• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712009029 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 712009029 Full text"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

i

Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi

Kuwi Roe

pada Suku Lio, di Kabupaten Ende

Flores Tengah

NTT

Oleh,

SANDER KONSTANTIN MEHA

712009029

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Teologi

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)

ii LEMBAR PENGESAHAN

Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe

pada Suku Lio, di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT

Oleh,

SANDER KONSTANTIN MEHA NIM: 712009029

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Teologi

Disetujui oleh,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Pdt. Dr. Retnowati, M.Si Pdt. Irene Ludji, MAR

Diketahui oleh, Disahkan oleh,

Kaprogdi Dekan

(5)

iii FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

2015

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sander Konstantin Meha

NIM : 712009029 Email : [email protected]

Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi

Judul TA : Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi

Roe pada Suku Lio, di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT Pembimbing : 1. Pdt. Dr. Retnowati, M.Si

2. Pdt. Irene Ludji, MAR

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya.

2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber penelitian.

3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui oleh pembimbing.

4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.

Salatiga, 23 September 2015

(6)

iv PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sander Konstantin Meha

NIM : 712009029 Email : [email protected]

Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi

Judul TA : Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi

Roe pada Suku Lio, di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT Dengan ini saya menyatakan hak non-eksklusif * kepada Perpustakaan Universitas

Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):

฀ a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas, dan /atau portal GARUDA

฀ b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**

* Hak yang tidak terbatas hanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang menyerahkan hak non-eksklusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.

** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/alasan tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprogdi)

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Salatiga, 23 September 2015

Sander Konstantin Meha

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

(7)

v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Sander Konstantin Meha

NIM : 712009029

Program Studi : Teologi

Fakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW Hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe pada Suku Lio, di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT

berserta perangkat yang ada (jika perlu).

Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media/mengalih format, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Salatiga, 23 September 2015

Sander Konstantin Meha

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

(8)

vi

When the time seemed to be unfriendly to me, GOD

always reminded me.

When my mind is exhausted and tried to give up,

GOD always refreshed and refilled it again with new

hopes and ideas

(9)

vii KATA PENGANTAR

Hidup adalah mengukir sejarah panjang dari perjalanan. Segala suka dan

duka, keluh dan kesah, keringat dan pengorbanan adalah ukiran-ukiran yang

membawa pada satu tujuan yaitu hidup yang lebih baik dari hari ke hari. Untuk

itu, penulis sadar bahwa hal pertama yang harus lakukan adalah berterima kasih

pada Tuhan Yesus, yang hanya karena kasih-NYAlah, penulis dimampukan.

Tanpa DIA, penulis tidak akan mampu melewati semua tantangan dan rintangan

yang menghadang. Tak ada lain yang bisa penulis berikan, hanya puji syukur,

hormat dan kemuliaan melalui semuanya ini.

Selain itu pada kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu, diantaranya:

1. Pdt. Dr. Retnowati, M.Si selaku pembimbing I, yang telah meluangkan

waktu, sumbangan pemikiran, dan dukungan bagi penulis dalam

penyusunan dan penyelesaian Tugas Akhir ini. Dan untuk Pdt. Irene Ludji,

MAR selaku pembimbing dua, terima kasih untuk ilmu dan berbagai

masukan yang sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

2. Dekan, Kaprogdi dan seluruh dosen serta staff tata usaha Fakultas Fakultas

Teologi UKSW yang telah banyak membantu saya menyelesaikan

perkuliahan dan menjadi bekal bagi saya dalam mempersiapkan diri

menjadi calon pelayan Tuhan.

3. Papa Samuel A. Meha, S.Sos dan Mama Lea Paulita K. Irene, S.Pd serta

kedua adik terkasih Martin Luther Meha, S.Pi dan Audi Tri Saputra Meha

(10)

viii

serta dukungan kepada saya dalam menyelesaikan bangku perkuliahan

sampai selesai.

4. Terima kasih banyak buat Ka Dedy Mone dan teman-teman Teologi

UKSW atas bantuan, masukan dan berbagai pengalaman serta ilmu

pengetahuan yang sangat berguna. 

5. GMIT jemaat “Syaloom” Ende. Terima kasih atas kesediaan jemaat, pendeta, vikaris dan majelis dalam menerima penulis untuk melaksanakan

PPL VI disana. Terkhusus buat Pdt. Markus O. Raga, S.Th, Pdt. Anderias

Mauleti, S.Th serta para mosalaki adat Lio yang telah meluangkan waktu

untuk membantu penulis dalam memberikan segala informasi yang sangat

bermanfaat dalam proses penyusunan Tugas Akhir ini. GOD BLESS US.

6. Keluarga Besar Meha-DjamiKadja baik yang ada di Flores maupun

dimana saja berada. Terima kasih untuk doa dan dukungannya. Tuhan

Yesus Berkati.

7. Ephifonia,

no comment

just I Love U. thanks for everything. God Bless Us

8. Semua pihak yang tidak tersebutkan namanya, Terima kasih banyak atas

bantuannya. Tuhan Yesus Berkati

.

Salatiga, 23 September 2015

(11)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

MOTTO... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xi

LATAR BELAKANG MASALAH Ada Apa Dengan Kuwi Roe……….. 1

LANDASAN TEORI Teori Agama-agama Primitif………... 3

Teori Kristus dan Kebudayaan………... 6

Teori Ritual……….………. 7

HASIL PENELITIAN Sejarah GMIT Syaloom Ende……… 8

(12)

x

ANALISA

Tradisi Kuwi Roe Ditinjau Dari Teori Agama-agama Primitif

………10

Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe

………17

KESIMPULAN

Tradisi Kuwi Roe Bersebrangan Dengan Kekristenan dalam prinsip iman

jemaat GMIT Syaloom Ende ………23

DAFTAR PUSTAKA ………25

Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe

(13)

xi SANDER KONSTANTIN MEHA

712009029

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pandangan jemaat GMIT Syaloom Ende terhadap tradisi Kuwi Roe pada suku Lio di wilayah Flores Tengah. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori agama-agama primitif, teori ritual dan teori dari Richard Niebuhr tentang sikap gereja terhadap kebudayaan. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa tradisi Kuwi Roe adalah pemberian makan atau sesajen kepada arwah leluhur yang sudah meninggal sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur atas kehidupan yang baik, keselamatan dan terhindarnya dari roh-roh jahat. Namun di satu sisi terdapat perbedaan prinsip oleh karena mayoritas masyarakat suku Lio yang masih menjalankan tradisi tersebut adalah pemeluk agama Katolik dan di wilayah tersebut terdapat kelompok minoritas yang beragama Protestan yang terhimpun dalam GMIT, yang keberadaannya telah ada cukup lama dan hidup berdampingan dengan masyarakat suku Lio di Ende. Jemaat GMIT Syaloom Ende tentu memiliki pandangan tersendiri mengenai tradisi

Kuwi Roe dan sangat selektif dalam menerima kebudayaan untuk terinkulturasi dengan ajaran gereja.

(14)

1

Ada Apa dengan Kuwi Roe?

Kabupaten Ende merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Pulau Flores

provinsi Nusa Tenggara Timur. Memiliki luas wilayah 2.046 km2, terbagi secara administratif

ke dalam 21 kecamatan, 191 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk 258.658 jiwa.1

Kabupaten Ende memiliki lebih dari 10 etnis/suku, 5 agama dan 1 aliran kepercayaan resmi

di Indonesia dengan komposisi Katolik 69%, Islam 27%, Protestan 3%,

Hindu/Budha/Konghucu 1%.2

Penduduk asli yang mendiami Kabupaten Ende adalah suku Lio (ata lio: orang lio) dan

suku Ende (ata ende: orang ende). Suku Lio tersebar di wilayah Ende bagian Timur, Selatan

dan Utara sedangkan suku Ende tersebar di wilayah Ende bagian Tengah dan Barat. Meski

berbeda suku dan budaya namun kedua suku ini hidup saling berdampingan dan harmonis.

Mayoritas kelompok suku Ende menganut agama Islam dan dominan mendiami daerah

pesisir pantai wilayah barat dan sebagian tengah kota. Kelompok suku Lio mayoritas

menganut agama Katolik dan tersebar hampir disebagian besar wilayah Kabupaten Ende.

Di Kabupaten Ende khususnya penduduk suku Lio meskipun telah menjadi penganut

Katolik, namun masih mempraktekkan sebuah tradisi atau ritus kuno yang disebut Kuwi Roe,

yaitu pemberian makanan kepada orang yang telah meninggal. Tradisi ini secara umum di

Indonesia dikenal dengan sesaji/sesajen. Kuwi Roe adalah tradisi kuno menurut kepercayaan

nenek moyang atau leluhur suku Lio yang telah ada sejak dahulu dan masih dipertahankan

sampai sekarang. Pemberian makanan atau sesaji ini diberikan kepada Nitupa'i atamata atau

babo mamo (orang meninggal & leluhur).3

Bagi masyarakat suku Lio meyakini Nitupa'i atamata atau babo mamo itu masih hidup

secara roh, meskipun secara fisik tubuh mereka telah mati. Suku Lio menganggap bahwa

Nitupa'i atamata atau babo mamo itu masih tinggal bersama orang hidup, baik di kampung,

kebun, rumah. Jadi tidak heran masyarakat suku Lio cenderung mengubur sanak keluarga

yang telah meninggal tidak jauh dari halaman rumah mereka. Masyarakat suku Lio percaya

Nitupa'i atamata atau babo mamo masih memiliki “kuasa” untuk menghukum dan juga

menolong mereka yang masih hidup. Ada kesadaran bahwa mereka yang telah meninggal

1

Sistem Informasi Penataan Ruang Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, “Profil

Kabupaten Ende.”

2

Jurnal Profil Pariwisata Kabupaten Ende, Pemerintah Kabupaten Ende – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende – Flores – NTT.

3

Hasil observasi sekaligus wawancara langsung dengan beberapa Mosalaki/Ketua adat Kampung

(15)

2

dunia dan di masa hidupnya selalu memberi buah kebaikan, dianggap pantas untuk tetap

dikenang, dihargai, teristimewa bagi para leluhur sebagai yang pertama hidup dan

menghadirkan generasi sekarang.

Berdasarkan penjelasan di atas maka “Kuwi Roe” dalam budaya masyarakat adat suku Lio, Kabupaten Ende, Flores Tengah, kemudian diteliti. Pertimbangannya di Kabupaten Ende

penganut agama Kristen Protestan masuk dalam kategori minoritas yang terhimpun dalam

organisasi Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) Syaloom.4 Meskipun masyarakat suku Lio

sebagian besar bukan jemaat GMIT, namun keberadaan GMIT dan jemaatnya telah ada

cukup lama dan hidup berdampingan dengan masyarakat suku Lio di Ende.

Sementara itu, berbeda dengan masyarakat suku Lio yang adalah penganut ajaran agama

Katolik dan cenderung menerima serta mempraktekkan ritus-ritus dan tradisi adat lokalnya,

jemaat lokal GMIT yang berasas Calvinis sangat “selektif” dalam menerima kebudayaan untuk terinkulturasi dengan ajaran gereja. Hal ini tidak berarti bahwa GMIT adalah gereja

yang eksklusif dan menolak segala bentuk praktek-praktek budaya yang telah menjadi tradisi

dalam suatu wilayah. Tidak dapat dipungkiri bahwa GMIT dalam ajarannya menolak segala

bentuk praktek budaya yang dipandang sebagai praktek kekafiran seperti pemujaan terhadap

orang yang meninggal sebagai sikap selektif.

Prinsip GMIT yang menolak segala bentuk praktek pemujaan terhadap orang yang

meninggal sangat bertolak belakang dengan tradisi Kuwi Roe yang sarat akan pemujaan

terhadap orang yang telah meninggal pada masyarakat suku Lio di Ende. Terlebih khusus

warga jemaat GMIT Syaloom suku Lio yang masih memegang erat tradisi Kuwi Roe.

Artinya terdapat pandangan tersendiri tentang tradisi Kuwi Roe dari mereka.

Meskipun terdapat perbedaan prinsip namun hal ini tidak pernah menimbulkan konflik

dan menjadi jurang pemisah antara masyarakat suku Lio dan jemaat GMIT. Tradisi ini tidak

dapat dihilangkan pada masyarakat suku Lio. Hal ini disebabkan karena tradisi ini telah lama

ada dan sudah mengakar dalam kebudayaan masyarakat suku Lio, sebelum adanya

keberadaan GMIT Syaloom di Ende. Oleh karena itu penelitian ini terfokus pada tradisi

Kuwi Roe khususnya pandangan jemaat GMIT Syaloom Ende terhadap tradisi Kuwi Roe.

Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pandangan jemaat

4

(16)

3

GMIT Syaloom Ende terhadap tradisi Kuwi Roe pada masyarakat suku Lio di Kabupaten Ende – Flores Tengah – NTT ?

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif dan mempergunakan teknik pengumpulan data yaitu teknik interview (wawancara),

teknik observasi (pengamatan) dan studi kepustakaan.

Agama-agama Primitif

Spencer memberikan definisi tentang agama sebagai sebuah bentuk pemujaan kepada

roh leluhur para pendiri suku. Terdapat tiga elemen dasar dalam agama yaitu: pertama,

kepercayaan kepada makhluk-makhluk dan kekuatan supranatural. Kedua, kelompok individu

yang terorganisasi saling membagi kepercayaan. Ketiga, kegiatan yang dilakukan oleh para

individu kepada kekuatan pemujaan roh leluhur.5

Definisi Spencer di atas bertolak dari pemahamannya bahwa asal-usul agama berada

pada mimpi manusia mengenai roh dari dunia lain. Dengan kata lain, manusia bermimpi

tentang keluarga mereka yang baru saja meninggal dan kemudian menyimpulkan keluarga

yang baru saja meninggal adalah hantu (ghost) di dalam dunia lain. Mimpi-mimpi itu

kemudian dimodifikasi menjadi keyakinan tentang kekuatan penyembahan roh leluhur,

sehingga agama pada awalnya berkisar pada penyembahan terhadap leluhur. Penyembahan

terhadap leluhur bermaksud memperkuat basis struktur masyarakat tradisional yaitu sistem

keturunan.6

E. B. Taylor, dalam buku “Primitive Culture,” menguraikan asal mula dari kepercayaan

dan religi dalam kebudayaan umat manusia. Menurutnya, asal mula dari kepercayaan dan

religi umat manusia adalah:

1) Kesadaran akan adanya jiwa; dan (2) Kemudian dari dasar itu, religi berevolusi melalui tingkat yang paling rendah ialah kepercayaan kepada adanya makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu; (3) Ketingkat yang lebih tinggi lagi yaitu kepercayaan kepada dewa-dewa yang menggerakkan alam; (4) Dan pada akhirnya sampai pada tingkat yang tertinggi yaitu kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa. Taylor menjelaskan, dalam animisme benda-benda penting bagi masyarakat primitif karena bagi masyarakat primitif, mereka tidak menyembah berhala (batu, pohon, tongkat, keris, dll), namun mereka menyembah

“anima” yang ada di dalamnya, roh-roh yang betul-betul hidup yang seperti Tuhan.7

Teori agama menurut Taylor bahwa agama bukan hanya sekedar sebagai kepercayaan

kepada Tuhan, melainkan sebagai kepercayaan terhadap wujud-wujud/makhluk spiritual,

5

Spencer dalam Jonathan H. Turner, Herbert Spencer: A Renewed Appreciation (England: Sage

Publication, 1986), 136 – 137.

6

Turner, Herbert Spencer: A Renewed Appreciation, 136 – 137.

7

(17)

4

tampaknya adalah animisme (kepercayaan kepada kekuatan pribadi yang hidup di balik

semua benda).8 Lebih lanjut, animisme adalah suatu bentuk pemikiran yang sangat tua, yang

dapat ditemukan di seluruh sejarah bangsa manusia.9 Taylor merasa bahwa suatu karakteristik

yang dimiliki oleh agama, besar atau kecil, kuno atau modern adalah kepercayaan pada roh

yang berpikir, bertindak, dan merasa seperti pribadi manusia.10 Esensi agama seperti mitologi

dalam mendefinisikan agama, Taylor mencoba masuk ke dalam masa prasejarah untuk

merekonstruksikan pemikiran manusia pada awalnya.11 Taylor mengatakan untuk

menyelidiki agama/sistem kepercayaan haruslah meneliti perbuatan-perbuatan, ide-ide,

kebiasaan-kebiasaan dan adat-istiadat suatu masyarakat. Sehingga bagi Taylor, mitos adalah

penting karena mitos-mitos itu membuka jalan tentang asal usul Agama.12 Jadi dapat

disimpulkan agama dalam pemahaman Taylor adalah, kepercayaan pada makhluk

supernatural, seperti Tuhan atau para Dewa yang telah berlangsung lama dalam sejarah

kehidupan manusia dari masa primitif hingga modern.

Berbeda dengan Taylor, Durkheim mengklaim bahwa orang-orang primitif secara

normal betul-betul tidak berpikir tentang dua dunia yang berbeda, yang satu supernatural,

dan yang lain natural, seperti cara yang dilakukan oleh orang-orang beragama yang hidup

dalam kebudayaan modern. Jelaslah bagi Durkheim, bahwa agama memerlukan suatu definisi

yang baru. Durkheim kemudian mengamati bahwa sesuatu yang tampaknya benar-benar

merupakan karakteristik kepercayaan dan ritual agama bukanlah unsur supranatural

melainkan konsep tentang yang sakral (the sacred), yang betul-betul sangat berbeda.13

Durkheim dalam buku “The Elementary Forms of The Religion Life,” mengatakan bahwa agama adalah sebuah sistem terpadu dari kepercayaan dan praktek yang berhubungan

dengan hal-hal yang sakral (sacred things). Hal sakral selalu melibatkan kepentingan besar:

kepentingan dan kesejahteraan seluruh kelompok umat. Agama dapat membentuk solidaritas

iman dan kelompok, ini menjadi bagian dari apa yang disebut dengan kesadaran agama.

Penekanan dari pemikiran Durkheim, adalah di satu pihak agama merupakan satu sistem

yang utuh dari kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral

8

Daniel L.Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), 46-48.

9

Pals, Seven Theories of Religion, 46-48.

10

Pals, Seven Theories of Religion, 46-48.

11

Pals, Seven Theories of Religion, 46-48.

12

Pals, Seven Theories of Religion, 46-48.

13

(18)

5

dan di lain pihak agama merupakan praktek-praktek yang menyatukan mereka ke dalam suatu

komunitas moral. Bagi Durkheim, agama sangat penting dalam kehidupan karena agama

turut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, kesenian, dll.14

Agama dalam definisi yang struktural mengedepankan aspek-aspek: (1) Yang berkaitan

dengan segala sesuatu yang berdimensi misteri atau yang dapat kita sebut dengan Tuhan. (2)

Yang berkaitan dengan aturan-aturan moral yang harus dipenuhi. (3) Yang berkaitan dengan

ritual-ritual yang dilakukan berdasarkan kepercayaan kepada sesuatu yang misteri. Ketiga

aspek yaitu, misteri, aturan moral, dan ritual merupakan aspek dasar yang selalu ada pada

masyarakat religius. Dalam pandangan sosiologi, agama merupakan suatu produk dari

interaksi sosial antara manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Agama adalah

fakta sosial di mana agama memainkan peranan penting bagi integrasi sosial masyarakat.

Agama menjadi berarti, ketika masyarakat memberikan rasa hormat kepadanya dalam bentuk

ritual-ritual yang secara komunal mengikat semua anggota masyarakat.15

Dari beberapa definisi yang terurai di atas sejalan dengan pemikiran Emile Durkheim

bahwa agama sama dengan religi dan agama bagian dari kebudayaan.

Menurut Durkheim, religi adalah bagian dari kebudayaan. Dasar religi menurutnya

terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu: (1) Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu

bersifat religius. (2) Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan

manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, serta segala nilai, norma,

dan ajaran dari religi yang bersangkutan. (3) Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha

manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus

yang mendiami alam gaib. (4) Umat kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan

yang melaksanakan ritus dan upacara.16 Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat

satu dengan yang lain menjadi satu sistem yang terintegrasi secara utuh. Inti dari pandangan

Durkheim terletak di dalam klaimnya bahwa “Agama adalah sesuatu yang sungguh bersifat

sosial.” Di semua kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari perbendaharaan sosial.

Dalam buku “Kebudayaan dan Agama” Clifford Geertz menggambarkan agama sebagai bagian dari kebudayaan yang merupakan “susunan arti,” atau ide, yang dibawa

14

E. Durkheim, The Elementary Forms of Religion Life, dalam buku: Dr. Koentjaraningrat, Metode Anthropologi (Jakarta: Penerbit Universitas, 1958), 200 – 204.

15

E. Durkheim, The Elementary Forms of Religion Life, dalam buku: Dr. Koentjaraningrat, Metode Anthropologi (Jakarta: Penerbit Universitas, 1958), 200 – 204.

16

(19)

6

simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan

mengekspresikan sikap mereka kepadanya. Menurut Geertz, agama adalah sebuah sistem

budaya, artinya agama adalah:

(1) Sebuah sistem simbol yang berperan (2) membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara (3) merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak realistik secara unik.17

Maksud agama sebagai “sistem simbol” dalam pemahaman Geertz adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang; suatu objek seperti roda

dua orang Budha, suatu peristiwa seperti penyaliban, atau sekadar tindakan tanpa kata, seperti

gerak isyarat atau kerendahan hati. Hal penting tentang ide dan simbol ini adalah bahwa ide

dan simbol itu tidak semata-mata merupakan masalah pribadi. Simbol-simbol adalah untuk

“membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama,” maksudnya

adalah bahwa agama membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin melakukan sesuatu,

misalnya orang Yahudi ingin melihat Yerusalem, orang Islam ingin melihat Mekah.

Kekuataan suasana hati ini berasal dari fakta bahwa ia tidak disebabkan oleh hal-hal yang

kecil atau remeh. Suasana hati ini muncul karena agama mengisi dirinya dengan sesuatu yang

sangat penting; agama merumuskan “konsep tentang tatanan kehidupan yang umum.” Selain

itu, Geertz menambahkan bahwa agama “membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak

realistik secara unik.” Ini berarti bahwa agama menandai bahwa suatu wilayah kehidupan memiliki status khusus. Yang memisahkan agama dari sistem budaya yang lain adalah bahwa

simbolnya mengklaim menempatkan kita bersentuhan dengan apa yang “betul-betul riil.”18 Ide utama dari Geertz tentang agama adalah agama selalu merupakan sebuah

pandangan dunia dan sebuah etos. Agama terdiri dari ide dan kepercayaan tentang dunia.

Kristus dan Kebudayaan

Dalam kekristenan, pertemuan kepercayaan modern dengan kebudayaan lokal telah

melahirkan berbagai sikap. Richard Niebuhr memberi penjelasan lebih dalam tentang sikap

gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture. Kristus di sini di gambarkan

sebagai sebuah bentuk pernyataan Allah dalam diri manusia.19 Niebuhr menjelajahi

sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam lima sikap-sikap atau lima tipologi,

17

Pals, Seven Theories of Religion, 413 – 421.

18

Clifford Geertz, Kebudayaan Dan Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 5-17.

19

(20)

7

yakni: 1) Kristus La wan Kebudayaan, 2) Kristus Dari Kebudayaan, 3) Kristus Di ata s

Kebudayaan, 4) Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks, 5) Kristus Pengubah Kebudayaan

Kuwi Roe Sebagai Sebuah Ritual

Tradisi Kuwi Roe adalah bentuk ritual adat sebagai wujud nyata kepercayaan masyarakat

suku Lio akan keberadaan roh-roh gaib atau yang lebih dikenal dengan Nitupa'i atamata atau

babo mamo (orang meninggal & leluhur).

Susanne Langer memperlihatkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih

bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis.20 Ritual memperlihatkan tatanan atas

simbol-simbol yang diobjekan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan,

serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing.

Goody mendefinisikan ritual sebagai suatu “kategori adat perilaku yang dibakukan,

dimana hubungan antara sarana-sarana dengan tujuan tidak bersifat „intrinsik,‟ dengan kata lain, sifatnya entah irasional atau nonrasional.”21

Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu (1) Tindakan magi yang

dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2)

Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif

yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada

pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) Ritual

faktitif yang meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan,

atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.22 Ritual-ritual

faktitif berbeda dari ritual konstitutif karena tujuannya lebih dari sekedar pengungkapan atau

perubahan hubungan sosial, tidak saja mewujudkan kurban untuk para leluhur dan

pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota-anggota

jemaah dalam konteks peranan sekular mereka.23

Dalam masyarakat kesukuan terdapat paguyuban mistis. Mereka percaya bahwa

perpecahan, penyelewengan dan pelanggaran ringan bahkan perasaan kekejian akan

membawa malapetaka pada rekan-rekannya. Oleh karena itu, ritual berkenan dengan daya

20

Susanne Langer, dalam karyanya Philosophy In a New Key (Cambridge Mass, 1942).

21

J. Goody, “Religion and Ritual; The Definitional Problem,” dalam The British Journal of Sociology,

Juni 1961, 57-147; 159.

22

Mariasusai Dhavmony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 175.

23

(21)

8

dan makhluk-makhluk mistis perlu dilakukan untuk memulihkan keseimbangan setiap kali

ada perubahan dalam sikap sosial. Ritual ini juga diperlukan untuk menetapkan

keseimbangan baru di dalam hubungan-hubungan yang berubah.24

Ritual dipandang sebagai muncul dari situasi-situasi dimana kelompok yang bekerjasama

harus menangani pertentangan-pertentangan yang radikal dalam konstitusi mereka sendiri.25

Hal ini terjadi karena aturan-aturan dan nilai-nilai sosial sendiri, yang dibangun oleh berbagai

hubungan, menggerakan individu-individu dan subkelompok-subkelompok untuk berdebat

dengan rekan-rekan mereka dalam kelompok kesepakatan besar, bahwa ritual berusaha

menutupi pertentangan-pertentangan dasariah yang sudah ditetapkan.

Sejarah GMIT Syaloom Ende

Titik awal kehadiran jemaat GMIT Syaloom Ende di mulai pada tahun 1907. Dalam

perjalanan pelayanan mengalami perkembangan jemaat yang dimana jumlah jiwa yang pada

awalnya hanya berjumlah 20 orang lalu bertambah menjadi 500 orang.26

Pada tahun 1938 dilaksanakan pembangunan gedung gereja yang berlokasi di

Jl.Woloare A dan diresmikan pada tanggal 6 Mei 1939. Dan jemaat ini diberi nama Jemaat

Beth-El. Dalam merintis sebuah misi pelayanan, jemaat Beth-El mengalami berbagai macam

persoalan di tubuh organisasi gereja yaitu terjadinya mutasi besar-besaran terhadap pemimpin

lembaga gereja.

Dalam dekade berikutnya, tepat pada tahun 1959-1972 terjadi peningkatan populasi

jemaat sehingga memunculkan ide serta gagasan untuk membangun gedung kebaktian yang

berdaya tampung besar dan hal tersebut ditanggapi secara baik. Pada tahun 1970 oleh Ketua

Majelis Sinode lalu merubah nama Beth-El menjadi GMIT Jemaat Syaloom Ende yang

berlokasi di Jalan Pahlawan - Kelurahan Onekore – Kecamatan Kota Ratu – Kabupaten Ende.

24

Dhavmony, Fenomenologi Agama, 176.

25

E. Evans-Pritchard, The Divine Kingship of the Shilluk of the Anglo-Egyptian Sudan (Cambridge, 1948); Max Gluckman, Rituals of Rebellion in South-East Africa (Manchester, 1954); Pengantar dari Forde pada

African Worlds, London.

26

(22)

9

Tradisi Kuwi Roe Dalam Kebudayaan Masyarakat Suku Lio

Tradisi Kuwi Roe adalah bentuk ritual adat sebagai wujud nyata kepercayaan

masyarakat suku Lio akan keberadaan roh-roh gaib atau yang lebih dikenal dengan Nitupa'i

atamata atau babo mamo (Leluhur). Sudah menjadi ketentuan bahwa sebelum melaksanakan

upacara yang bersifat ritual haruslah menyediakan bermacam sesajen dan juga

perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan. Kuwi Roe sendiri biasanya dilakukan oleh seorang

mosalaki/pemimpin wilayah adat pada saat momen tertentu seperti adanya hajatan syukuran

kebahagiaan dan juga dukacita. Misalnya, saat sebelum musim tanam, saat panen, pengerjaan

rumah baru, pernikahan, kelahiran, pembaptisan anak, komuni suci pertama, ulang tahun, saat

menghadapi ujian, kematian, sakit, dll. Berikut hasil wawancara yang dilakukan terhadap

salah seorang mosalaki, yang menuturkan bahwa Kuwi Roe adalah sebagai wujud

penghormatan kepada leluhur yakni dengan memberikan daging babi dan beras.27 Masyarakat

suku Lio meyakini bahwa para leluhur turut serta dalam membantu dan mempermudah setiap

pekerjaan yang mereka kerjakan, juga dapat terhindar dari kuasa jahat serta senantiasa

memperoleh keselamatan. Dalam Kuwi Roe kami meletakan makanan diiring dengan doa-doa

dan mantra untuk memanggil dan memohon leluhur menikamatinya dengan bahagia dengan

harapan apa yang inginkan dapat direstui oleh para leluhur.28

Hal senanda pun juga disampaikan oleh salah seorang mosalaki dalam wilayah adat yang

berbeda. Dalam penuturannya menjelaskan bahwa Kuwi Roe yang dilakukan adalah sebagai

bentuk permohonan kepada para leluhur yang lazimnya dengan memberikan makanan berupa

beras yang disimpan dalam Puu pare; botol dari tanduk kerbau.29 Beras tersebut diletakan di

rate; kuburan leluhur dan juga musumase; batu lonjong yang ada di tengah kampung adat.

Pada saat memberi makan kepada leluhur biasanya disertakan dengan doa dan permohonan

27

Hasil wawancara dengan Bapak Ambrosius selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat

Wolokota-Kecamatan Ende Timur-Kabupaten Ende. Wawancara di ambil di Kediaman Bapak Ambros, pada tanggal 27 April 2015.

28

Hasil wawancara dengan Bapak Ambrosius selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat

Wolokota-Kecamatan Ende Timur-Kabupaten Ende. Wawancara di ambil di Kediaman Bapak Ambros, pada tanggal 27 April 2015.

29

Hasil wawancara dengan Bapak Petrus Watu selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat

(23)

10

kepada leluhur. Tujuan dan maksud dari pelaksanaan Kuwi Roe adalah ungkapan syukur,

mohon restu, mohon disembuhkan dari sakit, keselamatan, dll.30

Sesajen atau Kuwi Roe merupakan simbol dari sebuah bentuk persembahan kepada roh

atau arwah nenek moyang, serta pengiring doa-doa agar dewa dan roh nenek moyang

menerima dengan bahagia doa mereka sambil menikmati makanan berupa hewan (daging

babi, daging ayam, dll). Sesajen atau Kuwi Roe juga bertujuan agar mereka mendapatkan

kelancaran dan keselamatan hidup seperti yang terungkap dalam so nggengge kami, wenggo

pero, sulu molo dowa leka miu (Belalah dan lindungilah kami, hidup dan pekerjaan kami ada

ditanganmu). Masyarakat Lio meyakini, bahwa arwah-arwah leluhur yang sudah meninggal

selalu mengiringi langkah hidup dan melindungi mereka dimanapun mereka berpijak,

sehingga masyarakat Lio merasa berkewajiban untuk memberikan makan melalui dhera k/ha

atau sesajen. Persembahan sesajen juga merupakan suatu bentuk komunikasi masyarakat Lio

dengan Du'a Ngga'e (Tuhan) dan juga dengan leluhur mereka.

Tradisi Kuwi Roe Ditinjau dari Teori Agama-Agama Primitif

Tradisi Kuwi Roe adalah bagian dari wujud sistem kepercayaan/religi yang ada pada

masyarakat suku Lio. Di dalam tradisi Kuwi Roe terdapat tujuan dan harapan dari masyarakat

suku Lio. Adanya makna simbolik dan nilai dari tradisi Kuwi Roe.

Menurut pendirian ini berdasarkan konsep E. Durkheim. Konsep religi merupakan satu

sistem yang terdiri dari empat komponen antara lain: (a) Emosi keagamaan yang

menyebabkan manusia itu bersifat religius. (b) Sistem keyakinan yang mengandung segala

keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib,

serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan. (c) Sistem ritus dan

upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa,

atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. (d) Umat kesatuan sosial yang

menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan ritus dan upacara.31

Keempat komponen tersebut terjalin erat antara satu dengan yang lain dan menjadi

sistem yang terintegrasi secara utuh. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang

menggerakan jiwa manusia. Karena getaran jiwa yang dirasakan inilah maka setiap individu

dapat melakukan praktek-praktek keagamaan seperti berdoa, bersujud, dll. Dalam

menjalankan praktek keagamaannya seseorang akan dihinggapi emosi keagamaan sehingga

30

Hasil wawancara dengan Bapak Petrus Watu selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat Woloaro-Kecamatan LioTimur-Kabupaten Ende. Wawancara di ambil di Kediaman Bapak Petrus, Kampung Adat Woloaro, pada tanggal 29 April 2015.

31

(24)

11

individu tersebut akan membayangkan wujud Tuhan, Roh, Dewa atau makhluk halus lainnya.

Wujud tersebut ditentukan oleh kepercayaan yang dianut dalam masyarakat setempat,

begitupula tatacara keagaaman yang dilakukan.

Masyarakat suku Lio percaya leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal masih

memiliki hubungan dengan mereka. Kepercayaan mereka bahwa meskipun leluhur dan sanak

keluarga mereka telah mati secara badani namun tetap hidup secara roh. Masyarakat suku Lio

dihinggapi oleh emosi keagaamaan dan membayangkan bahwa leluhur dan sanak keluarga

yang telah meninggal masih hidup, menjaga keselamatan mereka, dan masih melihat serta

memiliki kuasa untuk menghukum mereka. Bayangan ini bukanlah bayangan yang baru saja

terjadi pada masyarakat suku Lio akan tetapi telah berlangsung lama dalam kebudayaan

mereka. Kemudian mereka menaruh sesajen berupa makanan dan minuman pada kubur batu

atau tempat-tempat tertentu itu merupakan kelakuan religius yang muncul dari emosi

keagamaan yang telah lazim dilakukan menurut kebudayaan setempat.

Dalam tradisi Kuwi Roe masyarakat suku Lio mencoba menjaga hubungan dengan

orang yang telah meninggal agar tetap berlangsung baik. Hal ini karena dihinggapi bayangan

akan keselamatan dan perlindungan yang akan diberikan dari leluhur dan sanak keluarga

yang meninggal. Adanya hubungan baik yang tetap terjaga antara yang hidup dan yang mati

berdampak pada kenyamanan dalam menjalankan aktifitas bagi yang masih hidup di bumi.

Pelaksanaan tradisi Kuwi Roe dipandang sebagai suatu tradisi komunal yang harus

tetap dijaga. Hal senada pun diutarakan oleh seorang mosalaki atau ketua adat suku Lio di

Desa Adat Woloaro, yang percaya bahwa leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal

tetap hidup bersama mereka. Walau secara fisik, leluhur dan sanak saudara yang sudah

meninggal itu tidak tampak dan terlihat namun keyakinan dalam diri mereka bahwa para

leluhurlah yang telah menghadirkan mereka, para leluhur menjaga mereka, para leluhur

melindungi mereka. Mereka dapat merasakan kehadiran roh leluhur.32

Emosi keagamaan yang ada pada masyarakat suku Lio diteruskan pada pelaksanaan

tradisi dan ritus Kuwi Roe sebagai ungkapan religius. Dalam pelaksanaan tradisi ini mereka

menemukan wujud bayangan makhluk halus yang diyakini sebagai (Nitupa'i atamata atau

babo mamo: orang meninggal & leluhur) dalam pemikiran mereka.

32

(25)

12

Menurut Spencer agama adalah pemujaan kepada roh leluhur para pendiri suku.

Terdapat tiga elemen dasar dalam agama yaitu, (1) Kepercayaan kepada makhluk-makhluk

dan kekuatan supranatural. (2) Kelompok individu yang terorganisasi saling membagi

kepercayaan. (3) Kegiatan yang dilakukan oleh para individu kepada kekuatan pemujaan roh

leluhur. Definisi Spencer ini bertolak dari pemahamannya bahwa asal-usul agama berada

pada mimpi manusia mengenai roh dari dunia lain. Dengan kata lain, manusia bermimpi

tentang keluarga mereka yang baru saja meninggal. Artinya keluarga yang baru saja

meninggal adalah hantu (ghost) di dalam dunia lain. Mimpi-mimpi itu kemudian dimodifikasi

menjadi keyakinan tentang kekuatan penyembahan roh leluhur, sehingga agama pada

awalnya berkisar pada penyembahan terhadap leluhur. Penyembahan terhadap leluhur

bermaksud memperkuat basis struktur masyarakat tradisional yaitu sistem keturunan.33

Berdasarkan pemahaman Spencer, maka Kuwi Roe merupakan bentuk atau wujud

aplikasi kepercayaan/religi masyarakat suku Lio kepada Nitupa'i atamata atau babo mamo

(orang meninggal & leluhur). Dalam bayang dan mimpi masyarakat suku Lio meyakini

bahwa leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal masih hidup dalam bentuk roh yang

masih ada dalam dunia, meski telah menjadi bagian dari “dunia lain.” Masyarakat Lio meyakini, bahwa arwah-arwah leluhur yang sudah meninggal selalu mengiringi langkah

hidup dan melindungi mereka dimanapun mereka berpijak, sehingga masyarakat Lio merasa

berkewajiban untuk memberikan makan atau sesajen. (2) Peradaban suku Lio jaman dahulu

mengajarkan keseimbangan hubungan terhadap 3 hal, yaitu: (i) Vertikal keatas antara

manusia dengan Tuhan (Du'a Ngga'e). (ii) Horisontal antara manusia dengan sesamanya

Nitupa'i atamata atau babo mamo. (iii) Vertikal ke bawah antara manusia dengan alam serta

hewan dan tumbuhan (tana watu).34 Peradaban suku Lio memperlihatkan bahwa sistem

kepercayaan mereka secara rapi telah terorganisir sehingga dapat menetukan praktek dan

ritual yang harus dilakukan kepada wujud yang disembah dan dipercaya. (3) Dalam menjalin

relasi horisontal antara manusia dengan Nitupa'i atamata atau babo mamo diwujudkan dalam

praktek pemberian makanan/sesajen Kuwi Roe. Ritual ini dilakukan dalam bentuk meletakan

makanan di kubur batu atau tempat-tempat tertentu diiringi dengan doa-doa. Dengan tujuan

kehidupan mereka akan senantiasa selamat sejahtera.

(26)

13

Lebih lanjut berdasarkan pemikiran Clifford Geertz dalam buku “Kebudayaan dan

Agama” menggambarkan agama sebagai bagian dari kebudayaan yang merupakan “susunan

arti” atau ide, yang dibawa simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan sikap mereka kepadanya.35 Menurut Geertz, agama adalah

sebuah sistem budaya, artinya agama adalah: sebuah sistem simbol yang berperan

membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama di dalam diri

manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus

konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu sehingga suasana hati dan

motivasi-motivasi itu tampak realistik secara unik.36

Berdasarkan pendapat Clifford Geertz maka tradisi ini mengandung makna simbolik

yakni, pengajaran dan penghargaan, terhadap leluhur juga kepada sanak keluarga yang telah

meninggal, bukan hanya sebuah teori tapi dengan pelaksanaan secara ritual. Tempat diletakan

sesajen, disebut wisululu (tempat persemayaman roh para leluhur) yang disimbolkan dengan

batu. Ritus atau tradisi Kuwi Roe dalam bentuk sesajen yang diletakan di atas simbol berupa

batu wisululu bukan berarti hendak menyamakan benda/batu dengan Du'a Ngga'e. Sama

halnya dengan tradisi atau ritus Kuwi Roe tersebut tidak berarti mengganti kedudukan

Nitupa'i atamata atau babo mamo dengan Du'a Ngga'e. Penuturan dari seorang tokoh adat

atau mosalaki yang menegaskan bahwa tradisi Kuwi Roe yang dilakukan dalam kelompok

masyarakat suku Lio adalah sebuah ritual yang ditujukan kepada Nitupa'i atamata atau babo

mamo bukan kepada Du’a Ngga’e.37 Posisi Nitupa'i atamata atau babo mamo berada di

bawah Du’a Ngga’e. Tradisi yang diwujudkan dalam setiap ritual ini tidak bertujuan untuk

mengganti peran Dua Nggae, tetapi justru sebaliknya tradisi ini mau mengingatkan bahwa

Du’a Ngga’e jauh lebih berkuasa dan suku Lio meyakini bahwa Nitupa'i atamata atau babo mamo berada dekat dengan Du’a Ngga’e, sehingga kita sebagai manusia yang masih hidup ini membutuhkan orang lain termasuk Nitupa'i atamata atau babo mamo untuk mendoakan

dan menolong. Masyarakat suku Lio meyakini Nitupa'i atamata atau babo mamo masih

Hasil wawancara dengan Bapak Ambrosius selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat

(27)

14

Tradisi ini adalah bentuk penghormatan dan penghargaan kepada Nitupa'i atamata atau

babo mamo karena telah menghadirkan, menolong dan menyelamatkan dalam setiap sisi

kehidupan masyarakat suku Lio. Karena itulah maka diberikanlah makanan dan minuman,

meletakan itu di atas kubur batu. Makanan dan minuman yang diberikan bukan untuk batu.

Batu itu hanya sebagai media atau simbol dari kehadiran dan keberadaan roh leluhur

ditengah-tengah kehidupan masyarakat suku Lio yang masih hidup. Semua yang melihat batu

kubur itu akan tetap mengingat bahwa masyarakat suku Lio punya Nitupa'i atamata atau

babo mamo yang selalu mencintai setiap sisi kehidupan masyarakat suku Lio dan

berkewajiban untuk menjaga dan menghargai bersama-sama agar semuanya selamat dan

sejahtera.38

Masyarakat suku Lio dalam menginterpretasikan keyakinan dan kepercayaan selalu

menggunakan dan membutuhkan sebuah simbol atau tanda seperti batu, patung, atau

benda-benda lainnya dalam mengungkapkan perasaannya.Dalam perspektif kultural, sesajen Kuwi

Roe dalam masyarakat suku Lio dapat dipandang sebagai adat dan tradisi yang penuh makna.

Di dalamnya ada nilai yang jika dipahami akan menjadikan manusia lebih bersikap arif dan

bijak terhadap Tuhan, sesamanya, alam serta lingkungan. (2) Tradisi Kuwi Roe merupakan

simbol kekuatan komunal dan kolektif dari masyarakat suku Lio bahwa mereka memiliki

Nitupa'i atamata atau babo mamo yang selalu menjaga dan melindungi kehidupan mereka.

Pembangkangan dan pelanggaran terhadap tradisi ini dipandang akan mengganggu semua

sendi kehidupan masyarakat setempat. Maka demikian nilai dan makna dari kepercayaan ini

adalah keutuhan dan kekuatan dalam kebersamaan. (3) Dalam tradisi Kuwi Roe masyarakat

suku Lio senantiasa diingatkan dan termotivasi untuk tetap menjujung tinggi nilai

penghargaan sebagai ungkapan terimakasih kepada Nitupa'i atamata atau babo mamo.

Kekuatan simbolik “pemersatu” yang dapat menciptakan motivasi untuk menjaga

tatanan keseimbangan dan kesalarasan hidup bersama dalam sebuah komunitas adat. (4)

Dengan menyaksikan tradisi ini, generasi sekarang akan termotivasi untuk mengenang dan

terus mempraktekan ritual dan tradisi Kuwi Roe serta melihat secara nyata akan sesuatu yang

mereka percaya dan yakini. Dengan tujuan utama tercipta kesadaran bersama akan

pentingnya membangun relasi bersama.

38

Hasil wawancara dengan Bapak Ambrosius selaku Mosalaki Suku Lio – Desa Adat

(28)

15

E. B. Taylor dalam buku “Primitive Culture” yang menguraikan asal mula dari kepercayaan dan religi dalam kebudayaan umat manusia. Menurutnya, asal mula dari

kepercayaan dan religi umat manusia adalah: (1) Kesadaran akan adanya jiwa; dan (2)

Kemudian dari dasar itu, religi berevolusi melalui tingkat yang paling rendah ialah

kepercayaan kepada adanya makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu; (3) Ketingkat

yang lebih tinggi lagi yaitu kepercayaan kepada dewa-dewa yang menggerakkan alam; (4)

Dan pada akhirnya sampai pada tingkat yang tertinggi yaitu kepercayaan kepada satu Tuhan

yang Esa. Taylor menjelaskan, dalam animisme benda-benda penting bagi masyarakat

primitif karena bagi masyarakat primitif, mereka tidak menyembah berhala (batu, pohon,

tongkat, keris, dll), namun mereka menyembah “anima” yang ada di dalamnya, roh-roh yang betul-betul hidup yang seperti Tuhan.39

Agama primitif menurut Taylor bukan hanya sekedar sebagai kepercayaan kepada

Tuhan, melainkan sebagai kepercayaan terhadap wujud-wujud/makhluk spiritual, tampaknya

adalah animisme (kepercayaan kepada kekuatan pribadi yang hidup di balik semua benda).

Dari pendapat E, B. Taylor peneliti coba mengkaji keberadaan sistem kepercayaan

orang suku Lio tentu dalam kaitannya dengan tradisi “Kuwi Roe.” (1) Dari beberapa sumber yang diperoleh, sejak dari dahulu masyarakat suku Lio percaya akan keberadaan

makhluk-makhluk lain yang berkuasa. Kepercayaan masyarakat suku Lio terpusat pada Tuhan (Du'a

Ngga'e) dan Nitupa'i atamata atau babo mamo (Leluhur). Kepercayaan masyarakat suku Lio

telah mengalami sedikit evolusi dari masa ke masa. Berikut adalah uraian data tentang konsep

kepercayaan masyarakat suku Lio, yang sejalan dengan pendapat Taylor.

Du’a Ngga’e saimu wee, Kai ata kaki, Kai mesa dadi, Kai nena du’a gheta lulu wula atafai, be fai lima rua; no’o Ngga’a ghale wena ata kaki, be kaki mbulu telu, artinya adalah: Du’a Ngga’e (Tuhan) itu hanya satu, Ia adalah lelaki dan Ia ada dengan sendirinya. Ia adalah Du’a di langit, mereka adalah perempuan sebanyak tujuh orang, dan Ngga’e di bawah bumi, mereka itu lelaki yang berjumlah tiga puluh orang.40

Dalam masyarakat Lio-Ende, wujud tertinggi yang diyakini keberadaannya secara

adikodrati itu dikonseptualkan sebagai Du’a Ngga’e. Selanjutnya dalam perkembangan dan pengaruh monoteisme agama-agama bertradisi besar khususnya Katolik, konsep tentang

wujud keilahian tertinggi disebut sebagai Du’a Ngga’e yang merupakan bentuk kata majemuk yang terdiri dari Du’a dan Ngga’e.

39

E. B. Taylor, Primitive Culture, dalam buku: Koentjaraningrat, Metode Anthropologi (Jakarta:

Penerbit Universitas, 1958), 184 – 186.

40

Paul Arndt, Du’a Ngga’e Wujud Tertinggi dalam Upacara Keagaman Wilayah Lio(Flores Tengah)

(29)

16

Dengan demikian pemahaman mereka adalah, Du'a Ngga'e berada pada titik puncak.

Sementara Nitupa'i atamata wajib dibawahnya. Penggunaan benda-benda dalam menjalankan

ritus tidak berarti benda-benda tersebut yang disembah dan dihormati itu adalah Tuhan atau

leluhur. Seperti makanan, batu kuburan, wisululu (tempat persemayaman roh para leluhur),

musumase (Batu lonjong yang berbentuk seperti alat kelamin laki-laki yang di tanam di

tengah lapangan sebagai simbol laki-laki, simbol keperkasaan pria suatu komunitas

perkampungan atau yang disebut dengan wewa). Simbol utama dalam sesajen adalah sebagai

sebuah bentuk penghormatan dan perwujudan untuk memohon keselamatan. Sesajen atau

Kuwi Roe juga bertujuan agar mereka mendapatkan kelancaran dan keselamatan hidup seperti

yang terungkap dalam so nggengge kami, wenggo pero, sulu molo dowa leka miu (Belalah

dan lindungilah kami, hidup dan pekerjaan kami ada ditanganmu). Simbol tersebut

dituangkan dalam pemberian sesaji “makanan dan doa.”

Ada dua jenis makanan dalam ritus Kuwi Roe: makanan yang sudah dimatangkan dhera

k/ha (dimasak) serta rewu rera atau rera mera adalah bentuk sajian yang dipersembahkan

menggunakan makanan yang tidak dimasak seperti pu'u pare laka (beras merah) dan darah

ayam, darah babi, dan lain sebagainya. Doa ungkapan bu kuwi roe no'o a re ate wa wi (kami

menyajikan nasi dan hati babi). Simbol-simbol tersebut merupakan wujud perwakilan “yang

disembah dan dihormati” ini berarti bukanlah sebuah penyembahan berhala dalam pandangan

teori agama primitif.

Berangkat dari uraian di atas peneliti coba memberikan penegasan tentang tradisi Kuwi

Roe berdasarkan perspektif teori agama primitif. (1) Tradisi Kuwi Roe adalah wujud dari

kepercayaan masyarakat suku Lio dan menjadi sistem religi yang telah ada sejak dahulu. Hal

tersebut merupakan bentuk kesadaran “emosi keagamaan” mereka akan sesuatu yang lebih berkuasa dan memiliki kedudukan yang tinggi. Kepercayaan masyarakat suku Lio terpusat

pada Du'a Ngga'e dan juga kepada Nitupa'i atamata atau babo mamo mereka. Du’a Ngga’e memiliki kedudukan tertinggi dalam sistem religi masyarakat suku Lio. Kepercayan terhadap

Nitupa'i atamata atau babo mamo merupakan kesadaran agama yang meyakini bahwa

Nitupa'i atamata atau babo mamo hidup besama Du’a Ngga’e, yang turut berkuasa

melakukan sesuatu atas seijin Du’a Ngga’e. Wujud kepercayaan kepada Nitupa'i atamata

atau babo mamo dituangkan dalam wujud praktek pemberian makanan/sesajen Kuwi Roe. (2)

Adanya makna simbolik dan nilai dari tradisi Kuwi Roe yakni penghormatan, penghargaan,

cinta kasih dan kebersamaan. Meletakan makanan di kubur batu atau tempat-tempat tertentu

diiringi dengan doa-doa. Kubur batu sebagai simbol dan lambang peringatan akan

(30)

17

karena itu patut dijaga. Sedangkan doa menjadi simbol kekuatan dari kata yang memiliki

kuasa terjadinya sesuatu, lebih dari itu makanan dan doa dalam ritual Kuwi Roe adalah

simbol dan bentuk penghargaan, ungkapan terimakasih terhadap leluhur dan simbol

ketidakberdayaan mereka sehingga memohon bantuan dari para leluhur untuk menjaga

keselamatan mereka. Makanan dan doa-doa bertujuan agar roh nenek moyang menerima

dengan bahagia. Kuwi Roe juga bertujuan agar mereka mendapatkan kelancaran dan

keselamatan hidup seperti yang terungkap dalam so nggengge kami, wenggo pero, sulu molo

dowa leka miu (Belalah dan lindungilah kami, hidup dan pekerjaan kami ada ditanganmu).

Masyarakat Lio meyakini, bahwa arwah-arwah leluhur yang sudah meninggal selalu

mengiringi langkah hidup dan melindungi mereka dimanapun mereka berpijak, sehingga

masyarakat Lio merasa berkewajiban untuk memberikan makan atau sesajen. (3) Kedudukan

tradisi atau ritus Kuwi Roe sama dengan tradisi atau ritus-ritus lainnya yang terdapat dalam

semua agama dan kepercayaan yang ada di dunia.

Pandangan Jemaat GMIT Syaloom Ende Terhadap Tradisi Kuwi Roe

Jemaat GMIT Syaloom mengakui tradisi Kuwi Roe merupakan bagian dari sistem religi

dalam kebudayaan masyarakat suku Lio. Karena Kuwi Roe sudah menjadi bagian dari sistem

kepercayaan, maka GMIT merasa perlu menghargai dan menghormatinya sebagai suatu

warisan dari sebuah kebudayaan. Pandangan ini tersirat jelas dari penuturan salah seorang

pendeta jemaat yang mengatakan bahwa tradisi tersebut merupakan bagian dari kebudayaan

yang sudah tertanam dan mengakar dalam suatu kelompok masyarakat. Apapun nilai dan

maksud serta tujuan mereka dalam ritus tersebut, tindakan sebagai seorang warga GMIT

adalah menghormatinya. Warga GMIT dituntut untuk harus tetap menjadi agen damai

sejahtera dan itu bisa dilakukan dengan menghormati dan menghargai orang lain dan

keberadaannya, serta tetap mempertebal dan memperkuat iman agar tidak terjerumus dalam

praktek-praktek yang bersebrangan dengan prinsip iman Kristen.41

Selanjutnya pendapat lain disampaikan oleh salah seorang jemaat GMIT Syaloom yang

mengatakan bahwa berbicara tentang Kuwi Roe, hal tersebut sudah masuk dalam ranah

kepercayaan orang Lio. Kepercayaan itu berhubungan dengan keyakinan dan iman orang Lio.

Oleh karena itu, tradisi tersebut adalah kepercayaan suku Lio yang layak untuk dihargai.

Dengan memakai pandangan ini tentu akan menimbulkan timbal balik yang positif dimana

41

(31)

18

masyarakat suku Lio turut menghargai akan keberadaan GMIT ditengah-tengah kebudayaan

orang Lio. Fanatik dengan agama dan keyakinan yang dipeluk tentu diperlukan, tetapi disisi

lain haruslah membentuk sebuah pandangan yang melihat bahwa keyakinan orang lain dalam

hal ini masyarakat suku Lio juga benar menurut mereka.42

Hal ini menunjukan adanya pandangan yang terbuka dalam menghargai segala

perbedaan yang ada. Pandangan ini memiliki dua sifat yaitu: Pertama, bersifat positif dimana

isi ajaran dalam tradisi Kuwi Roe ditolak, tetapi penganutnya diterima serta dihargai. Kedua,

bersifat ekumenis dimana isi ajaran serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka

itu terdapat nilai-nilai universal yang berguna untuk memperdalam pendirian dan

kepercayaan diri. Pandangan lain kemudian dikemukakan oleh seorang pendeta jemaat yang

menyatakan bahwa tradisi Kuwi Roe adalah bagian dari praktek dan ritus dalam agama suku

yang ada pada masyarakat Suku Lio-Ende. Agama suku itu lahir dari kebudayaan masyarakat

setempat, tradisi-tradisi yang ada biasanya bersumber dari keadaan masyarakat setempat.

Tidak dapat disangkal bahwa Kristen juga adalah agama yang lahir dari sebuah kebudayaan.

Oleh karena itu sebagai penganut Kristen dalam hal ini GMIT, kita harus menghargai agama

suku Lio dan segala tradisinya termasuk dalam hal ini tradisi Kuwi Roe.43

Pandangan jemaat GMIT Syaloom menunjukan kematangan berpikir dalam melihat

sistem kepercayaan agama lain sebagai sebuah bentuk pengakuan penganut agama lain akan

keberadaan “sesuatu” yang lebih berkuasa. Dalam hal ini jemaat GMIT melihat tradisi Kuwi Roe yang dilakukan oleh masyarakat suku Lio sebagai sistem kepercayaan mereka yang telah

ada sejak dahulu seperti yang terangkum dalam pernyataan salah seorang jemaat GMIT

Syaloom yang mengatakan bahwa tradisi Kuwi Roe itu adalah bentuk kepercayaan

masyarakat adat Lio. Meski bertentangan dengan prinsip iman Kristen, tetap hal tersebut

adalah bagian dari keyakinan dan kepercayaan masyarakat suku Lio. Dengan memiliki sudut

pandang tersebut maka akan tercipta sikap saling menghargai. Menghargai bukan berarti

menjadi serupa. Dengan pandangan yang seperti ini, sebagai jemaat GMIT dituntut untuk

menjadi pembawa damai. Baik atau tidaknya sebuah tradisi, selagi tidak mengganggu

42

Data Olahan hasil wawancara bersama Ibu Ety Djamikadja, selaku jemaat GMIT Syaloom Ende. Wawancara dilaksanakan pada tanggal; 26 April 2015.

43

(32)

19

kenyamanan antar umat sebagai orang beriman maka perlu penghargaan akan keberadaannya

ditengah masyarakat adat suku Lio.44

Hal ini menunjukan kehidupan agama di wilayah Ende-Lio memiliki berbagai kekhasan.

Hidup beragama di daerah Ende-Lio sebagaimana ada juga di daerah lainnya, sangat diwarnai

oleh unsur-unsur kultural, yaitu pola tradisi asli warisan nenek moyang. Di samping itu,

unsur-unsur historis yakni tradisi-tradisi luar turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat

yang secara mayoritas sudah menganut agama modern dalam hal ini didominasi agama

Katolik namun tetap saja praktek ini masih dipertahankan. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh

sistem kebudayaan Flores sehingga di daerah Ende-Lio terdapat semacam pencampuran yang

aneh antara kehidupan agama modern dan kekafiran (agama nenek moyang), namun

keberadaannya patut dihargai dan dihormati.

Pandangan warga GMIT Syaloom yang inklusif, melihat kenyataan sistem kepercayaan

masyarakat suku Lio sangat sejalan dengan perspektif Kristus dan kebudayaan karya Richard

Niebuhr. Hal penting dalam tipologi Kristus dan kebudayaan adalah (1) Individu penganut

tipologi ini adalah penganut Kristen yang bukan saja beriman kepada Tuhan tetapi juga

mereka berupaya untuk mempertahankan komunitas dengan orang beriman lainnya. Secara

seimbang mereka juga merasa cocok dengan komunitas kebudayaan. (2) Penganut tipologi ini

menafsirkan kebudayaan melalui Kristus, memandang unsur-unsur kebudayaan sesuai

dengan pribadiNya karena mereka tidak merasa ada ketegangan antara Kristus dan

kebudayaan.45

Dalam kaitannya dengan tradisi Kuwi Roe meski bertentangan dengan prinsip iman

GMIT, namun jemaat GMIT memiliki pandangan yang inklusif dan toleran akan keberadaan

kepercayaan suku Lio. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jemaat GMIT adalah

tergolong penganut tipologi ini. GMIT Syaloom adalah penganut Kristen yang bukan saja

beriman kepada Tuhan tetapi juga berupaya untuk mempertahankan kehidupan komunitas

yang equilibrium/seimbang dengan orang beriman lainnya dengan menciptakan toleransi dan

kedewasaan berpikir terhadap penganut keyakinan lain. Tetap hidup dalam kecocokan

dengan komunitas kebudayaan meski berbeda kepercayaan. Sebagai jemaat GMIT menyadari

akan keberadaan mereka ditengah-tengah komunitas suku Lio penganut Katolik. Meski

terdapat perbedaan sistem kebudayaan dan juga kepercayaan namun tidak dapat dipungkiri

44

Data Olahan hasil wawancara bersama Bapak Ruben Lay Riwu, selaku jemaat GMIT Syaloom Ende,

Beliau juga adalah Anggota DPRD Ende.

45

(33)

20

bahwa baik jemaat GMIT dan umat Katolik adalah tergolong orang-orang Kristen yang

beriman pada Kristus. GMIT Syaloom Ende menyadari akan tugas dan keterpanggilannya

untuk menghadirkan damai sejahtera Allah. Dengan cara hidup yang senantiasa

menghadirkan damai sejahtera di tengah perbedaan kebudayaan dan kepercayaan maka telah

menciptakan kehidupan yang rukun, aman, nyaman, seimbang dan selaras. Tentu hal ini

dikarenakan GMIT memandang Kuwi Roe adalah bagian dari sistem kepercayaan/religi

dalam kebudayaan suku Lio yang patut dihargai.

Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa GMIT tampil sebagai pembawa damai dan

bukan sebagai hakim yang siap menghakimi orang lain. GMIT Syaloom menyadari bahwa

kehadirannya ditengah masyarakat Lio, yang punya kepercayaan yang khas adalah bagian

dari rencana dan kehendak Allah. Untuk itu pandangan hidup yang senantiasa menghargai

orang lain harus dipertahankan. Bagi jemaat GMIT perbedaan kepercayaan dan kebudayaan

hendak menjadi modal untuk mencari kecocokan untuk hidup berdampingan secara baik

tanpa mempraktekkan tradisi-tradisi yang berlawanan dengan prinsip iman. Pandangan

jemaat GMIT melihat Kristus hadir dalam setiap kebudayaan dan tampil sebagai pembaharu

dan tetap hidup rukun dalam sebuah komunitas. Pandangan ini lahir dari prinsip GMIT yang

menyatakan bahwa dunia, budaya dan agama-agama adalah ladang kerja Allah. Gereja ada

untuk Allah dan untuk dunia, bukan untuk diri sendiri. Dapat disimpulkan bahwa jemaat

GMIT memandang tradisi Kuwi Roe sebagai bentuk kepercayaan lokal yang ada pada

kebudayaan masyarakat suku Lio yang patut dihargai dan dihormati penganutnya. Jemaat

GMIT Syaloom tidak diperkenankan mempraktekkan tradisi tersebut karena tidak sejalan

dengan prinsip ajaran Kristen. Jemaat GMIT harus memposisikan dirinya sebagai pengikut

Kristen yang taat berdasarkan iman dan kebenaran dengan memiliki kasih yang ditujukan

kepada siapa saja termasuk dalam hal ini masyarakat suku Lio sebagai pelaku dari tradisi

Kuwi Roe.

Tradisi Kuwi Roe dalam pandangan GMIT tentu sangat bersebrangan dengan prinsip

dasar iman GMIT, untuk itu lewat penuturan beberapa narasumber dari hasil wawancara

menegaskan bahwa “Orang yang meninggal tidak lagi memiliki hubungan dengan yang hidup

sebab mereka sudah meninggal. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, jadi tidak perlu

diberi makan dan meminta atau memohon doa padanya. Pengenalan akan sosok pengantara

yang agung dan satu-satunya yaitu Yesus Kristus dalam ajaran Kristen harus dipegang teguh.

(34)

21

sama saja kita meragukan keberadaan Kristus sebagai Pengantara Yang Agung dan kita

memiliki dua kepercayaan.46

Sikap ini didasarkan pada kebenaran Alkitab yang terambil dari:

Keluaran 20 : 3 - 6, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku, jangan membuat bagimu patung

yang menyerupai apapunyang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di

bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.Jangan sujud menyembah

kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah

Allahyang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapakepada anak-anaknya,

kepada keturunanyang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci

Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu

mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku”

Imamat 20 : 6, “Orang yang berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal, yakni yang

berzinah dengan bertanya kepada mereka, Aku sendiri akan menentang orang itu dan

melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya”

Efesus 4 : 17, "Sebab itu kukatakan dan kutegaskan didalam Tuhan: jangan hidup lagi sama seperti

orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia"

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang jemaat yang mengatakan bahwa Kuwi

Roe adalah tradisi pemujaan dan kepercayaan kepada orang yang telah meninggal baik itu

leluhur atau sanak keluarga. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk kepercayaan masyarakat

suku Lio yang menyatakan bahwa orang yang sudah meninggal dunia pun masih dapat

memberikan pertolongan. Secara iman Kristen, hal ini tentu sangat bertolak belakang. Dalam

GMIT diakui suatu sistem kepercayaan yang monoteis: satu Tuhan. Jika ada kepercayaan

pada “sesuatu” di luar Tuhan maka itu sama dengan penyembahan berhala. Meski berhala sendiri memiliki makna menggantikan posisi Tuhan, namun jika dalam prakteknya ada

sebuah tindakan meminta pertolongan kepada “sesuatu” baik itu roh, kekuatan rahasia atau makhluk-makhluk lainnya, hal itu sama saja meragukan kekuasaan Tuhan dan menggantikan

posisi Tuhan. Hal ini tentu diindikasikan sebagai sebuah bentuk kepercayaan terhadap “ilah

-ilah” lain. Tradisi ini adalah penggabungan antara dua kepercayaan yakni kepercayaan

46

Referensi

Dokumen terkait

Sumber: Hasil pengolahan prapenelitian 2014 Dari hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa faktor akademis yang lebih mempengaruhi individu dalam menggunakan

Dokumen RPJMD Provinsi Jambi merupakan acuan dan pedoman resmi bagi Pemerintah Provinsi Jambi dalam penyusunan Rencana Strategis SKPD, Rencana Kerja Pemerintah

a) Fungsi informatif, yaitu organisasi dipandang sebagai suatu sistem proses informasi. Bermakna seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi kecemasan lansia secara keseluruhan berada pada katagori sedang, kondisi kecemasan lansia ditinjau dari respon fisiologis

Data spasial bagi aparat desa Tegallinggah menjadi sangat penting karena masyarakat lebih memperhatikan penyajian data dalam bentuk berbeda khususnya peta bukan lagi

Untuk memaksimalkan fungsi selenium bagi tubuh saat ini tersedia suplemen antioksidan yang mengandung perpaduan selenium dengan vitamin E yang bekerja sinergis sehingga dapat

datang, jumlah setiap stadia perkembangan pupa, imago1, imago2 pada 4 kali pengambilan sampel diatas menunjukan jumlah populasi Orycetes rhinoceros yang akan

Kami baru saja kabur dari sekumpulan makhluk pemangsa manusia, kehilangan orang- orang yang kami cintai, dan kau tidak akan mau merasakan hal seperti itu.”.. “Tapi nggak