• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situasi Konsumsi Dan Peluang Pasar Pangan Dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) Di Kabupaten Ngawi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Situasi Konsumsi Dan Peluang Pasar Pangan Dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) Di Kabupaten Ngawi."

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan oleh :

MOH. SUBIYANTO NPM. 0864020029

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL” VETERAN “ JAWA TIMUR

(2)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

MOH. SUBIYANTO NPM. 0864020029

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 16 Juni 2010 dan telah

memenuhi syarat untuk diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji

Dr.Ir.H.Sudiyarto,MM Dr.Ir. Eko Nurhadi, MS

Pembimbing Pendamping Ir. Sri Tjondro Winarno, MM

Ir. Sri Widayanti, MP Ir. Setyo Parsudi, MP

Surabaya, 16 Juni 2010 UPN “Veteran”JawaTimur

ProgramPascasarjana Direktur

(3)

dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul ”SITUASI KONSUMSI DAN PELUANG PASAR PANGAN DENGAN PENDEKATAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KABUPATEN NGAWI”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Sudiyarto, MM, selaku Pembimbing Utama dan Ir. Sri Widayanti, MP, selaku Pembimbing Pendamping. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi sebagian persyaratan tugas akhir guna mencapai derajat sarjana S-2 pada Program Studi ”Magister Manajemen Agribisnis” Program Pascasarjana UPN ”Veteran ” Jawa Timur.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran ” Jawa Timur. 2. Direktur beserta staf dan seluruh Dosen Program Pascasarjana

Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran ” Jawa Timur.

3. Bupati Ngawi yang telah memberikan ijin penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Program Pascasarjana Universitas Pembangunan ”Veteran” Jawa Timur.

(4)

5. Secara khusus isteri dan anak-anakku yang senantiasa memberi dukungan dan doa.

6. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini yang tak dapat kami sebutkan satu per satu.

Karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, Tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian penulis berharap semoga dapat memberikan manfaat dalam keilmuan, masyarakat, bangsa dan negara.

Surabaya, Juli 2010.

Penulis

(5)

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

RINGKASAN... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH... 4

1.3. Perumusan Masalah... 5

1.4.Tujuan Penelitian... 10

1.5. KegunaanPenelitian... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Penelitian Terdahulu ... 13

2.2.Landasan Teori... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN... 36

3.1.Kerangka Pemikiran... 36

IV. METODE PENELITIAN... 36

4.1. Tempat dan Waktu... 48

4.2. Penentuan Populasi dan Pengambilan Sampel... 48

4.3. Metode Pengumpulan Data... 49

4.4. Proses Pengumpulan Data... 51

(6)

5.1. Gambaran umum wilayah penelitian... 72

5.2. Kondisi Sosio Demografi Responden………. 81

5.3. Situasi Konsumsi Pangan………. 83

5.4. Proyeksi Konsumsi, Penyediaan Pangan Dan PPH Sasaran………... 107

5.5. Peluang Pasar………. 112

VI. KESIMPULAN DAN SARAN………. 116

6.1. Kesimpulan……….. 116

6.2. Saran………. 118

DAFTAR PUSTAKA………... 119

(7)

1. Contoh Susunan PPH Nasional (Data Susenas 2004)... 60

2. Jumlah Penduduk Kabupaten Ngawi Tahun 2005-2009... 73

3. Jumlah Kelahiran Dan Kematian Tahun 2005-2008... 74

4. Jumlah Penduduk Menurut Agama Tahun 2005-2008... 75

5. Jumlah Siswa Di Tingkat Pendidikan 2005-2008... 75

6. Jumlah Sarana Kesehatan Tahun 2005-2008... 76

7. Jumlah Kelahiran Menurut Penolong Kelahiran 2005-2008... 76

8. Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Alat Kontrasepsi... 77

9. Produksi Pangan Kabupaten Ngawi Tahun 2005-2009... 78

10. Konsumsi Dan Kecukupan Energi Penduduk... 85

11. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Padi-padian... 87

12. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Umbi-umbian... 90

13. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Hewani... 92

14. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Minyak Dan Lemak... 94

15. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Buah/Biji Berminyak.... 96

16. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Kacang-kacangan... 97

17. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Gula... 98

18. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Sayur Dan Buah... 98

19. Konsumsi Pangan Dari Kelompok Pangan Lain-lain... 100

20. Konsumsi Energi Menurut Karakteristik Wilayah... 101

21. Konsumsi Protein Dan Kecukupan Protein... 104

22. Skor Pola Pangan Harapan... 107

23. Proyeksi Konsumsi Pangan 2010-2020... 109

24. Target Penyediaan Pangan 2010-2020... 110

25. Sasaran Skor PPH Tahun 2020... 111

(8)

1. Bagan Dan Alur Pemikiran ... 46

2. Prinsip Dasar Untuk Menghitung Bobot PPH... 64

3. Tingkat Pendidikan Responden KK... 81

4. Kondisi Umur Responden KK... 82

(9)

1. Blanko Kuesioner Responden... 123

2. Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang Dan Angka Kecukupan Gizi Nasional... 124

3. Daftar Komposisi Bahan Makanan Terpilih (DKBM)... 125

4. Daftar Konversi Ukuran Rumah Tangga (DKURT)... 126

5. Analisis Pola Konsumsi Pangan Dan Tingkat Kecukupan Gizi... 133

6. Analisis Proyeksi Konsumsi Pangan Penduduk Per Hari... 134

7. Analisis Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Menurut Wilayah Ekonomi... 138

8. Analisis Skor Pola Pangan Harapan Aktual... 140

9. Analisis Proyeksi Konsumsi Pangan Penduduk Per Tahun... 144

10. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Hari... 148

11. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Bulan... 152

12. Analisis Proyeksi Kebutuhan Pangan Wilayah Per Tahun... 156

13. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Hari... 160

14. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Minggu... 164

15. Analisis Target Penyediaan Pangan Per Bulan... 168

(10)

Expectation ( PPH) [In] Sub-Province of Ngawi; Especial Counsellor [of] Dr. Ir. Sudiyarto, MM, and Second Counsellor Of Ir. Sri Widayanti, MP

Food represent a[n requirement of fundamental / elementary to human being which must fulfill by society and government by together. Government as society and fasilitator carry out production process and is ready, commerce, distribution and also personate rightful claimant consumer obtain;get food which enough in number, quality of is, peaceful, nutritious, immeasurable, flatten and reached by their purchasing power. *****Fufilled* requirement of the food can be seen from its availability. Availibility of food which enough not yet guaranteed protected of resident from problem of and food of gizi. Besides its availability also require to be paid attention from pattern aspect consume contribution balance or household among consumed food type, so that can fulfill standard of gizi suggested

This research aim to to : 1). To analysing situation consume resident food base on expectation food pattern ( PPH); 2). Analysing situation consume resident food [in] economic region go forward, middle and left behind; 3). Analysing projection consume and ready goals [of] resident food with approach of expectation food pattern ( PPH).

This Research [is] [done/conducted] [by] Sub-Province region of Ngawi, [at] 9 district, every district 3 countryside and each countryside 10 household sampel, so that the amount of responder 270 household, taking place from April up to May 2010. Technique determination of region of sampel use regional characteristic [of] economics ( go forward, middlely, left behind). Data analysed to use Sofware Application Computer " Analysis SituationConsume Regional Food [of] Sub-Province" which [in] program by Heryatno ( 2005) and developed by Martianto, Baliwati, Heryatno and of Herawati ( 2009).

(11)

able to live healthyly, productive and active.

Consumption of Energi [at] economic region go forward ( 2365,6 kkal/kap/hr) lower compared to with middle economic region ( 2390,9 kkal/kap/hr) and economic region [of] left behind ( 2758,9 kkal/kap/hr), but still higher with AKE ( 2007,6 kkal/kap/hr), but consume energi [at] economic region go forward more coming near with number recommend national ( 2000 kkal/kap/hr). This matter show economic consumption pattern go forward better compared to with middle economics and left behind.

Mean consume protein ( 85,9 gram/kap/hr)/160,5%, exceeding number sufficiency of protein ( 52,9 gram/kap/hr) also above AKP fomentation of WKPNG 2004 ( 52 gram/kap/hr), height consume protein caused [by] participation height consume legume food group ( soybean cake / tempe). Excess of protein consumption of AKP will have no use for body as source of constructor Iihat vitamin, but will be thrown to replace as source of power ( energi) which less than consume other food materials.

With growth of resident of Sub-Province of Ngawi equal to 0,78 / year, hence ready goals analysis [of] requirement of year food 2010 (453.906 ton / year) and can be targeted ready 100 % year 2020 totally food 334.605 ton / year. In this ready goals [is] each food group there [is] which go down there [is] also which must be boosted up, so that will be created [by] opportunity of food market

Keyword: Analysis Situation Consume Food, Pattern Food of

Expectation (PPH), Opportunity Of Market Food Based on PPH.

(12)

(PPH) Di Kabupaten Ngawi; Pembimbing Utama Dr. Ir. Sudiyarto, MM Dan Pembimbing Pendamping Ir. Sri Widayanti, MP.

Pangan merupakan suatu kebutuhan pokok/dasar bagi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli mereka. Terpenuhinya kebutuhan pangan tersebut dapat dilihat dari ketersediaannya. Ketersediaan pangan yang cukup belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi. Selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan dari aspek pola konsumsi rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang dianjurkan.

Penelitian ini bertujuan untuk : 1). Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk berbasis pola pangan harapan (PPH); 2). Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di wilayah ekonomi maju, menengah dan tertinggal; 3). Menganalisis proyeksi konsumsi dan target penyediaan pangan penduduk dengan pendekatan pola pangan harapan (PPH).

Penelitian ini dilakukan diwilayah Kabupaten Ngawi, pada 9 kecamatan, tiap kecamatan 3 desa dan masing-masing desa 10 sampel rumah tangga, sehingga jumlah responden 270 rumah tangga, berlangsung dari bulan April sampai dengan Mei 2010. Teknik penentuan wilayah sampel menggunakan karakteristik wilayah ekonomi (maju, menengah, tertinggal). Data dianalisis menggunakan Sofware Aplikasi Komputer “Analisis Situasi Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten” yang di program oleh Heryatno (2005) dan dikembangkan oleh Martianto, Baliwati, Heryatno dan Herawati (2009).

(13)

produktif.

Konsumsi energi pada wilayah ekonomi maju (2365,6 kkal/kap/hr) lebih rendah dibanding dengan wilayah ekonomi menengah (2390,9 kkal/kap/hr) dan wilayah ekonomi tertinggal (2758,9 kkal/kap/hr), tetapi masih lebih tinggi dengan AKE (2007,6 kkal/kap/hr), namun konsumsi energi pada wilayah ekonomi maju lebih mendekati dengan angka rekomendasi nasional (2000 kkal/kap/hr). Hal ini menunjukkan pola konsumsi ekonomi maju lebih baik dibanding dengan ekonomi menengah dan tertinggal.

Rata-rata konsumsi protein (85,9 gram/kap/hr)/160,5%, melebihi angka kecukupan protein (52,9 gram/kap/hr) juga diatas AKP anjuran WKPNG 2004 (52 gram/kap/hr), tingginya konsumsi protein disebabkan tingginya partisipasi konsumsi kelompok pangan kacang-kacangan (tahu/tempe). Kelebihan konsumsi protein dari AKP akan tidak bermanfaat bagi tubuh sebagai sumber zat pembangun, tetapi akan dibuang untuk menggantikan sebagai sumber tenaga (energi) yang kurang dari konsumsi bahan pangan lain.

Dengan pertumbuhan penduduk Kabupaten Ngawi sebesar 0,78/tahun, maka analisa target penyediaan kebutuhan pangan tahun 2010 (453.906 ton/tahun) dan dapat ditargetkan penyediaan 100 % dan menjadi sehat, aktif dan produktif tahun 2020 dengan total pangan 334.605 ton/tahun. Dalam target penyediaan ini masing-masing kelompok pangan ada yang turun ada pula yang harus dinaikkan, sehingga akan tercipta peluang pasar pangan.

Kata kunci:Analisis Situasi Konsumsi Pangan, Pola Pangan Harapan (PPH), Peluang Pasar Pangan Berdasar PPH.

(14)

Pangan merupakan suatu hal yang sangat penting dan strategis, mengingat pangan adalah merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dalam Undang-Undang tersebut diamanatkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli mereka.

(15)
(16)

cadangan pangan, pencegahan dan penenggulangan masalah pangan juga riset dan teknologi pangan. Beberapa alasan substansial perlunya perencanaan pangan untuk pembangunan ketahanan pangan adalah ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem yang saling berinteraksi dan harmoni yaitu subsistem kretersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Berkaitan dengan itu sebagai dasar untuk perencanaan dan untuk mengukur sejauhmana keberhasilan berbagai upaya dibidang produksi, penyediaan dan konsumsi pangan penduduk baik nasional maupun lokal, diperlukan suatu parameter yang memadai. Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini juga menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal; pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumah tangga.

(17)

daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli (Hardinsyah, 1996).

1.2. Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH.

Pola Konsumsi Pangan dapat diterapkan baik untuk tingkat Nasional, Regional (propinsi dan kabupaten), dan keluarga tergantung keperluannya, sedangkan penilaiannya dapat dilakukan melalui sisi kualitas dan sisi kuantitas.

Peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan yang ideal (skor PPH 100) memerlukan upaya yang harus benar-benar diperhitungkan oleh semua sektor. Upaya tersebut tidak cukup pada sisi penyediaan saja, tetapi juga peningkatan pendapatan dan peningkatan pengetahuan tentang perbaikan gizi yang mempengaruhi perbaikan mutu gizi masyarakat. Status gizi merupakan muara dari sistem ketahanan pangan. Dengan kata lain status gizi merupakan salah satu indikator yang mencerminkan baik-buruknya ketahanan pangan suatu daerah.

(18)

Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKPNG VIII 2004).

1.3. Perumusan Masalah.

Beberapa kebijakan-kebijakan di atas ternyata belum memberikan hasil optimal dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan. Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi masalah kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan oleh skor pola pangan harapan (PPH) dan rapuhnya ketahanan pangan. Berdasarkan data susenas tahun 2005 skor PPH baru mencapai 78,2 yang mana skor idealnya adalah 100. Sedangkan indikator lemahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga diindikasikan oleh (a). Jumlah penduduk rawan pangan (konsumsinya < 90% dari AKG) yang masih cukup besar yaitu 52,33 juta jiwa pada tahun 2002. Dari jumlah tersebut 15,48 juta jiwa diantaranya merupakan penduduk sangat rawan (konsumsinya <70% AKG); (b). Balita kurang gizi masih cukup besar yaitu 5,02 juta pada tahun 2002 dan 5,12 juta pada tahun 2003 (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).

(19)

pada kehilangan 5-10 IQ poin (UNICEFF, 1997). Diperkirakan Indonesia kehilangan 330 juta IQ point akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan antara 20-30% (Depkes RI., 2005). Kondisi di atas juga berdampak pada rendahnya pencapaian indeks pembangunan manusia (human development index = HDI) di Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia. Hasil penelitian UNDP (2004) menempatkan HDI Indonesia pada urutan ke 111 dari 174 negara yang dinilai.

Fakta di atas mengindikasikan bahwa keanekaragaman konsumsi pangan penduduk sebagai upaya meningkatkan status gizi harus terus diupayakan. Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah harus didasarkan pada faktor-faktor yang dapat mempengauhi pola konsumsi makan.

(20)

Faktor prestise dari pangan kadang kala menjadi sangat menonjol sebagai faktor penentu daya terima pangan (Martianto dan Ariani, 2004).

Dilihat dari perjalanan program diversifikasi selama ini, belum optimalnya pencapaian diversifikasi konsumsi pangan diduga karena (a) minimnya implementasi di lapangan dalam memasarkan dan mempromosikan pentingnya diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini tidak seperti pemasaran sosial tentang KB yang bisa merubah pola pikir masyarakat yaitu keluarga sejahtera cukup dengan dua anak, dan (b) Penerimaan konsumen atas produk yang relatif rendah. Kondisi ini menyangkut tentang citra, nilai sosial ekonomi, dan mutu gizi pangan sumber karbohidrat non beras yang selama ini dianggap inferior. Hak atas pangan bagi rakyat seharusnya menjadi perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia.

(21)

Sejalan dengan sistem otonomi, pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan dan atau pemerintah desa sesuai dengan kewenangannya menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator atas penyelenggaraan ketahanan pangan diwilayahnya masing-masing. Selanjutnya penyelenggaraan di daerah mengacu pada arah kebijakan, strategi dan sasaran ketahanan pangan nasional serta pedoman, norma, standart dan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah.

Memperhatikan uraian di atas maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kajian tentang situasi konsumsi pangan yang dicerminkan oleh perubahan kuantitas dan keanekaragaman konsumsi pangan di masyarakat akibat faktor sosial ekonomi yang berbeda. Keberhasilan dalam kajian tersebut diharapkan dapat mempercepat pengembangan penganekaragaman di daerah dengan tetap memperhati-kan kekhasan daerah dan dapat memberikan kontribusi terhadap pem-bangunan ketahanan pangan regional maupun nasional.

(22)

yang banyak berkembang diantaranya adalah: ayam ras dan buras, sapi kambing, ikan: gurami, tawes, nila, mujahir, lele.

Konsep PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep triguna pangan. Keseimbangan jumlah antara kelompok pangan merupakan syarat terwujudnya keseimbangan gizi. Konsep gizi seimbang juga tergantung pada keseimbangan antara asupan (konsumsi) zat gizi dan kebutuhannya maupun jumlahnya antara waktu makan. Selain PPH, konsep gizi seimbang terdapat dalam slogan “Empat Sehat Lima Sempurna” maupun slogan “Panganku Beragam Bergizi, Berimbang dan Aman” (3B). Dengan adanya perkembangam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) diperlukan pesan-pesan gizi agar masyarakat tetap dapat mewujudkan derajat kesehatan dengan optimal.

Penerapan konsep PPH sebagai pendekatan perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan sejalan dengan kebijakan dan tujuan ketahanan pangan dan penganekaragaman pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan Kabupaten Ngawi salah satunya adalah melakukan perencanaan kebutuhan konsumsi maupun ketersediaan pangan dengan menggunakan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) sehingga pembangunan ketahanan pangan yang berbasis sumber daya lokal dapat terwujud.

(23)

mengenai pangan yang dikonsumsi, frekwensi konsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi suatu penduduk secara tidak langsung dapat menggambarkan status gizi penduduk. Sejarah mencatat pengumpulan data konsumsi pangan telah digunakan sejak pertengahan abad ke-18 untuk mempelajari hubungan antara konsumsi bahan pangan tertentu dengan kejadian suatu penyakit. Dari uraian diatas permasalahan-permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah konsumsi pangan penduduk sudah memenuhi anjuran untuk hidup sehat dan produktif?.

2. Apakah ada perbedaan pola konsumsi pangan menurut karakteristik wilayah ekonomi?.

3. Berapakah jumlah penyediaan bahan pangan pada 10 tahun yang akan datang?.

1.4. Tujuan Penelitian.

Bertitik tolak dari latar belakang dan permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk berbasis pola pangan harapan (PPH)..

(24)

3. Menganalisis proyeksi konsumsi dan target penyediaan pangan penduduk dengan pendekatan pola pangan harapan (PPH).

1.5. Kegunaan Penelitian.

A. Pemerintah.

Pola Pangan Harapan (PPH) berguna sebagai instrumen sederhana untuk menilai situasi konsumsi pangan penduduk yang berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregat. Disamping itu juga sebagai basis perhitungan skor PPH yang digunakan untuk indikator mutu gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan.

Membantu pejabat/aparat dinas/instansi dalam menganalisis situasi, proyeksi konsumsi, kebutuhan pangan penduduk dan target penyediaan pangan wilayah dalam rangka merumuskan kebijakan, strategi, program pangan dan gizi wilayah.

B. Akademisi

(25)

Peningkatan kerja sama dan kemitraan antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi, maka pengembangan ketahanan pangan dengan alokasi anggaran negara yang memadai untuk penelitian akan menciptakan inovasi-inovasi baru dalam rangka pemantapan ketahanan pangan.

C. Masyarakat.

Dengan pendekatan PPH, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat memenuhi tidak hanya kecukupan gizi (nutitional adequancy), akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestability), daya terima masyarakat (acceptability), kuantitas dan kemampuan daya beli (affortability). Suharjo (1992) menyatakan bahwa dengan adanya PPH, maka perencanaan produksi dan penyediaan pangan dapat didasarkan pada patokan imbangan komoditas seperti yang telah dirumuskan dalam PPH untuk mencapai sasaran kecukupan pangan dan gizi penduduk. PPH yang disajikan dalam bentuk kelompok pangan memberi keleluasaan untuk menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan potensi setempat.

(26)

Rata-rata konsumsi energi penduduk Jawa Timur tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hari atau mencapai 95% dari angka kecukupan energi (AKE) yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG VIII 2004) sebesar 2000 kkal/kap/hari, protein sebesar 62,30 gram/kap/hari atau mencapai 119,81% dari angka kecukupan protein (AKP) sebesar 52 gram/kap/hari, skor pola pangan harapan (PPH) sebesar 78 dari nilai skor maksimal 100 yang diharapkan tercapai pada tahun 2020. Pola konsumsi pangan penduduk Jawa Timur tahun 2005 masih belum memenuhi Pola Pangan Harapan Ideal, hal ini tercermin dari data Susenas 2005 yang mengisyaratkan masih tingginya konsumsi kelompok padi-padian dominan beras, masih rendahnya konsumsi kelompok pangan umbi-umbian (53,40%), kelompok pangan hewani (47,20%) serta kelompok pangan sayur dan buah (82,12%). (BKP. Jatim, 2006).

(27)

total keluarga. Sebaliknya proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi

non pangan berbanding lurus dengan pendapatan total keluarga,

(2) Kelompok jenis pekerjaan sebagai buruh yang umumnya tidak

memerlukan pendidikan formal yang tinggi namun membutuhkan proporsi

alokasi konsumsi pangan relatif lebih besar daripada jenis pekerjaan yang

tidak banyak membutuhkan kekuatan otot, (3) Semakin tinggi tingkat

pendidikan maka proporsi alokasi konsumsipangan akan semakin

berkurang atau dengan kata lain proporsi konsumsi pangan berbanding

terbalik dengan tingkat pendidikan.

Kajian dari Tri Bastuti dan Mewa Ariani (2007), yang mengkaji pola

pengeluaran dan konsumsi pangan rumah tangga petani padi. Data yang

digunakan PATANAS 2007 dengan jumlah contoh sekitar 350 petani padi

di 5 provinsi (Jawa dan Luar Jawa). Analisis dilakukan secara diskriptif

kualitatif dengan tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa : 1).

Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani di Provinsi Jawa Barat dan

Jawa Tengah lebih baik dibandingkan di Provinsi yang lainnya; 2).

Pengeluaran rumah tangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok,

kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani;

3). Beras adalah pangan pokok petani padi dan bersifat tunggal, yang

bersumber dari hasil sendiri, berkisar 38-63 persen di Jawa dan 53-94

persen di luar Jawa; 4). Tingkat konsumsi energi dan protein bervariasi

antar desa, namun pada umumnya masih dibawah angka kecukupan. Dan

(28)

A. Ayiek Sih Sayekti (2002), dalam penelitiannya tentang konsumsi

pangan rumah tangga pada wilayah yang berbeda historis makanan

pokok (beras dan non beras) di Provinsi Sumatra Barat, Kalimantan Timur

dan Papua. Data yang digunakan SUSENAS 1999 dan 2002, dianalisis

dengan tabel dan grafik terhadap 11 kelompok pangan untuk Indonesia,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). Terdapat perbedaan pola

konsumsi pangan pada wilayah historis konsumsi beras dan non beras

daerah pedesaan dan perkotaan pada berbagai strata pendapatan; 2).

Konsumsi sumber karbohidrat padi-padian pada wilayah historis beras

lebih tinggi daripada konsumsi pada wilayah historis konsumsi non beras;

3). Konsumsi sumber karbohidrat padi-padian (beras) pada wilayah

historis makanan pokok beras di daerah perkotaan lebih rendah daripada

di perdesaan dan di wilayah historis non beras lebih tinggi di perkotaan;

4). Konsumsi karbohidrat umbi-umbian pada wilayah historis makanan

pokok non beras lebih tinggi daripada konsumsi pada wilayah historis

konsumsi beras; 5). Konsumsi sumber karbohidrat umbi-umbian untuk

sebagian besar jenis umbi pada wilayah historis makanan pokok beras

dan non beras, di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan; 6).

Konsumsi sumber protein nabati yaitu kacang-kacangan dan sumber

protein hewani yaitu daging, telur dan susu lebih tinggi di wilayah historis

konsumsi makanan pokok non beras dibandingkan di wilayah historis

beras, sedangkan kelompok lainnya bervariasi; 7). Pada seluruh wilayah,

(29)

karbohidrat padi-padian dan semakin tinggi konsumsi sumber protein

hewani daging, telur dan susu serta makanan dan ninuman jadi,

sedangkan untuk kelompok pangan lain bervariasi.

Rahayu Relawati (2003), dalam penelitannya yang berjudul

“Perilaku konsumsi dan tingkat kecukupan gizi masyarakat desa dan

kota”. Jumlah sampel masing-masing 50 rumah tangga (total 100 rumah

tangga), analisis menggunakan cara deskriptif dan inferensia (uji t). Hasil

penelitian menunjukkan sebagai berikut : Perilaku konsumsi masyarakat

desa dan kota masih memprioritaskan karbohidrat, meskipun jika

dibandingkan antara masyarakat desa dan kota konsumsi protein dan

lemak lebih baik pada masyarakat kota. Kecukupan gizi pada masyarakat

kota juga relatif baik pada masyarakat kota, terutama untuk masyarakat

desa standar kalori dan lemak masih belum memenuhi standar Pola

Pangan Harapan (PPH) nasional. Jika dibandingkan antara kelompok

pendapatan rendah dan tinggi, hampir semua sumber gizi (kalori, protein

dan lemak) berbeda secara signifikan baik di desa maupun di kota. Untuk

masyarakat desa hanya lemak yang tidak berbeda, sedangkan untuk

masyarakat kota hanya kalori yang tidak berbeda.

2.2 Landasan Teori. A. Ketahanan Pangan.

(30)

Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Di dalam undang-undang

tersebut dirumuskan secara khusus tentang konsep ketahanan pangan

dan upaya mewujudkannya. Sejalan dengan evolusi pemikiran tentang

pangan dan ketahanan pangan, definisi ketahanan pangan juga

dirumuskan secara beragam dan berkembang sesuai dengan sudut

pandang dan kepentingan masing-masing, baik pada tataran global

maupun nasional (Suryana 2003b; Wiganda 2003; Arifin 2004). Hal ini

disebabkan ketahanan pangan (food security) mencakup banyak aspek,

mulai dari penyediaan, distribusi hingga konsumsi (Dewan Ketahanan

Pangan 2006).

Para ahli ekonomi pembangunan telah membahas adanya keterkaitan yang erat antara kemiskinan (poverty) dan ketidaktahanan

pangan (food insecurity). Deklarasi World Food Summit, five years later

menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan yang

berkelanjutan agar kelaparan dan kemiskinan di dunia dapat dihapuskan

(FAO 2002). Hal ini didasari kenyataan bahwa 70% penduduk miskin

tinggal di pedesaan dengan sumber utama pendapatan dari sektor

pertanian. Sejalan dengan deklarasi ini, International Food Policy

Research Institute (IFPRI 2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan

ekonomi yang tinggi merupakan prasyarat bagi pencapaian ketahanan

pangan di masing-masing negara. Namun demikian, pertumbuhan

ekonomi yang tinggi tersebut harus disertai dengan kemampuan

(31)

bagi orang miskin, atau disebut pro-poor growth. Untuk itu, pertumbuhan

ekonomi yang disertai pemberdayaan masyarakat dan penyediaan

pelayanan publik yang efektif merupakan fondasi bagi upaya

pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya tidak dapat

dilepaskan dari aspek ketahanan pangan secara makro di dalam suatu

wilayah. Hasil dari sektor pertanian akan secara langsung berdampak

pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan primer masyarakat agar sehat

dan bergizi baik. Ketahanan pangan secara nasional memiliki makna

sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya

memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman,

dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis

pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk

mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan

pangan nasional terhadap impor (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, 2005).

Ketahanan pangan dapat diartikan bahwa (1) pangan yang cukup

yang ditunjukkan oleh ketersediaan pangan yang bukan hanya beras

melainkan pangan yang berasal dari pangan nabati dan hewani untuk

memenuhi kebutuhan gizi yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan

manusia; (2) pangan yang tersedia aman untuk dikonsumsi berarti bebas

dari bahan kimia, mikroba, dan zat-zat lainnya yang merugikan kesehatan

(32)

yang merata dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan

merata di seluruh tanah air; dan (4) pangan dengan kondisi terjangkau

diartikan pangan mudah diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan

harga terjangkau (Suryana, 2003). Selanjutnya, Suryana (2003)

menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi

pangan yang terintegrasi dan terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem

utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi

pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan

interaksi antar ketiga subsistem tersebut yang merupakan satu kesatuan

yang didukung oleh adanya berbagai input yaitu sumberdaya alam,

kelembagaan, budaya dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan

pangan akan berjalan efisien dengan partisipasi masyarakat dan fasilitasi

pemerintah.

Subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan

kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi

dalam negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Jumlah penduduk

yang cukup besar, membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup besar

yang tentunya memerlukan upaya dan sumberdaya yang besar untuk

memenuhinya. Subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk

menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap

pangan antar wilayah, waktu, dan individu serta stabilitas harga.

Subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah

(33)

pangan dalam jumlah, mutu, keamanan, dan keragaman sesuai dengan

kebutuhan dan pilihannya (Suryana, 2003). Pengembangan ketahanan

pangan sampai di tingkat rumah tangga, mempunyai perspektif

pembangunan yang sangat mendasar karena (1). akses pangan dan gizi

seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia; (2). proses

pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi

oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; dan (3). ketahanan

pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan

ketahanan nasional (Badan Urusan Ketahanan Pangan (BUKP, 2000)).

Selain itu ketahanan pangan dapat ditinjau dari sistem kelembagaan

pangan. Dalam hal ini, terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh

bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem rumah

tangga yang mencakup pengaturan pola konsumsi, pola pengadaan dan

pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat mencakup pengaturan

produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem pemerintah mencakup

kebijakan, fasilitas dan pengamanan (Suryana, 2003).

Pencapaian sasaran tersebut didukung oleh adanya pergeseran

manajemen pembangunan dari pola sentralistis menjadi desentralistis.

Undang-undang No 32 Tahun 2004 pasal 14 mengamanatkan bahwa

“urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk

kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota,

meliputi antara lain : a) penanganan bidang kesehatan; b)

(34)

diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pasal 22

mengamanatkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah

antara lain mempunyai kewajiban meningkatkan kualitas kehidupan

masyarakat. Situasi ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada

pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan pembangunan

ketahanan pangan bersama dengan masyarakat sesuai dengan

sumberdaya, budaya dan kebiasaannya.

Sub sistem distribusi pangan berfungsi untuk mewujudkan sistem

distribusi yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar

seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan baik jumlah maupun

kualitas sepanjang waktu. Akses pangan secara ekonomi menyangkut

keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga

dan daya beli. Akses pangan menunjukkan bahwa setiap rumah tangga

dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Stabilitas pasokan dan

harga merupakan indikator penting yang menunjukkan kinerja sub sistem

distribusi. Harga (terutama pangan pokok) yang terlalu berfluktuasi dapat

merugikan petani produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen yang

berpotensi menimbulkan keresahan sosial.

Perencanaan penyediaan pangan yang semula sentralistik dan

lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi desentralistik dengan

pertimbangan yang lebih komprehensif sehingga tujuan-tujuan

(35)

terakomodasi. Dalam konteks ini penyediaaan data pola pangan harapan

(PPH) di masing-masing daerah menjadi semakin penting.

Sub sistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola

pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman, keseimbangan

gizi, keamanan dan halal. Sub sistem ini menyangkut upaya peningkatan

pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman

atas pangan, gizi dan kesehatan yang naik sehingga dapat mengatur

menu beragam, bergizi, berimbang dan aman secara optimal.

Kinerja ketiga subsistem dalam system ketahanan pangan tersebut

akan baik apabila tersedia input yang memadai, berupa sumber daya

alam (lahan, air, perairan), kelembagaan, budaya, dan teknologi.

Ketersediaan input saja tidak cukup untuk menggerakkan proses dalam

suatu sistem apabila tidak ditunjang oleh pengaturan pemerintah dan

partisipasi masyarakat. Fasilitasi pemerintah dapat berupa kebijakan

ekonomi makro, kebijakan perdagangan dalam negeri dan internasional,

pelayanan/ fasilitasi fisik dan nonfisik, intervensi dan pengelolaan pasar

terkendali, serta pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, peran

masyarakat terutama berkaitan dengan kegiatan produksi, industri

pengolahan, perdagangan, dan jasa pelayanan pangan; peningkatan

kesadaran gizi masyarakat; dan pengembangan solidaritas sosial.

Sinergi yang baik antara input, proses, peran pemerintah dan

masyarakat akan menghasilkan output sistem ketahanan pangan, berupa:

(36)

c). ketahanan pangan, dan d). ketahanan nasional berupa stabilitas

ekonomi dan politik.

Dalam sistem ketahanan pangan nasional, ketahanan pangan

dimulai pada tingkat rumah tangga, wilayah, dan terakhir nasional. Ada

tiga komponen utama pembentukan ketahanan pangan rumah tangga,

yaitu produksi sendiri (production), cadangan pangan (stock), dan

pendapatan (income). Apabila pendapatan rumah tangga cukup besar

sehingga seluruh kebutuhan pangannya dapat secara leluasa dipenuhi

dari pasar, maka rumah tangga tersebut termasuk ke dalam rumah tangga

tahan pangan, walaupun mereka tidak memproduksi pangan.

B. Pola Konsumsi Pangan.

Konsumsi pangan merupakan subsistem ketahanan pangan yang komprehensip berfungsi dalam pemanfaatan pangan yang memenuhi

kecukupan gizi, keamanan dan halal dalam upaya untuk menjaga

kesehatan dan produktifitas. Subsistem ini memperhatikan baik aspek

informasi kandungan gizi bahan makanan (kecukupan energi dan protein)

dan kuantitas bahan pangan yang dikonsumsi.

Walaupun upaya-upaya sudah dirintis sejak dasa warsa 60an, namun sampai saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang

diharapkan. Pola pangan lokal seperti ditinggalkan, berubah ke pola beras

dan pola mie. Kualitas pangan juga masih rendah, kurang beragam, masih

(37)

Konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sangat tergantung pada

beras dengan tingkat partisipasi rata-rata hampir mencapai 100% kecuali

untuk Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan ekologi sagu

berkisar 80% (Ariani dan Ashari, 2003). Data Susenas menunjukkan

bahwa pada tahun 2005 konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi yakni

105,2 kg/kapita/tahun.

Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga sangat erat

hubungannya dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial, ekonomi serta

potensi sumberdaya alam setempat. Akibat perbedaan tersebut ditambah

dengan kendala dalam distribusi pangan antar daerah, menyebabkan pola

konsumsi pangan antar daerah akan bervariasi dari suatu daerah ke

daerah lain. Seperti diketahui bahwa Indonesia terbagi kedalam

wilayah-wilayah yang secara historis mengkonsumsi beras sebagai makanan

pokok, dan wilayah yang mengkonsumsi biji-bijian lain atau umbi-umbian

sebagai makanan pokok. Dalam hal ini selain faktor-faktor tersebut

diatas, maka faktor kebiasaan (habit) yang berkaitan dengan unsur sosial

budaya, lingkungan ekonomi dan kebutuhan biologis yang mempengaruhi

seseorang melakukan pemilihan jenis makanan yang mereka konsumsi.

Pentingnya kebiasaan makan dapat dilihat dari kondisi dimana makin

beragam jenis makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga, maka makin

baiklah kondisi ini mendukung kebijakan diversifikasi pangan yang

merupakan faktor penting dalam pemecahan masalah beras yang

(38)

Terdapat dugaan bahwa pola konsumsi sangat berkaitan erat

dengan pola produksi setempat, maka menyebabkan munculnya

penelitian-penelitian yang membandingkan tingkat partisipasi konsumsi

pangan dengan misalnya tipe agroekosistem daerah (Sudaryanto dan

Sayuti, 1999), karena variasi daerah menurut tipe agroekosistem

menunjukkan perbedaan sistem usahataninya. Ali (2002), membedakan

wilayah historis konsumsi makanan pokok beras dan non beras untuk

menganalisa pola konsumsi beras di Indonesia. Dengan perbedaan

wilayah-wilayah tersebut ingin diketahui apakah juga ada perbedaan

dalam pola konsumsi pangannya. Hasil penelitian menunjukkan adanya

perbedaan pola konsumsi pangan pada wilayah dan strata pendapatan

yang berbeda untuk beberapa kelompok pangan.

C. Perilaku Konsumen.

Perkembangan menarik perilaku konsumen dalam mengkonsumsi

pangan pokok adalah ada kecenderungan berubahnya pola konsumsi

pangan pokok di pedesaan maupun perkotaan yang mengarah kepada

bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah

maupun mie instan. Pada masa sekarang peranan mie instan sangat

dominan disetiap rumah tangga mengkonsumsi makanan ini.

Kecenderungan yang demikian karena kuatnya peranan

pemerintah di masa lalu yang memberi subsidi besar pada industri

(39)

masyarakat dari belum kenal mie sampai menyenangi makanan tersebut.

Selain itu juga gencarnya media massa dalam mempromosikan makanan

tersebut dan hingga digemari oleh semua kalangan maupun semua

golongan umur. Konsumsi pangan dengan bahan baku terigu justru

mengalami peningkatan yang sangat tajam yakni sebesar 19,2%, untuk

makanan mie dan makanan lain berbahan baku terigu 7,9% pada periode

1999-2004 (BKP Provinsi Jawa Timur, 2006).

Produk olahan ini mudah didapat, mudah dimasak dan terjangkau

oleh sebagian besar konsumen. Apabila dikaitkan dengan salah satu

tujuan program diversifikasi pangan yaitu mengurangi konsumsi

ketergantungan pada beras, fenomena ini menciptakan ketergantungan

impor gandum. Ketergantungan impor gandum yang semakin besar yaitu

3,5 juta ton pada tahun 2001 dan 3,8 juta ton pada tahun 2002 merupakan

hal yang berlawanan dengan tujuan pembangunan pertanian dan

konsumsi berkelanjutan (BKP Deptan, 2005).

Diperlukan strategi nasional untuk mengembalikan konsumen pada

produk-produk pangan lain seperti ketela pohon, ubi jalar, jagung, sagu

dan garut yang merupakan pangan lokal dan diproduksi dari sistem

pertanian berkelanjutan. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara

ke dua setelah China sebagai produsen terbesar dunia ubi jalar. Bahkan

bersama Brasil dan Malaysia memiliki keanekaragaman talas terbesar di

(40)

D. Penawaran dan permintaan

Pasar pangan sudah masuk dalam tataran ketahanan pangan wilayah. Pasar pangan dibentuk dari produksi pangan wilayah, impor, dan

instrumen perdagangan. Pasar pangan, bersama produksi nasional,

cadangan pangan masyarakat, dan bantuan pangan mendukung

ketahanan pangan wilayah. Uraian di atas melukiskan: (1) ada perbedaan

dalam hal susunan variabel dan keterkaitannya dalam membangun

ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan tingkat agregasi di

atasnya (wilayah, nasional), dan (2) yang menghubungkan antara sistem

ketahanan pangan rumah tangga dengan sistem ketahanan pangan

wilayah dan nasional adalah pasar. Berkaitan dengan hal itu, pengelolaan

pasar pangan terkendali menjadi salah satu faktor kunci dalam

pencapaian ketahanan pangan nasional. Sementara itu, pemberdayaan

masyarakat agar mampu memasuki pasar tenaga kerja produktif

(pertanian maupun non pertanian) sehingga individu dan rumah tangga

memperolehpendapatan yang cukup, merupakan salah satu faktor

penentu dalam menciptakan ketahanan pangan rumah tangga.

Bersamaan dengan itu, penciptaan lapangan kerja produktif menjadi

prasyarat bagi tercapainya ketahanan pangan, baik di tingkat rumah

tangga maupun nasional. Pembangunan ketahanan pangan perlu adanya

dukungan kebijakan pemerintah yang berkelanjutan dan terus menerus,

agar dapat memberikan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan

(41)

sumberdaya alam sangat berperan untuk peningkatan produksi, maka

perlu inovasi-inovasi teknologi guna mendapatkan efek yang luas. Dan

pandangan ini melihat dari sisi suplai (supply side).

Bila dilihat dari potensi sumberdaya dalam upaya untuk

menyediakan bahan pangan dan hasil pertanian pada umumnya bagi

konsumen maka potensi dapat dilihat dari sisi demand (demand side).

Dari sisi demand maka potensi sektor pertanian perlu adanya pasar,

sarana prasarana transportasi dan juga komunikasi. Dengan terpadunya

elemen ini maka potensi akan memiliki spektrum luas dalam

pembangunan wilayah.

Garis besarnya adalah dalam aspek ketersediaan, potensi yang

ada merupakan kekuatan untuk melakukan pembangunan yang lebih

terarah. Kekuatan ini masih muncul karena keunggulan komparatif yang

dimliki Jawa Timur, sehingga diperlukan upaya-upaya dalam peningkatan

mentransformasi keunggulan komparatif (comparative advantage) menuju

pada keunggulan kompetitif (competittive advantage) yang lebih baik

dengan wilayah maupun negara lain.

Potensi sumberdaya alam yang merupakan keunggulan komparatif

memerlukan manajemen lebih mendalam sehingga pemanfaatan

sumberdaya melalui perencanaan yang layak dengan memperhatikan

aspek keberlanjutan, kesejahteraan dan pemerataan. Pelaksanaan

pengelolaan sumberdaya juga harus mengacu pada prinsip-prinsip

(42)

Evaluasi dilakukan terus menerus untuk menjaga agar penyimpangan

atas perencanaan dapat ditangani untuk mendapatkan output yang telah

ditetapkan.

Disisi lain tingginya produktivitas selain dipengaruhi oleh perbaikan

teknik budidaya berkenaan dengan kemampuan mengalokasikan input

secara optimal juga ada faktor manajemen produksi yang berpengaruh

baik itu menekan kehilangan hasil pasca panen, handling produk

(misalnya penyimpanan) maupun dalam aspek pengaturan tata guna air.

E. Pola Pangan Harapan

Sejak diperkenalkannya konsep Pola Pangan Harapan (PPH) dan

skor PPH pada awal dekade 90an di Indonesia, PPH telah digunakan

sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada

tingkat makro. Skor PPH juga telah dijadikan dalam kebijakan

pembangunan pangan sebagai salah satu indikator output pembangunan

pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan, konsumsi pangan dan

diversifikasi pangan.

Penilaian keragaman dan mutu pangan dengan PPH atau skor

PPH dapat dilakukan pada tingkat ketersediaan pangan dan tingkat

konsumsi pangan. Pada prinsipnya tatacara perhitungan untuk penilaian

keragaman dan mutu pangan pada kedua tingkat tersebut adalah sama,

(43)

Untuk penilaian keragaman ketersediaan dengan instrumen PPH

digunakan data ketersediaan pangan yang disajikan dalam Neraca Bahan

Makanan (NBM) dan menggunakan Angka Kecukupan Energi (AKE) pada

tingkat penyediaan 2200 kkal/kapita/hari (nasional). Sedangkan untuk

penilaian keragaman dan mutu konsumsi pangan dengan instrumen PPH

digunakan data konsumsi pangan dan menggunakan Angka Kecukupan

Energi (AKE) pada tingkat konsumsi 2000kkal/kapita /hari. Oleh karena itu

keberadaan data konsumsi pangan atau ketersediaan pangan menjadi

syarat mutlak untuk menggunakan PPH dan menghitung skor PPH.

Sebaiknya diupayakan untuk menggunakan data konsumsi pangan yang

paling mutakhir bila dimaksudkan untuk menilai situasi terkini dari

keragaman dan mutu gizi konsumsi pangan. (PSKPG, IPB dan BBKP,

Deptan, 2002, 2005).

FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai “komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi

kebutuhan energi dan zat gizi lainnya”. Dengan demikian PPH merupakan

susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan

energi dan berbagai kelompok pangan untuk memenuhi gizi baik dalam

jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima,

ketersediaan pangan, ekonomi, budaya, dan agama.

Dengan pendekatan PPH ini mutu konsumsi pangan penduduk

dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor

(44)

dan seimbang. Pangan yang dikonsumsi secara beragam dan jumlah

cukup dan seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi.

Keanekaragaman pangan tersebut mencakup kelompok: 1). padi-padian;

2). umbi-umbian; 3). pangan hewani; 4). minyak dan lemak; 5). buah/biji

berminyak; 6). kacang-kacangan; 7). gula; 8). sayur dan buah; 9). lain-lain.

Kinerja subsistem konsumsi pangan antara lain tercermin dalam pola

konsumsi masyarakat dan rumahtangga.

Secara garis besar pola pikir perencanaan pangan daerah dengan

menggunakan pendekatan PPH perlu memperhatikan beberapa aspek

yaitu sebagai berikut :

1. Kondisi atau situasi pangan saat ini. Kondisi pangan saat ini

didasarkan pada situasi produksi, penyediaan dan konsumsi pangan

saat ini serta pada tren produksi, tren ketersediaan dan tren

konsumsi pangan dan gizi.

2. Kondisi yang diharapkan. Perumusan perencanaan pangan

dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan menjamin

ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, gizi

dan keragaman konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi.

3. Kondisi dan potensi sosial ekonomi serta agroekologi juga turut

menentukan. Kondisi tersebut meliputi pendapatan keluarga, potensi

agroekologi untuk produksi pangan, potensi agroindustri pangan dan

potensi ekspor serta laju pertumbuhan penduduk.

(45)

maupun lokal, turut menentukan.

F. Pengaruh Perlakuan Pangan Terhadap Gizi

1. Masalah gizi di masyarakat saling berhubungan di seluruh siklus hidup

dan atau antargenerasi, mulai dari dalam kandungan, bayi, anak balita,

anak sekolah, remaja, orang dewasa, dan seterusnya. Masalah gizi ini

akan terus memburuk kalau tidak ada intervensi untuk memutus siklus

masalah tersebut.

2. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi situasi pangan dan gizi

masyarakat. Berbagai faktor tersebut saling terkait dan biasanya

sangat kompleks. Faktor-faktor tersebut adalah kemampuan produksi,

penyediaan pangan, kelancaran distribusi, struktur dan jumlah

penduduk, laju pertumbuhan penduduk, daya beli rumah tangga,

pendidikan, pola asuh dalam keluarga, kesadaran gizi, dan keadaan

kesehatan. Faktor-faktor tersebut biasanya selalu berkembang seiring

dengan perkembangan keadaan sosial, ekonomi, dan politik yang

terjadi di masyarakat.

3. Secara nasional ketersediaan energi dan protein selama lima tahun

terakhir sudah mencukupi meskipun masih diperlukan peningkatan

produksi pangan mengingat pertumbuhan penduduk yang masih tinggi.

Sedangkan konsumsi energi masih di bawah angka kecukupan gizi

(46)

provinsi terdapat rumah tangga yang tergolong rawan pangan, yaitu

sekitar 23 persen rumah tangga mengalami rawan pangan.

4. Pola pangan harapan (PPH) merupakan susunan berbagai bahan

makanan atau kelompok bahan makanan yang didasarkan pada

sumbangan energinya, baik secara absolut maupun relatif terhadap

total energi yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan

penduduk, baik kuantitas maupun keragamannya, dengan

mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama,

dan cita rasa.

5. Masyarakat Indonesia di semua siklus hidup masih menghadapi

masalah gizi. Masalah gizi paling berat dihadapi oleh anak balita dan

ibu hamil.

6. Secara teoritis ada berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk

menanggulangi masalah gizi adalah: a). peningkatan ketersediaan

pangan; b). perbaikan ekonomi; c). perbaikan pendidikan; d).

perbaikan konsumsi pangan; e). perbaikan keadaan kesehatan.

G. Prinsip-prinsip Kecukupan Gizi

Ada pergeseran konsep standar gizi yang digunakan pada masa

lalu dan masa kini. Pada masa lalu hanya dibuat satu standar gizi, yaitu

(47)

RDA) untuk keperluan berbagai tujuan. Pada masa kini standar gizi dibuat

tidak tunggal lagi, tergantung tujuan penggunaannya, yaitu kebutuhan

rata-rata (estimated average requirement, EAR), asupan gizi yang cukup

(Adequate Intake, AI), kecukupan gizi (recommended dietary allowances,

RDA), dan batas atas asupan (Tolerable Upper Intake Level, UL). Untuk

keperluan di Indonesia hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII

tahun 2004 menetapkan tiga standar gizi, yaitu angka kecukupan gizi

(AKG), batas atas asupan (UL), dan acuan label gizi (ALG). Angka

kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang

diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk

menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti

kehamilan dan menyusui. Konsep kecukupan energi kelompok penduduk

adalah nilai rata-rata kebutuhan, sedangkan pada kecukupan protein dan

zat gizi lain adalah nilai rata-rata kebutuhan ditambah dengan 2 kali

simpangan baku (2 SD). Kegunaan angka kecukupan gizi yang dianjurkan

adalah sebagai berikut: 1). untuk menilai kecukupan gizi yang telah

dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat

tertentu yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan; 2). untuk

merencanakan pemberian makanan tambahan balita maupun untuk

perencanaan institusi; 3). untuk merencanakan penyediaan pangan

tingkat regional maupun nasional; 4). untuk patokan label gizi makanan

yang dikemas apabila perbandingan dengan angka kecukupan gizi

(48)

Di samping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai

beberapa keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu sebagai berikut: 1). tahap pertumbuhan dan perkembangan tubuh;

2). ukuran dan komposisi tubuh; 3). jenis kelamin; 4). keadaan kesehatan

tubuh; 5). keadaan fisiologis tubuh; 6). kegiatan fisik; 7). lingkungan; 8).

mutu makanan; 9). gaya hidup.

Angka kecukupan gizi yang sudah ditetapkan untuk orang Indonesia

meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin

C, tiamin, riboflavin, niacin, piridoksin, vitamin B12, asam folat, kalsium,

fosfor, magnesium, besi, seng, iodium, mangan, selenium, dan fluor.

Angka kecukupan energi tingkat nasional yang pada taraf konsumsi 2000

kkal dan taraf persediaan 2200 kkal. Sedangkan angka kecukupan protein

tingkat nasional pada taraf konsumsi 52 gram dan taraf persediaan 57

gram. Kecukupan gizi untuk pelabelan produk makanan yang dikemas

disebut dengan acuan label gizi (ALG). Hasil diskusi kelompok kerja II

pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 menetapkan

bahwa acuan label gizi (ALG) dibuat untuk berikut ini: 1).

Makanan/pangan yang dikonsumsi untuk umum; 2). Makanan untuk bayi

usia 0-6 bulan; 3). Makanan untuk anak usia 7-23 bulan; 4). Makanan

untuk anak usia 2-5 tahun dan 5). Makanan untuk ibu hamil dan

(49)

Perencanaan pembangunan produksi dan penyediaan pangan

selama ini lebih menekankan pada sisi suplai atau mengejar target

ketersediaan. Faktor teknis, ekonomis dan seringkali politis dijadikan

landasan utama dalam perencanaan penyediaan pangan bagi

masyarakat. Yang dimaksud dengan pangan dalam Undang-Undang No.

7 Tahun 1996, adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati

dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan

sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan

tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan

dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau

minuman.

Rumusan kebijakan umum ketahanan pangan nasional 2006-2009

tertuang dalam dokumen yang diterbitkan Dewan Ketahanan Pangan

(2006). Dalam dokumen tersebut dinyatakan secara jelas bahwa

ketahanan pangan akan terwujud bila terpenuhinya dua aspek sekaligus,

yaitu: (1) pangan tersedia secara cukup dan merata untuk seluruh

penduduk, dan (2) setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi

atas pangan untuk hidup sehat dan produktif.

Persoalan mendasar yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan

pangan terfokus pada dua hal pokok. Pertama, adanya pertumbuhan

(50)

pangan domestik. Kedua, besarnya proporsi kelompok masyarakat yang

hidup di bawah garis kemiskinan (Suryana 2000).

Arah pembangunan ketahanan pangan yaitu: (1) mewujudkan

kemandirian pangan guna menjamin ketersediaan pangan di tingkat

nasional, daerah hingga rumah tangga yang cukup, aman, bermutu, dan

bergizi seimbang; dan (2) perwujudan ketahanan pangan tersebut

merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat,

termasuk swasta. Pada dasarnya, pembangunan ketahanan pangan

bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat mikro (rumah

tangga serta individu) dan di tingkat makro (nasional).

Urutan pencapaian tujuan ini mempunyai makna strategis, karena secara

eksplisit pendekatan ini menetapkan pembangunan ketahanan pangan

yang ingin dicapai adalah pada tingkat mikro/rumah tangga.

Salah satu dari 13 pesan dari Pedoman Umum Gizi Seimbang,

”Makanlah Aneka Ragam Makanan”. Tidak ada satu pun jenis makanan

yang mengandung semua zat gizi, yang mampu membuat seseorang

untuk hidup sehat, tumbuh kembang dan produktif. Oleh karena itu, setiap

orang perlu mengkonsumsi anekaragam makanan; kecuali bayi umur 0-6

bulan yang cukup mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI) saja. Bagi bayi 0-6

bulan, ASI adalah satu-satunya makanan tunggal yang penting dalam

proses tumbuh kembang dirinya secara wajar dan sehat.

Hal ini membawa konskuensi bahwa setiap rumah tangga dan

(51)

sehingga mampu menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari

ke hari. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang menjadi

syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan,

yang selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia

maupun kemampuan fisiknya. Generasi yang tangguh secara fisik

maupun intelegensia akan menjadi tulang punggung bagi tumbuh

kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun

politik

Ketahanan pangan secara nasional memiliki makna sebagai

kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya

memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman,

dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis

pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk

mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan

pangan nasional terhadap impor (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, 2005). Berkaitan dengan hal tersebut Departemen Pertanian

menetapkan beberapa langkah strategis untuk mencapai sasaran

ketahanan pangan di atas antara lain dengan cara : 1). Mengidentifikasi

potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas padi, jagung,

kedelai, tebu dan sapi potong; 2). Merenovasi dan memperluas

infrastruktur fisik dengan merehabilitasi jaringan irigasi lama dan

membangun jaringan irigasi baru untuk pengembangan lahan sawah di

(52)

luar Jawa; 3). Menahan laju konversi lahan sawah di Jawa melalui

penetapan ”lahan abadi” untuk usaha pertanian; 4). Mempercepat

penemuan teknologi benih/bibit unggul untuk peningkatan produktivitas,

teknologi panen untuk mengurangi kehilangan hasil, dan teknologi pasca

panen serta pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah; 5).

Mempercepat pembentukan teknologi spesifik lokasi kelima komoditas

tersebut untuk meningkatkan daya saingnya; 6). Membangun sistem

perbenihan/pembibitan untuk kelima komoditas tersebut; 7). Memberikan

subsidi sarana produksi untuk usaha primer sekaligus memberikan

proteksi kepada kelima komoditas tersebut; 8). Merevitalisasi sistem

penyuluhan dan kelembagan petani untuk mempercepat difusi adopsi

teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani; 9).

Mengembangkan sistem pemasaran hasil pertanian yang mampu

mendistribusikan produk dan return/keuntungan secara efisien dan adil;

10). Mengembangkan sistem pembiayaan pertanian, termasuk keuangan

mikro pedesaan untuk meningkatkan aksesibilitas petani atas sumber

permodalan/pembiayaan pertanian; 11). Memberikan insentif berinvestasi

di sektor pertanian, khususnya di luar Jawa, termasuk menyederhanakan

proses perizinan investasi di sektor pertanian; 12). Memperjuangkan

komoditas padi, jagung, kedelai dan tebu sebagai komoditas strategis

(SP) dalam perundingan W.T.O.

Dalam realitasnya untuk mewujudkan program ketahanan pangan

(53)

dengan aspek sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang saat ini belum

menggembirakan. Sebagai gambaran misalnya program ketahanan

pangan di Kabupaten Ngawi masih dihadapkan pada beberapa masalah

yang mendasar, beberapa permasalahan yang kerap kali muncul antara

lain dikarenakan : 1). Tingginya penduduk miskin di Ngawi yang

berpotensi besar terjadi rawan pangan dan gizi; 2). Belum tergalinya

potensi pangan lokal yang dapat mensubstitusi beras dan terigu; 3).

Belum optimalnya pencapaian produktivitas dan kualitas produk produk

pertanian; 4). Distribusi pangan di tingkat masyarakat belum merata,

padahal produksi pertanian cukup tinggi; 5). Fluktuasi harga gabah di

tingkat petani pada saat panen raya; 6). Belum adanya kelembagaan

ketahanan pangan yang bersifat struktural dan operasional di tingkat

kabupaten serta peran dan fungsi dewan ketahanan pangan yang belum

optimal; 7). Penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil

produksi pertanian yang belum optimal; 8). Masih banyak ditemukan

pangan yang tidak memenuhi standar kesehatan untuk dikonsumsi baik

pada proses budidaya maupun pada saat pengolahan; 9). Terbatasnya

sarana dan prasarana, permodalan, akses pergudangan/penyimpanan

pengolahan dan jaringan pemasaran; 10). Masih tingginya hama penyakit

dan bencana alam yang mengganggu terhadap produksi serta kenaikan

harga bbm yang berdampak besar pada daya beli masyarakat dan

(54)

Dari gambaran tersebut, efektifitas kinerja program ketahanan

pangan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan sektor

pertanian, baik primer maupun sekunder (produk olahan). Oleh karenanya

revitalisasi pertanian di berbagai daerah akan banyak membantu

keberhasilan program ketahanan pangan ini. Tidak ada satu bangsapun

yang dapat membangun perekonomiannya tanpa menyelesaikan masalah

pangan terlebih dahulu, oleh karena itu ketahanan pangan merupakan

salah satu pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Ketidaktahanan

pangan sangat berpotensi memicu kerawanan sosial, politik maupun

keamanan sehingga tidak kondusif untuk melaksanakan pembangunan.

Atas dasar itulah maka tujuan utama pembangunan nasional adalah

meningkatkan kualitas SDM, yang tercermin dalam Indeks Pembangunan

Manusia (IPM). Dengan demikian terpenuhinya pangan yang cukup, baik

dalam jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh

rumah tangga dan individu menjadi sasaran utama pembangunan

ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada setiap level pemerintahan baik

pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini dapat diwujudkan melalui

pembangunan ketahanan pangan.

Secara operasional, perencanaan kebutuhan pangan dapat

didasarkan pada pendekatan pemenuhan gizi seimbang. Artinya,

perencanaan kebutuhan pangan dilakukan berdasarkan AKG (Angka

Kecukupan Gizi) dan PPH (Pola Pangan Harapan). Pendekatan lain

(55)

Artinya, perencanaan kebutuhan pangan ditujukan untuk menjamin

ketersediaan pangan sesuai dengan permintaan aktual masyarakat

sebagai cerminan pendapatan, harga pangan, preferensi pangan, nilai

sosial pangan dan budaya pola konsumsi pangan. Dengan demikian

paradigma yang digunakan dalam perencanaan penyediaan pangan

adalah dengan memperhatikan keanekaragaman pangan dan

keseimbangan gizi yang sesuai dengan daya beli, preferensi konsumen

dan potensi sumberdaya lokal. Salah satu acuan/pendekatan yang dapat

digunakan untuk itu adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pendekatan ini

pertama kali dilontarkan oleh FAO Kantor Wilayah Asia Fasifik

(FAO-RAPA) pada tahun 1988. Pendekatan PPH merupakan pelengkap dua

pendekatan sebelumnya (Hardinsyah, et. al, 2001).

Pembangunan ketahanan pangan sampai di tingkat rumah tangga,

mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena: 1).

Akses pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi

manusia; 2). Proses pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas

dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; 3).

Ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan

ekonomi dan ketahanan pangan nasional. (Badan Urusan Ketahanan

Pangan, 2000).

Untuk mengukur keberhasilan pembangunan persediaan dan

konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah diperlukan suatu parameter.

(56)

gambaran umum dari pola ketahanan pangan. Gambaran ketahanan

pangan yang ditinjau dari aspek produksi dan konsumsi secara

keseluruhan akan mampu mengindikasikan permasalahan dalam

konsumsi pangan di suatu daerah. Hal tersebut disebabkan pada pola

produksi pangan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu tingkat produksi

kegiatan usaha tani yang dilakukan di daerah tersebut, konversi lahan,

menurunnya tingkat produktifitas dan adanya distribusi pangan yang

terkendali dengan baik, sedangkan pada pola konsumsi dipengaruhi oleh

pola budaya, kemampuan masyarakat atau tingkat daya beli masyarakat,

selera dan harga dari pangan itu sendiri.

Tingginya produktifitas selain dipengaruhi oleh perbaikan teknik

budidaya berkenaan dengan kemampuan mengalokasikan input secara

optimal juga ada faktor manajemen produksi yang berpengaruh baik itu

menekan kehilangan hasil pasca panen, penyimpanan maupun dalam

aspek tata guna air.

Ketergantungan pada satu jenis pangan akan sangat berbahaya

bagi ketahanan pangan dalam jangka panjang, sehingga diversifikasi

pangan perlu mendapatkan perhatian dalam pembangunan bidang

pangan. Dalam rangka diversifikasi pangan akan sangat positif bila

pangan lokal dikembangkan kembali dan upaya dibangkitkan dari potensi

lokal sehingga mengurangi ketergantungan pada beras. Fortifikasi atas

pangan lokal dapat dikenalkan teknologinya, sehingga masyarakat dapat

Gambar

Gambar 1: Bagan dan Alur Pemikiran
tabel 1
Tabel. 3. Jumlah Kelahiran Dan Kematian Tahun 2005-2008
Tabel 7. Jumlah Kelahiran Menurut Penolong Kelahiran 2005-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Entity Relationship Diagram (ERD) merupakan gambaran data yang dimodelkan dalam suatu diagram yang digunakan untuk mendokumentasikan data dengan cara menentukan apa saja

Puisi classic Indonesia mempunyai ciri – ciri khusus yakni bhs yang dipakai dalam puisi, terikat dengan irama, matra, rima, serta membuatannya begitu terikat dengan larik

Sesuai dengan SKAKK kompetensi guru pembimbing meliputi (1) Dapat menguasai konsep dan praksis asessmen untuk memahami kondisi, kebutuhan dan masalah konseli

Tema yang dipilih dalam penelitian adalah analisa hubungan pola konsumsi pangan sumber protein serta aktivitas fisik dengan massa otot pada remaja di perdesaan

〔商法 四〇一〕経営が悪化した会社の資金捻出のため売れ残った販 売用不動産を時価より高額に購入したことにつき取締役の会社に対

Berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu “Penerapan Metode Pengajaran Bilingual Terhadap Kemampuan Bahasa Inggris anak usia 3-4 Tahun( Studi Kasus di Lembaga

Diterima 15 Januari 2020 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penghindaran pajak, net working capital, leverage, ukuran perusahaan, dan ukuran dewan

Kepemilikan manajerial merupakan isu yang penting dalam teori keagenan sejak dipublikasikan oleh Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa semakin besar proporsi