang. Artinya,
perencanaan kebutuhan pangan dilakukan berdasarkan AKG (Angka
Kecukupan Gizi) dan PPH (Pola Pangan Harapan). Pendekatan lain
Artinya, perencanaan kebutuhan pangan ditujukan untuk menjamin
ketersediaan pangan sesuai dengan permintaan aktual masyarakat
sebagai cerminan pendapatan, harga pangan, preferensi pangan, nilai
sosial pangan dan budaya pola konsumsi pangan. Dengan demikian
paradigma yang digunakan dalam perencanaan penyediaan pangan
adalah dengan memperhatikan keanekaragaman pangan dan
keseimbangan gizi yang sesuai dengan daya beli, preferensi konsumen
dan potensi sumberdaya lokal. Salah satu acuan/pendekatan yang dapat
digunakan untuk itu adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pendekatan ini
pertama kali dilontarkan oleh FAO Kantor Wilayah Asia Fasifik
(FAO-RAPA) pada tahun 1988. Pendekatan PPH merupakan pelengkap dua
pendekatan sebelumnya (Hardinsyah, et. al, 2001).
Pembangunan ketahanan pangan sampai di tingkat rumah tangga,
mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena: 1).
Akses pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi
manusia; 2). Proses pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas
dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; 3).
Ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan
ekonomi dan ketahanan pangan nasional. (Badan Urusan Ketahanan
Pangan, 2000).
Untuk mengukur keberhasilan pembangunan persediaan dan
konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah diperlukan suatu parameter.
gambaran umum dari pola ketahanan pangan. Gambaran ketahanan
pangan yang ditinjau dari aspek produksi dan konsumsi secara
keseluruhan akan mampu mengindikasikan permasalahan dalam
konsumsi pangan di suatu daerah. Hal tersebut disebabkan pada pola
produksi pangan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu tingkat produksi
kegiatan usaha tani yang dilakukan di daerah tersebut, konversi lahan,
menurunnya tingkat produktifitas dan adanya distribusi pangan yang
terkendali dengan baik, sedangkan pada pola konsumsi dipengaruhi oleh
pola budaya, kemampuan masyarakat atau tingkat daya beli masyarakat,
selera dan harga dari pangan itu sendiri.
Tingginya produktifitas selain dipengaruhi oleh perbaikan teknik
budidaya berkenaan dengan kemampuan mengalokasikan input secara
optimal juga ada faktor manajemen produksi yang berpengaruh baik itu
menekan kehilangan hasil pasca panen, penyimpanan maupun dalam
aspek tata guna air.
Ketergantungan pada satu jenis pangan akan sangat berbahaya
bagi ketahanan pangan dalam jangka panjang, sehingga diversifikasi
pangan perlu mendapatkan perhatian dalam pembangunan bidang
pangan. Dalam rangka diversifikasi pangan akan sangat positif bila
pangan lokal dikembangkan kembali dan upaya dibangkitkan dari potensi
lokal sehingga mengurangi ketergantungan pada beras. Fortifikasi atas
pangan lokal dapat dikenalkan teknologinya, sehingga masyarakat dapat