1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang sangat penting yang harus
dikuasai oleh manusia. Manusia membutuhkan ilmu matematika hampir di setiap
aktivitas kesehariannya. Banyak persoalan disekitar kita yang dapat dipecahkan
dengan matematika. Sebagai contoh, aljabar dapat digunakan untuk menentukan
laba-rugi suatu usaha, aritmatika digunakan untuk hitung-menghitung, geometri
digunakan untuk menghitung luas suatu lahan. Oleh karena itu matematika sangat
penting untuk dipelajari, karena matematika dapat membantu siswa untuk
mempelajari ilmu–ilmu lain. Muijs (2008: 212) mengungkapkan "Mathemathics is also a prime vehicle for developing children's logical thinking and higher order cognitive skills”. Berdasarkan pernyataan tersebut, kemampuan berpikir logis dan keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dipelajari melalui matematika.
Penguasaan matematika yang baik tentu didukung dengan pembelajaran
matematika yang baik pula. Keberhasilan pembelajaran matematika dapat dilihat
dari tingkat pemahaman, penguasaan materi, dan prestasi belajar siswa. Semakin
tinggi pemahaman, penguasaan materi, semakin tinggi pula prestasi belajar siswa.
Menurut Nana (2011: 22), prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Prestasi belajar
menunjukkan sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam
pembelajaran.
Prestasi belajar Matematika di SMA N 1 Depok masih tergolong rendah.
2
Matematika. Siswa mengalami kesulitan untuk menguasai kemampuan kognitif
maupun afektif. Pada kemampuan kognitif, hasil belajar siswa masih kurang
optimal. Hal ini dapat dilihat dari hasil Ulangan Akhir Semester (UAS)
Matematika Kelas X semester ganjil Tahun Ajaran 2015/2016 di SMA Negeri 1
Depok. Nilai tertinggi dari hasil UAS Matematika adalah 95 dan nilai terendah
adalah 25. Nilai rata-rata hasil UAS 53,19 dengan standar deviasi 13,76. Rata-rata
hasil UAS Matematika Kelas X Semester Ganjil masih rendah dan belum
mencapai batas KKM yaitu 75.
Selain masih kurang menguasai kemampuan kognitif, siswa juga masih
kurang dalam menguasai ranah afektif. Salah satu ranah afektif yang perlu
dimiliki siswa adalah sikap kepercayaan diri. Berdasarkan praktik pengalaman
lapangan (PPL) yang peneliti lakukan pada bulan Agustus 2015, siswa SMA N 1
Depok masih mempunyai sikap kepercayaan diri yang rendah. Hal ini ditunjukkan
oleh sedikit siswa yang berani mempresentasikan hasil pekerjaan Matematika di
depan kelas. Siswa merasa ragu-ragu akan pekerjaan yang telah mereka lakukan.
Siswa merasa takut salah maju ke depan kelas meskipun hasil pekerjaannya benar.
Kepercayaan diri merupakan salah satu sikap yang penting untuk dimiliki
oleh siswa. Hal ini dlikarenakan sikap kepercayaan diri yang tinggi akan
memudahkan siswa melakukan proses pembelajaran dan mengungkapkan gagasan
mereka. Beberapa guru terkadang terlalu fokus bagaimana cara mengembangkan
kemampuan kognitif siswa dalam suatu kegiatan pembelajaran. Dalam
pelaksanaan pembelajaran Matematika, masing-masing siswa memiliki tingkat
3
merespon pertanyaan ataupun tugas yang diberikan oleh guru. Bandura
(Woolfolk, 2007: 395) menyatakan bahwa pada saat diberikan tugas oleh guru,
siswa yang berkeyakinan diri tinggi cenderung berusaha untuk menyelesaikannya.
Sebaliknya, siswa yang berkeyakinan diri rendah cenderung mudah menyerah
dalam menghadapi tugas yang diberikan.
Apabila dikaitkan dengan tingkat kepercayaan diri siswa, siswa yang
berkeyakinan diri tinggi akan segera menyelesaikan persoalan yang diberikan
kemudian tanpa ragu-ragu menyampaikan pendapat kepada guru mengenai
penyelesaian persoalan yang diberikan. Siswa yang berkeyakinan diri rendah akan
malas menyelesaikan persoalan yang diberikan serta malas untuk menyampaikan
pendapatnya kepada guru. Selain itu, terdapat juga siswa yang tidak berani
menyampaikan pendapat meskipun dia tahu bagaimana cara menyelesaikan
persoalan tersebut. Dalam hal ini, siswa tersebut kurang percaya diri karena
kemungkinan merasa takut apabila pendapatnya salah.
Berdasarkan praktik pengalaman lapangan (PPL) sikap kepercayaan diri
siswa masih kurang sehingga menyebabkan prestasi belajar yang kurang optimal.
Siswa cenderung pasif dan tidak tertarik mengikuti pelajaran. Oleh karena itu
diperlukan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi belajar
Matematika. Pembelajaran berbasis masalah dapat menjadi salah satu solusi
dalam pemilihan metode pembelajaran Matematika. Menurut Miftahul (2013:
271), pendekatan berbasis masalah lebih menekankan pada suatu proses dalam
4
masalah di sekitar kehidupan siswa. Siswa menjadi lebih mudah untuk memahami
konsep matematika sehingga dapat meningkatakan prestasi belajar Matematika.
Untuk dapat memecahkan masalah dengan baik, siswa harus lebih aktif
dalam proses pembelajaran. Warsono dan Hariyanto (2012: 12) mengatakan
bahwa pembelajaran aktif memfasilitasi siswa untuk melakukan pengalaman
belajar yang bermakna dan senantiasa berpikir tentang apa yang dapat
dilakukannya selama pembelajaran. Siswa yang terlibat aktif dalam proses
pembelajaran dapat meningkatkan sikap kepercayaan diri mereka. Untuk
membangkitkan keaktifan siswa ketika proses pembelajaran, perlu digunakan
suatu model pembelajaran. Menurut Erman (2001: 60) model pembelajaran yang
banyak melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran, baik secara mental, fisik,
sosial, serta yang sesuai dengan situasi dapat mencapai tujuan pembelajaran yang
telah direncanakan.
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model
pembelajaran kooperatif. Menurut Tukiran (2012: 55), pembelajaran kooperatif
merupakan model pengajaran yang memberikan siswa kesempatan untuk bekerja
sama atau belajar bersama dengan sesama siswa dalam mengerjakan tugas-tugas
yang terstruktur.
Menurut Slavin (1995, 7) pembelajaran kooperatif terbagi atas empat
kategori, yaitu students teams achievement devisions (STAD), jigsaw, investigasi kelompok, dan pendekatan struktural. Salah satu tipe pembelajaran kooperatif
5
dan sharing (berbagi). Model pembelajaran ini memiliki karakteristik mengoptimalkan partisipasi siswa menjadi aktif serta memicu siswa untuk
mengeluarkan pendapatnya. The Literacy and Numeracy Secretariat (2010: 7) menyatakan bahwa tahap think dapat meningkatkan respon siswa ketika menghadapi suatu permasalahan matematika, tahap pair dapat melatih siswa agar berani mengeluarkan pendapat, dan tahap share memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengungkapkan pendapatnya di depan kelas. Oleh karena itu,
diharapkan model pembelajaran ini dapat meningkatkan sikap kepercayaan diri
siswa.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pembelajaran Matematika mana yang lebih efektif untuk
meningkatkan prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri antara siswa yang
mengikuti pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) dan pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional. Materi matematika
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Logika Matematika. Pembelajaran
Matematika ini diharapkan dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk
terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan meningkatkan prestasi belajar
Matematika dan kepercayaan diri.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat diidentifikasi masalah-masalah
sebagai berikut.
6
2. Siswa kurang aktif dan tertarik dalam mengikuti proses pembelajaran.
3. Sikap kepercayaan diri siswa rendah.
C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada pembelajaran Matematika berbasis masalah
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) ditinjau dari prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri. Penelitian dilakukan pada
siswa kelas X di SMA Negeri 1 Depok pada materi Logika Matematika.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) efektif ditinjau dari prestasi belajar Matematika?
2. Apakah pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) efektif ditinjau dari kepercayaan diri?
3. Apakah pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran
konvensional efektif ditinjau dari prestasi belajar Matematika?
4. Apakah pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran
konvensional efektif ditinjau dari kepercayaan diri?
5. Apakah pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model
7
dengan pendekatan pembelajaran konvensional ditinjau dari prestasi belajar
Matematika?
6. Apakah pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran konvensional ditinjau dari kepercayaan diri?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui keefektifan:
1. pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe think pair share (TPS) ditinjau dari prestasi belajar Matematika, 2. pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe think pair share (TPS) ditinjau dari kepercayaan diri,
3. pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional
ditinjau dari prestasi belajar Matematika,
4. pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional
ditinjau dari kepercayaan diri,
5. pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe think pair share (TPS) lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran konvensional ditinjau dari prestasi belajar
Matematika, dan
6. pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran
8 F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pihak-pihak berikut.
1. Bagi guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi model
pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan prestasi belajar Matematika dan
kepercayaan diri.
2. Bagi Siswa
Siswa diharapkan mendapat pengalaman belajar yang dapat membantu siswa
meningkatkan prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti tentang
pembelajaran berbasis masalah melalui model pembelajaran kooperatif tipe
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori
Untuk membahas rumusan masalah yang ada diperlukan beberapa teori
yang relevan sebagai landasan untuk merumuskan hipotesis dan menarik
kesimpulan. Deskripsi teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran Matematika yang Efektif a. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran berasal dari kata belajar. Syaiful (2010: 30) mengatakan
bahwa belajar merupakan suatu upaya penguasaan kognitif, afektif, dan
psikomotorik melalui proses interaksi antara individu dan lingkungan yang terjadi
sebagai hasil atau akibat dari pengalaman dan mendahului perilaku. Jadi belajar
adalah suatu proses yang terus–menerus yang akan dialami oleh manusia
sepanjang hidupnya yang bertujuan untuk mencari pengalaman dan aspek lainnya.
Pengertian lain pembelajaran menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Lingkungan belajar oleh para ahli
sering disebut sebagai lingkungan pendidikan. Menurut Hadikusumo (1996: 74)
lingkungan pendidikan adalah segala kondisi dan pengaruh dari luar terhadap
kegiatan pendidikan. Salah satu kegiatan pendidikan di sekolah adalah
pembelajaran matematika.
Pembelajaran Matematika merupakan proses komunikasi antara siswa
dengan guru dan siswa dengan siswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir
10
NCTM (Suherman, dkk., 2001: 253), terdapat empat prinsip pembelajaran
matematika, yaitu:
1) matematika sebagai pemecahan masalah,
2) matematika sebagai penalaran,
3) matematika sebagai komunikasi, dan
4) matematika sebagai hubungan.
Prinsip pembelajaran matematika di atas sejalan dengan hakikat matematika
menurut Reys (Ruseffendi, dkk., 1992: 28) bahwa matematika adalah suatu studi
tentang pola dan hubungan, suatu cara berpikir, seni, bahasa, dan merupakan suatu
alat. Sejalan yang dimaksudkan di atas bahwa matematika yang diterapkan di
sekolah seharusnya merupakan aktivitas pemecahan masalah yang dilakukan
siswa. Dalam pemecahan masalah, siswa belajar untuk melakukan penalaran dan
berusaha menemukan pola atau hubungan dalam permasalahan yang diberikan
agar dapat memperoleh solusi. Untuk menyampaikan gagasan dan pemahaman
matematikanya, siswa dapat menggunakan simbol, tabel, diagram, atau media lain
(Kemendikbud, 2013). Hal ini berarti bahwa matematika adalah alat komunikasi
siswa dan pembelajaran matematika adalah proses komunikasi. Dengan demikian
agar tercipta proses komunikasi yang baik maka pembelajaran Matematika harus
dilaksanakan secara efektif dengan cara menyelenggarakan pembelajaran
matematika sesuai dengan hakikat matematika itu sendiri.
b. Keefektifan Pembelajaran Matematika
Menurut Supardi (2013: 163) keefektifan berarti berusaha untuk dapat
11
rencana yang telah dirumuskan, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun
waktu. Jadi pembelajaran Matematika dikatakan efektif apabila dapat mencapai
sasaran yang ditetapkan berupa penguasaan kemampuan kognitif maupun afektif.
Untuk selanjutnya akan dipaparkan mengenai indikator efektivitas suatu
pembelajaran yaitu prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri.
c. Prestasi Belajar Matematika
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa prestasi adalah
hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau
keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan
oleh nilai tes atau nilai yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar juga merupakan
alat ukur dalam sebuah tujuan pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat
Nana (2011: 22) bahwa prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Prestasi belajar
menunjukkan sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dalam pembelajaran. Jadi prestasi belajar Matematika siswa adalah hasil yang
dicapai siswa setelah mengikuti serangkaian proses pembelajaran Matematika.
Hasil tersebut berupa penguasaan kompetensi yang sudah ditetapkan.
Untuk menyatakan penguasaan kompetensi, penilaian didasarkan pada
kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM ditentukan dengan memperhatikan
karakteristik peserta didik, mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan
(Permendiknas No 20 Tahun 2007). Pembelajaran Matematika dapat dikatakan
12
minimal mencapai KKM. Prestasi belajar dapat diukur melaui tes prestasi belajar
atau achievement test yaitu tes yang mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa setelah mengikuti suatu pembelajaran (AERA, dkk., 1999, Reynolds, dkk.,
2010). Selain prestasi belajar Matematika, dalam penelitian ini pembelajaran
Matematika dikatakan efektif apabila siswa dapat mencapai penguasaan ranah
afektif yaitu kepercayaan diri. Untuk selanjutnya akan dipaparkan mengenai
indikator efektivitas suatu pembelajaran yaitu kemampuan kepercayaan diri.
d. Kepercayaaan Diri
Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek yang perlu dikembangkan
pada diri siswa. Hal ini didukung oleh pendapat Hurlock (1970: 299) yang
menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu hal yang perlu dimiliki
untuk menjadi pribadi yang menarik. Dalam konteks pembelajaran Matematika,
kepercayaan diri merupakan salah satu sikap yang dapat menunjang pelaksanaan
pembelajaran Matematika. Oxford Dictionaries Online menyebutkan bahwa: “Self-confidence is a feeling of trust inone’s abilities, qualities, and judgement”.
Hal ini dapat diartikan bahwa kepercayaan diri adalah suatu perasaan percaya
akan kemampuan, kualitas, dan penilaian terhadap diri. Sejalan dengan hal
tersebut, RMIT Counselling Service (2009: 3) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu rasa yakin akan kemampuan seseorang. Rasa yakin yang dimaksud
adalah keyakinan bahwa seseorang tersebut dapat mencapai keberhasilan. Rasa
kepercayaan diri mengacu pada keyakinan pada diri seseorang akan kemampuan
13
Lauster (Surya, 2013) menyebutkan aspek-aspek kepercayaan diri adalah
keyakinan, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional, dan realistis.
1) Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang tentang
dirinya bahwa mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya.
2) Optimis yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik dalam
menghadapi segala hal, tentang diri, harapan, dan kemampuan.
3) Objektif yaitu orang yang percaya diri memandang permasalahan atau
segala sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya, bukan menurut
kebenaran pribadi atau menurut kebenaran dirinya sendiri
4) Bertanggung jawab yaitu kesediaan seseorang untuk menanggung segala
sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.
5) Rasional dan realistis yaitu analisis terhadap suatu masalah, suatu hal, suatu
kejadian dengan menggunakan pemikiran yang diterima oleh akal dan
sesuai dengan kenyataan.
Dalam proses pembelajaran di kelas terdapat berbagai cara untuk
membangun kepercayaan diri siswa. Hurlock (1970: 303) menyebutkan bahwa
terdapat tiga cara untuk membangun kepercayaan diri pada anak yaitu
memberikan pujian atas usaha anak ketika mampu melakukan apa yang mereka
harapkan, memberikan kesempatan kepada anak untuk mengevaluasi
kemampuannya dengan baik, dan mengajarkan kepada anak untuk melakukan
sendiri segala sesuatu yang mampu dilakukan.
Indikator-indikator kepercayaan diri berdasarkan aspek-aspek yang
14
Tabel 1. Indikator Kepercayaan Diri Siswa No. Aspek – Aspek
Kepercayaan diri Indikator Kepercayaan Diri
1. Keyakinan akan kemampuan diri
a. Siswa mampu mengerjakan tugas dan PR dari guru tanpa bantuan orang lain. b. Siswa tidak mencontek pada pada
ulangan.
c. Siswa tidak ragu–ragu dengan jawabannya pada saat mengerjakan tugas, PR, ataupun ulangan.
2. Optimis a. Siswa memiliki pandangan positif
tentang matematika.
b. Siswa berani menyampaikan pendapat pada saat diskusi kelompok maupun di depan kelas.
c. Siswa maju dengan senang hati ketika diminta untuk mengerjakan di depan kelas.
3. Objektif a. Siswa mau menerima saran dan kritik dari siswa lain pada pada diskusi kelompok.
b. Siswa mau mengakui dan menghargai apabila pendapat siswa lain benar. 4. Bertanggung jawab a. Siswa mengerjakan tugas dan PR dari
guru dengan sungguh–sungguh. b. Siswa mengerjakan tugas dan PR dari
guru dengan tepat waktu.
c. Pada pada diskusi kelompok, siswa mau membantu siswa lain dalam satu kelompok yang masih mengalami kesulitan.
5. Rasional dan realistis
a. Siswa merasa mampu menyelesaikan suatu permasalahan menggunakan konsep matematika.
b. Siswa merasa mampu menyelesaikan suatu permasalahan matematika dengan langkah–langkah yang benar.
Kepercayaan diri dan prestasi belajar Matematika dapat dipengaruhi oleh
barbagai faktor, salah satunya adalah metode pembelajaran yang diterapkan oleh
15
2. Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah dengan Model Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) dalam Pembelajaran Logika Matematika a. Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah
Menurut Wina (2006: 214), pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan
sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan pada proses
penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Pada umumnya pembelajaran
dimulai dari masalah yang harus diselesaikan oleh siswa. Masalah dapat berasal
dari pendidik maupun siswa. Dalam hal ini, Eggen dan Kauchack (2012: 307)
menyatakan bahwa karakteristik–karakteristik pembelajaran berbasis masalah
adalah:
1) Pelajaran berfokus pada memecahkan masalah;
2) Tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa; dan
3) Guru mendukung proses pada saat siswa mengerjakan masalah.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam model pembelajaran berbasis
masalah menurut Nanang dan Cucu (2008:44-45) adalah sebagai berikut.
1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan media yang dibutuhkan. Tujuan
untuk memotivasi peserta didik terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah
yang dipilih.
2) Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah tersebut, dengan cara menetapkan topik,
tugas, jadwal, dan kegiatan lainnya.
3) Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah,
16
4) Guru membantu peserta didik dalam merencanakan menyiapkan karya yang
sesuai, seperti laporan, dan membantu mereka berbagi tugas dengan
temannya.
5) Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Metode pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa kelebihan.
Kelebihan pembelajaran berbasis masalah menurut Warsono dan Hariyanto
(2012:147) antara lain sebagai berikut.
1) Siswa akan terbiasa menghadapi masalah dan merasa tertantang untuk
menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran dalam
kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang ada dalam kehidupan
sehari-hari (real world).
2) Siswa dapat memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan
teman–teman sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman
sekelasnya.
3) Guru dan siswa dapat saling mengakrabkan diri.
4) Siswa terbiasa untuk menerapkan metode eksperimen.
Model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa kelemahan antara lain
sebagai berikut.
1) Guru sulit membawa siswa kepada suatu pemecahan masalah.
2) Waktu yang dibutuhkan cukup panjang.
17
Lamgkah-langkah untuk merealisasikan pembelajaran Matematika berbasis
masalah menurut Arends (Woolfolk, 2007) adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah Fase Indikator Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1 Mengorientasikan
Siswa diberi kesempatan untuk bertanya tentang hal-hal yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran Matematika.
2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar
a. Guru memberikan LKS berisi suatu hal-hal yang belum diketahui mengenai permasalahan
Siswa menuliskan hasil diskusi pada LKS kemudian
mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
5 Menganalisis dan mengevaluasi
18
Untuk dapat memecahkan masalah dengan baik, siswa harus lebih aktif
dalam proses pembelajaran. Erman (2001: 60) menyatakan bahwa guna
membangkitkan keaktifan siswa ketika proses pembelajaran, perlu digunakan
suatu model pembelajaran yang banyak melibatkan siswa aktif dalam
pembelajaran, baik secara mental, fisik, sosial, serta yang sesuai dengan situasi
sehingga tujuan pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Salah satu model
pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif, yang
akan dibahas pada bagian selanjutnya.
b. Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Nanang dan Cucu (2008: 41) model pembelajaran merupakan salah
satu pendekatan dalam rangka menyiasati perubahan perilaku peserta didik secara
adaptif maupun generatif. Model pembelajaran adalah pendekatan spesifik dalam
mengajar yang memiliki tiga ciri sebagai berikut (Eggen, 2012 :7).
1) Tujuan.
Model mengajar dirancang untuk membantu siswa mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan memperoleh pemahaman mendalam tentang
bentuk spesifik materi.
2) Fase
Model mengajar mencakup serangkaian langkah, sering disebut “fase” yang
bertujuan membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang spesifik.
3) Fondasi
Model pembelajaran didukung teori dan penelitian tentang pembelajaran
19
Menurut Abdul (2013: 175) tujuan pembelajaran kooperatif adalah:
1) Meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik;
2) Menerima perbedaan latar belakang antarsiswa; dan
3) Mengembangkan keterampilan sosial siswa.
Berikut adalah langkah-langkah pembelajaran kooperatif menurut Ibrahim,
dkk. (Abdul, 2013).
Tabel 3. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase Indikator Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1 Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa untuk belajar pada pada mereka mengerjakan tugas.
Siswa bekerja sama dalam sebuah kelompok untuk mengerjakan tugas.
5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil
belajar siswa tentang materi yang telah dipelajari.
Siswa
mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelompok lain.
6 Memberikan penghargaan
Guru mencari cara untuk menghargai hasil belajar siswa baik secara individu maupun kelompok.
Siswa mendapat penghargaan individu ataupun kelompok dari hasil belajar mereka. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan dari teori belajar
konstruktivis yang lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky. Piaget menekankan
pada kegiatan internal individu terhadap objek yang dihadapi dan pengalaman
20
sosial dan melakukan konstruksi pengetahuan dari lingkungan sosialnya.
Berkaitan dengan gagasan Piaget dan Vigotsky, para konstruktivis menekankan
petingnya interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan kelompok belajar
dan siswa diberikan kesempatan secara aktif untuk mengungkapkan sesuatu yang
dipikirkan kepada temannya.
Slavin (1995: 7) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa
bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil dan saling membantu untuk
mempelajari materi pelajaran. Menurut Abdul (2013: 174) model pembelajaran
kooperatif mengutamakan kerja sama untuk mencapai sebuah tujuan.
Pembelajaran kooperatif terbagi atas empat kategori, yaitu students teams achievement devisions (STAD), jigsaw, investigasi kelompok, dan pendekatan struktural (Slavin, 1995: 7). STAD memfokuskan pada adanya kemampuan yang
heterogen dalam sebuah kelompok. Jigsaw menekankan pada perlunya pengetahuan setiap partisipan untuk menyelesaikan masalah. Investigasi
kelompok memfokuskan untuk menginvestigasi suatu konsep yang menarik.
Pendekatan struktural menggunakan struktur tertentu yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa.
Menurut Slavin (1995: 5) semua tipe pembelajaran kooperatif menekankan
siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab terhadap proses belajar
temannya sama seperti mereka bertanggung jawab terhadap proses belajar mereka
sendiri. Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa manfaat. Menurut Nunuk dan
21
1) Siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk bekerja sama dan
bersosialisasi;
2) Siswa mampu melatih kepekaan diri dan empati melalui variasi perbedaan
sikap dan perilaku selama bekerja sama;
3) Siswa mampu mengurangi rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya
diri;
4) Siswa dapat meningkatkan motivasi belajar dan perilaku positif sehingga
saling menghargai satu sama lain; dan
5) Siswa dapat meningkatkan prestasi akademik.
Salah satu tipe pembelajaran kooperatif pendekatan struktural adalah think pair share (TPS). Berikut akan dibahas mengenai model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS).
c. Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS)
Kagan (Eggen, 2012) mengatakan bahwa “Think-pair-share is a groupwork strategy that ask individual students in learning pairs to first answer a teacher-initiated question and than share that answer with a partner”. Model pembelajaran ini dikembangkan oleh Frank Lyman dkk di Universitas Maryland
pada tahun 1985 (Abdul, 2013: 191). Menurut Arends (Trianto, 2010) model
pembelajaran ini efektif digunakan pada suatu diskusi kelompok.
Langkah–langkah yang dapat dilakukan dalam model think pair share (TPS) menurut Nanang dan Cucu (2008: 46-47) adalah:
22
2) Siswa diminta untuk berpikir tentang materi atau permasalahan yang telah
disampaikan guru;
3) Peserta didik diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2
orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing;
4) Guru memimpin jalannya diskusi kemudian beberapa kelompok
mengemukakan hasil diskusinya;
5) Guru mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah
materi yang belum diungkapkan para siswa;
6) Siswa bersama guru membuat suatu kesimpulan; dan
7) Guru menutup pembelajaran.
Dalam pembelajaran Matematika model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) dapat diterapkan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1) Guru menyampikan materi matematika dan kompetensi yang ingin dicapai;
2) Siswa memikirkan masalah matematika yang diberikan;
3) Siswa duduk berpasangan kemudian saling mengutarakan ide-ide untuk
menyelesaikan masalah matematika;
4) Siswa mempresentasikan hasil kerja kelompok;
5) Guru menambahkan materi yang belum diungkapkan siswa;
6) Siswa dan guru membuat kesimpulan setelah menyelesaikan masalah
matematika; dan
7) Guru menutup pelajaran.
23
1) Strategi ini mengundang respon dari semua orang di dalam kelas dan
menempatkan semua siswa ke dalam peran–peran yang aktif secara kognitif.
2) Setiap anggota pasangan diharapkan berpartisipasi. Strategi ini mengurangi
kecenderungan siswa yang kurang berkontribusi ketika kerja kelompok.
3) Strategi ini mudah direncanakan dan diterapkan (Warsono dan Hariyanto,
2012: 202-203).
Dalam pembelajaran Matematika melalui model kooperatif tipe TPS siswa
diminta untuk duduk secara berpasangan dengan teman sebelahnya untuk bekerja
sama dalam memecahkan masalah, mengutarakan ide-ide, dan mempresentasikan
hasil kerja kelompok. Hal ini sejalan dengan teori konstruktivis sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky bahwa anak belajar melalui interaksi dengan
lingkungan sosial maupun fisik.
d. Tinjauan Materi Logika Matematika dan Pembelajarannya
Logika, penalaran, dan argumentasi sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Markaban (2004) strategi untuk belajar logika matematika
adalah sebagai berikut:
1) Guru memberikan contoh serta permasalahan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga teori-teori logika matematika yang dibahas akan muncul dari
contoh serta permasalahan tersebut,
2) Guru dan siswa berdiskusi untuk membahas contoh-contoh praktis yang
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,
24
Dalam mempelajari logika matematika kadang siswa mengalami kesulitan.
Kesulitan yang sering ditemui siswa adalah menentukan pernyataan yang
ekuivalen dan menarik sebuah kesimpulan dari berbagai premis. Terkadang guru
mengalami kesulitan bagaimana menjelaskan penerapan modus yang sah atau
tidak. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut diperlukan suatu pembelajaran
yang sesuai. Pembelajaran yang sesuai dengan materi logika matematika adalah
pembelajaran berbasis masalah karena siswa menghadapi masalah nyata yang
sering ditemukan dalam kehidupan siswa. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis
masalah diharapkan dapat membantu siswa mengatasi kesulitan-kesulitan dalam
mempelajari logika matematika.
Materi Logika Matematika merupakan salah satu materi kelas X SMA
semester genap. Logika Matematika adalah bab awal yang akan dipelajari pada
semester genap ini. Adapun standar kompetensi yang akan diajarkan adalah
menggunakan logika matematika dalam pemecahan masalah yang berkaitan
dengan pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor dengan kompetensi dasar:
1) menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan majemuk dan pernyataan
berkuantor,
2) merumuskan pernyataan yang setara dengan pernyataan majemuk atau
pernyataan berkuantor yang diberikan, dan
3) menggunakan prinsip logika matematika yang berkaitan dengan pernyataan
majemuk dan pernyataan berkuantor dalam penarikan kesimpulan dan
pemecahan masalah.
25 1) konvers, invers, dan kontraposisi;
2) pernyataan berkuantor dan negasinya;
3) pernyataan majemuk yang ekuivalen;
4) tautologi, kontradiksi, dan kontingensi;
5) silogisme, modus ponens, dan modus tollens.
Menurut Sartono (2007: 150), kita dapat mengetahui apakah suatu
pernyataan bernilai benar atau salah dengan menggunakan logika. Berikut adalah
materi pembelajaran pada Logika Matematika.
1) Konvers, invers, dan kontraposisi
Pernyataan majemuk implikasi dapat diubah menjadi bentuk implikasi
lain. Dari implikasi p⇒ q dapat diperoleh implikasi lain yang dapat dilihat
pada Gambar 1.
p⇒ q q ⇒ p
~p ⇒ ~q ~q ⇒ ~p
Gambar 1. Hubungan Konvers, Invers, dan Kontraposisi
2) Pernyataan berkuantor dan negasinya.
Suatu kalimat terbuka dapat diubah menjadi pernyataan berkuantor.
Ada dua macam kuantor:
a) Kuantor universal (∀)
∀x, p(x) dibaca “untuk semua/ setiap x berlaku sifat p”.
Contoh: Semua bilangan kelipatan 6 habis dibagi 3.
Kontraposisi Konvers
Konvers
26 b) Kunator eksistensial (∃)
∃x, p(x) dibaca “terdapat/beberapa x yang memenuhi sifat p”.
Contoh: Beberapa pengendara sepeda motor tidak memakai helm.
Ingkaran dari pernyataan berkuantor universal:
Dibaca: ingkaran dari “untuk semua x yang berlaku p” ekuivalen dengan
“terdapatx yang bukan p”
Contoh: Semua bilangan kelipatan 6 habis dibagi 3 ≡ Terdapat bilangan
kelipatan 6 yang tidak habis dibagi 3
Ingkaran dari pernyataan berkuantor eksistensial :
Dibaca: ingkaran dari “terdapat x berlaku p” ekuivalen dengan “untuk
semua x bukan p”
Contoh: Beberapa pengendara sepeda motor tidak memakai helm ≡ Semua
pengendara sepeda motor memakai helm.
c) Pernyataan majemuk yang ekuivalen.
Dua pernyataan majemuk dikatakan ekuivalen, jika kedua pernyataan
majemuk itu mempunyai nilai kebenaran yang sama untuk semua
kemungkinan nilai kebenaran pernyataan–pernyataan komponennya.
Contoh: p ⇒ q ≡~q ⇒ ~p
Jika sungai Ciliwung meluap maka rumah disekitarnya tergenang air ≡ Jika
rumah disekitar sungai tidak tergenang air maka sungai Ciliwung tidak
meluap.
27 d) Tautologi, kontradiksi, dan kontingensi
Tautologi adalah sebuah pernyataan majemuk umum yang selalu
benar untuk semua kemungkinan nilai kebenaran dari pernyataan–
pernyataan komponennya. Kontingensi adalah suatu pernyataan majemuk
yang nilai kebenarannya dapat benar atau salah. Kontradiksi adalah sebuah
pernyataan majemuk yang selalu salah untuk semua kemungkinan nilai
kebenaran pernyataan-pernyataan komponennya.
Contoh:
Tabel 4. Tabel Kebenaran Tautologi
P ~p p v ~p
Tabel 5. Tabel Kebenaran Kontradiksi
P ~p p v ~p
Tabel 6. Tabel Kebenaran Kontingensi
P Q p v q
e) Silogisme, modus ponens, dan modus tollens
Silogisme, modus ponens, dan modus tollens adalah metode atau cara yang digunakan dalam penarikan kesimpulan. Proses penarikan kesimpulan
terdiri atas beberapa pernyataan yang diketahui nilai kebenarannya (disebut
premis). Dengan menggunakan prinsip-prinsip logika dapat diturunkan
pernyataan baru (disebut kesimpulan/konklusi) yang diturunkan dari
premis-premis semula. Penarikan kesimpulan seperti itu sering juga disebut
28
3. Pendekatan Pembelajaran Konvensional
Pelaksanaan pembelajaran di kelas dapat menggunakan berbagai macam
pendekatan. Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan di sekolah
adalah pendekatan pembelajaran konvensional. Menurut Herminarto (2002: 65),
pendekatan pembelajaran konvensional dimulai dari guru menguraikan materi
untuk dicatat oleh siswa, bertanya, guru menjawab, dan di akhiri dengan latihan
sebagai umpan balik. Ciri lain pendekatan pembelajaran konvensional adalah
penyampaian materi yang dilakukan secara lisan oleh guru dan sedikit sekali
siswa diberikan kesempatan untuk saling bertukar pendapat.
Menurut Brooks and Brooks (Muijs dan Reynolds, 2008) ciri-ciri
pendekatan pembelajaran konvensional adalah:
a. aktivitas terpusat pada buku,
b. penjelasan materi pelajaran dimulai dari sebagian kemudian menyeluruh,
c. pembelajaran berpegang pada kurikulum, dan
d. menyajikan informasi kepada siswa.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional
adalah pembelajaran yang dilaksanakan secara klasikal berpusat pada guru dan
peserta didik lebih banyak menyerap informasi yang diberikan daripada
29
menekankan pada penguasaan materi serta pembelajaran berpusat pada guru.
Siswa belajar dengan menghafalkan rumus matematika tanpa mengetahui makna
dan kegunaan dari rumus tersebut dalam kehidupan sehai-hari. Dalam
pembelajaran Matematika, langkah-langkah pembelajaran konvensional adalah:
a. Guru menyajikan kosep matematika;
b. Guru memberikan contoh-contoh soal; dan
c. Guru mengevaluasi pengetahuan yang telah diinformasikan.
Pembelajaran konvensional memiliki beberapa kelebihan yaitu mudah
dilaksanakan, dapat diikuti siswa dalam jumlah besar, dan mudah untuk
menerangkan materi dalam cakupan yang luas. Pembelajaran konvensional juga
memiliki beberapa kelemahan yaitu pembelajaran berpusat pada guru,
menempatkan siswa sebagai pendengar dan pencatat, dan keterbatasan
kemampuan pada tingkat rendah. Untuk dapat meningkatkan prestasi belajar
Matematika diperlukan metode pembelajaran yang interaktif. Metode
pembelajaran interaktif yang akan dibahas pada penelitian ini adalah metode
pembelajaran Matematika berbasis masalah.
B. Penelitian yang Relevan
1. Fadiah Khairina Pertiwi
Fadiah Khairina Pertiwi (2014) dalam skripsi yang berjudul “Efektivitas
Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah Menggunakan Model Pembelajaran
Kooperatif Think-Talk-Write (TTW) dan Think-Pair-Share (TPS) Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Kepercayaan Diri Siswa Kelas
30
data menggunakan taraf signifikan 5% menunjukkan bahwa pembelajaran
Matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran kooperatif TPS
efektif ditinjau kemampuan pemecahan masalah Matematika dan kepercayaan diri
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Wonosari.
2. Tatang Herman
Hasil penelitisn Tatang Herman dalam jurnal yang berjudul “Pembelajaran
Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa
SMP” mengatakan bahwa siswa memberikan respon positif setelah mengikuti
proses pembelajaran berbasis masalah (Cakrawala Pendidikan, vol. XXVI, 2007,
hal 5-6).
3. Eprina Eksa Gutami
Eprina Eksa Gutami (2015) dalam skripsi yang berjudul “Efektivitas Model
Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS) dan Numbered Heads Together
(NHT) Ditinjau dari Prestasi Belajar dan Disposisi Matematis Siswa SMA Negeri
2 Bantul” mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif Think Pair Share
(TPS) efektif ditinjau dari prestasi belajar siswa kelas XI SMA pada materi irisan
dua lingkaran.
Tabel 7. Hasil Belajar Siswa Setelah Mengikuti Pembelajaran
Penelitian Hasil Belajar
Fadiah Khairina Pertiwi Terjadi peningkatan pada skor
kepercayaan diri pada kelas PBM TPS dari berktegori cukup menjadi baik.
Tatang Herman Respon positif dari siswa setelah
mengikuti proses pembelajaran berbasis masalah.
Eprina Heksa Gutami Terjadi peningkatan nilai prestasi
31
Tabel 7 menunjukkan bahwa setelah diterapkan pembelajaran pemecahan
berbasis masalah atau think pair share (TPS) hasil prestasi belajar dan skor kepercayaan diri dapat meningkat. Diharapkan pada penelitian ini pembelajaran
Matematika berbasis masalah menggunakan modal pembelajaran think pair share
(TPS) dapat meningkatkan prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri.
C. Kerangka Berpikir
Hasil observasi yang telah dilakukan di SMA N 1 Depok menunjukkan
prestasi belajar Matmatika SMA Negeri 1 Depok masih tergolong rendah. Hasil
UAS Matematika Kelas X Semester Ganjil menunjukkan bahwa rata-rata nilai
pelajaran Matematika masih dibawah KKM. Selain itu, sikap kepercayaan diri
siswa SMA N 1 Depok juga masih rendah. Hal ini ditunjukkan ketika peneliti
melakukan PPL, siswa cenderung malu-malu dan tidak berani pada diberikan
kesempatan untuk mengerjakan hasil kerja mereka di depan kelas.
Dalam proses pembelajaran dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran
yang dapat memudahkan siswa memahami konsep matematika. Pembelajaran
berbasis masalah dapat menjadi salah satu solusi dalam pemilihan metode
pembelajaran Matematika. Dalam pembelajaran berbasis maslaah siswa bekerja
sama dalam suatu kelompok untuk memecahkan suatu masalah. Pada saat bekerja
sama siswa harus terlibat aktif dalam setiap proses pembelajaran yang
berlangsung. Hal ini dapat meningkatkan prestasi, kepercayaan diri, hubungan
yang baik sesama teman, serta timbulnya penerimaan akan teman yang mengalami
kesulitan secara akademis. Pembelajaran Matematika berbasis masalah
32
menjadi pilihan tepat untuk melatih siswa dalam bekerja sama memecahkan
masalah guna mencapai kompetensi matematika.
Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran Matematika berbasis masalah
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) dapat menjadi pembelajaran yang interaktif untuk siswa. Oleh karena itu, diharapkan
terdapat perbedaan hasil prestasi belajar Matematika dan peningkatan sikap
kepercayaan diri antara siswa yang mengikuti dan pembelajaran Matematika
dengan pendekatan pembelajaran konvensional. Pembelajaran Matematika
berbasis masalah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) lebih efektif untuk meningkatkan prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri.
Kerangka berpikir di atas dapat dinyatakan dalam diagram dibawah ini:
Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair
33
D. Hipotesis Penelitian
Dari uraian pada kerangka berpikir, hipotesis penelitian setelah siswa
mempelajari materi logika matematika adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran
kooperarif tipe think pair share (TPS) efektif ditinjau dari prestasi belajar Matematika.
2. Pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran
kooperarif tipe think pair share (TPS) efektif ditinjau dari kepercayaan diri. 3. Pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional
efektif ditinjau dari prestasi belajar Matematika.
4. Pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional
efektif ditinjau dari kepercayaan diri.
5. Pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran
kooperarif tipe think pair share (TPS) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional ditinjau dari prestasi belajar Matematika.
6. Pembelajaran matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran
34
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian eksperimen semu (quasi eksperimental research). Perlakuan pembelajaran yang diberikan adalah pembelajaran Matematika berbasis masalah dengan menggunakan model
kooperatif tipe think pair share (TPS). Penelitian ini membandingkan prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri antara kelompok eksperimen yang
menerapkan pembelajaran Matematika berbasis masalah dengan menggunakan
model kooperatif tipe think pair share (TPS) dan kelompok kontrol yang menerapkan pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran
konvensional. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pretest posttest control group design.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA N 1 Depok, Sleman, Yogyakarta. Waktu
pelaksanaan penelitian ini sekitar bulan Januari-Februari 2016 pada siswa kelas X
tahun ajaran 2015/2016. Jadwal Pelaksanaan Penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Kelas Eksperiman Kelas Kontrol
Hari, Tanggal, Jam Materi Hari, Tanggal Materi
Senin, 25 Januari 2016 09.15–10.45
Pretest Senin, 25 Januari 2016 07.00–08.30
Pretest
Jumat, 29 Januari 2016 10.20–11.30
Konvers, Invers, Kontraposisi
Sabtu, 30 Januari 2016 10.45–12.15
Konvers, Invers, Kontraposisi Senin, 1 Februari 2016
09.15–10.45
Pernyataan yang Ekuivalen
Senin, 1 Februari 2016 07.00–08.30
Pernyataan yang Ekuivalen Jumat, 5 Februari 2016
10.20–11.30
Penarikan Kesimpulan
Sabtu, 6 Februari 2016 10.45–12.15
Penarikan Kesimpulan Senin, 8 Februari 2016
09.15–10.45
Posttest Senin, 15 Februari 2016 07.00–08.30
35
C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di SMA Negeri
1 Depok pada semester genap tahun ajaran 2015/2016.
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik cluster sampling, dengan asumsi data dari kedua kelas tersebut normal dan homogen. Teknik ini digunakan karena siswa sudah berada dalam kelas-kelas dan setiap
kelas mempunyai peluang yang sama untuk terpilih menjadi sampel. Kelas XB
terpilih sebagai kelas konvensional dan kelas XD terpilih sebagai kelas
eksperimen.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang divariasikan
menjadi pembelajaran berbasis masalah dengan menggunakan model
kooperatif tipe think pair share (TPS) dan pendekatan pembelajaran konvensional.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prestasi belajar Matematika dan
kepercayaan diri.
3. Variabel Kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah guru, materi logika matematika,
36
E. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretest and posttest group design. Di awal pembelajaran kelas eksperimen dan kelas kontrol sama-sama diberikan pretest dan angket kepercayaan diri sebelum proses pembelajaran. Proses pembelajaran pada kedua kelas dilakukan oleh peneliti sendiri dengan
mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah dibuat dan
disesuaikan dengan pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan dalam
penelitian. Proses pembelajaran di kelas kontrol menggunakan pembelajaran
Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional. Proses pembelajaran
terdiri atas kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Kegiatan awal berisi
pembukaan, apersepsi, dan motivasi. Kegiatan inti terdiri atas eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi. Kegiatan akhir meliputi penarikan kesimpulan dan
pemberian PR. Kelas eksperimen menggunakan pembelajaran Matematika
berbasis masalah dipadukan dengan model kooperatif tipe think pair share (TPS). Proses pembelajaran terdiri atas kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir.
Kegiatan awal berisi pembukaan, apersepsi, dan motivasi. Kegiatan inti terdiri
atas tahap orientasi siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar
disertai tahap think pair share, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Kegiatan akhir meliputi penarikan kesimpulan dan pemberian PR.
. Di akhir pembelajaran kelas eksperimen dan kelas kontrol sama-sama
37
Tabel 9. Desain Penelitian Pretest and Posttest Group Design Kelompok Pretest Angket Treatment Posttest Angket
E � � A � �
K � � B � �
dengan :
E : Kelas yang diberikan perlakuan pembelajaran Matematika
berbasis masalah menggunakan model pembelajaran koeperatif
tipe think pair share (TPS).
K : Kelas yang diberikan perlakuan pembelajaran Matematika
dengan pendekatan pembelajaran konvensional.
� : Nilai pretest kelas yang diberi perlakuan pembelajaran
Matematika berbasis masalah menggunakan model
pembelajaran koeperatif tipe think pair share (TPS).
� : Nilai pretest kelas yang diberi perlakuan pembelajaran
Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional.
� : Skor awal angket kepercayaan diri kelas yang diberi perlakuan
pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan
model pembelajaran koeperatif tipe think pair share (TPS).
� : Skor awal angket kepercayaan diri kelas yang diberi perlakuan
pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran
konvensional.
: Perlakuan pembelajaran Matematika berbasis masalah
38
F. Data Penelitian
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:
1. data hasil pretest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,
2. data skor awal kepercayaan diri kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,
3. data hasil posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,
4. data skor akhir kepercayaan diri kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,
dan
5. data skor lembar observasi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. : Perlakuan pembelajaran Matematika dengan pendekatan
pembelajaran konvensional.
� : Nilai posttest kelas yang diberi perlakuan pembelajaran
Matematika berbasis masalah menggunakan model
pembelajaran koeperatif tipe think pair share (TPS).
� : Nilai posttest kelas yang diberi perlakuan pembelajaran
Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional.
� : Skor akhir angket kepercayaan diri kelas yang diberi perlakuan
pembelajaran Matematika berbasis masalah menggunakan
model pembelajaran koeperatif tipe think pair share (TPS).
� : Skor akhir angket kepercayaan diri kelas yang diberi perlakuan
pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran
39
G. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data
penelitian. Instrumen tes untuk memperoleh data hasil pretest dan pottest. Instrumen non-tes untuk memperoleh data skor awal dan akhir kepercayaan diri
serta data skor lembar observasi. Instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Instrumen Tes
Instrumen tes dalam penelitian ini adalah tes tertulis. Sukardi (2003: 139)
mengatakan bahwa tes prestasi pada umumnya mengukur penguasaan dan
kemampuan para peserta didik setelah selama waktu tertentu mereka menerima
proses belajar–mengajar dari guru. Tes tersebut umumnya untuk mengukur
tingkat penguasaan dan kemampuan peserta didik secara individual dalam
cakupan dan ilmu pengetahuan yang telah ditentukan oleh para pendidik. Tes
tertulis yang dimaksud dalam penelitian ini berupa tes uraian singkat. Dalam
penelitian terdapat dua tahap tes yang akan diberikan yaitu pretest dan posttest. Pretest adalah tes awal yang diberikan bertujuan untuk mengukur prestasi belajar Matematika awal siswa sebelum perlakuan. Posttest adalah tes akhir bertujuan untuk mengetahui prestasi belajar Matematika akhir siswa setelah perlakuan. Soal
pretest maupun posttest berbentuk uraian sebanyak 5 item, dikerjakan masing-masing selama 60 menit. Penyusunan perangkat tes dilakukan dengan langkah:
a.melakukan pembatasan materi yang diujikan;
b.menentukan jumlah butir soal;
40
d.membuat kisi-kisi soal;
e.menuliskan petunjuk mengerjakan soal, kunci jawaban, dan penentuan skor;
f. menulis butir soal;
g.mengkonsultasikan kepada dosen pembimbing; dan
h.memvalidasi soal dan merevisi sesuai saran validator.
Keefektifan model pembelajaran ditentukan berdasarkan indeks keefektifan.
Berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) belajar Matematika di SMA N 1
Depok siswa dikatakan tuntas belajar apabila mencapai nilai minimal 75 untuk
skala seratus. Kriteria pencapaian tujuan pembelajaran aspek prestasi belajar
Matematika ditetapkan 75 dan model pembelajaran dikatakan efektif jika rata-rata
skor prestasi belajar minimal 75.
Dalam penelitian ini, tes diujicobakan terlebih dahulu terhadap kelompok
lain. Hasil tes tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui reliabilitas soal.
Validitas instrumen diperoleh dengan cara meminta pendapat ahli (expert judgement). Agar benar-benar mengukur semua aspek prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri, seluruh instrumen yang disusun harus valid dan reliabel. Hal
ini dikarenakan validitas dan reliabilitas adalah dua unsur penting pada instrumen
penelitian (Muhammad Nisfiannor, 2008: 211).
a. Validitas
Pengujian terhadap validitas isi dilakukan dengan meminta pendapat ahli
41
validator. Selanjutnya peneliti melakukan revisi terhadap instrumen berdasarkan
evaluasi yang telah dilakukan validator.
b. Reliabilitas
Reliabilitas suatu instrumen merujuk pada keajegan dalam pengukuran. Hal
ini sejalan denga pendapat Sukardi (2003: 127) mengatakan bahwa reliabilitas
sama dengan konsistensi atau keajegan. Suatu instrumen penelitian dikatakan
mempunyai nilai reliabilitas yang tinggi, apabila tes yang dibuat mempunyai hasil
yang konsisten dalam mengukur yang hendak diukur. Reliabilitas suatu instrumen
dapat dihitung menggunakan rumus Alpha (Suharsimi, 2009: 108-110). Rumus Cronbach’s Alpha disajikan sebagai berikut:
=
−−
∑ �� ,Pada penelitian ini, nilai reliabilitas butir soal dianalisis menggunakan rumus Cronbach’s Alpha dengan bantuan SPSS. Berdasarkan hasil analisis
diperoleh nilai reliabilitas soal pretest sebesar 0,667, nilai reliabilitas soal postest sebesar 0,637, nilai reliabilitas angket kepercayaan diri sebesar 0,864. Hasil uji
reliabilitas dapat dilihat pada Lampiran 3.10.
2. Instrumen Non-tes
Instrumen non-tes dalam penelitian ini adalah anget kepercayaan diri dan
lembar observasi.
42
Angket kepercayaan diri siswa dalam penelitian ini diberikan dua kali
yaitu ketika siswa belum diberikan perlakuan dan setelah diberi perlakuan.
Perbedaaan kedua angket yaitu angket pertama bertujuan untuk mengetahui
tingkat kepercayaan diri di awal pembelajaran dan angket kedua bertujuan
untuk mengetahui tingkat kepercayaan diri di akhir pembelajaran. Aspek-aspek
kepercayaan diri meliputi keyakinan akan kemampuan diri, optimis, objektif,
bertanggung jawab, serta rasional dan realistis. Angket yang dibuat berisi 44
pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa. Penyusunan angket dilakukan
dengan langkah:
1) menentukan aspek-aspek kepercayaan diri,
2) menentukan indikator setiap aspek,
3) menentukan jumlah butir pernyataan setiap indikator,
4) menuliskan petunjuk mengisi angket dan penentuan skor,
5) menulis butir angket,
6) mengkonsultasikan kepada dosen pembimbing, dan
7) memvalidasi angket dan merevisi sesuai saran validator.
Angket dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Sukardi (2003: 146) mengatakan bahwa skala Likert digunakan untuk menilai sikap atau tingkah laku yang diinginkan oleh para peneliti dengan cara mengajukan
beberapa pertanyaan kepada responden Agar respon siswa lebih tegas skala
yang digunakan terdiri atas empat pilihan jawaban yaitu “selalu” (S), “sering”
(SR), “jarang” (JR), dan “tidak pernah” (TP). Sistem penskoran angket
43
Tabel 10. Sistem Penskoran Angket Kepercayaan Diri
Jenis Pernyataan Sering Selalu Jarang Tidak Pernah
Pernyataan Positif 4 3 2 1
Pernyataan Negatif 1 2 3 4
Skor angket kepercayaan diri siswa minimal 44 dan maksimal 176.
Menurut Eko (2014: 238), konversi skor skala angket kepercayaan diri ke dalam
nilai pada skala lima seperti pada tabel berikut.
Tabel 11. Kategori Skor Kepercayaan Diri
Interval Skor Kategori Kriteria
> ̅� + , � � > , Sangat baik
̅� : rerata ideal = (skor maksimal ideal+skor minimal ideal),
� � : simpangan baku ideal=
6 (skor maksimal ideal – skor minimal ideal),
dan
: skor empiris.
Berdasarkan kategori skor angket kepercayaan diri siswa dikatakan
memiliki kriteria kepercayaan diri yang baik apabila skornya pada interval
, < , . Model pembelajaran dikatakan efektif jika skor
kepercayaan diri berada pada interval , < , .
b. Lembar Observasi
Lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran yang dibuat terdiri atas
dua, yaitu lembar observasi keterlaksanaan kelas eksperimen yang
menggunakan pembelajaran Matematika berbasis masalah dengan
44
pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional.
Lembar observasi berisi aktivitas guru dan siswa dari awal sampai akhir
pembelajaran dimulai dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir.
H. Teknik Analisis Data 1. Analisis Deskriptif
Setelah semua data terkumpul, tahap pertama yang dilakukan adalah
melakukan analisis deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum
pencapaian siswa mengenai data yang diperoleh. Untuk mendeskripsikan data
prestasi dan angket kepercayaan diri digunakan teknik statistik yang meliputi
rata–rata, varians, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimum.
Perhitungan dilakukan secara manual atau dengan bantuan software SPSS versi
21.
Setelah data dideskripsikan, kemudian dilakukan uji normalitas dan uji
homogenitas terhadap hasil pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol, serta uji normalitas dan uji homogenitas untuk skor awal kepercayaan diri belajar kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
2. Pengujian Asumsi Analisis
Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
dan homogenitas. Hal ini dilakukan sebagai acuan peneliti untuk memberikan
perlakuan berikutnya.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data prestasi belajar
45
normal atau tidak. Uji normalitas yang dilakukan dengan menggunakan uji
Kolmogorov Smirnov dengan bantuan program SPSS. Taraf signifikan yang digunakan adalah sebesar 5%. Perumusan hipotesis yang digunakan pada uji
normalitas distribusi data adalah sebagai berikut.
� : Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
� : Data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.
Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai probabilitas munculnya
kesalahan > 0,05 dan � dinyatakan tidak ditolak. Apabila nilai probabilitas
munculnya kesalahan 0,05, maka data tidak berdistribusi normal dan �
dinyatakan ditolak.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah varians data
prestasi belajar Matematika dan kepercayaan diri kelas eksperimen dan kelas
kontrol sama atau tidak. Untuk mengetahui varians dua kelompok dilakukan
melalui homogenitas Levene’s dengan bantuan SPSS. Hipotesis uji homogenitas
varians kelompok data adalah sebagai berikut.
� : Data kelompok kelas eksperimen dan kelompok kelas kontrol homogen.
� : Data kelompok kelas eksperimen dan kelompok kelas kontrol tidak homogen.
Data dikatakan homogen apabila nilai probabilitas munculnya kesalahan > 0,05
dan � dinyatakan tidak ditolak. Apabila nilai probabilitas munculnya
46
3. Pengujian Hipotesis
Sebelum melakukan uji hipotesis dilakukan uji kemampuan awal
menggunakan uji t dengan tujuan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan
kelas kontrol mempunyai kemampuan awal sama atau berbeda. Data yang akan
diuji adalah data pretest dan skor awal kepercayaan diri.
a. Hipotesis statistik pengujian data pretest yang digunakan adalah:
� : � = � , dan
� : � ≠ � ,
dengan:
� : rata-rata nilai pretest kelas eksperimen, dan
� : rata-rata nilai pretest kelas kontrol.
b. Hipotesis statistik pengujian skor awal kepercayaan diri yang digunakan
adalah:
� : � = � , dan
� : � ≠ � ,
dengan:
� : rata-rata skor awal kepercayaan diri kelas eksperimen, dan
� : rata-rata skor awal kepercayaan diri kelas kontrol.
Harga ℎ� �� dapat dicari dengan rumus berikut:
=
�̅�−�̅�� : rata-rata nilai pretest/ skor awal angket sebelum kelas eksperimen,
̅ : rata-rata nilai pretest/ skor awal angket sebelum kelas kontrol,
�: banyaknya siswa kelas eksperimen,
: banyaknya siswa kelas kontrol,
� : varians kelas eksperimen, dan
47
Jika rata-rata kemampuan awal kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda
maka kriteria keefektifan didasarkan pada gain score. Gain score diperoleh dari:
� = ℎ� −� −
dengan skor maksimum adalah 100 untuk variabel prestasi belajar Matematika
dan 176 untuk variabel kepercayaan diri. Tabel kriteria gain score menurut Hake (1998: 65) adalah sebagai berikut.
Tabel 12. Kriteria Gain Score
Gain Score Kriteria
� , Tinggi
, � < , Sedang
� < , Rendah
Berdasarkan gain score, kriteria keefektifan yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah pembelajaran dikatakan efektif jika nilai rata-rata gain score lebih besar atau sama dengan 0,7 atau pada kriteria tinggi.
a. Uji Hipotesis Pertama
Uji hipotesis pertama dilakukan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran
berbasis masalah menggunakan model think-pair-share (TPS) ditinjau dari prestasi belajar. Pengujian hipotesis menggunakan uji one sample t-test. Rumusan hipotesis yang digunakan adalah:
� : � ≤ 0,69 (rata-rata skor nilai kurang dari 0,7), dan
� : � > 0,69 (rata-rata skor nilai minimal mencapai 0,7).
Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis yaitu H0 ditolak jika nilai signifikasi
lebih kecil dari 0,05 atau atau H0 ditolak jika ℎ� �� > �. Harga ℎ� �� dapat
48
b. Uji Hipotesis Kedua
Uji hipotesis kedua dilakukan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran
berbasis masalah menggunakan model think-pair-share (TPS) ditinjau dari kepercayaan diri. Pengujian hipotesis menggunakan uji one sample t-test.
Rumusan hipotesis yang digunakan adalah:
� : � ≤ 123,19 (rata-rata skor akhir kepercayaan diri kurang dari 123,2), dan
� : � > 123,19 (rata-rata skor akhir kepercayaan diri minimal mencapai 123,2).
Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis yaitu H0 ditolak jika nilai signifikasi
lebih kecil dari 0,05.
c. Uji Hipotesis Ketiga
Uji hipotesis ketiga dilakukan untuk mengetahui keefektifan pendekatan
pembelajaran konvensional ditinjau dari prestasi belajar. Pengujian hipotesis
menggunakan uji one sample t-test. Rumusan hipotesis yang digunakan adalah:
� : � ≤ 0,69 (rata-rata skor nilai kurang dari 0,7), dan
� : � > 0,69 (rata-rata skor nilai minimal mencapai 0,7).
Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis yaitu H0 ditolak jika nilai