PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PASCA ERUPSI MERAPI (STUDI DI HUNIAN TETAP BANJARSARI DESA GLAGAHARJO
CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA) SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Dwi Ardiaty Cahyani NIM 09102241023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
Melawan rasa takut dan putus asa akan membawa keberhasilan
(Penulis).
Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil; kita baru
yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik (Evelyn
Underhill).
semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan,
selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya (Alexander
PERSEMBAHAN
Atas Karunia Allah SWT karya ini akan saya persembahkan untuk:
1. Kedua orangtua tercinta, adik dan kakak penulis yang selalu
mendoakan untuk keberhasilan penulis dalam menyusun karya ini.
2. Teman-teman yang telah mendukung saya dan menemani saya dalam
menyusun karya ini.
PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PASCA ERUPSI MERAPI (STUDI DI HUNIAN TETAP BANJARSARI, DESA GLAGAHARJO,
CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA)
Oleh
Dwi Ardiaty Cahyani NIM 09102241023
ABSTRAK
Penelitian ini bertujjuan untuk mendeskripsikan: perubahan perilaku masyarakat pasca erupsi merapi, dampak yang ditimbulkan akibat dari erupsi merapi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. subjek penelitian ini adalah warga Hunian Tetap Banjarsari. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Peneliti merupakan instrumen utama dalam melakukan penelitian yang dibantu oleh pedoman observasi, pedoman wawancara, dan pedoman dokumentasi. Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah display data, reduksi data, dan pengambilan kesimpulan. Trianggulasi yang dilakukan untuk menjelaskan keabsahan data dengan menggunakan sumber dan metode.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) perubahan perilaku masyarakat pasca erupsi merapi meliputi perubahan perilaku di dalam keluarga dan perubahan perilaku antar warga Hunian Tetap (2) proses sosial masyarakat pasca erupsi merapi meliputi kontak sosial dan komunikasi (3) interaksi sosial pasca erupsi merapi meliputi pola asosiatif dan pola diasosiatif (4) dampak yang ditimbulkan akibat pasca erupsi merapi meliputi dampak terhadap sektor ekonomi, dampak terhdap sektor sosial, dampak terhadap religious dan dampak terhadap mental warga.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas
Negeri Yogyakarta.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari
adanya bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan fasilitas dan sarana
sehingga studi saya berjalan dengan lancar.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, yang telah memberikan kelancaran
dalam pembuatan skripsi ini.
3. Bapak Dr. sujarwo, M.Pd selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan
membimbing.
4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mendidik dan
memberikan ilmu pengetahuan.
5. Seluruh warga dan tokoh masyarakat Hunian Tetap Banjarsari Desa
Glagaharjo Cangkringan Sleman Yogyakarta atas ijin dan bantuan untuk
penelitian.
6. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian
skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang peduli terhadap Pendidikan terutama Pendidikan Luar Sekolah
dan bagi para pembaca umumnya.
Yogyakarta, 20 Juli 2016
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan Masalah ... 6
D. Rumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori ... 8
1. Tinjauan Mengenai PerilakuSosial ... 8
a. Pengertian Perilaku ... 8
b. Prinsip Perilaku... 12
e. Determinan Perilaku ... 15
f. Bentuk Perilaku ... 16
g. Pengertian Perilaku Sosial ... 17
h. Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial ... 17
i. Faktor Pembentuk Perilaku Sosial ... 18
2. Tinjauan Mengenai Interaksi Sosial... 18
a. Konsep Interaksi Sosial... 18
b. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial ... 21
c. Bentuk Interaksi Sosial ... 23
3. Tinjauan Mengenai Perubahan Sosial... 24
a. Pengertian Perubahan Sosial... 24
b. Teori Evolusi Sosial ... 25
c. Perspektif Teori Perubahan Sosial ... 25
4. Tinjauan Mengenai Masyarakat... 26
a. Pengertian Masyarakat ... 26
b. Pengertian Masyarakat Desa ... 28
5. Tinjauan Mengenai Penanggulangan Bencana ... 29
a. Kesiagaan Menghadapi Bencana ... 29
b. Sistem Nasional Penanggulangan Bencana ... 33
c. Prosedur Tetap Dusun Tentang Penanggulangan Bencana... 37
B. Kerangka Berpikir ... 38
C. Pertanyaan Penelitian ... 40
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 41
B. Subjek dan Objek Penelitian ... 41
C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42
D. Metode Pengumpulan Data... 42
2. Wawancara... 43
3. Dokumentasi ... 44
E. Instrumen Pengumpulan Data ... 45
F. Teknik Analisis Data... 46
1. Reduksi Data ... 47
2. Penyajian Data ... 47
3. Penarikan Kesimpulan ... 48
G. Keabsahan Data/Triangulasi ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50
1. Deskripsi Tempat Penelitian ... 50
2. Deskripsi Hunian Tetap Banjarsari ... 51
a. Sejarah Berdirinya Hunian Tetap Banjarsari ... 51
b. Sumber Pendanaan Hunian Tetap Banjarsari... 51
c. Sarana dan Prasarana... 52
B. Data Hasil Penelitian... 52
1. Perubahan Pola Perilaku Sosial Masyarakat Pasca Erupsi Merapi ... 52
2. Dampak Perilaku Sosial Masyarakat Pasca Erupsi Merapi ... 54
C. Pembahasan ... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 60
B. Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba, merusak, berhenti,
secara tiba-tiba dan membutuhkan usaha yang besar untuk
menanggulanginya. Bencana alam meliputi hampir semua kejadian yang
terjadi di alam semesta. Tidak semuanya diakibatkan oleh perilaku
manusia, namun akibatnya dapat bertambah ataupun dikurangi dengan
beberapa perilaku.
Definisi tentang bencana alam termasuk seluruh keadaan cuaca
yang ekstrim. Gempa bumi, letusan gunung, tanah longsor juga termasuk
bencana alam, tetapi dapat juga diakibatkan oleh pengolahan bumi oleh
manusia. Pada akhir tahun 2010, salah satu gunung api di Indonesia yang
aktif yaitu Gunung Merapi mengalami erupsi sejak tanggal 26 Oktober
2010 dan mencapai puncaknya pada tanggal 5 November 2010. Erupsi
pertama tejadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober 2010.
Sedikitnya tejadi hingga tiga kali letusan. Letusan menyemburkan material
vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan disertai keluarnya awan panas
yang menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan dan
menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari Magelang yang
tewas karena gangguan pernapasan. Sejak saat itu mulai terjadi muntahan
awan panas secara tidak teratur. Mulai 28 Oktober 2010, Gunung Merapi
memuntahkan larva pijar yang muncul hampir bersamaan dengan
titik api diam di puncak pada tanggal 1 November, menandai fase baru
bahwa magma telah mencapai lubang kawah.
Berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi
pembentukan kubah larva baru, tetapi yang terjadi adalah peningkatan
aktifitas semburan larva dan awan panas sejak 3 November 2010. Erupsi
eksplosif berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November
2010, menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas
ke berbagai arah di kaki Merapi. Selanjutnya, sekitar pukul tiga siang hari
terjadi letusan yang tidak henti-hentinya hingga malam hari dan mencapai
puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010. Menjelang tengah
malam, radius bahaya untuk semua tempat di perbesar menjadi 20 km dari
puncak. Rangkaian letusan ini serta suara gemuruh terdengar hingga Kota
Yogyakarta (jarak sekitar 27 km dari puncak), Kota Magelang dan pusat
Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km). hujan kerikil dan pasir mencapai
Kota Yogyakarta bagian Utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat
melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang harinya, debu
vulkanik diketahui telah mencapai Tasikmalaya, Bandung dan Bogor.
Pada tahun 2010 merupakan letusan Gunung merapi yang terbesar
yang pernah tejadi dan paling banyak memakan korban jiwa. Ratusan
nyawa hilang terkena awan panas serta harta benda yang mereka miliki.
Salah satu desa yang terkena erupsi merapi cukup parah adalah desa
gunung merapi, khususnya di desa Glagaharjo. Sebagaimana hasil
wawancara yang dilakukan peneliti bahwa desa Glagaharjo sebelum erupsi
merapi ini merupakan desa yang asri dan damai dengan lahan perkebunan
serta peternakan, memiliki lahan yang lua dan subur untuk bercocok tanam
serta beternak berbagai macam hewan ternak. Namun, setelah serupsi
merapi semuanya berubah, masyarakat setempat tidak lagi bisa bercocok
tanam, beternnak hewan-hewan besar yang awalnya merupakan mata
pencaharian dari masyarakat di desa Glagaharjo. Dengan adanya
perubahan tersebut masyarakat setempat harus beusaha beradaptasi dengan
perubahan-perubahan yang ada. Dari mata pencaharian yang beternak
menjadi berdagang, dan ada juga yang harus menjadi buruh serta pola
kehidupan sehari-hari yang sudah mempunyai aturan sendiri. Masyarakat
yang sebelumnya ceroboh bisa membuang sampah disembarang tempat,
namun paska erupsi merapi hal itu tidak lagi dipebolehkan. Serta air yang
digunakan untuk mandi, minum, mencuci dan lain sebagainya sekarang
memanfaatkan bantuan pemerintah daerah. Namun saat ini dngan adanya
bencana alam tentu saja memberikan dampak yang berbanding terbalik
dngan keadaan sebelumnya. Keadaan ini menyebabkan tekanan psikologis
dan perubahan pada perilaku masyarakat setempat.
Sebagaimana diketahui bencana alam adalah suatu musibah yang
tidak pernah diinginkan. Dan akibat dari bencana alam tersebut pun tidak
pernah diinginkan. Akibat dari bencana alam tersebut dapat menimbulkan
Soekanto (2002;15) perilaku itu mungkin bersifat mental atau eksternal;
peilaku itu mungkin merupakan aktifitas atau keadaan pasif. Soerjono
Soekanto (2002;37) menambahkan
perilaku sosial mungkin berorientasi pada masa lampau, dewasa ini, atau perilaku masa mendatang dari orang-orang lain. Oleh karenanya hal itu mungkin disebabkan karena adanya rasa dendam pada masa lampau, pertahanan terhadap bahaya yang mengancam dewasa ini atau pada masa-masa mendatang.
Berdasarkan uraian tersebut perilaku sosial yang disebabkan
bencana alam berorientasi pada perilaku pertahanan terhadap bahaya yang
mengancam dewasa ini atau pada masa-masa mendatang.
Perilaku-perilaku ini dapat mengalami perubahan tergantung dengan situasi yang
dihadapi oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Soejarno
Soekanto (2006;53) yang mengungkapkan bahwa
Memang tidak dapat disangkal bahwa masyarakat mempunyai bentuk-bentuk strukturalnya seperti, kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi, dan kekuasaan tetapi semuanya itu mempunyai suatu derajat tertentu yang menyebabkan pola-pola perilaku yang berbeda, tergantung dari masing-masing situasi yang dihadapi.
Dengan demikian, pola-pola perilaku masyarakat akan berubah
manakala masyarakat menghadapi situasi yang menguntungkan atau
sebaliknya. Situasi ini beragam bentuknya, salah satunya adalah ketika
masyarakat dihadapkan pada situasi bencana alam yang termasuk dalam
situasi yang bersifat ancaman.
desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta merupakan bagian
dari problem sosial. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaluddin
Rakhmat (2000) yang mengumpamakan perubahan merupakan rekayasa
sosial yang muncul akibat adanya problem-problem sosial. Problem adalah
(adanya) perbedaan antaradas sollen(yang seharusnya) dandas sein(yang
nyata). Akibat bencana yang memporak-porandakan desa mereka maka
akan terjadi perubahan di dalam kehidupan mereka pasca merapi, baik
perubahan pola perilaku sosial atau budaya.
Perubahan pola perilaku sosial pada masyarakat korban bencana
letusan merapi 2010 ini sangat menarik, sehingga peneliti tertarik untuk
mengetahuinya secara detail.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat di paparkan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bencana erupsi merapi menimbulkan tekanan psikologis dan
perubahan pada perilaku masyarakat setempat.
2. Desa Glagaharjo merupakan desa yang mengalami kerusakan cukup
parah akibat erupsi merapi.
3. Pasca erupsi merapi masyarakat di desa Glagaharjo, Cangkringan,
Sleman, Yogyakarta harus beradaptasi atas perubahan.
4. Perubahan perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi berorientasi
pada perilaku pertahanan terhadap bahaya yang mengancam dewasa
C. Batasan Masalah
Agar pembahasan tidak terlalu meluas dan penelitian akan lebih
terfokus sehingga pada penelitian akan diperoleh suatu kesimpulan yang
terarah pada aspek yang akan diteliti, maka peneliti membatasi masalah
yang akan diteliti yaitu pada perubahan pola perilaku sosial masyarakat
pasca erupsi merapi di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta.
D. Rumusan Masalah
Mengacu pada pembatasan masalah di atas, maka permasalahan
yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana perubahan pola perilaku sosial masyarakat pasca erupsi
merapi di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
2. Apa dampak yang di timbulkan Pasca Erupsi Merapi terhadap
Masyarakat di Huntap Banjarsari?
E. Tujuan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tentang :
1. Perubahan pola perilaku sosial pada masyarakat pasca erupsi merapi di
desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
2. Dampak yang di timbulkan Pasca Erupsi Merapi terhadap Masyarakat
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini daharapkan akan memberikan manfaat kepada
semua pihak. Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini
adalah:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan
atau sebagai kajian ilmiah suatu fenomena sosial kehidupan
masyarakat korban bencana dalam menghadapi perubahan.
2. Manfaat Praktis
Bagi lembaga terutama Universitas Negeri Yogyakarta dapat
menambah referensi bacaan mengenai perubahan pola peilaku sosial
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Tinjauan Mengenai Perilaku Sosial
a. Pengertian Perilaku
Perilaku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diinterpretasikan
sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan. Leonard F. Polhaupessy dalam sebuah buku yang berjudul
perilaku manusia menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang
dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda dan
mengendarai motor atau mobil. (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:114)
Dari sudut pandang biologis, semua makhluk hidup mulai dari
tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku,
karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Perilaku manusia
pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia dari manusia itu
sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan,
berbicara, tertawa, bekerja, menulis, membaca dan sebagainya.
Perilaku adalah kegiatan organisme yang dapat diamati dan yang
bersifat umum mengenai otot-otot dan kelenjar kelenjar sekresi
eksternal sebagaimana terwujud pada gerakan bagian-bagian tubuh atau
pada pengeluaran air mata, dan keringat (Desnita, 2005: 54). Perilaku
organisme yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus
internal.
Namun demikian sebagian terbesar dari perilaku organisme itu
sebagai respon terhadap stimulus eksternal. Bagaimana kaitan antara
stimulus dan perilaku sebagai respon terdapat sudut pandang yang belum
menyatu antara para ahli. Ada ahli yang memandang bahwa perilaku
sebagai respon terhadap stimulus, akan sangat ditentukan oleh keadaan
stimulusnya, dan individu atau organisme seakan-akan tidak mempunyai
kemampuan untuk menentukan perilakunya, hubungan stimulus dan
respon seakan-akan bersifat mekanistis. Pandangan semacam ini pada
umumnya merupakan pandangan yang bersifat behavioristis.
Berbeda dengan pandangan kaum behavioristis, aliran kognitif
memandang perilaku individu merupakan respon dari stimulus, namun
dalam diri individu itu ada kemampuan untuk menenttukan perilaku yang
diambilnya (Bimo Walgito, 2003: 13). Ini berarti individu dalam keadaan
aktif dalam menentukan perilaku yang diambilnya. Hal itu sejalan
dengan Skinner yang merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari
luar(Soekidjo Notoatmodjo, 2006: 133). Sedangkan menurut Miftah
Thoha (2010: 33), perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara
individu dan lingkungannya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Perilaku, lingkungan,
dan individu saling berinteraksi satu dengan yang lain. Ini berarti bahwa
perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, di samping
itu perilaku juga berpengaruh terhadap lingkungan, begitu pula
lingkungan dapat mempengaruhi individu.
Manusia sebagai makhluk individu dan sosial akan menampilkan
tingkah laku tertentu, akan terjadi peristiwa pengaruh mempengaruhi
antara individu yang satu dengan individu yang lain. Hasil dari peristiwa
saling mempengaruhi tersebut maka timbulah perilaku sosial tertentu
yang akan mewarnai pola interaksi tingkah laku setiap individu. Menurut
George Ritzer (2011: 71-72), perilaku sosial adalah tingkah laku individu
yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang
menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam lingkungan
menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Perilaku sosial individu
akan di tampilkan apabila berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini
individu akan mengembangkan pola respon tertentu yang sifatnya
cenderung konsisten dan stabil sehingga dapat di tampilkan dalam situasi
sosial yang berbeda-beda. Misalnya dalam hidup bermasyarakat, ada
individu yang menghormati hak orang lain dan ada juga yang tidak.
George Ritzer (2011: 73) dalam bukunya yang berjudul sosiologi
ilmu pengetahuan berparadigma ganda memasukkan teori Behavioral
terjadi di dalam lingkungan aktor dengan menggunakan konsep
reinforcement, yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Ganjaran
(reward) akan mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam perilaku
sosialnya, apakah aktor akan mengulangi perilakunya atau tidak.
Perilaku sosial berkembang melalui interaksi dengan lingkungan.
Sedangkan lingkungan akan turut membentuk perilaku seseorang. Lewin
mengemukakan formulasi mengenai perilaku dengan bentuk B=F (E - O)
dengan pengertian B = behavior, F = function, E = environment, dan O =
organism (Bimo Walgito, 2003: 16). Formulasi tersebut mengandung
pengertian bahwa perilaku (behavior) merupakan fungsi atau bergantung
kepada lingkungan (environment) dan individu (organisme) yang saling
berinteraksi.
Lingkungan sosial merupakan lingkungan masyarakat yang di
dalamnya terdapat interaksi individu dengan individu lain (Bimo
Walgito, 2003: 29). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial sangat
erat kaitannya dengan interaksi sosial, sebab interaksi terjadi di dalam
sebuah lingkungan sosial. Hubungan yang terjalin antara individu dengan
lingkungannya berlangsung dua arah, yaitu saling mempengaruhi satu
sama lain (timbal balik). Bimo Walgito (2003: 29) mengemukakan
hubungan atau sikap individu terhadap lingkungannya, antara lain:
dapat memberikan pengaruh atau memberikan bentuk pada lingkungan tersebut.
2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu. Dengan demikian individu akan menerima keadaan lingkungan tersebut.
3) Individu bersikap netral atau statuskuo, yaitu bila individu tidak cocok dengan keadaan lingkungan, tetapi individu tidak mengambil langkah-langkah bagaimana sebaiknya. Individu bersikap diam saja, dengan suatu pendapat biarlah lingkungan dalam keadaan yang demikian, asal individu yang bersangkutan tidak berbuat demikian.
Berdasarkan deskripsi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
perilaku sosial manusia dapat di pengaruhi oleh lingkungan sosialnya,
baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Apabila lingkungan
sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap
perkembangan manusia secara positif, maka manusia akan dapat
mencapai perkembangan sosial secara matang. Namun sebaliknya
apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan kasar
dari orang tua, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang
tidak baik, maka perilaku sosial manusia cenderung menampilkan
perilaku yang menyimpang.
b. Prinsip Perilaku
Di dalam mempelajari perilaku manusia, Miftah Thoha (2010:
36-45) mengemukakan prinsip-prinsip dasar perilaku manusia yaitu:
kemampuan itu disebabkan oleh kombinasi keduanya. Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda
2) Manusia berperilaku karena di dorong oleh serangkaian kebutuhan. Yang di maksud kebutuhan adalah beberapa pernyataan di dalam diri seseorang yang menyebabkan seseorang itu berbuat sesuatu untuk mencapainya sebagai suatu obyek atau hasil. Kebutuhan seseorang berbeda dengan kebutuhan orang lain. Kadangkala seseorang yang sudah berhasil memenuhi kebutuhan yang satu, misalnya kebutuhan mencari makan atau papan, kebutuhannya akan berlanjut dan berubah atau berkembang, berganti dengan kebutuhan yang lain. Kebutuhan yang sekarang mendorong seseorang bisa merupakan hal yang potensial dan bisa juga tidak untuk melakukan perilakunya di kemudian hari.
3) Orang berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak.
Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dipenuhi lewat perilakunya masing-masing. Di dalam banyak hal, seseorang dihadapkan dengan sejumlah kebutuhan yang potensial harus di penuhi lewat perilaku yang dipilihnya. Hal ini mendasarkan suatu anggapan yang menunjukkan bagaimana menganalisa dan meramalkan rangkaian tindakan apakah yang akan diikuti oleh seseorang manakala ia mempunyai kesempatan untuk membuat pilihan mengenai perilakunya.
4) Seseorang memahami lingkungannya dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan kebutuhannya.
Memahami lingkungan adalah suatu proses yang aktif, dimana seseorang mencoba membuat lingkungannya itu mempunyai arti baginya. Proses yang aktif ini melibatkan seorang individu mengakui secara selektif aspek aspek yang berada di lingkungan, menilai apa apa yang dilihatnya dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan mengevaluasi apa yang dialami itu dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai lainnya. Oleh karena kebutuhan dan pengalaman seseorang itu berbeda sifatnya, maka persepsinya terhadap lingkungan juga akan berbeda. 5) Seseorang itu mempunyai rasa senang atau tidak senang.
berbuat yang berbeda dengan orang lain dalam rangka menanggapi suatu hal.
6) Banyak faktor yang menentukan perilaku seseorang.
Perilaku seseorang itu ditentukan oleh banyak faktor. Ada kalanya perilaku seseorang dipengaruhi oleh kemampuannya, ada pula karena kebutuhannya dan ada juga yang karena dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungannya.
c. Jenis Perilaku
Skinner membedakan perilaku menjadi perilaku alami dan perilaku
operan (Bimo Walgito, 2003: 15). Perilaku alami yaitu perilaku yang
dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu berupa refleks-refleks dan
insting-insting. Perilaku refleksif terjadi secara spontan terhadap stimulus
yang mengenai organisme yang bersangkutan. Missal reaksi bersin saat
mencium bau yang menyengat, merinding saat merasakan hawa dingin,
reaksi kedip mata bila mata terkena sinar yang kuat. Perilaku ini terjadi
dengan sendirinya secara otomatis, tidak diperintah oleh pusat susunan
syaraf atau otak.
Selain perilaku alami, ada perilaku operan yaitu perilaku yang
dibentuk melalui proses belajar. Perilaku ini dikendalikan oleh pusat
kesadaran atau otak. Setelah stimulus diterima oleh reseptor, kemudian
diteruskan ke otak sebagai pusat susunan syaraf, sebagai pusat kesadaran,
kemudian baru terjadi respons melaluib afektor. Proses yang terjadi
dalam otak atau pusat kesadaran ini yang disebut proses psikologis.
d. Proses Terjadinya Perilaku
Rogers (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:122) mengungkapkan bahwa
sebelum orang berperilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yakni:
1) Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu
2) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus
3) Evaluation, orang menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya
4) Trial, orang telah mencoba perilaku baru
5) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya
perilaku itu sendiri didasari oleh kesadaran adanya ketertarikan subjek
terhadap rangsangan objek. Dan subjek itu sendiri telah mencoba
perilaku baru yang sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus.
e. Determinan Perilaku
Determinan perilaku merupakan faktor-faktor yang membedakan
respon terhadap stimulus (Soekidjo Notoatmodjo, 2007: 139).
Determinan ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan misalnya; tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya
2) Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering menjadi faktor yang paling dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Perilaku seseorang itu berbeda-beda tergantung dari faktor yang
menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan
faktor dari perilaku yang merupakan bawaan sehingga orang yang
bersangkutan berperilaku secara alamiah. Misalnya dari tingkat
kecerdasan seseorang atau kelaminnya sehingga menyebabkan
perilakunya terbentuk dengan sendirinya. Sedangkan faktor eksternal
merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang berdasarkan
dari lingkungannya, sehingga menyebakan seseorang berperilaku
menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya.
f. Bentuk Perilaku
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007: 114) dilihat dari bentuk
respon terhadap rangsangan dari luar (stimulus), maka perilaku
dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain.
2) Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice).
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari
perilaku itu terbagi menjadi dua, yaitu perilaku tertutup dan perilaku
terbuka. Perilaku tertutup ini masih tebatas pada persepsi seseorang yang
belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. Sedangkan perilaku
terbuka merupakan perilaku yang nyata. Perilaku nyata ini sudah jelas
g. Pengertian Perilaku Sosial
Manusia sebagai makhluk individu dan sosial akan menampilkan
tingkah laku tertentu, akan terjadi peristiwa pengaruh mempengaruhi
antara individu yang satu dengan individu yang lain. Hasil dari peristiwa
saling mempengaruhi tersebut maka timbulah perilaku sosial tertentu
yang akan mewarnai pola interaksi tingkah laku setiap individu. Perilaku
sosial individu akan ditampilkan apabila berinteraksi dengan orang lain.
Dalam hal ini individu akan mengembangkan pola respon tertentu yang
sifatnya cenderung konsisten dan stabil sehingga dapat ditampilkan
dalam situasi sosial yang berbeda-beda.
Menurut George Ritzer (2011: 71-72) dalam bukunya sosiologi
ilmu pengetahuan berparadigma ganda menyatakan bahwa perilaku sosial
adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya
dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau
perubahan dalam lingkungan menimbulkan perubahan terhadap
tingkahlaku. Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang
merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Rusli
Ibrahim dalam Didin Budiman: 2011). Sebagai bukti bahwa manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat
melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain.
h. Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial
Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan oleh
Sarwono (2009: 81), sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu
proses yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan
pengalaman individual masing-masing, mengarahkan dan menentukan
respons terhadap berbagai objek dan situasi.
i. Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Sosial
Menurut Baron dan Byrne (dalam Didin Budiman: 2011)
berpendapat bahwa ada empat kategori utama yang dapat membentuk
perilaku sosial seseorang, yaitu :
1) Perilaku dan karakteristik orang lain
Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu.
2) Proses kognitif
Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya.
3) Faktor lingkungan
Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang.
4) Tatar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi
Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda.
2. Tinjauan Mengenai Interaksi Sosial
a. Konsep Interaksi Sosial
dngan kelompok manusia, menurut Gillin dan Gillin (dalam Soerjono
Soekanto, 2005: 55). Jadi interaksi sosial adalah sebuah bentuk hubungan
yang dibangun antara individu dngan individu, individu dengan
kelompok maupun kelompok dengan kelompok dalam kehidupan
masyarakat, dimana interaksi juga merupakan sebuah proses sosial yang
secara sengaja dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. dalam hal
ini interaksi sosial terbentuk dengan adanya sebuah tindakan sosial yang
dilakukan oleh para pelakunya, kemudian didalamnya juga terjadi sebuah
kontak sosial yaitu terjadi penyampaian pesan dari komunikator terhadap
komunikan serta yang terakhir adalah terjadi sebuah komunikasi sosial
yang mana sebuah bentuk hubungan dengan stimulus-stimulus tertentu.
Pengaturan interaksi sosial diantara para anggota terjadi karena
commitment mereka terhadap norma-norma menghasilkan daya untuk
mengatasi perbedaan-pebedaan pendapat dan kepentingan diantara
mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka menemukan keselarasan
satu sama lain di dalam sesuatu tingkat integrasi sosial (Nasikun, 2009:
16).
Pada masyarakat yang majemuk, tidak jarang ditemukan
orang-orang yang berinteraksi dengan cukup harmonis, sekalipun etnis dan
agama mereka berlainan. Lebih Menurut Lewis A. Coser, dalam
masyarakat yang sedang berkonflik pun selalu saja ditemukan
orang-orang yang secara diam-diam menjalin hubungan baik, walaupun mereka
selamanya konflik sosial itu mempunyai potensi yang menyebabkan
rusaknya sistem sosial yang ada, tetapi juga justru membantu
terwujudnya integrasi sosial. Inilah sebenarnya watak dasar manusia
sebagai makhluk sosial, selalu saja membangun interaksi satu sama lain
untuk memenuhi kepentingan individu dan sosialnya (Margaret M.
Poloma, 2004: 118).
Dalam hal ini interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat menghasilkan sesuatu hasil, dimana gambarannya adalah
sebuah interaksi sosial akan diikuti dengan tindakan sosial (social
action). Dengan komunikasi ide-ide baru dan informasi baru akan
merubah penilaian masyarakat tentang berbagai hal
(kebutuhan-kebutuhan baru), yang selanjutnya akan mengubah kearah tindakan yang
baru (Jaffa Leibo, 1994: 70).
Interaksi sosial yang tejadi dalam kehidupan masyarakat akan
merujuk pada sebuah persepsi, relevansinya adalah interaksi
akanmemunculkan proses sosial dan tindakan sosial yang menjadikan hal
tersebut sebuah persepsi bagi masyarakat secara umum. Persepsi sendiri
merupakan sebuah tanggapan atas apa yang ada atau yang terjadi, dan
sebuah tanggapan tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Dapat
dikatakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses aktif dimana
individu menanggapi sesuatu hal, kemudian menentukan sikap atas
b. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Interaksi sosial itu sendiri tidak akan terjadi bila tidak ada unsur
atau syarat terjadinya interaksi sosial. Menurut Soerjono Soekanto (2006:
58), syarat interaksi sosial ada dua yaitu:
1) Kontak
Kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh), jadi arti secara harfiahnya adalah menyentuh bersama-sama (Soerjono Soekanto, 2006: 59). Kontak sosial bisa berupa tindakan atau tanggapan terhadap tindakan. Kontak sosial juga bersifat positif dan negatif, hal ini dapat dilihat dari hasil interaksi yang menunjukkan tindakan positif atau negatif. Selain berdasarkan positif dan negatif, kontak sosial secara konseptual dibagi menjadi dua yaitu kontak sosial primer dan kontak sosial sekunder. Kontak sosial primer terjadi apabila hubungan atau interaksi tersebut dilakukan tanpa menggunakan perantara atau dengan kata lain langsung bertatap muka. Sedang kontak sosial sekunder terjadi apabila hubungan atau interaksi dilakukan dengan menggunakan perantara.
2) Komunikasi
Komunikasi merupakan proses selanjutnya dari unsur terjadinya interaksi sosial. Kontak sosial tidak berarti telah terjadi komunikasi diantara pelaku. Komunikasi merupakan proses pemberian makna pada perilaku seseorang, perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan (Soerjono Soekanto, 2006: 62). Sedang menurut Burhan Bungin (2006: 57), komunikasi adalah proses memaknai yang dilakukan oleh seseorang terhadap informasi, sikap, dan perilaku orang lain yang berbentuk pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik, atau sikap, perilaku, dan perasaan-perasaan, sehingga seseorang membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap, dan perilaku tersebut berdasarkan pada pengalaman yang pernah di alami.
Arti penting komunikasi adalah sebagai proses pemaknaan atau
penafsiran dilakukan untuk memberikan reaksi atau kontak yang telah
Komunikasi sosial memiliki tiga unsur utama yaitu sumber informasi
(Receiver), saluran (media), dan penerima informasi (Audience)
Proses pemaknaan dalam komunikasi sosial dibagi menjadi dua,
bersifat subjektif dan bersifat kontekstual. Sifat subjektif artinya
masing-masing pihak (sumber informasi dan penerima informasi) memiliki
kapasitas untuk memaknakan informasi yang disebarkan atau
diterimanya berdasarkan pada apa yang ia rasakan, ia yakini, dan ia
mengerti serta berdasarkan tingkat pengetahuan kedua pihak. Bersifat
kontekstual artinya pemaknaan itu berkaitan erat dengan kondisi waktu
dan tempat di mana informasi itu ada dan di mana kedua belah pihak
berada (Bungin, 2006: 57-58).
Dari pemaparan di atas, kontak dan komunikasi tidak bisa
dipisahkan dan harus ada dalam setiap proses interaksi sosial. Setiap
interaksi akan diawali dengan kontak, di sini pelaku memberikan
tindakan atau tanggapan dari proses yang sedang terjadi. Setelah terjadi
kontak, komunikasi menjadi unsur atau syarat berikutnya yang berjalan.
Di mana komunikasi ini merupakan tahap pemberian makna atau
penafsiran terhadap kontak sosial yang berlangsung. Dalam proses
komunikasi mungkin saja terjadi berbagai penafsiran makna dan
c. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Interaksi sosial memiliki beberapa bentuk, yaitu Asosiatif dan
Disasosiatif (Soerjono Soekanto, 2010: 64), yang dijelaskan sebagai
berikut:
1) Asosiatif
Asosiatif terdiri dari kerjasama (cooperation), akomodasi (accommodation). Kerjasama merupakan suatu usaha bersama individu dengan individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Akomodasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan, di mana terjadi suatu keseimbangan dalam interaksi anatara individu-individu atau kelompok-kelompok manusia berkaitan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Usaha itu dilakukan untuk mencapai suatu kestabilan. Sedangkan asimilasi merupakan suatu proses dimana pihak-pihak yang berinteraksi mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan kelompok. 2) Disasosiatif
3. Tinjauan Mengenai Perubahan Sosial
a. Konsep Perubahan Sosial
Konsep sosial dituangkan oleh beberapa ahli menurut Mustain
mashud yang dikutip oleh J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto
(2011;361), sebagai beikut:
1) Davis dalam Allen, fenomena tentang peubahan sosial hanya dilakukan dalam kaitannya dngan perubahan yang terjadi dalam organisasi sosial.
2) Mac Iver dan Page (1949), fenomena peubahan sosial sejauh fenomena itu bisa diamati (diukur), seperti mobilitas sosial (tenaga kerja), komposisi penduduk, perubahan sistem pemerintahan, dan seterusnya.
3) More (1967) perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting dalam struktur sosial, pola-pola perilaku, dan sistem interaksi sosial, termasuk didalamnya peubahan norma, nilai, dan fenomena cultural.
4) Herbert Blumer (1955) melihat peubahan sosial sebagai usaha kolektif untuk menegakkan teciptanya tata kehidupan baru.
Dari perbedaan-perbedaan cara pemahaman konsep perubahan
sosial di atas sudah tentu akan bepengaruh pada kajian-kajian substansi
perubahan sosial. Meskipun definisinya berbeda-beda yang pelu
diperhatikan adalah kenyataan bahwa setiap masyarakat selalu
mengalami perubahan-perubahan, termasuk pada masyarakat primitif dan
kuno sekalipun. Secara sederhana perubahan sosial dapat diartikan
sebagai proses dimana dalam suatu sistem sosial terdapat
perbedaan-pebedaan yang dapat diukur yang terjadi dalam kurun waktu tertentu.
b. Teori Evolusi Sosial
1) Charles Darwin, antara individu-individu jenis tertentu dijumpai
berbagai variasi dan bahwa varian-varian yang lebih tahan terhadap
keadaan lingkungan lebih berhasil mengembangkan diri daripada
varian-varian lain.
2) August Comte (1978-1857), evolusi sosial didasarkan pada konsep
tiga tahap: dari masyarakat primitif sampai ke peradaban Perancis
abad ke-19 yang menurutnya sangat maju.
c. Perspektif Teori Perubahan Sosial
Ada beberapa perspektif teori yang menjelaskan tentang perubahan
sosial. Menurut Dwi dan Bagong (2004: 378) misalnya perspektif teori
sosiohistoris, struktural fungsional, dan struktural konflik.
1) Teori Sosiohistoris
Perspektif ini melihat perubahan dalam dua dimensi yang saling berbeda asumsi yaitu perubahan sebagai suatu siklus, dan perubahan sebagai suatu perkembangan.
2) Teori Strukturalfungsional
Perspektif ini melihat perubahan sosial sebagai dinamika adaptif menuju keseimbangan baru akibat perubahan lingkungan eksternal.
3) Teori Konflik
Teori ini menjelaskan fenomena perubahan sosial karena adanya proses sosial disosiatif dalam masyarakat. Berbeda dengan teori strukturalfungsional, teori konflik secara eksplisit banyak berbicara tentang perubahan masyarakat.
Perubahan sosial terjadi sebagai suatu siklus dan merupakan
keseimbangan baru akibat perubahan lingkungan eksternal dan adapula
dikarenakan konflik.
4. Tinjauan Mengenai Masyarakat
a. Pengertian Masyarakat
Masyarakat sebagai terjemahan istilah society adalah sekelompok
orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka,
dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang
berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat
adalah suatu jaringan hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah
sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok
orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk
menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga
dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara
pelbagai individu. Dari segi perlakuan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat
atau tidak dibuat oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan
subjek utama dalam pengkajian sains sosial (Ahmadi, 2003).
Secara sosiologis, masyarakat merupakan makna daripada
penduduk. Menurut Sapari Imam Asy ari (1993 : 32), masyarakat
sebenarnya juga istilah yang bersifat abstrak buatan manusia atau
budaya manusia sebagai makhluk sosial. Di masyarakat terdapat
symbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan, norma-norma atau kaidah-kaidah
tingkah laku yang bersifat normatif yang harus ditaati, dikembangkan
atau dipertahankan dan bahkan diciptakan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat tersebut. Pada hakikatnya, masyarakat terdiri atas kelompok
besar manusia yang relatif permanen, berinteraksi secara permanen,
menganut dan menjunjung suatu sistem nilai dan kebudayaan tertentu.
Masyarakat dapat hidup bila memilih kemampuan untuk
berdampingan dengan orang lain dimana mereka tinggal dan diatur oleh
pemerintahan yang adil bagi seluruh rakyatnya. Sesuai dengan pendapat
Strong (dalam Djopari, 2008: 211) mengemukakan bahwa pemerintahan
adalah organisasi dalam mana diletakkan hak untuk melaksanakan
kekuasaan berdaulat atau tertinggi .
Koentjaraningrat (2002: 144) menyebutkan bahwa masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling
berinteraksi . Ditambahkan oleh Parson (Sunarto, 2000: 56) bahwa
masyarakat ialah suatu sistem sosial yang swasembada (self subsistent),
melebihi masa hidup manusia normal, dan merekrut anggota secara
reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi
berikutnya . Salam (2007: 262) mengungkapkan bahwa masyarakat
dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di
perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara
sosial, politik dan ekonomi.
Sedangkan para ahli lain mendefinisikan masyarakat secara
bermacam-macam, namun secara garis besar dan berbagai macam
pengertian tersebut mempunyai arti yang sama. Menurut Selo
Soemardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang
menghasilkan kebudayaan. Sedangkan menurut Ralph Linton,
masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri
mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial
dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Soekanto, 2010: 22).
Pada dasarnya pengertian masyarakat di atas isinya sama, yaitu
masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut (Soekanto,
2010: 22) :
1) Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama
2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama
3) Mereka sadar bahwa mereka adalah suatu kesatuan
4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama
b. Pengertian Masyarakat Desa
Masyarakat desa adalah masyarakat yang memiliki karakteristik
masih saling berinteraksi dalam kegiatan bermasyarakatt dalam perilaku
tersebut dapat dicontohkan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa
yang masih bergotong royong.
Terkait dengan etika dan budaya mereka yang bersifat umum,
Lorent Febrian(2011) menyebutkan berikut ini ciri-ciri masyarakat desa:
1) Sederhana 2) Mudah curiga
3) Menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku di daerahnya 4) Memiliki sifat kekeluargaan
5) Lugas atau berbicara apa adanya 6) Tertutup dalam hal keuangan mereka
7) Perasaan tidak ada percaya diri terhadap masyarakat kota 8) Menghargai orang lain
9) Demokratis dan religius
10) Jika berjanji akan selalu diingat
Sedangkan cara beradaptasi mereka sangat sederhan, dengan
menjunjung sikap kekeluargaan dan gotong royong antar sesama, serta
yang paling menarik adalah sikap sopan santun yang sering digunakan
masyarakat pedesaan.
5. Tinjauan mengenai Penanggunalangan Bencana
a. Kesiagaan Menghadapi Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerugian lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah dilanda berbagai
bencana alam yang memakan korban ratusan ribu jiwa, serta membawa
kerugian ratusan triliun rupiah. Beraneka bentuk bencana alam telah
terjadi di Indonesia, mulai dari banjir, tanah longsor, angin puting
beliung, gunung meletus, gempa bumi, hingga tsunami.
Bencana ini terjadi hampir di setiap provinsi yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu, kita harus senantiasa mewaspadai potensi bencana alam
yang bisa terjadi sewaktu-waktu di sekitar kita. Ancaman bencana bukan
hanya tanggung jawab perorangan atau lembaga tertentu saja, akan
tetapi menjadi tanggung jawab berbagai pihak baik lembaga
pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat
umum guna menumbuhkan kesiagaan masyarakat terhadap ancaman
bencana.
Pembangunan ketahanan masyarakat dalam mengurangi resiko
bencana menjadi prioritas pembangunan nasional sejak disepakatinya
Kerangka Aksi Hyogo atauhyogo Framework for Action 2005-2015dan
selanjutnya disebut HFA oleh sebagian besar negara di dunia, termasuk
Indonesia. Dalam HFA tersebut dicantumkan 5 prioritas aksi untuk
membangun ketahanan komunitas dalam pengurangan resiko bencana,
yaitu :
1) Komponen pemerintahan
4) Penurunan kerentanan dan manajemen resiko
5) Kesiapsiagaan dan penanganan darurat
Dalam menghadapi bencana yang bisa sewaktu-waktu terjadi,
diperlukan kesiagaan menghadapi bencana. Dalam leafleat Mengelola
Bencana yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), dijelaskan tentang kegiatan kesiagaan menghadapi bencana
meliputi :
1) Mengetahui potensi ancaman bencana alam
Untuk menghadapi bencana alam, kita perlu mengetahui
potensi ancaman bencana alam yang paling mungkin terjadi di
wilayah tempat tinggal kita. Informasi mengenai ini bisa di dapat
dari instansi pemerintah, seperti Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD), Badan Geologi, BMKG, dan instansi terkait yang
menangani kebencanaan. Dengan mengetahui informasi ini, maka
kita bisa mengetahui daerah-daerah mana yang rawan bencana
sekaligus daerah-daerah yang aman.
2) Menyusun Rencana Penanggulangan Bencana
Setelah kita menyadari dan mengenali potensi ancaman
bencana yang mungkin terjadi di wilayah kita, maka kita perlu
menyusun Rencana Penanggulangan Bencana guna menghadapi
ancaman tersebut. Rencana ini bertujuan untuk meminimalisir
korban jiwa dan kerugian berupa harta benda. Mitigasi bencana
Kesiapsiagaan, Tanggap Darurat, Pemulihan awal, dan Rehabilitasi
Rekonstruksi.
3) Menyusun Rencana Kontinjensi
Rencana kontinjensi adalah suatu proses identifikasi dan
penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan atau situasi
yang akan segera terjadi, pada keadaan yang tidak menentu.
Penekanan rencana kontinjensi adalah kesiapsiagaan menghadapi
bencana, yaitu suatu proses yang mengarah pada kesiapan dan
kemampuan untuk memperkirakan terjadinya bencana, mencegah
dan mengurangi resiko serta menanggulangi bencana.
Rencana Kontinjensi harus dibuat secara bersama-sama
antara pemerintah daerah dan stake holder yang ada setelah
dilakukan analisis terhadap bencana dan analisis resiko. Rencana
Kontinjensi disusun berdasar prinsip kebersamaan, terbuka,
kejelasan dalam pembagian peran dan tugas setiap pelaku,
mengikat sebagai konsensus bersama serta dibuat untuk
menghadapi keadaan darurat.
4) Sistem Peringatan Dini
Sistem peringatan dini yang tepat, cepat, dan akurat menjadi
dasar dilakukannya evakuasi. Peringatan dini ini dimaksudkan
untuk mengingatkan dan menyiagakan masyarakat dan petugas
menyiapkan diri sebelum dilakukan evakuasi, misalnya dengan
mengemasi barang-barang yang sekiranya penting untuk dibawa
saat mengungsi dan tidak membebani.
Peringatan dini disebarluaskan kepada masyarakat melalui
berbagai cara, seperti menggunakan sirine, megaphone, pengeras
suara, kentongan, HT, telepon seluler dan lain sebagainya. Bagi
petugas operasi tanggap darurat, peringatan dini aadalah perintah
untuk segera mempersiapkan peralatan khusus guna mengevakuasi
masyarakat yang masuk dalam kelompok rentan. Selain itu juga
perintah untuk segera mempersiapkan kendaraam untuk evakuasi,
mengkoordinir masyarakat menuju titik kumpul evakuasi,
memimpin evakuasi hingga tempat pengungsian, menyiapkan
sarana dan prasarana di tempat pengungsian, mempersiapkan dapur
umum, dan pendataan jumlah pengungsi untuk mempersiapkan
kebutuhan logistik yang diperlukan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
kesiagaan menghadapi bencana meliputi mengetahui potensi ancaman
bencana alam, menyusun rencana penanggulangan bencana, menyusun
rencana ontinjensi, dan sistem peringatan dini.
b. Sistem Nasional Penanggulangan Bencana
Sistem Nasional Penanggulangan Bencana adalah sistem
pengaturan yang menyeluruh tentang kelembagaan, penyelenggaraan,
bencana, yang ditetapkan dalam pedoman atau peraturan dan
perundangan (Undang-undang No. 24 Tahun 2007). Secara kelembagaan,
penanggungjawab upaya penanggulangan bencana di Indonesia berada
pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam
menjalankan tugasnya, Kepala BNPB didukung oleh unsur pengarah dan
pelaksana.
Dalam kegiatan penanggulangan bencana, diperlukan keterlibatan
antar pihak yang sesuai dengan kewenangan masing-masing sehingga
dibutuhkan koordinasi yang kuat. Koordinasi ini bertujuan untuk
memperlancar pelaksanaan kegiatan operasional bersama guna
mewujudkan pengelolaan bencana secara menyeluruh pada aspek
ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial budaya masyarakat.
Pihak-pihak yang terkait dapat penanggulangan bencana (unsur
pengarah) meliputi :
1) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yaitu badan pemerintah daerah yang memiliki wewenang dan tangung jawab untuk melakukan dan penanggulangan terhadap bencana yang terjadi pada daerah yang bersangkutan.
2) Badan Geologi, yaitu instansi pemerintah yang salah satu tugasnya adalah melaksanakan mitigasi bencana geologi meliputi gunungapi, gempa bumi, dan tanah longsor.
3) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), yaitu instansi pemerintah yang mengelola sumberdaya air meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi sumberdaya air, pengembangan sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air, dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai.
berkenaan dengan bencana karena faktor meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
5) Dinas Sosial, yaitu instansi pemerintah yang ada di Kabupaten/Kota, bertugas untuk menangani bidang kesejahteraan, termasuk di dalamnya membantu masyarakat yang dilanda bencana, melalui Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang sudah terlatih dalam upaya-upaya penanganan bencana.
6) Dinas Pekerjaan Umum, yaitu instansi pemerintah yang bertugas untuk melaksanakan pengelolaan, pengembangan wilayah dan teknik konstruksi.
7) Dinas Kesehatan, yaitu instansi pemerintah yang bertugas memberikan layanan kesehatan melalui Puskesmas dan Rumah Sakit pemerintah maupun swasta.
8) Kepolisian, yaitu instansi pemerintah yang berfungsi menjaga keamanan dam ketertiban masyarakat, termasuk juga melindungi keselamatan manusia dan harta bendanya. Instansi ini bisa melakukan tindakan-tindakan yang bersifat darurat dalam penanganan bencana.
9) Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu organisasi yang paling efektif, termasuk untuk memberi pelatihan kepada masyarakat guna meningkatkan kemampuan dalam bidang operasi di lapangan. 10) Palang Merah Indonesia (PMI), yaitu sebagai lembaga penolong
kemanusiaan,PMI mempunyai kemampuan SAR, memberikan pertolongan pertama, dan penyediaan darah guna keperluan transfusi.
11) Search and Rescue (SAR), yaitu organisasi yang menaruh perhatian pada usaha-usaha pencarian, pertolongan dan penyelamatan orang-orang yang menjadi korban dalam suatu musibah atau bencana.
12) Hansip/Linmas, yaitu kelompok masyarakat sipil yang bertugas membantu kepolisian dalam hal perlindungan keamanan kepada masyarakat. Secara organisasi mereka di bawahi oleh Kantor Kesbanglinmas.
13) Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB), merupakan kelompok masyarakat yang anggotanya telah terlatih dan memiliki kemampuan untuk melakukan upaya-upaya penanganan bencana.
pendataan korban dan kebutuhan hingga menghubungkan masyarakat dengan instansi atau lembaga lain
15) Media massa yang dapat membantu menyebarkan berita tentang bencana kepada masyarakat luas untuk membangun simpati dan empati masyarakat agar tergerak memberikan bantuan.
Berikut ini adalah bagan Sistem Nasional Penanggulangan Bencana
dan keterkaitan antar pihak.
Unsur Pemerintah
Unsur Profesional
Unsur pemerintah dan unsur profesional
Gambar 2.1
Sistem Nasional Penanggulangan Bencana
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa diperlukan
keterlibatan antar pihak yang sesuai dengan kewenangan masing-masing BNPB
Unsur Pengarah Unsur Pelaksana
BNPB
Unsur Pengarah Unsur Pelaksana
BNPB
bencana. Pihak-pihak terkait dalam penanggulangan bencana (unsur
pengarah) meliputi BPBD, Badan Geologi, BBWS, BMKG, Dinas
Sosial, DPU, Dinas Kesehatan, Kepolisian, TNI, PMI,SAR,
Hansip/Linmas, KMPB, LSM, dan media massa.
c. Prosedur Tetap Dusun tentang Penanggulangan Bencana
Prosedur tetap dusun tentang penanggulangan bencana bertujuan
untuk memberikan pedoman masyarakat tentang ancaman bahaya
bencana alam yang potensial terjadi di wilayah mereka, tatacara
penanggulangannya, dan teknis penyampaian informasi penting yang
mendesak kepada pemerintah untuk mendapatkan tindak lanjut.
(Leafleat Wajib latih Penanggulangan Bencana, BNPB).
Dalam Leafleat Wajib latih Penanggulangan Bencana yang
diterbitkan oleh BNPB, dijelaskan tentang hal-hal yang harus ada dalam
prosedur tetap dusun tentang penanggulangan bencana. Hal-hal tersebut
meliputi :
1) Karakteristik dusun yang meilputi peta wilayah, data penduduk dan
kelompk yang rentan terkena bencana, sarana dan prasarana yang
ada, data kapasitas relawan, serta data harta benda baik milik
masyarakat maupun pemerintah
2) Mekanisme penanggulangan bencana dusun yang meliputi struktur
organisasi tata laksana penanggulangan bencana, perlatan
komuniakasi, pemantuan wilayah yang dianggap rawan, dan aspek
3) Evakuasi dan tempat pengungsian meliputi jalur evakuasi dan
identifikasi alat transportasi.
B. Kerangka Bepikir
Pola-pola perilaku sosial dapat berubah manakala masyarakat
menghadapi situasi yang menguntungkan atau sebaliknya. Seperti yang
diketahui bahwa pada tanggal 28 Oktober 2010 salah satu gunung berapi
di Yogyakarta mengalami erupsi yang menarik pehatian banyak kalangan.
Erupsi merapi merupakan situasi yang tidak menguntungkan yang dialami
oleh masyarakat di sekitarnya temasuk di desa Glagaharjo. Pra erupsi
merapi masyarakat hidup secara normal tanpa adanya ancaman yang
membuat kehidupan sosial masyarakat terganggu.
Pola-pola perilaku ini akan berubah terkait dengan interaksi sosial
yang mereka lakukan. Menurut Soerjono Soekanto (2006: 64),
bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan
(competition), dan bahkan juga dapat berbentuk pertentangan atau
pertikaian (conflict). Sebelum erupsi merapi, masyarakat hidup dengan
lingkungan yang bejarak dengan satu sama lainya sehingga membuat
masyarakat desa Glagaharjo ini tidak terlalu membutuhkan sosialisasi
secara utuh. Kehidupan seperti itu juga tidak menjanjikan masyarakat satu
dengan yang lainnya saling akur tanpa ada rasa iri dan dengki dikarenakan
masalah sosial. Namun dengan adanya erupsi merapi masyarakat desa
39
satu sama lainya. Ini menyebabkan masyarakat harus secara tepaksa saling
sapa menyapa dan rukun atau melakukan interaksi sosial. Bersosialisaasi
dengan tetangga meskipun tetangga yang berada dihunian tetap ini masih
sama dengan lingkungan yang dulu. Namun disini belum tentu masyarakat
berbaur dengan ikhlas dikarenakan perilaku masalalu yang masih
tertinggal mungkin perlakuan tidak disukai.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat
perubahan kehidupan yang dialami oleh masyarakat korban erupsi
terutama di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Secara
garis besar alur berpikir terdapat dalam gambar berikut ini:
Bencana Alam Erupsi Merapi
Pasca Pra
- Tinggal di hunian tetap
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana perubahan pola perilaku sosial masyarakat pasca erupsi
merapi di Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
a. Bagaimanakah perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi?
b. Bagaimana interaksi sosial masyarakat pasca erupsi merapi?
2. Apa dampak yang di timbulkan Pasca Erupsi Merapi terhadap
Masyarakat di Huntap Banjarsari?
a. Apa dampak ekonomi yang ditimbulkan pasca Erupsi Merapi
terhadap masyarakat di Huntap Banjarsari?
b. Apa dampak sosial yang ditimbulkan pasca Erupsi Merapi terhadap
masyarakat di Huntap Banjarsari?
c. Apa dampak relijius yang ditimbulkan pasca Erupsi Merapi
terhadap masyarakat di Huntap Banjarsari?
d. Apa dampak mental yang ditimbulkan pasca Erupsi Merapi
T LITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong (2011:4) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.
Pada penelitian ini, peneliti mempelajari tindakan kata-kata untuk mendeskripsikan fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara holistic pada situasi yang alami. Penelitian ini berusaha mendapatkan informasi tentang bagaimana perubahan perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi. Informasi tersebut di gali melalui pencatatan dan perekaman yang didasarkan pada pengamatan atau observasi, wawancara dan dokumentasi.
B. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian merupakan posisi yang penting karena pada subjek terdapat data tentang variable yang akan diteliti dan diamati oleh peneliti. Dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah warga hunian tetap dan tokoh masyarakat korban bencana erupsi merapi di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Jumlah subjek penelitian ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan. Pemilihan subjek ini dimaksudkan untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber sehingga data yang diperoleh dapat diakui kebenarannya.
Dalam penelitian ini objek kajiannya adalah yang terkait dengan masalah-masalah yang akan di teliti yaitu perubahan perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Desa ini dipilih berdasarkan data yang di peoleh bahwa desa tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah karena erupsi merapi. Aktifitas penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai dengan bulan Januari 2014.
D. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah segala sesuatu yang menyangkut bagaimana cara atau dengan apa data dapat dikumpulkan. Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik yaitu: pengamatan (observasi), wawancara, dan dokumentasi. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:
1. Pengamatan (observasi)
berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan metode lain. (Nasution, 2002:106) Teknik ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang tidak diungkapkan oleh informan dalam wawancara. Data informasi yang diperoleh melalui pengamatan selanjutnya dituangkan dalam tulisan.
Dalam penelitian ini menggunakan observasi non partisipatif. Artinya bahwa peneliti bukan merupakan bagian dari kelompok yang ditelitinya dan peneliti hanya datang di tempat kegiatan orang yang diamati tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Observasi dilakukan dengan menggunakan pedoman observasi.
2. Wawancara
sebuah dialog yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh informasi dari informan.
Deddy Mulyana (2004: 180) menjelaskan wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. \
Dedi Mulyana juga menambahkan wawancara terbagi menjadi dua, yaitu wawancara terstruktur (standardized interview) dan wawancara tak terstruktur (opened interview). Wawancara tidak terstruktur mirip dengan percakapan. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua responden, tetapi susunan pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara termasuk sosial-budaya. Sedangkan wawancara terstruktur susunan pertaannya sudah ditetapkan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga sudah disediakan.
Dalam penelitian ini wawancara ditujukan kepada warga hunian tetap dan tokoh masyarakat korban bencana erupsi merapi guna memperoleh informasi tentang keadaan desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta pasca erupsi merapi. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.
3. Dokumentasi
(Sugiyono, 2012: 329). Dalam penelitian ini dokumentasi berbentuk foto dan data-data berbentuk tulisan tentang data pekerja buruh gendong perempuan, data statistik jumlah tenaga kerja penduduk baik laki-laki dan perempuan,buku-buku dan leafleat yang berkaitan dengan buruh gendong dan Yasanti. Dokumentasi digunakan untuk melengkapi data hasil observasi dan wawancara.
Tabel 3. Teknik Pengumpulan Data
No Aspek Sumber Data Teknik
1 Aktivitas perilaku sosial foto sebelum erupsi merapi