• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Pekarangan

Pekarangan dari sudut ekologi merupakan lahan dengan sistem yang terintegrasi dan mempunyai hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik/penghuninya dengan tanaman, tumbuhan, serta ikan, satwa liar, dan hewan yang diternakkannya (Arifin, 2013). Selain itu, pekarangan secara global dapat didefenisikan sebagai berikut (Kehlenbeck, 2007):

As the appearance of homegardens is highly variable, there are several definitions of this system. Homegardens are commonly defined as a piece of land with a definite boundary surrounding a homestead, being cultivated with a diverse mixture of perennial and annual plant species, arranged in a multilayered vertical structure, often in combination with raising livestock, and managed mainly by household members for subsistence production (Christanty, 1990; Fernandes & Nair, 1986; Hoogerbrugge & Fresco, 1993;

Kumar & Nair, 2004; Rugalema et al., 1994; Soemarwoto, 1987).

Homegardens are one of the most complex and diverse agro-ecosystems worldwide. Homegarden systems have existed for millennia (Kumar & Nair, 2004; Soemarwoto & Conway, 1992) in many tropical regions, where they played an important role towards then development of early agriculture and domestication of crops and fruit trees, a still ongoing process (Kimber, 1978;

Miller & Nair, 2006; Niñez, 1987; Smith, 1996).

(2)

Menurut Badan Litbang Pertanian (2014) pemanfaatan lahan pekarangan merupakan suatu wujud dari kemandirian pangan rumah tangga petani.

Kemandirian pangan rumah tangga petani merupakan kemampuan kepala rumah tangga dalam memenuhi konsumsi protein nabati dan hewani sehari-hari untuk keluarganya. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk ditanami aneka tanaman sayuran yang biasa dikonsumsi. Aneka sayuran yang ditanam dalam bentuk pot atau polibag meliputi tanaman sawi, bayam, cabe, caisim, kangkung, seledri, tomat, terong, bawang daun, dan sejenisnya. Protein hewani hasil pemanfaatan lahan pekarangan seperti ayam, telur ayam, ikan, dan kelinci.

Menurut Badan Litbang Pertanian (2014) pengelompokan lahan pekarangan dibedakan atas pekarangan perkotaan dan pedesaan. Lahan pekarangan di perkotaan dikelompokkan berdasarkan dengan tipe rumah di perumahan.

Sedangkan Lahan pekarangan di perdesaan dikelompokkan berdasarkan luas lahan.

a. Pekarangan perkotaan dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu:

1. Pada perumahan Tipe 21, dengan total luas lahan sekitar 36 m2 2. Pada perumahan Tipe 36, luas lahan sekitar 72 m2

3. Pada perumahan Tipe 45, luas lahan sekitar 90 m2

4. Pada perumahan Tipe 54 atau 60, luas lahan sekitar 120 m2 b. Pekarangan pedesaan dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu:

1. Pekarangan sangat sempit (tanpa halaman) 2. Pekarangan sempit (<120 m2)

3. Pekarangan sedang (120-400 m2) 4. Pekarangan luas (>400 m2)

(3)

2.2 Kultur Pekarangan

Konsep pekarangan diperkenalkan oleh sekelompok orang yang berasal dari Indochina dan selanjutnya menetap di Jawa Tengah sejak tahun 860 M.

Pekarangan berkembang kearah Jawa Timur, Madura dan Bali dan penyebaran ke daerah Jawa Barat pada abad ke-18 (Terra, 1948 dalam Christanty, 1990 dalam Pendong dan Arrijani, 2004).

Keberadaan pekarangan telah menjadi bagian dari kultur bangsa Indonesia.

Pekarangan dipengaruhi oleh adat istiadat, kebiasaan, agama, dan suku. Konsep tri-hita-karana sebagai pengetahuan lokal pada masyarakat di Bali yang hingga kini masih melekat dan menjadi bagian kultur hidup masyarakat. Setiap aspek pekarangan memiliki penggunaan yang khas, termasuk bagi pola pertanaman dan pemilihan jenis tanaman di pekarangan. Pekarangan memiliki peran yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Hasil pekarangan selain untuk kebutuhan pangan secara subsisten dan dijual, juga untuk sesajen setiap hari serta untuk rangkaian upacara terutama buah-buahan dan daun. Hal ini adalah ekspresi kearifan lokal masyarakat dalam konsep keberlanjutan fungsi pekarangan (Arifin, 2013).

Kultur pemanfaatan pekarangan tidak hanya ada di Indonesia. Namun juga di negara lain di Asia. Menurut Kehlenbeck (2007): Individual homegardens have been continuously cultivated for many decades and even centuries, for example, in Sri Lanka (Hochegger, 1998), Vietnam (Trinh et al., 2003), Bangladesh (Ali, 2005; Oakley, 2004; Oakley & Momsen, 2007), Thailand (Moreno-Black et al., 1996), and Nepal (Shrestha et al, 2004).

(4)

Terra (1948) dalam Danoesastro (1977) mengemukakan bahwa di Indonesia perkembangan pemanfaatan pekarangan dapat dilaksanakan lebih baik di daerah yang penduduknya matriarchal (Jawa, Madura, Minang, Aceh, Bali), sebaliknya di daerah yang patriarchal seperti Tapanuli, pekarangan tidak atau sukar berkembang.

Hal ini juga didukung dari hasil penelitian di beberapa negara melihat bahwa penduduk yang matriarchal memiliki potensi dalam pengembangan pekarangan.

Menurut Kehlenbeck (2007): Dominance of females in hoeing, weeding, and harvesting, but of males in pruning and hard work such as preparing the land is stated also in the literature (e.g. Tchatat et al. (1996) for Cameroon, Rugalema et al. (1994) for Tanzania, Bennett-Lartey et al. (2004) for Ghana). A rather equal division of labour between male and female household members without giving more detailed information is reported from Java, Indonesia (Andayani, 1988, cited in Suryana & Simatupang, 1992), Vietnam (Hodel et al., 1999), Nicaragua (Méndez et al., 2001), and Martinique (Kimber, 1966). However, in some regions, homegardens are said to be managed mainly or even exclusively by females, e.g.

in Bangladesh (Ali, 2005; Oakley, 2004; Oakley & Momsen, 2007), Thailand (Moreno-Black et al., 1996), Nepal (Shrestha et al., 2004), Yemen (Ceccolini, 2002), or Tanzania (Rugalema et al., 1994). In contrast, dominance of males in homegardening is reported only from India (Dash & Misra, 2001).

Kultur pekarangan ini juga membentuk zonasi pekarangan yang dipengaruhi juga oleh adat-istiadat, kebiasaan, agama, dan suku. Di Bali, Konsep tri-hita-karana sebagai local knowledge pada masyarakatnya. di mana tata-ruang mulai dari

(5)

pulau,banjar, sampai pekarangan dibagi menjadi parahyang (hulu, atas, kepala), pawongan (tengah, badan), dan palemahan (hilir, bawah, kaki). Setiap bagian memiliki penggunaan yang khas, termasuk bagi pola pertanaman dan pemilihan jenis tanaman di pekarangan. Pada pekarangan Bali, zona parahyangan menghadap ke arah Gunung Agung, sebagai tempat suci (prajan) untuk sembahyang (sanggah). Zona ini digunakan untuk tanaman hias baik bunga- bungaan maupun daun yang setiap hari bisa dipetik untuk persembahan. Zona pawongan adalah bagian dari kehidupan manusia penghuninya yang dicirikan dengan tanaman buah-buahan, bunga dan daun. Pada zona palemahan tanamannya dalam bentuk buah, batang, daun, dan umbi-umbian.

Pada pekarangan Sunda, pekarangan dibagi menjadi tigabagian. Bagian depan yang disebut buruan. Bagian ini biasanya disapu dan hampir dibersihkan tiap hari.

Kadang ditanami dengan tanaman hias atau tanaman peneduh, yang digunakan untuk menjemur pakaian, hasil bumi, tempat bermain anak dan lainnya. Bagian pinggir rumah yang berada di samping kiri dan kanan, yaitu pipir. Pipir ini biasanya digunakan untuk tempat perabot/alat-alat pertanian, seperti garu, gasrok, grendel, dan lainnya, tetapi biasanya disimpan di belakang rumah. Jarian, biasanya terletak dibelakang rumah atau di bagian belakang, berfungsi sebagai tempat membuang sampah yang dibakar dan dijadikan pupuk. Panyaweran adalah garis pembatas antara buruan dan dinding rumah. Digunakan untuk menyimpan sementara hasil panen atau barang-barang lainnya

(6)

2.3 Fungsi Pekarangan

Peranan dan fungsi pekarangan sangat penting dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari, yaitu sebagai warung hidup yang mana hasil dari bercocok tanam di lahan pekarangan dapat digunakan untuk kegiatan dapur, apotek hidup sebagai tanaman obat keluarga yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk kesehatan, lumbung hidup sebagai cadangan makanan bagi keluarga, dan tabungan hidup sebagai pendapatan keluarga apabila hasil produksi bercocok tanam di lahan pekarangan tersebut dikomersilkan (Rukmana, 2008).

Menurut Arifin (2013) ada empat fungsi dasar pekarangan secara sosial ekonomis, yaitu:

1. Produksi secara subsisten, seperti sumbangan tanaman pangan yang menghasilkan produk karbohidrat, buah, sayur, bumbu, obat, dan produk non- pangan lainnya termasuk produksi ternak dengan nilai gizi yang tinggi dalam bentuk protein, mineral, dan vitamin.

2. Pekarangan dapat menghasilkan produksi untuk komersial dan memberi tambahan pendapatan keluarga, khususnya di wilayah yang memiliki akses pasar yang baik. Produk pekarangan tersebut termasuk tanaman tahunan, yaitu pohon buah-buahan, juga kakao dan kopi, termasuk tanaman sayuran dan tanaman hias.

3. Pekarangan mempunyai fungsi sosial-budaya. Fungsi ini termasuk jasa seperti untuk saling bertukar hasil tanaman dan bahan tanaman antar tetangga.

Pekarangan juga memberikan status bagi pemilik di lingkungannya, menyediakan ruang untuk keindahan taman, juga fungsi lainnya antara lain tempat bermain bagi anak- anak juga tempat bersosialisasi sesama tetangga,

(7)

dan sebagai tempat upacara keagamaan, khususnya bagi masyarakat Hindu Bali menggunakan bagian dari pekarangan untuk prajan sebagai tempat sembahyang.

4. Pekarangan memiliki fungsi ekologis, bio-fisik lingkungan. Struktur tanaman dengan multi-strata merupakan miniatur dari hutan alam tropis yang berfungsi sebagai habitat bagi beragaman tumbuhan dan satwa liar. Sistem produksi terintegrasi dari tanaman, ternak, dan ikan menghasilkan penggunaan yang efisien dalam penggunaan pupuk organik serta daur ulang bahan dan menurunkan runoff.

2.4 Suburban

Wilayah suburban menurut karakteristiknya sebenarnya adalah pencampuran antara desa dengan kota (Muawanah, 2011). Daldjoeni (1992 dalam Muawanah, 2011) mengutip Whynne-Hammond, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan suburban:

a. Peningkatan pelayanan transportasi kota. Tersedianya angkutan umum memudahkan orang untuk bertempat tinggal jauh dari tempat kerjanya.

b. Perpindahan penduduk dari pusat kota ke pinggiran kota dan masuknya penduduk baru yang berasal dari pedesaan.

c. Meningkatnya taraf hidup masyarakat yang memungkinkan orang mendapatkan perumahan yang lebih layak.

d. Munculnya permukiman penduduk. Pemerintah membantu masyarakat yang akan mendirikan rumah lewat pinjaman bank.

e. Dorongan hakikat manusia memperoleh kenyamanan.

(8)

Masyarakat suburban dapat menjadi penyangga (buffer) bagi kehidupan kota jika warganya memiliki ketempilan atau kemampuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kota induk (Muawanah, 2011).

2.5 Landasan Teori 2.5.1 Pekarangan

Teori pekarangan menurut Kehlenbeck (2007): Homegardens are commonly defined as a piece of land with a definite boundary surrounding a homestead, being cultivated with a diverse mixture of perennial and annual plant species, arranged in a multilayered vertical structure, often in combination with raising livestock, and managed mainly by household members for subsistence production.

Menurut Badan Litbang Pertanian (2014) pemanfaatan lahan pekarangan merupakan suatu wujud dari kemandirian pangan rumah tangga petani.

Kemandirian pangan rumah tangga petani merupakan kemampuan kepala rumah tangga dalam memenuhi konsumsi protein nabati dan hewani sehari-hari untuk keluarganya. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk ditanami aneka tanaman sayuran yang biasa dikonsumsi. Aneka sayuran yang ditanam dalam bentuk pot atau polibag meliputi tanaman sawi, bayam, cabe, caisim, kangkung, seledri, tomat, terong, bawang daun, dan sejenisnya. Protein hewani hasil pemanfaatan lahan pekarangan seperti ayam, telur ayam, ikan, dan kelinci.

Menurut Arifin (2013) ada empat fungsi dasar pekarangan secara sosial ekonomis, yaitu Produksi secara subsisten, pekarangan dapat menghasilkan produksi untuk komersial dan memberi tambahan pendapatan keluarga, pekarangan mempunyai fungsi sosial-budaya, pekarangan memiliki fungsi ekologis dan bio-fisik

(9)

lingkungan. Nilai dan fungsi dari lahan pekarangan itu dapat lebih luas lagi ditemukan diberbagai daerah yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik daerahnya.

2.5.2 Teori Strategi Pengembangan

Rangkuti (2008) mengemukakan strategi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya. Strategi merupakan respon secara terus-menerus maupun adiktif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi. Menurut Umar (2008), strategi merupakan tindakan yang bersifat senantiasa meningkat dan terus- menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa mendatang.

Tujuan utama strategi dalam setiap kegiatan adalah mencapai keberhasilan. Dalam mencapai tujuan yaitu keberhasilan, ada beberapa elemen strategi yang harus dipenuhi. Pertama, tujuan yang diformulasikan secara sederhana, konsisten, dan berjangka panjang. Kedua, pengertian mendalam terhadap lingkungan persaingan.

Ketiga, penilaian objektif terhadap sumberdaya dan implementasi yang efektif (David, 2006).

Analisis SWOT dapat digunakan secara deskriptif dan secara kuantitatif.

Penggunaan analisis SWOT secara deskriptif yaitu hanya menjelaskan bagaimana pengembangan suatu organisasi tanpa menjelaskan strategi faktor-faktor internal dan eksternalnya. Sedangkan penggunaan analisis SWOT secara kuantitatif yaitu menjelaskan dengan terperinci faktor-faktor internal dan eksternalnya dengan

(10)

menggunakan bobot dan bagaimana strategi pengembangan tersebut bermanfaat bagi suatu usaha atau organisasi. Analisis SWOT ditujukan untuk mengidentifikasi berbagai faktor internal dan faktor eksternal untuk merumuskan strategi (Pearce dan Robinson, 2009).

2.6 Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pekarangan merupakan salah satu aspek kehidupan masyarakat yang memiliki fungsi dan manfaat. Hasil penelitian Nuraini. (2009) yang berjudul Peran, Fungsi, dan Manfaat Pekarangan sebagai Salah Satu Model Ruang Terbuka Hijau di Lingkungan Permukiman Padat Kota Studi Kasus : Pekarangan di Karang Kajen, Yogyakarta menunjukkan bahwa pekarangan di Karang Kajen, mampu memenuhi 3 fungsi dari 4 fungsi dasar Ruang Terbuka Hijau, yaitu (1). Fungsi Bio-ekologis/ fisik; (2) Fungsi Sosial, ekonomi dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal dan (3) Ekosistem perkotaan. Adapun manfaatnya dapat ditinjau dari dua aspek penting yaitu manfaat fisik dan non-fisik. Manfaat fisik, meliputi manfaat kesehatan dan arsitektur sedangkan manfaat non-fisik terkait fungsi ekonomi.

Pekarangan di Karang Kajen, Yogyakarta merupakan sebuah kawasan Ruang Terbuka Hijau yang unik dan memiliki karakter berbeda dari ruang-ruang terbuka di lingkungan permukiman padat kota pada umumnya. Walaupun kawasan permukiman ini memiliki ciri bangunan yang berbeda-beda, dan padat seperti layaknya sebuah kampung kota, tetapi karakter Ruang Terbukanya telah memberikan identitas tersendiri bagi masyarakat yang ada di sana.

Hasil penelitian Hanafiah (1988) berjudul Kajian Fungsi Pekarangan Pedesaan dalam Hubungannya dengan Konsentrasi Sumberdaya Pekarangan Petani:

(11)

Kelurahan Sendang Tirto, Sleman menunjukkan bahwa tambahan pendapatan RT yang diperoleh dari usahatani pekarangan adalah 24,2% dari pertanaman pekarangan, 21,l% dari unggas dan telur, 5,4% dari ternak sapi, kerbau, atau kambing, 9,6% dari ikan kolam pekarangan; sedang dari nonusahatani pekarangan (industri rumah, kerajinan, bertukang, jasa) adalah sebesar 39,7% per tahun.

Usahatani pekarangan di pedesaan tersebut umumnya diusahakan secara tumpangsari. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa luas pekarangan efektif, jumlah jenis tanaman, jumlah pohon per jenis tanaman, jumlah macam usaha pekarangan, biaya usaha luar pekarangan, pengelolaan usaha pekarangan, jumlah pencari nafkah RT tani, tanggungan RT tani, pengalaman tani kepala RT tani, penghasilan dari luar usaha pekarangan, dan penghasilan total RT tani berpengaruh nyata terhadap hasil konservasi sebagai suatu usaha pengelolaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat menghasilkan keuntungan secara berkelanjutan dengan pemanfaatan lahan pekarangan petani di pedesaan.

Penelitian dari Ashari, dkk. (2012) berjudul Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk mendukung Ketahanan Pangan mengemukakan bahwa lahan pekarangan memiliki potensi dalam penyediaan bahan pangan keluarga, mengurangi pengeluaran rumah tangga untuk pembelian pangan, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga.

Penelitian dari Kaswanto dan Nakagoshi (2012) berjudul Revitalizing Pekarangan Home Gardens, a Small Agroforestry Landscape for a Low Carbon Society di Jawa Barat, Indonesia menunjukkan bahwa pengembangan lanskap agroforestri kecil berupa pekarangan dapat mengatasi masalah lingkungan di daerah pedesaan, terutama di negara-negara berkembang. Praktek manajemen lanskap berupa

(12)

pekarangan dapat membantu menekan masalah ekonomi, sosial, dan pembangunan ekologi di masyarakat marginal pedesaan. Oleh karena itu dengan revitalisasi sistem agroforestri kecil berupa pekarangan, masyarakat marjinal memiliki kemungkinan untuk maju secara ekonomi, sosial, dan ekologis. Jasa lingkungan dari pekarangan adalah (1) konservasi keanekaragaman hayati, (2) akumulasi stok karbon, (3) kepemilikan sumber daya ekonomi, dan (4) nutrisi tambahan bagi manusia. Ditemukan pekarangan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan stok karbon hingga 20% dari lanskap hutan, sedangkan total pendapatan bisa meningkat hingga 12,9%. Tercatat pula bahwa pekarangan dapat memberikan 2,0% dari asupan kalori harian.

Penelitian Arifin ( 2013) berjudul Pekarangan Kampung untuk Konservasi Agro- Biodiversitas dalam Mendukung Penganekargaman dan Ketahanan Pangan di Indonesia menunjukkan bahwa di dalam pekarangan selain dapat dilakukan usaha tani jenis-jenis tanaman yang berpotensi, yaitu buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias; dan ternak yang berpotensi, yaitu ayam kampung, domba, kambing dan sapi, juga dilakukan bisnis non-pertanian, yaitu bengkel, kios, kerajinan anyaman, industri kecil rumahan, menjahit, dan lain sebagainya. Meskipun persentase kontribusi hasil pekarangan terhadap tambahan pangan keluarga di perdesaan seperti energi, protein, dan vitamin terhitung relatif kecil terhadap kebutuhan total, hal tersebut sangat berarti sebagai tambahan pangan keluarga.

(13)

2.7 Kerangka Pemikiran

Masyarakat suburban pada umumnya memiliki lahan untuk bercocok tanam.

Diharapkan lahan pekarangan tersebut dapat diusahakan dan mampu membantu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Begitu pula dengan kultur pekarangan yang pada umumnya sudah ada pada masyarakat. Sehingga pemberdayaan masyarakat dalam hal pekarangan dapat memberi upaya pemenuhan lahan bagi usaha pertanian dan penguatan kembali nilai-nilai yang selama ini melekat pada beberapa masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dan strategi apa yang dapat mengembangkan kultur pekarangan.

Pemberdayaan masyarakat dalam mendayagunakan kembali pekarangan tidak terlepas dari faktor-faktor keragaan sumber daya, yakni sumber daya alam dan lingkungan, sumber daya manusia, sumber daya sosial dan kelembagaan serta sumber daya buatan. Setelah dilakukan pengumpulan data keragaan sumber daya di Desa Suka Makmur, Kedai Durian, dan Mekar Sari, Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang maka dapat diidentifikasi faktor eksternal dan faktor internal yang berkaitan dengan kultur pekarangan. Faktor strategis internal adalah kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh daerah penelitian. Faktor strategis eksternal adalah peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi oleh daerah penelitian. Faktor eksternal dan faktor internal tersebut kemudian dianalisis dengan analisis SWOT.

Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) merupakan salah satu alat analisis strategi pengembangan. Analisis SWOT mengidentifikasi berbagai faktor untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika

(14)

yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Kemudian dapat ditentukan strategi apa yang dapat mengembangkan kultur pekarangan.

Adapun skema kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar (1) berikut ini:

Gambar 1. Skema Kerangka Penelitian

Keterangan:

: Menyatakan Pengaruh : Menyatakan Hubungan

Pengembangan Lahan Pekarangan

Faktor-faktor Strategis

Faktor Internal Faktor Eksternal

Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman

Strategi Pengembangan Pemanfaatan Lahan Pekarangan

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian motivasi biasanya akan diikuti dengan peningkatan produktivitas kerja dan disiplin kerja yang baik sebagai pendorong bagi karyawan untuk tetap bekerja pada

Diberitahukan kepada seluruh Jemaat bahwa mulai tanggal 4 Februari s/d 30 Maret 2018 dalam Ibadah Minggu pukul 06.00, 09.00 dan 17.00, dua kotak persembahan yang berada di

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan menggunakan persamaan product moment didapat nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,74. Signifikansi perbedaan hasil belajar

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada novel Dendam si Yatim Piatu karya sintha Rosse mengenai aktualisasi diri tokoh utama dan nilai pendidikan,

Biaya yang dihitung dalam suatu analisis harga satuan pekerjaan, yang terdiri atas biaya langsung (tenaga kerja, bahan, dan alat), dan biaya tidak langsung (biaya umum

dan eigen-vector melalui suatu vektor tak nol yang telah ditentukan sebelumnya secara sebarang. Dalam Tugas Akhir ini, akan diturunkan suatu teorema secara

Ada beberapa metode untuk melakukan pengujian ini, salah satu diantaranya adalah metode “dye test” seperti yang dilakukan oleh Noakes dan Sleigh (2009). Pengujian yang dimaksud