i
Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi
Kuwi Roe
pada Suku Lio, di Kabupaten Ende
–
Flores Tengah
–
NTT
Oleh,
SANDER KONSTANTIN MEHA
712009029
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Teologi
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
ii LEMBAR PENGESAHAN
Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe
pada Suku Lio, di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT
Oleh,
SANDER KONSTANTIN MEHA NIM: 712009029
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Teologi
Disetujui oleh,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Pdt. Dr. Retnowati, M.Si Pdt. Irene Ludji, MAR
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Kaprogdi Dekan
iii FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
2015
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sander Konstantin Meha
NIM : 712009029 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul TA : Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi
Roe pada Suku Lio, di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT Pembimbing : 1. Pdt. Dr. Retnowati, M.Si
2. Pdt. Irene Ludji, MAR
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui oleh pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.
Salatiga, 23 September 2015
iv PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sander Konstantin Meha
NIM : 712009029 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul TA : Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi
Roe pada Suku Lio, di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT Dengan ini saya menyatakan hak non-eksklusif * kepada Perpustakaan Universitas
Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):
 a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas, dan /atau portal GARUDA
 b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**
* Hak yang tidak terbatas hanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang menyerahkan hak non-eksklusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.
** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/alasan tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprogdi)
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 23 September 2015
Sander Konstantin Meha
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Sander Konstantin Meha
NIM : 712009029
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW Hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe pada Suku Lio, di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT
berserta perangkat yang ada (jika perlu).
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media/mengalih format, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 23 September 2015
Sander Konstantin Meha
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
vi
When the time seemed to be unfriendly to me, GOD
always reminded me.
When my mind is exhausted and tried to give up,
GOD always refreshed and refilled it again with new
hopes and ideas
vii KATA PENGANTAR
Hidup adalah mengukir sejarah panjang dari perjalanan. Segala suka dan
duka, keluh dan kesah, keringat dan pengorbanan adalah ukiran-ukiran yang
membawa pada satu tujuan yaitu hidup yang lebih baik dari hari ke hari. Untuk
itu, penulis sadar bahwa hal pertama yang harus lakukan adalah berterima kasih
pada Tuhan Yesus, yang hanya karena kasih-NYAlah, penulis dimampukan.
Tanpa DIA, penulis tidak akan mampu melewati semua tantangan dan rintangan
yang menghadang. Tak ada lain yang bisa penulis berikan, hanya puji syukur,
hormat dan kemuliaan melalui semuanya ini.
Selain itu pada kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu, diantaranya:
1. Pdt. Dr. Retnowati, M.Si selaku pembimbing I, yang telah meluangkan
waktu, sumbangan pemikiran, dan dukungan bagi penulis dalam
penyusunan dan penyelesaian Tugas Akhir ini. Dan untuk Pdt. Irene Ludji,
MAR selaku pembimbing dua, terima kasih untuk ilmu dan berbagai
masukan yang sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.
2. Dekan, Kaprogdi dan seluruh dosen serta staff tata usaha Fakultas Fakultas
Teologi UKSW yang telah banyak membantu saya menyelesaikan
perkuliahan dan menjadi bekal bagi saya dalam mempersiapkan diri
menjadi calon pelayan Tuhan.
3. Papa Samuel A. Meha, S.Sos dan Mama Lea Paulita K. Irene, S.Pd serta
kedua adik terkasih Martin Luther Meha, S.Pi dan Audi Tri Saputra Meha
viii
serta dukungan kepada saya dalam menyelesaikan bangku perkuliahan
sampai selesai.
4. Terima kasih banyak buat Ka Dedy Mone dan teman-teman Teologi
UKSW atas bantuan, masukan dan berbagai pengalaman serta ilmu
pengetahuan yang sangat berguna. 
5. GMIT jemaat “Syaloom” Ende. Terima kasih atas kesediaan jemaat, pendeta, vikaris dan majelis dalam menerima penulis untuk melaksanakan
PPL VI disana. Terkhusus buat Pdt. Markus O. Raga, S.Th, Pdt. Anderias
Mauleti, S.Th serta para mosalaki adat Lio yang telah meluangkan waktu
untuk membantu penulis dalam memberikan segala informasi yang sangat
bermanfaat dalam proses penyusunan Tugas Akhir ini. GOD BLESS US.
6. Keluarga Besar Meha-DjamiKadja baik yang ada di Flores maupun
dimana saja berada. Terima kasih untuk doa dan dukungannya. Tuhan
Yesus Berkati.
7. Ephifonia,
no comment
just I Love U. thanks for everything. God Bless Us8. Semua pihak yang tidak tersebutkan namanya, Terima kasih banyak atas
bantuannya. Tuhan Yesus Berkati
.
Salatiga, 23 September 2015
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
MOTTO... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
ABSTRAK ... xi
LATAR BELAKANG MASALAH Ada Apa Dengan Kuwi Roe……….. 1
LANDASAN TEORI Teori Agama-agama Primitif………... 3
Teori Kristus dan Kebudayaan………... 6
Teori Ritual……….………. 7
HASIL PENELITIAN Sejarah GMIT Syaloom Ende……… 8
x
ANALISA
Tradisi Kuwi Roe Ditinjau Dari Teori Agama-agama Primitif
………10
Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe
………17
KESIMPULAN
Tradisi Kuwi Roe Bersebrangan Dengan Kekristenan dalam prinsip iman
jemaat GMIT Syaloom Ende ………23
DAFTAR PUSTAKA ………25
Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe
xi SANDER KONSTANTIN MEHA
712009029
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pandangan jemaat GMIT Syaloom Ende terhadap tradisi Kuwi Roe pada suku Lio di wilayah Flores Tengah. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori agama-agama primitif, teori ritual dan teori dari Richard Niebuhr tentang sikap gereja terhadap kebudayaan. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa tradisi Kuwi Roe adalah pemberian makan atau sesajen kepada arwah leluhur yang sudah meninggal sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur atas kehidupan yang baik, keselamatan dan terhindarnya dari roh-roh jahat. Namun di satu sisi terdapat perbedaan prinsip oleh karena mayoritas masyarakat suku Lio yang masih menjalankan tradisi tersebut adalah pemeluk agama Katolik dan di wilayah tersebut terdapat kelompok minoritas yang beragama Protestan yang terhimpun dalam GMIT, yang keberadaannya telah ada cukup lama dan hidup berdampingan dengan masyarakat suku Lio di Ende. Jemaat GMIT Syaloom Ende tentu memiliki pandangan tersendiri mengenai tradisi
Kuwi Roe dan sangat selektif dalam menerima kebudayaan untuk terinkulturasi dengan ajaran gereja.
1
Ada Apa dengan Kuwi Roe?
Kabupaten Ende merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Pulau Flores
provinsi Nusa Tenggara Timur. Memiliki luas wilayah 2.046 km2, terbagi secara administratif
ke dalam 21 kecamatan, 191 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk 258.658 jiwa.1
Kabupaten Ende memiliki lebih dari 10 etnis/suku, 5 agama dan 1 aliran kepercayaan resmi
di Indonesia dengan komposisi Katolik 69%, Islam 27%, Protestan 3%,
Hindu/Budha/Konghucu 1%.2
Penduduk asli yang mendiami Kabupaten Ende adalah suku Lio (ata lio: orang lio) dan
suku Ende (ata ende: orang ende). Suku Lio tersebar di wilayah Ende bagian Timur, Selatan
dan Utara sedangkan suku Ende tersebar di wilayah Ende bagian Tengah dan Barat. Meski
berbeda suku dan budaya namun kedua suku ini hidup saling berdampingan dan harmonis.
Mayoritas kelompok suku Ende menganut agama Islam dan dominan mendiami daerah
pesisir pantai wilayah barat dan sebagian tengah kota. Kelompok suku Lio mayoritas
menganut agama Katolik dan tersebar hampir disebagian besar wilayah Kabupaten Ende.
Di Kabupaten Ende khususnya penduduk suku Lio meskipun telah menjadi penganut
Katolik, namun masih mempraktekkan sebuah tradisi atau ritus kuno yang disebut Kuwi Roe,
yaitu pemberian makanan kepada orang yang telah meninggal. Tradisi ini secara umum di
Indonesia dikenal dengan sesaji/sesajen. Kuwi Roe adalah tradisi kuno menurut kepercayaan
nenek moyang atau leluhur suku Lio yang telah ada sejak dahulu dan masih dipertahankan
sampai sekarang. Pemberian makanan atau sesaji ini diberikan kepada Nitupa'i atamata atau
babo mamo (orang meninggal & leluhur).3
Bagi masyarakat suku Lio meyakini Nitupa'i atamata atau babo mamo itu masih hidup
secara roh, meskipun secara fisik tubuh mereka telah mati. Suku Lio menganggap bahwa
Nitupa'i atamata atau babo mamo itu masih tinggal bersama orang hidup, baik di kampung,
kebun, rumah. Jadi tidak heran masyarakat suku Lio cenderung mengubur sanak keluarga
yang telah meninggal tidak jauh dari halaman rumah mereka. Masyarakat suku Lio percaya
Nitupa'i atamata atau babo mamo masih memiliki “kuasa” untuk menghukum dan juga
menolong mereka yang masih hidup. Ada kesadaran bahwa mereka yang telah meninggal
1
Sistem Informasi Penataan Ruang Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, “Profil
Kabupaten Ende.”
2
Jurnal Profil Pariwisata Kabupaten Ende, Pemerintah Kabupaten Ende – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende – Flores – NTT.
3
Hasil observasi sekaligus wawancara langsung dengan beberapa Mosalaki/Ketua adat Kampung
2
dunia dan di masa hidupnya selalu memberi buah kebaikan, dianggap pantas untuk tetap
dikenang, dihargai, teristimewa bagi para leluhur sebagai yang pertama hidup dan
menghadirkan generasi sekarang.
Berdasarkan penjelasan di atas maka “Kuwi Roe” dalam budaya masyarakat adat suku Lio, Kabupaten Ende, Flores Tengah, kemudian diteliti. Pertimbangannya di Kabupaten Ende
penganut agama Kristen Protestan masuk dalam kategori minoritas yang terhimpun dalam
organisasi Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) Syaloom.4 Meskipun masyarakat suku Lio
sebagian besar bukan jemaat GMIT, namun keberadaan GMIT dan jemaatnya telah ada
cukup lama dan hidup berdampingan dengan masyarakat suku Lio di Ende.
Sementara itu, berbeda dengan masyarakat suku Lio yang adalah penganut ajaran agama
Katolik dan cenderung menerima serta mempraktekkan ritus-ritus dan tradisi adat lokalnya,
jemaat lokal GMIT yang berasas Calvinis sangat “selektif” dalam menerima kebudayaan untuk terinkulturasi dengan ajaran gereja. Hal ini tidak berarti bahwa GMIT adalah gereja
yang eksklusif dan menolak segala bentuk praktek-praktek budaya yang telah menjadi tradisi
dalam suatu wilayah. Tidak dapat dipungkiri bahwa GMIT dalam ajarannya menolak segala
bentuk praktek budaya yang dipandang sebagai praktek kekafiran seperti pemujaan terhadap
orang yang meninggal sebagai sikap selektif.
Prinsip GMIT yang menolak segala bentuk praktek pemujaan terhadap orang yang
meninggal sangat bertolak belakang dengan tradisi Kuwi Roe yang sarat akan pemujaan
terhadap orang yang telah meninggal pada masyarakat suku Lio di Ende. Terlebih khusus
warga jemaat GMIT Syaloom suku Lio yang masih memegang erat tradisi Kuwi Roe.
Artinya terdapat pandangan tersendiri tentang tradisi Kuwi Roe dari mereka.
Meskipun terdapat perbedaan prinsip namun hal ini tidak pernah menimbulkan konflik
dan menjadi jurang pemisah antara masyarakat suku Lio dan jemaat GMIT. Tradisi ini tidak
dapat dihilangkan pada masyarakat suku Lio. Hal ini disebabkan karena tradisi ini telah lama
ada dan sudah mengakar dalam kebudayaan masyarakat suku Lio, sebelum adanya
keberadaan GMIT Syaloom di Ende. Oleh karena itu penelitian ini terfokus pada tradisi
Kuwi Roe khususnya pandangan jemaat GMIT Syaloom Ende terhadap tradisi Kuwi Roe.
Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pandangan jemaat
4
3
GMIT Syaloom Ende terhadap tradisi Kuwi Roe pada masyarakat suku Lio di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT ?
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif dan mempergunakan teknik pengumpulan data yaitu teknik interview (wawancara),
teknik observasi (pengamatan) dan studi kepustakaan.
Agama-agama Primitif
Spencer memberikan definisi tentang agama sebagai sebuah bentuk pemujaan kepada
roh leluhur para pendiri suku. Terdapat tiga elemen dasar dalam agama yaitu: pertama,
kepercayaan kepada makhluk-makhluk dan kekuatan supranatural. Kedua, kelompok individu
yang terorganisasi saling membagi kepercayaan. Ketiga, kegiatan yang dilakukan oleh para
individu kepada kekuatan pemujaan roh leluhur.5
Definisi Spencer di atas bertolak dari pemahamannya bahwa asal-usul agama berada
pada mimpi manusia mengenai roh dari dunia lain. Dengan kata lain, manusia bermimpi
tentang keluarga mereka yang baru saja meninggal dan kemudian menyimpulkan keluarga
yang baru saja meninggal adalah hantu (ghost) di dalam dunia lain. Mimpi-mimpi itu
kemudian dimodifikasi menjadi keyakinan tentang kekuatan penyembahan roh leluhur,
sehingga agama pada awalnya berkisar pada penyembahan terhadap leluhur. Penyembahan
terhadap leluhur bermaksud memperkuat basis struktur masyarakat tradisional yaitu sistem
keturunan.6
E. B. Taylor, dalam buku “Primitive Culture,” menguraikan asal mula dari kepercayaan
dan religi dalam kebudayaan umat manusia. Menurutnya, asal mula dari kepercayaan dan
religi umat manusia adalah:
1) Kesadaran akan adanya jiwa; dan (2) Kemudian dari dasar itu, religi berevolusi melalui tingkat yang paling rendah ialah kepercayaan kepada adanya makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu; (3) Ketingkat yang lebih tinggi lagi yaitu kepercayaan kepada dewa-dewa yang menggerakkan alam; (4) Dan pada akhirnya sampai pada tingkat yang tertinggi yaitu kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa. Taylor menjelaskan, dalam animisme benda-benda penting bagi masyarakat primitif karena bagi masyarakat primitif, mereka tidak menyembah berhala (batu, pohon, tongkat, keris, dll), namun mereka menyembah
“anima” yang ada di dalamnya, roh-roh yang betul-betul hidup yang seperti Tuhan.7
Teori agama menurut Taylor bahwa agama bukan hanya sekedar sebagai kepercayaan
kepada Tuhan, melainkan sebagai kepercayaan terhadap wujud-wujud/makhluk spiritual,
5
Spencer dalam Jonathan H. Turner, Herbert Spencer: A Renewed Appreciation (England: Sage
Publication, 1986), 136 – 137.
6
Turner, Herbert Spencer: A Renewed Appreciation, 136 – 137.
7
4
tampaknya adalah animisme (kepercayaan kepada kekuatan pribadi yang hidup di balik
semua benda).8 Lebih lanjut, animisme adalah suatu bentuk pemikiran yang sangat tua, yang
dapat ditemukan di seluruh sejarah bangsa manusia.9 Taylor merasa bahwa suatu karakteristik
yang dimiliki oleh agama, besar atau kecil, kuno atau modern adalah kepercayaan pada roh
yang berpikir, bertindak, dan merasa seperti pribadi manusia.10 Esensi agama seperti mitologi
dalam mendefinisikan agama, Taylor mencoba masuk ke dalam masa prasejarah untuk
merekonstruksikan pemikiran manusia pada awalnya.11 Taylor mengatakan untuk
menyelidiki agama/sistem kepercayaan haruslah meneliti perbuatan-perbuatan, ide-ide,
kebiasaan-kebiasaan dan adat-istiadat suatu masyarakat. Sehingga bagi Taylor, mitos adalah
penting karena mitos-mitos itu membuka jalan tentang asal usul Agama.12 Jadi dapat
disimpulkan agama dalam pemahaman Taylor adalah, kepercayaan pada makhluk
supernatural, seperti Tuhan atau para Dewa yang telah berlangsung lama dalam sejarah
kehidupan manusia dari masa primitif hingga modern.
Berbeda dengan Taylor, Durkheim mengklaim bahwa orang-orang primitif secara
normal betul-betul tidak berpikir tentang dua dunia yang berbeda, yang satu supernatural,
dan yang lain natural, seperti cara yang dilakukan oleh orang-orang beragama yang hidup
dalam kebudayaan modern. Jelaslah bagi Durkheim, bahwa agama memerlukan suatu definisi
yang baru. Durkheim kemudian mengamati bahwa sesuatu yang tampaknya benar-benar
merupakan karakteristik kepercayaan dan ritual agama bukanlah unsur supranatural
melainkan konsep tentang yang sakral (the sacred), yang betul-betul sangat berbeda.13
Durkheim dalam buku “The Elementary Forms of The Religion Life,” mengatakan bahwa agama adalah sebuah sistem terpadu dari kepercayaan dan praktek yang berhubungan
dengan hal-hal yang sakral (sacred things). Hal sakral selalu melibatkan kepentingan besar:
kepentingan dan kesejahteraan seluruh kelompok umat. Agama dapat membentuk solidaritas
iman dan kelompok, ini menjadi bagian dari apa yang disebut dengan kesadaran agama.
Penekanan dari pemikiran Durkheim, adalah di satu pihak agama merupakan satu sistem
yang utuh dari kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral
8
Daniel L.Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), 46-48.
9
Pals, Seven Theories of Religion, 46-48.
10
Pals, Seven Theories of Religion, 46-48.
11
Pals, Seven Theories of Religion, 46-48.
12
Pals, Seven Theories of Religion, 46-48.
13
5
dan di lain pihak agama merupakan praktek-praktek yang menyatukan mereka ke dalam suatu
komunitas moral. Bagi Durkheim, agama sangat penting dalam kehidupan karena agama
turut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, kesenian, dll.14
Agama dalam definisi yang struktural mengedepankan aspek-aspek: (1) Yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang berdimensi misteri atau yang dapat kita sebut dengan Tuhan. (2)
Yang berkaitan dengan aturan-aturan moral yang harus dipenuhi. (3) Yang berkaitan dengan
ritual-ritual yang dilakukan berdasarkan kepercayaan kepada sesuatu yang misteri. Ketiga
aspek yaitu, misteri, aturan moral, dan ritual merupakan aspek dasar yang selalu ada pada
masyarakat religius. Dalam pandangan sosiologi, agama merupakan suatu produk dari
interaksi sosial antara manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Agama adalah
fakta sosial di mana agama memainkan peranan penting bagi integrasi sosial masyarakat.
Agama menjadi berarti, ketika masyarakat memberikan rasa hormat kepadanya dalam bentuk
ritual-ritual yang secara komunal mengikat semua anggota masyarakat.15
Dari beberapa definisi yang terurai di atas sejalan dengan pemikiran Emile Durkheim
bahwa agama sama dengan religi dan agama bagian dari kebudayaan.
Menurut Durkheim, religi adalah bagian dari kebudayaan. Dasar religi menurutnya
terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu: (1) Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu
bersifat religius. (2) Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, serta segala nilai, norma,
dan ajaran dari religi yang bersangkutan. (3) Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha
manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus
yang mendiami alam gaib. (4) Umat kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan
yang melaksanakan ritus dan upacara.16 Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat
satu dengan yang lain menjadi satu sistem yang terintegrasi secara utuh. Inti dari pandangan
Durkheim terletak di dalam klaimnya bahwa “Agama adalah sesuatu yang sungguh bersifat
sosial.” Di semua kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari perbendaharaan sosial.
Dalam buku “Kebudayaan dan Agama” Clifford Geertz menggambarkan agama sebagai bagian dari kebudayaan yang merupakan “susunan arti,” atau ide, yang dibawa
14
E. Durkheim, The Elementary Forms of Religion Life, dalam buku: Dr. Koentjaraningrat, Metode Anthropologi (Jakarta: Penerbit Universitas, 1958), 200 – 204.
15
E. Durkheim, The Elementary Forms of Religion Life, dalam buku: Dr. Koentjaraningrat, Metode Anthropologi (Jakarta: Penerbit Universitas, 1958), 200 – 204.
16
6
simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan
mengekspresikan sikap mereka kepadanya. Menurut Geertz, agama adalah sebuah sistem
budaya, artinya agama adalah:
(1) Sebuah sistem simbol yang berperan (2) membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara (3) merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak realistik secara unik.17
Maksud agama sebagai “sistem simbol” dalam pemahaman Geertz adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang; suatu objek seperti roda
dua orang Budha, suatu peristiwa seperti penyaliban, atau sekadar tindakan tanpa kata, seperti
gerak isyarat atau kerendahan hati. Hal penting tentang ide dan simbol ini adalah bahwa ide
dan simbol itu tidak semata-mata merupakan masalah pribadi. Simbol-simbol adalah untuk
“membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama,” maksudnya
adalah bahwa agama membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin melakukan sesuatu,
misalnya orang Yahudi ingin melihat Yerusalem, orang Islam ingin melihat Mekah.
Kekuataan suasana hati ini berasal dari fakta bahwa ia tidak disebabkan oleh hal-hal yang
kecil atau remeh. Suasana hati ini muncul karena agama mengisi dirinya dengan sesuatu yang
sangat penting; agama merumuskan “konsep tentang tatanan kehidupan yang umum.” Selain
itu, Geertz menambahkan bahwa agama “membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak
realistik secara unik.” Ini berarti bahwa agama menandai bahwa suatu wilayah kehidupan memiliki status khusus. Yang memisahkan agama dari sistem budaya yang lain adalah bahwa
simbolnya mengklaim menempatkan kita bersentuhan dengan apa yang “betul-betul riil.”18 Ide utama dari Geertz tentang agama adalah agama selalu merupakan sebuah
pandangan dunia dan sebuah etos. Agama terdiri dari ide dan kepercayaan tentang dunia.
Kristus dan Kebudayaan
Dalam kekristenan, pertemuan kepercayaan modern dengan kebudayaan lokal telah
melahirkan berbagai sikap. Richard Niebuhr memberi penjelasan lebih dalam tentang sikap
gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture. Kristus di sini di gambarkan
sebagai sebuah bentuk pernyataan Allah dalam diri manusia.19 Niebuhr menjelajahi
sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam lima sikap-sikap atau lima tipologi,
17
Pals, Seven Theories of Religion, 413 – 421.
18
Clifford Geertz, Kebudayaan Dan Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 5-17.
19
7
yakni: 1) Kristus La wan Kebudayaan, 2) Kristus Dari Kebudayaan, 3) Kristus Di ata s
Kebudayaan, 4) Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks, 5) Kristus Pengubah Kebudayaan
Kuwi Roe Sebagai Sebuah Ritual
Tradisi Kuwi Roe adalah bentuk ritual adat sebagai wujud nyata kepercayaan masyarakat
suku Lio akan keberadaan roh-roh gaib atau yang lebih dikenal dengan Nitupa'i atamata atau
babo mamo (orang meninggal & leluhur).
Susanne Langer memperlihatkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih
bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis.20 Ritual memperlihatkan tatanan atas
simbol-simbol yang diobjekan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan,
serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing.
Goody mendefinisikan ritual sebagai suatu “kategori adat perilaku yang dibakukan,
dimana hubungan antara sarana-sarana dengan tujuan tidak bersifat „intrinsik,‟ dengan kata lain, sifatnya entah irasional atau nonrasional.”21
Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu (1) Tindakan magi yang
dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2)
Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif
yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada
pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) Ritual
faktitif yang meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan,
atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.22 Ritual-ritual
faktitif berbeda dari ritual konstitutif karena tujuannya lebih dari sekedar pengungkapan atau
perubahan hubungan sosial, tidak saja mewujudkan kurban untuk para leluhur dan
pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota-anggota
jemaah dalam konteks peranan sekular mereka.23
Dalam masyarakat kesukuan terdapat paguyuban mistis. Mereka percaya bahwa
perpecahan, penyelewengan dan pelanggaran ringan bahkan perasaan kekejian akan
membawa malapetaka pada rekan-rekannya. Oleh karena itu, ritual berkenan dengan daya
20
Susanne Langer, dalam karyanya Philosophy In a New Key (Cambridge Mass, 1942).
21
J. Goody, “Religion and Ritual; The Definitional Problem,” dalam The British Journal of Sociology,
Juni 1961, 57-147; 159.
22
Mariasusai Dhavmony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 175.
23
8
dan makhluk-makhluk mistis perlu dilakukan untuk memulihkan keseimbangan setiap kali
ada perubahan dalam sikap sosial. Ritual ini juga diperlukan untuk menetapkan
keseimbangan baru di dalam hubungan-hubungan yang berubah.24
Ritual dipandang sebagai muncul dari situasi-situasi dimana kelompok yang bekerjasama
harus menangani pertentangan-pertentangan yang radikal dalam konstitusi mereka sendiri.25
Hal ini terjadi karena aturan-aturan dan nilai-nilai sosial sendiri, yang dibangun oleh berbagai
hubungan, menggerakan individu-individu dan subkelompok-subkelompok untuk berdebat
dengan rekan-rekan mereka dalam kelompok kesepakatan besar, bahwa ritual berusaha
menutupi pertentangan-pertentangan dasariah yang sudah ditetapkan.
Sejarah GMIT Syaloom Ende
Titik awal kehadiran jemaat GMIT Syaloom Ende di mulai pada tahun 1907. Dalam
perjalanan pelayanan mengalami perkembangan jemaat yang dimana jumlah jiwa yang pada
awalnya hanya berjumlah 20 orang lalu bertambah menjadi 500 orang.26
Pada tahun 1938 dilaksanakan pembangunan gedung gereja yang berlokasi di
Jl.Woloare A dan diresmikan pada tanggal 6 Mei 1939. Dan jemaat ini diberi nama Jemaat
Beth-El. Dalam merintis sebuah misi pelayanan, jemaat Beth-El mengalami berbagai macam
persoalan di tubuh organisasi gereja yaitu terjadinya mutasi besar-besaran terhadap pemimpin
lembaga gereja.
Dalam dekade berikutnya, tepat pada tahun 1959-1972 terjadi peningkatan populasi
jemaat sehingga memunculkan ide serta gagasan untuk membangun gedung kebaktian yang
berdaya tampung besar dan hal tersebut ditanggapi secara baik. Pada tahun 1970 oleh Ketua
Majelis Sinode lalu merubah nama Beth-El menjadi GMIT Jemaat Syaloom Ende yang
berlokasi di Jalan Pahlawan - Kelurahan Onekore – Kecamatan Kota Ratu – Kabupaten Ende.
24
Dhavmony, Fenomenologi Agama, 176.
25
E. Evans-Pritchard, The Divine Kingship of the Shilluk of the Anglo-Egyptian Sudan (Cambridge, 1948); Max Gluckman, Rituals of Rebellion in South-East Africa (Manchester, 1954); Pengantar dari Forde pada
African Worlds, London.
26
9
Tradisi Kuwi Roe Dalam Kebudayaan Masyarakat Suku Lio
Tradisi Kuwi Roe adalah bentuk ritual adat sebagai wujud nyata kepercayaan
masyarakat suku Lio akan keberadaan roh-roh gaib atau yang lebih dikenal dengan Nitupa'i
atamata atau babo mamo (Leluhur). Sudah menjadi ketentuan bahwa sebelum melaksanakan
upacara yang bersifat ritual haruslah menyediakan bermacam sesajen dan juga
perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan. Kuwi Roe sendiri biasanya dilakukan oleh seorang
mosalaki/pemimpin wilayah adat pada saat momen tertentu seperti adanya hajatan syukuran
kebahagiaan dan juga dukacita. Misalnya, saat sebelum musim tanam, saat panen, pengerjaan
rumah baru, pernikahan, kelahiran, pembaptisan anak, komuni suci pertama, ulang tahun, saat
menghadapi ujian, kematian, sakit, dll. Berikut hasil wawancara yang dilakukan terhadap
salah seorang mosalaki, yang menuturkan bahwa Kuwi Roe adalah sebagai wujud
penghormatan kepada leluhur yakni dengan memberikan daging babi dan beras.27 Masyarakat
suku Lio meyakini bahwa para leluhur turut serta dalam membantu dan mempermudah setiap
pekerjaan yang mereka kerjakan, juga dapat terhindar dari kuasa jahat serta senantiasa
memperoleh keselamatan. Dalam Kuwi Roe kami meletakan makanan diiring dengan doa-doa
dan mantra untuk memanggil dan memohon leluhur menikamatinya dengan bahagia dengan
harapan apa yang inginkan dapat direstui oleh para leluhur.28
Hal senanda pun juga disampaikan oleh salah seorang mosalaki dalam wilayah adat yang
berbeda. Dalam penuturannya menjelaskan bahwa Kuwi Roe yang dilakukan adalah sebagai
bentuk permohonan kepada para leluhur yang lazimnya dengan memberikan makanan berupa
beras yang disimpan dalam Puu pare; botol dari tanduk kerbau.29 Beras tersebut diletakan di
rate; kuburan leluhur dan juga musumase; batu lonjong yang ada di tengah kampung adat.
Pada saat memberi makan kepada leluhur biasanya disertakan dengan doa dan permohonan
27
Hasil wawancara dengan Bapak Ambrosius selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat
Wolokota-Kecamatan Ende Timur-Kabupaten Ende. Wawancara di ambil di Kediaman Bapak Ambros, pada tanggal 27 April 2015.
28
Hasil wawancara dengan Bapak Ambrosius selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat
Wolokota-Kecamatan Ende Timur-Kabupaten Ende. Wawancara di ambil di Kediaman Bapak Ambros, pada tanggal 27 April 2015.
29
Hasil wawancara dengan Bapak Petrus Watu selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat
10
kepada leluhur. Tujuan dan maksud dari pelaksanaan Kuwi Roe adalah ungkapan syukur,
mohon restu, mohon disembuhkan dari sakit, keselamatan, dll.30
Sesajen atau Kuwi Roe merupakan simbol dari sebuah bentuk persembahan kepada roh
atau arwah nenek moyang, serta pengiring doa-doa agar dewa dan roh nenek moyang
menerima dengan bahagia doa mereka sambil menikmati makanan berupa hewan (daging
babi, daging ayam, dll). Sesajen atau Kuwi Roe juga bertujuan agar mereka mendapatkan
kelancaran dan keselamatan hidup seperti yang terungkap dalam so nggengge kami, wenggo
pero, sulu molo dowa leka miu (Belalah dan lindungilah kami, hidup dan pekerjaan kami ada
ditanganmu). Masyarakat Lio meyakini, bahwa arwah-arwah leluhur yang sudah meninggal
selalu mengiringi langkah hidup dan melindungi mereka dimanapun mereka berpijak,
sehingga masyarakat Lio merasa berkewajiban untuk memberikan makan melalui dhera k/ha
atau sesajen. Persembahan sesajen juga merupakan suatu bentuk komunikasi masyarakat Lio
dengan Du'a Ngga'e (Tuhan) dan juga dengan leluhur mereka.
Tradisi Kuwi Roe Ditinjau dari Teori Agama-Agama Primitif
Tradisi Kuwi Roe adalah bagian dari wujud sistem kepercayaan/religi yang ada pada
masyarakat suku Lio. Di dalam tradisi Kuwi Roe terdapat tujuan dan harapan dari masyarakat
suku Lio. Adanya makna simbolik dan nilai dari tradisi Kuwi Roe.
Menurut pendirian ini berdasarkan konsep E. Durkheim. Konsep religi merupakan satu
sistem yang terdiri dari empat komponen antara lain: (a) Emosi keagamaan yang
menyebabkan manusia itu bersifat religius. (b) Sistem keyakinan yang mengandung segala
keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib,
serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan. (c) Sistem ritus dan
upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa,
atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. (d) Umat kesatuan sosial yang
menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan ritus dan upacara.31
Keempat komponen tersebut terjalin erat antara satu dengan yang lain dan menjadi
sistem yang terintegrasi secara utuh. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang
menggerakan jiwa manusia. Karena getaran jiwa yang dirasakan inilah maka setiap individu
dapat melakukan praktek-praktek keagamaan seperti berdoa, bersujud, dll. Dalam
menjalankan praktek keagamaannya seseorang akan dihinggapi emosi keagamaan sehingga
30
Hasil wawancara dengan Bapak Petrus Watu selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat Woloaro-Kecamatan LioTimur-Kabupaten Ende. Wawancara di ambil di Kediaman Bapak Petrus, Kampung Adat Woloaro, pada tanggal 29 April 2015.
31
11
individu tersebut akan membayangkan wujud Tuhan, Roh, Dewa atau makhluk halus lainnya.
Wujud tersebut ditentukan oleh kepercayaan yang dianut dalam masyarakat setempat,
begitupula tatacara keagaaman yang dilakukan.
Masyarakat suku Lio percaya leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal masih
memiliki hubungan dengan mereka. Kepercayaan mereka bahwa meskipun leluhur dan sanak
keluarga mereka telah mati secara badani namun tetap hidup secara roh. Masyarakat suku Lio
dihinggapi oleh emosi keagaamaan dan membayangkan bahwa leluhur dan sanak keluarga
yang telah meninggal masih hidup, menjaga keselamatan mereka, dan masih melihat serta
memiliki kuasa untuk menghukum mereka. Bayangan ini bukanlah bayangan yang baru saja
terjadi pada masyarakat suku Lio akan tetapi telah berlangsung lama dalam kebudayaan
mereka. Kemudian mereka menaruh sesajen berupa makanan dan minuman pada kubur batu
atau tempat-tempat tertentu itu merupakan kelakuan religius yang muncul dari emosi
keagamaan yang telah lazim dilakukan menurut kebudayaan setempat.
Dalam tradisi Kuwi Roe masyarakat suku Lio mencoba menjaga hubungan dengan
orang yang telah meninggal agar tetap berlangsung baik. Hal ini karena dihinggapi bayangan
akan keselamatan dan perlindungan yang akan diberikan dari leluhur dan sanak keluarga
yang meninggal. Adanya hubungan baik yang tetap terjaga antara yang hidup dan yang mati
berdampak pada kenyamanan dalam menjalankan aktifitas bagi yang masih hidup di bumi.
Pelaksanaan tradisi Kuwi Roe dipandang sebagai suatu tradisi komunal yang harus
tetap dijaga. Hal senada pun diutarakan oleh seorang mosalaki atau ketua adat suku Lio di
Desa Adat Woloaro, yang percaya bahwa leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal
tetap hidup bersama mereka. Walau secara fisik, leluhur dan sanak saudara yang sudah
meninggal itu tidak tampak dan terlihat namun keyakinan dalam diri mereka bahwa para
leluhurlah yang telah menghadirkan mereka, para leluhur menjaga mereka, para leluhur
melindungi mereka. Mereka dapat merasakan kehadiran roh leluhur.32
Emosi keagamaan yang ada pada masyarakat suku Lio diteruskan pada pelaksanaan
tradisi dan ritus Kuwi Roe sebagai ungkapan religius. Dalam pelaksanaan tradisi ini mereka
menemukan wujud bayangan makhluk halus yang diyakini sebagai (Nitupa'i atamata atau
babo mamo: orang meninggal & leluhur) dalam pemikiran mereka.
32
12
Menurut Spencer agama adalah pemujaan kepada roh leluhur para pendiri suku.
Terdapat tiga elemen dasar dalam agama yaitu, (1) Kepercayaan kepada makhluk-makhluk
dan kekuatan supranatural. (2) Kelompok individu yang terorganisasi saling membagi
kepercayaan. (3) Kegiatan yang dilakukan oleh para individu kepada kekuatan pemujaan roh
leluhur. Definisi Spencer ini bertolak dari pemahamannya bahwa asal-usul agama berada
pada mimpi manusia mengenai roh dari dunia lain. Dengan kata lain, manusia bermimpi
tentang keluarga mereka yang baru saja meninggal. Artinya keluarga yang baru saja
meninggal adalah hantu (ghost) di dalam dunia lain. Mimpi-mimpi itu kemudian dimodifikasi
menjadi keyakinan tentang kekuatan penyembahan roh leluhur, sehingga agama pada
awalnya berkisar pada penyembahan terhadap leluhur. Penyembahan terhadap leluhur
bermaksud memperkuat basis struktur masyarakat tradisional yaitu sistem keturunan.33
Berdasarkan pemahaman Spencer, maka Kuwi Roe merupakan bentuk atau wujud
aplikasi kepercayaan/religi masyarakat suku Lio kepada Nitupa'i atamata atau babo mamo
(orang meninggal & leluhur). Dalam bayang dan mimpi masyarakat suku Lio meyakini
bahwa leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal masih hidup dalam bentuk roh yang
masih ada dalam dunia, meski telah menjadi bagian dari “dunia lain.” Masyarakat Lio meyakini, bahwa arwah-arwah leluhur yang sudah meninggal selalu mengiringi langkah
hidup dan melindungi mereka dimanapun mereka berpijak, sehingga masyarakat Lio merasa
berkewajiban untuk memberikan makan atau sesajen. (2) Peradaban suku Lio jaman dahulu
mengajarkan keseimbangan hubungan terhadap 3 hal, yaitu: (i) Vertikal keatas antara
manusia dengan Tuhan (Du'a Ngga'e). (ii) Horisontal antara manusia dengan sesamanya
Nitupa'i atamata atau babo mamo. (iii) Vertikal ke bawah antara manusia dengan alam serta
hewan dan tumbuhan (tana watu).34 Peradaban suku Lio memperlihatkan bahwa sistem
kepercayaan mereka secara rapi telah terorganisir sehingga dapat menetukan praktek dan
ritual yang harus dilakukan kepada wujud yang disembah dan dipercaya. (3) Dalam menjalin
relasi horisontal antara manusia dengan Nitupa'i atamata atau babo mamo diwujudkan dalam
praktek pemberian makanan/sesajen Kuwi Roe. Ritual ini dilakukan dalam bentuk meletakan
makanan di kubur batu atau tempat-tempat tertentu diiringi dengan doa-doa. Dengan tujuan
kehidupan mereka akan senantiasa selamat sejahtera.
13
Lebih lanjut berdasarkan pemikiran Clifford Geertz dalam buku “Kebudayaan dan
Agama” menggambarkan agama sebagai bagian dari kebudayaan yang merupakan “susunan
arti” atau ide, yang dibawa simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan sikap mereka kepadanya.35 Menurut Geertz, agama adalah
sebuah sistem budaya, artinya agama adalah: sebuah sistem simbol yang berperan
membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama di dalam diri
manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus
konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu sehingga suasana hati dan
motivasi-motivasi itu tampak realistik secara unik.36
Berdasarkan pendapat Clifford Geertz maka tradisi ini mengandung makna simbolik
yakni, pengajaran dan penghargaan, terhadap leluhur juga kepada sanak keluarga yang telah
meninggal, bukan hanya sebuah teori tapi dengan pelaksanaan secara ritual. Tempat diletakan
sesajen, disebut wisululu (tempat persemayaman roh para leluhur) yang disimbolkan dengan
batu. Ritus atau tradisi Kuwi Roe dalam bentuk sesajen yang diletakan di atas simbol berupa
batu wisululu bukan berarti hendak menyamakan benda/batu dengan Du'a Ngga'e. Sama
halnya dengan tradisi atau ritus Kuwi Roe tersebut tidak berarti mengganti kedudukan
Nitupa'i atamata atau babo mamo dengan Du'a Ngga'e. Penuturan dari seorang tokoh adat
atau mosalaki yang menegaskan bahwa tradisi Kuwi Roe yang dilakukan dalam kelompok
masyarakat suku Lio adalah sebuah ritual yang ditujukan kepada Nitupa'i atamata atau babo
mamo bukan kepada Du’a Ngga’e.37 Posisi Nitupa'i atamata atau babo mamo berada di
bawah Du’a Ngga’e. Tradisi yang diwujudkan dalam setiap ritual ini tidak bertujuan untuk
mengganti peran Du’a Ngga’e, tetapi justru sebaliknya tradisi ini mau mengingatkan bahwa
Du’a Ngga’e jauh lebih berkuasa dan suku Lio meyakini bahwa Nitupa'i atamata atau babo mamo berada dekat dengan Du’a Ngga’e, sehingga kita sebagai manusia yang masih hidup ini membutuhkan orang lain termasuk Nitupa'i atamata atau babo mamo untuk mendoakan
dan menolong. Masyarakat suku Lio meyakini Nitupa'i atamata atau babo mamo masih
Hasil wawancara dengan Bapak Ambrosius selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat
14
Tradisi ini adalah bentuk penghormatan dan penghargaan kepada Nitupa'i atamata atau
babo mamo karena telah menghadirkan, menolong dan menyelamatkan dalam setiap sisi
kehidupan masyarakat suku Lio. Karena itulah maka diberikanlah makanan dan minuman,
meletakan itu di atas kubur batu. Makanan dan minuman yang diberikan bukan untuk batu.
Batu itu hanya sebagai media atau simbol dari kehadiran dan keberadaan roh leluhur
ditengah-tengah kehidupan masyarakat suku Lio yang masih hidup. Semua yang melihat batu
kubur itu akan tetap mengingat bahwa masyarakat suku Lio punya Nitupa'i atamata atau
babo mamo yang selalu mencintai setiap sisi kehidupan masyarakat suku Lio dan
berkewajiban untuk menjaga dan menghargai bersama-sama agar semuanya selamat dan
sejahtera.38
Masyarakat suku Lio dalam menginterpretasikan keyakinan dan kepercayaan selalu
menggunakan dan membutuhkan sebuah simbol atau tanda seperti batu, patung, atau
benda-benda lainnya dalam mengungkapkan perasaannya.Dalam perspektif kultural, sesajen Kuwi
Roe dalam masyarakat suku Lio dapat dipandang sebagai adat dan tradisi yang penuh makna.
Di dalamnya ada nilai yang jika dipahami akan menjadikan manusia lebih bersikap arif dan
bijak terhadap Tuhan, sesamanya, alam serta lingkungan. (2) Tradisi Kuwi Roe merupakan
simbol kekuatan komunal dan kolektif dari masyarakat suku Lio bahwa mereka memiliki
Nitupa'i atamata atau babo mamo yang selalu menjaga dan melindungi kehidupan mereka.
Pembangkangan dan pelanggaran terhadap tradisi ini dipandang akan mengganggu semua
sendi kehidupan masyarakat setempat. Maka demikian nilai dan makna dari kepercayaan ini
adalah keutuhan dan kekuatan dalam kebersamaan. (3) Dalam tradisi Kuwi Roe masyarakat
suku Lio senantiasa diingatkan dan termotivasi untuk tetap menjujung tinggi nilai
penghargaan sebagai ungkapan terimakasih kepada Nitupa'i atamata atau babo mamo.
Kekuatan simbolik “pemersatu” yang dapat menciptakan motivasi untuk menjaga
tatanan keseimbangan dan kesalarasan hidup bersama dalam sebuah komunitas adat. (4)
Dengan menyaksikan tradisi ini, generasi sekarang akan termotivasi untuk mengenang dan
terus mempraktekan ritual dan tradisi Kuwi Roe serta melihat secara nyata akan sesuatu yang
mereka percaya dan yakini. Dengan tujuan utama tercipta kesadaran bersama akan
pentingnya membangun relasi bersama.
38
Hasil wawancara dengan Bapak Ambrosius selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat
15
E. B. Taylor dalam buku “Primitive Culture” yang menguraikan asal mula dari kepercayaan dan religi dalam kebudayaan umat manusia. Menurutnya, asal mula dari
kepercayaan dan religi umat manusia adalah: (1) Kesadaran akan adanya jiwa; dan (2)
Kemudian dari dasar itu, religi berevolusi melalui tingkat yang paling rendah ialah
kepercayaan kepada adanya makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu; (3) Ketingkat
yang lebih tinggi lagi yaitu kepercayaan kepada dewa-dewa yang menggerakkan alam; (4)
Dan pada akhirnya sampai pada tingkat yang tertinggi yaitu kepercayaan kepada satu Tuhan
yang Esa. Taylor menjelaskan, dalam animisme benda-benda penting bagi masyarakat
primitif karena bagi masyarakat primitif, mereka tidak menyembah berhala (batu, pohon,
tongkat, keris, dll), namun mereka menyembah “anima” yang ada di dalamnya, roh-roh yang betul-betul hidup yang seperti Tuhan.39
Agama primitif menurut Taylor bukan hanya sekedar sebagai kepercayaan kepada
Tuhan, melainkan sebagai kepercayaan terhadap wujud-wujud/makhluk spiritual, tampaknya
adalah animisme (kepercayaan kepada kekuatan pribadi yang hidup di balik semua benda).
Dari pendapat E, B. Taylor peneliti coba mengkaji keberadaan sistem kepercayaan
orang suku Lio tentu dalam kaitannya dengan tradisi “Kuwi Roe.” (1) Dari beberapa sumber yang diperoleh, sejak dari dahulu masyarakat suku Lio percaya akan keberadaan
makhluk-makhluk lain yang berkuasa. Kepercayaan masyarakat suku Lio terpusat pada Tuhan (Du'a
Ngga'e) dan Nitupa'i atamata atau babo mamo (Leluhur). Kepercayaan masyarakat suku Lio
telah mengalami sedikit evolusi dari masa ke masa. Berikut adalah uraian data tentang konsep
kepercayaan masyarakat suku Lio, yang sejalan dengan pendapat Taylor.
Du’a Ngga’e saimu wee, Kai ata kaki, Kai mesa dadi, Kai nena du’a gheta lulu wula atafai, be fai lima rua; no’o Ngga’a ghale wena ata kaki, be kaki mbulu telu, artinya adalah: Du’a Ngga’e (Tuhan) itu hanya satu, Ia adalah lelaki dan Ia ada dengan sendirinya. Ia adalah Du’a di langit, mereka adalah perempuan sebanyak tujuh orang, dan Ngga’e di bawah bumi, mereka itu lelaki yang berjumlah tiga puluh orang.40
Dalam masyarakat Lio-Ende, wujud tertinggi yang diyakini keberadaannya secara
adikodrati itu dikonseptualkan sebagai Du’a Ngga’e. Selanjutnya dalam perkembangan dan pengaruh monoteisme agama-agama bertradisi besar khususnya Katolik, konsep tentang
wujud keilahian tertinggi disebut sebagai Du’a Ngga’e yang merupakan bentuk kata majemuk yang terdiri dari Du’a dan Ngga’e.
39
E. B. Taylor, Primitive Culture, dalam buku: Koentjaraningrat, Metode Anthropologi (Jakarta:
Penerbit Universitas, 1958), 184 – 186.
40
Paul Arndt, Du’a Ngga’e Wujud Tertinggi dalam Upacara Keagaman Wilayah Lio(Flores Tengah)
16
Dengan demikian pemahaman mereka adalah, Du'a Ngga'e berada pada titik puncak.
Sementara Nitupa'i atamata wajib dibawahnya. Penggunaan benda-benda dalam menjalankan
ritus tidak berarti benda-benda tersebut yang disembah dan dihormati itu adalah Tuhan atau
leluhur. Seperti makanan, batu kuburan, wisululu (tempat persemayaman roh para leluhur),
musumase (Batu lonjong yang berbentuk seperti alat kelamin laki-laki yang di tanam di
tengah lapangan sebagai simbol laki-laki, simbol keperkasaan pria suatu komunitas
perkampungan atau yang disebut dengan wewa). Simbol utama dalam sesajen adalah sebagai
sebuah bentuk penghormatan dan perwujudan untuk memohon keselamatan. Sesajen atau
Kuwi Roe juga bertujuan agar mereka mendapatkan kelancaran dan keselamatan hidup seperti
yang terungkap dalam so nggengge kami, wenggo pero, sulu molo dowa leka miu (Belalah
dan lindungilah kami, hidup dan pekerjaan kami ada ditanganmu). Simbol tersebut
dituangkan dalam pemberian sesaji “makanan dan doa.”
Ada dua jenis makanan dalam ritus Kuwi Roe: makanan yang sudah dimatangkan dhera
k/ha (dimasak) serta rewu rera atau rera mera adalah bentuk sajian yang dipersembahkan
menggunakan makanan yang tidak dimasak seperti pu'u pare laka (beras merah) dan darah
ayam, darah babi, dan lain sebagainya. Doa ungkapan bu kuwi roe no'o a re ate wa wi (kami
menyajikan nasi dan hati babi). Simbol-simbol tersebut merupakan wujud perwakilan “yang
disembah dan dihormati” ini berarti bukanlah sebuah penyembahan berhala dalam pandangan
teori agama primitif.
Berangkat dari uraian di atas peneliti coba memberikan penegasan tentang tradisi Kuwi
Roe berdasarkan perspektif teori agama primitif. (1) Tradisi Kuwi Roe adalah wujud dari
kepercayaan masyarakat suku Lio dan menjadi sistem religi yang telah ada sejak dahulu. Hal
tersebut merupakan bentuk kesadaran “emosi keagamaan” mereka akan sesuatu yang lebih berkuasa dan memiliki kedudukan yang tinggi. Kepercayaan masyarakat suku Lio terpusat
pada Du'a Ngga'e dan juga kepada Nitupa'i atamata atau babo mamo mereka. Du’a Ngga’e memiliki kedudukan tertinggi dalam sistem religi masyarakat suku Lio. Kepercayan terhadap
Nitupa'i atamata atau babo mamo merupakan kesadaran agama yang meyakini bahwa
Nitupa'i atamata atau babo mamo hidup besama Du’a Ngga’e, yang turut berkuasa
melakukan sesuatu atas seijin Du’a Ngga’e. Wujud kepercayaan kepada Nitupa'i atamata
atau babo mamo dituangkan dalam wujud praktek pemberian makanan/sesajen Kuwi Roe. (2)
Adanya makna simbolik dan nilai dari tradisi Kuwi Roe yakni penghormatan, penghargaan,
cinta kasih dan kebersamaan. Meletakan makanan di kubur batu atau tempat-tempat tertentu
diiringi dengan doa-doa. Kubur batu sebagai simbol dan lambang peringatan akan
17
karena itu patut dijaga. Sedangkan doa menjadi simbol kekuatan dari kata yang memiliki
kuasa terjadinya sesuatu, lebih dari itu makanan dan doa dalam ritual Kuwi Roe adalah
simbol dan bentuk penghargaan, ungkapan terimakasih terhadap leluhur dan simbol
ketidakberdayaan mereka sehingga memohon bantuan dari para leluhur untuk menjaga
keselamatan mereka. Makanan dan doa-doa bertujuan agar roh nenek moyang menerima
dengan bahagia. Kuwi Roe juga bertujuan agar mereka mendapatkan kelancaran dan
keselamatan hidup seperti yang terungkap dalam so nggengge kami, wenggo pero, sulu molo
dowa leka miu (Belalah dan lindungilah kami, hidup dan pekerjaan kami ada ditanganmu).
Masyarakat Lio meyakini, bahwa arwah-arwah leluhur yang sudah meninggal selalu
mengiringi langkah hidup dan melindungi mereka dimanapun mereka berpijak, sehingga
masyarakat Lio merasa berkewajiban untuk memberikan makan atau sesajen. (3) Kedudukan
tradisi atau ritus Kuwi Roe sama dengan tradisi atau ritus-ritus lainnya yang terdapat dalam
semua agama dan kepercayaan yang ada di dunia.
Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe
Jemaat GMIT Syaloom mengakui tradisi Kuwi Roe merupakan bagian dari sistem religi
dalam kebudayaan masyarakat suku Lio. Karena Kuwi Roe sudah menjadi bagian dari sistem
kepercayaan, maka GMIT merasa perlu menghargai dan menghormatinya sebagai suatu
warisan dari sebuah kebudayaan. Pandangan ini tersirat jelas dari penuturan salah seorang
pendeta jemaat yang mengatakan bahwa tradisi tersebut merupakan bagian dari kebudayaan
yang sudah tertanam dan mengakar dalam suatu kelompok masyarakat. Apapun nilai dan
maksud serta tujuan mereka dalam ritus tersebut, tindakan sebagai seorang warga GMIT
adalah menghormatinya. Warga GMIT dituntut untuk harus tetap menjadi agen damai
sejahtera dan itu bisa dilakukan dengan menghormati dan menghargai orang lain dan
keberadaannya, serta tetap mempertebal dan memperkuat iman agar tidak terjerumus dalam
praktek-praktek yang bersebrangan dengan prinsip iman Kristen.41
Selanjutnya pendapat lain disampaikan oleh salah seorang jemaat GMIT Syaloom yang
mengatakan bahwa berbicara tentang Kuwi Roe, hal tersebut sudah masuk dalam ranah
kepercayaan orang Lio. Kepercayaan itu berhubungan dengan keyakinan dan iman orang Lio.
Oleh karena itu, tradisi tersebut adalah kepercayaan suku Lio yang layak untuk dihargai.
Dengan memakai pandangan ini tentu akan menimbulkan timbal balik yang positif dimana
41
18
masyarakat suku Lio turut menghargai akan keberadaan GMIT ditengah-tengah kebudayaan
orang Lio. Fanatik dengan agama dan keyakinan yang dipeluk tentu diperlukan, tetapi disisi
lain haruslah membentuk sebuah pandangan yang melihat bahwa keyakinan orang lain dalam
hal ini masyarakat suku Lio juga benar menurut mereka.42
Hal ini menunjukan adanya pandangan yang terbuka dalam menghargai segala
perbedaan yang ada. Pandangan ini memiliki dua sifat yaitu: Pertama, bersifat positif dimana
isi ajaran dalam tradisi Kuwi Roe ditolak, tetapi penganutnya diterima serta dihargai. Kedua,
bersifat ekumenis dimana isi ajaran serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka
itu terdapat nilai-nilai universal yang berguna untuk memperdalam pendirian dan
kepercayaan diri. Pandangan lain kemudian dikemukakan oleh seorang pendeta jemaat yang
menyatakan bahwa tradisi Kuwi Roe adalah bagian dari praktek dan ritus dalam agama suku
yang ada pada masyarakat Suku Lio-Ende. Agama suku itu lahir dari kebudayaan masyarakat
setempat, tradisi-tradisi yang ada biasanya bersumber dari keadaan masyarakat setempat.
Tidak dapat disangkal bahwa Kristen juga adalah agama yang lahir dari sebuah kebudayaan.
Oleh karena itu sebagai penganut Kristen dalam hal ini GMIT, kita harus menghargai agama
suku Lio dan segala tradisinya termasuk dalam hal ini tradisi Kuwi Roe.43
Pandangan jemaat GMIT Syaloom menunjukan kematangan berpikir dalam melihat
sistem kepercayaan agama lain sebagai sebuah bentuk pengakuan penganut agama lain akan
keberadaan “sesuatu” yang lebih berkuasa. Dalam hal ini jemaat GMIT melihat tradisi Kuwi Roe yang dilakukan oleh masyarakat suku Lio sebagai sistem kepercayaan mereka yang telah
ada sejak dahulu seperti yang terangkum dalam pernyataan salah seorang jemaat GMIT
Syaloom yang mengatakan bahwa tradisi Kuwi Roe itu adalah bentuk kepercayaan
masyarakat adat Lio. Meski bertentangan dengan prinsip iman Kristen, tetap hal tersebut
adalah bagian dari keyakinan dan kepercayaan masyarakat suku Lio. Dengan memiliki sudut
pandang tersebut maka akan tercipta sikap saling menghargai. Menghargai bukan berarti
menjadi serupa. Dengan pandangan yang seperti ini, sebagai jemaat GMIT dituntut untuk
menjadi pembawa damai. Baik atau tidaknya sebuah tradisi, selagi tidak mengganggu
42
Data Olahan hasil wawancara bersama Ibu Ety Djamikadja, selaku jemaat GMIT Syaloom Ende. Wawancara dilaksanakan pada tanggal; 26 April 2015.
43
19
kenyamanan antar umat sebagai orang beriman maka perlu penghargaan akan keberadaannya
ditengah masyarakat adat suku Lio.44
Hal ini menunjukan kehidupan agama di wilayah Ende-Lio memiliki berbagai kekhasan.
Hidup beragama di daerah Ende-Lio sebagaimana ada juga di daerah lainnya, sangat diwarnai
oleh unsur-unsur kultural, yaitu pola tradisi asli warisan nenek moyang. Di samping itu,
unsur-unsur historis yakni tradisi-tradisi luar turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat
yang secara mayoritas sudah menganut agama modern dalam hal ini didominasi agama
Katolik namun tetap saja praktek ini masih dipertahankan. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh
sistem kebudayaan Flores sehingga di daerah Ende-Lio terdapat semacam pencampuran yang
aneh antara kehidupan agama modern dan kekafiran (agama nenek moyang), namun
keberadaannya patut dihargai dan dihormati.
Pandangan warga GMIT Syaloom yang inklusif, melihat kenyataan sistem kepercayaan
masyarakat suku Lio sangat sejalan dengan perspektif Kristus dan kebudayaan karya Richard
Niebuhr. Hal penting dalam tipologi Kristus dan kebudayaan adalah (1) Individu penganut
tipologi ini adalah penganut Kristen yang bukan saja beriman kepada Tuhan tetapi juga
mereka berupaya untuk mempertahankan komunitas dengan orang beriman lainnya. Secara
seimbang mereka juga merasa cocok dengan komunitas kebudayaan. (2) Penganut tipologi ini
menafsirkan kebudayaan melalui Kristus, memandang unsur-unsur kebudayaan sesuai
dengan pribadiNya karena mereka tidak merasa ada ketegangan antara Kristus dan
kebudayaan.45
Dalam kaitannya dengan tradisi Kuwi Roe meski bertentangan dengan prinsip iman
GMIT, namun jemaat GMIT memiliki pandangan yang inklusif dan toleran akan keberadaan
kepercayaan suku Lio. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jemaat GMIT adalah
tergolong penganut tipologi ini. GMIT Syaloom adalah penganut Kristen yang bukan saja
beriman kepada Tuhan tetapi juga berupaya untuk mempertahankan kehidupan komunitas
yang equilibrium/seimbang dengan orang beriman lainnya dengan menciptakan toleransi dan
kedewasaan berpikir terhadap penganut keyakinan lain. Tetap hidup dalam kecocokan
dengan komunitas kebudayaan meski berbeda kepercayaan. Sebagai jemaat GMIT menyadari
akan keberadaan mereka ditengah-tengah komunitas suku Lio penganut Katolik. Meski
terdapat perbedaan sistem kebudayaan dan juga kepercayaan namun tidak dapat dipungkiri
44
Data Olahan hasil wawancara bersama Bapak Ruben Lay Riwu, selaku jemaat GMIT Syaloom Ende,
Beliau juga adalah Anggota DPRD Ende.
45
20
bahwa baik jemaat GMIT dan umat Katolik adalah tergolong orang-orang Kristen yang
beriman pada Kristus. GMIT Syaloom Ende menyadari akan tugas dan keterpanggilannya
untuk menghadirkan damai sejahtera Allah. Dengan cara hidup yang senantiasa
menghadirkan damai sejahtera di tengah perbedaan kebudayaan dan kepercayaan maka telah
menciptakan kehidupan yang rukun, aman, nyaman, seimbang dan selaras. Tentu hal ini
dikarenakan GMIT memandang Kuwi Roe adalah bagian dari sistem kepercayaan/religi
dalam kebudayaan suku Lio yang patut dihargai.
Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa GMIT tampil sebagai pembawa damai dan
bukan sebagai hakim yang siap menghakimi orang lain. GMIT Syaloom menyadari bahwa
kehadirannya ditengah masyarakat Lio, yang punya kepercayaan yang khas adalah bagian
dari rencana dan kehendak Allah. Untuk itu pandangan hidup yang senantiasa menghargai
orang lain harus dipertahankan. Bagi jemaat GMIT perbedaan kepercayaan dan kebudayaan
hendak menjadi modal untuk mencari kecocokan untuk hidup berdampingan secara baik
tanpa mempraktekkan tradisi-tradisi yang berlawanan dengan prinsip iman. Pandangan
jemaat GMIT melihat Kristus hadir dalam setiap kebudayaan dan tampil sebagai pembaharu
dan tetap hidup rukun dalam sebuah komunitas. Pandangan ini lahir dari prinsip GMIT yang
menyatakan bahwa dunia, budaya dan agama-agama adalah ladang kerja Allah. Gereja ada
untuk Allah dan untuk dunia, bukan untuk diri sendiri. Dapat disimpulkan bahwa jemaat
GMIT memandang tradisi Kuwi Roe sebagai bentuk kepercayaan lokal yang ada pada
kebudayaan masyarakat suku Lio yang patut dihargai dan dihormati penganutnya. Jemaat
GMIT Syaloom tidak diperkenankan mempraktekkan tradisi tersebut karena tidak sejalan
dengan prinsip ajaran Kristen. Jemaat GMIT harus memposisikan dirinya sebagai pengikut
Kristen yang taat berdasarkan iman dan kebenaran dengan memiliki kasih yang ditujukan
kepada siapa saja termasuk dalam hal ini masyarakat suku Lio sebagai pelaku dari tradisi
Kuwi Roe.
Tradisi Kuwi Roe dalam pandangan GMIT tentu sangat bersebrangan dengan prinsip
dasar iman GMIT, untuk itu lewat penuturan beberapa narasumber dari hasil wawancara
menegaskan bahwa “Orang yang meninggal tidak lagi memiliki hubungan dengan yang hidup
sebab mereka sudah meninggal. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, jadi tidak perlu
diberi makan dan meminta atau memohon doa padanya. Pengenalan akan sosok pengantara
yang agung dan satu-satunya yaitu Yesus Kristus dalam ajaran Kristen harus dipegang teguh.
21
sama saja kita meragukan keberadaan Kristus sebagai Pengantara Yang Agung dan kita
memiliki dua kepercayaan.46
Sikap ini didasarkan pada kebenaran Alkitab yang terambil dari:
Keluaran 20 : 3 - 6, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku, jangan membuat bagimu patung
yang menyerupai apapunyang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di
bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.Jangan sujud menyembah
kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah
Allahyang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapakepada anak-anaknya,
kepada keturunanyang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci
Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu
mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku”
Imamat 20 : 6, “Orang yang berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal, yakni yang
berzinah dengan bertanya kepada mereka, Aku sendiri akan menentang orang itu dan
melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya”
Efesus 4 : 17, "Sebab itu kukatakan dan kutegaskan didalam Tuhan: jangan hidup lagi sama seperti
orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia"
Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang jemaat yang mengatakan bahwa Kuwi
Roe adalah tradisi pemujaan dan kepercayaan kepada orang yang telah meninggal baik itu
leluhur atau sanak keluarga. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk kepercayaan masyarakat
suku Lio yang menyatakan bahwa orang yang sudah meninggal dunia pun masih dapat
memberikan pertolongan. Secara iman Kristen, hal ini tentu sangat bertolak belakang. Dalam
GMIT diakui suatu sistem kepercayaan yang monoteis: satu Tuhan. Jika ada kepercayaan
pada “sesuatu” di luar Tuhan maka itu sama dengan penyembahan berhala. Meski berhala sendiri memiliki makna menggantikan posisi Tuhan, namun jika dalam prakteknya ada
sebuah tindakan meminta pertolongan kepada “sesuatu” baik itu roh, kekuatan rahasia atau makhluk-makhluk lainnya, hal itu sama saja meragukan kekuasaan Tuhan dan menggantikan
posisi Tuhan. Hal ini tentu diindikasikan sebagai sebuah bentuk kepercayaan terhadap “ilah
-ilah” lain. Tradisi ini adalah penggabungan antara dua kepercayaan yakni kepercayaan
46